ASHABAH SABABIYAH
OLEH:
KELOMPOK V
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an
mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci, hal ini dapat dimengerti, sebab masalah
warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali itu ketentuan-ketentuan pasti, amat mudah
menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera
timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja
harta itu dipindahkan serta bagaimana caranya. Inilah yang diatur dalam hukum waris.
Keistimewaan ketentuan bagian ahli waris dalam hukum waris Islam ialah bahwa bagian
seorang ahli waris sering tidak tetap, berubah-ubah menurut keadaan ahli waris. Oleh karena itu,
perludiperhatikan sepenuhnya, agar tidak terjadi kekeliruan dalam membagi harta warisan.
B. Rumusan Masalah
3. Bagaiman pembagian ahli waris jika di lihat dari segi bagian yang diterimanya?
4. Bagaimana pembagian ahli waris jika dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan?
C. Tujuan
Tujuan dai penulisan makalah ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang ada pada
rumusan masalah, yaitu untuk mengetahui apa pengertian ahli waris, bagaimana pembagian ahli
waris Nasabiyah dan sababiyah, bagaiman pembagian ahli waris jika di lihat dari segi bagian
yang diterimanya, jika dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan serta untuk mengethui
bagaimana contoh perhitungan pembagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AHLI WARIS
Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau
hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli artwaris.Kata “ahli waris” yang secara bahasa berarti keluarga, tidak
secara otomatis dia dapat mewarisi harta peninggalan si pewaris. Karena kedekatan hubungan
kekeluargaan juga dapat mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapat kan
warisan. Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak
dikatagorikan sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan, karena jalur yang dialuinya
perempuan.
Ahli waris laki-laki, jika didasarkan pada pada urutan kelompoknya, adalah :
a. Anak laki-laki
c. Bapak
k. Paman seayah
l. Anak laik-laki paman sekandung
a. Anak perempuan
c. Ibu
Kelompok kekerabatan atau tingkatan dalam ahli waris nasabiyah, sebagai berikut:
a. Furu’ al-waris
Merupakan ahli waris kelompok anak keturunan al-muwaris disebut dengan kelompok cabang.
Kelompok Furu’ al-waris adalah kelompok yang didahulukan dalam menerima warisan. Ahli
waris dalam kelompok ini, yaitu:
1) Anak perempuan
3) Anak laki-laki
b. Usul al-waris
Merupakan ahli waris leluhu al-muwaris. Kedudukan mereka meskipun sebagai leluhur, tetapi
dikelompokkan berada setelah kelompok Furu’ al-waris. Ahli waris dalam kelompok ini, yaitu:
1) Bapak
2) Ibu
c. Al-bawasyi
Merupakan ahli waris kelompok ssamping, termasuk didalamnya saudara, paman dan
keturunannya. Ahli waris dalam kelompok ini, yaitu:
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
Merupakan ahli waris yang memiliki hubungan kewarisannya timbul karena ada sebab-
sebab tertentu, seperti :
Mereka dapat menerima bagian warisan apabila perkawinan suami isteri tersebut sah, baik
meneurut ketentuan hukum agaman dan memiliki bukti yuridisium.
Di dalam hukum waris Islam terdapat kelompok ahli waris yang di tentukan di dalam ayat-ayat
kewarisan Al-Qur’an ketentuan tersebut meliputi subjek – subjeknya serta bagian yang akan
diperolehnya dalam keadaan yang tertentu pula. Kelompok ahli waris semacam ini di sebut ahli
waris ashab al-furud al-muqaddarah atau dzu-faraa-idl. Istilah tersebut berasal dari bahasa Arab
yakni dzu al faraidt yang berarti para yang mendapat bagian sebagaimana dintentukan dalam
Al-Quran. Adapun menurut istilah syariat berarti orang tertentu yang mendapat bagan tertentu
pula di dalam keadaan tertentu.
Para ulama berbeda pendapat terutama dalam hal menentukan jumlah orang-orangnya. Menurut
golongan syiah ahli waris ashab al-furud ada sembilan orang, kesembilan oaran tersebut yakni:
suami, isteri, ayah, ibi, anak peremuan, saudara perempuan kandung, saudara erempuan seayah,
saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu. Sedangkan menurut golongan ahlusunnah
ada duabelas, yakni: suami, isteri, kakek dari pihak ayah, ibu, nenek dari pihak ibu maupun dari
pihak ayah, anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung, saudara perempuan
seayah, saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu.
Besarnya bagian tertentu di jelaskan dalam Al-Quran, mulai dari ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3.
Adapun bagian-bagian yang diterima ashab al-furud adalah sebagai berikut:
- Sisa, bila bersama anak laki-lak, dengan ketentuan ia menerima separuh bagian anak laki-
laki
Anka perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian , dan apabilaanak perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki , maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan.
2) Ayah, menerima bagian:
- 1/6 bila bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
- 1/6+ sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki
- 2/3 dalam masalah gharrawin, yaitu apabila ahli waris yang ada terdiri dari: suami/isteri,
ibu dan bapak
Pasal 177 KHI menyatakan bagian ayah yang tidak lazim dalam fiqih, karena baiasanya ayah
bagiannya adalah sisa apabila tidak ada anak.
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah
mendapat seperenam bagian (lihat QS. an-Nisa’:11)
- 1/3 jika tidak ada anak atau cucu atau saudra dua atua lebih
- 1/6 jika ada atau bersama dua orang saudara atau lebih
- 1/3 sisa, dalam masalah gharrawin, yaitu apabila ahli waris yang ada terdiri dari:
suami/isteri, ibu dan bapak
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua orang saudara atau lebih. Bile tidak
ada anak atau dua orang saudara atu lebih, maka ia mendapat sepetiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan
ayah.
Bagian suami atau isteri (duda atau janda) dijelaskan dalam pasal 179 dan 180 KHI:
Pasal 179:
Duda mendapat seperuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan, dan bila pewaris meninggalkan
anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
Pasal 180:
Janda mendapat seperempat bagian bilapewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewrais
meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.
6) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukan nya sama. Apabila tidak mahjub,
saudara seibu berhak menerima bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian . bila mereka itu dua orang atau
lebihmaka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
- 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah
- Sisa, bersama saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia menerima separuh bagaian
saudara laki-laki (‘asabah bil gair)
- Sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki (asabah ma’al ghair)
- 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bbersama saudara laki-laki seayah
- 1/6 jika bersama dengan sauadara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3
Bila sorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak,sedang ia mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan
sekandung atau sayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sua per tiga
bagian. Bila saudara perempuan tersebut beersama sama dengan saudara laki-laki kandung atau
seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua banding satu dengan saudara perempuan.
- 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
- 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada anak laki-laki
- 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan sudara sekandung atau seayah, setelah diambil
untuk ahli waris lain;
- 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain.
Masalah ini disebut dengan masalah al-jadd ma’a al-ikhwah (kakek bersama sudara-saudara)
- 1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya
- ½ jika seorang, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terghalang (mahjub)
- 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terghalang (mahjub)
- 1/6 sebagai penyempurna 2/3, jika bersama seorang anak perempuan,tidak ada cucu laki-
laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau lebih maka ia tidak mendapat bagian.
· Suami 1/4
· Ibu 1/6
· Bapak 1/6+sisa
· Isteri 1/8
· Ibu 1/6
· Saudara perempuan sekandung ‘asabah
· Suami 1/4
· Ibu 1/6
· Anak perempuan ‘asabah
· Anak laki-laki ‘asabah
· Ibu 1/6
· Suami 1/4
· Bapak 1/6
· Isteri 1/8
‘Asabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furud. Sebagai ahli waris
penerima bagian sisa, ahli waris ‘asabah terkadang menerima bagian banyak , terkadang
menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis
diberikan kepada ahli waris ashab al-furud.
Di dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang
terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian warisan ini, maka ahli
waris ‘asabah yang peringkat kekerabatanya berada dibawahnya, tidak mendapat bagian. Dasar
pembagian ini adalah perintah Rasulullah SAW. Sebagai berikut:
“berikanlah bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang berhak, maka sisanya untuk ahli
waris laki-lakiyang utama”. (Muttafaq ‘alaih)
Ada pun macam-macam ahli waris asabah ada tiga macam yaitu:
1) ‘Asabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karenakedudukan dirinya sendiri berhak menerima
bagian‘asabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan
yang memerdekakanhamba sahaya), yaitu:
a. Anak laki-laki
c. Bapak
i. Paman sekandung
j. Paman seayah
2) ‘Asabah bi al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama
dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak
ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (furud al-muqaddarah). Ahli waris penerima ‘asabah
bi al-ghair tersebut adalah:
b. Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘asabah, maka bagian ahli
waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
صي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأوْ ال ِد ُك ْم لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ األ ْنثَيَ ْي ِن
ِ يُو
Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-laki sama dengan
dua orang anak perempuan. (QS. al-Nisa’: 11)
َوِإ ْن َكانُوا ِإ ْخ َوةً ِر َجاال َونِ َسا ًء فَلِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ األ ْنثَيَ ْي ِن
...jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki
sebanyak bagian dua orang perempuan...(QS. al-Nisa’: 176)
3) ‘Asabah ma’a al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama
dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka
ia menerima bagian tertentu (al-furud al-muqaddarah). Ahli waris yang menerima bagian ‘asabah
ma’a al-ghair adalah:
a. Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau
cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih). Misalnya, seseorang meninggal ahli
warisnya terdiri dari seorang anak perempuan, saudara perempuan sekandung dan ibu. Maka
bagian masing-masing adalah:
a) Anak perempuan ½
c) Ibu 1/6
b. Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu
perempuan (seorang atau lebih). Misalnya, seseorang meninggal ahli warisnya terdiri dari:
seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara
perempuan seayah, maka bagian masing-masing adalah:
a) Anak perempuan ½
Adapun dasar hukum pembagian ‘asabah ma’a al-ghair ini adalah pelaksanaan pembagian
warisan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. dalam riwayat dari Ibn Mas’ud.
“Nabi Muhammad SAW. memutuskan bagian anak perempuan stengah, cucu perempuan garis
laki-laki seperenam, dan sisanya untuk saudara perempuan”. (Riwayat al-Jamaah, selain
Muslim dan al-Nasa’i)
“Mu’adz ibn Jabal memberikan warisan kepada saudara perempuan dan anak perempuan
masing-masing setengah, ketika berada di Yaman, sedang Nabi Allah SAW. waktu itu masih
hidup’’. (Riwayat Abu Dawud dan al-Bukhari dari al-aswad)
Hadis yang kedua di atas menjelaskan bahwa bagian saudara perempuan dan
anak perempuan masing-masing stengah. Bagian setengah itu adalah bagian sisa setelah
diambil untuk diberikan kepada anak perempuan. Meskipun dalam keadaan bersama-sama
dengan ahli waris selain anak atau cucu perempuan, maka saudara perempuan menerima bagian
½, tetapi yang dimaksud adalah bagian sisa (‘asabah ma’a al-ghair). Ini dapat dijelaskan
lagi, bahwa misalnya anak perempuan lebih dari seorang (dua orang atau lebih) maka bagian
saudara perempuan tidak ½ tetapi 1/3, selain bagian 2/3 diberikan kepada anak perempuan.
Contoh:
· Suami ¼
· Ibu 1/6
· Bapak 1/6
· Suami ¼
· Ibu 1/6
· Bapak 1/6
· Isteri 1/8
· Anak perempuan ½
· Ibu 1/6
Dalam pengertian umum, istilah zawi al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang
mempuyai hubungan kekerabatan karena hubungan darah dengan si mati (al-muwarris). Ini
sesuai dengan petunjuk umum dari ayat di bawah ini:
Hak waris zawi al-arham diperselisihkan para ulama. Ada golongan ulama yang berpendapat
bahwa mereka tidak berhak atasa harta waris, sisa harta warisan setelah diambil untuk memberi
bagian ashab al-furud diserahkan kepada baittul maal seperti sahabat Zaid bin Tsabit dan Ibnu
‘Abbas; Imam Malik dan Imam Syafi’i juga berpendapat demikian.
Alasan golongan yang tidak memberi hak waris kepada zawi al-arham adalah:
a. Tidak ada penegasan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul mengenai hak waris zawi al-
arham.
b. Ketika Nabi Muhammad SAW ditanya apakah bibi, saudara ayah atau saudara ibu berhak
waris, beliau menjawab bahwa sesuai dengan whyu yang disampaikan malaikat Jibril, mereka
tidak berhak waris apapun.
c. Apabila sisa harta warisan diserahkan kepada baittul maal, kemanfatannya akan dirasakan
lebih luas.
Golongan kedua berpendapat bahwa zawi al-arham berhak waris, seperti sahabat ‘Ali, ‘Umar dan
Ibnu Mas’ud; Imam Abu Hanifahdan Ahmad bin Hanbal berpendapat demikian pula. Pendapat
kedua inilebih banyak penganutnya.
Golongan kedua beralasan kepada ayat-ayat al-Qur’an , sunnah Rasul dan rasio.
a. Ayat al-Qur’an surah al-Anfal:75 mengejarakan bahwa ulul-arhaam sebagian lebih utama
dari sebagian yang lain. Zawi al-arham termasuk dalam kandungan ayat tersebut.
Ayat 7 q.s. an-Nisaa, mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas
warisan orangtua dan sanak kerabat . zawi al-arham termasuk dalam sanak kerabat yang
dimaksud dalam ayat tersebut.
b. Hadis Nabi mengajarkan bahwa paman, saudara ibu, adalah ahi waris bagi orang yang tidak
mempunyai waris. Nabi pernah memberkan warisan kepada Abu Lubanah bin Abdul Mundzir,
kemenakan (anak saudara perempuan) Tsabit bin Ahdah, karena ia tidak mempunyai ahli waris
lain.
c. Secra rasional, zawi al-arham lebih berhak dari pada baitulmaal, sebab hubungan
baitulmaal dengan pewaris hanya hubugan sebagai sesama muslim, sedangkan zawi al-arham
selain hubungansesama muslim juag mempunyai hubungan kerabat dengan si pewaris.
Hubungan yang lebih kuat diutamakan, seperti misalnya, saudara kandung lebih diutamakan dari
pada saudara seayah.
d. Hadis yang dipergunakan imam malik dan syafii yang mengajarkan bahwa bibi (saudara
perempuan ayah atau ibu) tidak berhak waris, mungkin dinyatakan sebelum ayat ulul-arhaam
diturunkan, atau mungkn juga dalam kasus dimana bibi tersebut bersama-sama dengan wars
ashab al-furud.
Apabila kita harus memilih, pendapat golongan mana yang lebih kuat, dapat kita tentukan bahwa
pendapat golongan kedua lebih kuat dallilnya, lebih jelas argumentasinya dan lebih mendekati
kepada keadilan dalam hubungan kekerabatan yang amat ditekankan dalam ajaran Islam. Oleh
karenanya, pendapat golongan kedua ini merupakan pendapat jumhur ulama, sejak zaman Nabi
dan tabiin.
Menurut penelitian Ibn Rusyd, ahli waris yang termasuk dalam zawi al-arham adalah:
· Paman seibu
· Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu
· Saudara-saudara ibu
Adapun mengenai cara pembagian warisan kepada zawi al-arham ada tiga prinsip yaitu:
1) Prinsip al-Qarabah, yaitu dalam pembagian warisan kepda ahli waris zawi al-arham,
menggunakan prinsip jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Untuk menentukan jauh dekatnya
hubungan kekekrabatan, dilakukan pengelompokan sebagaimana dalam
pembagian ‘asabah. Pengelompokannya adalah sebagai berikut:
Jika semua kelompok tersebut diatas ada, maka menurut fachtur rahman, diberlakukan prinsip
sebagai berikut:
(1). Jika ahli waris zawi al-arham hanya seorang saja dari rumpun mana saja, maka seluruh harta
peninggalan atau sisa harta setelah dibagkan kepada suami atau isteri diberikan kepada nya
semua.
(2). Jka mereka berasal dari rumpun yang berbeda, maka yang berasal dari rumpun pertamadi
dahulukan daripada rumpun kedua. Jika rumpun pertama tidak ada, maka rumpun kedua
didahulukan daripada rumpun ketiga, demikian seterusnya.
(3). Jika mereka berasal dari satu rumpun dan derajatnya tidak sama, maka yang derajatnya lebih
dekat didahulukan daripada yang derajatnya jauh. Jika derajat mereka sama, maka yang lebih
kuat kekerabatnnya yang didahulukan. Dan jika derajat dan kekerabatannya sama, maka mereka
bergabung menerima seluruh atau sisa harta.
2) Prinsip ahlu al-tanzil, yaaitu menempatkan ahli waris zawi al-arham pada kedudukan ahli
waris yang menyebabkan mereka mempunyai hubungan kekerabatan dengan al-muwarris, atau
jika derajat mereka jauh, caranya di geser naik atau digeser turun menurut rumpunnya, hingga
berhasil mencapai tempat ahli waris mudlabih untuk digantikan kedudukannya, atau sebagai ahli
waris pengganti.
Fuqaha yang mengikuti prinsip al-tanzilmerujuk kepada riwayat Ibrahim al-Nakhaiy dari Ali ibn
Abdillah:
“sesungguhnya harta peninggalannya untuk keduanya dibagi tiga, dua pertiga untuk al-
ammah dan sepertiga nya untuk al-khalah”
Demikian juga penyelesaian yang dilakukan oleh ‘Ali ibn Abi Thalib:
“bahwa ia menempatkan cucu perempuan garis perempuan (bint al bint) ke tempat anak
perempuan, anak perempuan saudara perempuan (bint al-ukht) ke tempat saudara perempuan,
saudara bapak (al-‘ammah) ke tempat bapak dan saudara Ibu (al-khalah) ke tempat Ibu. [20]
Contoh perhitungannya:
Contoh 1
Keterangan gambar:
A= seseorang yang meninggal dunia meninggalkan harta peninggalan Rp. 18 juta dan ahli waris
B= anak laki-laki yang telah meninggal terlebih dahulu dari A, tetapi B meninggalkan D= anak
laki-laki (cucu dari A), E seorang anak perempuan (cucu dari A)
C= anak perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu dari A, tetapi C meninggalkan F=
anak laki-laki (cucu dari A), G seorang anak perempuan (cucu dari A)
B dan C mendapat berbanding 2:1, karena B sudah meninggal, bagiannya digantikan oleh D dan
E berbanding 2:1, sedangkan bagian Cdiberikan kepada F dan G sebagai ahli waris pengganti
berbanding 2:1
Contoh 2
Keterangan gambar:
C dan D cucu perempuan melalui anak laki-laki dari P. Sedangkan B adalah anak laki-laki dari P,
maka bagiannya adalah: A dan B mendapat masing-masing ½ sedangkan bagian A diberikan
kepada C dan D masing-masing 1/4 .
Contoh 3
Keterangan gambar:
A= pewaris telah meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris saudara laki-laki kandung
bernama B dan
C= saudara perempuan kandung pewaris yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris
meninggalkan pula anak atau keponakan bagi pewaris, yaitu D dan E. Pembagiannya menurut
bilateral adalah: B dan C seluruh harta (2:1)
Contohnya jika seseorang meninggal dan ahli waris nya terdiri dari:
Ahli waris Zawi al-ahram ini tidak dijelaskan dalam kompilasi, boleh jadi pertimbanganya dalam
kehidupan sekarang ini keberadaan zawi al-ahram jarang terjadi atau tidak sejalan dengan ide
dasar hukum warisan. Namun kemungkinan adanya zawi al-ahram bisa saja terjadi. Terkadang
untuk mengatasi keberadaan zawi al-ahram, ditempuh melalui wasiat wajibah atau wasiat.
Karena bisa saja , zawi al-ahram mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, tidak berhak
menerima bagian warisan.
Apabila ahli waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan, sehingga yang dekt lebih
berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:
1. Ahli Waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang
jauh,atau karena garis keturunnnya yang menyebabkan dapat menghalangi ahli waris yang lain.
2. Ahli waris mahjub, yairu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh ahli waris yang dekat
hubungan kekrabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya
tidak ada.
Halangan mewarisi karena dekat jauhnya hubungan kekerabatan di sini, bersifat temporer,
apabila ahli waris hajib tidak ada, maka ahli waris berikutnyadapat menerima warisan.
Prinsipnya ahli waris yang menghalangi (hajib) adalah mereka yang lebih dekat hubungan
kekerabtannya, sedangkan ahli waris yang terhijab (mahjub) adalah mereka yang jauh hubungan
kekerabatannya.
Hijab atau ahli waris yang terhalang, di tilik dari akibatnya ada dua macam. Pertama, hijab
nuqsan, yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti
suami, yang seharusnya menerima bagian ½, karena bersama anak baik laki-laki maupun
perempuan, bagiannya terkurangi menjadi ¼. Ibu yang seharusnya menerima bagian 1/3, karena
bersama dengan anak, atau saudara dua atu lebih, terkurang bagiannya menjadi 1/6.
Di bawah ini diijelaskan dalam tabel secara rinci hajib-mahjub dan perubahan bagiannya dalam
nuqsan.
Kedua, hijab Hirman yaitu menghalangi secara total. Akibatnya ha-hak waris ahli waris yang
termahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghalangi. Misalnya, saudara
perempuan sekandung yang semula berhak menerima bagian 1/2 , tetapi karena bersama dengan
anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali dan tidak mendapat bagian. Saudara seibu yang
seharusnya menerima bagian 1/6 karena bersama dengan anak perempuan, menjadi tertutup sama
sekali.
Di bawah ini diijelaskan dalam tabel secara rinci hajib-mahjub dan perubahan bagiannya
dalam Hirman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ahli waris Nasabiyah, yaitu ahl waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena
hubungan darah.
2. Ahli waris Sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu,
yaitu:
Apabila dilhat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:
1. Ahli Waris ashab al-furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya
telah di tentukan dalam Al-Quran, seperti ½, 1/3 atau 1/6.
2. Ahli Waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanyaadalah sisa setelah harta
warisan dibagikan kepada ahli waris ashab al-furudh,
3. Ahli Waris zawi al-arham, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan darah,
namun menurut ketentuan Al-Qur’an, tidak berhak menerima bagian warisan.
Apabila ahli waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan, sehingga yang dekt lebih
berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:
1. Ahli Waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang
jauh,atau karena garis keturunnnya yang menyebabkan dapat menghalangi ahli waris yang lain.
2. Ahli waris mahjub, yairu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh ahli waris yang dekat
hubungan kekrabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya
tidak ada.
Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum br=erhak menerima warisan, baik ahli waris
nasabiyah maupun sababiyah ada 17 oarng, terdiri dari 10 orang ahli waris laki-lakidan 7 orang
perempuan. Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang. 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 orang
ahli waris perempuan