Anda di halaman 1dari 5

Implementasi paham aswaja dalam bidang politik

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam).
Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta
menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja,
sehingga sebagaimana mengurus jenazah jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya
negara, maka gugurlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah)
dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini
oleh Syiah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini
berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam
apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan
menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang
lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu
negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa
diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut.
Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak
penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.[1]

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

Terjemah :Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di
dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal.

Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan
apabila mereka marah, mereka memberi maaf.

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang
yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman
billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kabair), memberi maaf setelah marah,
memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan
musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
b. Al-Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat)
dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini
didasarkan kepada QS An-Nisa 4:58

Terjemah :Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-
hak mereka. Hak-hak tersebut dalam syariat dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip
pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut
adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya.

c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga
negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun
kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi
Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki
kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis
kelamin atau pemeluk agama tertentu tidaklah dibenarkan.

Harus kita akui, bahwa istilah demokrasi tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Quran
maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa.
Namun, harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-
prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak
mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini
sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi perkampungan dunia,
maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Implementasi paham aswaja dalam bidang sosial dan budaya

Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam)
ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang
tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawzun), netral atau adil (tadul),
dan toleran (tasmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-
sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.[2]

Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam
lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan,
pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.

a. Tawasuth (Moderat)

Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke
kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi
semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari
solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:

Terjemah : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143)

b. Tawzun (Berimbang)

Tawzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-
dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan
dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawzun menghindari
sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan
menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran
agama. Sikap tawzun ini didasarkan pada firman Allah:

Terjemah : Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25)

c. Tadul (Netral dan Adil)

Tadul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan
segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamtsul). Adil adalah sikap
proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut
adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar
sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya
terjadi tafdlul(keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdll).
Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan
asas keadilan itu sendiri. Sikap tadul ini berdasrkan firman Allah:

Terjemah :Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Almaidah: 9)

d. Tasmuh (toleran)

Tasmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan
keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa,
agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.

Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti
mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti
mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap
harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini
sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt. berfirman:

Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)



Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran:
85)

Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai
tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA,
tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan
menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.

Dengan demikian, tasmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan
kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar
sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani.
Dari sikap tasmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah)
universal.

Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah(persaudaraan


kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insniyyah(persaudaraan kemanusiaan).
Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini,
merupakan implementasi dari firman Allah swt.:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)



Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. Albaqarah: 30)

Implementasi dari paham aswaja dalam bidang sosial dan budaya yaitu adanya beberapa tradisi
yang sudah biasa dilakukan di masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang
dengan disengaja dan bukan terjadi secara kebetulan.[3]

Tradisi Ngapati/ Mitoni

Tradisi Tahlilan dan Yasinan

Tradisi Melakukan Talqin mayit

Tradisi Dzibaan dan sholawatan

Tradisi Dzikir bersama

Dari beberapa tradisi di atas dalam paham aswaja telah didapatkan dari kesepakatan para ulama
terdahulu. Dan pasti tradisi-tradisi tersebut memiliki banyak tujuan dan manfaatnya.[4]

Anda mungkin juga menyukai