Anda di halaman 1dari 19

Makalah Berbagai Aspek Tentang Kewarisan, Wasiat Hibah, Wakaf,

Qurban, Aqiqah
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama

Dosen Pengampu

H. Parman, S.PdI., M.Pd

Disusun Oleh :

1. Rahmanisa NIM :2113201001


2. Dwi setianingsih NIM :2113201005

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN IBU JAMBI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya sehingga
kami dapat merampungkan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula kami
kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama yang berjudul
“Berbagai aspek tentang Kewarisan, Wasiat Hibah, Wakaf, Kurban, Aqiqah ”. Dalam makalah
ini kami juga menguraikan dasar-dasar pengetahuan tentang Kewarisan, Wasiat Hibah, Wakaf,
Kurban, dan Aqiqah.

Dalam penulisan makalah ini kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat berbagai
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran maupun kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………........

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………........

A. LATAR BELAKANG………………………………………………………………………..
B. RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………………….
C. TUJUAN………………………………………………………………………………............

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………….

A. Pengertian Warisan…………………………………………………………………………….
B. Pengertian Wasiat……………………………………………………………………………..
1. Pembagian Wasiat…………………………………………………………………………
2. Hukum Wasiat…………………………………………………………………………….
C. Pengertian Hibah………………………………………………………………………………
1. Rukun Hibah……………………………………………………………………………….
2. Hukum Hibah……………………………………………………………………………...
D. Pengertian Wakaf……………………………………………………………………………...
1. Dasar Hukum Wakaf………………………………………………………………………
2. Fungsi dan Tujuan Wakaf…………………………………………………………………
3. Rukun dan Syarat Wakaf……………………………………………………………….....
E. Pengertian Qurban……………………………………………………………………………..
F. Pengertian Aqiqah……………………………………………………………………………...

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………..

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam adalah agama yang kompleks dan dinamis, segala hal semuanya sudah diatur
sedemikian rupa salah satu aturan dalam Islam tersebut termasuk dalam ilmu fiqih muamalah. Di
dalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial
kemasyarakatan, politik bernegara dan lain sebagainya. Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-
hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara
manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, pada dasarnya hukum
muamalah mubah atau boleh selama tidak keluar dari koridor Al Qur’an dan Al Hadits.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Waris dan bagaimana hukumnya ?
2. Apa itu Wasiat dan bagaimana hukumnya ?
3. Apa itu Hibah dan bagaimana hukumnya ?
4. Apa itu Wakaf dan bagaimana hukumnya ?
5. Bagaimana tata cara pelaksanaan kurban ?
6. Bagaimana tata cara pelaksanaan Aqiqah ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui apa Warisan, Wasiat, Wakaf, Hibah, Kurban, dan Aqiqah.
2. Mengetahui tentang Hukum dari Warisan, Wasiat, Wakaf, Hibah, Kurban, dan Aqiqah.
3. Dapat menerapkan dengan baik di kehidupan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Warisan

Warisan merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Dalam KBBI, warisan dapat diartikan
sebagai sesuatu yang diwariskan, seperti nama baik, harta, dan harta pustaka. Sedangkan warisan
dalam bahasa Arab yang akar katanya terdiri huruf wa-ra-tsaa bermakna pusaka atau warisan,
yaitu sesuatu yang menjadi milik seseorang atau kelompok kemudian menjadi milik orang lain
karena keturunan atau sebab lain.

Menurut Al-Manawi, warisan atau waratsah adalah perpindahan kepemilikan harta terhadap
seseorang tanpa ada transaksi atau sejenisnya. Oleh karena itu, perpindahan kepemilikan harta
dari orang yang telah meninggal disebut waratsah. Sebagian berpendapat bahwa seseorang yang
mendapatkan suatu barang tanpa susah payah disebut warisan. Namun warisan sebenarnya
adalah seseorang yang mendapatkan barang tertentu tanpa mempunyai konsekuensi atau
tanggung jawab dan pemeriksaan.

Ahli waris adalah orang yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan atau ikatan pernikahan. Antara ahli waris yang
satu dengan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan sebagaimana yang telah
di atur, misalnya :

1. Ashab Al-Furud. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah
orang-orang yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an, hadits, dan ijma.
2. Ashab Al-Nasabiyah, yaitu setiap kerabat pewaris yang menerima sisa harta warisan yang
telah dibagikan. Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara
kandung pewaris dan seterusnya.
3. Penambahan dari Ashab Al-Furud sesuai bagian/aul (kecuali suami istri).
4. Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat disini adalah kerabat pewaris yang
masih memiliki ikatan rahim, tetapi tidak termasuk ashab Al-Furud dan ashabah.
5. Tambahan hak waris dari suami atau istri, bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang
termasuk Ashab Al-Furud dan Ashabah.
6. Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para ashabah karena sebab ialah orang-orang yang
memerdekakan budak.
7. Orang yang diberi wasiat tidak lebih dari sepertiga harta pewaris.
8. Bait al-mal (kas negara).

Untuk lebih jelasnya, diuraikan tentang siapa yang berhak mendapat warisan, baik dari laki-laki
maupun dari perempuan.
Dari pihak Laki Laki Dari pihak Perempuan
Anak laki laki Anak perempuan
Cucu laki laki Cucu perempuan dari anak laki laki
Bapak Ibu
Kakek dari pihak bapak Nenek dari ibu
Saudara laki laki sekandung Nenek dari bapak
Saudara laki laki sebapak Nenek ibunya kakek
Saudara laki laki seibu Saudari sekandung
Anak laki laki dari saudara laki sekandung Saudari sebapak
Anak laki laki dari saudara laki sebapak Saudari seibu
Suami Isteri
Paman sekandung Wanita yang memerdekakan seks
Paman sebapak
Anak dari paman laki laki sekandung
Anak dari paman laki laki sebapak
Laki laki yang memerdekakan seks

Sementara ashab al-furud yang berhak mendapat setengah (al nishf) ada lima orang yaitu
satu dari golongan laki-laki dan empat dari golongan perempuan, yaitu suami, anak perempuan,
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan
seayah.

Ashab al-furud yang berhak mendapat seperempat (al rubu) ada dua yaitu suami dan istri.
Untuk ashab al-furud yang berhak mendapat seperdelapan (al tsumun) hanyalah istri. Istri baik
seorang atau lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan harta suaminya, bila
suami mempunyai anak atau cucu, baik akan tersebut lahir dalam rahimnya maupun rahim yang
lain, sebagaimana dalam QS an Nisa: 12.

Ashab al furud yang mendapat bagian duapertiga (al tsulutsain) ada 4 dan semuanya
terdiri dari perempuan, yaitu anak kandung perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki
laki, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Ashab al furud yang mendapat
bagian sepertiga (al tsuluts) hanya 2 yaitu, ibu dan dua orang saudara yang seibu. Seorang ibu
berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat :

1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki laki dari keturunan laki laki.
2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara kandung atau
seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah dalam QS an Nisa: 11
Ashab al furud yang mendapatkan bagian seperenam (al sudus) ada tujuh orang. Mereka
adalah ayah, kakek (bapak dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan laki laki, saudara
perempuan seayah, nenek dan saudara laki laki dan perempuan seibu.

Istilah Ashabah dalam bahasa arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebutkan
demikian, dikarenakan mereka menguatkan dan melindungi. Pengertian Ashabah menurut istilah
para ahli fiqih adalah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al Qur’an dan
Hadits. Hanya saja terbagi atas dua bagian yaitu ashabah nashabiah (karena nasab) ashabah
sababiyah (karena sebab). Jenis ashabah yang kedua disebabkan memerdekakan budak apabila
budak tersebut tidak mempunyai keturunan.

Sedangkan ashabah nasabiyah terbagi 3 yaitu :

1. Ashabah bi al nafsih yaitu, laki laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri
kaum perempuan. Ashabah semacam ini mencakup empat arah yaitu arah anak yang
meliputi seluruh laki laki keturunan anak laki laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya, arah
bapak yang meliputi ayah, kakek dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki laki,
misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek dan seterusnya, arah saudara laki laki,
mencakup saudara kandung laki laki, saudara laki laki seayah, anak laki laki keturunan
saudara kandung laki laki, anak laki laki keturunan saudara laki laki seayah dan
seterusnya, dan arah paman, mencakupi paman (saudara laki laki ayah) kandung maupun
seayah, termasuk keturunan mereka dan seterusnya.
2. Ashabah bi al gair yaitu, ahli waris yang menerima bagian sisa karena sama sama ahli
waris lain yang telah menerima bagian sisa. Ashabah bi al gair hanya terbatas pada empat
orang ahli waris yang kesemuanya perempuan, yaitu anak perempuan, akan menjadi
ashabah bila bersamaan dengan saudara laki lakinya, cucu perempuan keturunan anak
laki laki akan menjadi ashabah bila berbarengan dengan saudara laki lakinya atau anak
laki laki pamanya (yakni cucu laki laki keturunan anak laki laki baik sederajat dengannya
atau bahkan dibawahnya, saudara kandung perempuan akan menjadi ashabah bila
bersamaan dengan saudara kandung laki laki, dan saudara perempuan seayah akan
menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki lakinya, dan pembagiannya, bagian
laki laki dua kali lipat bagian perempuan.
3. Ashabah ma al gair adalah ahli waris yang menerima bagian ashabah karena persamaan
bagian ahli waris lain yang bukan penerima bagian ashabah. Yang termasuk bagian
ashabah ma al gair adalah saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah
yaitu anak perempuan mendapat setengah (1/2), cucu perempuan dari garis laki laki
mendapat seperenam (1/6) dan dua perempuan seayah jadi ashabah.

Namun dalam warisan dikenal istilah hijab, yaitu penghapusan hak waris seseorang, baik
penghapusan sama sekali maupun pengurangan harta warisan karena ada ahli waris yang lebih
dekat. Adapun macam macam hijab ada dua yakni, hijab hirman adalah penghalang yang
menggugurkan seluruh hak waris seseorang, dan hijab nuqshan adalah penghalang terhadap hak
waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Adapun ahli waris yang tidak akan
terhalang meskipun semua ahli waris ada adalah suami atau istri, anak laki laki dan perempuan
serta ayah dan ibu. Secara rinci berikut uraian siapa yang terhalang dan oleh siapa.

1. Kakek akan terhalang oleh keberadaan ayah.


2. Nenek terhalang oleh ayah dan ibu.
3. Cucu terhalang oleh anak laki laki.
4. Saudara laki laki kandung terhalang oleh anak laki laki dan cucu laki laki serta ayah.

B. Pengertian Wasiat

Kata wasiat diambil dari kata washshaitu asysyai, uushiihi, artinya aku menyampaikan
sesuatu. Maka orang yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup
untuk dilaksanakan sesudah dia meninggal. Dalam istilah syara’, wasiat adalah pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh
orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sebagian fuqaha
mendefinisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan
setelah pemberiannya meninggal. Wasiat itu diisyaratkan melalui Al Qur’an , sunnah dan ijma.
Di dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman :

“ diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika dia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa “ (QS An Nisa : 11).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar r.a dia
berkata “ telah bersabda rasulullah saw : “ Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu
yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selam dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis
pada amal kebajikannya “. Ibnu Umar berkata : “ tidak berlaku bagiku satu malam pun sejak aku
mendengar Rasulullah SAW mengucapkan hadits itu kecuali wasiatku selalu disisiku “.

Makna hadits diatas ialah bahwa yang demikian ini (wasiat yang tertulis dan selalu
berada disisi orang yang berwasiat) merupakan suatu kehati-hatian, sebab kemungkinan orang
yang berwasiat itu mati secara tiba-tiba.

1. Pembagian wasiat

Wasiat terbagi atas dua yaitu, pertama, wasiat kepada orang untuk melakukan melakukan
suatu hal, semisal membayarkan hutang, memulangkan pinjaman dan titipan, merawat anak yang
ditinggalkan. Kedua, wasiat dalam bentuk harta agar diberikan kepada pihak tertentu dan
pemberian ini dilakukan setelah pemberi wasiat meninggal dunia.

2. Hukum Wasiat
 Wasiat yang dihukumkan wajib

Wasiat wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara’ yang di khawatirkan
akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang
kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji
yang belum dilaksanakan, atau dia mempunyai amanat yang harus disampaikan, atau dia
mempunyai hutang yang tidak diketahui selain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang
dipersaksikan.

 Wasiat yang dihukumkan sunnat

Wasiat itu disunnatkan bila ia diperuntukkan bagi kebajikan, karib, kerabat, orang-orang
fakir dan orang-orang shaleh.

 Wasiat yang dihukumkan haram

Wasiat itu diharamkan apabila ia merugikan, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat
perjudian dan sebagainya. “ Telah diriwayatkan oleh Abdul razaq, dari Abu Hurairah r.a, dia
berkata : telah bersabda Rasulullah SAW “ Sesungguhnya seorang lelaki itu benar-benar beramal
dengan amal ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun. Akan tetapi, ketika dia berwasiat, dia
curang dalam wasiatnya, maka diakhirilah amal kebaikannya dengan amalan yang buruk ini, lalu
dia masuk neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki itu benar-benar beramal dengan amal ahli
keburukan selama tujuh puluh tahun, akan tetapi di adil dalam wasiatnya, maka diakhirilah
amalanya yang buruk itu dengan amalnya yang baik, maka dia masuk surge”. Berkata Abu
Hurairah : bila kamu mau maka bacalah “ itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya “.

 Wasiat yang dihukumkan makruh

Wasiat itu makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia mempunyai
seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat
kepada orang-orang yang fasik jika diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan
menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan. Akan tetapi apabila orang yang
berwasiat tahu atau menduga keras bahwa orang yang diberi wasiat akan menggunakan harta itu
untuk ketaatan, maka wasiat yang demikian ini menjadi sunnah.

 Wasiat yang dihukumkan jaiz

Wasiat itu diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik itu yang diwasiati
adalah kerabat ataupun orang yang jauh.
C. Pengertian Hibah

Pengertian hibah menurut terminologi syariat Islam adalah akad yang menjadikan
kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.
Sedangkan menurut ulama Hanabilah, hibah adalah memberikan kepemilikan atas barang yang
dapat di tasharufkan berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk
mengetahuinya, berwujud, dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban, ketika masih hidup, tanpa
adanya pengganti, yang dapat di kategorikan sebagai hibah menurut adaat dengan lafazh atau
tamlik (menjadikan milik).

1. Rukun Hibah

Menurut ulama hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduanya termasuk akad
seperti halnya jual beli. Dalam kitab Al Mabsuth, mereka menambahkan dengan qadbhu
(pemegangan/penerimaan). Alasannya, dalam hibah harus ada ketetapan dalam kepemilikan.
Sebagian ulama hanafiyah berpendapat bahwa qabul dari penerimaan hibah bukanlah rukun.
Dengan demikian, dicukupkan dengan adanya ijab dari pemberian. Hal hibah menurut bahasa
sekedar pemberian. Selain itu, qabul hanyalah dampak dari adanya hibah, yakni pemindahan hak
milik.

Menurut jumhur ulama, rukun hibah ada 4 :

1). Wahib (pemberi)

Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya. Jumhur ulama
berpendapat, jika orang yang sakit memberikan hibah, kemudian ia meninggal, maka hibah yang
dikeluarkan adalah sepertiga dari harta peninggalan (tirkah).

2). Mauhub lah (penerima)

Penerima hibah adalah seluruh manusia. Ulama sepakat bahwa seseorang dibolehkan
menghibahkan seluruh harta.

3). Mauhub adalah barang yang dihibahkan.

4). Shigat (ijab dan Kabul).

Syarat hibah berkaitan dengan syarat wahib dan mau maudhub. Ulama hanabilah menetapkan 11
syarat :

1) Hibah dari harta yang boleh di tasharufkan.


2) Terpilih dan sungguh-sungguh.
3) Harta yang diperjual belikan.
4) Tanpa adanya pengganti.
5) Orang yang sah memilikinya.
6) Sah menerimanya.
7) Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu.
8) Menyempurnakan pemberian.
9) Tidak disertai syarat waktu.
10) Pemberi sudah dipandang mampu tasharuf (merdeka, mukallaf, dan rasyid).
11) Mauhub harus berupa harta yang khusus dikeluarkan.

Syarat wahib (pemberi hadiah) : wahib di syariatkan harus ahli tabarru (derma), yaitu berakal,
baligh dan rasyid (pintar).

Syarat Mauhub (barang) :

1) Harus ada waktu hibah.


2) Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat.
3) Milik sendiri.
4) Menyendiri.
5) Mauhub terpisah dari yang lain.
6) Mauhub telah diterima atau dipegang oleh penerima.
7) Penerima memegang hibah atas seizin wahib.

2. Hukum Hibah

a). Hukum hibah

Dasar dari ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah
(penerima hibah) tanpa adanya pengganti.

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim.
Dengan demikian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan dalam sabda
Rasulullah, dari Abu Hurairah : “ pemberi hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan
selama tidak ada pengganti “ (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).

Dengan demikian, dibolehkan mengambilkan barang yang telah dihibahkan. Akan tetapi,
dihukumi makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hadiah. Selain itu, yang
diberi hibah harus rida. Hal ini di ibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah barang dipegang
pembeli.

Ulama hanafiyah berpendapat ada 6 perkara yang melarang wahib mengembalikan


barang yang telah dihibahkan yaitu :

1). Penerima memberikan ganti.

a) Pengganti yang disyariatkan dalam akad. Ulama malikiyah, hanabilah, dan syafi’iyah
menganggap hibah seperti ini sebagai jual beli dan bukan hibah.
b) Pengganti yang di akhirkan.

2). Penerima maknawi.

a) Pahala dari Allah. Sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi.
b) Pemberian dalam rangka silahturahmi.
c) Pemberian dalam hubungan suami istri.

3). Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhublah.

4). Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti di jual kepada orang lain.

5). Salah seorang yang akad meninggal.

6). Barang yang di hibahkan rusak.

Ulama malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang,
tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil, jika
belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang.

Ulama hanabilah dan syafi’iyah berpendapat bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali
pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah SAW bersabda :

“ orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya “.

D. Pengertian Wakaf

Wakaf diambil dari kata waqafa. Menurut bahasa berarti menahan atau berhenti. Dalam
hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada
seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perseorangan maupun badan pengelola
dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan
syariat Islam.

1) Dasar Hukum Wakaf

Sumber hukum wakaf terdapat dalam surat Al Imran ayat 92 yang artinya : “ kamu sekali-
kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya “.

Allah telah mensyariatkan wakaf, menganjurkan dan menjadikannya sebagai salah satu cara
untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Orang-orang jahiliyah tidak mengenal wakaf, akan tetapi
wakaf itu diciptakan dan diserukan oleh Rasulullah karena kecintaan beliau kepada orang-orang
fakir dan orang-orang yang membutuhkan.
2) Fungsi dan Tujuan Wakaf

Adapun fungsi wakaf adalah :

a) Sebagai wadah guna menggalang tabungan sosial dan mentransformasikan tabungan


sosial menjadi modal sosial serta membantu menggembangkan pasar modal sosial.
b) Sebagai wadah guna mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Menurut pasal 216
dalam kompilasi hukum islam, fungsi wakaf adalah untuk mengekalkan manfaat benda
wakaf tersebut sesuai dengan tujuan wakaf.

Adapun tujuan wakaf adalah :

a) Menciptakan kesadaran di antara orang-orang kaya atau berkecukupan menggali


tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat di sekitarnya seperti menyisihkan
sebagian keuntungan dari nafkah harta kepada fakir miskin dan kaum dhuafa.
b) Menciptakan integritas antara keamanan sosial dan kedamaian sosial serta meningkatkan
kesejahteraan sosial.

3) Rukun dan Syarat Wakaf

Dalam wakaf terdapat 4 rukun yaitu :

1) Al Wakif atau orang yang melakukan wakaf, hendaklah dalam keadaan sehat rohaninya
dan tidak dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan dimana jiwanya tertekan.
2) Al Mauquf atau harta benda yang akan diwakafkan, harus jelas wujudnya atau zatnya dan
bersifat abadi. Artinya, bahwa harta itu tidak habis sekali pakai dan dapat diambil
manfaatnya untuk jangka waktu yang lama.
3) Al Mauquf alaih atau sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf, dapat
dibagi menjadi 2 macam : wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf khairy adalah wakaf
dimana wakafnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tetapi untuk
kepentingan umum. Wakaf dzurry adalah wakaf dimana wakafnya membatasi sasaran
wakafnya untuk pihak tertentu yaitu keluarga keturunannya.
4) Sighah atau pernyataan pemberian wakaf, baik lafadz, tulisan maupun isyarat.

Untuk barang yang di wakafkan ditentukan beberapa syarat :

1) Barang itu tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya.


2) Kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun
boleh diwakafkan.
3) Bukan barang haram atau najis.

Beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan wakaf :


a) Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan kepentingan agama Islam. Oleh karena
itu, mewakafkan rumah untuk dijadikan tempat ibadah agama lain tidak sah. Tetapi kalau
misalnya mewakafkan tanah untuk dijadikan jalanan umum yang akan dilalui oleh orang
Islam dan non Islam tidak mengapa.
b) Jangan memberikan batas waktu tertentu dalam pewakafan karena itu tdak sah kalau
seseorang mengatakan “ saya wakafkan kebun ini selama satu tahun “.
c) Tidak mewakafkan barang yang semata-mata menjadi larangan Allah yang menimbulkan
fitnah.
d) Kalau barang diberikan melalui wasiat, yaitu baru terlaksana setelah si wakaf meninggal
dunia, maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan tidak boleh lebih sepertiga bagian
jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.

Bila orang yang berwakaf meninggal, maka wakaf tidak diwariskan, sebab yang demikian
inilah yang dikehendaki oleh wakaf, dan karena ucapan Rasulullah SAW seperti yang disebutkan
dalam hadits Ibnu Umar : “ tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan “. Adapun yang
sah diwakafkan ialah tanah, perabot yang bisa dipindahkan, mushlaf, kitab, senjata dan binatang.
Dan tidak sah mewakafkan apa yang rusak dengan dimanfaatkannya seperti uang, lilin, makanan,
minuman dll karena ia cepat rusak.

E. Pengertian Qurban

Ibadah qurban memiliki hukum sunnah muakad yang artinya sunnah yang sangat dianjurkan.
Untuk itu bagi mereka yang mampu sangat dianjurkan untuk berqurban dan memberikan
sebagian hartanya untuk ibadah qurban. Namun bagi mereka yang tidak mampu dan belum bisaa
untuk berqurban tentu tidaklah menjadi berdosa.

Di sisi lain menurut ulama mahzab Imam Hanafi, ibadah qurban bisa berhukum wajib bagi
mereka yang mampu. Hal ini didasari dengan hadist berikut, “ siapa yang memiliki kelapangan
tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR Ahmad, Ibnu
Majah dan Al Hakim).

Selain itu, pahala bagi yang berqurban juga tentunya sangat besar, apalagi merupakan Ibadah
yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. “ Zaid bin Arqam bertanya kepada Rasulullah SAW. “
Apakah yang kita peroleh dari berqurban? “ Rasulullah menjawab, “ Sesungguhnya pada setiap
bulu yang menempel di kulitnya terdapat kebaikan.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Adapun fungsi dari Ibadah Qurban adalah :

 Menjadikan bentuk bukti dan realisasi dari ketaqwaan kita terhadap Allah.
 Mendekatkan kepada Allah SWT dengan ibadah.
 Mengenang dan kilas balik sejarah Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail.
Untuk ibadah yang diqurbankan tentu bisa bermacam-macam seperti unta, sapid an kambing.
Hewan yang berkelamin jantan lebih diutamakan ketimbang hewan betina.

Syarat-syarat Penyembelihan Hewan Qurban :

Hewan qurban maka hendaknya dipilih dengan binatang yang baik. Rasulullah
mengutamakan hewan jika kambing, adalah yang besar, gemuk, dan bertanduk. Sedangkan
pemilihan hewan tidaklah boleh hewan yang cacat misalnya hewan yang buta, hewan yang sakit,
pincang, kurus atau tidak berdaging. Tentu hewan seperti itu tidak layak nantinya untuk
dikonsumsi bagi manusia. Terkait usia hewan yang akan disembelih minimal 5 tahun untuk unta,
1 tahun untuk kambing, dan 2 tahun untuk sapi.

Untuk hewan kambing maka ia telah merepresentasikan satu orang pequrban, dan jika
untuk sapi atau kerbau maka untuk 7 orang peng-qurban. Sedangkan untuk unta bisa untuk 10
orang. Terkait waktu penyembelihan maka dilakukan pada saat Idul Adha selepas shalat ied
dilaksanakan, sampai tanggal 13 dzulhidjah yaitu saat hari-hari tasyrik.

Adapun syarat orang yang akan menyembelih, adalah :

1. Diutamakan disembelih oleh orang yang berqurban (shahibul qurban).


2. Boleh juga shahibul qurban menyaksikan saja tanpa harus ikut menyembelih.
3. Pelaksanaan penyembelihan diutamakan oleh seseorang laki-laki ataupun perempuan,
namun yang muslim dan sudah baligh.

Terkait adab penyembelihannya adalah sebagai berikut :

1. Penyembelihan menggunakan alat yang tajam dan dapat langsung mengalirkan darah.
2. Penyembelihan tidak boleh menggunakan gigi atau kuku.
3. Pemotongan dilakukan pada urat nadi yang berada di leher, tenggorokan, atau
kerongkongan agar hewan cepat mati, tidak tersiksa.
4. Penyembelihan hewan hendaknya dihadapan kepala kiblat sambil membaca basmallah
dan takbir.
5. Pada situasi tertentu yang membuat hewan menjadi liar atau bersembunyi diperbolehkan
untuk menggunakan benda tajam yang langsung mematikan.

Setelah pelaksanaan penyembelihan maka dapat dilakukan pembagian qurban. Danging


qurban dapat dibagikan untuk penyembelihan qurban atau pengqurban atau shahibul qurban,
fakir miskin, sahabat atau kolega dar shahibul qurban. Daging qurban hasil penyembelihan tidak
boleh digunakan untuk upah baik untuk pemotong ataupun amil-nya. Bagian kulit, kepala, atau
apapun dari tubuh hewan tidak boleh dijadikan sebagai upah, maka lebih baik diberikan upah
dari harta yang lain di luar hal tersebut. Pembagian hewan qurban juga lebih baik dibagikan
dalam keadaan mentah atau belum dimasak, dan pembagian ini tidak dilarang untuk dibagikan
kepada non muslim.
F. Pengertian Aqiqah

Aqiqah hampir sama pelaksanaannya sebagaimana qurban. Yang menjadi perbedaan aqiqah
adalah sembelihan untuk bayi yang baru dilahirkan sebagai bentuk kesyukuran akan nikmat dan
karunia dari Allah SWT. Aqiqah sendiri menurut Imam Syafii dan Hambali adalah sunnah
muakad, yaitu yang dianjurkan. Hal ini sebagaimana dalam hadist Rasul.

“ Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari
kelahirannya)”. (HR Tirmidzi).

Pelaksanaan aqiqah menurut Imam Malik adalah, “ Pada dzohirnya bahwa


keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada
hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena
prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah SWT. :
“ Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu “. (QS Al
Baqarah : 185).

Untuk pelaksanaan aqiqah berbeda dengan qurban, bahwa lebih baik daging aqiqah
dibagikan dalam kondisi yang sudah dimasak, sebagaimana hadist Rasulullah SAW.

“ Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak
perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan
disedekahkan pada hari ketujuh. “ (HR. Baihaqi)

Untuk bati laki-laki maka disunnahkan sebanyak dua ekor kambing sedangkan untuk
perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini juga disampaikan Rasulullah SAW, “ Bagi anak
laki-laki dua ekor kambing yang sama, sedangkan bagi anak perempuan satu ekor kambing. “
(HR Tirmidzi dan Ahmad).

Doa ketika menyembelih hewan aqiqah adalah sebagai berikut :

Bismillah, Allahumma taqobbal min muhammadin, wa aali muhammadin, wamin ummati


muhammadi. Dengan nama Allah, ya Allah terimalah (qurban) dari Muhammad dan keluarga
Muhammad serta dari umat Muhammad. (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

Pelaksanaan ibadah lainnya yang dianjurkan oleh Rasulullah tentunya ada sangat banyak.
Sunnah Rasul lainnya yang dicontohkan oleh Rasulullah, contohnya adalah : Shalat Taubat,
Shalat Lailatul Qadar, Shalat Tarawih, Keutamaan Shalat Witir, Shalat Idul Fitri, Keutamaan
Shalat Hajat, Shalat Tasbih, Keutamaan Shalat Dhuha yang luar biasa, Cara makan Rasulullah,
Cara mandi dalam islam, macam macam shalat sunnah, adab ziarah kubur, adab ziarah kubur
sesuai sunnah, dsb. Ibadah-ibadah tersebut dapat dilaksanakan, sebagaimana sunnah Rasul dalam
melaksanakan Ibadah Qurban dan Aqiqah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara
benda itu tetap ada.
2. Hibah secara istilah adalah atau akad kepemilikkan yang dimiliki pemberi hibah, pada saat
hidup, kepada pihak yang diberikan hibah tanpa adanya pergantian. Maka hibah adalah akad
sukarela yang sama sekali tak ada penggantinya.
3. Wasiat ialah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara
sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia.
4. Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris
yang masih hidup.
5. Perbedaan antara wakaf, hibah, wasiat, dan warisan terletak pada waktu akad, waktu
penyerahan hartanya, penerima harta, dan nilai hartanya.
6. Perbedaan antara Aqiqah dan Qurban ialah aqiqah dilaksanakan untuk anak yang baru lahir
sebagai bentuk rasa syukur sedangkan Qurban adalah bentuk ibadah yang dilaksanakan
dalam rangka mendekatkan diri pada Allah dengan meneladani pengorbanan Nabi Ibrahim
a.s.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramulyo, M. Idris, 200, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan


Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika.
2. Departemen Agama RI, 2007, Fiqih Wakaf, Jakarta.
3. Abdul Fatah Idris, dkk, Fikih Islam Lengkap, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004.
4. Beni Ahmad Saebani, fiqih Mawaris , Bandung : Pustaka Setia, 2009.
5. Chairuman dan Surahwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta, Sinar
Grafika, 1994.
6. M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, cet. 6, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1996.

Anda mungkin juga menyukai