Anda di halaman 1dari 7

V.

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)


V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

A. Definisi al-Hujub
B. Macam-macam al-Hujub
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Saudara Laki-laki yang Berkah
Saudara Laki-laki yang Merugikan
C. Tentang Kasus Kolektif
Perbedaan Pendapat Para Fuqaha
Persyaratan Masalah Kolektif
Beberapa Kaidah Penting

A. Definisi al-Hujub

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah
SWT berfirman:

"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)
Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat
melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.

Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga
pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna
menemui para penguasa atau pemimpin.

Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek)
ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain
untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan.

Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli
waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya
orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

B. Macam-macam al-Hujub

Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi
(karena orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak
waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris
mereka menjadi gugur atau terhalang.

Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya
orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub
hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak
waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah,
terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena
adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan
seterusnya.

Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang
untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang
seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai
keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya
mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan
karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.

Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa
diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan
tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.

Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman

Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam
orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak kandung
laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati
meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus mendapatkan warisan.

Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman

Sederetan ahli waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-
laki dan lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:

1. Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga oleh kakek yang
lebih dekat dengan pewaris.
2. Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan laki-laki
(anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
3. Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga
terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan
terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya).
4. Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek,
dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-
laki maupun anak perempuan.
5. Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki.
Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat).
6. Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi dengan adanya
ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta oleh saudara laki-laki
seayah.
7. Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangi dengan adanya
orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara kandung laki-laki),
ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-
laki).
8. Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki dari
saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan laki-
laki dari saudara laki-laki seayah.
9. Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman kandung,
dan juga dengan adanya paman kandung.
10. Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanya paman
seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman seayah.
11. Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupu laki-laki
(anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi sepupu laki-laki
(anak paman kandung).

Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:

1. Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanya sang ibu.
2. Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anak laki-laki,
baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya
dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada 'ashabah.
3. Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu, cicit, dan
seterusnya (semuanya laki-laki).
4. Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara kandung perempuan
jika ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang oleh adanya ayah dan
keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang
oleh adanya dua orang saudara kandung perempuan bila keduanya menyempurnakan
bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya 'ashabah.
5. Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah, kakek, dan
seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki
ataupun perempuan.

Saudara Laki-laki yang Berkah

Apabila anak perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai saudara laki-laki
(yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat ataupun yang lebih rendah dari
derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki dapat menyeret cucu perempuan itu sebagai
'ashabah, yang sebelumnya tidak mendapat fardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut
sebagai kerabat yang berkah atau saudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa
cucu laki-laki, cucu perempuan tidak akan mendapat warisan.
Kemudian, apabila saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga
(2/3), gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada saudara laki-laki
seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya menjadi 'ashabah. Keadaan
seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah, sebab tanpa keberadaannya para saudara
kandung perempuan itu tidak akan menerima hak waris mereka.

Saudara Laki-laki yang Merugikan

Kalau sebelumnya saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah, maka kini
saya akan menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang merugikan. Disebut saudara
laki-laki yang merugikan karena keberadaannya menyebabkan ahli waris dari kalangan wanita
tidak mendapatkan warisan. Padahal, apabila saudara laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu
akan mendapatkan waris. Agar lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.

Pertama:

Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak perempuan, dan
cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami seperempat (1/4)
bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah juga seperenam (1/6) bagian, anak perempuan
setengah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6)
sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3) karena merupakan bagian wanita.

Seandainya dalam kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka gugurlah hak
cucu perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki dari cucu perempuan
keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia mengapa ulama faraid
mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang merugikan".

Kedua:

Untuk lebih memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang merugikan.
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah, anak perempuan, serta
cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
suami memperoleh seperempat (1/4) bagian karena istri mempunyai anak (keturunan), ibu
seperenam (1/6) bagian, ayah seperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat
setengah (1/2) bagian karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan
tidak mendapat bagian.

Itulah contoh tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak merugikan karena
memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga cucu perempuan keturunan
anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3).
Sedangkan dalam contoh kedua, cucu perempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia
mempunyai saudara laki-laki yang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak
laki-laki.

Ilustrasi seperti itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu perempuan
keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan posisi cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki seayah. Maka, saudara perempuan
seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai saudara laki-laki seayah yang masih hidup.
Namun, bila mempunyai saudara laki-laki seayah, maka saudara perempuan seayah tidak
mendapat bagian apa-apa.

C. Tentang Kasus Kolektif

Menurut kaidah yang biasa dikenal dan dipakai ulama faraid, pembagian harta waris
dimulai dengan ashhabul furudh, kemudian baru kepada para 'ashabah. Para ulama
menyandarkan kaidah ini pada hadits Rasulullah saw. (artinya): "Berikanlah hak waris
kepada ashhabul furudh, dan sisanya diberikan kepada kerabat laki-laki yang lebih
dekat."

Namun demikian, dalam masalah ini ternyata terjadi sesuatu yang kontradiktif, sesuatu
yang keluar dan menyimpang dari kaidah aslinya. Masalah ini dikenal juga dengan
istilah "kasus musytarakah" (kasus kolektif). Sementara itu, di sisi lain masalah ini
telah memancing perbedaan pendapat sejak masa para sahabat, tabi'in, dan imam
mujtahidin.

Contoh permasalahannya sebagai berikut; seorang wanita wafat dan meninggalkan


seorang suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu (atau lebih dari dua orang), dan dua
orang saudara kandung laki-laki (atau lebih dari dua orang). Pembagiannya adalah
seperti berikut: suami mendapat setengah (1/2) bagian dikarenakan pewaris tidak
mempunyai anak secara fardh, ibu mendapat seperenam (1/6) bagian disebabkan
pewaris mempunyai dua orang saudara laki-laki atau lebih, dan dua orang saudara
seibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Sedangkan saudara kandung laki-laki tidak
mendapatkan bagian karena ia sebagai 'ashabah --sedangkan harta waris yang
dibagikan telah habis.

Berdasarkan kaidah yang berlaku, saudara kandung laki-laki sebenamya memiliki


kekerabatan lebih kuat dibandingkan saudara laki-laki seibu, tetapi pada kasus ini
justru terjadi sebaliknya. Karena, masalah ini merupakan kasus kolektif, selain sebagai
masalah yang menyimpang dari kaidah aslinya, juga karena para sahabat, tabi'in, serta
para imam mujtahidin --dalam contoh kasus seperti ini-- menyatakan bahwa saudara
kandung laki-laki disamakan dengan saudara laki-laki yang seibu, hingga mereka
mendapat sepertiga (1/3) bagian dan dibagikan secara rata di antara mereka (termasuk
saudara kandung laki-laki). Di samping itu, masalah ini juga menyebabkan terjadinya
perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejak masa para sahabat, tabi'in, dan imam
mujtahidin.

Perbedaan Pendapat Para Fuqaha

Dalam masalah musytarakah (kolektif) ini ada dua kubu pendapat yang masyhur dalam
hal membagi hak waris sebagaimana contoh kasus tersebut. Pendapat pertama
menyatakan bahwa hak waris saudara kandung digugurkan sebagaimana mengikuti
kaidah yang ada. Pendapat ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas, dan
lainnya.

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa hak waris pada saudara kandung
dikolektifkan dengan hak waris para saudara laki-laki seibu. Pendapat ini dilakukan
oleh Zaid bin Tsabit, Utsman, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat pertama dianut dan
diikuti oleh mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan pendapat yang kedua diikuti dan
dianut oleh mazhab Maliki dan Syafi'i.

Selain itu, masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan "umariyah",
karena Umar bin Khathab pernah memvonis masalah ini --juga pernah dikenal dengan
sebutan Himariyah, Hajariyah, dan Yammiyah.

Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar bin
Khathab r.a.. Umar baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan memvonis:
saudara kandung tidak mendapat bagian hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahun
berikutnya, masalah ini diajukan kembali kepadanya. Ketika ia hendak memvonis
seperti tahun lalu, proteslah salah seorang ahli warisnya: "Wahai Amirul Mukminin,
sungguh mustahil bila ayah kami dianggap keledai atau batu yang terbuang di sungai.
Bukankah kami ini anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu dan
berpikir bahwa apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis dengan
memberi hak kepada mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secara bersamaan
dan dibagi sama rata. Contohnya adalah sebagai berikut:

Asal masalah dari enam 6 naik menjadi 18

Suami 1/2 harta waris yang ada secara fardh 3 9


Ibu 1/6 harta waris yang ada secara fardh 1 3
Saudara seibu 1/3 secara fardh dan dibagi merata dengan saudara kandung 2 4
Saudara kandung dapat hak waris, karena dianggap seperti saudara seibu
- 2
dengan mendapat bagian sepertiga (1/3) dibagi adil

Persyaratan Masalah Kolektif

1. Jumlah saudara seibu dua orang atau lebih, baik laki-laki atau perempuan.
2. Saudara yang ada benar-benar saudara kandung, sebab bila saudara seayah
maka gugurlah haknya secara ijma'. Dan dalam hal ini tidak berbeda apakah
hanya satu orang atau banyak.
3. Saudara kandung itu harus saudara laki-laki. Sebab bila perempuan, maka akan
mewarisi secara fardh, dan masalahnya pun akan naik, serta kekolektifan ini
akan batal.

Beberapa Kaidah Penting

Hak waris banul a'yan (saudara kandung laki-laki/perempuan), dan banul 'allat (saudara
laki-laki/perempuan seayah), serta banul akhyaf (saudara laki-laki/perempuan seibu)
akan gugur (terhalangi) oleh adanya anak laki-laki pewaris, cucu laki-laki (keturunan
anak laki-laki), dan ayah. Hal ini merupakan kesepakatan seluruh ulama.

Menurut mazhab Abu Hanifah hak mereka juga digugurkan oleh adanya kakek
pewaris. Sedangkan menurut ketiga imam mazhab yang lain tidaklah demikian. Masih
menurut mazhab Hanafi, hak waris banul akhyaf digugurkan dengan adanya anak
perempuan pewaris, cucu perempuan keturunan anak laki-laki pewaris, dan seterusnya.

Kaidah yang lain ialah bahwa banul akhyaf mendapatkan hak waris secara merata
pembagiannya antara yang laki-laki dengan yang perempuan. Hal ini berdasarkan
firman Allah (artinya) "mereka bersekutu dalam yang sepertiga."

Anda mungkin juga menyukai