Anda di halaman 1dari 24

BERBAGAI ASPEK TENTANG KEWARISAN, WASIAT,

HIBAH, WAKAF, KURBAN, AQIQAH

DOSEN PENGAMPU :

H. PARMAN, S.Pd.I, M.Pd

Disusun oleh :

Kelompok VI

1.SILVIA MEILINA

2.TIKA ASNA MILENIA

3.TRI AYU RAHMA

4.WINDA MAULIDA

5.WIZA DZAKWAN BAFADHAL

6.YUSFRINI DESILVA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam
yang senantiasa memberikan kemudahan, kelancaran beserta limpahan Rahmat
dan Karunia-Nya yang tiada terhingga. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah memberikan suri tauladan bagi
kita semua.

Alhamdulillah berkat kehendak dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan


pembuatan makalah yang berjudul “”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu mata kuliah Agama di STIKES HI JAMBI.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya terutama
bagi penulis dan pembaca. Begitu pula makalah ini tidak luput dari kekurangan
dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat
membangun.

Jambi, 15 Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................


1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Warisan..............................................................................................

2.2 Pengertian Wasiat................................................................................................

2.2.1 Pembagian Wasiat............................................................................................

2.2.2 Hukum Wasiat..................................................................................................

2.3 Pengertian Hibah..................................................................................................

2.3.1 Rukun Hibah...................................................................................................

2.3.2 Hukum Hibah..................................................................................................

2.4 Pengertian Wakaf...............................................................................................

2.4.1 Dasar Hukum Wakaf.......................................................................................

2.4.2 Fungsi dan Tujuan Wakaf.................................................................................

2.4.3 Rukun dan Syarat Wakaf..................................................................................

2.5 Pengertian Qurban..............................................................................................

2.6 Pengertian Aqiqah.............................................................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................


3.2 Saran..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam adalah agama yang kompleks dan dinamis, segala hal semuanya sudah
diatur sedemikian rupa salah satu aturan dalam Islam tersebut termasuk dalam
ilmu fiqh muamalah. Di dalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan
masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara dan lain
sebagainya. Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut
urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan
Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, pada dasarnya hukum
muamalah mubah atau boleh selama tidak keluar dari koridor Al Quran dan Al-
Hadits.

1.2 Tujuan Pembelajaran


1. Mengetahui apa Warisan, Wasiat, Wakaf, Hibah, Qurban dan
Aqiqah
2. Mengetahui tentang Hukum dari Warisan, Wasiat, Wakaf,
Hibah, Qurban, dan Aqiqah
3. Dapat Menerapkan dengan baik di kehidupan
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Warisan
Warisan merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Dalam KBBI,warisan
dapat diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan,seperti nama baik,harta,dan
harta pusaka.1Sedangkan warisan dalam bahasa Arab yang akar katanya
terdiri huruf wa – ra – tsaa bermakna pusaka atau warisan,yaitu sesuatu yang
menjadi milik seseorang atau kelompok kemudian menjadi milik orang lain
karena keturunan atau sebab lain.
Menurut al-Manawi,warisan atau waratsah adalah perpindahan kepemilikan
harta terhadap seseorang tanpa ada transaksi atau sejenisnya.Oleh karena
itu,perpindahan kepemilikan harta dari orang yang telah meninggal disebut
waratsah.Sebagian berpendapat bahwa seseorang yang medapatkan suatu
barang tanpa susah payah disebut warisan.Namun warisan sebenarnya adalah
seseorang yang mendapatkan barang tertentu tanpa mempunyai konsekuensi
atau tanggung jawab dan pemeriksaan.
Ahli waris adalah orang yang berhak untuk menguasai atau menerima
harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan atau ikatan
pernikahan. Antara ahli waris yang satu dengan lainnya ternyata mempunyai
perbedaan derajat dan urutan sebagaimana yang telah di atur, misalnya :
1. Ashab al-Furud. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta
warisan. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan dalam Al
Quran,hadis dan ijma.
2. Ashab al-Nasabiyah,yaitu setiap kerabat pewaris yang menerima sisa
harta warisan yang telah dibagikan. Misalnya anak laki-laki pewaris,cucu dari
anak laki-laki pewaris,saudara kandung pewaris dan seterusnya.
3. Penambahan dari Ashab al-Furud sesuai bagian/ aul (kecuali suami istri)
4. Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat disini adalah
kerabat pewaris yang masih memiliki ikatan rahim,tetapi tidak termasuk ashab
al-furud dan ashabah
5. Tambahan hak waris dari suami atau istri,bila pewaris tidak mempunyai
ahli waris yang termasuk ashab al-furud dan ashabah
6. Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para ashabah karena sebeb ialah
orang-orang yang memerdekakan budak
7. Orang yang diberi wasiat tidak lebih dari sepertiga harta pewaris
8. Bait al-mal (kas negara).4
Untuk lebih jelasnya, diuraikan tentang siapa yang berhak mendapat
warisan,baik dari laki-laki maupun dari perempuan.
Dari Pihak Laki Laki Dari perempuan
Anak laki laki Anak perempuan
Cucu laki laki Cucu perempuan dari anak laki laki
Bapak Ibu
Kakek dari pihak bapak Nenek dari ibu
Saudara laki laki sekandung Nenek dari bapak
Saudara laki laki sebapak Nenek ibunya kakek
Saudara laki laki seibu Saudari sekandung
Anak laki laki dari saudara laki Saudari sebapak
sekandung
Anak laki laki dari saudara laki Saudari seibu
sebapak
Suami Isteri
Paman sekandung Wanita yang memerdekakan seks
Paman sebapak
Anak dari paman laki laki sekandung
Anak dari paman laki laki sebapak
Laki laki yang memerdekakan seks

Sementara ashab al-furud yang berhak mendapat setengah (al nishf)


ada lima orang yaitu satu dari golongan laki-laki dan empat dari golongan
perempuan,yaitu suami,anak perempuan,cucu perempuan keturunan anak laki-
laki,saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah.
Ashab al-furud yang berhak mendapat seperempat (al rubu’) ada dua
yaitu suami dan istri. Untuk ashab al furud yang berhak mendapat
seperdelapan (al tsumun) hanyalah istri. Istri baik seorang atau lebih akan
mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan harta suaminya,bila suami
mempunyai anak atau cucu,baik anak tersebut lahir dalam rahimnya maupun
rahim yang lain, sebagaimana dalam QS an Nisa : 12
Ashab al furud yang mendapat bagian duapertiga (al tsulutsain) ada 4
dan semuanya terdiri dari perempuan,yaitu anak kandung perempuan,cucu
perempuan keturunan anak laki-laki,saudara kandung perempuan dan saudara
perempuan seayah. Ashab al furud yang mendapat bagian sepertiga (al tsuluts)
hanya 2,yaitu ibu dan dua orang saudara yang seibu. Seorang ibu berhak
mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat :
1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan laki-
laki
2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih,baik saudara
kandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah dalam QS
an Nisa : 11
Ashab al furud yang mendapatkan bagian seperenan (al sudus) ada tujuh
orang. Mereka adalah ayah,kakek (bapak dari ayah),ibu,cucu perempuan
keturunan laki-laki,saudara perempuan seayah, nenek dan saudara laki-laki
dan perempuan seibu.6
Istilah Ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.
Disebutkan demikian,dikarenakan mereka menguatkan dan melindungi.
Pengertian ashabah menurut istilah para ahli Fiqh adalah ahli waris yang tidak
disebutkan banyaknya bagian di dalam al Quran dan Hadis. Hanya saja terbagi
atas dua bagian yaitu ashabah nashabiah (karena nasab) ashabah sababiyah
(karena sebab). Jenis ashabah yang kedua disebabkan memrdekakan budak
apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
1. Ashabah bi al nafsih,yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak
tercampuri kaum perempuan. Ashabah semacam ini mencakup empat arah
yaitu arah anak yang meliputi seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai
cucu,cicit dan seterusnya,arah bapak yang meliputi ayah, kakek dan
seterusnya,yang pasti hanya dari pihak laki-laki,misalnya ayah dari
bapak,ayah dari kakek dan seterusnya,arah saudara laki-laki,mencakup
saudara kandung laki-laki,saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan
saudara kandung laki-laki,anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah
dan seterusnya,dan arah paman,mencakupi paman (saudara laki-laki ayah)
kandung maupun seayah,termasuk keturunan mereka dan seterusnya.
2. Ashabah bi al gair yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena
sama-sama ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Ashabah bi al gair
hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya
perempuan,yaitu anak perempuan,akan menjadi ashabah bila bersamaan
dengan saudara laki-lakinya,cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan
menjadi ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-
laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki baik sederajat
dengannya atau bahkan dibawahnya,saudara kandung perempuan akan
menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara kandung laki-laki,dan
saudara perempuan seayah akan menjadi ashabah bila bersamaan dengan
saudara laki-lakinya,dan pembagiannya,bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan.
3. Ashabah ma al gair adalah ahli waris yang menerima bagian ashabah
kerena persamaan bagian ahli waris lain yang bukan penerima bagian ashabah.
Yang termasuk bagian ashabah ma al gair adalah saudara perempuan
sekandung,saudara perempuan seayah yaitu anak perempuan mendapat
setengan (1/2),cucu perempuan dari garis laki-laki mendpat seperenam (1/6)
dan dua perempuan seayah jadi ashabah.
Namun dalam warisan dikenal istilah hijab, yaitu penghapusan hak waris
seseorang,baik penghapusan sama sekali maupun pengurangan harta warisan
karena ada ahli waris yang lebih dekat. Adapun macam-macam hijab ada
dua,yakni hijab hirman adalah penghalang yang menggugurkan seluruh hak
waris seseorang,dan hijab nuqshan adalah penghalangan terhadap hak waris
seseorang untuk memdapatkan bagian yang terbanyak. Adapun ahli waris
yang tidak akan terhalang meskipun semua ahli waris ada adalah suami atau
istri,anak laki-laki dan perempuan serta ayah dan ibu. Secara rincih berikut
uraian siapa terhalang dan oleh siapa.

1. Kakek akan terhalang oleh keberadaan ayah


2. Nenek terhalang oleh ayah dan ibu
3. Cucu terhalang oleh anak laki-laki
4. Saudara laki-laki kandung terhalang oleh anak laki-laki dan cucu laki-
laki serta ayah.

2.2 Pengertian Wasiat


Kata wasiat diambil dari kata washshaitu asysyai,uushiihi, artinya aku
menyampaikan sesuatu. Maka orang yang berwasiat adalah orang yang
menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia
mati.Dalam istilah syara’,wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang
lain baik berupa barang,piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang
yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal.Sebagian fuqaha
mendefinisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal.Wasiat itu disyariatkan
melalui al Qur’an,sunnah dan ijma.Di dalam al Qur’an Allah swt berfirman :
“ diwajibkan atas kamu,apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda-
tanda maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak,berwasiat untuk ibu
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, ini adalah kewajiban atas orang-
orang yang bertaqwa” (QS An Nisa : 11)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim,dari
ibnu Umar r.a,dia berkata “telah bersabda rasulullah saw: “Hak bagi seorang
muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan,sesudah bermalam
selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal
kebajikannya”.Ibnu Umar berkata: tidak berlaku bagiku satu malampun sejak
aku mendengar Rasulullah saw mengucapkan hadis itu kecuali wasiatku selalu
berada disisiku.”
Makna hadis diatas ialah bahwa yang demikian ini (wasiat yang
tertulis dan selalu berada disisi orang yang berwasiat) merupakan suatu kehati-
hatian,sebab kemungkinan orang yang berwasiat itu mati secara tiba-tiba.
PEMBAGIAN WASIAT
Wasiat terbagi atas dua,pertama,wasiat kepada orang untuk melakukan
melakukan suatu hal, semisal membayarkan hutang,memulangkan pinjaman
dan titipan,merawat anak yang ditinggalkan. Kedua,wasiat dalam bentuk harta
agar diberikan kepada pihak tertentu dan pemberian ini dilakukan setelah
pemberi wasiat meninggal dunia.
HUKUM WASIAT
1). Wasiat yang dihukumkan wajib
Wasiat wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban
syara’ yang di khawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat,seperti
adanya titipin,hutan kepada Allah dan hutang kepada manusia.Misalnya dia
mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan,atau haji yang belum
dilaksanakan,atau dia mempunyai amanat yang harus disampaikan,atau dia
mempunyai hutang yang tidak diketahui selain dirinya,atau dia mempunyai
titipan yang dipersaksikan
2). Wasiat yang dihukumkan sunnat
Wasiat itu disunnatkan bila ia diperuntukkan bagi kebajikan,karib
kerabat,orang-orang fakir dan orang-orang shaleh.
3). Wasiat yang dihukumkan haram
Wasiat itu diharamkan apabila ia merugikan,seperti berwasiat untuk
mendirikan tempat perjudian dan sebagainya. “ Telah diriwayatkan oleh
Abdulrazaq,dari Abu Hurairah r.a,dia berkata: telah bersabda Rasulullah saw
“sesungguhnya seorang lelaki itu benar-benar beramal dengan amal ahli
kebaikan selama tujuh puluh tahun. Akan tetapi,ketika dia berwasiat,dia
curang dalam wasiatnya,maka diakhirilah amal kebaikannya dengan amalan
yang buruk ini,lalu dia masuk neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki itu
benar-benar beramal dengan amal ahli keburukan selama tujuh puluh
tahun,akan tetapi dia adil dalam wasiatnya,maka diakhirilah amalnya yang
buruk itu dengan amalnya yang baik, maka dia masuk surga”. Berkata Abu
Hurairah: bila kamu mau maka bacalah “itulah hukum-hukum Allah,maka
janganlah kamu melanggarnya”.
4). Wasiat yang dihukumkan makruh
Wasiat itu makruh,bila orang yang berwasiat sedikit hartanya,sedang
dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya.
Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang-orang yang fasik jika
diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan menggunakan harta
itu di dalam kefasikan dan kerusakan. Akan tetapi apabila orang yang
berwasiat tahu atau menduga keras bahwa orang yang diberi wasiat akan
menggunakan harta itu untuk ketaatan,maka wasiat yang demikian ini menjadi
sunnah.
5). Wasiat di hukumkan jaiz
Wasiat itu diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang
kaya,baik itu yang diwasiati adalah kerabat ataupun orang yang jauh.

2.3 Pengertian Hibah


Pengertian hibah menurut terminologi syariat Islam adalah akad yang
menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan
dilakukan secara sukarela. Sedangkan menurut ulama Hanabilah, hibah adalah
memberikan kepemilikan atas barang yang dapat di tasharufkan berupa harta
yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk
mengetahuinya,berwujud,dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban,ketika
masih hidup,tanpa adanya pengganti,yang dapat di ketegorikan sebagai hibah
menurut adat dengan lafazh atau tamlik (menjadikan milik).
RUKUN HIBAH
Menurut ulama hanafiyah,rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab
keduanya termasuk akad seperti halnya jual beli. Dalam kitab al
Mabsuth,merena menambahkan dengan qadbhu (pemegangan/
penerimaan).Alasannya,dalam hibah harus ada ketetapan dalam
kepemilikan.Sebagian ulama hanafiyah berpendapat bahwa qabul dari
penerima hibah bukanlah rukun. Dengan demikian,dicukupkan dengan adanya
ijab dari pemberi.Hal hibah menurut bahasa sekadar pemberian.Selain
itu,qabul hanyalah dampak dari adanya hibah,yakni pemindahan hak milik.
Menurut jumhur ulama,rukun hibah ada 4 :
1). Wahib (pemberi)
Wahib adalah pemberi hibah,yang menghibahkan barang miliknya.
Jumhur ulama berpendapat, jika orang yang sakit memberikan
hibah,kemudian ia meninggal,maka hibah yang dikeluarkan adalah sepertiga
dari harta peninggalan (tirkah)
2). Mauhub lah (penerima)
Penerima hibah adalah seluruh manusia.Ulama sepakat bahwa
seseorang dibolehkan menghibahkan seluruh harta.
3). Mauhub adalah barang yang dihibahkan
4). Shigat (ijab dan kabul)
Syarat hibah
Syarat hibah berkaitan dengan syarat wahib dan maudhub. Ulama
hanabilah menetapkan 11 syarat;

1) Hibah dari harta yang boleh di tasharufkan


2) Terpilih dan sungguh-sungguh
3) Harta yang diperjual belikan
4) Tanpa adanya pengganti
5) Orang yang sah memilikinya
6) Sah menerimanya
7) Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu
8) Menyempurnakan pemberian
9) Tidak disertai syarat waktu
10) Pemberi sudah dipandang mampu tasharuf (merdeka,mukallaf,dan rasyid)
11) Mauhub harus berupa harta yang khusus dikeluarkan
Syarat wahib (pemberi hadiah) :wahib di syariatkan harus ahli tabarru
(derma),yaitu beraka,baligh dan rasyid (pintar).
Syarat mauhub (barang)

1) Harus ada waktu hibah


2) Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat
3) Milik sendiri
4) Menyendiri
5) Mauhub terpisah dari yang lain
6) Mauhub telah diterima atau dipegang oleh penerima
7) Penerima memegang hibah atas seizin wahib

HUKUM HIBAH

a). hukum hibah

Dasar dari ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan


bagi mauhublah (penerimah hibah) tanpa adanya pengganti
b). Sifat hukum hibah.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah
adalah tidak lazim. Dengan demikian,dapat dibatalkan oleh pemberi
sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah,dari Abu Hurairah: “pemberi
hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti”
(HR ibnu Majah dan Daruquthni).
Dengan demikian,dibolehkan mengembalikan barang yang telah
dihibahkan.Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu termasuk
menghinah si pemberi hadiah. Selain itu,yang diberi hibah harus rida.Hal ini
diibaratkan adanya cacat dalam dalam jual beli setelah barang dipegang
pembeli.
Ulama hanafiyah berpendapat ada 6 perkara yang melarang wahib
mengembalikan barang yang telah dihibahkan,yaitu
1). Penerima memberikan ganti
a) Pengganti yang disyariatkan dalam akad. Ulama
malikiyah,hanabilah,dan syafi’iyah menganggap hibah seperti ini sebagai jual
beli dan bukan hibah
b) Pengganti yang di akhirkan
2). Penerima maknawi
a) Pahala dari Allah. Sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi
b) Pemberian dalam rangka silaturahmi
c) Pemberian dalam hubungan suami istri
3). Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari
pekerjaan mauhublah
4). Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah,seperti di jual
kepada orang lain
5). Salah seorang yang akad meninggal
6). Barang yang di hibahkan rusak
Ulama malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan,jika
sudah dipegang,tidak boleh dikembalikan,kecuali pemberian orang tua kepada
anaknya yang masih kecil,jika belum bercampur dengan hak orang lain,seperti
nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang.13
Ulama hanabilah dan syafi’iyah berpendapat bahwa hibah tidak dapat
dikembalikan,kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah saw
bersabda:
“orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang
mengembalikan muntahnya”

2.4 Pengertian Wakaf


Wakaf diambil dari kata waqafa. Menurut bahasa berarti menahan atau
berhenti. Dalam hukum Islam,wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik
yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf),baik
berupa perseorangan maupun badan pengelola dengan ketentuan bhawa hasil
atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat Islam.
DASAR HUKUM WAKAF
Sumber hukum wakaf terdapat dalam surat al Imran ayat 92 yang
artinya : “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna),sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nefkahkan,maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Allah telah mensyariatkan wakaf,menganjurkan dan menjadikannya
sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Orang-orang
jahiliyah tidak mengenal wakaf,akan tetapi wakaf itu diciptakan dan diserukan
oleh Rasulullah karena kecintaan beliau kepada orang-orang fakir dan orang-
orang yang membutuhkan.
FUNGSI DAN TUJUAN WAKAF
Adapun fungsi wakaf adalah:
a) Sebagai wadah guna menggalang tabungan sosial dan
mentransformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu
mengembangkan pasar modal sosial
b) Sebagai wadah guna mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial
Menurut pasal 216 dalam Kompilasi Hukum Islam,fungsi wakaf adalah untuk
mengekalkan manfaat benda wakaf tersebut sesuai dengan tujuan wakaf.15
Adapun tujuan wakaf adalah:
a) Menciptakan kesadaran di antara orang-orang kaya atau berkecukupan
menggali tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat di sekitarnya
seperti menyisihkan sebagian keuntungan dari nafkah harta kepada fakir
miskin dan kaum dhuafa
b) Menciptakan integritas antara keamanan sosial dan kedamaian sosial
serta meningkatkan kesejahteraan sosial
RUKUN DAN SYARAT WAKAF
Dalam wakaf terdapar 4 rukun,yaitu
1) Al Wakif atau orang yang melakukan wakaf,hendaklah dalam keadaan
sehat rohaninya dan tidak dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan dimana
jiwanya tertekan.
2) Al Mauquf atau harta benda yang akan diwakafkan,harusjelas wujudnya
atau zatnya dan bersifat abadi. Artinya,bahwa harta itu tidak habis sekali pakai
dan dapat diambil manfaatnya untuk jangka waktu yang lama
3) Al Mauquf alaih atau sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat
wakaf,dapat dibagi menjadi 2 macam: wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf
khairy adalah wakaf dimana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya
untuk pihak tertentu tetapi untuk kepentingan umum. Wakaf dzurry adalah
wakaf dimana wakifnya membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu
yaitu keluarga keturunannya.
4) Sighah atau pernyataan pemberian wakaf,baik lafadz,tulisan maupun
isyarat.
Untuk barang yang di wakafkan ditentukan beberapa syarat.16
1) Barang itu tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya.
2) Kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya
dengan orang lainpun boleh diwakafkan.
3) Bukan barang haram atau najis.
Beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
wakaf:
a) Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan kepentingan agama
Islam. Oleh karena itu, mewakafkan rumah untuk dijadikan tempat ibadah
agama lain tidak sah. Tetapi kalau misalnya mewakafkan tanah untuk
dijadikan jalanan umum yang akan dilalui oleh orang Islam dan non Islam
tidak mengapa.
b) Jangan memberikan batas waktu tertentu dalam pewakafan karena itu
tidak sah kalau seseorang mengatakan “saya wakafkan kebun ini selama satu
tahun”
c) Tidak mewakafkan barang yang semata-mata menjadi larangan Allah
yang menimbulkan fitnah.
d) Kalau barang diberikan melalui wasiat,yaitu baru terlaksana setelah si
wakif meninggal dunia,maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan tidak
boleh lebih sepertiga bagian jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.
Bila orang yang berwakaf mati,maka wakaf tidak diwariskan,sebab yang
demikian inilah yang dikehendaki oleh wakaf,dan karena ucapan Rasulullah
saw seperti yang disebutkan dalam hadits ibnu Umar: “ tidak dijual,tidak di
hibahkan dan tidak diwariskan”
Adapun yang sah diwakafkan ialah tanah,perabot yang bisa
dipindahkan,mushhaf,kitab,senjata dan binatang. Dan tidak sah mewakafkan
apa yang rusak dengan dimanfaaatkannya seperti uang,lilin,
makanan,minuman,dll. Karena ia cepat rusak .

2.5 Pengertian Qurban

Ibadah qurban memiliki hukun sunnah muakad yang artinya sunnah yang
sangat dianjurkan. Untuk itu bagi mereka yang mampu sangat dianjurkan
untuk berqurban dan memberikan sebagian hartanya untuk ibadah qurban.
Namun bagi mereka yang tidak mampu dan belum bisa untuk berqurban tentu
tidak lah menjadi berdosa.

Di sisi lain menurut ulama mahzab Imam Hanafi, Ibadah Qurban bisa
berhukum wajib bagi mereka yang mampu. Hal ini didasari dengan hadist
berikut, “Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban,
janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al
Hakim).

Selain itu, pahala bagi yang berkurban juga tentunya sangat besar, apalagi
merupakan ibadah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. “Zaid bin Arqam
bertanya kepada Rasulullah saw.“Apakah yang kita peroleh dari berqurban?
“Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya pada setiap bulu yang menempel di
kulitnya terdapat kebaikan.”(HR Ahmad dan Ibnu Majah)ibadha
Adapun fungsi dari Ibadah Qurban adalah:
Menjadikan bentuk bukti dan realisasi dari Ketaqwaan kita terhadap Allah
Mendekatkan kepada Allah SWT dengan ibadah
Mengenang dan kilas balik sejarah Nabi Ibrahim dan Putranya, Nabi Ismail
Untuk Ibadah yang dikurbankan tentu bisa bermacam-macam seperti unta,
sapi,dan kambing. Hewan yang berkelamin jantan lebih diutamakan
ketimbang hewan betina.
Syarat-Syarat Penyembelihan Hewan Qurban
Hewan qurban maka hendaknya dilpilih dengan binatang yang baik.
Rasulullah mengutamakan hewan jika kambing, adalah yang besar, gemuk,
dan bertanduk. Sedangkan pemilihan hewan tidaklah boleh hewan yang cacat
misalnya hewan yang buta, hewan yang sakit, pincang, kurus atau tidak
berdaging. Tentu hewan seperti itu tidak layak nantinya untuk dikonsumsi
bagi manusia. Terkait usia hewan yang akan disembelih minimal 5 tahun
untuk Unta, 1 tahun untuk kambing, dan 2 tahun untuk sapi.

Untuk hewan kambing maka ia telah merepresentasikan satu orang peng-


qurban, dan jika untuk sapi atau kerbau maka untuk 7 orang peng-qurban.
Seangkan untuk unta bisa untuk 10 orang. Tekait waktu penyembelihan maka
dilakukan pada saat Idul Adha selepas shalat ied dilaksanakan, sampai tanggal
13 djulhidjah yaitu saat hari-hari tasyrik.
Adapun syarat orang yang akan menyembelih, adalah:
1. Diutamakan disembelih oleh orang yang berqurban (shahibul qurban)
2. Boleh juga shahibul qurban menyaksikan saja tanpa harus ikut
menyembelih
3. Pelaksanaan penyembelihan diutamakan oleh seorang laki-laki ataupun
perempuan, namun yang muslim dan sudah baligh
Terkait adab penyembelihannya adalah sebagai berikut:
1. Penyembelihan menggunakan alat yang tajam dan dapat langsung
mengalirkan darah
2. Penyembelihan tidak boleh menggunakan gigi atau kuku
3. Pemotongan dilakukan pada urat nadi yang berada di leher, tenggorokan,
atau kerongkorongan agar hewan cepat mati, tidak tersiksa
4. Penyembelihan hewan hendaknya dihadapkankepada kiblat sambil
membaca basmalah dan takbir
5. Pada situasi terent yang membuat hewan menjadi liar atau bersembunyi
dipebrolehkan untuk menggunakan benda tajam yan langsung mematikan
Setelah pelaksanaan penyembelihan maka dapat dilakukan pembagian qurban.
Daging kurban dapat dibagikan untuk penyembelih qurban atau pengqurban
atau shahibul qurban, fakir miskin, sahabat atau kolega dari shahibul qurban.
Daging kurban hasil penyembelihan tidak boleh digunakan untuk upah baik
untuk pemotong ataupun amil-nya. Bagian kulit, kepala, atau apapun dari
tubuh hewan tidak boleh dijadikan sebagai upah, maka lebih baik diberikan
upah dari harta yang lain di luar hal tersebut.

Pembagian hewan qurban juga lebih baik dibagikan dalam keadaan mentah
atau belum dimasak, dan pembagian ini tidak dilarang untuk dibagikan kepada
non muslim.

2.6 Pengertian Aqiqah


Aqiqah hampir sama pelaksanaannya sebagaimana kurban. Yang menjadi
perbedaan aqiqah adalah sembelihan untuk bayi yang baru dilahirkan sebagai
bentuk kesyukuran akan nikmat dan karunia dari Allah SWT. Aqiqah sendiri
menurut Imam Syafii dan Hambali adalah sunnah muakad, yaitu yang
dianjurkan. Hal ini sebagaimana dalam hadist Rasul,

“Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh


(dari kelahirannya)”. (HR Tirmidzi)

Pelaksanaan aqiqah menurut Imam Malik adalah, “Pada dzohirnya bahwa


keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya
menyembelih pada hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau
setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah
memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah Swt.: “Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
(QS Al Baqarah : 185)

Untuk pelaksanaan aqiqah berbeda dengan qurban, bahwa lebih baik daging
aqiqah dibagikan dalam kondisi yang sudah dimasak, sebagaimana hadist
Rasulullah SAW.
“Sunahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing
untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu
dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh.” (HR
Baihaqi)

Untuk bayi laki-laki maka disunnahkan sebanyak dua ekor kambing


sedangkan untuk perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini juga
disampaikan Rasulullah SAW, “Bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang
sama, sedangkan bagi anak perempuan satu ekor kambing.” (HR Tirmidzi
dan Ahmad)
Doa ketika menyembelih hewan aqiqah adalah sebagai berikut:
Bismillah, Allahumma taqobbal min muhammadin, wa aali muhammadin, wa
min ummati muhammadin. Dengan nama Allah, ya Allah terimalah (kurban)
dari Muhammad dan keluarga Muhammad serta dari umat Muhammad.”(HR
Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)

Pelaksanaan ibadah lainnya yang dianjurkan oleh Rasulullah tentunya ada


sangat banyak. Sunnah rasul lainnya yang dicontohkan oleh Rasullah,
contohnya adalah :
Shalat Taubat, Shalat Lailatul Qadar , Shalat Tarawih bagi Wanita ,Keutamaan
Shalat Witir, Shalat Idul Fitri , Keutamaan Shalat Hajat ,Sholat Tasbih,
Keutamaan Shalat Dhuha yang Luar Biasa, Cara makan Rasulullah , Cara
mandi dalam Islam , Macam -macam shalat sunnah , Adab ziarah kubur ,
Adab ziarah kubur sesuai Sunnah, dsb. Ibadah-ibadah tersebut dapat
dilaksanakan, sebagaimana sunnah Rasul dalam melaksanakan Ibadah Qurban
dan Aqiqah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu
tetap ada
2. Hibah secara istilah adalah, atau akad kepemilikan yang
dimiliki pemberi hibah, pada saat ia hidup, kepada
pihak yang diberikan hibah tanpa adanya pergantian.
Maka hibah adalah akad sukarela yang sama sekali tak
ada penggantinya
3. Wasiat ialah penyerahan hak atas harta tertentu dari
seseorang kepada orang lain secara sukarela yang
pelaksanaanya ditangguhkan hingga pemilik harta
meninggal dunia.
4. Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang
yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih
hidup
5. Perbedaan antara wakaf, hibah, wasiat, dan waria
terletak pada waktu akad, waktu penyerahan hartanya,
penerima harta, dan nilai hartanya.
6. Perbedaan antara aqiqah dan Qurban ialah aqiqah
dilaksanakan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk
rasa syukur sedangkan Qurban adalah bentuk ibadah
yang dilaksanakan dalam rangka mendekatkan diri pada
allah dengan meneladani pengorbanan nabi ibrahim as
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramulyo, M. Idris, 2000, Perbandingan Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undanag-Undang
Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika
2. Departemen Agama RI, 2007, Fiqih Wakaf, Jakarta

3. Abdul Fatah Idris, dkk, Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004.
4. Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia,
2009
5. Chairuman dan Surahwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
Jakarta, Sinar Grafika, 1994.
6. M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, cet. 6, Jakarta, PT. Bulan
Bintang, 1996.

Anda mungkin juga menyukai