Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FIQIH MAWARIS II

DZAWIL FURUDH DAN DZAWIL ARHAM

Di Susun
Oleh:
MUNAWAR

PRODI AL – AHWAL AS-SYAKHSIYAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PAYAH LIPAH, BIREUEN, ACEH
TAHUN AJARAN 2019 / 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan

rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam

senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,

keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk

dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga

selesainya makalah ini. Harapan penulis semoga makalah yang telah tersusun ini

dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,

menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat

memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Penulis sadar bahwa penulis ini tentunya tidak lepas dari banyaknya

kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang

dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki penulis.

Oleh sebab itu, penulis membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca

yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Matang, …. ……… 2019

Penulis

( ……………………..)

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta

benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik

seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’. seperti

perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun

perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan

dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus

diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah

dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya

sebatas saudara seayah atau seibu.

Namun, seiring berkembangnya zaman, masalah kewarisan dikembangkan secara

kompleks oleh para fuqoha. Dalam kewarisan tersebut mereka mengelompokkan

pihak-pihak dalam hal warisan sebaagai berikut: Ahli waris yang mendapatkan

bagian sisa (Ashabah), Dzawil Arham, Ahli Waris yang Terhijab dsb.

B. Rumusan Masalah
1. Perbedaan Antara Dzawil Furudh dan Dzawil Arham
2. Hubungan Pertalian Dzawil Furudh Dengan Mawaris
3. Hubungan Pertailan Dzawil Arham Dengan Mawaris

BAB II

PEMBAHASAN

3
A. Pengertian Dzawil furud
1. Pengertian Dzawil furud
Furudlu menurut istilah fiqih mawarits, ialah saham yang sudah ditentukan

jumlahnya untuk warits pada harta peninggalan, baik dengan nash maupun

dengan ijma’.
Secara bebas, arti lugowi zawi al-furud adalah orang-orang yang

mempunyai saham (bagian) pasti. Secara istilahi zawi al-furud adalah ahli

waris yang sahamnya telah ditentukan secara terperinci (seperdua,

sepertiga, seperempat, seperenamatau seperdelapan dari warisan ).

2. Ahli waris
Menurut jumhur ‘ulama, ahli warits yang tergolong adalah:
a. Suami, mendapat ½ jika tidak ada anak (keturunan), dan ¼ jika ada

keturunan.
b. Istri, mendapat ¼ jika tidak ada anak (keturunan), dan 1/8 jika ada

keturunan.
c. Anak perempuan, mendapat ½ jika hanya satu orang dan mendapat

2/3 jika dua orang atau lebih, menjadi asobah sekiranya ada anak

aki-laki bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.


d. Anak perempuan dari anak laki-laki, ½ kalau ia seorang saja, 2/3

kalau ada dua orang atau lebih, 1/6 kalau ada anak kandung

perempuan, ta’shib kalau ada cucu laki-laki bagian laki-laki dua

kali baguian perempuan, dan tertutup oleh dua orang anak

perempuan atau oleh anak laki-laki.


e. Ibu, 1/6 kalau ada anak, 1/3 kalau tidak ada anak atau dua orang

saudara, 1/3 sisa ketika ahli warisnya terdiri dari suami-ibu-bapak

atau isteri-ibu-bapak.
f. Ayah, 1/6 jika bersama anak laki-laki, 1/6 sisa jika bersama anak

perempuan, ‘ashabah ketika tidak ada anak.

4
g. Saudara perempuan kandung, ½ kalau ia seorang saja, 2/3 jika dua

orang atau lebih, ta’shib jika bersama saudara laki-laki kandung,

‘ashabah kalau bersama anak perempuan, tertutup jika ada ayah

atau anak laki-laki seayah, bagiannya laki-laki dua kali bagian

perempuan.
h. Saudara perempuan seayah, ½ jika seorang saja, 2/3 jika dua orang

atau lebih, ta’shib jika bersama saudara laki-laki seayah, bagiannya

laki-laki dua kali bagian perempuan, ‘ashabah jika bersama anak

perempuan atau cucu perempuan, 1/6 jika bersama saudara

perempuan sekandung, terhalang oleh ayah atau cucu laki-laki atau

saudara laki-laki kandung atau saudara perempuan kandung yang

menjadi ‘ashabah.
i. Saudara perempuan atau laki-laki seibu, 1/6 kalu seorang (laki-

laki/ perempuan), 1/3 kalu dua orang atau lebih (laki-laki/

perempuan), terhalang oleh anak laki-laki/ perempuan, cucu laki-

laki, ayah atau nenek laki-laki.


j. Kakek, dibagi sama dengan saudara kalau yang dibagi lebih

banyak dari 1/3. kalau kurang dari 1/3 maka bagian kakek 1/3

(kalau tidak ada waris lain dzawil furudh), terhalang jika ada ayah.
k. Nenek, 1/6 untuk seorang atau lebih jika sederajat, terhalang jika

ada ibu.

3. Furudh Muqoddaroh

Didalam Al-Qur’an, kata furudh muqoddarah yaitu pembagian ahli waris

yang telah ditentukan jumlahnya, merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu:

1. Ahli waris yang mendapatkan bagian setengah adalah,

a. Anak perempuan tungal

5
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki

- Saudara perempuan kandung

- Saudara perempuan seayah tunggal bila saudara

perempuan sekandung tidak ada.

c. Suami. Ia mendapat seperdua apabila iseri yang meninggal

itu tidak mempuanya I anak atau cucu dari anak laki-laki.

2. Ahli waris yang mendapat satu perempat

a. Suami, bila isteri yang meninggal dunia tidak mempunyai

anak (laki-laki/ Perempuan) atau cucu dari anak laki-laki.

b. Isteri jika suami tidak mempunyai anak

3. Ahli waris yang mendapat bagian seperlapan

a. Isteri, ketika suami mempumyai anak atau jika tidak ada

anak tetapi mempunyai cucu.

4. Ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga

a. Dua orang anak perempuan atau lebih jika tidak ada anak

laki-laki

b. Dua orang cucu perempuan atau lebih darui anak laki-laki

jika tidak ada anak perempuan.

c. Dua orang saudara kandung atau lebih

d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih

6
5. Ahli waris yang mendapat bagian sepertiga

a. Ibu, jika anaknya tidak mempunyai anak atau cucu dari

anak laki-laki atau ia tidak mempunyai saudara sekandung,

seayah atau seibu.

b. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki/ perempuan) seibu.

6. Ahli waris yang mendapat bagian seperenam

a. Ibu, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari

anak laki-laki atau saudara sekandung, seayah atau seibu.

b. Bapak, bila yang meninggal itu terdapat anak atau cucu

dari anak laki-laki.

c. Nenek, jika tidak ada ibu.

d. Cucu perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih,

jika yang meninggal mempunyai anak perempuan tunggal.

e. Kakek, jika mempunyai anak atau cucu.

f. Seorang saudara seibu

g. Saudara perempuan seayah, jika yang meninggal

mempunyai saudara perempuan sekandung.

B. Dzawil Arham
Dzawil Arham ialah orang-orang yang secara hukum memiliki kekerabatan

dengan orang yang meninggal, namun mereka bukanlah ahli waris.


Secara istilah mereka bukanlah termasuk orang-orang mendapat bagian waris

tertentu yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Hadits (ash-habul furud), dan juga
tidak termasuk pada golongan an ashabah.

7
Beberapa pendapat ulama mengenai masalah kewarisan dzawil arham antara lain :

Allah berfirman:

"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-

Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan

silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (Qs.

An-Nisa ayat 1)

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat

kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Qs.

Muhammad ayat 22)

Rasulullah saw. bersabda:

"Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan

ditangguhkan ajalnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR

Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat

pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-

Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya,

dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan

pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali

kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul

furudh dan tidak pula secara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah

8
atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara

perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.

Beberapa pendapat ulama mengenai masalah kewarisan dzawil arham antara lain :

a. Golongan pertama, orang yang menjadi keturunan si mati melalui

jalur keturunan ke bawah, mereka itu adalah :


 Cucu dari anak perempuan dan terus ke bawah, baik laki-

laki atau perempuan.


 Cicit dari cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke

bawah, baik laki-laki atau perempuan.

b. Golongan kedua, orang yang menjadi asal keturunan si mati (jalur

keturunan ke atas). Mereka adalah :


 Kakek yang tidak shahih (tidak langsung) terus ke atas,

seperti ayahnya ibu dan kakeknya ibu.


 Nenek yang tidak shahih (tidak langsung) terus ke atas,

seperti ibu dari ayahnya ibu dan ibu dari ibunya ayah.

c. Golongan ketiga, orang yang dinasabkan kepada kedua orang tua

si mati (kerabat jalur samping). Mereka adalah :


 Anak-anak dari saudara perempuan

sekandung/seayah/seibu, baik laki-laki atau perempuan.


 Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki

sekandung/seayah/seibu dan anak-anak keturunan mereka

terus ke bawah.
 Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan semua

keturunannya seperti : cucu laki-laki dari anak laki-laki

saudara seibu, atau cucu perempuan dari anak laki-laki

saudara seibu.

9
d. Golongan keempat, orang yang dinasabkan kepada kedua kakek

atau kedua nenek orang yang mati, baik dari jihat ayah atau jihat

ibu. Mereka adalah :


 Semua bibi dari pihak ayah orang yang mati (bibi

sekandung/seayah/seibu), juga paman-paman dari pihak

ibu si mayat, juga bibi dari pihak ibu si mayat dan

semikian pula paman-pamannya ibu.


 Anak-anak bibi dari pihak ibu, dan anak-anak paman dari

pihak ibu, dan anak-anak paman ibu dari pihak bapaknya

ibu, terus ke bawah.


 Bibi ayah si mati dari pihak ayahnya, baik

sekandung/seayah/seibu, paman-pamannya ibu dari

bapaknya ibu, dan bibi-binya ibu dari bapaknya ibu, juga

khal dari ibu dan khalah dari ibu, baik sekandung/seayah.


 Anak-anak dari golongan tersebut (no. 3) dan terus ke

bawah, seperti anak laki-laki dari bibinya ayah dan anak

perempuan dari bibinya ayah, dan seterusnya.


 Paman kakek mayit dari pihak ibu, paman nenek mayit dari

pihak bapak, paman-paman dan bibi-bibi nenek dari pihak

ibu dan bibinya kakek atau nenek dari pihak ibu.


 Anak-anak mereka (no. 5) terus ke bawah.

Cara-cara kewarisan dzawil arham ini, rinciannya dianalogikan kepada jihad

ashabah, yaitu: Mereka yang pertama kali memperoleh bagian adalah anak

turunan (jihat bunuwah).Jika jihat ini tidak ada maka digantikan oleh orang tua si

mati terus ke atas (jihat ubuwah).Bila tidak ada maka digantikan oleh jihat

ukhuwah.Bila juga tidak ada barulah keturuna bibi dari ayah dan paman dari ibu

10
(jihat umumah dan jhat khalah).Dan bila tidak ada maka baru kemudian anak-

anak mereka dan orang-orang yang statusnya menggantikan mereka, seperti anak

perempuan dari paman sekandung/seayah.

Beberapa syarat kewarisan dzawil arham :

1. Harus tidak ada ashabul furud. Karena jika ada ashabul furud, maka ia

mengambil bagiannya sebagai ashabul furud dan sisanya diambil dengan

jalan rad.
2. Harus tidak ada orang yang mendapatkan bagian ashabah. Tetapi, bila ahli

warisnya itu hanya salah seorang suami atau isteri, maka salah satu dari

keduanya mengambil bagiannya sebagai ashabul furud. Sedangkan sisanya

diserahkan kepada dzawil arham, karena rad kepada salah seorang

suami/isteri dilaksanakan setelah kewarisan dzawil arham.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

11
Furudlu menurut istilah fiqih mawarits, ialah saham yang sudah ditentukan

jumlahnya untuk warits pada harta peninggalan, baik dengan nash maupun dengan

ijma’

Furudh Muqoddaroh Didalam Al-Qur’an, kata furudh muqoddarah yaitu

pembagian ahli waris yang telah ditentukan jumlahnya, merujuk pada 6 jenis

pembagian, yaitu: bagian setengah, satu perempat, bagian seperlapan, bagian dua

pertiga, bagian sepertiga, bagian seperenam

Dzawil Arham, ialah orang-orang yang secara hukum memiliki kekerabatan

dengan orang yang meninggal, namun mereka bukanlah ahli waris.

DAFTAR PUSTAKA

12
Lubis, Suhrawardi K., Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam; lengkap dan

praktis, ( Jakarta : Sinar grafika, 2008)

Maruzi, Muslich, Pokok-pokok ilmu Waris, cet I, (Semarang: Mujahidin, 1981)

Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Teungku, Fiqh Mawaris, cet III, (Semarang :

Pustaka Rizki Putra, 2001)

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, cet IV (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2001)

Salman, Otje, Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam. (Bandung: Refika Aditama,

2006)

Syarifuddin, Amir.Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Kencana, 2005 )

13

Anda mungkin juga menyukai