Anda di halaman 1dari 8

HUKUM WARIS

GOLONGAN AHLI WARIS (FURUDUL MUQADDARAH DAN ASHOBAH)


Mulkifrah (22109083), La Ode Muhammad Hazarul Azwani (22109174), Sena
Febrianti (22109137), Muhammad Syarifuddin (22109143)
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Kendari

ABSTRAK
Hukum Waris Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaandengan
peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia
kepada ahli warisnya. Hukum waris langsung menyangkut kepada harta benda yang apabila
tidak diberikan ketentuan pastinya, akan amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli
waris. Karena setiap terjadi kematian atas seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana
dengan harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu harus
dipindahkan serta bagaimana caranya. Inilah yang diatur dalam hukum Waris. Sedemikian
pentingnya kedudukanhukum waris dalam hukum Islam, sehingga hadist nabi riwayat Ibnu
Majah menyebutkan “Pelajarilah Faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidh
adalah setengah ilmu dan mudahdilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang
dari ummatku”.Kedudukan dan bagian ahli waris pengganti dalam hukum waris Islam,
merupakan perkembangan zaman dan pola pikir masyarakat sehingga membawa kemajuan
dalam bidang kewarisan Islam di Indonesia. Hal ini didorong oleh rasa ketidakadilan yang
dirasakan oleh para cucuyang menggantikan orang tuanya selaku anak pewaris. Bahwa
lembaga ahli waris pengganti ini memberikan perlindungan ekonomi kepada penerus
sehingga tidak menjadi keturunan yang lemah dan tidak sejahtera. Dan tidak dibedakannya
antara anak laki laki dan anak perempuan yang sama – sama memiliki hak atas hartaw
meskipun besar perolehan yang diterima berbeda.
Kata kunci: Hukum Waris Islam dan Faraidh
A. Pendahuluan
Furud Al-Muqaddarah, kata al-furud adalah bentuk jamak dari kata fard}artinya
bagian (ketentuan). Al-muqaddarah artinya ditentukan. jadi, furudAl- Muqaddarahadalah
bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syara’ bagiahli waris tertentu dalam pembagian
harta warisan. Bagian itulah yang akanditerima ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan
kekerabatan. [1]
1

1
Muthiah dan Novy Sri Pratiwi Hardani, Hukum Waris Islam (Cet. 1 Yogyakarta:Medpress 2015), h 1
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan study kepustakaan (library research) yaknidengan menelaah
buku-buku serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Hijabdalam kewarisan menurut
pemikiran Imam Syafii dan Hazairin.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan literaturyang ada kaitannya
dengan masalah penelitian, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu data yang diambil langsung dari bukukarangan Imam Syafi’i
dan Hazairin yaitu buku Hukum KewarisanBilateral Menurut Al-Qur’an dan hadits Karangan
Hazairin, Kitab al-UmmKarangan Imam Syafi’i
b. Bahan Hukum Skunder adalah data yang diambil dari buku-buku yangterkait dalam
masalah waris yaitu buku Fikih Mawaris karanganF Fikih Lima Mazhab Karangan
Muhammad JawadMughniyah.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Mengumpulkan buku baik primer maupun skunder yang ada hubungannyadengan masalah
penelitian
b. Setelah buku-buku terkumpul kemudian ditelaah serta mencatat materi- materi yang
adahubungannya dengan penelitian
c. Catatan terhadap materi-materi tersebut selanjutnya diklasifikasikankedalam bagian-bagian
atau konsep-konsep yang sesuai dengan masalahpenelitian seperti siapa-siapa yang
menghijab, dan konsep hijab.
4. Metode Analisa data
Data-data yang sudah terkumpul melalui tahapan-tahapanpengumpulan data diatas
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan tekhnikanalisis isi (konten analisis) yaitu
mempelajari pesan-pesan yang adadiberbagai literatur mulai dari kosa kata, pola kalimat dan
latar belakangsituasi.
5. Metode Penulisan
a. Metode Deskripsi, yaitu dengan mengemukakan atau menggambarkandata-data
sebagaimana adanya sesuai keperluan yang mengacu kepadamasalah penelitian.
b. Metode Induktif, yaitu mengemukakan data-data yang bersifat khusus,dianalisis dan
kemudian ditarik kesimpulan secara umum. c. Metode Deduktif, yaitumengemukakan
kaedah-kaedah yang bersifatumum, dianalisis dan kemudian diambil kesimpulan secara
khusus.
d. Metode Komperatif, yaitu mangadakan perbandingan di antara data-datayang telah
diperoleh,kdiambil kesimpulan dengan cara mencaripersamaan, perbedaan atau yang lebih
baik.
C. Pembahasan
Furud Al-Muqaddarah adalah bagian yang ditentukan dalam Al-Quranmaupun dalam
hadis, pada sistem kewarisan Islam sendiri sebenarnya tidak dikenal adanya sistem pergantian
tempat dalam pembagian kewarisan, dan melihat pada penggolongan ahli waris diatas
umumnya dalam khazanah kitab klasik, mereka lebih menyebut dengan istilah orang yang
berhak menerima (furudhulmuqaddarah) karena sebab-sebab nasabiyah (keturunan) dan
perkawinan12. Furudhulmuqaddarah adalah bagian-bagian ahli waris yang telah ditetapkan
kadarnya di dalam Al-Quran dan Hadis berdasarkan jenis kelamin dan derajatnya. Antara lain
: 1/2, 1/4, 1/8 , 1/3, 1/6. 2/3.
1. Para ahli waris yang memperoleh fardh dua pertiga (2/3) ada empat orang, yaitu
sebagai berikut.
a. Dua anak perempuan atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan anak laki-laki. Dengan kata lain mereka tidak bersama-sama
dengan mus'ashshib-nya (orang yang menjadikan ashabah).
b. Dua cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih, dengan ketentuan apabila si
mayit tidak meninggalkan: anak dan cucu laki-laki.
c. Dua orang saudari sekandung atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit
tidak meninggalkan: anak, cucu, bapak, kakek, dan saudara laki-laki
sekandung.
d. Dua orang saudari seayah atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan: anak perempuan kandung, cucu perempuan pencar laki-laki,
saudari kandung, bapak, kakek, dan saudara seayah.
Adapun saudara-saudari tunggal ibu tidak termasuk ahli waris yang memiliki bagian dua
per tiga (2/3) andaikata ia seorang diri ia tidak menerima setengah (1/2) fardh (bagian).
2. Para ahli waris yang memiliki fardh sepertiga (1/3)
a. Ibu, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan: anak, cucu,
saudara-saudari lebih dari seorang, sekandung atau seayah atau seibu saja.
b. Anak-anak ibu (saudara seibu atau saudara tiri bagi si mayit) laki-laki, maupun
perempuan, dua orang atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan: anak, cucu, bapak, dan kakek.
3. Para ahli waris yang mendapat fardhseperenam (1/6)
a. Ayah, dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan: anak dan cucu.
b. Ibu, dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan: anak, cucu, dan saudara
lebih dari seorcuc.
c. Kakek shahih, dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan: anak dan
cucu
d. Nenek shahihah, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan: (tidak
bersama-sama) dengan ibu.
e. Saudara seibu, laki-laki maupun perempuan apabila si mayit tidak
meninggalkan: anak, cucu, bapak, dan kakek.
f. Cucu perempuan pancar laki-laki seorang atau lebih, apabila si mayit
meninggalkan (bersama-sama) dengan seorang anak perempuan.
g. Seorang saudari seayah atau lebih, apabila si mayit meninggalkan saudara
perempuan sekandung, tidak lebih, dan tidak meninggalkan: anak laki-laki,
cucu laki-laki, bapak, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki
seayah
4. Para ahli waris yang menerima setengah (1/2)
a. Seorang anak perempuan, dengan ketentuan apabila ia tidak bersama dengan
anak laki-laki yang menjadi mu'ashshib-nya (tidak ada anak laki-laki).
b. Seorang cucu perempuan pancar laki-laki, dengan ketentuan apabila ia tidak
bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu laki-laki yang menjadi
mu'ashshib-nya.
c. Suami, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan: anak dan cucu.
d. Seorang saudari sekandung, dengan keentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan: anak laki-laki, cucu laki-laki, anak perempuan lebih dari
seorang, cucu perempuan lebih dari seorang, saudara laki-laki sekandung,
bapak, dan kakek.
e. Seorang saudari seayah, dengan ketentuan apabil si mayit tidak meninggalkan:
anak laki-laki, cucu laki-laki, anak perempuan lebih dari seorang, cucu
perempuan lebih dari seorang, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung,
saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki sebapak
5. Para ahli waris yang menerima seperempat (1/4)
a. Suami, dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan: anak dan cucu.
b. Istri, dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan: anak dan cucu.
6. Para ahli waris yang menerima seperdelapan (1/8)
Istri, seorang atau lebih dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan: anak
dan cucu
7. Para ahli waris yang menerima sepertiga (1/3)
a. Ibu, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan: anak, cucu, dan
saudara lebih dari seorang.
b. Saudara seibu (saudara tiri) lebih dari seorang, dengan ketentuan apabila si
mayit tidak meninggalkananak. [2]
Furudhulmuqaddarah inilah yang dijadikan sebagai pedoman saat kewarisan itu
terjadi. Baik bagi para ahli waris yang mewaris karena posisinya sendiri maupun mewaris
karena penggantian tempat.
2

Pada Kompilasi Hukum Islam penggantian tempat tersebut dikenal dengan istilah ahli
waris pengganti (plaatsvervulling). Ahli waris yang terdapat pada hukum kewarisan islam
yang berlaku di Indonesia juga memiliki penggolongannya sendiri yang mana terdapat dalam
Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Penggolongan atau kelompok
ahli waris tersebut meliputi :
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah:
2
Syamsul Bahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembgian Waris Dalam Hukum Islam dan Implementasinya
Pada Pengadilan Agama, Cet. 1 (Jakarta:Prenadamedia Group, 2015) h. 252
a) Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman, dan kakek.
b) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda (suami) atau janda (istri)
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak,
ayah, ibu, janda atau duda.Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi beberapa
bagian yangsalah satu diantaranya ialah ahli waris pengganti yang terdapat dalam
pasal 185 ayat (1) KHI dan untuk terjadinya pengganti ahli waris ini ketentuan hukum
yang berlaku ialah :
a. Cucu menggantikan posisi orang tuanya sebagai ahli waris utama.
b. Bagian yang diterima cucu sebanding dengan bagian yang seharusnya diterima
oleh orang tuanya.
c. Cucu menghijabhirman ahli waris saudara.
d. Jika ada ahli waris anak, maka bagian cucu tidak boleh melebihi bagian ahli
waris yang sederatnya dengan yang diganti.
e. Jika tidak ada ahli waris lainnya maka cucu menerima ashabah atau rad.
3. Bagian Ahli Waris Dalam Kuhperdata
Dalam Undang-undang terdapat 3 macam penggantian waris yaitu
sebagaimana diatur dalam pasal 842, pasal 844, dan pasal 845 KUHPerdata.
a. Penggantian Tempat Ahli Waris Golongan I
Pertama, penggantian waris garis lurus ke bawah menurut pasal 842 KUHPerdata,
berbunyi :“penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus
tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam segala hak, baik bila anak-anak dan orang yang
meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan dan anak yang
meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama,
seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya”.
Berdasarkan pada pasal tersebut penggnatian tempat hanya dimungkinkan untuk
anak-anak sah (Ahli Waris Golongan I) yang mati lebih dahulu dari pewaris dalam garis lurus
ke bawah yang berstatus keturunan sah dari orang yang digantikan. Dengan demikian
seorang/beberapa orang anak dan seterusnya ke bawah apabila meninggal dunia lebih
dahuludari pewaris, sehingga ahli waris yang tampil menerima warisan berbeda-beda
derajatkedekatannya dengan pewaris, sebagai akibat dari pergantian tempat tersebut. [3]
3

b. Penggantian Tempat Ahli Waris Golongan II


 Penggantian garis menyamping ini di atur dalam pasal 844 KUHPerdata :
Dalam garis ke samping, penggantian diperkenankan demi keuntungan semua anak
dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan orang yang telah meninggal terlebih dahulu,
baikmereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka walaupun warisan itu
setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu, harus dibagi antara sekalian
keturunan mereka yang mana satu dengan yang lainnya bertalian keluarga dalam golongan
yang tidak sama. Istiqamah, Hukum Waris dan Benda.
3
Sarmadi dan H.A Sukris, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam,
Cetakan ke-2, Penerbit Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2012. H. 155
Penggantian Tempat Ahli Waris Golongan IV Penggantian dalam garis menyimpang
diatur dalam pasal 845 KUHperdata : Penggantian juga diperkenankan dalam pewarisan
dalam garis kesamping, bila di samping orang yang terdekat dalam hubungan darahdengan
orang yang meninggal, masih ada anak atau keturunan saudara laki-laki atau perempuan dan
mereka yang tersebut .
 Pengertian ‘ashabahKata “‘ashabah” pada mulanya dalam bahasa Arab diambil dari
perkataan:
‫عصبالقومبالرجاإلذااجتمعواواحاطوابهمناجل‬
‫احلمايةوالدفاع‬
Kaum itu berkelompok dengan laki-laki, apabila mereka berkelompok dan bergaul
dengannya, untuk saling jaga dan saling melindungi.
Dalam Al-Quran kata “‘ashabah” berarti golongan kuat, yaitu yang tertera dalam surat
Yusuf ayat 14 sebagai berikut: Mereka berkata: “Jika ia benar-benar dimakan serigala,
sedangkan kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-
orang yang merugi”.
Kata ‘ashabah merupakan kalimat yang jama‘ mufradnya ‘ashib. Proses menjadi
jama’nya seperti kata thalabahjama’ dari kata thâlib, kamalah jama’ dari kata kâmil. Al-
Azhari berkata: ‘ashabah adalah jama’ yang tidak ada mufradnya, kemudian kalimat ‘ashabah
dipergunakan untuk seorang (satu orang), untuk jama’ (banyak orang lebih dari dua), untuk
laki-laki dan untuk perempuan. Adapun mashdar (pokok kata dari ‘ashabah) ialah ushubah.
Menurut Zakiyah Daradjat, bahwa pengertian ‘ashabah secara bahasa adalah anak dari
kerabat seseorang dari jihad ayah. Hal ini sebagaimana pendapat Fatchurrahman mengartikan
lafadz ‘ashabah hanya kerabat seseorang dari jurusan ayah. Hasbi menyebutkan bahwa ahli
farâ’idh mengartikan kata ‘ashabah dengan maksud kerabat dari pihak ayah yang mereka
namakan ‘ashabahnasabiyyah, yakni yang datang dari jihad hubungan darah dan kerabat.
Selain itu kalimat ‘ashabah dipergunakan kepada kekerabatan. Menurut hukum
(qarabahhukûmiyyah),‘ashabah adalah yang datang dari jihad memerdekakan budak, yang
dinamakannya ‘ushubahsababiyah yaitu ‘ushubah yang disebabkan oleh memerdekakan
budak. Adapun makna ta‘shîb ialah menjadikannya ‘ashabah atau menjadikannya seseorang
yang menjadikan ‘ashabah. 4 [4]
Secara istilah pengertian ‘ashabahdalamtulama Sunni adalah semua ahli waris yang
tidak mempunyai bagian tertentu dengan jelas dalam Al-Quran dan Al-Hadits.18Aahliwyang
tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh
seluruh fuqaha dan yang belum disepakati oleh mereka.
Pengertian ‘ashabah dalam perspektif Syi’ah dapat dikatakan sulit untuk diketahui,
hal ini disebabkan ulama Syi’ah tidak menyebutkan secara khusus apa yang dimaksud dengan
‘ashabah dalam hukum kewarisan Islam. Istilah yang digunakan oleh ulama Syi’ah ada dua
term, pertama ‘ashabah dan kedua ta‘shîb. Pada awal bab atau pada judul pembahasan semua
ulama Syi’ah menggunakan term ta‘shîb, sedangkan dalam pembahasannya sering
menggunakan term ‘ashabah. [5]

4
Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Yogyakarta:Pustaka Mahardika, 2016), h. 200
Dalam menetapkan tidak adanya ‘ashabah dalam hukum kewarisan Syi’ah, ulama
Syi’ah bersandar kepada Al-Quran dan Hadits, adapun ayat Al-Quran yang dijadikan dalil
tidak adanya ‘ashabah adalah sebagai berikut: Surat Al-Nisâ ayat 7, yang dikemukakan oleh
Muhammad Bâqir Al-Majlisî dalam kitabnya Mir’at Al-Uqûl sebagai berikut: Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. [6]
Metode Penetapan Hukum dalam Menetapkan Kedudukan ‘AshabahDalam
pembahasan pokok-pokok pikiran ulama Syi’ah, mereka dalam menetapkan hukum
berpegang pada Al-Quran. Jika tidak terdapat dalam Al-Quran maka menggunakan Al-
Hadits, selanjutnya ijma‘ dan terakhir dikenal sebagai lapangan ijtihadiyyah yaitu al-‘aql.
Dalam menetapkan kedudukan ‘ashabah dalam kewarisan Islam, ulama Syi’ah menggunakan
al-‘aql yang intinya sebagai berikut:
1. Bahwa dalam Al-Quran dan Al-Hadits tidak ada penetapan adanya ‘ashabah dalam
hukum kewarisan Islam, dengan demikian tidak boleh membuat hal yang baru yang
tidak ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Hal seperti itu diungkapkan oleh
Muhammad Bâqir Al-Majlisî sebagai berikut: “Dalam kitab Allah (Al-Quran) dan di
dalam Sunnah Rasul SAW (al-Hadits) tidak terdapat ‘ashabah, akan tetapi Allah
menceritakan dan menentukan demikian karena terkadang dikumpulkan saudara dari
ibu dan berkumpulnya suami dan isteri. Penentuan ini menunjukkan bagaimana
pembagiannya dan bagaimana menjadi kurang baginya, dan juga bagaimana hal itu
menjadikan lebih baginya menurut ukuran sahamnya (bagian). Bagian-bagian itu jika
ada mereka maka menurunkan dengan harta waris untuk selamanya dalam keadaan
satu supaya amal dalam saham mereka seperti amal dalam saham anak menurut
ukuran dikumpulkannya anak dari suami dan kedua orang tua, dan jika tidak
sempurna maka tidak dapat menjadi petunjuk, oleh sebab itu Allah menjelaskannya
dan hanya kepada Allah-lah kita meminta taufiq”;
567

2. Jika ‘ashabah diberikan hanya kepada pihak laki-laki saja sebagaimana telah
dikemukakan dalam definisi ‘ashabah, maka menurut ulama Syi’ah jika
‘ashabahadalah kelompok laki-laki hal itu dalam kenyataannya memang betul. Di
kalangan Sunni, jika ahli waris perempuanseanpa ahli waris laki-laki maka tidak dapat
menerima ‘ashabah. Hal itu berarti dikalangan Sunni perempuan untuk mendapatkan
‘ashabah harus dengan ahli waris laki-laki baik dalam ‘ashabahbial-nafsi maupun
dalam ‘ashabahbial-ghayr. Pelaksanaan pembagian waris dengan adanya
‘ashabahsdikemukakan di atas ditolak oleh oleh ulama Syi’ah dengan alasan bahwa
ahli waris pihak laki-laki dan ahli waris pihak perempuan sama-sama mempunyai hak
menerima harta warisan. Pemikiran ini merujuk kepada surat Al-Nisâayat 6
sebagaimana telah disebutkandalam dasar hukum yang digunakan. Hal ini
diungkapkan oleh Muhammad Baqir Al-Majlisy sebagai berikut: “Dan tidak berkata
(Al-Quran) bahwa sisa itu adalah untuk laki-laki dan tidak bagi wanita, apa yang telah

5
Fatcurrahman, Hukum Waris, hlm 221
6
Soenarjo, 1989, hlm 350
7
Muhammad Ali Al-Shabuni, Hukum Waris, hlm 81
ditetapkan oleh Allah bagi laki-laki dalam satu keadaan maka diharamkan bagi
perempuan, tetapi diwajibkan bagi wanita dalam sedikit atau banyak”. Diakui pula
oleh Abû Zahrah dalam penelitiannya terhadap hukum waris Syi’ah sebagai berikut:
“Adapun fuqahaSyi’ah mereka telah menggambarkan kerabat wanita dalam
cabangnya dan dalam kerabat yang semisalnya seperti kerabat laki-laki”;
3. Dalam sistem kewarisan Islam menurut Sunni, harta waris itu bisa dibagikan secara
fardl, ‘ashabah dan dzawilarham, sedangkan dalam pandangan ulama Syi’ah harta
waris itu dibagikan secara fardl, dan secara qarabah, hal tersebut seperti dikemukakan
oleh Muhaqqiq Al-Hilly sebagai berikut: “Sebagian daripada mereka mewarisi
dengan cara fardl dan yang lainnya dengan qarabah antara lain; bapak dan anak
perempuan, anak-anak perempuan dan saudari perempuan, saudari-saudari perempuan
dan kalalah al-um, mereka itu mewarisi secara qarabah”. [7]

Anda mungkin juga menyukai