Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FENOMENA SEKURALISME, RADIKALISME DAN


FUNDAMENTALISME DALAM BERAGAMA

Disusun untuk memenuhi tugas Agama

Dosen pengampu :

Bapak Mulyadi Erman, S. Ag., M. A.

Nama Anggota :
M. Widi Wijayanto ( 2103021 )
Ardy Wahyu Pranata ( 2103023 )
M. Fiqri Primadantara ( 2103024 )
Irfan Tsany Nur Mahdy ( 2103025 )

JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN KARET DAN PLASTIK

POLITEKNIK ATK YOGYAKARTA


TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Fenomena Sekuralisme, Radikalisme dan
Fundamentalisme”.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Agama Islam. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang fenomena Sekuralisme,
Radikalisme dan Fundamentalisme.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mulyadi selaku guru Mata Pelajaran


Agama Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.

kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

JUDUL ………………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………… …...iii

BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………….... 1

A. Latar Belakang…………………………………………………………………i

B..Tujuan………………………………………………………………………….ii

BAB 11 PEMBAHASAN…………………………………………………………….2

A..Pengertian Sekuralisme, Radikalisme & Fundamentalisme……………………i

B..Sejarah Sekuralisme, Radikalisme & Fundamentalisme………………………ii

C..Pandangan Islam terhadap Isu Sekuralisme, Radikalisme & Fundamentalisme..

BAB 111 PENUTUP………………………………………………………………...10

A..Kesimpulan……………………………………………………………………..i

B..Daftar Pustaka…………………………………………………………………ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menelusuri jejak pemahaman fundamentalisme-radikalisme dan sekuralisme ini
dalam lintas kesejarahan agama-agama dunia, benturan antar agama, modernisasi
serta sekulerisasi.Fenomena aksi kekerasan dan terorisme salah satu penyebabnya
ialah konflik sektarian berbasiskan ideologi keagamaan. Penyimpangan
pemahaman keagamaan dari sudut internal, dan pengaruh sosiopolitik dari sudut
eksternal. Teror dan aksi anarkisme yang mengorbankan umat manusia
sesunguhnya tidak bisa lepas dari pandangan dan sikap orang yang beragama.
Terjadinya fundamentalisme-radikalisme agama merupakan akumulasi pandangan
dan sikap orang beragama terkait konstruksi keagamaan.

B. TUJUAN
Adapun tujuan makalah ini :
1. Mengetahui sejarah dari Sekuralisme, Radikalisme dan
Fundamentalisme
2. Mengetahui pengertian dari Sekuralisme, Radikalisme dan
Fundamentalisme
BAB II PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN

 SEKULARISME
Sekularisme adalah aliran atau sistem doktrin dan praktik yang menolak segala bentuk
yang diimani dan diagungkan oleh agama; atau pandangan bahwa masalah keagamaan
(ukhrawi/surgawi) harus terpisah sama sekali dari masalah kenegaraan (urusan
duniawi). Secara etimologis istilah "sekuler" berasal dari bahasa Latin, saeculum,
yang bermakna ganda, yakni "ruang" dan "waktu". Istilah "ruang" menunjuk pada
pengertian "dunia" atau "duniawi", sedangkan "waktu" pada pengertian "sekarang"
atau "kini". Kata "sekuler" berkembang menjadi sebuah istilah yang diartikan sebagai
bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian. Bahasa
Arab untuk "sekuler" adalah 'ilmaniyyah, suatu kata yang berakar dari kata 'ilm yang
berarti "ilmu pengetahuan" atau "sains".

 RADIKALISME
Sebenarnya, apa arti radikalisme? Menurut para ahli, Pengertian
Radikalisme adalah suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin
melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara
kekerasan/ ekstrim. Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan
seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam
mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan
perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan
sistem sosial yang berlaku.

 FUNDAMENTALISME

Fundamental adalah sesuatu yang mendasar, asasi, sangat penting, atau suatu prinsip,
serta hal pokok yang dijadikan sebagai pedoman atau dasar di dalam hal-hal tertentu.
Fundamental yaitu sesuatu yang menggambarkan berbagai hal, kegiatan, juga prinsip-
prinsip yang sangat penting serta mempengaruhi sifat dasar dari hal-hal lain atau
merupakan elemen terpenting dalam berbagai bidang.Kata Fundamental berawal dari
kata Latin fundamentum, yang artinya “fondasi“. Jadi secara singkat apabila terdapat
sesuatu yang fundamental, itu merupakan poin kunci atau masalah yang mendasarinya
atau bisa juga dikatakan sebagai pondasinya.

B. SEJARAH

Sejarah Sekularisme

Pada saat Eropa diselimuti oleh ketakutan atas Gereja yang menguasai sebagian besar
kehidupan mereka, disitulah Eropa mengalami masa dark age atau masa kegelapan.
Sebelum abad ke-15, Kristen yang sudah melembaga (Gereja) menguasai semua ranah
kehidupan masyarakat. Mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, dan semuanya tanpa
terkecuali. Semua hal yang bukan berasal dari kitab suci mereka (Injil) dianggap salah.
Filsafat yang merupakan dasar dari ilmu pengetahuan  yang luas mereka persempit menjadi
penguat keyakinan yang mereka anut saja. Sehingga kitab suci mereka dicampurtangani
oleh Gereja demi kepentingan kekuasaan mereka.

Masa kegelapan yang suram membuat pemikiran masyarakat Eropa sangat terbatas dan
sempit. Berbagai kreativitas sangat diatur oleh Gereja. Agama Kristen sangat
mempengaruhi berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Seolah-olah Raja tidak
mempunyai kekuasaan, justru Gereja lah yang mengatur pemerintahan. Pemikiran
masyarakat Eropa pada saat itu sudah terdoktrinasi oleh Gereja. Mereka menganggap hanya
Gereja lah yang pantas menentukan hidup mereka. Kaum cedekiawan yang terdiri dari ahli-
ahli sains ditekan dan diawasi dengan ketat. Tidak setiap individu berhak mengeluarkan
pendapat dan yang berhak hanyalah para ahli agama saja.

Berabad-abad lamanya mereka mengalami kondisi tersebut. Sampai adanya pemikiran


skeptis terhadap Gereja pada abad ke-17 yang dicetuskan oleh para cendekiawan pada saat
itu. Mereka berpendapat jika kemajuan dan kebebasan akan diraih jika kehidupan terlepas
dari kekuasaan Gereja. Banyak tuduhan jika ajaran-ajaran Gereja jauh dari akal sehat, juga
banyak yang berpendapat jika ilmu agama bertentangan dengan alam. Maka dari itu
munculah aliran “Deisme” yang mengakui adanya Tuhan tetapi tidak mempercayai wahyu
dan adanya mukzijat.
Pada abad ke-19, Ludwig Feurbach (1804-1872) seorang filsuf Jerman dalam salah satu
pendapatnya menyatakan ”Agama yang baru adalah politik, bukan agama Masehi. Karena
itu politik harus dijadikan agama. Allah dan agama keduanya bukanlah dasar negara, tetapi
dasarnya adalah manusia dan kebutuhan…”. Adapun Karl Marx (1818-1883) seorang
revolusioner yang pemikirannya bertentangan dengan Gereja secara garis besar
berpandangan anti-Tuhan dan menggunakan metode ilmiah dalam mencari bukti
kebenarannya, dan memerangi sistem kelas manusia. Dari periode ini munculah aliran
“Ateisme” yang tidak mengakui adanya Tuhan.

Istilah sekularisme muncul pertama kali pada tahun 1846 oleh George Jacub Holyoake yang
menyatakan “sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral
alamiah dan terlepas dari agama, wahyu atau supernaturalisme”. Pemikiran-pemikiran itulah
yang menjadi pemicu munculnya gerakan Renaissance dimana perlawanan terhadap Gereja
di berbagai negara Eropa, Banyak cedikiawan yang belajar tentang filsafat dan berbagai
ilmu pengetahuan ke negara maju Andalusia (Muslim). Dan selain itu, paham sekularisme
digaungkan sebagai sistem pemerintahan yang baru.

Dari pemikiran tersebut, sekularisme menjadi paham dan berkembang sampai sekarang.
Bahkan sejumlah negara berani mendeklarasikan dirinya sebgai negara sekuler. Dalam
sistem pemerintahannya, disusun undang-undang yang mewajibkan seluruh masyarakatnya
menghilangkan simbol-simbol keagamaan karena dianggap pemicu pertentangan (konflik)
dalam masyarakat.

Sejarah Radikalisme

Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berfaedah "akar") yaitu istilah yang


dipergunakan pada pengahabisan zaman ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal.
Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini menanti reformasi sistem
pemilihan secara radikal. Gerakan ini awal mulanya menyatakan dirinya sebagai partai kiri
jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu "radikalisme" historis mulai terserap dalam
perkembangan liberalisme politik, pada zaman ke-19 makna istilah radikal di Britania
Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif.

Menurut Encyclopædia Britannica, kata "radikal" dalam konteks politik pertama kali


dipergunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, dia mendeklarasikan "reformasi
radikal" sistem pemilihan, sehingga istilah ini dipergunakan untuk mengidentifikasi
pergerakan yang mendukung reformasi parlemen.

Sejarah Radikalisme di Indonesia

Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah menjadi lahan
subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme di kalangan umat
Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme
bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Dalam
konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena
pendukungnya juga semakin meningkat. Akan tetapi, gerakangerakan radikal ini kadang
berbeda pandangan serta tujuan, sehingga tidak memiliki pola yang seragam. Ada yang
sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan
“negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya “negara Islam
Indonesia”, disamping itu pula da yang memperjuangkan berdirinya “khilafah
Islamiyah”.

Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat ditelusuri lebih
jauh ke belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan
dapat dikatakan sebagai akar gerakan Islam garis keras era reformasi. Gerakan dimaksud
adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII)
yang muncul era 1950- an (tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat,
Aceh dan Makassar. Gerakan ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat
sebagai dasar negara Indonesia. Gerakan DI ini berhenti setelah semua pimpinannya atau
terbunuh pada awal 1960- an. Sungguhpun demikian, bukan berarti gerakan semacam ini
lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an gerakan Islam garis keras
muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari oleh Warsidi dan
Teror Warman di Lampung untuk mendirikan negara Islam, dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis
keras tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik,
keterpinggiran politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut,
agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor
legitimasi maupun perekat yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras.
Sungguhpun begitu, radikalisme agama yang dilakukan oleh sekelompok muslim tidak
dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang radikalisme. Yang pasti,
radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.

Ada 3 kelompok kekuatan yang mendukung formalisasi syariah: Salafi-Wahabi,


Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang memengaruhi mahasiswa-mahasiswa dari
berbagai belahan dunia yang belajar di Timur Tengah, khususnya Mesir, Saudi Arabia
dan Syiria. Bedanya, kalau Salafi-Wahaby cenderung ke masalah ibadah formal yang
berusaha “meluruskan” orang Islam. Ikhwan bergerak lewat gerakan usroh yang
beranggotakan 7-10 orang dengan satu amir. Mereka hidup sebagaimana layaknya
keluarga di mana amir bertanggungjawab terhadap kebutuhan anggota usrohnya.
Kelompok ini menamakan diri kelompok Tarbiyah yang merupakan cikal bakal PKS.

Sejarah Fundamentalisme

Pemahaman terhadap agama dikatakan bermula dari sebuah keyakinan. Dari keyakinan
serta melalui praktik ibadah, tercipta kehidupan beragama. Secara sosiologis, kehidupan
beragama menunjukkan bahwa agama dipegang oleh orang banyak, jemaah, atau massa.
Oleh mereka, agama dianggap sebagai the ultimatum concern. Setiap pemeluk agama
meyakini kebenaran agama mereka masing-masing.7 Bustanuddin Agus, mengungkapkan
dalam bukunya Islam dan Pembangunan, bahwa semakin rendah tingkat berpikir dan
pemahaman keagamaan seseorang, semakin sempit dan makin konkret sesuatu yang
difanatikinya dalam kehidupan beragamanya.8 Jika fanatisme seseorang lebih dominan,
maka penghayatan spiritual akan terabaikan. Mereka akan terkesan rela mati untuk agama.
Padahal, tidak ada satu pun agama mengajarkan hal itu.
Ada banyak tipologi dalam dinamika pemikiran Islam, dalam konteks pemikiran teologi,
ada kelompok Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan sebagainya. Sekte-
sekte ini sudah eksis jauh sebelum konteks Islam modern. Islam modern secara umum
diakui lahir setelah abad kedelapan belas. Dalam konteks gerakan Islam modern ini, ada
tipologi gerakan. Ada gerakan Islam yang sosialis, sekuler, reformis, nasionalis-sekuler,
nasionalis-religius, liberal, hingga fundamentalis. Namun, para akademisi Barat dan para
pemerintah negara Barat lebih memandang Islam sebagai agama dengan gerakan
ekstrimisme dan fundamentalis karena tercermin dari gerakan-gerakan tersebut di zaman
modern ini. Terlebih penyerengan terhadap gedung gedung World Trade Center di
Amerika Serikat mengindikasikan bahwa Islam dipenuhi oleh kaum ekstrimis yang siap
menteror siapa saja yang menentang.

Hal ini tidak luput dari munculnya agama Islam itu sendiri yang disebarkan melalui
pedang. Bahkan Muhammad sebagai nabi terakhir yang menyebarkan Islam menghalalkan
seorang saudara membunuh saudaranya sendiri atau seorang bapak membunuh anaknya,
atau seorang anak membunuh bapaknya, selama perang dalam menyebarkan Islam. Disitu
seorang anak dapat membunuh ayahnya jika ayahnya tidak memeluk Islam. Menjadi halal
untuk membunuh seorang saudara atau teman yang tidak beriman pada Islam, sehingga
dianggap musuh Allah. Namun perlu dibedakan antara gerakan ekstremisme dan
fundamentalis ini, gerakan fundamentalis lebih berorientasi pada pemurnian kembali
ajran-ajaran agama meski tidak menutup kemungkinan gerakan ini dipengaruhi oleh faktor
sosio-politik yang sedang terjadi. Sedangkan gerakan ekstreme lebih dikarenakan faktor
kefanatikan yang mana para anggotanya hanya menerima doktrin begitu saja tanpa
pengkajian setelahnya.

C. Pandangan islam terhadap isu Sekularisme, Radikalisme dan Fundamentalisme

- Sekularisme

Dalam Islam, sekularisme tidak dapat diterima karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Karena menurut pandangan Islam apabila sebuah urusan dipisahkan dari nilai-nilai
keagamaan maka urusan  itu akan bertabrakan dengan nilai-nilai yang terdapat pada
urusan yang lain. Misal kekuasaan yang tidak dilandasi dengan  nilai-nilai agama, maka
akan terjadi kezaliman yang seharusnya dilakukan sebagai seorang pemimpin untuk
menjunjung sebuah keadilan, hukum tidak berjalan sesuai dengan  kaidah agama, timbul
kerusuhan sosial, ekonomi terganggu, dan seterusnya.
Jadi, dari sudut pandang Islam banyak sekali kerugian yang akan ditimbulkan daripada
keuntungannya. Islam  memang menghargai paham yang dianut orang, bangsa, negara,
dan pemeluk agama lain. Namun Islam  mewanti-wanti orang agar tidak menyebarkan
paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Untuk tetap teguh beriman di tengah derasnya arus zaman sekularisme yang berpotensi
melemahkan keimanan adalah menyibukkan diri dengan membaca Kitab Suci Al-Qur’an
beserta terjemahannya, membaca hadits disertai maknanya, dan  menyibukkan diri dengan
menunaikan berbagai tugas ibadah keagamaan.

Dengan demikian kepercayaan senantiasa bertambah kokoh dan lebih dalam paham
mengenai ilmu ajaran Islam. Kita juga perlu bergaul dengan orang-orang sholeh kemudian
memperhatikan perilaku mereka dan meneladaninya. Mungkin dengan demikian kita tetap
dapat teguh pendirian terhadap apa yang kita anut. Karena jika dilihat dari segi ajaran
semua agama melarang berbuat atau berpaham sekularisme.

Namun dikarenakan personal/individunya tersebut memang memilih paham sekularisme


yang sesuai dengan hidupnya, maka itu tidak dipaksakan.

Kita perlu berpikir rasional berbasis nilai-nilai religius agama untuk menangkal
sekularisme. Kita manfaatkan hal-hal baik dari sekularisme untuk mengembangkan
karakter diri dan sikap iman kita yang semakin mendalam kepada Allah dan juga
membangun solidaritas dengan sesama manusia dan cinta alam lingkungan.

- Radikalisme

Islam sebagai agama yang fitrah mengajarkan amalan muamalah dan ibadah sesuai dengan
ketentuan dan ajaran kitab suci al-Qur’an. Dalam melaksanakan ibadah dan muamalah
dengan segala atributnya, Islam sering dijadikan sebagai agama yang membolehkan
perilaku kekerasan, padahal perilaku kekerasan hanya dapat dilakukan pada batasan tertent
yan tidak dapat ditolerir oleh prinisip agama. Islam dalam pandagan mahasiswa dijadikan
sebagai batas yang membatasi perilaku manusia dari anti kebebasan yang dikontraskan
dengan proyeksi barat yang menghalalkan kebebasan dinamisme, demokrasi, kesetaraan
dan rasionalitas. Sehingga kebanyakan mereka melakukan dekonstruksi terhadap kitab
suci agama Islam untuk menemukan kesalahan dari tekstual kitab suci itu sendiri.
Dekonstruksi kitab suci juga tidak terlepas dari Islam sebagai agama dan politik.
Sebagaimana pandangan Quintan dalam Book review Noerhadi Hasan bahwa Islam politik
sebenarnya merupakan gejala politik-keagamaanyang tak bisa dipisahkan dari konteks
power struggle. Di dalamnya terjadiperkawinan yang sempurna antara politik dan agama.
Motif-motifpolitik yang berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaannegara,
sebagai sistem yang mengatur semua aspek kehidupan,termasuk norma hukum, sosial-
budaya, sistem ekonomi, dan tatahubungan internasional, mendapatkan legitimasinya
dalam Bahasa Bahasa agama.

gerakan radikal di Indonesia sering diidentikkan dengan pemikiran dan pandangan suatu
agama, terutama Agama Islam. Sementara kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat
yang non-agama Islam sering tidak dianggap sebagai radikalisme, padahal kekerasan
menyamai kondisi lainnya seperti halnya pembakaran masjid di Papua. Hal ini
menyebabkan adanya prasangka yang kurang baik terhadap pemerintah yang memberikan
perlakuan tak seimbang antara Muslim dan non-Muslim. Kondisi lainnya bahwa Islam
dipandang sebagai pemicu gerakan radikal karena disebabkan oleh aliran jihadnya. Jihad
yang dalam pandangan kami sebuah keyakinan untuk melakukan kekerasan. Padahal pada
prakteknya Islam adalah agama yang rahmah, cinta damai, dan anti terhadap kekerasan.
Jadi peristiwa ini sebagai bagian dari kampanye orang-orang yang anti Islam terhadap
ajaran Islam itu sendiri. Kekerasan atas nama agama tidak dibenarkan. Tak terkecuali di
Indonesia – yang dikenal sebagai bangsa religius, santun dan ramah–praktek-praktek
kekerasan atas nama agama kerap terjadi. Peristiwa terakhir yang terjadi adalah tragedi di
Cikeusik Banten, Temanggung Jawa Tengah dan Penyerangan Pesantren Islam di
Pasuruan Jawa Timur serta aksi-aksi kekerasan berbasis agama lainnya 30 . Seperti yang
sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa kekerasan terjadi karena minimnya
pemahaman agama seseorang atau konsumsi bacaannya tentang jihad. Padahal Al-Qur’an
sebagai rujukan pertama umat Islam tidak mengalami perubahan secara tersurat atau
tersirat. Dari itu apapun ajaran tentang Islam berdsarkan Al-Qur’an adalah ajaran Allah
SWT. Sehingga Seruyan jihad sebagai perilaku yang kejam, jahat dan perusak tatanan
kehidupan bermasyarakat adalah hal yang tidak benar. Al-Qur’an yang dipandang sebagai
kitab suci umat Islam tidak lepas dari berbagai macam penafsiran. Kondisi teks
keagamaan Islam yang multi tafsir seakan-akan memberi peluang kepada siapa saja yang
mempunyai kepentingan untuk menafsirkan sesuai dengan nilai kepentingannya. Tentu
saja interpretasi teks keagamaan yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan mereka
masing-masing. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an sebagai alat untuk melegalkan aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
Teks dipasung untuk menggerakkan tindakan-tindakan kekerasan atas nama Tuhan.
Bahkan dengan hasil penafsiran yang sedemikian, sebagian kelompok semacam ini
kemudian bersedia mengorbankan apa saja atas nama agama dari harta sampai jiwa. Demi
agama pula manusia bersedia melakukan hal-hal yang irasional maupun hal-hal yang
dinilai tidak sehat menurut orang lain.

- Fundamentalisme

Dilihat dari substansinya, pandangan, sikap dan keyakinan keagamaan kaum fundamentalis tidak
keluar dari Islam. Mereka termasuk orang muslim dan mukmin yang taat, bahkan dapat dikatakan
bahwa mereka sangat berpegang teguh pada ajaran Islam serta ingin memperjuangkannya dengan
segala upaya dan kemampuan yang dimiliki agar ajaran Islam, yang mereka pahami dengan benar
dapat dilaksanakan oleh seluruh umat manusia tanpa kecuali. Dengan demikian, kehadiran
fundamentalisme tidak mesti direspon secara searah dan dengan pandangan negatif.

Menurut Machasin, orang dapat mengambil pelajaran berharga dari sikap dan kegiatan kaum
fundamentalis. Anggotaanggota mereka terlihat mempunyai kesetiaan yang kuat pada prinsip yang
dianut. Kesetiaan semacam itu sangat diperlukan dalam kehidupan ini. Apa yang dapat dilakukan
dalam mengubah keadaan yang tidak adil, tidak aman, tidak memberikan kemungkinan bagi setiap
warga masyarakat untuk berpartisipasi dan seterusnya kalau orang tidak setia kepada prinsip? Dalam
hal ini, semua itu hendaknya dijalankan dengan cara yang santun dan tidak menakutkan orang lain.

Dari militansi yang terlihat dalam kelompok fundamentalis, dapat diambil pelajaran mengenai
semangat kerja, dan kemauan untuk bekerja keras. Kemalasan dan kelemahan semangat merupakan
penyakit yang menimpa kaum muslimin negeri ini untuk waktu yang cukup lama. Fundamentalisme
mengajak manusia untuk berbuat, dan untuk tidak diam saja karena pilihan lainnya adalah
perubahan ke arah yang lebih buruk. Eksklusivitas kaum fundamentalis dapat dipakai untuk
membangun kerja tim dalam kehidupan masyarakat Islam. Ekslusivitas memang jelek dan kadang-
kadang menakutkan, namun pada kelompok-kelompok eksklusif seperti yang ditunjukkan
fundamentalisme Islam terlihat dengan jelas solidaritas sesama anggota. Sebagai sebuah kelompok,
mereka memiliki ikatan solidaritas yang cukup tinggi, kokoh, militan dan rela menerima resiko dari
sebuah perjuangan.
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang pluralis bukan hanya dari segi agama semata
namun dari adat istiadat, suku bangsa, ras bahkan budaya. Sebagai konsekuensi dari
penerimaannya terhadap agama-agama yang beragam, bangsa Indonesia, seperti yang
telah disinggung terdahulu, sesekali harus menghadapi perselisihan. Karenanya mereka
dituntut untuk terus menerus mencari upaya dalam menciptakan kerukunan dan harmoni
yang menjadi syarat persatuan bangsa. Kita dapat menilai bahwa sesungguhnya masalah-
masalah yang menyangkut hubungan antar umat beragama bukan problem yang terjadi
dengan sendirinya tetapi erat juga kaitannya dengan kondisi politik, sosial dan ekonomi.
Di Indonesia perbedaan agama merupakan salah satu keragaman bangsa. Karena agama
memiliki nilai-nilai yang sakral, maka agama dapat menguasai kesadaran dan emosi para
pemeluknya yang jika terusik maka akan melahirkan konflik yang jika tidak cepat diatasi
maka akan menimbulkan tindakan-tindakan radikalisme. Pemerintah di tuntut bersikap
netral dalam arti tidak memihak agama manapun. Oleh sebab itu, perlu secara berkala
mengadakan dialog dan musyawarah antarumat beragama, menetapkan peraturanperaturan
tentang hubungan antarumat beragama serta yang terpenting sebenarnya adalah dengan
memahami teks-teks agama bukan hanya interpretasi secara tekstual saja tetapi diperlukan
juga interpretasi kontekstual.

B. DAFTAR PUSTAKA

 .(https://republika.co.id/berita/8088/sekularisme)
 (https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-radikalisme.html)
 https://www.seputarpengetahuan.co.id/2021/07/fundamental-adalah.html

Anda mungkin juga menyukai