Anda di halaman 1dari 8

Arindita Kautsara Muharami

FIQH MUAMALAH
MAWARIS

A. Pengertian Fiqh Muamalah


- Fiqh adalah suatu cabang ilmu yang mengkaji norma-norma syariah dalam kaitannya
dengan tingkah laku konkret manusia
- Muamalah menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan
seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
- Secara terminologi, Fiqh Muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan
tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan.

B. Pengertian Mawaris
- Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid
- Mawaris adalah hal-hal yang berhubungan dengan pembagian warisan untuk
dibagikan kepada ahli waris yang sudah ditentukan kadar bagiannya,baik
setengah,seperempat, sepertiga dan sebagainya.

C. Sumber Hukum Ilmu Mawaris


Sumber-sumber hukum ilmu faraid adalah Al-quran, As-sunnah, Ijma’ para sahabat, dan
Ijtihad para sahabat.
1. Al-quran
a) Surah an-Nisa’ ayat 11
Ayat ini menjelaskan tentag warisan bagi (Furu dan Usul), yaitu anak laki-
laki dan perempuan dan seterusnya ke bawah, serta warisan ayah dan ibu dan
seterusnya ke atas, keadaan-keadaan mereka dalam warisan dan syarat-syarat
mendapatkan warisan.

b) Surah an-Nisa’ ayat 12


Ayat ini menjelaskan bagian warisan untuk suami istri, dan saudara seibu,
baik laki-laki maupun perempuan, keadaan-keadaan mereka dalam kewarisan serta
syarat untuk mendapatkan warisan.

c) Surah an-Nisa’ ayat 176


Ayat ini menjelaskan tentang bagian warisan untuk saudara laki-laki dan
perempuan, baik kandung maupun seayah, dan keadaan mereka dalam warisan,
serta syarat untuk mendapatkannya.

d) Surah al-Anfal ayat 75


Ini adalah dalil warisan żawil arhām, yaitu seluruh kerabat pewaris yang
tidak termasuk sebagai penerima aṣḥābul furūḍ dan juga aṣabah. Mereka baru bisa
dapat warisan jika pewaris tidak meninggalkan aṣḥābul furūḍ dan aṣabah.

2. Sunnah
Arindita Kautsara Muharami

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda "Bagikanlah harta


peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-
laki yang paling utama. " (HR. Bukhari)

Ḥadiṡ ini menjelaskan tentang mekanisme pembagian warisan, dimulai dari


memberikan bagian kepada ahli waris (aṣhābul furūḍ), kemudian diberikan kepada
keturunan laki-laki yang terdekat dengan pewaris sebagai penerima sisa bagian
(aṣabah).

Dari Usamah Bin Zaid, Rasulullah saw. Bersabda: “Orang Muslim tidak
mewarisi dari orang kafir, demikian juga orang Kafir tidak mewarisi dari orang
Muslim. (H.R. Bukhari).
Dari hadiṡ di atas, menjelaskan bahwa perbedaan agama di antara pewaris dan ahli
waris menjadi penghalang untuk bisa mendapatkan warisan.

Diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ṣāmit ra. bahwa Nabi saw. memberikan bagian
untuk dua orang nenek dalam warisan seperenam, dibagi sama rata.
Ḥadīṡ di atas merupakan dalil kewarisan nenek baik seorang atau banyak, menerima
bagian seperenam. Dan berkongsi dengan bagian tersebut jika mereka banyak.

Nabi saw. menetapkan 1/2 (setengah) bagi anak perempuan dan 1/6 (seperenam)
bagi cucu perempuan (dari anak laki-laki) sebagai penyempurna bagian 2/3 (dua
pertiga), sisanya bagi saudara perempuan.
Ḥadīṡ di atas menjelaskan bahwa cucu perempuan dari anak laki-laki jika bersama
dengan satu orang anak perempuan penerima bagian setengah, maka mendapatkan
bagian seperenam sebagai penyempurna bagian terbesar perempuan dua pertiga.
Dalam hadiṡ tersebut juga menjelaskan bagian saudara perempuan (kandung atau
seayah) jika bersama dengan furu‟ muannaṡ (anak perempuan, cucu perempuan,
seterusnya kewabah) mendapatkan bagian „aṣabah ma‟al ghairi (penerima sisa).

3. Ijma’
Para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in telah berijma’ atau bersepakat tentang
legalitas ilmu farāiḍ dan tidak ada seorangpun yang menyalahi ijma’ tersebut.

4. Ijtihad Sahabat
Para Sahabat telah berijtihad dalam ilmu farāiḍ pada kasus-kasus tertentu.
Seperti ‘umariyatain, musyarakah, kewarisan kakek bersama saudara, kewarisan
żawil arhām, khunsa’, kewarisan bayi dalam kandungan, mafqūd (orang hilang), dan
lain sebagainya yang akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya dalam buku ini.
Arindita Kautsara Muharami

D. Rukun Waris

- Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris,
dimana bagian harta waris tidak akan didapatkan bila tidak ada rukun-rukunnya.
Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga yaitu:
i) Al-Muwarris (pewaris), yaitu orang yang mewariskan harta.
ii) Al-Waris (ahli waris), yaitu orang yang hidup ketika pewaris meninggal dan
merupakan orang yang berhak mendapatkan warisan meskipun keberadaannya
masih dalam kandungan atau orang yang hilang.
iii)Al-Maurus (harta warisan), yaitu harta benda yang menjadi warisan.

E. Syarat Waris
Syarat waris adalah sesuatu yang karena ketiadaannya maka tidak akan ada proses
pembagian warisan. Adapun syarat-syarat untuk mewarisi ada tiga, yaitu:
1. Meninggalnya pewaris
2. Hidupnya ahli waris
3. Mengetahui sebab menerima warisan atau mengetahui hubungan antara pewaris dan
ahli warisnya atau mengetahui seluk beluk pembagian harta warisan.

F. Sebab Mendapatkan Waris


1) Pernikahan
- Pernikahan dengan akad yang sah merupakan sebab untuk saling mewarisi antara
suami dan istri.
- Masalah yang mungkin akan dijumpai dari sebab saling mewarisi karena pernikahan
yang salah adalah terjadinya perceraian atau talaq
- Talaq dibagi menjadi dua:
i. Talaq raj’i, yaitu suami menceraikan istrinya yang masih ada masa untuk kembali
(‘iddah raj’i), baik satu kali talak atau dua. Maka suami memiliki hak untuk rujuk
kepada istrinya apabila masih dalam masa ‘iddah. Dalam kasus ini, suami dan
istri masih bisa saling mewarisi selama masa ‘iddah.
ii. Talaq bain, yaitu talak tiga. Dalam kasus ini, suami dan istri tidak saling mewarisi
baik diceraikan ketika suami dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sakit
parah, namun bukan dengan tujuan untuk menghalagi istri mendapatkan warisan.

2) Qarabah (kekerabatan)
- Hubungan qarabah atau disebut juga hubungan nasab (darah) yaitu setiap hubungan
persaudaraan yang disebabkan kelahiran (keturunan), baik yang dekat maupun jauh.
- Hubungan nasab ini terdiri atas:
a. Anak keturunan pewaris (furu’ al-waris)
b. Kedua orang tua pewaris (ushul al-waris)
c. Saudara-saudara pewaris (hawasyi), baik laki-laki, perempuan yang sekandung,
seayah atau seibu
d. Paman pewaris (‘Umamah), baik paman kandung atau seayah maupun anak laki-
laki dari keduanya
e. Pemerdeka budak (wala’) laki-laki atau perempuan
f. Zawil arham
Arindita Kautsara Muharami

G. DHAWIL FURUDH
Dhawil Furudh yaitu ahli waris yang berhak mendapatkan bagian tertentu seperti
dyang dijelaskan Al-quran dan hadist.

i) 2/3 untuk dua atau lebih anak perempuan, dua atau lebih saudara kandung
ii) ½ untuk bagian seorang anak perempuan, seorang saudara perempuan kandung,
suami bila tidak meninggalkan anak
iii) ¼ untuk bagian suami jika ada anak dan istri jika pewaris tidak meninggalkan
anak
iv) 1/6 untuk bagian ayah dan ibu jika pewaris meninggalkan anak, ibu jika ada
saudara lebih dari seseorang, cucu perempuan dari anak laki-laki bersama
seorang anak perempuan, saudara perempuan seayah bersama saudara kandung
dan kakek jika pewaris meninggalkan anak
v) 1/8 untuk bagian istri jika pewaris meninggalkan anak

H. ‘ASABAH
- ‘Asabah adalah ahli waris yang tidak memiliki bagian tertentu, baik besar maupun
kecil, dari segi jika sendiri mengambil seluruh harta, jika bersama dengan ahli waris
penerima aṣhabul furuḍ, mengambil sisa setelah diambil oleh aṣhabul furuḍ, jika
seluruh harta telah diambil oleh aṣhabul furuḍ, maka penerima ‘aṣabah tidak
mendapatkan sedikitpun dari harta peninggalan.
- ‘Asabah dibagi menjadi dua, yaitu:
1. ‘Asabah Nasabiyah, yaitu ‘aṣabah yang ditetapkan karena sebab nasab
(keturunan). Contoh:
 Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dan
qarabah (kekerabatan), seperti ayah, kakek, saudara lai-laki kandung, saudara
laki-laki seayah, anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki saudara
seayah, paman kandung, paman seayah dan anak lakilaki paman kandung dan
anak laki-laki paman seayah
2. ‘Asabah Sababiyah, yaitu ‘aṣabah yang terjadi karena sebab memerdekakan
budak, baik laki-laki maupun perempuan.

I. Hukum ‘Aṣabah Nasabiyah


a) ‘Aṣabah Binnafsi, setiap laki-laki yang sangat dekat hubungan kekerabatannya dengan
pewaris, yang tidak diselingi oleh perempuan. Ahli waris ini menerima sisa dari
pembagian harta warisan jika ada kelebihan harta warisan. Jumlah penerima ‘Aṣabah
Binnafsi sebanyak 12, yaitu:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi dibawahnya
3. Ayah
4. Kakek serta generasi di atasnya
5. Saudara kandung
6. Saudara seayah
7. Anak laki-laki saudara kandung
8. Anak laki-laki saudara seayah dan generasi di bawahnya
9. Paman kandung
10. Paman seayah. 11. Anak laki-laki paman kandung
11. Anak laki-laki paman seayah dan generasi di bawahnya
Arindita Kautsara Muharami

‘Aṣabah Binnafsi memiliki 3 hukum, yaitu:


1. Jika hanya sendiri, mengambil seluruh harta.
2. Mengambil sisa harta setelah diambil oleh aṣhabul furuḍ

3. Tidak mendapatkan warisan apapun karena seluruhnya telah diambil oleh aṣhabul
furudh

Jalur ‘Aṣabah Binnafsi:


1. Al-bunuwwah (jalur hubungan anak)
2. Al-ubuwwah (jalur hubungan orang tua)
3. Al-ukhuwwah (jalur hubungan saudara)
4. Al-‘umumah ukhuwah (jalur hubungan paman)
5. Al-wala’ (jalur hubungan karena memerdekakan budak)

b) ‘Asabah bil ghair, ahli waris yang sisa harta warisan karena ditarik oleh ahli waris
lainnya. Contoh: anak perempuan ditarik menjadi asabah anak laki-laki.

c) ‘Asabah ma’al ghair, ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama dengan ahli
waris lainnya, tetapi ahli waris tersebut tidak menjadi ashabah. Contoh: saudara
perempuan kandung atau seayah menjadi ashabah jika ada anak perempuan , tetapi
anak perempuan tersebut tidak menjadi ashabah.

J. DHAWIL ARHAM
Dhawil arham yaitu ahli waris yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan pewaris,
tetapi tidak termasuk golongan ahli waris dhawil furudh dan asabah. Seperti cucu-cucu
perempuan atau laki-laki dari anak perempuan dan keturunan perempuan dari anak atau
saudara perempuan.

K. Ahli Waris Laki-laki dan Perempuan beserta Bagiannya


a. Ahli Waris laki-laki
1. Suami, mendapat ½ apabial istri yang meninggal tidak mempunyai anak dan
mendapatkan ¼ apabila suaminya yang meninggal mempunyai anak. Tidak ada
penghalang.
2. Anak laki-laki mendapat semua harta warisan jika tidak ada ahli waris lain dan
mendapatkan sisa (ashabah) bila ada pewaris lainnya, jika bersama dengan anak
perempuan, maka bagiannya dua kali bagian dari anak perempuan. Anak laki-laki
menjadi penghalang saudara lain untuk mendapatkan warisan.
3. Cucu laki-laki dari pancar laki-laki, mendapatkan bagian bila tidak ada anak laki-
laki, bagian dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki.
4. Ayah, mendapatkan 1/6 jika bersama anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Ayah menjadi ashabah bila tidak ada anak atau cucu, dan mendapatkan 1/6 jika
bersama anak atau cucu perempuan.
5. Kakek, mendapatkan bagian apabila tidak ada ayah, apabila kakek menjadi ahli
waris hanya bersama saudara laki-laki kandung, maka bagiannya adalah sama
dengan saudara laki-laki atau 1/3, apabila bersama saudara perempuan kandung dan
ada ahli waris lain, maka kakek mendapatkan 1/6 atau 1/3.
6. Saudara laki-laki sekandung, terhalang oleh anak laki-laki/cucu laki-laki dari anak
laki-laki, ayah/kakek, mendapatkan 1/6 apabila sendirian dan tidak ada ahli waris
Arindita Kautsara Muharami

lain, mendapatkan 1/3 apabila dua orang atau lebih dan tidak ada yang
menghalanginya. Menjadi ashabah jika bersama dengan saudara perempuan dengan
ketentuan bagian saudara laki-laki dua kali bagian saudara perempuan.

7. Saudara laki-laki seayah, terhalang oleh saudara laki-laki dan perempuan kandung,
menjadi ashabah bila tidak ada ahli waris lain, dapat menarik saudara perempuan
seayah untuk menjadi ashabah dengan perbandingan dua banding satu.
8. Saudara laki-laki seibu, hanya mendapatkan bagian dari harta warisan ibu. Jika
sendirian dan tidak ada ahli waris lain mendapatkan 1/6, apabila dua orang atau lebih
dan tidak ada ahli waris lain mendapatkan 1/3.
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan anak laki-laki keturunannya
tanpa diselingi oleh anak perempuan, terhalang oleh saudara laki-laki kandung,
kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
10. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan anak laki-laki keturunannya
tanpa diselingi oleh anak perempuan, ketentuannya sama dengan kemenakan laki-
laki kandung, tetapi juga tertutup juga oleh kemenakan laki-laki kandung tersebut.
11. Paman sekandung, merupakan ahli waris jauh karena tertutup oleh kemenakan
laki-laki kandung, seayah serta anak keturunannya yang laki-laki.
12. Paman seayah, ketentuannya sama dengan paman kandung, tetapi juga tertutup oleh
paman kandung tersebut.
13. Anak laki-laki dari paman sekandung dan anak laki-laki keturunannya tanpa
diselingi oleh anak perempuan, terhalang oleh paman seayah dan juga oleh paman
seayah sendiri.
14. Anak laki-laki dari paman seayah dan anak laki-laki keturunannya tanpa diselingi
oleh anak perempuan, ketentuannya sama dengan kemenakan laki-laki kandung,
tetapi tertutup juga oleh kemenakan laki-laki kandung tersebut.

b. Ahli Waris Perempuan


1. Istri, mendapatkan ¼ jika suaminya yang meninggal tidak mempunyai anak, dan
mendapatkan 1/8 jika suaminya yang meninggal mempunyai anak. Istri termasuk
ahli waris utama (selalu mendapat warisan dan tidak ada yang menghalanginya).
2. Anak perempuan, mendapat ½ jika sendirian tidak ada anak laki-laki, 2/3 jika
jumlahnya dua atau lebih dan tidak ada anak laki-laki, menjadi ashabah jika bersama
anak laki-laki dengan bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua anak
perempuan.
3. Cucu perempuan dari pancar laki-laki, berkedudukan seperti anak perempuan,
jika ada dua anak perempuan, maka cucu perempuan tidak dapat, kecuali ditarik
cucu laki-laki dari anak laki-laki. Cucu perempuan dapat ½ jika sendirian, tidak ada
anak dan tidak ada cucu laki-laki. Mendapatkan 2/3 apabila dua orang atau lebih,
tidak ada anak dan tidak ada cucu laki-laki. Mendapatkan 1/6 apabila bersama
seorang anak perempuan, menjadi ashabah apabila ada cucu laki-laki dengan bagian
seorang cucu laki-laki sama dengan dua cucu perempuan. Tidak mendapatkan harta
warisan apabila ada anak laki-laki dan dua atau lebih anak perempuan.
4. Ibu, mendapatkan 1/6 apabila ada anak atau cucu atau lebih dari seorang saudara,
mendapatkan 1/3 apabila tidak ada anak, cucu atau lebih dari seorang saudara.
5. Nenek, mendapatkan 1/6 apabila tidak ada ibu, apabila ada ibu maka nenek tidak
mendapatkan warisan.
6. Saudara perempuan kandung, mendapatkan ½ apabila sendirian, tidak ada anak,
cucu pancar anak laki-laki, ayah, dan tidak ada yang menariknya menjadi ashabah
Arindita Kautsara Muharami

(saudara laki-laki kandung). Mendapatkan 2/3 apabila jumlahnya dua atau lebih,
tidak ada anak, cucu pancar anak laki-laki, ayah, dan tidak ada yang menariknya
menjadi ashabah (saudara laki-laki kandung). Menjadi ashabah apabila ada saudara
anak laki-

laki. Tidak mendapatkan harta warisan apabila ada ayah, anak laki-laki atau cucu
pancar anak laki-laki.
7. Saudara perempuan seayah, mendapatkan ½ jika sendirian, tidak ada anak, ayah,
cucu pancar anak laki-laki, saudara kandung, dan tidak ada yang menariknya
menjadi ashabah (anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki).
Menjadi ashabah jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari
anak laki-laki. Tidak mendapatkan harta warisan jika ada ayah, anak laki-laki atau
cucu pancar anak laki-laki, saudara perempuan kandung.
8. Saudara perempuan seibu, mendapatkan ½ jika sendirian, tidak ada anak, ayah,
cucu pancar anak laki-laki, saudara kandung, dan tidak ada yang menariknya
menjadi ashabah (anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki).
Mendapatkan 2/3 jika jumlahnya dua atau lebih, tidak ada anak, cucu pancar anak
laki-laki, ayah, saudara kandung, dan tidak ada yang menariknya menjadi ashabah
(anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki).
Menjadi ashabah jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari
anak laki-laki.
Tidak mendapatkan harta warisan apabila ada ayah, anak laki-laki atau cucu pancar
anak laki-laki, saudara perempuan kandung.

L. HIJAB
Hijab adalah menghalangi orang yang mempunyai sebab mendapatkan warisan, baik
secara menyeluruh atau sebagian.
Macam-macam hijab:
1. Hajbu Ausaf (hijab karena sifat)
Hijab Ausaf yaitu menghalangi orang yang mempunyai sebab untuk medapatkan
warisan secara total, karena melakukan sesuatu perbuatan yang menjadi penghalang
mendapat warisan, seperti membunuh pewaris dan murtad.
2. Hajbu Asykhasa (hijab karena ada orang lain)
Hijab Asykhasa yaitu menghalangi seseorang utuk mendapatkan warisan secara total
atau dari bagian yang besar menjadi bagian yang lebih kecil karena ada ahli waris
lain yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris. Hijab ini dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Hijab Nuqsan, yaitu menghalangi seseorang yang memiliki sebab untuk
mewarisi dari bagiannya yang sempurna. Seperti, suami seharusnya
mendapatkan bagian terbanyak 1/2, tapi karena mempunyai keturunan (anak),
maka menjadi 1/4, istri yang seharusnya mendapatkan bagian 1/4 menjadi 1/8,
karena pewaris mempunya keturunan (anak)
b. Hijab Hirman, yaitu menghalangi seseorang yang memiliki sebab untuk
mewarisi dari bagiannya secara keseluruhan, karena ada ahli waris lain yang
lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris.
Contoh:
i) Cucu laki-laki dari anak laki-laki: terhalang oleh anak laki-laki, atau
oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki yang kedudukannya lebih dekat
kepada pewaris.
Arindita Kautsara Muharami

ii) Kakek dan generasi di atasnya: terhalang oleh ayah.


iii) Saudara laki-laki kandung: terhalang oleh tiga orang, yaitu anak laki-
laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan ayah.
iv) Saudara laki-laki seayah: terhalang oleh empat orang, yaitu anak laki-
laki cucu laki-laki dari anak anak laki-laki, ayah dan sudara kandung.
v) Saudara laki-laki seibu: terhalang oleh empat orang, yaitu anak laki-laki
dan anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-
laki, ayah dan kakek.
vi) Anak laki-laki saudara kandung: terhalang oleh enam orang, yaitu anak
lakilaki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, kakek, saudara laki-laki
kandung dan saudara laki-laki seayah.

Referensi
Syaikhu, H., Ariyadi & Norwili, 2020. FIKIH MUAMALAH: Memahami Konsep dan
Dialektika Kontemporer. Yogyakarta. Penerbit K-Media.
Islamiyati, 2013. Analisi Asas Keadilan pada Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum
Islam, pp.177–192.

Anda mungkin juga menyukai