1
Danial Hilmi, Mengurai Islam Moderat Sebagai Agen Rahmatan lil `alamin, dalam M. Zainuddin et. All, Islam
Moderat Konsepsi, Interpretasi dan Aksi, (Malang: UIN Maliki Press, 2016), h. 63. Lihat pula John L. Esposito,
2005, Moderate Muslimss: A Mainstreim of Modernists. Islamists, Conservatives, and Traditionalists, dalam
American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. XXII, No. 3. Summer 2005, h. 12.
jelas ke kiri atau ke kanan; ke barat atau ke timur, ke rasionalis atau tekstualis. Tidak
salah pula jika Nahdlatul Ulama pengusung Islam moderat dikritik karena ketidakjelasan
itu. Selain kelamin ideologi yang kabur, ia juga rawan terhadap tarik-menarik kelompok
kanan dan kiri.2
Jika kata moderat dari awal berpotensi bias, maka perlu definisi yang mani’ yang
mampu mengeluarkan yang tidak termasuk. Mengamati 4 indokator moderasi beragama
yang menjadi program utama kementerian agama saat ini, yaitu: kebangsaan, toleransi,
antikekerasan, dan pro budaya lokal, perlu adanya penjelasan yang lebih konkret.
Bagaimanapun definisi moderasi beragama tidak semata untuk menghindari aksi
kekerasan atas nama agama apalagi terorisme yang sudah jelas tertolak. Lebih dari itu, ia
harus menjangkau potensi disharmoni akibat kegemaran menyelisihi yang umum berlaku
dan menolak produk budaya lokal. Moderasi sedari awal cenderung sumir karena
posisinya di tengah. Dibutuhkan definisi yang mampu menghilangkan kesumiran itu agar
yang tidak termasuk di dalamnya sadar bahwa dia tidak moderat tapi ekstrem.
Bagi Nahdlatul Ulama sudah sangat jelas dalam Khittah NU, disebutkan bahwa
warga Nahdlatul Ulama memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya
dengan kelompok lain.3 Karakter tersebut adalah at-Tawasuth (pertengahan), al-I’tidal
(tegak lurus) dan at-Tawazun (keseimbangan) yang merupakan intisari dari penerapan
moderasi beragama. NU yang dalam penilaian banyak ahli memang merupakan ormas
yang konsen mengusung moderasi, tak jarang menghadapi berbagai tantangan dalam
melakukan penguatan moderasi beragama ini. Untuk konteks Solo Raya (Surakarta,
Klaten, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, Karanganyar, dan Boyolali), yang disinyalir oleh
banyak kajian sebagai tempat suburnya radikalisme, karena tak jarang kasus-kasus
terorisme terjadi di wilayah ini. Tentunya penguatan moderasi beragama oleh NU
memiliki dinamikanya tersendiri.
Dari sinilah penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana peran dan tantangan
Nahdhatul Ulama (NU) dalam moderasi beragama sebagai upaya pembentukan Islam
Moderat dan pemahaman yang inklusif terhadap kontekstual islam moderat itu sendiri.
B. PEMBAHASAN
1. Konsep Moderasi Beragama
2
Achmad Murtafi Haris, https://nu.or.id/opini/moderasi-beragama-perlu-definisi-
yang-tegas-ciPVT
3
Shiddiq, Achmad, 2005, Khittah Nahdliyyah, Surabaya: Khalista. H. 9
a. Definisi Moderasi Beragama
4
Dezan M Fathurrahman, Implementasi Moderasi Beragama Di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta,
Repository.Uinjkt.Ac.Id, 2016 <https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/66647%0Ahttps://
repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/66647/1/Skripsi Dezan M Fathurrahman -
111803210000114.pdf>.
5
Mohammad Salik, Nahdlatul Ulama Dan Gagasan Moderasi Islam, ed. by Salik, I (Malang: PT. Literindo
Berkah Jaya, 2020).
merupakan alat atau sarana yang berguna untuk mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan bersama dalam masyarakat.6
6
Salik.
7
Agus Akhmadi, ‘Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia Religious Moderation in Indonesia ’ S
Diversity’, Jurnal Diklat Keagamaan, 13.2 (2019), 45–55.