Anda di halaman 1dari 6

Perubahan Makna

Perubahan makna yang dimaksud di sini meliputi: pelemahan, pembatasan,


pergantian, penggeseran, perluasan, dan juga kekaburan makna. Perubahan makna
tersebut bisa saja terjadi karena perubahan kata dari bahasa lain, termasuk di sini dari
bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Perubahan makna terjadi pula karena akibat
perubahan lingkungan. Perubahan makna terjadi pula karena akibat pertukaran
tanggapan indra. Perubahan makna juga boleh juga terjadi karena gabungan leksem.
Demikian yang akan dibahas dalam bagian ini. Semuanya karena perubahan bahasa,
bahasa yang dinamis sesuai dengan sifat manusia yang dinamis. Perubahan makna yang
menampak dalam kata-kata adalah akibat perkembangan kebutuhan manusia sebagai
pemakai bahasa.
A. Faktor yang Memudahkan Perubahan Makna
Makna dapat saja berubah dalam perjalanan kata sebagai alat komuniukasi
manusia. Lalu mengapa terjadi perubahan makna? Hal ini terjadi karena:
1. Kebutulan, makna terjadi karena kebetulan. Misalnya kata rawan. Dahulu kata
rawan selalu dihubungkan dengan tulang, menjadi tulang rawan. Kata rawan
bermakna muda, lembut. Kini kata rawan sudah berubah maknanya. Makna kata
rawan sudah lebih banyak dihubungkan dengan kekurangan, misalnya dalam
urutan kata rawan pangan; makna kata rawan sudah dihubungkan pula dengan
menimbulkan gangguan keamanan sehingga muncullah urutan kata rawan
perampokan, rawan pencurian; bahkan akhir-akhir ini sudah dihubungkan dengan
tempat atau wilayah yang tidak mendukung organisasi peserta Pemilu, sehingga
muncul urutan kata daerah itu rawan. Di sini tampak bahwa perubahan makna
hanya kebetulan saja. Hal yang sama terjadi untuk makna kata kontestan. Dahulu
kata kontestan selalu dihubungkan dengan pemilihan perempuan cantik. Kata
contest dalam bahasa Inggris bermakna pertandingan. Kini, kata kontestan sudah
muncul dalam urutan kata kontestan pemilu yang tentu saja maknanya sudah
bergeser.
2. Kebutuhan baru. Misalnya kata car adalah kata puisi kuno untuk kata chariot
(kereta perempuan). Karena orang dahulu membutuhkan nama sendiri untuk mobil
yang tidak digunakan untuk berperang, maka muncul kata car (bahsa Inggris) yang
maknanya bukan puisi kuno lagi. Dalam BI terdapat kata berlayar. Dahulu kata
berlayar bermakna menggunakan perahu layar untuk berpergian melalui laut. Kata
berlayar kini tetap digunakan, tetapi maknyanya berubah. Maksudnya bukan
berpergian menggunakan perahu layar lagi, tetapi berpergian dengan kapal laut dan
pesawat terbang. Orang mengetahui, baik kapal laut dan pesawat terbang. Orang
mengetahui, baik kapal laut maupun pesawat terbang tidak menggunakan layar.
3. Tabu, kata itu tabu dikatakan karena makna yang terkandung pada kata itu tidak
senonoh dilafalkan atau mengakibatkan malapetaka jika dilafalkan. Dalam BI
terdapat kata kakus. Kata ini tidak wajar dikatakan, apalagi pada waktu orang
sedang makan, karena maknanya membayangkan pada benda yang menjijikan.
Karena kata itu tabu, kata ini diganti dengan kata kamar belakang atau kamar
kecil. Makna kamar belakang atau makna kamar kecil secara harfiah tidak sama
dengan kata kakus. Namun pemkai BI sudah memahami kalau seseorang
menanyakan kamar belakang atau kamar kecil, itu maknanya yang dimaksud
adalah kakus, WC, atau toilet.
Masih berhubungan dengan makna tabu, dalam BI terdapat kata yang maknanya
sejenis binatang buas yang tinggal di hutan. Orang yang mencari hasil hutan tabu
mengucapkan kata harimau karena takut bertemu dengan harimau. Karena itu, kata
harimau diganti dengan kata nenek. Telah diketahui kata nenek tidak sama
maknanya dengan kata harimau. Terlihat di sini makna kata nenek berubah, bukan
lagi seseorang perempuan yang sudah tua, tetapi sejenis binatang buas yang tinggal
di hutan. Palmer (19976:12) mengatakan, “A word that is used for something
unpleasant is replaced by another and that too is again replaced later.”

Menurut Ullmann (1972:192-197) ada faktor-faktor yang memudahklan perubahan


makna. Faktor-faktor itu ialah :
1. Bahasa itu berkembang, atau bahasa itu diturunkan dari generasi ke generasi.
Dalam perkembangan ini makna kata-kata tertentu mengalami perubahan.
Misalnya dalam BI terdapat kata juara. Dahulu kata juara bermakna orang yang
memimpin penyambungan ayam. Kini makna kata juara selalu dihubungkan
dengan orang yang mendapat peringkat dalam perlombaan atau pertandingan.
2. Makna kata itu sendiri kabur, samar-samar maknanya. Contoh kata alot. Apakah
makna kata alot? Kata alot bermakna liat, tidak mudah putus. Dalam dialek
Jakarta, kata alot bermakna keras, kenyal, misalnya daging, dan dalam bahasa
Jawa, kata alot bermakna liat (tentang daging) (liat Adiwimarta, dkk, 1987:8).
Jika dihubungkan makna kata liat dengan urutan kata tanah liat, kelihatannya
tidak sesuai. Dengan kata lain, makna kata liat samar-samar. Dewasa ini kata
alot bermakna pula lambat, pelan misalnya dalam kalimat Pembahasan
rancangan undang-undang itu alot. Makna kata alot dewasa ini dengan makna
kata alot sebelumnya berbeda.
3. Kehilangan motivasi (loos of motivation), misalnya dalam BI terdapat kata
ajang yang bermakna tempat untuk makan sesuatu, misalnya piring
(Depdikbud, 1993:24). Kini, makna kata itu lebih banyak dihubungkan dengan
tempat juga, tetapi nukan untuk maka, misalnya, ajang pertempuran.
4. Adanya kata-kata yang bermakna ganda (polysemy). Contohnya kata lempung
yang bermakna: (i) ringan atau lunak dan mudah patah, misalnya kayu; (ii)
lemah sekali; (iii) tidak berguna sedikit pun (Depdikbud, 1993;582).
5. Dalam konteks yang membingungkan (in ambiguous contexts), misalnya kata-
kata yang terdapat dalam kalimat Ini baru mi. apakah yang dimaksud menunjuk
pada baru mi, atau inilah mi yang sesungguhnya? Orang Ujungpandang kalau
mengatakan mi, maka yang dimaksud bukalah mi yang biasa dimakan, tetapi
kata itu sendiri berfungsi sebagai penghalus. Orang biasa mengatakan, “Sini
mi! Ini mi yang kau minta.” Demikian pula kalau orang yang mengatakan,
“Anak anjing Abdullah mati kemarin.” Siapakah yang mati? Dengan kata lain,
konteks kalimat ini membingungkan.
6. Struktur kosa kata. Telah diketahui bahwa bunyi-bunyi suatu bahasa dan system
gramatikalnya terbatas, tetapi kata-kata bertambah terus sesuai dengan
perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Dalam perkembangan kosa kata ini,
tentu saja ada kata baru, tetapi ada pula kata yang berubah maknanya.
Dalam hubungan dengan perubahan makna, Ullmann (1972:198-210)
menyebutkan beberapa hal sebagai penyebabnya. Hal-hal itu, yakni :
1. Faktor kebahasaan (linguistic causes). Perubahan makna karena faktor
kebahasaan berhubungan dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Misalnya
kata sahaya yang pada mulanya maknanya dihubungkan dengan budak; tetapi
karena kata ini berubah menjadi saya. Maka kata saya selalu dihubungkan
dengan orang pertama terhormat, misalnya dalam kalimat, “Saya akan pergi ke
kampus.” Orang tidak menghubungkan dengan makna budak. Dengan kata lain,
makna berubah.
Dalam BI terdapat kata bermain yang meiliki makna leksikal tertentu. Tetapi
kalau bentuk bermain diubah menjadi bermain-main, maka maknanya berubah.
Demikian pula kalimat Ali memukul Adi, mengandung makna tertentu; dan
kalau kalimat itu diubah menjadi, Ali dipukul Adi, maka makna intinya bukan
lagi, Ali yang memukulk Adi, tetapi Adi yang memukul Ali.
2. Faktor kesejahteraan (historical causes) yang dapat dirinci karena: (i) faktor
objek; (ii) faktor institusi; (iii) faktor ide; dan (iv) faktor konsep ilmiah.
Perubahan makna karena faktor kesejarahan berhubungan dengan
perkembangan kata. Misalnya, kata wanita yang sebenarnya berasal dari kata
betina. Kata betina selalu dihubungkan dengan hewan, misalnya ayam betina.
Kata betina dalam perkembangannya menjadi batina, lalu fonem /b/ berubah
menjadi /w/ sehingga menjadi wanita, lalu menjadi wanita. Kata wanita
berpadanan maknanya dengan kata perempuan. Kini, orang tidak
menghubungkan makna kata wanita dengan hewan, tetapi dengan objek
Hal yang berhubungan dengan institusi, misalnya dalam BI terdapat kata rukun,
seperti dalam urutan kata rukun tetangga dan rukun warga. Dahulu, urutan kata
tersebut dihubungkan dengan kerukunan antara warga, baik antara tetangga
dengan tetangga maupun anatara warga dengan warga selingkuhan dalam satu
desa. Kini pengertian itu yang sudah menjadi intitusi resmi, maknanya bukan
lagi khusus mengenai soal kerukunan, tetapi sudah lebih luas dari itu.

Hal yang berhubungan dengan ide, misalnya kata simposium. Dahulu, kata
simposium idenya untuk bergembira, yakni duduk-duduk di restoran sambil
minum, makan roti, dan berdansa. Kini, ide itu berubah, yakni menjadi
pertemuan ilmiah untuk membicarakan sesuatu dalam disiplin ilmu tertentu
yang dibahas dari berbagai segi.

Hal yang berhubungan dengan konsep ilmiah, misalnya makna kata volt.
Dahulu kata volt dikaitkan dengan nama penemunya, yakni Allessandro Voltas,
orang Italia yang hidup antara tahun 1745-1827. Kini makna itu lebih
ditekankan poada satuan potensial listrik yang diperlukan untuk mengalirkan
suatu ampere arus listrik melalui satuan ohm, misalnya dalam kalimat Voltase
aliran listrik di rumahmu harus ditambah.

3. Faktor sosial (social causes). Perubahan makna yang disebabkan oleh faktor
sosial dihubungkan dengan perkembangan makna kata dalam masyarakat.
Misalnya, kata gerombolan yang pada mulanya bermakna orang yang
berkumpul atau kerumunan orang, tetapi kemudian kata ini tidak disukai lagi
sebab selalu dihubungkan pemberontak atau pengacau. Sebelum tahun 1945
orang dapat saja berkata “Gerombolan laki-laki menuju pasar.”, tetapi setelah
tahun 1945, apalagi dengan munculnya pemberontak, maka kata gerombolan
enggan digunakan, bahkan ditakuti. Kini, gerombolan diganti dengan GPK
(gerakan pengacau keamanan), tetapi di Yogyakarta pada tahun 1993
mahasiswa tertentu menyebut kelompok mereka GPK juga (gerakan penuntut
keadilan) (lihat Heryanto, 1995:9).

4. Faktor psikologis (psychological causes). Perubahan makna karena faktor


psikologis yang dirinci lagi atas: (i) faktor emotif (emotive factors); (ii) kata-
kata tabu yang dapat dirinci atas : (a) tabu karena takut (taboo of fear); (b)
tabu karena menginginkan kehalusan kata (taboo of delicacy); dan (c) tabu
karena ingin dikatakan sopan (taboo of propriety).
Perubahan makna karena faktor psikologis yang berhubungan dengan emosi,
misalnya penggunaan kata bangsat. Dahulu makna kata bangsat dihubungkan
dengan binatang yang biasa mengigit jiwa jika kita duduk di kursi rotan karena
binatang itu hidup di sela-sela anyaman rotan. Kini kalau orang karena marah
lalu mengatakan, “Hei bangsat, kenapa hanya duduk?”. Makna kata bangsat
bukan lagi binatang kecil yang suka menggigit, tetapi manusia yang malas yang
kelakuannya menyakitkan hati. Dengan kata lain, makna kata bangsat setelah
berubah.
Perubahan makna karena faktor psikologis yang berhubungan dengan kata-kata
tabu yang menakutkan, misalnya kata menaikkan harga. Karena orang takut
kalau menggunakan urutan kata menaikkan harga dapat menimbulkan gangguan
keamanan, maka urutan kata menaikkan harga diganti dengan urutan kata
menyesuaikan harga.

Anda mungkin juga menyukai