Anda di halaman 1dari 6

Jawaba uas Fiqih Mawaris

Anisa Yani (02020621442)

1. Ashabah adalah bentuk jamak dari kata ”ashib” yang berarti mengikat dan


menguatkan hubungan. Secara istilah, ashabah adalah ahli waris yang bagiannya
tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta, setelah harta
tersebut dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.

Macam-macam Ashabah   Ada 2 (dua) macam ashabah di dalam ilmu faraidl, yakni  

Ashabah sababiyah adalah ashabah karena adanya sebab, yaitu sebab


memerdekakan budak. Ketika seorang budak yang telah dimerdekakan meninggal
dunia dan tak memiliki kerabat secara nasab maka sang tuan yang
memerdekakannya bisa mewarisi harta peninggalannya secara ashabah, sebagai
balasan atas kebaikannya yang telah memerdekakan sang budak.

ashabah nasabiyah adalah ashabah karena adanya hubungan nasab dengan si mayit.
Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah semua orang laki-laki yang telah
disebutkan dalam pembahasan para penerima waris dari pihak laki-laki selain suami
dan saudara laki-laki seibu, keduanya hanya menerima dari bagian pasti saja. Dengan
demikian maka yang termasuk dalam ashabah nasabiyah adalah bapak, kakek, anak
laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-
laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-lakinya
paman sekandung, dan anak laki-lakinya paman sebapak.
Mereka semua adalah para ahli waris yang bisa mendapatkan warisan secara
ashabah. Meskipun bapak dan kakek terkadang bisa mengambil warisan melalui
bagian pasti.  

Macam-macam Ashabah Nasabiyah   Para ulama membagi Ashabah Nasabiyah


menjadi 3 (tiga) macam, yakni:  

1. Ashabah bin nafsi


2. Ashabah bil ghair
3. Ashabah ma’al ghair  

Adapun penjelasan ketiga macam ashabah tersebut adalah sebagai berikut:  


Ashabah bin Nafsi    Ashabah bin nafsi adalah mereka yang memiliki nasab dengan si
mayit tanpa ada unsur perempuan yang termasuk dalam kategori ashabah ini adalah
semua ahli waris laki-laki sebagaimana telah disebut di atas. Sesuai dengan namanya
mereka bisa mendapatkan bagian ashabah dengan sendirinya, bukan karena
dijadikan ashabah oleh ahli waris lain dan juga bukan karena bersamaan dengan ahli
waris yang lain. Kerabat-kerabat sang mayit dari golongan perempuan (ibu, anak
perempuan, cucu perempuan dan sebagainya) dan siapa saja yang memilikinya
hubungan nasab dengan si mayit dengan adanya unsur perempuan (seperti cucu
laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki dari saudara perempuan dan
sebagainya) tidak masuk dalam kategori ashabah bin nafsi, mereka tidak bisa
mendapatkan sisa harta waris dengan sendirinya.  

Berikutnya dilihat dari sisi nasab mereka yang masuk dalam ashabah bin nafsi
diklasifikasi dalam 4 (empat) sisi:

  1. Sisi keanakan (jihhatul bunuwwah), terdiri dari anak keturunannya si mayit,


seperti anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, terus kebawah.  
2. Sisi kebapakan (jihhatul ubuwwah), terdiri dari orang tuanya si mayit, seperti
bapak dan kakek dari bapak.  
3. Sisi kesaudaraan (jihhatul ukhuwwah), terdiri dari anak keturunan bapaknya si
mayit yang hubungan nasabnya dengan si mayit tidak ada unsur perempuannya,
seperti saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sekandung, dan anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.  
4. Sisi kepamanan (jihhatul ‘umûmah), terdiri dari keturunan kakeknya si mayit yang
berupa orang laki-laki yang hubungan antaranya dengan si mayit tidak diperantarai
unsur perempuan, seperti paman sekandung, paman sebapak, anak laki-lakinya
paman sekandung, dan anak laki-lakinya paman sebapak.  

Para ulama faraidl membuat beberapa kaidah untuk menentukan siapa saja para
penerima ashabah yang bisa tetap menerima warisan dan siapa saja yang terhalang
menerima warisan bila semua berkumpul. Dalam kaidah-kaidah tersebut para ulama
menjelaskan:  

1. Ahli waris ashabah yang masuk pada kategori yang lebih akhir tidak bisa
mendapat warisan bila ia bersamaan dengan ahli waris ashabah yang masuk pada
kategori sebelumnya.   Sebagai contoh, seorang bapak tidak bisa menerima warisan
secara ashabah bila ia bersamaan dengan seorang anak laki-laki atau cucu laki-laki
dari anak laki-laki. Ia hanya akan menerima bagian 1/6, bukan ashabah. Saudara laki-
laki sekandung tidak bisa menerima warisan (mahjûb) bila ia bersamaan dengan
bapaknya si mayit. Demikian pula seorang paman terhalang mendapat warisan
(mahjûb) bila ia bersamaan dengan saudara laki-laki.  

2. Bila ahli waris ashabah dengan kategori yang sama berkumpul maka ahli waris
yang lebih jauh dari mayit tidak bisa menerima warisan karena terhalang oleh ahli
waris yang lebih dekat ke mayit.    Sebagai contoh kakek terhalang mendapat
warisan bila bersama dengan bapak, cucu laki-laki terhalang bila bersama dengan
anak laki-laki, dan seterusnya.   Dengan kata lain ahli waris yang bernasab ke mayit
melalui perantara tidak bisa menerima warisan bila bersamaan dengan si perantara
tersebut. Pada contoh di atas, seorang cucu laki-laki itu berhubungan nasab dengan
si mayit melalui perantara anak laki-lakinya si mayit, maka sang cucu terhalang
mendapat waris karena bersamaan dengan anak laki-lakinya si mayit. Seorang kakek
berhubungan nasab dengan si mayit melalui perantara bapaknya si mayit yang juga
merupakan anaknya si kakek. Maka ia terhalang mendapat warisan bila bersamaan
dengan bapaknya si mayit yang merupakan perantara antara dirinya dengan si mayit.
 

3. Bila ada kesamaan sisi kekerabatan dan setara pula derajat para ashabah namun
berbeda kekuatan kekerabatannya dengan si mayit, maka ahli waris yang lebih kuat
kekerabatannya dengan si mayit lebih didahulukan dari pada ahli waris yang lebih
lemah kekerabatannya dengan si mayit. Sebagai contoh, saudara laki-laki sekandung
lebih kuat kekerabatannya dengan si mayit dibanding saudara laki-laki sebapak.
Karenanya saudara sekandung lebih didahulukan dari pada saudara laki-laki sebapak.
Demikian pula paman sekandung lebih didahulukan dari pada paman sebapak, dan
seterusnya.  

4. Bila ada kesamaan para ahli waris dalam sisi kekerabatan, derajat, dan kekuatan
maka semuanya berhak untuk mendapatkan harta warisan. Harta waris yang ada
dibagi sama rata di antara mereka. Seperti ahli waris yang terdiri dari tiga orang anak
laki-laki, atau terdiri dari empat orang saudara laki-laki sekandung, dan seterusnya.  

2. Hijab Nuqsan merupakan ahli waris terdekat yang menghalang ahli waris lainnya
sehingga tidak menerima jumlah warisan seutuhnya. Ahli waris yang termasuk dalam
golongan hijab Nuqsan diantaranya adalah Ibu, bapak dan suami atau istri. Ibu akan
terhalangi warisannya oleh anak, cucu dan dua orang saudara maupun lebih. Bapak
kandung akan terhalangi warisannya oleh anak dan cucu. Lalu suami atau istri akan
terhalangi oleh anak atau cucu.
Hijab Hirman merupakan ahli waris terdekat yang menghalang ahli waris lainnya
sehingga tidak mendapatkan warisan. Ahli waris yang termasuk dalam golongan
hijab Hirman diantaranya cucu laki laki yang mana akan terhalang oleh anak laki laki,
karena anak laki laki memiliki hubungan darah lebih dekat dibandingkan cucu laki
laki. Kedua adalah kakek dari bapak yang akan terhalang oleh bapak, karena bapak
hanya melalui satu kali hubungan darah.
Perbedaan nya antara hijab nuqsan dan hijab hirman ialah, pertama hijab nuqsan
hanya mengurangi sebagian dari warisannya sedangkan hijab hirman menyebabkan
ahli waris kehilangan seutuhya warisan yang akan didapatkan. Kedua hijab nuqsan
akan terhalangi oleh ahli waris anak atau cucu sedangkan hijab hirman akan
terhalangi oleh ahli waris yang memiliki satu kali hubungan darah seperti anak atau
bapak.
3. Asal masalah adalah satu hal yang mesti ada untuk bisa menentukan bagian (sihâm)
masing-masing ahli waris dalam bentuk bilangan bulat, bukan dalam bentuk
pecahan. Dalam ilmu Aritmatika Asal Masalah bisa disamakan dengan Kelipatan
Persekutuan Terkicil atau KPK yang dihasilkan dari semua bilangan penyebut dari
masing-masing bagian pasti ahli waris yang ada. Asal Masalah atau KPK ini harus bisa
dibagi habis oleh semua bilangan bulat penyebut yang membentuknya.

Cara menentukan asal masalah :

1. Apabila ahli waris terdiri dari golongan ashabah keseluruhannya, maka asal
masalahnya diambil dari bilangan ahli warisnya, yakni apabila keseluruhannya
ahli waris terdiri atas laki-laki saja. Dapat dicontohkan sebagai berikut:
seseorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris 6 (enam) orang anak
laki-laki, maka masalahnya diambil dari bilangan jiwa dari ahli waris, yakni 6
(enam). Demikian pula bila seseorang meninggal dunia meninggalkan 12 (dua
belas) orang saudara laki-laki sekandung, maka asal masalahnya diambil dari
12 (dua belas) dan demikian seterusnya.

2. Apabila semua ahli waris terdiri dari ash-habul furudh yang masing-masing
bahagianya sama, maka asal masalahnya diambil dari makhraj (sebutannya)
ash-habul furudh tersebut. Apabila bahagiannya sepertiga, maka asal
masalahnya diambil dari tiga, seperempat asal masalahnya diambil dari tiga,
seperempat asal masalahnya diambil dari empat, seperenam diambil
masalahnya diambil dari empat, seperenam diambil masalahnya dari enam,
dan seperdelapan diambil masalahnya dari delapan demikian seterusnya,
yakni asal masalah selamanya diambil dari sebutan pecahan yang dijadikan
bagian ash-habul furudh. Namun apabila golongan ash-habul furudhnya lebih
dari satu macam, maka asal masalahnya diambil dari kelipatan terkecil semua
sebutannya, baik secara tamatsul, tadakhul dan tabayyun dan tawafuk.

4. Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan pembagian


waris dalam keluarga anda:

1. Menyepakati Hukum Waris yang Akan Digunakan

2. Menentukan Harta Warisan Pewaris


Adapun yang dimaksud harta warisan yaitu meliputi hak dan kewajiban
pewaris. Kewajiban yaitu utang-utang pewaris kepada pihak ketiga yang
sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu dengan menggunakan harta warisan
yang ada. Sehingga setelah seluruh utang-utang pewaris diselesaikan, sisa
harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
3. Menentukan Ahli Waris dari Pewaris
Seluruh keluarga terdekat dari pewaris harus sepakat dalam menentukan
siapa saja yang berhak untuk memperoleh harta peninggalan pewaris.
Dengan kata lain menentukan ahli waris dari pewaris, karena tidak seluruh
keluarga yang ditinggalkan berhak memperoleh warisan.
Hal ini berkaitan erat dengan hukum waris yang telah disepakati di awal.
Aturan mengenai siapa saja yang berhak tampil sebagai ahli waris menurut
hukum Islam dan perdata barat berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan
adanya penggolongan ahli waris dari masing-masing hukum waris tersebut.

4. Menghitung Bagian Perolehan Ahli Waris


Setelah mengetahui siapa saja yang berhak tampil menjadi ahli waris, maka
selanjutnya menentukan besarnya bagian dari masing-masing ahli waris
tersebut.

Sebagai contoh, telah disepakati yang berhak untuk menjadi ahli waris dari
pewaris (ayah) yaitu jandanya, 2 orang anak perempuan dan 1 anak laki-laki.
Lalu berdasarkan kesepakatan bersama seluruh ahli waris disepakati akan
dilakukan pembagian berdasarkan hukum perdata barat. Sehingga seluruh
ahli waris (janda dan anak-anak) akan memperoleh bagian yang sama besar.

5. Membuat Kesepakatan Pembagian Waris


Setelah hal-hal tersebut di atas telah disepakati bersama maka, langkah
selanjutnya yaitu menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk
perjanjian. Agar kesepakatan tersebut memiliki kekuatan hukum yang
sempurna dan mengikat pihak ketiga maka sebaiknya dibuat dalam bentuk
akta notaris.

5. Pengertian ‘aul secara bahasa ‘aul bermakna ‘naik’ atau ‘meluap’. ‘Aul bisa juga
berarti ‘bertambah’ atau “ menaikkan jumlah bagian ahli waris terhadap Asal
Masalah, Sedangkan definisi ‘aul menurut istilah Fuqaha yaitu bertam bahnya jumlah
bagian-bagian, disebabkan kurang pendapatan yang harus diterima oleh ahli waris,
sehingga jumlah bagian semuannya berlebih dari aṣl al-masalah-nya atau KPK.
Sedangkan radd yaitu Apabila dalam pembagian harta warisan di antara ahli waris
Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka
penyebut sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris,
sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.

6. Suami = ¼ => 12 : 4 = 3
1 cucu perempuan => ½ => 12 : 2 = 6
Kakek = 1/6 => 12 : 6 = 2
saudara kandung laki – laki = 1 => 12 – (3+6+2)
Harta = 24 miliar / 12 = 2 miliar
Suami = 3 x 2 = 6 m
Cucu pr = 6 x 2 = 12 m
Kakek = 2 x 2 = 4 m
Saudara kandung lk = 1 x 2 = 2 m

7. Wasiat adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain ketika dia masih
hidup dengan niat sadaqah. Akan tetapi penyerahan kepemilikannya dilakukan
ketika setelah meninggal dunia. Perbedaan wasiat dengan wasiat wajibah adalah,
wasiat diberikan secara sukarela dan atas kemauan si pewasiat, sedangkan wasiat
wajibah wajiat yang diwajibkan sesuai dengan undang – undang. Dasar hukum
dianjurkannya wasiat ada pada surat al – baqarah ayat 180 yang artinya “Diwajibkan
atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia
meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara
yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”

Anda mungkin juga menyukai