Muqoddimah ...................................................................... 1
Bab 1 Tanda-Tanda Baligh ................................................. 2
Bab 2 Istinja’ ...................................................................... 5
- Sunnah-sunnah Istinja’ ............................................ 5
Bab 3 Bersuci Memakai Batu ............................................ 8
- Cara Istinja’ .............................................................. 11
Bab 4 Syarat-syarat Wudhu ............................................... 12
Bab 5 Fardhunya Wudhu ................................................... 18
Bab 6 Sunnah-sunnah Wudhu ........................................... 24
Bab 7 Makruhnya Wudhu .................................................. 28
Bab 8 Yang Membatalkan Wudhu ..................................... 29
- Macam-macam Mahrom ......................................... 32
Bab 9 Larangan Bagi Orang Yang Batal Wudhu ................. 37
Bab 10 Air ......................................................................... 42
- Pembagian Air .......................................................... 43
- Cara Mensucikan Air Yang Najis .............................. 46
Bab 11 Perkara yang Mewajibkan Mandi ......................... 49
- Pengertian Mani, Madzi dan Wadi .......................... 50
Bab 12 Fardhu-Fardhu Mandi ........................................... 55
Bab 13 Sunnah-sunnah Mandi ......................................... 60
Bab 14 Macam-macam Mandi Sunnah ............................. 63
Bab 15 Larangan Bagi Orang Yang Junub .......................... 65
Bab 16 Larangan Bagi Wanita Haid ................................... 67
Bab 17 Sebab-sebab Tayammum...................................... 70
Bab 18 Syarat-syarat Tayammum .................................... 77
Bab 19 Fardhu tayammum ............................................... 82
Bab 20 Sunnah-sunnah Tayammum ................................. 85
Bab 21 Batalnya Tayammum ........................................... 86
Bab 22 Benda-benda Najis yang bisa suci ........................ 92
Bab 23 Macam-Macam Najis ........................................... 96
i
Bab 24 Cara Mencuci Najis ............................................... 99
Bab 25 Masa Haid ............................................................ 104
Bab 26 Masa Suci antara Dua Haid .................................. 106
Bab 27 Masa Nifas ............................................................ 107
Bab 28 Udzurnya Shalat ................................................... 109
Bab 29 Syarat-syarat Shalat ............................................. 111
Bab 30 Rukun-Rukun Shalat .............................................. 121
Bab 31 Sunnah-Sunnah dalam Shalat ............................... 139
- Sunnah-sunnah sebelum shalat .............................. 139
- Sunnah-sunnah takbiratul ihrom ............................ 140
- Sunnah-sunnah dalam berdiri ................................. 141
- Sunnah-sunnah Ruku’ ............................................. 143
- Sunnah-sunnah I’tidal ............................................. 143
- Sunnah-sunnah Sujud ............................................. 144
- Sunnah-sunnah Duduk antara Dua Sujud ................ 145
- Sunnah-sunnah Tasyahud ....................................... 146
- Sunnah-sunnah Salam ............................................. 148
- Sunnah-sunnah Ab’adh Shalat ................................ 149
Bab 32 Makruh-makruhnya Shalat .................................. 151
Bab 33 Batalnya Shalat .................................................... 154
Bab 34 Shalat yang Diwajibkan Niat Menjadi Imam ......... 162
Bab 35 Syarat-syarat Menjadi Makmum .......................... 164
- Gambaran Menjadi Makmum yang Sah .................. 168
Bab 36 Sujud Sahwi ........................................................... 169
- Hukum Sujud Sahwi ................................................ 169
- Sebab-sebab Sujud Sahwi ....................................... 169
- Cara Melakukan Sujud Sahwi .................................. 170
- Waktu Melakukan Sujud Sahwi ............................... 170
- Bacaan Sujud Sahwi ................................................ 171
Bab 37 Syarat-syarat Shalat Jama’ Taqdim ....................... 174
Bab 38 Syarat-syarat Jama’ Ta’khir ................................... 180
Bab 39 Syarat-syarat Mengqashar Shalat ......................... 184
Bab 40 Syarat-syarat Shalat Jum’at .................................. 190
ii
Bab 41 Rukun-rukun Khutbah Jum’at .............................. 194
Bab 42 Syarat-syarat Khutbah Jum’at .............................. 197
Penutup .............................................................................. 202
Daftar Pustaka .................................................................... 203
iii
KATA PENGANTAR
ﺍﻟﺤﻤﺪﷲ
iv
Dalam hadits diterangkan keutamaan ilmu fiqih yang salah
satunya adalah, “dari Abdillah bin ‘Amr ra.:
v
Keutamaan shalat sangatlah besar, sehingga membuat setan
merasa sedih dan sakit hati. Ia geram melihat manusia
memperoleh tuntunan, kemuliaan dan pengampunan silih
berganti. Shalat fardhu yang satu disusul dengan shalat fardhu
yang lain menghapuskan dosa dan membuat manusia menjadi
bersih dari dosa.
vi
barangsiapa yang mempelajari ilmu fiqih, maka derajatnya
akan naik.”
(Al-Majmu’)
Kenapa yang dipilih fiqih yang bermadzhab pada Imam Syafi’i ra?
Karena dari kalangan Bani Alawy para guru-guru kami menempuh
jalannya Imam Syafi’i dalam hal syari’at. Dan beliau
radhiyallahu’anhum ajma’in lebih mengetahui dari pada kami.
Maka dari itu kami hanya meneruskan pijakan kami kepada
pijakan mereka.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal ra., yang dimaksud oleh Nabi
dengan ucapan Beliau saw. ini adalah Imam Syafi’i ra.
vii
Imam Malik bin Anas ra, pendiri Madzhab Maliki pernah
berkata:
Imam Hamid bin Hanbal al-Bashri ra. berkata: “Suatu hari kami
mendiskusikan suatu masalah dengan Imam Ahmad bin
Hanbal, kemudian datang seseorang dan berkata kepada Imam
Ahmad bin Hanbal: “Tidak kami dapatkan sebuah hadits pun
tentang dalil dari soal yang dipermasalahkan, maka imam
Ahmad menjawab: “Jika kamu tidak menemukan dalil masalah
tersebut dari hadits, maka pakailah fatwa Imam Syafi’i ra.,
karena fatwa beliau adalah fatwa yang paling kuat dalilnya.”
viii
Berkata Robi’ bin Sulaiman al-Murodi ra: “Imam Syafi’i ra. telah
menghatamkan pembacaan al-Qur’an selama bulan Ramadhan
sebanyak 60 kali.”
Lampung
Jum’at 13 Jumadil Akhir 1441 H
Penyusun
Toha (Fikri) bin Muhammad Assegaf
ix
MUQADDIMAH
1
BAB 1
TANDA-TANDA BALIGH
2
2. Kadar baligh masing-masing anak berbeda, ada yang 9
tahun, 10 tahun, 11 tahun, dan sebagainya. Jika keluar
sperma (mani) bagi laki-laki atau perempuan dengan batas
minimal usia 9 tahun Hijriyah maka dia dikatakan sudah
baligh. Apabila dia usia 10 tahun belum bermimpi keluar
mani maka belum dikatakan baligh.
3. Apabila keluar darah pada anak perempuan yang telah
berusia 9 tahun Hijriyah, maka dihukumi telah baligh.
Permasalahan:
3
Keterangan Sumber Kitab:
4
BAB 2
ISTINJA’
5
3. Memakai tutup kepala (peci untuk laki-laki, kerudung,
handuk, jika tidak ada tutupi kepala dengan ujung pakaian
ketika masuk).
4. Memakai sandal.
5. Membaca doa masuk kamar mandi:
7
BAB 3
8
daun yang kesat, kain-kainan atau benda apapun yang dapat
menyerap atau menghilangkan najis. Yang penting adalah
harus dengan 3 usapan walaupun hanya dari 1 batu atau 1
tisue. Dan tidak sah istinja’nya jika dilakukan hanya dengan 1
kali usapan, walaupun 1 kali usapan tersebut telah
menghilangkan najisnya.¹
2. Tiga kali usapan tersebut harus dapat menghilangkan
najisnya. Apabila sudah kita bersihkan dengan 3 kali usapan
tetapi benda najisnya masih ada, maka harus ditambah
dengan satu usapan lagi yang keempat, kelima, (afdholnya
usapan ganjil) dan seterusnya sampai tidak tersisa najis
tersebut kecuali bekasnya (baunya) saja yang tidak akan
hilang kecuali dengan menggunakan air.
3. Benda najis (berak/kencing) yang ada disekitar kemaluan
belum mengering. Apabila sudah mengering maka harus
menggunakan air, karena jika sudah kering batu tidak dapat
menghilangkan najis tersebut.
4. Benda najis (berak/kencing) tersebut tidak berpindah
tempat dari tempat asalnya, seperti pindah ke paha, kaki
atau anggota badan lainnya. Apabila pindah dari tempat
asalnya (kemaluan/anus) maka najis yang ada di tempat lain
itu (paha, kaki atau yang lain) tidak bisa dihilangkan dengan
batu atau sejenisnya, akan tetapi harus dengan air. Adapun
najis yang masih ada di lubang kemaluan atau dubur tetap
boleh menggunakan batu atau sejenisnya.
5. Najisnya murni tidak tercampur dengan apapun. Contoh
ketika buang air kotorannya terjatuh ke air lalu ada cipratan
air yang kemballi mengenai duburnya maka hukumnya tidak
bisa beristinja’ dengan batu, harus dengan air.
9
Contoh lain apabila ketika buang air duburnya terkena pasir
yang menempel karena ia jatuh atau tertiup angin maka ia
tidak bisa beristinja’ dengan batu tetapi harus dengan air.
6. Benda najisnya tidak melewati kepala zakar laki-laki atau
bibir kemaluan wanita, dan tidak melewati batas anus (yaitu
tempat yang berkerut dari dubur). Apabila najisnya melewati
batas tersebut diatas maka harus menggunakan air.
7. Benda najis tersebut tidak tercampur dengan air, maksudnya
adalah seperti contoh pada nomer 5.
Apabila yang mengenai dubur itu adalah air keringat, maka
dima’afkan dan tidak menghalangi penggunaan batu untuk
istinja’.
8. Batu yang digunakan harus batu yang suci. Tidak sah bersuci
dengan menggunakan sesuatu yang najis, seperti kotoran
hewan yang sudah kering (mengeras), dan lain-lain.
Permasalahan:
10
Cara istinja’:
Caranya yang paling utama adalah memulai pengusapan dari arah
kanan lalu diteruskan dengan berputar ke arah kiri, yang kedua
dimulai dari kiri diteruskan ke arah kanan juga dengan cara
berputar dan yang ketiga dengan mengusapnya dari arah bawah
ke atas (tengah).
11
BAB 4
SYARAT-SYARAT WUDHU
Penjelasan:
1. Islam, maka tidak sah wudhunya orang kafir, karena wudhu
dan mandi (janabah) adalah dua ibadah yang membutuhkan
niat, dan hukum niatnya orang kafir tidak sah.
2. Tamyiz, orangnya dinamakan mumayyiz, yaitu orang yang
bisa makan sendiri, minum sendiri dan beristinja’ (cebok)
sendiri. Maka tidak sah jika yang melakukan wudhu adalah
seorang anak yang belum mumayyiz atau seorang yang gila.
Kecuali anak yang akan melakukan thowaf, maka sah dengan
syarat yang mewudhukan adalah walinya.¹
3. Suci dari haid dan nifas, tidak sah wudhu dan mandi dengan
niatan ibadah bagi wanita yang sedang haid dan nifas,
kecuali mandi pada saat niat ihram atau masuk kota
Makkah, mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
4. Pada anggota wudhu bersih dari sesuatu yang dapat
menghalangi sampainya air ke kulit, seperti: cat (cat
minyak, atau cat tembok, atau cat (semir) rambut, kutek
(bukan pacar kuku, kalau pacar kuku tidak mengapa karena
bukan dari bahan cat), kotoran dibawah kuku, kotoran
disela-sela mata (belek ketika bangun tidur), lilin, getah,
kapur, minyak yang beku, bedak yang tebal, vaseline, lem,
oli dan semua sesuatu yang dapat menghalangi air ke kulit.
13
5. Pada anggota yang dibasuh atau diusap tidak ada sesuatu
yang dapat merubah sifat air wudhunya (warna, rasa dan
bau), seperti: tinta, sabun, atau bedak.
6. Harus mengetahui bahwa wudhu yang akan dilakukan itu
hukumnya adalah wajib (fardhu).
7. Tidak meyakini bahwa salah satu dari fardhunya wudhu
adalah sunnah. Adapun dalam hukum ini ada 3 perincian:
a. Jika dia meyakini semua amalan wudhu hukumnya adalah
fardhu, maka wudhunya sah.
Contoh: niat, baca bismillah, kumur-kumur, istinsyak,
basuh muka, basuh tangan, kepala, telinga sampai semua
amalan-amalan itu dianggap dia adalah wajib semua,
maka wudhunya sah.
b. Jika dia meyakini bahwa semua amalan wudhu adalah
sunnah, maka wudhunya tidak sah.
c. Jika ia meyakini sebagian dari amalan wudhu ada yang
sunnah ada yang fardhu, tapi ia tidak bisa
membedakannnya, maka wudhunya sah.²
Tambahan:
Syarat wudhu yang lain ada juga ulama yang menambahkan
dengan mengalirkan air ke seluruh anggota wudhu, dengan
sendirinya (pancuran) atau dengan dorongan tangan, maka
tidak sah wudhu dengan menggunakan kain yang dibasahi
atau es lalu digosok-gosokkan ke anggota wudhu.³
Permasalahan:
15
a. Apabila tatto yang dibuat adalah ketika ia muslim,
baligh dan sengaja dibuat maka harus dihilangkan, tapi
bukan dengan cara disetrika, karena agama
mengharamkan melakukan sesuatu yang
membahayakan dirinya. Akan tetapi berusaha
menghilangkan dengan getah, atau tehnik kedokteran.
Apabila jika dia berusaha terus akan menghilangkannya
tetapi belum juga hilang, maka shalatnya sah walaupun
tatto itu masih ada.
b. Apabila tatto yang dibuat sebelum dia muslim, atau
sebelum baligh, maka tidak wajib untuk
menghilangkannya, dan shalatnya sah.⁴
Apabila permasalahnnya minyak oli pada orang yang
bekerja di bengkel, maka ketika ia sudah berusaha
menghilangkannya dengan sabun, tetapi masih ada sisa
licinnya saja pada kulit, dan olinya sudah tidak ada maka
wudhu yang dilakukan adalah sah.
Begitu juga apabila ada riasan wajah ketika acara
pernikahan, apabila sudah dibersihkan dengan air dan
sabun, masih ada sisa licinnya kosmetik pada wajah akan
tetapi sudah tidak terlihat bedak/kosmetiknya maka
dima’fu dan wudhunya sah.
16
Keterangan Sumber Kitab:
17
BAB 5
FARDHUNYA WUDHU
Penjelasan:
1. Niat
Tidak sah berwudhu tanpa niat, tempatnya niat adalah di
dalam hati, yaitu dengan cara melintaskan tujuan (niat) kita
dalam hati, seperti berniat untuk menghilangkan
(mengangkat) hadats atau bersuci untuk mengerjakan shalat.
Dan melafazhkannya hukumnya adalah sunnah.
18
Niat tidak harus dengan bahasa arab, boleh dengan bahasa
apapun asalkan mengandung arti dari niat untuk mengangkat
hadats tersebut.¹
Contoh:
Aku niat wudhu untuk mengangkat hadats kecil.
Aku niat bersuci untuk shalat.
Aku niat fardhu wudhu.
Aku niat thoharoh untuk shalat.
2. Membasuh wajah
Batasannya adalah, batas atas dari mulai tempat tumbuhnya
rambut sampai batas bawah adalah dagu, dan dagu termasuk
maka harus dibasuh. Dalam arti dari atas sampai bawah dagu
19
lebihkan sedikit (basuhannya). Batas samping adalah dari
telinga kanan sampai telinga kiri.
Termasuk dari kulit yang terdapat pada atas bibir (kumis)
harus sampai air ke kulit, maka dari itu disunnahkan untuk
menipiskan kumis. Dan ujung-ujung mata (yang biasa terdapat
kotoran/belek) juga harus terkena air.
6. Tertib.
Yang dimaksud tertib adalah sesuai dengan urutan yang sudah
ditetapkan dari mulai niat sampai membasuh kaki, maka tidak
sah seseorang yang berwudhu mengusap kepala dahulu,
kemudian membasuh kedua tangannya. Harus berurutan
seperti urutan diatas.
Permasalahan:
23
BAB 6
SUNNAH-SUNNAH WUDHU
24
15. Menyela-nyela dari bagian bawah jenggot dengan tangan
kanan, dengan air yang baru.
16. Membaca doa membasuh muka.
17. Melakukannya tiga kali basuhan.
27
BAB 7
MAKRUHNYA WUDHU
28
BAB 8
29
4. Menyentuh qubulnya (kemaluan) anak Adam, atau
menyentuh lingkaran duburnya (lubang pantat) anak Adam
dengan telapak tangan atau jari-jari tangan bagian dalam.
Penjelasan:
1. Apapun yang keluar dari kedua kemaluan tersebut
membatalkan wudhu, baik yang keluar itu biasa seperti: angin,
kencing, berak, madzi atau wadi dan lain-lain. Ataupun yang
tidak biasa seperti: cacing, batu dan lain-lain, baik dalam
keadaan basah atau kering.
Kenapa mani (sperma) tidak membatalkan wudhu? Karena
sperma mewajibkan perkara yang lebih besar atau berat dari
pada wudhu, yaitu mandi (janabah) sehingga tidak lagi
mewajibkan wudhu. Karena berdasarkan kaidah fiqih:
“Setiap sesuatu yang mewajibkan perkara yang lebih besar
(berat) diantara dua perkara (mandi/wudhu), karena
khususnya perkara tersebut (air mani) maka tidak wajib
pekerjaan yang lebih ringan darinya (wudhu) walaupun
keduanya sama-sama keluar dari kemaluan.” ¹
Lain halnya apabila memasukkan sesuatu ke dalam salah satu
kemaluan, maka tidak batal wudhunnya. Contoh: memasukkan
obat lewat kemaluan bagian belakang.²
2. Hilangnya akal, dengan salah satu dari empat sebab yaitu:
a. Tidur, kecuali tidur dalam keadaan duduk yang tidak
berubah menetap pada tempat duduknya dari mulai tidur
sampai bangun (sadar). Dan dia termasuk orang yang
ukuran badannya sedang (tidak terlalu gemuk dan tidak
terlalu kurus), dan syarat lainnya adalah ia tidak diberitahu
30
oleh orang yang adil (tidak melakukan dosa besar, dan tidak
melakukan dosa kecil secara terus menerus) bahwa ketika
tidur ia mengeluarkan angin, apabila ia diberitahu bahwa ia
buang angin, maka batal wudhunya.³
b. Gila, walaupun sesaat maka batal wudhunya.
c. Pingsan atau ayan, meskipun sesaat, maka batal
wudhunya.
d. Mabuk, baik sengaja ataupun tidak (diberi obat/minuman
oleh orang lain yang ia tidak mengetahuinya).
3. Persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan dengan
syarat:
a. Keduanya berumur dewasa, maksudnya adalah baik yang
laki-laki maupun yang perempuan sudah menimbulkan
syahwat lawan jenis menurut orang yang tabiatnya normal
(bukan orang yang punya penyakit kelainan sex), walaupun
belum mencapai batas baligh (bongsor_jawa).
b. Tidak ada penghalang diantara dua kulit, apabila ada
penghalang seperti: kertas, kain, plastik dan lain-lain maka
tidak membatalkan wudhu.
c. Yang bersentuhan adalah kulit keduanya. Apabila bukan
kulit, seperti gigi, kuku, atau rambut maka tidak
membatalkan wudhu (karena hal tersebut tidak
menimbulkan syahwat).
d. Yang bersentuhan berbeda jenis kelamin, apabila sesama
lelaki atau sesama perempuan maka tidak membatalkan
wudhu.
e. Tidak ada hubungan mahrom. Lain halnya jika ada
hubungan mahrom dari jalur nasab, sepersusuan atau
pernikahan maka tidak membatalkan wudhu.
31
Macam-macam Mahrom ada 18: ⁴
32
4. Menyentuh kemaluan depan atau belakang (lingkar anus), baik
disengaja atau tidak, milik sendiri atau orang lain dengan
tangan bagian dalam (telapak tangan atau telapak jari-jari
tangan).
Yang dimaksud telapak tangan atau telapak jari-jari tangan
adalah bagian tangan yang apabila disatukan (telapak tangan
kiri dan kanan) maka yang tidak terlihat (yang menempel)
apabila menyentuh kemaluan akan membatalkan wudhu.
Apabila menyentuh dengan bagian selain itu, seperti ujung
jari, punggung tangan atau pinggiran jari maka tidak
membatalkan wudhu.
Itu pun yang disentuh adalah batang zakarnya, sedangkan
telur zakarnya apabila tersentuh maka tidak membatalkan
wudhu. Begitu pula rambut kemaluan jika tersentuh tidak
membatalkan wudhu.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan kemaluan perempuan
adalah bibir kemaluannya, baik bibir dalam maupun luar,
begitu pula klirotisnya.
Adapun lingkar anus yang apabila disentuh membatalkan
wudhu adalah pada lingkaran yang berkerut tepat pada lubang
anusnya. Sedang bagian pantat dan sekitarnya tidak
membatalkan wudhu apabila disentuh.⁵
Permasalahan:
1. Permasalahan pada keluarnya sesuatu pada kemaluan.
Apabila kita ragu, biasanya terjadi ketika setelah wudhu, kita
ragu akan keluar seperti angin pada pantat kita, selama kita
tidak mendengar atau tidak ada bau, maka hukumnya
33
adalah tidak membatalkan wudhu. Karena itu adalah
gerakan lubang anus yang terbuka atau tertutup sehingga
seperti ada keluar angin, dan ini juga berasal dari setan agar
orang menjadi was-was. Ini juga biasa terjadi ketika duduk
mendengarkan khotib berkhutbah pada hari Jum’at.
Jika dua kemaluan tersebut atau salah satunya buntu atau
tidak berfungsi normal, baik bawaan lahir atau karena suatu
penyakit, lalu dibuatlah lubang pembuangan pengganti dari
tempat asal. Apakah sesuatu yang keluar dari lubang
pengganti tersebut membatalkan wudhu? Jawabannya
dapat diperinci sebagai berikut:
a. Jika tempat yang asal (kemaluan asli) tidak berfungsi
karena bawaan lahir, dengan kata lain ketika dilahirkan
memang tidak ada lubang kencing atau anusnya, maka
sesuatu yang keluar dari lubang pengganti tersebut yang
mana saja akan membatalkan wudhu.
b. Jika tidak berfungsinya lubang kemaluan tersebut bukan
karena dari lahir tetapi karena terkena penyakit atau
kecelakaan sehingga harus membuat lubang
pembuangan, maka diperinci menjadi:
1) Jika lubang penggantinya dibuat dibawah pusar, maka
apapun yang keluar dari lubang pengganti ini (baik
kotoran, kencing, darah, dll) membatalkan wudhu.
2) Jika lubang penggantinya dibuat tepat diatas pusar,
maka apapun yang dikeluarkan dari lubang tersebut
tidak membatalkan wudhu.
3) Jika kemaluan yang asli berfungsi, tetapi ada lubang lain
yang juga berfungsi mengeluarkan kotoran, maka tetap
hukumnya yang keluar dari lubang asli membatalkan
34
wudhu, sedangkan yang keluar dari lubang buatan tidak
membatalkan wudhu.⁶
35
Keterangan Sumber Kitab:
36
BAB 9
Penjelasan:
1. Shalat
Haram dan tidak sah bagi seseorang yang tidak memiliki
wudhu melaksanakan shalat, baik shalat fardhu ataupun
shalat sunnah. Hal ini berlaku apabila disengaja, mengetahui
hukumnya dan tanpa paksaan. Lain halnya apabila ia lupa,
tidak mengetahui hukumnya (jahil) atau karena terpaksa maka
hukumnya adalah tetap tidak sah tetapi tidak haram.
37
Tetapi ada beberapa keadaan yang menyebabkan orang boleh
melakukan shalat walaupun dalam keadaan berhadats yaitu:
a. Bagi orang yang selalu berhadats (beser, selalu buang
angin, istihadhoh).
b. Bagi orang yang tidak memiliki air atau debu untuk bersuci,
maka ia tetap wajib shalat untuk menghormati waktu, dan
wajib di qodho setelah menemukan salah satu dari kedua
alat untuk bersuci tersebut (air/debu).
c. Bagi seseorang yang dipaksa untuk shalat dalam keadaan
berhadats.¹
Selain shalat diharamkan pula sujud syukur dan sujud tilawah.²
2. Thowaf
Haram dan tidak sah bagi seseorang yang tidak memiliki
wudhu untuk melaksanakan thowaf fardhu atau sunnah,
karena syarat dalam thowaf sama seperti syarat dalam shalat,
yaitu harus dalam keadaan suci dari dua hadats.
- Thowaf Fardhu adalah thowaf yang terdapat dalam ibadah
Haji atau ibadah Umroh.
- Thowaf Sunnah adalah thowaf yang dilakukan diluar ibadah
haji atau ibadah umroh.³
3. Menyentuh Al Qur’an
Menyentuh al Qur’an dalam keadaan berhadats meskipun
menggunakan penghalang, seperti: baju, kertas atau yang
lainnya adalah haram, walaupun hanya bagian yang tidak ada
tulisannya selama itu bagian dari al Qur’an. Dan juga
diharamkan pula menyentuh peti atau tas yang dikhususkan
untuk al Qur’an sementara al Qur’an-nya ada didalam tas/peti
38
tersebut, kecuali dalam keadaan darurat, maka hukumnya
adalah boleh dengan 3 syarat:
a. Dalam keadaan darurat, seperti: takut jatuh ditempat najis
atau takut hilang.
b. Tidak mungkin untuk berwudhu sebelumnya.
c. Tidak mungkin dititipkan kepada muslim yang lain.
4. Membawa al Qur’an
Membawa al Qur’an tanpa wudhu hukumnya haram, lain
halnya membawa kitab hadits Qudsi, hadits Nabawi maka
hukumnya adalah boleh membawanya tanpa dalam keadaan
wudhu.
Dibolehkan membawa al Qur’an atau sebagian dari ayat-ayat
al Qur’an tanpa wudhu dalam beberapa keadaan:
a. Jika membawa kitab tafsir, dan jumlah huruf tafsirnya lebih
banyak dari jumlah huruf al Qur’annya.
b. Jika membawa tas yang didalamnya terdapat barang-
barang selain al Qur’an, dan tatkala mengangkat tas
tersebut diniatkan bukan membawa al Qur’an melainkan
membawa barang yang ada di tas tersebut. Contoh
membawa tas yang didalamnya ada al Qur’an, buku-buku,
pulpen, dll, kita niatkan membawa pulpen, atau membawa
buku, maka diperbolehkan.
c. Jika ayat al Qur’an ditulis untuk perhiasan.
d. Jika tertulis di mata uang, seperti dinar atau dirham.⁴
39
Permasalahan:
Permasalahan yang berhubungan dengan al Qur’an:
40
Keterangan Sumber Kitab:
41
BAB 10
AIR
Penjelasan:
PEMBAGIAN AIR
43
Dari segi hukum air dibagi menjadi 3:
44
b. Air tersebut digunakan untuk thoharoh yang wajib,
apabila digunakan untuk thoharoh yang sunnah
(seperti untuk memperbaharui wudhu, mandi
sunnah), maka air bekasnya bisa digunakan untuk
bersuci, karena tidak dihukumi musta’mal.
c. Air tersebut sudah berpisah dari anggota badan.
d. Ketika akan menggunakan air (yang sedikit) tidak
berniat ightirof. Ightirof adalah berniat untuk
menjadikan tangan sebagai alat untuk mengambil
air. Apabila ketika mengambil air berniat ightirof,
maka sisa airnya tidak dihukumi musta’mal. Apabila
tidak berniat ightirof maka menurut madzhab Imam
Syafi’i sisa airnya termasuk musta’mal.
Waktu niat ightirof adalah setelah membasuh wajah
dan sebelum memasukkan kedua tangan ke dalam
timba air (kurang dari 2 qullah). ³
47
3. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Air, Hal 99.
4. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Thoharoh, Hal 5.
5. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Air, Hal 102.
48
BAB 11
Penjelasan:
1. Memasukkan hasyafah ke dalam farji.
Masuknya ujung kemaluan laki-laki (bukan semua batang
zakar) ke dalam farji (kemaluan perempuan walaupun hanya
sekali masuk dan tidak sampai mengeluarkan mani maka wajib
bagi keduanya mandi janabah (junub).
Begitu pula masuk kedalam dubur laki-laki atau perempuan,
atau dubur hewan (na’udzubillaah), baik dilakukan sengaja
49
atau tidak sengaja, sebentar atau lama juga mewajibkan
mandi atas keduanya.
50
- Wadi adalah cairan yang kental (terkadang encer), berwarna
putih seperti sperma, biasanya keluar setelah keluarnya air
kencing, atau setelah mengangkat benda berat, atau ketika
kelelahan atau bisa juga karena sakit. Kalau pada wanita
biasa disebut “keputihan”. Hukumnya najis, membatalkan
wudhu dan tidak mewajibkan mandi.
Permasalahan:
Apabila ragu, apakah yang keluar air mani atau yang lainnya
(madzi atau wadi), maka hukukmnya dikembalikan kepada
orang tersebut terserah mau pilih yang mana. Jika ia yakin itu
mani (dengan ciri-cirinya) maka wajib baginya mandi. Jika ia
yakin itu bukan mani maka ia tidak wajib mandi, dan ia wajib
membasuh tempat yang terkena wadi/madzi tersebut lalu ia
hanya wajib wudhu ketika hendak shalat.¹
Apabila sisa air sperma keluar dari kemaluan setelah ia mandi
janabah, maka hukumnya diperinci menjadi dua:
1. Jika ia yakin bahwa mani yang keluar adalah miliknya, maka
ia wajib mengulangi mandinya (mungkin karena ia tidak
kencing dahulu sebelum mandi sehingga sisa mani masih
ada pada saluran kemaluannya).
2. Jika ia yakin yang keluar itu adalah mani milik orang lain,
contoh: milik suaminya, maka ia tidak wajib mengulangi
mandinya.²
5. Melahirkan.
Wajib bagi wanita setelah melahirkan, baik melahirkan anak
yang sempurna atau keguguran walaupun hanya segumpal
darah (alaqoh) atau segumpal daging (mudhghoh). Baik
dengan proses kelahiran normal atau dengan operasi cesar,
maka wajib atas wanita yang mengalaminya untuk mandi
setelahnya, itu pun jika setelah proses kelahiran tidak
bersambung dengan keluarnya darah nifas. Apabila
bersambung dengan nifas maka mandi (besar)nya dijadikan
satu dengan mandi suci dan nifas nanti.⁴
52
6. Meninggal Dunia.
53
Keterangan Sumber Kitab:
54
BAB 12
FARDHU-FARDHU MANDI
Penjelasan:
1. Niat.
Niat dalam mandi wajib atau ibadah yang lain letaknya adalah
di dalam hati, dengan lintasan saja sudah mencukupi.
Melafadzkan niat hukumnya sunnah.
Dalam mandi ini ia bertujuan untuk mandi mengangkat
janabah, atau untuk mengangkat hadats akbar, atau niat yang
semacamnya seperti “saya niat mandi wajib” itu sudah sah.
Karena mandi wajib sudah termasuk semua yang mewajibkan
mandi seperti: keluar mani, junub, haid, nifas, melahirkan, dan
lain-lain.
55
Contoh lafadz niat:¹
Waktunya niat
Adalah ketika awal membasuh sebagian dari pada anggota
badan bagian manapun. Contoh ketika membasuh kaki,
tangan, ketika istinja’ dia niat mengangkat hadats akbar maka
sah hukum niat mandinya.
Permasalahan:
57
hadats kecil tidak terangkat, jadi harus tetap berwudhu
setelan mandi sunnah.²
Apabila seseorang yang belum dikhitan (sunat) akan
melakukan mandi wajib, ia harus menyampaikan air ke
tempat yang wajib dikhitan dengan cara membukanya.
Jika selesai mandi ternyata ada bagian yang tidak terkena
air, baik karena ada sesuatu yang mencegah sampainya air
ke tempat tersebut seperti: lilin, cat, tip-ex, dan lain-lain,
atau karena lupa, maka caranya adalah dengan
menghilangkan penghalang (cat, tip-ex, dll) sampainya air
tersebut lalu dibasahi tempat tersebut dengan air,³ dengan
niat menyempurnakan mandi dan tidak wajib mengulang
mandinya walaupun dalam jangka waktu yang lama,
misalnya 1 atau 2 hari. (karena dalam pekerjaan mandi tidak
wajib adanya tertib, jadi yang sudah terkena air sudah
terangkat hadatsnya, tinggal yang belum).
Lalu bagaimana shalatnya? karena shalatnya tidak sah maka
wajib mengqadha shalatnya.
Tidak diwajibkan dalam mandi untuk memasukkan air ke
dalam kelopak mata, ke dalam bagian telinga (lubang)
ataupun ke dalam lubang hidung.
58
Keterangan Sumber Kitab:
59
BAB 13
SUNNAH-SUNNAH MANDI
Tambahan:
Apabila kita hendak makan atau tidur dan masih dalam
keadaan janabah maka disunnahkan berwudhu untuk
melakukan segala aktivitas. Maka niat wudhunya adalah
seperti:
61
Artinya: “Saya berniat melaksanakan wudhu sunnah untuk
makan, atau tidur atau yang lainnya.” ²
62
BAB 14
63
Contoh lafadz niatnya adalah:
64
BAB 15
Penjelasan:
1. Diharamkan orang yang dalam keadaan junub untuk
melaksanakan shalat, baik shalat fardhu ataupun shalat
sunnah. Begitu juga diharamkan untuk sujud tilawah dan
sujud syukur.
2. Begitu pula thowaf, diharamkan untuk orang yang dalam
keadaan junub, baik thowaf fardhu atau thowaf sunnah.
3. Diharamkan orang yang junub untuk menyentuh dan
membawa al Qur’an.
65
4. Diharamkan terhadap pria atau wanita yang sedang junub
untuk menetap diruangan masjid, walaupun sejenak.
Walaupun di teras masjid dengan catatan kalau teras
tersebut masih termasuk daripada bangunan masjid. Namun
jika tidak termasuk, seperti WC (toilet), menara atau tempat
parkirnya maka bagian-bagian tersebut bukan termasuk dari
masjid.
5. Hukum membaca al Qur’an dalam keadaan junub adalah
haram apabila diniatkan ibadah membaca al Qur’an. Apabila
berniat untuk membaca surat al Ikhlas, al Falaq atau an-Nas
atau ayat Kursi yang bertujuan untuk wiridan (dzikir)
sebelum tidur atau ketika akan bepergian maka
diperbolehkan, karena bukan berniat membaca al Qur’an.
Demikian pula hukumnya dalam membaca wirid sehari-hari,
namun kebolehan itu disertai kemakruhan bagi yang junub,
adapun bagi wanita yang haid tidak dimakruhkan. Seperti
juga dimakruhkannya bagi yang sedang junub makan,
minum atau mengakhirkan mandi wajibnya, dan cara untuk
menghilangkan kemakruhannya adalah dengan berwudhu
seperti wudhu hendak shalat dengan niat seperti yang sudah
diterangkan pada bab sebelumnya.¹
66
BAB 16
67
Penjelasan:
Nomor 1 sampai 6 penjelasannya sama dengan yang sudah
dijelaskan diatas (bab larangan bagi orang yang junub).
7. Diharamkan atas wanita yang sedang haid untuk berpuasa,
baik puasa wajib atau sunnah. Apabila ketika berpuasa dan
hampir buka keluar darah haid maka ia wajib membatalkan
puasanya, apabila tidak ia batalkan tanpa udzur yang jelas
(seperti ketika diperjalanan dan tidak ada yang dapat
digunakan untuk membatalkan puasanya) maka hukumnya
haram dan berdosa.
8. Diharamkan bagi suami untuk men-thalaq istrinya yang sedang
haid, hukum thalaqnya sah tetapi hukumnya haram, kecuali
atas permintaan sang istri, karena idah wanita yang sedang
haid akan lebih lama dari idah wanita yang suci. Namun itu
apabila permintaan dan pillihan dari sang istri maka
diperbolehkan.¹
9. Bagi wanita yang sedang haid diharamkan untuk berlalu atau
berjalan melalui masjid dengan catatan jika ia khawatir akan
menetes darah haidnya, jika ia tidak khawatir karena telah
menggunakan pembalut misalnya, maka tidak diharamkan.
Namun jika ada jalan lain maka hukumnya makruh, dan kalau
tidak ada jalan lain kecuali harus melaluinya maka hukumnya
boleh tanpa ada kemakruhan. ²
10. Diharamkan bagi suami menyentuh bagian tubuh antara
pusar dan lutut istrinya yang sedang haid. Adapun bagi sang
istri diperbolehkan baginya untuk menyentuh anggota
suaminya pada bagian manapun (ketika haid).³
68
Permasalahan:
69
BAB 17
SEBAB-SEBAB TAYAMMUM
71
bukan musafir maka carilah dahulu dirumahnya, lalu ke
rumah tetangganya.
2) Mencari air hingga ke batas Haddul Ghauts, yaitu yakin atau
menduga adanya air. Jarak Haddul Ghauts adalah 300 dziro’
(150 meter). Jadi apabila ia yakin (mengira) adanya air pada
jarak ini maka hukumnya adalah wajib mendatangi tempat
yang jaraknya 150 meter dari jarak dia berada agar
mendapatkan air. Adapun jika sebelumnya ia sudah
mengenal tempat tersebut atau sudah diperiksa sebelumnya
memang tidak ada air maka ia tidak wajib mencarinya dan
boleh langsung bertayammum. Dengan syarat:
- Terjamin keamanan nyawa, jika ia tidak merasa aman
nyawanya seperti ada musuh atau binatang buas, maka
tidak wajib mencari air ke tempat tersebut dan langsung
tayammum.
- Aman anggota badan, misalnya jika ia mencari air sampai
ke tempat tersebut berakibat sebagian anggota
tubuhnya dipotong-potong oleh musuh atau binatang
buas, maka tidak wajib mencari sampai ke batas ini
tetapi langsung saja bertayammum.
- Aman hartanya, jika ia pergi ke batas jarak tersebut
hartanya akan hilang atau dicuri maka tidak wajib
baginya mencari air ke batas tersebut dan langsung saja
bertayammum.
- Aman dari keluarnya waktu shalat (mencarinya tidak
sampai keluar dari waktu shalat).
3) Mencari air di Haddul Qurbi, yaitu yaqin keberadaan air pada
suatu tempat yang jaraknya tidak lebih dari 9.000 driro’ (4,5
Km), maka hukumnya adalah wajib mendatangi tempat
72
tersebut agar mendapatkan air. Apabila ia tidak yakin
dengan adanya air pada batas tersebut maka tidak wajib
mencarinya akan tetapi langsung saja bertayammum.
Dengan syarat: terjamin keamanan nyawa, anggota badan,
harta, dan aman dari keluarnya waktu shalat, apabila
tayammumnya itu sudah menggugurkan qadlanya shalat
(tayammum ditempat yang biasa tidak ada air (padang
pasir), maka disyaratkan tidak keluar waktu shalat pada
waktu itu). Jika ia meneruskan perjalanan mencari air
sampai ke batas yang ia yakini adanya air itu akan keluar
waktu shalatnya maka ia harus shalat dengan tayammum.
Jika tempat itu biasa ada air, ketika waktu itu memang
tidak ada air maka tidak disyaratkan aman dari keluarnya
waktu shalat tersebut (karena setelah mendapatkan air
shalatnya tetap wajib diqadla), dan ia tetap harus mencari
ke tempat tersebut walaupun harus keluar waktu shalat
tersebut.
4) Mencari air di Haddul Bu’ud, yaitu yakin akan adanya air
pada suatu tempat yang jaraknya lebih dari 9.000 dziro’ (4,5
Km), maka hukumnya tidak wajib mendatangi tempat
tersebut untuk mendapatkan air.
2. Sakit
Sebab kedua dibolehkannya tayammum adalah karena sakit,
tetapi tidak semua orang sakit boleh tayammum. orang yang
sakit tertentu yang dibolehkan bertayammum. Dibawah ini
adalah beberapa hukum untuk orang yang bertayammum
ketika sakit:
73
a. Wajib, apabila menggunakan air akan menyebabkan
kematiannya.
b. Mubah, apabila menggunakan air maka akan menyebabkan
sakitnya bertambah parah, atau apabila terkena air maka
membahayakan dirinya, menyebabkan cacat.
c. Haram, apabila sakitnya ringan dan tidak berbahaya jika
menggunakan air. Contoh: sakit kepala, flu, dan sakit-sakit
ringan yang lain.
Permasalahan:
74
- Apabila perban ada pada bagian wajah, maka caranya
adalah:
1) Niat sambil membasuh wajah yang sekiranya
memungkinkan untuk terkena air (yang tidak diperban).
2) Usap perban dengan tangan kita (dengan tangan yang
sudah dibasahi dengan air).
3) Keringkan air yang ada pada wajah dengan handuk atau
sejenisnya.
4) Tayammum (untuk mengganti pada bagian yang
diperban), termasuk usap bagian yang diperban dengan
debu.
5) Lanjutkan sampai sempurnanya wudhu.
75
Keterangan Sumber Kitab:
76
BAB 18
SYARAT-SYARAT TAYAMMUM
77
Penjelasan:
1. Harus Memakai Debu.
Tayammum harus dengan menggunakan debu atau tanah
yang berdebu, yaitu tanah yang apabila ditiup angin akan
berterbangan.
79
9. Tayammum harus dilakukan setelah masuk waktu shalat.
Diharuskan bertayammum setelah masuk waktu shalat yang
akan dilaksanakan.
Permasalahan:
80
dengannya, tetapi apabila ragu-ragu maka tidak boleh
bertayammum dengannya.²
81
BAB 19
FARDHU TAYAMMUM
Penjelasan:
1. Memindahkan Debu.
Adanya pekerjaan memindahkan debu dari tempat asalnya
ke anggota tayammum. Jika berpindah sendiri disebabkan
hembusan angin hingga wajah dipenuhi dengan debu maka
tayammumnya tidak sah.
2. Niat.
Niat tayammum dilakukan ketika memukulkan tangan ke
tanah sampai mengusap wajah.
82
Niat disini adalah niat untuk diperbolehkannya shalat atau
ibadah lainnya. Contoh lafadz niat tayammum adalah:
3. Mengusap Wajah.
Batasan mengusap wajah yang wajib diusap dalam
bertayammum sama seperti batasan wajah ketika
berwudhu, namun tidak disunnahkan untuk menyela-nyela
83
seluruh permukaan wajah. Hanya usapannya merata ke
seluruh wajah.
84
BAB 20
SUNNAH-SUNNAH TAYAMMUM
85
BAB 21
BATALNYA TAYAMMUM
Penjelasan:
1. Semua yang membatalkan wudhu itu membatalkan
tayammum, seperti yang sudah dujelaskan di bab perkara-
perkara yang membatalkan wudhu.
2. Murtad.
Jika seseorang yang bertayammum melakukan sebab-sebab
yang menjadikannya murtad maka batal tayammumnya.
Berbeda dengan wudhu, murtad tidak membatalkan wudhu,
dan karena tayammum itu adalah bersuci yang lemah.
3. Menduga adanya air, jika tayammumnya karena tidak ada
air. Dalam hal ini diperinci menjadi:
86
a. Jika menduga adanya air terjadi sebelum shalat dan tidak
ada penghalang untuk mendapatkannya (musuh atau
binatang buas), apalagi jika ternyata memang ada air.
b. Jika dugaan adanya air terjadi sebelum shalat namun ada
penghalang yang menghalanginya untuk mendapatkan air
seperti binatang buas, maka tidak batal tayammumnya
asalkan ia melihat penghalangnya dahulu.
Begitu pula jika ia melihat keduanya (air dan
penghalangnya) secara bersamaan maka tidak batal
tayammumnya.
Apabila ia melihat airnya dahulu sebelum penghalangnya
maka batal tayammumnya. Dan ia harus mengulang
tayammumnya kembali ketika akan shalat.
c. Jika ia menduga adanya air ketika shalat, maka tidak batal
tayammumnya karena hanya sekedar dugaan. Apabila ia
yakin akan adanya air maka diperinci menjadi:
- Jika shalat yang ia kerjakan harus di qodho’, karena ia
shalat ditempat yang biasa ada air, maka batal
tayammumnya dan ia harus shalat (berwudhu) dengan
air tersebut.
- Jika shalatnya tidak wajib di qodho’, karena ia
bertayammum di tempat yang memang tidak ada air,
maka tidak batal tayammumnya juga shalatnya. Namun
lebih baik ia batalkan shalatnya supaya ia bisa shalat
dengan air tersebut karena shalat (bersuci) dengan air
itu lebih sempurna, akan tetapi apabila ia teruskan
shalatnya maka tetap sah.¹
87
Permasalahan:
1. Apabila seseorang tidak mendapatkan air ataupun debu untuk
bersuci maka apakan harus tetap melakukan shalat?
Jawabnya adalah ia harus tetap melakukan shalat, yaitu
shalat untuk menghormati waktu. Cara shalatnya seperti
biasa hanya saja tidak berwudhu dan tidak tayammum.
Jika ia dalam keadaan hadats besar, maka haram ia
membaca al qur’an kecuali surat Al-Fatehah.
Tidak boleh menjadi imam.
Wajib mengqodho’ shalatnya.
88
di qodho’ apabila sudah menemukan air. Intinya shalatnya
tetap wajib di qodho’ (apabila menemukan air).²
89
4. Kapan orang yang sudah shalat dengan tayammum tetapi
tidak wajib mengqodho’ shalatnya? Yaitu pada keadaan:
91
BAB 22
94
Keterangan Sumber Kitab:
95
BAB 23
MACAM-MACAM NAJIS
96
Adalah najisnya anjing dan babi serta anak dari salah satu
kedua hewan tersebut. Contoh anjing atau babi dikawinkan
dengan sapi, keluar anaknya berupa sapi, maka najisnya
termasik najis yang berat (mugholladzoh).
2. Najis Mukhoffafah (ringan).
Yaitu air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang dari 2
tahun (hijriyah), dan belum pernah makan sesuatu kecuali air
susu ibunya (ASI) atau air susu sapi murni (tanpa ada
campuran).
3. Najis Mutawassithoh (sedang).
Semua najis selain najis mugholladzoh dan mukhoffafah.
97
13. Susu hewan yang dagingnya haram dimakan (susu kucing,
dll).
14. Air liur yang keluar dari perut.
98
BAB 24
100
a. Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Imam
Syafi’i wajib menggunakan debu.
b. Menurut pendapat sebagian ulama, tidak wajib
menggunakan debu, akan tetapi boleh menggunakan
sabun atau lainnya.
c. Menurut pendapat sebagian ulama, jika memiliki debu
yang suci, maka wajib menggunakan debu, jika tidak
memiliki debu maka boleh menggunakan sabun atau yang
lainnya.
2. Cara mensucikan Najis Mukhoffafah.
Yaitu cukup dengan memercikkan air ditempat najisnya,
dengan syarat air tersebut harus menyeluruh dan setelah
menghilangkan zat najisnya terlebih dahulu.
3. Cara mensucikan Najis Mutawassithoh
a. Najis Mutawassithoh ‘Ainiyyah, caranya adalah dengan
menghilangkan zat najisnya terlebih dahulu, kemudian
disiram dengan air sampai hilang ketiga sifatnya (warna, bau
dan rasa).
b. Najis Mutawassithoh Hukmiyyah, caranya adalah cukup
dengan mengalirkan air ke tempat najis tersebut, dengan
demikian sudah menjadi suci.
Contoh: Ada najis kencing pada lantai, agar mudah disucikan
maka jadikan najis ‘ainiyyah itu menjadi hukmiyyah dengan
mengeringkan najis tersebut dengan kain atau tisue sampai
hilang wujudnya, setelah kering hilang warna dan rasanya
kita usap dengan kain basah terlebih dahulu dan tunggu
101
sampai kering, baru kemudian alirkan air pada tempat najis
tersebut dengan syarat siraman air melebihi batas najis
tersebut. Maka lantai tersebut menjadi suci, dan air yang
dialirkan pada lantai tersebut menjadi air musta’mal, bukan
air najis. Lain halnya apabila langsung kita pel air tersebut
dengan kain, maka hukum lantainya akan menjadi najis
semua, walaupun di pel berulang kali.
Permasalahan:
1. Jika ada najis darah pada kain yang sudah dicuci, lalu
berusaha dihilangkan dengan dicuci berulang kali dan tidak
hilang (tinggal noda merahnya saja) maka hukum najis ini
adalah dima’fu, dan sah digunakan untuk shalat.
2. Untuk air liur yang najis adalah yang keluar dari perut dan
biasanya sangat bau dan dihukumi sama seperti muntahan.
Sementara air liur yang dari mulut (biasanya ketika duduk
keluar) itu bukan dari perut dan hukumnya seperti ludah
tidak najis.
3. Untuk binatang yang mati dengan sendirinya itu adalah najis
dan termasuk bangkai (kecuali ikan, belalang dan hewan
laut), begitu juga binatang yang disembelih bukan dengan
cara syari’at Islam maka termasuk najis juga.
4. Untuk nanah atau darah yang ada pada luka yang jumlahnya
sedikit maka najisnya dima’fu (dimaafkan).
5. Arak apapun jenisnya termasuk najis, jika ganja atau daun-
daunan lain yang dapat memabukkan bila dikonsumsi, maka
mengkonsumsinya adalah haram dan zatnya tidak najis.
6. Hukum bulu hewan terbagi menjadi 2: ⁴
102
a. Bulu dari hewan yang boleh dimakan (seperti: kambing,
sapi) hukumnya adalah suci walaupun bulunya telah
tercabut.
b. Bulu dari hewan yang tidak boleh dimakan (seperti:
kucing) terbagi menjadi 2:
i. Sebelum tercabut dari badannya adalah suci.
ii. Setelah tercabut dari badannya adalah najis, akan
tetapi dima’fu (dihukumi suci) apabila sedikit.
Keterangan Sumber Kitab:
MASA HAID
Penjelasan:
Dalam madzhab Imam Syafi’i ra., masa haid terbagi menjadi 3
bagian:
1. Paling sedikit waktu keluarnya darah haid adalah sehari
semalam (24) jam, dan disyaratkan jika haidnya hanya 24 jam,
maka apabila dimasukkan kapas kedalamnya dan bersih maka
wajib mandi. Apabila darah haidnya terputus-putus lebih dari
sehari semalam, misalkan 6 hari, maka disyaratkan jumlah
waktu keluarnya darah haid tidak kurang dari 24 jam dalam 6
hari tersebut apabila setelah 6 hari ia bersih. Intinya
menit/jam keluarnya darah haid diperkirakan apabila
digabungkan minimal 24 jam keluar darahnya.
2. Masa umumnya (masa normal) keluarnya darah haid
kebanyakan wanita adalah 6 atau 7 hari.
104
3. Masa paling lama (maksimal) keluarnya darah haid adalah 15
hari. Apabila lebih dari 15 hari maka darah yang keluar dari
hari ke-16 dan seterusnya dinamakan darah istihadhoh. Wajib
mandi besar pada hari ke-16, lalu memakai pembalut lalu
shalat seperti biasa.
Permasalahan:
105
BAB 26
106
BAB 27
MASA NIFAS
Penjelasan:
1. Darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.
2. Paling sedikitnya keluar darah adalah 1 tetes, umumnya
wanita mengeluarkan darah nifas adalah 40 hari.
3. Paling lamanya seorang wanita mengeluarkan darah nifas
adalah 60 hari.
4.
Permasalahan:
1. Apabila keluar darahnya terputus, dan terputusnya kurang dari
15 hari tetap dinamakan darah nifas. Apabila terputusnya
lebih dari 15 hari, maka darah yang kedua keluar dinamakan
darah haid.
Contoh: Nifas tanggal 1, tanggal 4 berhenti, tanggal 6 keluar
lagi, tanggal 8 berhenti, tanggal 10 keluar lagi. Ini masih
dinamakan darah nifas.
107
Jika tanggal 1 keluar, tanggal 5 berhenti, lalu tanggal 21 keluar
lagi maka darah yang mulai tanggal 21 dihukumi darah haid,
bukan darah nifas.
2. Jika mengeluarkan darahnya lebih dari 60 hari, maka hari ke 61
adalah darah istihadhoh, wajib mandi dan melakukan shalat
seperi biasa dengan petunjuk yang sudah diterangkan pada
bab Syarat-syarat Wudhu sebelumnya.
108
BAB 28
UDZURNYA SHALAT
Penjelasan:
1. Tidur.
Udzur pertama yang memperbolehkan seseorang untuk
menunda waktu shalat hingga keluar dari waktunya adalah
tidur, dengan syarat:
- Tidurnya sebelum masuk waktu shalat.
- Tidurnya sudah masuk waktu, namun ia berpesan kepada
orang lain untuk membangunkannya.
- Tidurnya bukan disengaja untuk meninggalkan shalat.
109
b. Jika ia yakin tidak akan bangun kecuali setelah keluarnya
waktu shalat, maka hukum tidurnya adalah haram.
2. Lupa.
Udzur kedua adalah lupa, hal ini menjadi udzur apabila lupa
tersebut disebabkan karena hal-hal yang mubah, sunnah atau
hal-hal yang wajib (seperti: bekerja yang halal, menulis, atau
silaturahmi).
Bukan udzur yang disebabkan karena hal-hal yang makruh
(contoh: main catur), apalagi yang haram (seperti: judi, mabuk
dan sebagainya).
Halangan-halangan tersebut diatas bukan berarti ia tidak wajib
mengqadha shalat yang ia tinggalkan, namun harus diqadha
kapan saja dia sempat (boleh mandi dahulu, makan, kemudian
shalat). Tetapi apabila ia meninggalkan shalat tidak karena udzur,
maka dia harus segera mengqadha shalatnya dan tidak boleh
ditunda alias harus segera dilakukan.¹
110
BAB 29
SYARAT-SYARAT SHALAT
Penjelasan:
1. Suci dari dua hadats.
Orang yang hendak melaksanakan shalat harus suci dari 2
hadats, hadats kecil dan hadats besar. Apabila seseorang
111
shalat tanpa bersuci maka shalatnya tidak sah, walaupun
dalam keadaan lupa.
Hadats kecil adalah sesuatu yang menyebabkan orang wajib
untuk berwudhu.
Hadats besar adalah sesuatu yang menyebabkan orang wajib
untuk mandi wajib.
Suci dari hadats besar dan kecil adalah syarat sahnya shalat
kecuali pada dua keadaan:
a. Bagi orang yang selalu keluar hadats (beser atau
istihadhoh), sah shalatnya dan tidak wajib mengqodho
shalat dengan syarat dan tata cara yang sudah dijelaskan
pada bab sebelumnya.
b. Bagi seseorang yang tidak memiliki air atau debu untuk
bersuci. Maka tetap wajib shalat (lihurmatil waqti yaitu
shalat menghormati waktu) meskipun dalam keadaan
berhadats dan sah shalatnya tetapi wajib mengqodho
shalatnya.¹
Permasalahan:
3. Menutup Aurat.
Tidak sah shalat orang yang terbuka auratnya. Aurat dalam
Islam diperinci menjadi:
Aurat laki-laki.
a. Jika sendirian auratnya adalah qubul (kemaluan depan)
dan dubur (kemaluan belakang). Hukumnya boleh
membuka aurotnya ketika sendirian karena suatu
keperluan, seperti mandi.
b. Jika didalam shalat, di depan laki-laki lain dan wanita yang
mahrom adalah menutupi antara pusar hingga lutut
(bagian pusar dan lutut harus ditutup).
c. Jika didepan istri maka tidak ada aurat. Maka boleh
membukanya.
114
Aurat Wanita.
a. Ketika sendirian, di depan wanita lain (muslimah) atau di
depan laki-laki yang mahromnya maka auratnya adalah
menutup bagian yang ada diantara pusar dan lututnya.
b. Jika di depan wanita kafir atau fasik maka auratnya
adalah yang tidak tampak ketika mengerjakan pekerjaan
sehari-hari. Berarti yang bukan aurat adalah: kepala,
leher, wajah, kedua tangan hingga lengan dan kedua kaki
hingga lutut.
c. Ketika melaksanakan shalat auratnya adalah seluruh
badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
d. Di depan laki-laki yang bukan mahrom adalah semua
badannya tanpa terkecuali, seluruhnya aurat, akan tetapi
ada pendapat yang mengatakan bahwa auratnya adalah
selain wajah dan dua tangan dengan syarat aman dari
fitnah dan tidak berhias.
e. Di depan suami tidak ada aurat, boleh suami meliat
seluruh tubuhnya tetapi makruh melihat kemaluannya.
Permasalahan:
115
4. Menghadap Kiblat.
Permasalahan:
116
- Apabila berjalan kaki maka wajib menghadap Kiblat
dalam 4 rukun yaitu: Takbiratul Ihram, ruku’, sujud, dan
duduk diantara dua sujud.
- Apabila naik kendaraan, maka wajib menghadap Kiblat
pada saat Takbiratul Ihram jika mudah dilakukan. Jika
sulit maka tidak ada kewajiban secara mutlak. Jadi yang
menjadi Kiblatnya adalah arah tujuannya, maka tidak
boleh berpaling dari arah tujuannya kecuali ke arah
Kiblat aslinya. Dan jika berpaling dengan sengaja dan
mengetahui hukumnya batal shalatnya.
117
5. Masuknya Waktu.
118
Jika shalatnya dengan ijtihad, kemudian ternyata shalatnya
terjadi di luar waktu, maka hukumnya dapat diperinci
menjadi:
a. Jika shalatnya terjadi sebelum masuk waktu shalat, maka
shalat tersebut menjadi qadha’ jika memiliki tanggungan
(hutang) shalat, jika tidak memiliki tanggungan maka
menjadi shalat sunnah mutlaq dan mendapat pahala
karena ia berijtihad terlebih dahulu.
b. Jika shalatnya terjadi setelah keluar dari waktunya maka
menjadi qadha’ dari shalat tersebut.⁴
120
BAB 30
RUKUN-RUKUN SHALAT
Penjelasan:
1. Niat.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Dan melafadzkan niat
hukumnya sunnah.
Waktunya adalah bersamaan ketika bertakbir, ketika lisan
mengucapkan takbiratul ihram.
Batasannya adalah dimulai pada huruf “alif” pada lafadz Allah
dan berakhir pada huruf “ro” pada lafadz Akbar. Jadi ketika
Tingkatan Niat.
122
a. Jika shalat Fardhu maka wajib maka yang wajib dilintaskan
dalam niat shalat kita ada 3 hal, yaitu bermaksud
mengerjakan shalat ( ) ﺃﺻﻠﻲ, menentukan jenis shalatnya
(dhuhur, asar, dan lain-lain), dan menyebutkan
kefardhuannya.
Contoh: ﺃﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ
Artinya: “Aku niat shalat fardhu Dhuhur”
Selebihnya adalah sunnah, kecuali apabila ma’muman maka
tersebut.
123
Contoh: ﺃﺻﻠﻲ
Artinya: “Saya niat shalat.”
Permasalahan:
124
mengucapkan dengan terjemahannya, tetapi tetap ia wajib
belajar mengucapkannya.
c. Harus menggunakan lafadz “Jalalah” . Yaitu lafadz ( ) ﺍﷲ.
d. Harus menggunakan lafadz “Akbar”.
e. Antara kedua lafadz ( Allah dan Akbar) harus tertib (urut).
Yaitu Allah dahulu baru kemudian Akbar, tidak boleh dibalik.
f. Tidak boleh memanjangkan “hamzah” pada lafadz Allah.
Seperti “Aaallaah”.
g. Tidak boleh memanjangkan “ba” pada lafadz Akbar. Seperti
“Allaahu Akbaar”.
h. Tidak boleh mentasydidkan “ba” pada lafadz Akbar. Seperti
“Allaahu Akabbar”.
i. Tidak boleh menambahkan “wawu” hidup atau mati antara
dua kata (Allah dan Akbar).
Seperti: “Allaahuw Akbar”, atau “Allaahuwakbar”.
j. Tidak boleh menambah “wawu” sebelum lafadz “Allah”.
Seperti: “Wallaahu Akbar”.
k. Tidak boleh berhenti antara lafadz Allah dan Akbar dengan
berhenti yang lama dan sebentar. Berhenti lama dengan
udzur masih diperbolehkan, misalnya punya penyakit
pernapasan.
Apabila berhenti dalam waktu sebentar tidak diperbolehkan
dan tidak sah takbiratul ihramnya apabila dilakukan dengan
sengaja berniat memutuskan takbir.
l. Seluruh huruf takbiratul ihram harus bisa didengar oleh
dirinya sendiri. Sama seperti rukun-rukun qouli yang lain.
m. Harus sudah masuk waktunya shalat, apabila
mengerjakan shalat yang berwaktu.
125
Contoh: melakukan shalat Dhuhur, takbiratul ihramnya
harus sudah masuk waktu Dhuhur, apabila belum masuk
waktu ia sudah bertakbir, maka takbirnya tidak sah, dengan
demikian maka shalatnya pun tidak sah.
n. Melakukan Takbiratul Ihram ketika menghadap Kiblat
(wajah dan dada).
o. Tidak merusak atau mengubah satu huruf dari huruf-huruf
Takbiratul Ihram.
Seperti: Huruf “kaf” pada lafadz Akbar jangan dibaca “qof”.
p. Mengakhirkan Takbiratul Ihram Makmum dari Takbiratul
Ihramnya Imam. Dengan arti makmum bertakbir setelah
Imam selesai mengucapkan Takbiratul Ihram. Kalau
bersamaan huruf “ro” makmum dengan Imam pada lafadz
Akbar, maka makmumnya tidak sah.
127
4. Jika tidak mampu maka shalat dengan cara terlentang, dan
melaksanakan rukun-rukun shalatnya (ruku’, sujud, dll)
dengan isyarat kepala. Misalnya: ketika ruku’ ia angkat
kepalanya kedepan sedikit, dan ketika sujud lebih diangkat
lagi kepalanya lebih dari pada ketika ruku’.
Dan ketika melaksanakan shalat dengan cara terlentang
maka cara menghadap kiblatnya adalah dengan wajah dan
kedua tepalak kakinya. Oleh karena itu dibawah kepalanya
kita letakkan sesuatu seperti bantal atau yang lain sehingga
kepalanya terangkat dan wajahnya menghadap kiblat.
5. Jika tidak mampu maka ia shalat dengan isyarat mata,
misalnya ketika ia berdiri membaca Fatihah denga isyarat
matanya mengangkat ke atas, lalu ketika ruku’ agak
diarahkan ke bawah, dan ketika sujud pandangannya lebih
di ke bawah lagi.
6. Jika tidak mampu juga maka ia melaksanakan shalat dengan
hatinya, yaitu dengan cara melintaskan semua rukun-rukun
shalat tersebut dalam hatinya. Misalnya: ia melintaskan
dalam hatinya sedang berdiri membaca Fatihah, lalu ruku,
kemudian i’tidal dan seterusnya.
128
b. Berturut-turut. Masing-masing ayatnya dibaca secara
bersambung, tidak putus-putus dengan waktu yang lama.
c. Menjaga huruf-hurufnya. Yaitu menjaga makhroj (tempat
Permasalahan:
129
madzhab sepakat bahwa Basmalah termasuk ayat dari surat
al Fatihah. Namu pengucapannya ada perbedaan antara 4
Imam Madzhab, ada yang dibaca sirr (rahasia/tidak
terdengar makmum) ada yang Jahr (keras).
Imam Syafi’i memilih mengeraskan bacaan basmalah pada
shalat fardhu dan beberapa shalat yang disunnahkan untuk
mengeraskan bacaannya.
5. Ruku’.
Ruku’ dalam bahasa arab adalam membungkuk, sedangkan
menurut syari’at adalah gerakan shalat dengan
membungkukkan badannya sekiranya kedua telapak
tangannya dapat menyentuh kedua lututnya.
Syarat-syarat Ruku’:
130
4. Membungkukkan badannya sekiranya kedua tangannya
dapat menggapai kedua lututnya. Walaupun dia tidak benar-
benar meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya.
5. Melaksanakan ruku’ tanpa inhinas (menundukkan pantatnya
dan mengangkat kepalanya serta membusungkan dadanya).
Apabila dilakukannya dengan sengaja dan tahu hukumnya
maka batal shalatnya.
7. I’tidal.
Syarat-syarat I’tidal:
131
4. Melaksanakan i’tidal dengan badan tegak, dengan
menegakkan punggungnya seperti ketika berdiri (kecuali
mempunyai penyakit bungkuk atau cacat).
5. Tidak memanjangkan i’tidak melebihi kadar waktu untuk
membaca doa yang disunnahkan. Batas panjangnya adalah
selama ia membaca doa yang disunnahkan ditambah al
Fatihah, apabila ia melebihi batas waktu tersebut maka
batal shalatnya, kecuali i’tidal pada akhir rakaat dari shalat-
shalat fardhu, karena itu adalah tempatnya qunut (subuh,
witir, atau nazilah).²
132
sebagian dahinya yang terbuka walaupun sedikit dan
mengenai tempat sujud maka sah sujudnya.
6. Tidak sujud diatas benda yang bergerak dengan gerakannya.
Seperti peci yang menutupi dahinya, atau ketika ia sujud
diatas rida’ (selendang surban) yang ia pakai atau sujud
diatas lengan bajunya karena terlalu lebar. Lain halnya
ketika akan sujud ia melepaskan rida’nya dan meletakkan
ditempat sujudnya, lalu ia sujud dengannya maka sah
sujudnya.
7. Melaksanakan sujud dengan bagian belakang (pantat) lebih
tinggi dari bagian depan (kepala dan bahunya). Maka tidak
sah apabila sujud dalam keadaan datar rata antara
pinggang, kepala dan bahunya, kecuali ia tidak mampu
melakukannya dengan sempurna maka tiada mengapa,
seperti bagi wanita hamil, atau orang yang sakit mata.
8. Ketika sujud hendaknya agak menekankan dahinya sedikit,
sekiranya jika ia sujud diatas kapas yang mengembang akan
kempes karena sujudnya tersebut. Jadi tidak cukup hanya
menempelkan dahinya diatas tempat sujud saja, namun
agak ditekan sedikit.
Permasalahan:
133
11. Duduk diantara dua Sujud.
Duduk diantara dua sujud adalah merupakan salah satu dari
rukun pendek dalam shalat seperti halnya i’tidal.
134
Syarat-syarat sahnya Tasyahud:
17. Tertib.
Yaitu melakukan setiap rukun shalat, baik berupa perkataan
atau perbuatan pada waktu dan tempatnya sesuai tuntunan
syari’at.
137
Keterangan Sumber Kitab:
138
BAB 31
masuk shalat.
14. Membaca Surat “an-Naas” sebelum masuk shalat.
15. Melafadzkan niat (mengucapkan niat dengan suara).
139
18. Mengucapkan “lillaahi ta’aala”.
19. Mengucapkan “adaa-an” atau “qodhoo-an”.
20. Niat menjadi Imam bagi shalat selain: Shalat Jum’at, shalat
yang diulang, shalat yang dinadzarkan berjamaah, dan
shalat jama’ taqdim karena hujan, karena niat imam pada
4 tempat ini adalah wajib.
dan Aamiin.
51. Mengucapkan “Aamiin” setelah membaca Surat al Fatihah.
52. Meringankan (tidak ditekan) huruf “mim” ketika
mengucapkan “Aamiin”.
141
53. Makmum berusaha membarengi Imam ketika
mengucapkan “aamiin” (tidak mendahului).
54. Mengucapkan ( ) ﺭﺏ ﺍﻏﻔﺮﻟﻲ ﻭﻟﻮﺍﻟﺪﻱ ﻭﻟﺠﻤﻴﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﱺ
setelah mengucapkan ( ﺍﻟﻀﺎﻟﻴﻦ ) ﻭﻻ.
55. Diam sejenak antara aamiin dan membaca Surat (sunnah).
56. Memperpanjang diam bagi Imam antara Aamin dan
membaca Surat dalam shalat-shalat Jahr (Magrib, Isya’,
Subuh).
57. Membaca salah satu surat atau ayat dari al Qur’an setelah
al Fatihah.
58. Membaca tiga ayat atau lebih.
59. Menyimak bacaan imam bagi makmum.
60. Membaca surat dengan sempurna (satu surat) lebih utama
dari pada membaca sebagian.
61. Membaca Basmalah bagi yang memulai dipertengahan
surat kecuali surat al Bara’ah.
62. Bacaaan surat pada rakaat pertama lebih panjang dari
pada rakaat kedua.
63. Membacanya dengan Jahr pada shalat-shalat Jahr, kecuali
wanita apabila ada disekitarnya orang yang bukan
mahram.
64. Membaca surat-surat pendek pada shalat Maghrib.
65. Melakukan sujud tilawah ketika membaca ayat Sajdah.
142
D. Sunnah-sunnah dalam Ruku’:
E. Sunnah-sunnah I’tidal:
F. Sunnah-sunnah Sujud:
144
100. Membuka kedua mata ketika sujud (Tidak memejamkan
mata ketika sujud).
101. Melebarkan kedua kaki (paha, betis dan lutut) seukuran
satu jengkal.
102. Menjauhkan kedua siku dalam posisi sujud dari badan
(laki-laki), apabila wanita merapatkan kedua sikunya
dengan badan.
103. Meletakkan kedua telapak tangan searah dengan kedua
bahu.
104. Kedua telapak kaki berdiri.
105. Jari-jari kaki menghadap kiblat.
106. Mengucapkan: ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺭﺑﻲ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﻭﺑﺤﻤﺪﻩ.
107. Dibaca 3 kali lebih utama.
108. Mengucapkan takbir ketika akan berpindah dari sujud ke
duduk diantara dua sujud.
H. Sunnah-sunnah Tasyahud:
146
132. Membiarkan gerakan ini (no. 130) hingga salam pada
tasyahud akhir.
133. Melihat ke arah telunjuk ketika mengangkatnya (baik
ketika tasyahud awal atau akhir).
134. Membaca tasyahud dengan sempurna, yaitu:
147
143. Disunnahkan duduk tawarruk (meletakkan telapak kaki
kiri ke bawah kaki kanan) dalam tasyahud akhir.
144. Membaca sholawat Ibrahimiyyah pada tasyahud akhir.
145. Berta’awwudz (minta perlindungan) dari yang empat
(azab neraka, azab kubur, fitnahnya hidup dan mati dan
fitnah Dajjal) pada tasyahud akhir.
146. Berdoa setelah tasyahud akhir.
147. Hendaknya dengan doa-doa yang diajarkan Nabis saw.
I. Sunnah-sunnah Salam:
1. Tasyahud Awal.
2. Duduk pada tasyahud awal.
3. Membaca shalawat kepada Nabi saw. di dalam tasyahud
awal.
4. Membaca shalawat kepada keluarga Nabi saw. dalam
tasyahud akhir.
5. Membaca doa qunut.
6. Membaca shalawat dalam qunut.
7. Membaca salam kepada nabi saw., keluarga dan
sahabatnya di dalam qunut.
149
Keterangan Sumber Kitab:
150
BAB 32
MAKRUH-MAKRUHNYA SHALAT¹
151
14. Mendahulukan kedua tangan sebelum lututnya ketika
hendak sujud.
15. Tidak membaca surat pada dua rakaat yang pertama dalam
shalat.
16. Tidak membaca takbir ketika akan berpindah dari satu
rukun ke rukun yang lain.
17. Tidak membaca dzikir ketika ruku’, i’tidal, sujud dan seluruh
gerakan shalat yang disunnahkan untuk membaca dzikir.
18. Shalat dengan memandang ke atas.
19. Menoleh dengan wajah tanpa ada kepentingan (darurat).
20. Membunyikan persendian jari-jari tangan atau kaki.
21. Menempelkan kedua kaki ketika sujud.
22. Terlalu cepat dalam sujud.
23. Mengusap dahi setelah sujud di dalam shalat.
24. Menempelkan satu kakinya ke kaki yang lain ketika shalat.
25. Meludah ketika shalat.
153
BAB 33
BATALNYA SHALAT
Penjelasan:
1. Sebab berhadats.
Terjadinya hadats menyebabkan batalnya shalat, jika keluar
sebelum salam yang pertama. Apabila keluar setelah salam
yang pertama maka shalatnya sah.
2. Kejatuhan najis bila tidak dibuang seketika, dan najis itu
tidak dibawa.
Kejatuhan najis menyebabkan batalnya shalat seseorang
apabila tidak segera dibuang. Ukuran lamanya adalah
seukuran thuma’ninah. Dan cara membuangnya pun tidak
dibawa (diangkat) tetapi ditepis (geser).
Contoh: ketika shalat ada kotoran cicak jatuh di surban (rida’)
kita, setelah kita mengetahui langsung surban yang kita
gunakan kita jatuhkan dengan cara menepis dari pundak
sampai jatuh ke lantai. Jika kita angkat kemudian dijatuhkan
155
ke lantai maka shalat kita batal, karena kita membawa najis,
lain halnya dengan menepis.
Berkata disini adalah dengan satu atau dua huruf akan tetapi
158
8. Meloncat dengan keras.
Satu kali lompatan keras yang dapat menggerakkan seluruh
badan atau sebagian besar badan maka dapat membatalkan
shalat.
9. Memukul dengan keras.
Satu kali pukulan yang keras yang dapat menggerakkan
seluruh badan, maka dapat membatalkan shalat.
10. Menambah rukun fi’liy dengan sengaja.
Sengaja menambah rukun fi’liy (perbuatan) seperti: ruku’,
sujud meskipun tanpa thuma’ninah, maka dapat
membatalkan shalat.
11. Mendahului imam dua rukun fi’liy dan tertinggal dua rukun
fi’liy tanpa udzur.
Mendahului imam dengan dua rukun fi’liy meskipun selain
rukun yang panjang (i’tidal), dapat membatalkan shalat.
Contoh: seorang makmum yang ruku’, kemudian i’tidal lalu ia
sujud sementara imam masih dalam keadaan berdiri maka
batal shalatnya, jika dilakukan dengan sengaja dan tahu
hukumnya. Apabila tidak disengaja (karena jauhnya letak
imam) atau karena tidak mengetahui hukum maka tidak batal
shalatnya. Namun gerakan tersebut tidak terhitung, dan ia
wajib mengulang satu rakaat setelah imam salam.
Begitu juga dengan tertinggal imam dua rukun fi’liy, dapat
membatalkan shalat apabila tanpa udzur, disengaja dan tahu
hukumnya.
159
Contoh gambaran tertinggal 2 rukun fi’liy dari imam adalah
ketika makmum berdiri membaca surat al fatihah, lalu imam
ruku’ dengan sempurna kemudian imam i’tidal makmum
masih berdiri, lalu ketika imam hendak mulai sujud dan
makmum masih berdiri maka batallah shalat makmum
apabila tanpa udzur.
Kenapa thuma’ninah tidak dihitung sebagai rukun fi’liy?
Karena thuma’ninah adalah syarat dari rukun ruku’ tersebut.
Maka dari itu ada sebagian ulama tidak memasukkan
thuma’ninah dalam rukun tetapi syarat, yang apabila ruku’
tanpa thuma’ninah maka tidak sah ruku’nya.
160
14. Ragu-ragu dalam memutuskan shalat.
161
BAB 34
Penjelasan:
1. Apabila shalat jum’at, bagi imam wajib meniatkan dalam
shalat jum’at tersebut niat sebagai Imam.
2. Shalat yang diulang, jika seseorang sudah shalat, lalu ia ingin
mengulang shalatnya bersama orang banyak dan ia ditunjuk
sebagai imam, maka wajib ia meniatkan “imaaman” ketika
takbiratul ihrom. Baik untuk shalat fardhu ataupun shalat
sunnah yang dianjurkan secara berjamaah.
3. Shalat yang dinadzarkan untuk berjama’ah. Sebagai imam
wajib meniatkan “imaaman” dalam hatinya pada waktu
takbiratul ihrom.
162
4. Shalat jama’ taqdim di dalam waktu hujan, dan hujannya
belum berhenti ketika ia menyempurnakan takbiratul ihrom.
Apabila ia berniat shalat sebagai imam maka wajib meniatkan
”imaaman” dalam hatinya ketika takbiratul ihrom.
Selain empat perkara diatas, maka tidak wajib bagi imam untuk
berniat menjadi imam (imaaman), akan tetapi ia tidak
mendapatkan pahala shalat berjamaah jika ia tidak meniatkan
menjadi imam.
Permasalahan:
164
7. Antara imam dan ma’mum harus berada di satu masjid,
atau berada kira-kira dalam jarak 300 dzira’.
8. Ma’mum harus niat mengikuti imam (berjama’ah).
9. Antara imam dan ma’mum harus sama dalam gerakan
shalatnya.
10. Ma’mum tidak boleh berbeda dengan imam dengan
perbedaan yang menyolok di dalam sunnah.
11. Ma’mum harus mengikuti imamnya.
Penjelasan:
1. Ma’mum tidak mengetahui batalnya shalat imam, baik
sebab hadats atau lainnya.
Apabila makmum mengetahui bahwa imam batal, dan imam
meneruskan shalatnya maka makmum berpisah dari jama’ah
(mufaroqoh) atau meneruskan shalat sendiri tanpa mengikuti
imam.
166
8. Ma’mum harus niat mengikuti imam (berjama’ah).
Makmum harus berniat “ma’muman” pada niat shalatnya
berbarengan ketika takbiratul ihram. Jika tidak berniat
ma’muman maka tidak sah shalatnya.
167
Gambaran Menjadi Makmum yang sah.
Permasalahan:
168
BAB 36
SUJUD SAHWI
Permasalahan:
1. Bolehkan sujud sahwi dilakukan hanya dengan sekali sujud?
Tidak boleh. Kecuali ketika kita pertama sudah berniat untuk
sujud dua kali untuk sujud sahwi, akan tetapi ketika setelah
sujud yang pertama kita berkeinginan untuk tidak
melanjutkan sujud yang kedua, maka tidak mengapa.
171
Apabila kita berniat dari pertama untuk sujud sahwi cuma
sekali sujud maka tidak boleh.
2. Apakah makmum wajib mengikuti imam ketika imam sujud
sahwi, walaupun makmum tidak mengetahui sebabnya?
Iya, makmum wajib mengikuti imamnya sujud sahwi. Apabila
makmum tidak mengikuti imam maka shalatnya makmum
batal.
172
berhadats, terkena najis, berpaling dari kiblat, dan lain-
lain.
173
BAB 37
Penjelasan:
1. Memulai dari shalat yang pertama.
Apabila kita hendak menjama’ taqdim shalat, maka shalat yang
dilakukan pertama adalah shalat yang pertama (waktunya).
Contoh: Apabila ingin shalat jama’ taqdim Asar dengan
Dhuhur, maka yang shalat dilakukan pertama adalah shalat
Dhuhur, baru kemudian Asar. Atau akan mentaqdim Isya’
dengan Maghrib, maka yang dilakukan adalah shalat yang
pertama dahulu yaitu Maghrib, baru kemudian shalat Isya’.
174
Apabila tidak tertib (shalat yang kedua dahulu), maka shalat
yang sah hanya yang mempunyai waktu pertama
(Dhuhur/Maghrib’) saja sementara shalat yang waktunya
kedua (Asar/Isya’) tidak sah.
175
Boleh juga niat dalam hati di dalam shalat yang pertama
(Dhuhur) dengan melintaskan: “Saya niat mau menjama’
shalat Asar.”
Shalat yang pertama dan yang kedua tidak ada sela waktu
yang panjang (waktu panjang pendeknya adalah umumnya
kebiasaan orang). Jadi setelah salam shalat yang pertama
langsung kita melaksanakan shalat yang kedua tanpa ada sela
waktu yang lama.
Apabila terpisah antara shalat pertama dan kedua terlalu lama
karena lupa atau yang lainnya maka menurut pendapat kuat
dalam madzhab Imam Syafi’i tidak diperbolehkan untuk
menjama’ shalat dan wajib menunda shalat yang kedua pada
waktunya.²
Permasalahan:
1. Apabila kita lupa niat menjama’ taqdim pada shalat yang
pertama, baru ingat ketika selesai salam, maka tidak boleh
menjama’ shalat yang kedua tersebut, dan harus
melaksanakan shalat yang kedua pada waktunya.
178
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 2, Bab Shalat Musafir, Hal 156.
3. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Musafir, Hal 396.
4. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Musafir, Hal 399.
5. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Musafir, Hal 400.
179
BAB 38
Penjelasan:
1. Berniat untuk menjama’ shalatnya dengan jama’ ta’khir
adalah ketika masuknya waktu shalat yang pertama.
181
Permasalahan:¹
182
Keterangan Sumber Kitab:
183
BAB 39
Penjelasan:
1. Jarak kepergiannya itu sudah ada 2 marhalah.
Jarak perjalanannya harus 2 marhalah atau lebih, disini ada
beberapa pendapat, ada yang menyatakan 82 km atau lebih
184
dari perbatasan kota tempat tinggalnya. Pendapat yang lain
ada yang menyatakan 89 km, kita ikut pendapat yang 82 km.
Jadi apabila kurang dari 82 km, dia belum boleh mengqashar
shalatnya.
185
4. Niat qashar ketika takbiratul ihram.
Niat qashar bersamaan dengan niat shalat, yaitu ketika
takbiratul ihram.
Contoh niat qashar dalam shalat:
٠ﺃﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻗﺼﺮﺍ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ
186
Permasalahan:
1. Bagaimana jika lupa berniat qashar ketika takbiratul ihram?
Menurut pendapat yang kuat dari ulama madzhab Imam Syafi’i
niat qashar wajib ketika takbiratul ihram, apabila lupa maka ia
harus menyempurnakan shalatnya.
Namun apabila lupa boleh dibagian manapun menurut Imam
Muzni ra., dan apabila ia pada awal shalat telah berniat shalat
4 rakaat, maka boleh dirubah shalat tersebut menjadi 2 rakaat
dengan niat qashar di pertengahan shalat (dengan syarat tahu
ilmu qashar, dan rakaat yang dilakukan belum masuk ke rakaat
ketiga).²
2. Bagaimana jika setelah takbir ia ragu apakah sudah berniat
qashar atau belum? Maka hukumnya adalah ia wajib untuk
menyempurnakan shalatnya menjadi 4 rakaat. ³
3. Bagaimana jika imam dan makmum dalam keadaan
bepergian, dan sang makmum tidak mengetahui niat sang
imam?
Diperbolehkan untuk sang makmum untuk menggantungkan
niatnya dengan sang imam. Contoh: ‘’Saya niat qoshor jika
imam menqoshor shalat dan saya niat sempurna shalat jika
imam niat menyempurnakan shalat.” ⁴
187
dan kepulangannya, maka ia tidak boleh menjama’ dan
mengqashar shalat.⁵
b. Jika ia tidak berniat tinggal di kota yang dituju itu 4 hari atau
lebih, maka ia boleh mengqashar shalatnya hingga 4 hari
selain hari kedatangan dan kepulangannya (6 hari), apabila
lebih dari 4 hari tersebut maka ia tidak boleh mengqashar
shalatnya.
c. Jika ia menempati di suatu daerah untuk suatu kepentingan
yang dimungkinkan selesai dalam waktu kurang dari 4 hari,
namun ternyata tidak sesuai perkiraan, maka ia boleh
melakukan qashar sampai dengan 18 hari.⁶
188
Keterangan Sumber Kitab:
189
BAB 40
190
Penjelasan:
1. Shalatnya harus dilakukan dalam waktu Dhuhur.
Shalat dan khutbahnya dilakukan di dalam waktu Dhuhur,
boleh awal, pertengahan atau akhir waktunya yang penting
cukup untuk melaksanakan khutbah dan shalatnya.
191
5. Tidak didahului dan tidak bersamaan dengan shalat Jum’at
yang lain di daerah itu.
Yang dimaksud dengan tidak didahului atau tidak bersamaan
disini adalah dari segi mendahului atau bersamaan dalam
mengucapkan takbiratul ihram. Sehingga jika kedua shalat
Jum’at itu imamnya bersamaan dalam mengucapkan huruf
“ro” dari takbiratul ihrom maka Jum’at keduanya tidak sah.
Dan kedua kelompok itu bersatu untuk mendirikan shalat
Jum’at lagi.
Adapun jika didahului oleh Jum’at yang lain di tempat itu,
maka yang shalat pertama kali sah hukumnya, dan yang
shalat jum’at kedua tidak sah dan diganti shalat dhuhur.
Mengapa shalat Dhuhur bukan mengulang shalat Jum’atnya?
Karena shalat Jum’atnya yang pertama sudah dianggap sah.
192
6. Harus didahului oleh dua khutbah.
Tidak sah shalat Jum’at tanpa didahului dua khutbah atau
khutbahnya hanya satu kali.
Permasalahan:
1. Bagaimana jika makmum masbuk dalam shalat Jum’at?
Jika makmum masbuk dan mendapatkan 1 rakaat bersama
imam, maka shalat Jum’atnya sah, dan wajib menambah 1
rakaat untuk menyempurnakannya.
2. Bagaimana jika makmum tidak mendapatkan 1 rakaat
bersama imam?
Contoh: makmum masuk dalam jama’ah shalat setelah
imam i’tidal dan hendak sujud pada rakaat kedua, maka
hukumnya adalah makmum wajib menambah 4 rakaat
setelah imamnya salam, dan shalat makmum berubah
menjadi shalat Dhuhur.
193
BAB 41
Penjelasan:
1. Membaca hamdalah di dalam dua khutbah (pertama dan
kedua).
194
Wajib membaca kalimat hamdalah dalam khutbah pertama
dan kedua. Apabila di salah satunya saja maka tidak sah.
Contoh kalimat hamdalahnya adalah boleh dengan kalimat
Penjelasan:
1. Khotib harus suci dari dua hadats, besar dan kecil.
Tidak sah khutbah tanpa bersuci (thoharoh) terlebih dahulu.
198
7. Berturut-turut antara dua khutbah dan shalat.
Antara kedua khutbah dan shalat tidak terpisah dalam waktu
yang lama. Setelah selesai khutbah kedua langsung iqomat
untuk shalat Jum’at. Waktu lamanya adalah umumnya orang
mengatakan lama, sebagian ulama berpendapat waktunya
adalah cukup untuk melakukan 2 rakaat shalat yang ringkas.
Apabila lebih dari itu maka batal khutbahnya dan wajib
mengulang dari awal.
200
Keterangan Sumber Kitab:
201
PENUTUP
202
DAFTAR PUSTAKA
203