Anda di halaman 1dari 11

Nama : M.

RIFQI AZIZ
Nim : 204102010068
Kelas : HK 3
Mata kuliah : Hukum Kewarisan Islam di Inidonesia
Ashobah Dan Macam-Macamnya
A. PENGERTIAN ASABAH
Asabah menurut bahasa berarti semua kerabat seorang laki-laki yang berasal dari ayah.
Mereka disebut asabah karena mereka merupakan orang-orang yang menghalangi atau
melindungi. Ashobah menurut pepatah Arab yaitu “Suatu kaum mempertahankan
seseorang apabila mereka berkumpul dan memagarinya untuk memelihara dan
mempertahankannya.” Sebutan asabah ditunjukkan kepada kelompok yang kuat. Dalam hal
ini Allah SWT. berfirman:
Artinya: “Mereka berkata, “Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan
(yang kuat), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang merugi.” (QS. Yusuf : 14)
Kerabat juga disebut asabah karena mereka selalu berkumpuj bersama-sama untuk
saling menjaga dan menghalangi serta menolak musuh yang menyerangnya. Menurtt istilah
ulama faradiyun, asabah adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah
dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh seluruh fugaha (seperti ashabul furud),
yang belum dipastikan oleh mereka (seperti zawil arham). Jadi, asabah adalah semua ahli
waris yang tidak mempunyai bagian tetap dan tertentu, baik yang diatur dalam Al-Quran
maupun hadis, Mereka terdiri atas:
1. Anak-laki-laki
2. Anak laki-lakinya anak laki-laki (cucu laki-laki dari anak lakilaki).
3. Saudara sekandung
4. Saudara seayah
5. Saudaranya ayah sekandung
Kekerabatan di antara mereka adalah kuat karena mereka diturunkan melalui garis ayah
bukan dari garis ibu. Sebaliknya, keturunan yang berasal dari ibu melemahkan kerabat,
seperti saudara laki-laki seibu. Dari pengertian di atas, dapat dikemukakan bahwa yang
dimaksud dengan asabah adalah setiap orang yang mengambil bagian semua harta “apabila
ia sendirian dan mengambil sisa sesudah ashabul furud mengambil bagiannya.
B. DASAR HUKUM PEWARISAN ASABAH
Dasar-dasar hukum yang menentukan hak asabah bersumber dari Al-Quran dan hadis
Nabi Muhamamd SAW. dari Al-Quran antara lain firman Allah SWT:
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya Seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika orang yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.” (QS. An-Nisa' : 11)
Ayat tersebut menetapkan bagian ibu bapak ketika ada anak yang meninggal yaitu 1/6.
Jika tidak ada anak, seluruh harta menjadi milik ibu bapak. Ayat itu menyebutkan bagian
ibu 1/3, tetapi tidak menyebut bagian bapak. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa
sisanya yang 2/3 adalah bagian bapak. Oleh karena itu, ia mewarisinya sebagai asahah,
Dalil lain, juga firman Allah SWT. menyebutkan:
Artinya: “Mereka meminta. fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh) harta saudara
perempuan jika ia tidak mempunyai anak...” (QS. An-Nisa: 176)
Ayar tersebut mengisyaratkan bahwa saudara sekandung tidak mempunyai bagian
tetap, tetapi ia dapat memperoleh semua harta peninggalan jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak. Jika yang memberi warisan tidak mempunyai anak, seluruh harta
peninggalannya diserahkan kepada saudara laki-laki sekandung. Pengertian inilah yang
dimaksud dengan asabah. Nabi Muhammad SAW., bersabda: Artinya:
“Berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-
masing dan kelebihannya diberikan kepada asabah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki
dari yang laki-laki.” (HR. Bukhari Muslim)
Pengertian hadis itu adalah berikanlah setiap bagian kepada yang berhak, sedangkan
sisanya diserahkan kepada orang laki-laki yang lebih dekat asabahnya.
C. MACAM-MACAM ASHOBAH
1. Asabah Binafsi (dengan sendirinya) \
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan asabah hinafsi adalah kerabat laki-laki yang
dipertalikan dengan orang yang meninggal tanpa diselingioleh orang perempuan.
Ketentuan ini mengandung dua pengertian, yaitu antara mereka dengan orang yang
meninggal tidak ada perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah orang yang
meninggal, serta terdapat perantara, tetapi bukan orang perempuan, seperti cucu laki-
laki dari anak laki-laki, ayahnya ayah, saudara sekandung, dan saudara seayah.
Jika orang yang menjadi perantara itu perempuan, seperti cucu laki-laki dari
anak perempuan, ayahnya ibu. dan saudara seibu, mereka bukan asahah binafsi. Kedua
orang yang pertama sebagai zawil arham, dan seorang yang terakhir sebagai ashabul
furud.
Demikian juga, bukan termasuk asabah binafsi walaupun perantaranya laki-laki
apabila kerabat yang dipertalikan dengan yang meninggal itu adalah kerabat
perempuan, seperti cucu perempuan dari anak lak-laki atau saudari sekandung atau
seayah. Adapun kelompok asabuh binafsi yang diutamakan satu sama lain terdiri atas
empat macam sesuai dengan urutan berikut.
a. Cabang furu' orang yang meninggal Gihat bunuwwah). yaitu anak laki-laki, dan
cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
b. Pokok/usul orang yang meninggal Gihat bunuwwah), yaitu meliputi ayah . kakek
(bapaknya bapak),dan seterusnya ke atas.
c. Hawasyi atau kerabat menyamping orang yang meninggal (fihat ukhuwah) yaitu
meliputi saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah. kemudian anak
saudara laki-laki seayah terus ke bawah. Jihat ukhuwwah ini hanya terbatas pada
saudara laki-laki kandung, dan saudara-saudara laki-laki seayah, dan anak laki-laki
dari anak laki-laki masing-masing. Mengenai saudara laki-laki seibu, mereka
termasuk ushabuj furud, tidak termasuk asubah, karena mereka bersilsilah kepada
ibu.
d. Kerabat menyamping yang jauh Gihat umumah), yaitu keturunan dari kakek si
pewaris betapapun jauhnya, seperti saudara laki-laki ayah kandung dan anak laki-
laki mereka, saudara laki-laki ayah seayah dan anak laki-laki mereka,
b. Ketentuan Hukum Asabah Binafsi
Sebagaimana kita ketahui dari penjelasan di atas bahwa asabah binafsi
mempunyai empat jalur yang perolehan warisannya harus dilakukan secara berurutan.
Apabila ada salah seorang di antara ahli waris yang memperoleh asobah sendirian, tidak
ada ahli waris lainnya, ia memperoleh seluruh harta peninggalan atau mendapat sisa
harta setelah diambil oleh ahli waris yang mempunyai bagian tetap.
Jika harta warisan itu telah habis dibagikan kepada ahli waris yang mempunyai
bagian tetap, ia tidak memperoleh bagian apaapa. Misalnya seorang istri meninggal
dengan ahli warisnya terdiri dari suami, saudara perempuan sekandung, dan saudara
laki-laki seayah. Menurut ketentuan hukum waris, suami mendapatkan 1/2. Demikian
juga saudara perempuan sekandung memperoleh bagian 1/2. Dengan demikian, saudara
laki-laki seayah tidak mendapatkan bagian sebab ahli waris yang mempunyai bagian
tetap (ashabul furud) telah menghabiskan semua harta peninggalan si pewaris. Apabila
jumlah ahli waris usabah binafsi itu cukup banyak, harus di-tarjih (dicari mana yang
lebih kuat hubungan kekerabatannya), yang uraiannya adalah berikut ini.
1. Tarjih bil jihat
Apabila asabah binafsi jumlahnya cukup banyak, asabah yang menduduki jalur
urutan pertama harus didahulukan daripada jalur kedua, dan seterusnya. Dengan
demikian, jalur anak harus didahulukan dari jalur lainnya. Ini berarti anak laki-laki
orang yang meninggal mengambil seluruh harta atau sisa setelah diambil bagian
oleh ashabul furud. Jikatidak ada anak laki-laki, bagian itu diperoleh anak| anaknya
terus ke bawah karena mereka menduduki kedudukan anak (bapaknya).
Apabila seorang meninggal dengan ahli waris anak laki-laki, ayah, dan saudara
laki-laki kandung, asabah di sini adalah anak laki-laki, karena jihat bunuwwah harus
didahulukan daripada yang lainnya. Ayah sebagai ashabul furud dan saudara laki-
laki kandung tidak memperoleh bagian apa-apa karena derajatnya jauh.
Mendahulukan asabah yang berjihat bunuwwah daripada ubuwwah merupakan
suatu penghormatan bagi keluarga yang terdekat nasabnya dengan si pewaris. Tidak
diragukan lagi bahwa anak turun seseorang itu lebih dekat pertaliannya (nasabnya)
dengan si pewaris daripada leluhur yang menurunkan si pewaris. Apalagi menurut
tabiat kemanusiaan bahwa kecintaan seseorang kepada anak-anak lebih menonjol
daripada kecintaannya kepada ayah, terutama kecintaan dalam hal pemberian
manfaat kebendaan.
Akan tetapi, kalau derajat anak itu lebih dengan, perhubungan antarkeduanya
demikian kuatnya, sehingga kecenderungan seseorang untuk melebihkannya sangat
keras. Misalnya saudara laki-laki sekandung atau seayah, jika bersama kakek.
Sebenarnya jihat mereka harus diakhirkan dari jihat ubuwwah, tetapi mereka
mewarisi bersama dari jihat ubuwwah, tetapi mereka mewarisi bersama kakek
(maka tidak termasuk aturan jihat ini). Dalam hal ini, didahulukan asabah yang
berjihat ubuwwah daripada berjihat ukhuwwah karena leluhur yang menurunkan si
pewaris adalah lebih dekat derajatnya dari pada saudara-saudaranya dan dialah yang
mempertemukan nasab saudara-saudara si pewaris.
Akan tetapi, jihat ubuwwah tidak mutlak harus didahulukan daripada
ukhuwwah, dalam masalah kakek mewarisi bersama dengan saudara-saudara
kandung (baik laki-laki maupun perempuan) atau seayah saja. Dalam masalah dan
keadaan seperti ini mereka dapat mewarisi bersama-sama dengan membagi sama
(mugasamah).
2. Tarjih biddarajah
Apabila asabah binafSi terdiri atas beberapa orang dan jalurnya sama, cara
pembagiannya adalah menurut tingkatannya dengan mendahulukan mereka yang
lebih dekat kedudukannya dengan orang yang meninggal. Misalnya : seorang
meninggal dengan ahli warisnya adalah anak lakilaki dan cucu dari anak laki-laki,
maka yang berhak mendapatkan warisan adalah anak laki-laki sebab kedudukannya
lebih dekat dengan orang yang meninggal daripada cucu dari anak laki-laki.
Demikian pula, jika ahli waris terdiri atas saudara laki-laki seayah dengan anak
lakilaki dari saudara laki-laki sekandung. Meskipun posisi mereka berasal dari arah
yang sama (dari arah saudara lakilaki), tingkatannya berbeda. Saudara laki-laki
seayah tingkatannya lebih dekat dengan orang yang meninggal dibandingkan
dengan anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung. Dengan demikian, harta
warisan diberikan kepada saudara laki-laki seayah.
3. Tarjih biguwwatil qarabah
Apabila asabah binafsi berada dalam satu jihat dan derajat yang sama, harus
ditarjih melalui kekerabatan, artinya harus didahulukan mereka yang kuat
kekerabatannya. Oleh karena itu, asabah yang memiliki kekerabatannya . rangkap,
seperti saudara kandung didahulukan daripada asabah yang hanya memiliki
kekerabatan tunggal, seperti saudara tunggal ayah. Demikian juga anak laki-laki
sekandung hendaklah didahulukan daripada anak laki-laki saudara seayah dan anak
laki-laki paman sekandung harus didahulukan daripada anak laki-laki paman
seayah. Jadi, apabila ada anak laki-laki saudara laki-laki sekandung bersama anak
laki-lakinya saudara laki-laki seayah, seluruh harta peninggalan diberikan kepada
anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mendahulukan kekuatan kekerabatan
tidak berlaku dalam dua jihat, yaitu jihat bunuwwah dan ubuwwah. Ia hanya berlaku
dalam jihat ukhuwwah dan umumah.
Adapun dasar hukum asabah binafsi, yaitu hadis Nabi SAW. : “Berikanlah
harta pusaka kepada orang-orang yang berhak, sedangkan sisanya adalah untuk
orang lakilaki yang lebih utama.” (HR. Bukhari Muslim)
c. Anak harus didahulukan daripada ayah
Apabila anak dan ayah dalam kekerabatan dan pernasabannya kepada
seseorang, yang satu adalah furu ' (keturunan) dan satunya adalah usul (pokok), serta
hubungan keduanya kepada si pewaris dalam satu derajat, berdasarkan pemikiran ini
tentu tidak boleh mendahulukan anak daripada ayah dalam mewarisi dengan cara
asabah. Dalam bab keutamaan pun, tidak sepantasnya mendahulukan anaknya anak
(cucu) daripada ayah. Padahal dalam kasus ini, anak harus didahulukan daripada ayah,
karena posisinya lebih dekat daripada ayah. Menurut Az-Zailai, alasan yang lebih kuat
terdapat dalam Al-Qur'an, yaitu firman Allah SWT :
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.” (QS. An-Nisa” : 11)
Bapak dijadikan ashabul furud apabila bersama dengan anak, dan untuk anak
laki-laki tidak ditentukan bagiannya yang pasti, Oleh karena itu, jika ada sisa, maka sisa
tersebut untuknya. Hal ini menunjukkan bahwa anak laki-laki didahulukan daripada
bapak dengan jalan asabah, sedangkan cucu dari anak laki-laki, menempati kedudukan
anak (bapaknya), ia juga didahulukan daripada bapaknya, Di samping dalil naqli
tersebut, terdapat juga dalil agli, yaitu manusia selalu mengutamakan anaknya daripada
ayahnya. Ia mengupayakan hartanya berpindah kepadanya. Oleh karena itu, biasanya
ia meremehkan hartanya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. Pernah menjelaskan dengan
sabdanya:
“Anak itu sesuatu yang membakhilkan dan mengecutkan.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedudukan anak dalam hati nurani
manusia lebih dekat daripada ayah. Menurut kaidah, asabah binafsi itu hanyalah terdiri
atas orang laki-laki. Oleh karena itu, dalam keadaaan bagaimana pun, orang perempuan
tidak akan menjadi asabah binafsi, kecuali budak perempuan yang dimerdekakan.
2. Ashobah Bil Ghair
a. Pengertian
Ashobah Bil Ghair adalah setiap orang yang memerlukan orang lain
untukmenjadikan ashobah dan bersama-sama menerima usubah.
Mereka terdiri atas empat orang wanita yang fard. Mereka mendapat 1/2 bila
tunggal dan 2/3 bila lebih dari seorang. Keempat Orang wanita tersebut adalah:
1. Anak perempuan kandung menjadi asabah bersama anak laki-laki kandung
2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) menjadi asabah bersama
anak laki-lakinya anak laki-laki, baik tingkatannya sama atau lebih rendah (urutan
ke bawah), jika tidak ada ahli waris lainnya.
3. Saudara perempuan sekandung menjadi asabah bersama saudara laki-laki
sekandung.
4. Saudara perempuan seayah menjadi asabah bersama saudara laki-laki scayah.
Apabila salah seorang dari keempat perempuan tersebut bersama salah seorang
muasib binafsi yang derajat dan kekuatannya sama, ia menjadi asabah bil ghair
(bersama orang lain). Ia bersama-sama dengan muasib-nya menerima sisa harta
peninggalan dari ashabul furud atau menerima seluruh harta peninggalan bila tidak ada
ashabul furud, dengan ketentuan orang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian orang
perempuan. Hal ini dijelaskan dalam Al-quran surat An-Nisa' ayat II dan 176: 4
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian seorang anak lelaki sama den bagian dua prang anak perempuan.” (QS. An-
Nisa' : 11)
“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara lakilaki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan.” (QS. An-Nisa : 176)
b. Syarat-syarat asabah bil ghair
Beberapa orang perempuan yang mewarisi bersama dengan seorang laki-laki
(mu'asib-nya) tidak selamanya dapat mewarisi dengan jalan asabah bil ghair. Oleh
karena itu, untuk menjadikan mereka sebagai asabah bil ghair diperlukan beberapa
syarat berikut.
1. Perempuan tersebut tergolong ahli waris ashabul furud (mempunyai bagian tetap)
Orang perempuan yang tidak tergolong ashabul furud walaupun ia mewarisi
bersama dengan muasib-nya, tidak menjadi asabah bil ghair. Misalnya, anak
perempuannya saudara laki-laki sekandung tidak dapat menjadi asabah dengan
saudara laki-laki sekandung. Hal ini, karena anak perempuannya saudara laki-laki
sekandung tidak mempunyai bagian tetap. Demikian juga, saudara perempuan ayah
sekandung tidak dapat menjadi asabah dengan saudara lakilaki ayah sekandung.
Kerena saudara perempuan ayah sekandung tidak memiliki bagian tetap.

2. Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud) dengan orang
yang meng-asabah-kan (muasibnya) memiliki tingkatan (dalam jihat) yang sama.
Dengan demikian, anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki
yang mewarisi bersama saudara kandung tidak menjadi asabah bil ghair, karena
kedudukan derajat (jihat) mereka tidak sama. Anak perempuan dari anak-laki-laki
jihatnya adalah bunuwwah, sedangkan saudara sekandung jihatnya adalah
ukhuwwah.
3. Orang yang meng-asabah-kan (muasib) harus Sama derajatnya dengan perempuan
yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud).
Oleh karena itu, cucu perempuan dari anak laki-laki (berderajat dua) bila ia
mewarisi bersama dengan anak laki-laki (berderajat satu), tidak dapat meryad:
asabah bil ghair sebagaimana halnya saudani kandung (berderajat dua) bila
bersama-sama anak laki-laki saudara kandung (berderajat tiga). Dalam contoh
terakhir, saudara kandung mendapat bagian 1/2, kemudian sisanya, yaitu 1/2
diberikan kepada anak laki-laki saudara sekandung secara asabah.
4. Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan ashabul furud dengan
muasibnya
Saudari kandung (yang mempunyai dua jurusan kekerabatan) bila bersama-
sama dengan saudara seayah (yang hanya mempunyai satu jurusan kekerabatan)
tidak dapat menjadi asabah bil ghair, kecuali cucu perempuan dari anak laki-laki
yang dapat menjadi asabah bil ghair dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki yang
lebih rendah derajatnya, bila ia dibutuhkan oleh cucu perempuan tersebut untuk
memperoleh warisan. Sebab yang terakhir ini tidak akan menerima warisan
sekiranya tidak dengan jalan asabah bil ghair.
Penyebutan asabah bil ghair didasarkan pada ketentuan bahwa perolehan asabah
mereka bukan karena kekerabatan mereka terhadap orang yang meninggal dunia, tetapi
karena adanya orang lain yang mendapat asabah dengan dirinya sendiri (asabah
binafsi). Jika orang lain ini ada, mereka menjadi asabah karena orang lain (asabah bila
ghair). Akan tetapi, jika orang lain itu tidak ada, mereka mendapat bagian tetap sebagai
ashabul furud.
3. Asabah Ma'al Ghair
a. Pengertian
Asabah ma 'al ghair ialah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk
menjadikan asabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima usubah.
Orang yang menjadikas asabah tetap menerima bagian sesuai dengan fard-nya sendiri.
Asabah ini hanya diberlakukan secara tertentu kepada saudara-saudara perempuan
sekandung atau seayah dengan? beberapa anak perempuan jika tidak ada saudara laki-
laki.
Atas dasar ketentuan ini, saudara perempuan sekandung atau seayah menjadi asabah
dengan anak perempuan, atau anak perempuannya anak laki-laki dan seterusnya ke
bawah. Bentuk asabah yang demikian hanya khusus diperuntukkan bagi beberapa
saudara perempuan dengan beberapa anak perempuan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa asabah ma'al ghair hanya terdiri atas saudara
perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah.
kedua orang tersebut dapat menjadi asabah ma 'al ghair, dengan beberapa syarat berikut.

1. Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
2. Tidak berdampingan dengan saudaranya yang menjadi ” muasib-nya.
Muasib ma'al ghair itu hanya diperlukan sematamata untuk menjadikan asabah
beberapa saudara perempuan. Ia sebagai muasib hanya menerima harta peninggalan
sesuai dengan fard-nya dan saudara perempuan yang di-asabah-kan memperoleh sisa
harta peninggalan setelah digunakan untuk memenuhi bagian ashabul furud, termasuk
bagian muasib-nya.
b. Dasar Hukum Pusaka Asabah Ma'al Ghair
Dalil yang dijadikan dasar hukum pusaka asabah ma'al ghair, antara lain berikut
imi.
1. Hadis yang diceritakan oleh Hudzail bin Syarahbil yang menjelaskan keputusan
Ibnu Mas'udr.a. ketika dikonfrontasikan dengan pendapat Abu Musa dalam
masalah seorang pewaris yang meninggalkan anak perempuan dari anak lakilaki
dan saudara perempuan. Ibnu Mas'ud berkata:
Artinya: “Aku putuskan masalah itu sesuai dengan putusan Nabi Muhammad
SAW. Untuk anak perempuan setengah, untuk anak perempuan dari anak laki-
laki seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya untuk saudara
perempuan.” (HR. Jama'ah ahli hadis, kecuali Muslim dan Nasa')
2. Hadis yang diceritakan oleh Al-Aswad, yang menjelaskan:
Artinya: “Muaz bin Jabal memberikan waris kepada saudara perempuan dan
anak perempuan untuk masing-masing setengah.Ia (ketika memutuskan
demikian) berada di Yaman, dan Nabi Muhammad SAW. pada saat itu masih
hidup .” (HR. Abu Dawud dan Bukhari meriwayatkannya dengan makna yang
sama) .
Semula Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair memang memutuskan bahwa saudara
perempuan itu gugur karena ada anak perempuan. Akan tetapi, setelah mendengar
keputusan Muadz, beliau mencabutnya.Dengan demikian, bagian beberapa saudara
perempuan itu ditetapkan oleh nash, yaitu bagian mereka.
D. PERBEDAAN ASABAH BIL GHAIR DAN ASABAH MA'AL GHAIR
Seperti diuraikan dalam subbab di atas bahwa asabah binafsi adalah setiap
perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud) kemudian mendapatkan
asabah dengan saudaranya. Misalnya, anak perempuan dengan anak laki-laki, saudara
perempuan sekandung dengan saudara laki-laki sekandung, dan seterusnya. Ketentuan
hukum warisannya adalah seorang laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat bagian
perempuan.
Adapun asabah ma'al ghair adalah asabah yang diperoleh saudara perempuan
dengan beberapa anak perempuan. Ketentuan hukum warisnya adalah saudara-saudara
perempuan mendapatkan sisa harta warisan setelah dibagikan kepada ahli waris yang
mempunyai bagian tetap (ashabul furud). Dari ketentuan ini, dapat diketahui letak
perbedaannya, yaitu dalam asabah bil ghair, selalu ada orang-orang yang memperoleh
asabah dengan dirinya sendiri, yaitu anak laki-laki, anak laki-lakinya anak laki-laki,
saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Adapun dalam asabah ma'al
ghair tidak ada orang lain (ahli waris) yang mendapat asabah dengan dirinya sendiri.
Dalam Syarah Syirajiyah dijelaskan bahwa perbedaan tersebut dapat dilihat dari dua
segi, yaitu:
a. Dari segi muasib-nya
Muasib asabah bil ghair adalah para asabah binajsi, seperti anak-laki-laki, cucu
laki-laki dari anak laki-laki betapa rendah menurunnya dan saudara sekandung atau
seayah.
Adapun muasib asabah ma'al ghair adalah perempuanperempuan ahli waris
ashabul furud seperti anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
b. Dari segi penerimaan pusaka
Pada asabah bil ghair baik orang yang di-asabah-kan maupun muasib-nya,
bersama-sama menerima bagian asabah dari ashabul furud, atau seluruh harta
peninggalan bila seluruh ahli waris hanya asabah saja, dengan ketentuan, laki-laki
mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun pada asabah ma'al ghair, muabsi-nya tidak turut menerima usubah. Ia
hanya diminta untuk meng-asabah-kan saja. Selesai tugasnya, ia menduduki
fungsinya sebagai ashabul furud.

Anda mungkin juga menyukai