Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KONSEP TAKFIRI
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ahlussunnah wal al Jama’ah
Dosen Pengampu Bapak Alex Yusron Al Mufti, S.Ag., M.S.I
Disusun Oleh :
1. Ahmad Rifqi Hidayat 201310004507
2. Ramadan Husni Mubarak 201310004503
3. Rohmah Fatmah 201310004499

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang menguasai sekalian alam. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurah pada Baginda Nabi Muhammad Saw, dan segenap
keluarganya, sahabatnya, dan segenap para pengikutnya.
Syukur Alhamdulillah pemakalah ucapkan kehadirat Ilahi yang telah
memberikan nikmat dan kekuatan kepada pemakalah sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Konsep Takfiri”. Makalah ini
ditujukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ahlussunnah wal al Jama’ah.
Selain itu, penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah
pengetahuan tentang Konsep Takfiri.
Dalam proses pembuatan makalah ini, pemakalah mendapat bantuan,
dukungan, dan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu dalan kesempatan ini,
pemakalah mengucapkan terima kasih kepada Bapak Alex Yusron Al Mufti,
S.Ag., M.S.I selaku Dosen Pengampun mata kuliah Ahlussunnah wal al Jama’ah
dan semua pihak yang telah bersedia membantu pemakalah dalam penyusunan
makalah ini.
Meskipun pemakalah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
menyajikan yang terbaik untuk makalah ini, namun penulis sebagai manusia biasa
tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan. Oleh karena itu, saran, kritikan,
serta masukan yang membangun dari para pembaca sangat pemakalah harapkan.

Jepara, 31 Oktober 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………….. i
DAFTAR ISI…………………………………………………. ii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………. 1
Latar Belakang …………………………………………….... 1
Rumusan Masalah…………………………………………… 2
Tujuan………………………………………………………… 2
BAB II
PEMBAHASAN………………………………….…………... 3
Pengertian Takfiri……………………………………..…....... 3
Syarat-Syarat Takfiri…..………….………………………..... 4
Metode Takfiri……………………………………….……….. 4
Konsekuensi Logis Takfiri………………………..….………..6
BAB III
PENUTUP…………………………………………………….. 8
Kesimpulan……….…………………………………………… 8
Saran………………………………………………………….. 8
DAFTAR PUSTAKA………………………………………… 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini, muncul fenomena baru dimana masyarakat


kembali bersemangat mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Hal ini dibuktikan
dengan semakin maraknya kajian-kajian baik di kampus, kantor, maupun
masjidmasjid. Salah satu kelompok kajian yang diminati adalah kajian ahl al-
Sunnah wa al-Jamā’ah1 atau populer juga dengan sebutan Wahhābi2/Salafi.3 Jejak
ajaran Wahhābi di Indonesia sebenarnya bisa ditelusuri pada abad ke 19 ketika
Gerakan Padri menggeliat di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.4 4Meskipun
sempat meredup, sebenarnya jejak Wahhābi di Indonesia tetap bergulir seiring
dengan dengan keberlanjutan studi para mahasiswa Indonesia di Timur Tengah.
Bahkan pada tahun 1990-an, paham Wahhābi kembali menguat dengan kehadiran
para Mujahidin Perang Afganistan-Uni Soviet yang berasal dari Indonesia.

Mayoritas muslim di negara ini akan merasa terpukul dirinya bila di sebut
"kafir kau", tanpa menyadari bahwa bahasa "kafir" adalah bahasa yang
mengandung muatan makna yang bermacam macam. Jangan dulu alergi kalau
perkataan "kafir" itu  adalah pengkafiran terhadap muslim yang lain. Tetapi
alquran menawarkan banyak hal berkaitan dengan kafir, bahkan dengan sangat
mudahnya memikulkan kata kafir kepada siapa yang melanggar. Konsep takfir
dalam Quran ditujukan pada siapa saja yang jelas jelas melanggar perintah Allah
dan rasulnya.

1
kelompok yang berpegang dengan petunjuk Nabi SAW dan para sahabatnya baik dalam ilmu,
keyakinan, ucapan, perbuatan, adab dan akhlak. (al-Qahthāni, Aqīdah Ahl al-Sunnah wa
alJamā’ah ‘alā Dhaw’i al-Kitāb wa al-Sunnah (Makkah: Dār al-Thayyibah al-Khadhrā’, cet.1,
2001/1422), hlm. 12.
2
gerakan pembaharuan dan pemurnian Islam (purifikasi) yang dipelopori oleh Muhammad ibn
‘Abd al-Wahhāb ibn Sulaymān at-Tamīmi (1115-1206 H/1703-1792) dari Najd.
3
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salaf sendiri secara bahasa
bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun makna al-Salaf
secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan
Rasulullah SAW dalam haditsnya: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian
yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka...” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dari
kata ini kemudian dapat dijadikan kata bentukan lainnya seperti Salafiyah/ Salafisme (yang
berarti ajaran atau paham kesalafan), atau Salafiyūn/Salafiyīn yang merupakan bentuk plural dari
Salafi.
4
Hamidah, “Pengaruh Wahhābi dalam Gerakan Padri” dalam Wahyudi, Gerakan Wahhābi di
Indonesia (Yogyakarta: Bina Harfa, cet.1, 2009), hlm. 25-56.

1
Pada zaman ini juga banyak orang yang beranggapan sedikit-sedikit
dikafirkan, padahal belum tentu orang yang dituduh melakukan hal-hal yang
dianggap sebagai kafir.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia5, kafir adalah orang yang tidak
percaya kepada Allah dan rasul-Nya. Ada kafir harbi yaitu orang kafir yang
mengganggu dan mengacau keselamatan Islam sehingga wajib diperangi, ada
kafir muahid yaitu orang kafir yang telah mengadakan perjanjian dengan umat
Islam bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan dengan umat Islam
selama perjanjian berlaku, dan ada kafir zimi yaitu orang kafir yang tunduk
kepada pemerintahan Islam dengan kewajiban membayar pajak bagi yang mampu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Takfir?
2. Apa saja syarat-syarat Takfir?
3. Bagaimana metode-metode Takfir?
4. Bagaimana konsekuensi logis Takfir?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Takfir.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Takfir.
3. Untuk mengetahui metode-metode Takfir.
4. Untuk mengetahui konsekuensi logis Takfir.

5
 Kamus Besar Bahasa Indonesia, © Balai Pustaka 1997

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Takfir

Takfiri (‫ )تكفيري‬adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim


lainya (atau kadang juga mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain) sebagai
kafir dan murtad.6 Tuduhan itu sendiri disebut takfir, berasal dari kata kafir (kaum
tidak beriman), dan disebutkan sebagai "orang yang mengaku seorang Muslim
tetapi dinyatakan tidak murni Islamnya dan diragukan keimanannya."7

Al-Maqdisi berpendapat bahwa, pertama, ilmu dan iman adalah apa yang
dibawa Rasulullah Saw. yang terdapat dalam alQuran dan al-Hadis, maka yang
menolaknya adalah kafir mutlak. Kemudian yang, kedua, disebut kafir ialah siapa
yang menafikan sifat-sifat Allah. Ketiga, mengingkari bahwa Allah dapat dilihat
di akhirat. Keempat, yang mengingkari bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Kelima,
mengingkari al-Qur'an adalah firman Allah. Keenam, mengingkari bahwa Allah
mengajak berbicara kepada Nabi Musa. Ketujuh, mengingkari hukum Tuhan
dengan cara menggantinya dengan hukum buatan manusia.8

Seseoramg dikatakan kafir apabila memenuhi syarat-syarat takfir dan


mawani’ takfir.9 Kafir terbagimenjadi dua, yaitu:

a. Takfir ‘Am
Takfir ini adalah sebagai ancaman bersifat umum yang ditujukan kepada
khalayak umum dan tidak terperinci kepada individu tertentu, melainkan
secara umum kepada suatu kelompok atau aliran yang tidak sesuai dengan
pemahaman al-Quran dan as-Sunnah. Takfir ‘am sifatnya adalah wajib,
artinya wajib dinyatakan atau disampaikan secara mutlak dan bersifat
umum. Contoh bentuk takfir ‘am adalah seperti pada kekafiran Aliran
Jahmiyah tentang kemakhlukan al-Quran dan tentang apakah Allah Swt.
dapat dilihat di akhirat.
b. Takfir Mu’ayyan Berbeda dengan takfir ‘am, takfir mu’ayyan adalah
pentakfiran yang ditujukan kepada individu tertentu yang memenuhi
syarat-syarat dan tidak adanya mawani’ takfir dan adanya dalil yang sharih

6
 https://fas.org/irp/crs/RS21745.pdf

7
Kepel, Gilles; Jihad: the Trail of Political Islam, London: I.B. Tauris, 2002, hlm. 31
8
al-Maqdisi, Ar-Risalah as-Sulasiniyah fi at-Tahdzir min al-Ghuluw fi at-Takfir (Amman: Mimbar
at-Tauhid wa al-Jihad, 1998), hlm. 30.
9
Penghalang-halang

3
dalam menghukumi takfir yang menunjukkan bahwa ucapan atau
perbuatan tersebut telah memenuhi syarat takfir.

B. Syarat-Syarat Takfir

Syarat adalah sesuatu yang keberadaan hukum takfir tersebut tergantung pada
keberadaannya, yang tidak wajib dari keberadaan adanya hukum, namun harus
dari ketidakadaan hukum takfir atau kesalahannya. Adapun syarat-syaratnya
adalah sebagai berikut:10

a. Syurut fi al-Fa’il
Syurut fi al-fail (syarat-syarat pada pelaku) ialah bahwa pelaku takfir harus
memenuhi tiga kriteria berikut: pertama, mukallaf, yaitu pelaku tersebut
telah baligh atau dewasa dan berakal; kedua, muta’ammidan qaasidan,
yaitu perbuatan tersebut disengaja dan pelaku tersebut benar-benar
bermaksud melakukannya; ketiga, muhtaran lahu, yaitu perbuatan tersebut
benar-benar dipilih dan dilakukan atas keinginan pelaku.
b. Syurut fi al-Fi’li
Syurut fi al-fi’li (syarat-syarat dalam bentuk perbuatan) adalah sebab
adanya hukum dan ‘illat (alasan). Pertama, sharih dilalah, yaitu perbuatan
atau ucapan dari pelaku yang mukallaf telah jelas dilalah-nya terhadap
kekafiran. Kedua, ad-dalil assyar’i al-mukaffir, artinya dalil syar’i dari al-
Quran dan Hadis yang telah jelas mengkafirkan perbuatan atau ucapan
tersebut.
c. Syurut fi Isbath
Syurut fi isbath yakni syarat-syarat dalam pembuktian terhadap ucapan
atau perbuatan mukallaf harus memenuhi beberapa kriteria dalam syurut fi
isbath, yaitu dengan membuktikannya dengan cara syar’i, bukan dengan
dugaan dan prasangka, mengira-kira dan keraguan. Pembuktian tersebut
antara lain: pertama, bi al-ifrad wa al-i’tiraf, yaitu dengan pengakuan
pelaku atas ucapan atau perbuatan tersebut. Kedua, bi al-bayyinah, yaitu
dengan bukti atau berupa kesaksian dari dua orang laki-laki yang adil.

C. Metode Takfir

Metode takfīrī adalah bahwa siapa yang mengikuti selain agama Islam atau
mengikuti selain syari’ah Nabi Muhammad Saw. disebut kafir, sebab agama yang
diterima di sisi Allah Swt. hanya Islam dan berpegang teguh dengan syariat Allah
Swt. dengan tidak ada pertentangan terhadapnya. Karena mengikuti selain Islam,
atau tidak mempercayai Islam, tidak mengamalkan dan tidak menyatakan iman

10
Al-Maqdisi, Ar-Risalah., hlm. 32.

4
terhadap rukun-rukun dan kaidah-kaidah agama dan meninggalkan syariah secara
keseluruhan, semua hal ini, adalah kekufuran tanpa ada keraguan di dalamnya.

Jumhur ulama, dalam pendapat mereka yang menyatakan tidak mengkafirkan


orang yang lalai atau tidak melaksanakan sebagian dari apa yang diturunkan Allah
Swt., berdalil dengan teks-teks syar’iyah yang mewajibkan untuk menjaga diri
dari pengkafiran terhadap seseorang muslim secara tidak benar, di antaranya:

a. Dalil Q.S. an-Nisa [4]: 94


[...] dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan
‘salam’ kepadamu: ‘Kamu bukan seorang mukmin,’ (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia,
karena di sisi Allah ada harta yang banyak.
b. Dalil Q.S. an-Nisa [4]: 136
[...] barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikatmalaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang
itu telah sesat sejauh-jauhnya.
c. Dalil Q.S. an-Nisa [4]: 116
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.
d. Dalil dari HR. Thabrani
Tiga pondasi iman (asl al-iman) di antaranya ialah menghentikan diri
(tidak menyakiti) orang yang mengucapkan “Tiada Tuhan selain Allah”,
kita tidak mengkafirkannya karena sebuah dosa dan tidak
mengeluarkannya dari Islam karena sebuah perbuatan. Dalam riwayat lain.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa Ilaaha Illallah’
(yakni orang yang bersyahadat). Janganlah kalian mengkafirkan mereka
karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan: “Janganlah kalian
mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal (perbuatan).”11
e. Pendapat Para Ulama: Berhukum dengan Selain Hukum Allah
Pertama, sesungguhnya berhukum dengan selain yang ditetapkan Allah
Swt. sesuai dengan keadaan al-hakim atau penguasa, terkadang dapat
menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari agama, jika pelakunya
meyakini ketidakwajibannya, atau jika ia menganggap berhak memilih di
dalamnya dan ia menghinanya disertai dengan keyakinannya bahwa
hukum tersebut adalah hukum Allah Swt. dan terkadang dapat menjadi
kekufuran yang lebih atau majāzī (metafora) yang tidak mengeluarkan dari
agama.

11
HR. at-Thabrani dalam Al-Kabir dengan isnad yang hasan

5
Kedua, sesungguhnya berhukum (memutuskan perkara) dengan selain
hukum yang telah diturunkan Allah Swt. sebagai sebuah kelalaian atau
kekurangan merupakan salah satu dosa besar dari beragam dosa besar
lainnya.
Ketiga, jika syariat yang mulia mewajibkan kita untuk menahan diri (tidak
menyakiti) dari orang yang secara żāhir menampakkan keislamannya,
meski batin mereka terkandung iman yang rusak, seperti orang-orang
munafik yang dengan lidah mereka mengatakan keimanan tetapi hati
mereka tidak beriman atau perbuatan-perbuatan mereka tidak
membenarkan perkataan-perkataan mereka, maka seorang muslim yang
membenarkan dan menyatakan kebenaran hukum Allah Swt. lebih mulia
untuk tidak mengkafirkan dan tidak menganiaya mereka.

D. Konsekuensi Logis Takfiri


a. Memicu Konflik Sesama Umat Muslim dan non-Muslim
Setiap muslim tidak boleh beramah-tamah kepada orang kafir, umat Islam
harus dan wajib membenci orang kafir, menampakkan permusuhan terhadap
orang kafir, dan membuang rasa cinta dari mereka karena Allah melarang
umat Islam untuk menunjukkan kasih sayang mereka kepada orang kafir
karena mereka menentang Tuhan dan Rasul-Nya.
Perilaku agar membenci orang kafir baik mereka itu kaum kafir golongan
ingkar atau orang kafir dari kalangan muslim adalah kewajiban. Semua jenis
thoghut (berhala, setan dan sesembahan) karena itu adalah prasyarat
keimaanan Islam dalam prinsip syahadat, yaitu diimani dalam hati bahwa
Allah Esa, diucapkan dengan lidah dan ditunjukkan dengan anggota badan
yaitu perbuatan amal shalih.
Dia mengklaim bahwa semua orang kafir, terutama orang Yahudi dan Kristen
serta muslim yang tidak berpartisipasi dalam jihad dan mengasosiasikan
dirinya dengan orang-orang kafir harus dibunuh. Baginya, setiap ekspresi
persahabatan dengan orang-orang kafir menunjukkan kurangnya iman dan
menganggap cintanya dan kesungguhan mereka kepada Allah tidak cukup
karena seharusnya tidak mungkin untuk berteman dengan mereka yang
menentang Allah.12
b. Peperangan yang Disebabkan Jihad
Cara utama untuk memanifestasikan kebencian kepada orang kafir adalah
melalui jihad. Umat muslim harus menampakkan superioritas mereka kepada
nonmuslim untuk menimbulkan permusuhan yang diperlukan untuk secara
efektif melakukan jihad.

12
Al-Zawahiri, “Al-Wala 'wal Bara' di Ibrahim,” Raymond, The al-Qaeda
Reader, hlm. 75.

6
Dengan demikian, konsep takfiri bisa dituduhkan kapan saja oleh para pemuka
agama yang dianggap sah dan menganggap mereka sebagai pewaris para nabi
(ulama al-warasah al-anbiya); atau sebaliknya kepada lawan mereka, sehingga
adanya fenomena ini menjadikan terma "kafir" telah berubah dari konsep menuju
pada ruang pemikiran dan tindakan. Orang Indonesia yang mayoritas beragama
Islam dengan keanekaragamannya, ketika mereka menjalankan cara-cara
beragamanya yang berbeda dengan orang Arab maupun orang Indonesia yang
belajar dari Arab Saudi atau Timur Tengah pastinya terdapat perbedaan.
Perbedaan yang terjadi ini bisa mendapatkan legitimasi dari tokoh ulama dalam
memberikan fatwa atas cara beragama keduanya, bisa dengan melabelinya bid’ah
atau pun kafir.

D.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Takfiri adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainya
(atau kadang juga mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain) sebagai kafir
dan murtad.

Takfiri tidak lahir dari ruang kosong, apalagi takfiri sudah menjadi sebuah
gerakan dan dengan adanya fatwa sebagai legitimasinya, maka menjadi sangat
perlu mengkritik kembali gagasan takfiri untuk menjaga kesatuan dan
kebersamaan umat Islam, serta menjaga pemahaman yang benar dan
menjauhkannya dari pemahaman yang menyimpang. Fungsinya adalah untuk
menumbuhkan dan menjaga agar nalar kritis agama tidak mati dalam doktrin yang
dibuat-buat oleh kaum radikal.

Syarat-syarat Takfir yaitu:

1. Syurut fi al-fail (syarat-syarat pada pelaku).


2. Syurut fi al-fi’li (syarat-syarat dalam bentuk perbuatan).
3. Syurut fi isbath yakni syarat-syarat dalam pembuktian terhadap ucapan
atau perbuatan mukallaf.

Menurut Jumhur ulama, dalam pendapat mereka yang menyatakan tidak


mengkafirkan orang yang lalai atau tidak melaksanakan sebagian dari apa yang
diturunkan Allah Swt., berdalil dengan teks-teks syar’iyah yang mewajibkan
untuk menjaga diri dari pengkafiran terhadap seseorang muslim secara tidak
benar, di antaranya: Dalil Q.S. an-Nisa [4]: 94, Dalil Q.S. an-Nisa [4]: 136, Dalil
Q.S. an-Nisa [4]: 116, Dalil dari HR. Thabrani, dan Pendapat Para Ulama:
Berhukum dengan Selain Hukum Allah.

Konsekuensi Logis Ideologi Takfiri al-Maqdisi yaitu Memicu Konflik


Sesama Umat Muslim dan non-Muslim dan Peperangan yang Disebabkan Jihad.

B. Saran

Demikianlah makalah ini kami susun, kami menyadari makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka kami senantiasa mengharapkan kontribusi konstruktif
dari para pembaca dalam bentuk saran maupun kritik demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, kami berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis, khususnya dari para pembaca pada umumya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maqsidi. 1998. Ar-Risalah as-Sulasiniyah fi at-Tahdzir min al-Ghuluw


fiat-Takfir, Amman: Mimbar at-Tauhid wa al-Jihad

Hamidah. 2009. Pengaruh Wahhābi dalam Gerakan Padri, Yogyakarta:


Bina Harfa

Kepel, Gilles.2004. The War for Muslim Minds: Islam and the West,terj.
Pascale Ghazaleh, Cambridge, MA, & London:Belknap/Harvard University Press

Anda mungkin juga menyukai