Anda di halaman 1dari 212

DAFTAR ISI

Muqoddimah ...................................................................... 1
Bab 1 Tanda-Tanda Baligh ................................................. 2
Bab 2 Istinja’ ...................................................................... 5
- Sunnah-sunnah Istinja’ ............................................ 5
Bab 3 Bersuci Memakai Batu ............................................ 8
- Cara Istinja’ .............................................................. 11
Bab 4 Syarat-syarat Wudhu ............................................... 12
Bab 5 Fardhunya Wudhu ................................................... 18
Bab 6 Sunnah-sunnah Wudhu ........................................... 24
Bab 7 Makruhnya Wudhu .................................................. 28
Bab 8 Yang Membatalkan Wudhu ..................................... 29
- Macam-macam Mahrom ......................................... 32
Bab 9 Larangan Bagi Orang Yang Batal Wudhu ................. 37
Bab 10 Air ......................................................................... 42
- Pembagian Air .......................................................... 43
- Cara Mensucikan Air Yang Najis .............................. 46
Bab 11 Perkara yang Mewajibkan Mandi ......................... 49
- Pengertian Mani, Madzi dan Wadi .......................... 50
Bab 12 Fardhu-Fardhu Mandi ........................................... 55
Bab 13 Sunnah-sunnah Mandi ......................................... 60
Bab 14 Macam-macam Mandi Sunnah ............................. 63
Bab 15 Larangan Bagi Orang Yang Junub .......................... 65
Bab 16 Larangan Bagi Wanita Haid ................................... 67
Bab 17 Sebab-sebab Tayammum...................................... 70
Bab 18 Syarat-syarat Tayammum .................................... 77
Bab 19 Fardhu tayammum ............................................... 82
Bab 20 Sunnah-sunnah Tayammum ................................. 85
Bab 21 Batalnya Tayammum ........................................... 86
Bab 22 Benda-benda Najis yang bisa suci ........................ 92
Bab 23 Macam-Macam Najis ........................................... 96
i
Bab 24 Cara Mencuci Najis ............................................... 99
Bab 25 Masa Haid ............................................................ 104
Bab 26 Masa Suci antara Dua Haid .................................. 106
Bab 27 Masa Nifas ............................................................ 107
Bab 28 Udzurnya Shalat ................................................... 109
Bab 29 Syarat-syarat Shalat ............................................. 111
Bab 30 Rukun-Rukun Shalat .............................................. 121
Bab 31 Sunnah-Sunnah dalam Shalat ............................... 139
- Sunnah-sunnah sebelum shalat .............................. 139
- Sunnah-sunnah takbiratul ihrom ............................ 140
- Sunnah-sunnah dalam berdiri ................................. 141
- Sunnah-sunnah Ruku’ ............................................. 143
- Sunnah-sunnah I’tidal ............................................. 143
- Sunnah-sunnah Sujud ............................................. 144
- Sunnah-sunnah Duduk antara Dua Sujud ................ 145
- Sunnah-sunnah Tasyahud ....................................... 146
- Sunnah-sunnah Salam ............................................. 148
- Sunnah-sunnah Ab’adh Shalat ................................ 149
Bab 32 Makruh-makruhnya Shalat .................................. 151
Bab 33 Batalnya Shalat .................................................... 154
Bab 34 Shalat yang Diwajibkan Niat Menjadi Imam ......... 162
Bab 35 Syarat-syarat Menjadi Makmum .......................... 164
- Gambaran Menjadi Makmum yang Sah .................. 168
Bab 36 Sujud Sahwi ........................................................... 169
- Hukum Sujud Sahwi ................................................ 169
- Sebab-sebab Sujud Sahwi ....................................... 169
- Cara Melakukan Sujud Sahwi .................................. 170
- Waktu Melakukan Sujud Sahwi ............................... 170
- Bacaan Sujud Sahwi ................................................ 171
Bab 37 Syarat-syarat Shalat Jama’ Taqdim ....................... 174
Bab 38 Syarat-syarat Jama’ Ta’khir ................................... 180
Bab 39 Syarat-syarat Mengqashar Shalat ......................... 184
Bab 40 Syarat-syarat Shalat Jum’at .................................. 190
ii
Bab 41 Rukun-rukun Khutbah Jum’at .............................. 194
Bab 42 Syarat-syarat Khutbah Jum’at .............................. 197
Penutup .............................................................................. 202
Daftar Pustaka .................................................................... 203

iii
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬

‫ﺍﻟﺤﻤﺪﷲ‬

Sesungguhnya mempelajari ilmu syari’at adalah amat


mulianya amal ketaatan, paling utamanya amalan untuk
menghabiskan waktu dari masa hidup kita. Karena dengan
mempelajari syari’at kita akan mengetahui salah dan benarnya
ibadah kita. Mempelajari ilmu adalah ibadah, mencari masalah
yang tidak difahami termasuk kategori jihad, dan
mengajarkannya kepada orang lain yang tidak mengetahui
termasuk dalam kategori sedekah, berfikir dalam menuntut ilmu
termasuk dalam kategori puasa, saling mempelajari (muroja’ah)
dengan teman termasuk kategori ibadah tahajjud.
Ilmu adalah penghidup hati dari alam kebodohan, cahaya
dalam kegelapan, dengan ilmu seorang hamba akan menjadi
mulia dan mendapatkan derajat yang tinggi di dunia dan akhirat.
Dengan ilmu seseorang bisa mengetahui mana yang halal dan
mana yang haram.
Ilmu fiqih termasuk ilmu yang paling penting, karena ilmu
fiqih dibutuhkan setiap muslim untuk menjalankan semua
perintah agama, untuk mengetahui semua yang diwajibkan
kepadanya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan hukum-hukum
lainnya. Dan seorang muslim tidak akan bisa terlepas dari fiqih
selama hidupnya.
Ilmu fiqih bagaikan makanan yang harus dikonsumsi, baik
oleh orang khusus atau orang awam demi menegakkan agama
Allah swt.

iv
Dalam hadits diterangkan keutamaan ilmu fiqih yang salah
satunya adalah, “dari Abdillah bin ‘Amr ra.:

“Sesungguhnya Rasulullah saw masuk ke dalam masjid,


kemudian Beliau melihat dua majlis yang didalamnya
terdapat satu majlis yang berkumpul membaca dzikir kepada
Allah swt., dan yang satunya berkumpul untuk mempelajari
ilmu fiqih, maka Rasulullah saw berkata: “dua majlis itu
adalah majlis yang baik, dan salah satunya lebih aku cintai
dari yang lain, adapun mereka yang sedang berdzikir dan
berdoa meminta kepada Allah swt, jika dikehendaki oleh
Allah, maka Allah kabulkan permintaannya, dan jika Allah
tidak berkehendak maka Allah tidak akan mengabulkannya.
Adapun majlis yang lain, mereka mempelajari ilmu fiqih dan
mengajarkan kepada orang yang tidak mengetahui, dan
sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk mengajar,
kemudian Rasulullah saw. duduk bersama kelompok yang
mempelajari ilmu fiqih.” (HR Bazzar dan Thoyaalisi).

Rasulullah saw. bersabda:


۰‫ﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺍﷲ ﺑﻪ ﺧﱹﺍ ﻳﻔﻘﻬﻪ ﰲ ﺍﻟﺪﻳﻦ‬
Artinya: “Jika Allah menginginkan kebaikan pada diri seorang
hamba, (maka ia akan digerakkan hatinya) untuk mempelajari
ilmu fiqih dalam agama(nya).” (HR: Bukhari dan Muslim)

Disini kami hanya menekankan pada masalah Thoharoh dan


Shalat, melihat sangat pentingnya masalah shalat dan yang
berhubungan dengannya. Sehingga karena pentingnya shalat
sampai-sampai Rasulullah saw langsung dimi’rojkan oleh Allah
dan menerima kewajiban shalat ini langsung dari Allah swt.,
melihat ibadah lain beliau memperolehnya lewat perantara
Malaikat Jibril as.

v
Keutamaan shalat sangatlah besar, sehingga membuat setan
merasa sedih dan sakit hati. Ia geram melihat manusia
memperoleh tuntunan, kemuliaan dan pengampunan silih
berganti. Shalat fardhu yang satu disusul dengan shalat fardhu
yang lain menghapuskan dosa dan membuat manusia menjadi
bersih dari dosa.

Rasulullah saw. bersabda:


“Mempelajari ilmu fiqih dalam agama merupakan kewajiban
bagi setiap muslim, maka pelajarilah ilmu, dan ajarkanlah
dan perdalamilah ilmu fiqih, dan janganlah kalian meninggal
dalam keadaan bodoh.”
(HR: Abu Nu’aim)
Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada ibadah kepada Allah swt yang lebih utama dari
pada ilmu fiqih dalam agama, dan seseorang yang faqih (ilmu
fiqihnya luas) lebih berat untuk dapat diganggu setan dari
pada seribu orang ahli ibadah (yang tidak memiliki ilmu fiqih
yang luas), dan setiap perkara memiliki tiang (pedoman), dan
tiangnya agama adalah ilmu fiqih.”
(HR: Baihaqi)
Sayyidina Abdullah bin Abbas ra. berkata:
“Barangsiapa yang mengganggu orang yang faqih, maka ia
mengganggu Rasulullah saw., dan barangsiapa mengganggu
Rasulullah saw., maka ia telah mengganggu Allah ‘Azza wa
Jalla.”
(al-Majmu’)

Imam Syafi’i ra. berkata:


“Jika seandainya para fuqaha’ bukan termasuk walinya Allah
di akhirat, maka Allah tidak memiliki wali. Barangsiapa
mempelajari al-Qur’an, maka harga dirinya akan naik, dan

vi
barangsiapa yang mempelajari ilmu fiqih, maka derajatnya
akan naik.”
(Al-Majmu’)

Salafus sholeh berkata:

“Menghadiri majlis fiqih lebih utama dari pada beribadah


selama 60 tahun, karena ilmu fiqih adalah kunci agar ibadah
seorang hamba menjadi sah.”

FIQIH IMAM SYAFI’I

Kenapa yang dipilih fiqih yang bermadzhab pada Imam Syafi’i ra?
Karena dari kalangan Bani Alawy para guru-guru kami menempuh
jalannya Imam Syafi’i dalam hal syari’at. Dan beliau
radhiyallahu’anhum ajma’in lebih mengetahui dari pada kami.
Maka dari itu kami hanya meneruskan pijakan kami kepada
pijakan mereka.

KESAKSIAN ULAMA PADA KEAGUNGAN DAN KEBESARAN IMAM


SYAFI’I RA:

 Dalam sebuah hadits yang masyhur, Rasulullah saw. bersabda:

۰‫ﻋﺎﻟﻢ ﻗﺮﻳﺶ ﻳﻤﻸ ﺍﻷﺭﺽ ﻋﻠﻤﺎ‬


Artinya: “Seorang ‘alim dari suku Quraisy ilmunya akan
memenuhi pelosok-pelosok bumi.”

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal ra., yang dimaksud oleh Nabi
dengan ucapan Beliau saw. ini adalah Imam Syafi’i ra.

vii
 Imam Malik bin Anas ra, pendiri Madzhab Maliki pernah
berkata:

“Tidaklah datang seseorang dari suku Quraisy yang


keadaannya lebih pandai dari pada ini.” Imam Malik menunjuk
kepada Imam Syafi’i.

 Berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra.:


“Aku belum pernah mengerti tentang nasekh dan mansukh
(dalil yang menghapus dan dihapus) dalam hadits-hadits dan
aku baru mengetahui setelah aku belajar kepada Imam Syafi’i
ra.”

 Tatkala seseorang bertanya kepada imam Sufyan bin ‘Uyainah


ra. (ahli hadits) tentang tafsir dan ta’bir, kemudian Imam Sufyan
menoleh kepad Imam Syafi’i dan berkata kepada yang
bertanya: “bertanyalah kepada orang ini.”

 Imam Hamid bin Hanbal al-Bashri ra. berkata: “Suatu hari kami
mendiskusikan suatu masalah dengan Imam Ahmad bin
Hanbal, kemudian datang seseorang dan berkata kepada Imam
Ahmad bin Hanbal: “Tidak kami dapatkan sebuah hadits pun
tentang dalil dari soal yang dipermasalahkan, maka imam
Ahmad menjawab: “Jika kamu tidak menemukan dalil masalah
tersebut dari hadits, maka pakailah fatwa Imam Syafi’i ra.,
karena fatwa beliau adalah fatwa yang paling kuat dalilnya.”

 Imam Dubais ra. berkata: “Kami duduk bersama Imam Ahmad


bin Hanbal di masjid Jami’ di kota Baghdad, tiba-tiba datang
Imam Husein al-Karobisi ra. dan berkata: “Keberadaan orang ini
(seraya menunjuk kepada Imam Syafi’i ra), merupakan rahmat
dari Allah swt. kepada umat Muhammad saw.”

viii
 Berkata Robi’ bin Sulaiman al-Murodi ra: “Imam Syafi’i ra. telah
menghatamkan pembacaan al-Qur’an selama bulan Ramadhan
sebanyak 60 kali.”

Beliau wafat di kota Qohiroh, Mesir pada malam Jum’at


setelah shalat Maghrib, pada hari terakhir di Bulan Rajab, tahun
204 H, dan dimakamkan setelah shalat Asar pada hari Jum’at.
Sebagian ulama bermimpi mendengar suara:

۰‫ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﻣﺎﺕ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬


Artinya: “Malam ini Nabi Muhammad saw. meninggal dunia.”

Kemudian pagi harinya dia mendapat kabar bahwa Imam Syafi’i


meninggal dunia.

Dan dengan risalah yang jauh dari kesempurnaan ini al-faqir


ingin mempersembahkan kepada guru-guru, orang tua dan
keluarga al faqir agar ilmu yanag selama ini dituntut bisa
bermanfaat untuk agama, dan insya Allah dijauhkan dari segala
macam jenis penyakit hati. Semoga Allah mengampuni kami,
orang tua kami dan guru-guru kami.. aamiin .

Lampung
Jum’at 13 Jumadil Akhir 1441 H

Penyusun
Toha (Fikri) bin Muhammad Assegaf

ix
MUQADDIMAH

‫ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬

‫ﺍﻟﺤﻤﺪﷲ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﳌﱺ ﻭﺑﻪ ﻧﺴﺘﱺ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺭﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻟﺪﻳﻦ‬


‫ﻭﺻﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻰ‬
‫ﺳﻴﺪﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺧﹷﺎﺗﻢ ﺍﻟﻨﺒﻴﱺ ﻭﺍﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ‬
۰‫ﺃﺟﻤﻌﱺ ﻭﻻﺣﻮﻝ ﻭﻻ ﻗﻮﺓ ﺍﻻ ﺑﹻﺎﷲ ﺍﻟﻌﹷﻠﻲ ﺍﻟﻌﻆﻴﻢ‬

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi


Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan atas
beberapa urusan dunia dan agama.
Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada junjungan kita
Nabi Muhammad saw. penutup para nabi, dan kepada keluarga
dan para sahabatnya.
Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan mendapat
pertolongan dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung.



1
BAB 1

TANDA-TANDA BALIGH

‫ ﺗﻤﺎﻣ ﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ ﺳﻨﺔ ﰱﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﺍﻷﻧﺜﻰ‬:‫ﻋﻼﻣﺎﺕ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﺛﻼﺙ‬


۰‫ﻭﺍﻹﺣﺘﻼﻡ ﰱﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﺍﻷﻧﺜﻰ ﻟﺘﺴﻊ ﺳﻨﱺ ﻭﺍﳊﻴﺾ ﰱﺍﻷﻧﺜﻰ ﻟﺘﺴﻊ ﺳﻨﱺ‬

Tanda-tanda baligh itu ada tiga (3):


1. Genap berumur 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
2. Bermimpi keluar sperma (mani) bagi laki-laki dan
perempuan, apabila sudah berumur 9 tahun.
3. Keluar darah haid bagi perempuan apabila usianya telah
mencapai 9 tahun.
Penjelasan:
1. Genap usia 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan dalam
hitungan tahun Qomariyah atau Hijriyah bukan tahun
Masehi, apabila tidak keluar mani karena mimpi ataupun
haid (bagi perempuan) maka sempurnanya usia 15 tahun
adalah batas dia sudah baligh. Pada usia (15 th) tersebut dia
sudah dikatakan baligh. Dan wajib baginya untuk
mengerjakan perintah-perintah syari’at yang diwajibkan
terhadap orang-orang baligh serta menjauhi perkara-perkara
yang dilarang oleh syari’at.

2
2. Kadar baligh masing-masing anak berbeda, ada yang 9
tahun, 10 tahun, 11 tahun, dan sebagainya. Jika keluar
sperma (mani) bagi laki-laki atau perempuan dengan batas
minimal usia 9 tahun Hijriyah maka dia dikatakan sudah
baligh. Apabila dia usia 10 tahun belum bermimpi keluar
mani maka belum dikatakan baligh.
3. Apabila keluar darah pada anak perempuan yang telah
berusia 9 tahun Hijriyah, maka dihukumi telah baligh.

Permasalahan:

 Apabila kurang satu hari dari umurnya 15 tahun, maka


dihukumi belum baligh. Jadi disini tidak boleh kurang dari 15
tahun Hijriyah. Ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.¹
 Apabila usianya 9 tahun kurang 16 hari, kemudian keluar
darah, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah haid,
dan dirinya dihukumi telah baligh.²
Adapun tumbuhnya bulu kemaluan bukan termasuk tanda-
tanda baligh.



3
Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu Bakar.
Jilid 1, Bab Baligh, Hal: 108.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu Bakar.
Jilid 1, Bab Baligh, Hal: 109.

4
BAB 2

ISTINJA’

Istinja’ adalah menghilangkan najis baik cair (kencing, wadi,


madzi) atau padat (kotoran/tahi) dari dua jalan yaitu qubul
(kemaluan depan) dan dubur (anus) dengan air atau batu
sehingga suci dan lenyap najisnya baik berupa warna, bau dan
rasanya.
Cara beristinja’ yang sempurna ialah dengan 3 buah batu
sampai hilang benda najisnya (tidak tampak lagi), kemudian
dibasuh dengan air. Akan tetapi dianggap sah sekalipun hanya
menggunakan 3 buah batu atau hanya dengan air saja (asalkan
hilang ketiga sifatnya yaitu warna, bau dan rasanya), dan
menggunakan air lebih utama daripada batu.

Sunnah-sunnah beristinjak’ (cebok):


1. Masuk kamar mandi dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki
kanan (apabila masuk dengan kaki kanan maka hukumnya
makruh).
2. Jangan membawa apapun yang terdapat di dalamnya nama
Allah swt, atau nama Rasulullah saw. (baik pada pakaian,
topi, jaket atau pada yang terlihat pandangan mata).

5
3. Memakai tutup kepala (peci untuk laki-laki, kerudung,
handuk, jika tidak ada tutupi kepala dengan ujung pakaian
ketika masuk).
4. Memakai sandal.
5. Membaca doa masuk kamar mandi:

۰‫ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺇﻧﻲﺃﻋﻮﺫﺑﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﺒﺚ ﻭﺍﻟﺨﺒﺎﺋﺚ‬


Artinya: “Dengan nama Allah, Ya Allah aku berlindung
kepada-Mu dari gangguan setan laki-laki dan setan
perempuan.”
6. Membaca doa keluar kamar mandi:
۰ ‫ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﺫﻫﺐ ﻋﻨﻰﺍﻷﺫﻯ ﻭﻋﺎﻓﻨﻲ‬
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan
dariku segala penyakit dan yang memberiku kesehatan.”
7. Kencing dengan jongkok (duduk dalam keadaan bersandar di
atas kaki kiri (menekan) dan menegakkan kaki kanan.
8. Jangan kencing dalam keadaan berdiri kecuali terpaksa.
9. Tuntaskan dengan berdehem tiga kali atau dengan
menjalankan jari (telunjuk) tangan kiri pada bagian batang
kemaluan (dari bawah ke atas agar sisa air seni yang
tertinggal di batang kemaluan keluar semua).
10. Ketika beristinja’ menggunakan tangan kiri (memegang
kemaluannya).
11. Tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat (di ruang
terbuka). Apabila diruang tertutup seperti toilet model
sekarang boleh menghadap atau membelakangi akan
tetapi lebih utama tetap tidak menghadap atau
membelakanginya.
6
12. Tidak berbicara ketika buang air besar atau kecil, kecuali
yang bersifat darurat, karena hukumnya berbicara ketika
buang hajat adalah makruh.
13. Tidak melihat kemaluan atau kotorannya, tidak pula
melihat ke langit (atas) kecuali ada tujuan, akan tetapi
lihatlah ke depan.
14. Tidak buang air di lubang tanah (dikhawatirkan ada hewan
yang terganggu), ditempat yang sering dilalui orang, di air
yang tergenang atau di bawah pohon yang berbuah.
15. Tidak menghadap matahari dan bulan karena hukumnya
makruh, jika membelakanginya maka tidak makruh.



7
BAB 3

BERSUCI MEMAKAI BATU

‫ ﺍﻥﻳﻜﻮﻥ ﺑﺜﹷﻼﺛﺔ ﺃﺣﺠﺎﺭ ﻭﺃﻥ ﻳﻨﻘﻰ‬: ‫ﺷﺮﻭﻃ ﺇﺟﺰﺍﺀ ﺍﳊﺠﺮﲦﺎﻧﻴﺔ‬


‫ﺍﳌﺤﻞ ﻭﺃﻥﻻﳚﻒ ﺍﻟﻨﺠﺲ ﻭﻻﻳﻨﺘﻘﻞ ﻭﻻﻳﻂﺮﺃﻋﻠﻴﻪ ﺍﺧﺮ ﻭﻻﻳﺼﻴﺒﻪ‬
۰‫ﻣﺎﺀ ﻭﺃﻥﺗﻜﻮﻥ ﺍﻷﺣﺠﺎﺭﻁﺎﻫﺮﺓ‬

Syarat diperbolehkannya memakai batu ketika istinja’ (cebok)


adalah:
1. Adanya 3 batu.
2. Ketiga batu tersebut bisa membersihkan tempat yang najis.
3. Najisnya tidak sampai kering.
4. Najisnya belum pindah dari tempat asalnya.
5. Tidak kedatangan najis yang baru.
6. Najis tersebut tidak boleh melewati kiri dan kanannya dubur
dan hasyafah (ujung kemaluan laki-laki) dan pada wanita
tidak melampaui bibir kemaluan wanita.
7. Najis yang akan disucikan tidak terkena air.
8. Batunya harus dalam keadaan suci.
Penjelasan:
1. Menggunakan 3 buah batu, atau 1 batu tetapi mempunyai 3
sisi. Boleh menggunakan selain batu seperti tisue, kayu,

8
daun yang kesat, kain-kainan atau benda apapun yang dapat
menyerap atau menghilangkan najis. Yang penting adalah
harus dengan 3 usapan walaupun hanya dari 1 batu atau 1
tisue. Dan tidak sah istinja’nya jika dilakukan hanya dengan 1
kali usapan, walaupun 1 kali usapan tersebut telah
menghilangkan najisnya.¹
2. Tiga kali usapan tersebut harus dapat menghilangkan
najisnya. Apabila sudah kita bersihkan dengan 3 kali usapan
tetapi benda najisnya masih ada, maka harus ditambah
dengan satu usapan lagi yang keempat, kelima, (afdholnya
usapan ganjil) dan seterusnya sampai tidak tersisa najis
tersebut kecuali bekasnya (baunya) saja yang tidak akan
hilang kecuali dengan menggunakan air.
3. Benda najis (berak/kencing) yang ada disekitar kemaluan
belum mengering. Apabila sudah mengering maka harus
menggunakan air, karena jika sudah kering batu tidak dapat
menghilangkan najis tersebut.
4. Benda najis (berak/kencing) tersebut tidak berpindah
tempat dari tempat asalnya, seperti pindah ke paha, kaki
atau anggota badan lainnya. Apabila pindah dari tempat
asalnya (kemaluan/anus) maka najis yang ada di tempat lain
itu (paha, kaki atau yang lain) tidak bisa dihilangkan dengan
batu atau sejenisnya, akan tetapi harus dengan air. Adapun
najis yang masih ada di lubang kemaluan atau dubur tetap
boleh menggunakan batu atau sejenisnya.
5. Najisnya murni tidak tercampur dengan apapun. Contoh
ketika buang air kotorannya terjatuh ke air lalu ada cipratan
air yang kemballi mengenai duburnya maka hukumnya tidak
bisa beristinja’ dengan batu, harus dengan air.
9
Contoh lain apabila ketika buang air duburnya terkena pasir
yang menempel karena ia jatuh atau tertiup angin maka ia
tidak bisa beristinja’ dengan batu tetapi harus dengan air.
6. Benda najisnya tidak melewati kepala zakar laki-laki atau
bibir kemaluan wanita, dan tidak melewati batas anus (yaitu
tempat yang berkerut dari dubur). Apabila najisnya melewati
batas tersebut diatas maka harus menggunakan air.
7. Benda najis tersebut tidak tercampur dengan air, maksudnya
adalah seperti contoh pada nomer 5.
Apabila yang mengenai dubur itu adalah air keringat, maka
dima’afkan dan tidak menghalangi penggunaan batu untuk
istinja’.
8. Batu yang digunakan harus batu yang suci. Tidak sah bersuci
dengan menggunakan sesuatu yang najis, seperti kotoran
hewan yang sudah kering (mengeras), dan lain-lain.

Permasalahan:

 Apabila batu atau yang sejenisnya telah digunakan, apabila


ingin digunakan kembali maka wajib dicuci dahulu agar suci.
Apabila tidak dicuci maka batu tersebut hukumnya najis dan
tidak dapat digunakan untuk bersuci.
 Tidak boleh istinja’ dengan menggunakan benda yang
dimuliakan. Contoh: makanan (roti yang kering), kertas yang di
dalamnya ada tulisan ilmu agama.
 Tidak boleh pula istinja’ dengan benda yang licin, seperti kaca,
porselen (keramik), dan benda-benda licin lainnya karena tidak
dapat menyerap najis.

10
Cara istinja’:
Caranya yang paling utama adalah memulai pengusapan dari arah
kanan lalu diteruskan dengan berputar ke arah kiri, yang kedua
dimulai dari kiri diteruskan ke arah kanan juga dengan cara
berputar dan yang ketiga dengan mengusapnya dari arah bawah
ke atas (tengah).



Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya Ust


Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Istinja’, Hal: 80.

11
BAB 4

SYARAT-SYARAT WUDHU

Wudhu menurut syari’at adalah nama dari membasuh


anggota tubuh tertentu, dengan niat tertentu dan dengan cara
tententu. Dan wudhu mempunyai rukun (fardhu) yang wajib
dilakukan dan jika tidak dilakukan maka wudhunya tidak sah.

‫ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﺘﻤﻴﻴﺰ ﻭﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﳊﻴﺾ‬: ‫ﺷﺮﻭﻃ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻋﺸﺮﺓ‬


‫ﻭﺍﻟﻨﻔﺎﺱ ﻭﻋﻤﺎ ﳝﻨﻊ ﻭﺻﻮﻝ ﺍﳌﺎﺀ ﺇﱃﺍﻟﺒﺸﺮﺓ ﻭﺃﻥ ﻻﻳﻜﻮﻥ ﻋﻠﻰ‬
‫ﺍﻟﻌﻀﻮﻣﺎﻳﻐﱹﺍﻟﻤﹷﺎﺀ ﻭﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﻔﺮﺿﻴﺘﻪ ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻓﺮﺿﺎ ﻣﻦ‬
۰‫ﻓﺮﻭﺿﻪ ﺳﻨﺔ ﻭﺍﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﻂﻬﻮﺭ ﻭﺩﺧﻮﻝ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻭﺍﳌﹹﻮﺍﻻﺓ ﻟﺪﺍﺋﻢ ﺍﳊﺪﺙ‬

Syarat-syarat wudhu ada 10:


1. Islam.
2. Tamyiz.
3. Suci dari haid dan nifas.
4. Bersih dari sesuatu yang bisa mencegah sampainya air ke
kulit.
5. Di anggota (yang dibasuh) tidak terdapat sesuatu yang bisa
merubah air.
6. Tahu akan fardhunya wudhu.
7. Tidak meyakini bahwa salah satu dari fardhunya wudhu
adalah sunnah.
12
8. Airnya suci.
9. Sudah masuk waktu shalat.
10. Terus-menerus (Muwalah) bagi orang yang selalu
berhadats.

Penjelasan:
1. Islam, maka tidak sah wudhunya orang kafir, karena wudhu
dan mandi (janabah) adalah dua ibadah yang membutuhkan
niat, dan hukum niatnya orang kafir tidak sah.
2. Tamyiz, orangnya dinamakan mumayyiz, yaitu orang yang
bisa makan sendiri, minum sendiri dan beristinja’ (cebok)
sendiri. Maka tidak sah jika yang melakukan wudhu adalah
seorang anak yang belum mumayyiz atau seorang yang gila.
Kecuali anak yang akan melakukan thowaf, maka sah dengan
syarat yang mewudhukan adalah walinya.¹
3. Suci dari haid dan nifas, tidak sah wudhu dan mandi dengan
niatan ibadah bagi wanita yang sedang haid dan nifas,
kecuali mandi pada saat niat ihram atau masuk kota
Makkah, mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
4. Pada anggota wudhu bersih dari sesuatu yang dapat
menghalangi sampainya air ke kulit, seperti: cat (cat
minyak, atau cat tembok, atau cat (semir) rambut, kutek
(bukan pacar kuku, kalau pacar kuku tidak mengapa karena
bukan dari bahan cat), kotoran dibawah kuku, kotoran
disela-sela mata (belek ketika bangun tidur), lilin, getah,
kapur, minyak yang beku, bedak yang tebal, vaseline, lem,
oli dan semua sesuatu yang dapat menghalangi air ke kulit.

13
5. Pada anggota yang dibasuh atau diusap tidak ada sesuatu
yang dapat merubah sifat air wudhunya (warna, rasa dan
bau), seperti: tinta, sabun, atau bedak.
6. Harus mengetahui bahwa wudhu yang akan dilakukan itu
hukumnya adalah wajib (fardhu).
7. Tidak meyakini bahwa salah satu dari fardhunya wudhu
adalah sunnah. Adapun dalam hukum ini ada 3 perincian:
a. Jika dia meyakini semua amalan wudhu hukumnya adalah
fardhu, maka wudhunya sah.
Contoh: niat, baca bismillah, kumur-kumur, istinsyak,
basuh muka, basuh tangan, kepala, telinga sampai semua
amalan-amalan itu dianggap dia adalah wajib semua,
maka wudhunya sah.
b. Jika dia meyakini bahwa semua amalan wudhu adalah
sunnah, maka wudhunya tidak sah.
c. Jika ia meyakini sebagian dari amalan wudhu ada yang
sunnah ada yang fardhu, tapi ia tidak bisa
membedakannnya, maka wudhunya sah.²

8. Air yang digunakan adalah air yang suci dan mensucikan.


Karena hadats tidak dapat terangkat kecuali dengan air yang
suci dan mensucikan.
9. Sudah masuk waktu shalat adalah dikhususkan untuk
orang yang selalu berhadats, seperti beser (selalu kencing
terus-menerus), wanita yang sedang istihadhoh, orang yang
selalu buang angin atau selalu keluar madzi.
Maka bagi orang yang selalu berhadats ini tidak boleh
melaksanakan wudhu untuk shalat kecuali setelah masuk
waktu shalat yang akan dilaksanakan.
14
Dan caranya adalah, setelah istinja’ ia tutup kemaluannya
dengan kain/tissue (untuk beser, keluar madzi, istihadhoh)
baru kemudian berwudhu. Dan setelah berwudhu segera
melakukan shalat, apabila ditengah-tengah shalat air
kencingnya menetes atau darahnya mengalir maka
shalatnya tetap sah.
10. Terus-menerus (muwalah) disini adalah ketika
berwudhu langsung berturut-turut tidak sampai air wudhu
pada anggota wudhu yang pertama mengering baru
membasuh basuhan berikutnya. Contoh: setelah membasuh
muka, langsung membasuh tangan, tidak boleh berhenti
sejenak sampai air di muka mengering lalu melanjutkan
membasuh tangan.
Dan juga setelah berwudhu agar segera shalat (untuk yang
selalu berhadats).

Tambahan:
 Syarat wudhu yang lain ada juga ulama yang menambahkan
dengan mengalirkan air ke seluruh anggota wudhu, dengan
sendirinya (pancuran) atau dengan dorongan tangan, maka
tidak sah wudhu dengan menggunakan kain yang dibasahi
atau es lalu digosok-gosokkan ke anggota wudhu.³

Permasalahan:

1. Pada anggota wudhu ada sesuatu yang menghalangi


sampainya air ke kulit, dengan contoh:
 Apabila pada kulit ada tatto, maka hukumnya adalah:

15
a. Apabila tatto yang dibuat adalah ketika ia muslim,
baligh dan sengaja dibuat maka harus dihilangkan, tapi
bukan dengan cara disetrika, karena agama
mengharamkan melakukan sesuatu yang
membahayakan dirinya. Akan tetapi berusaha
menghilangkan dengan getah, atau tehnik kedokteran.
Apabila jika dia berusaha terus akan menghilangkannya
tetapi belum juga hilang, maka shalatnya sah walaupun
tatto itu masih ada.
b. Apabila tatto yang dibuat sebelum dia muslim, atau
sebelum baligh, maka tidak wajib untuk
menghilangkannya, dan shalatnya sah.⁴
 Apabila permasalahnnya minyak oli pada orang yang
bekerja di bengkel, maka ketika ia sudah berusaha
menghilangkannya dengan sabun, tetapi masih ada sisa
licinnya saja pada kulit, dan olinya sudah tidak ada maka
wudhu yang dilakukan adalah sah.
 Begitu juga apabila ada riasan wajah ketika acara
pernikahan, apabila sudah dibersihkan dengan air dan
sabun, masih ada sisa licinnya kosmetik pada wajah akan
tetapi sudah tidak terlihat bedak/kosmetiknya maka
dima’fu dan wudhunya sah.



16
Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu Bakar.
Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 186.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu Bakar.
Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 187.
3. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 37.
4. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al Athos.
Bab: Syarat Wudhu, Hal 81.

17
BAB 5

FARDHUNYA WUDHU

‫ ﺍﻷﻭﻝ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﺍﻟﺜﹷﺎﻧﻰﻏﺴﻞ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ‬: ‫ﻓﺮﻭﺽ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺳﺘﺔ‬


‫ﻏﺴﻞﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﻣﻊ ﺍﳌﺮﻓﻘﱺ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻣﺴﺢ ﺷﻴﺊ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺃﺱ ﺍﳋﺎﻣﺲ‬
۰‫ﻏﺴﻞﺍﻟﺮﺟﻠﱺ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﻌﺒﱺ ﺍﻟﺴﺎﺩﺱﺍﻟﺘﺮﺗﻴﺐ‬

Fardhu-fardhu wudhu ada 6:


1. Niat.
2. Membasuh wajah.
3. Membasuh kedua tangan beserta kedua siku.
4. Mengusap sebagian dari kepala.
5. Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki.
6. Tertib.

Penjelasan:
1. Niat
Tidak sah berwudhu tanpa niat, tempatnya niat adalah di
dalam hati, yaitu dengan cara melintaskan tujuan (niat) kita
dalam hati, seperti berniat untuk menghilangkan
(mengangkat) hadats atau bersuci untuk mengerjakan shalat.
Dan melafazhkannya hukumnya adalah sunnah.

18
Niat tidak harus dengan bahasa arab, boleh dengan bahasa
apapun asalkan mengandung arti dari niat untuk mengangkat
hadats tersebut.¹

Contoh:
 Aku niat wudhu untuk mengangkat hadats kecil.
 Aku niat bersuci untuk shalat.
 Aku niat fardhu wudhu.
 Aku niat thoharoh untuk shalat.

Contoh niat wudhu yang paling ringkas adalah:

۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬


Artinya: “Saya niat wudhu karena Allah swt.”
Dan contoh niat wudhu yang sempurna adalah:

۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻟﺮﻓﻊ ﺍﳊﺪﺙ ﺍﻷﺻﻐﺮﻓﺮﺿﺎ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬


Artinya: “Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadats
kecil karena Allah swt.”
Waktu berniat adalah bersamaan dengan membasuh wajah.

2. Membasuh wajah
Batasannya adalah, batas atas dari mulai tempat tumbuhnya
rambut sampai batas bawah adalah dagu, dan dagu termasuk
maka harus dibasuh. Dalam arti dari atas sampai bawah dagu

19
lebihkan sedikit (basuhannya). Batas samping adalah dari
telinga kanan sampai telinga kiri.
Termasuk dari kulit yang terdapat pada atas bibir (kumis)
harus sampai air ke kulit, maka dari itu disunnahkan untuk
menipiskan kumis. Dan ujung-ujung mata (yang biasa terdapat
kotoran/belek) juga harus terkena air.

3. Membasuh kedua tangan beserta kedua siku.


Yaitu mulai dari ujung-ujung jarinya sampai kedua sikunya
yaitu tulang yang menonjol antara lengan bawah dan lengan
atas. Kedua siku harus terkena basuhan, maka dari itu agar
aman tambah basuhan sampai diatas siku dan diyakinkan
terkena semua.
Caranya: Sunnahnya adalah dimulai dari ujung-ujung jari
tangan terus sampai ke atas siku. Jangan lupa perhatikan
kotoran dibawah kuku, harus dibersihkan juga.

4. Mengusap sebagian dari kepala atau sebagian rambutnya.


Mengusap sebagian kepala atau rambutnya, walaupun
sebagian kecil dari kepala itu atau sekalipun hanya sehelai
rambut asalkan rambut tersebut tidak keluar dari batas
kepala.
Apabila rambutnya panjang dan dia hanya membasahi ujung
rambut yang terurai, bukan yang di pangkal kepala maka
wudhunya tidak sah.
Caranya: Sunnahnya adalah dengan ibu jari diletakkan di
pelipis, dan jari-jari tangan kanan dan kiri saling dirapatkan,
kemudian mulai basuhan dari arah depan tarik ke belakang
sampai leher (tengkuk), kemudian dikembalikan lagi ke depan.
20
Apabila rambutnya panjang, atau untuk wanita yang berambut
panjang maka tidak dianjurkan untuk di kembalikan lagi ke
depan, cukup tarik ke belakang saja.

5. Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki.


Meratakan air dalam basuhan sampai kepada mata kaki, yaitu
tulang yang menonjol pada pergelangan kaki.
Caranya: Sunnahnya adalah dimulai dari ujung jari-jari kaki
diratakan sampai pada mata kaki.
Mata kaki harus terkena semua, lebih amannya adalah basahi
melebihi mata kaki.

6. Tertib.
Yang dimaksud tertib adalah sesuai dengan urutan yang sudah
ditetapkan dari mulai niat sampai membasuh kaki, maka tidak
sah seseorang yang berwudhu mengusap kepala dahulu,
kemudian membasuh kedua tangannya. Harus berurutan
seperti urutan diatas.

Permasalahan:

 Apabila seseorang belum batal dari wudhunya lalu ia ingin


melakukan wudhu untuk shalat berikutnya maka niatnya
adalah bukan mengangkat hadats, akan tetapi niatnya adalah
“memperharui wudhu” (contoh lafadznya adalah “saya niat
memperbaharui wudhu / nawaitu li tajdiidil wudhu), karena
memperbaharui wudhu ketika akan shalat sebelum berhadats
hukumnya adalah sunnah. Apabila ia ragu, apakah ia sudah
berhadats (batal) atau belum, untuk berhati-hati lalu ia
21
melakukan wudhu dalam keadaan ragu tersebut maka
hukumnya adalah:
a. Apabila ia dalam keadaan suci maka wudhunya tersebut
menjadi tajdid (memperbaharui wudhu).
b. Apabila ternyata dia memang berhadats (batal) maka
wudhunya tidak sah, karena ada keraguan dan ibadah
tidak sah apabila ada keraguan, jadi seharusnya orang
tersebut harus menghilangkan dahulu keraguannya
dengan buang angin, buang air atau melakukan perbuatan
yang membatalkan wudhu.²
 Bagi orang yang selalu berhadats (beser atau buang angin
terus-menerus) maka niatnya adalah bukan mengangkat
hadats kecil, akan tetapi niatnya adalah “supaya
diperbolehkan untuk shalat”.
Atau dengan contoh lafadznya adalah “nawaitu li istibahatus
sholah”, apabila ia niat untuk mengangkat hadats kecil maka
tidak sah, karena dia selalu dalam keadaan berhadats.³
 Apabila kepalanya tidak tumbuh rambut dari kecil (botak),
maka batas atas dari pada basuhan wajah adalah cukup
dengan mengusap kepalanya. Atau bisa juga dengan batas 4
jari diatas rambut alisnya.
 Apabila setelah wudhu kemudian diketahui pada anggota
wudhu (muka, tangan, kepala atau kaki) ada sesuatu yang
menghalangi sampainya air ke kulit, maka hilangkan dahulu
sesuatu yang menghalangi tersebut lalu wajib membasuh
anggota wudhu yang wajib dibasuh sesuai urutan dalam
pekerjaan wudhu.
Contoh: Ketika setelah berwudhu kita lihat ada lem di tangan,
maka kita hilangkan lemnya dahulu, kemudian kita basuh
22
tangan kita selanjutnya kepala dan kaki. Untuk wajah tidak
usah diulang karena sudah sah dan pekerjaan wudhu dari
tangan sampai akhir tidak sah (karena tangan ada lemnya)
maka harus diulang, ini terjadi apabila waktunya tidak terlalu
lama (sampai keringnya anggota wudhu).
 Melaksanakan wudhu wajib dengan cara tertib, kecuali pada
satu keadaan, yaitu ketika menyelam di air meskipun hanya
sebentar saja disertai niat wudhu ketika menyelam (semua
anggota badan dan kepala ada di dalam air), dalam keadaan ini
kewajiban tertib menjadi gugur dan wudhunya sah (pendapat
Imam Nawawi).⁴



Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 39.
2. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 43.
3. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 166.
4. Fiqih Sistematis (Terjemah Kitab at-Taqrirat al-Sadidah fil
Masail Mufidah, Karya Sayyid Hasan bin Ahmad Al Kaaf, Bab:
Wudhu, Hal: 60.

23
BAB 6

SUNNAH-SUNNAH WUDHU

Sunnah-sunnah wudhu sangat banyak sekali, disini kami akan


uraikan sebagian dari padanya, yaitu¹:

 Sunnah-sunnah sebelum wudhu:


1. Berwudhu dengan duduk.
2. Menghadap kiblat.
3. Membaca ta’awwudz (a’uudzubillaahi minasy
syaitonirrojiim) dan basmalah.
4. Memakai siwak (menggosok gigi).
5. Mencuci kedua telapak tangan.
6. Kumur-kumur.
7. Istinsyak (menghirup air ke hidung dengan kanan kanan).
8. Istinsyar (mengeluarkan air dari hidung dengan tangan kiri).
9. Tidak berbicara ketika wudhu kecuali darurat.

 Sunnah-sunnah membasuh wajah:


10. Melafadzkan niat (bersamaan ketika membasuh wajah).
11. Memulai dari bagian wajah atas (mulai tumbuhnya
rambut).
12. Mengambil air dengan kedua tangan secara bersamaan
13. Melebihkan basuhan pada wajah melebihi batas-batasnya
dari segala arah (atas, bawah, kiri, kanan).
14. Menyela-nyela jenggot yang tebal.

24
15. Menyela-nyela dari bagian bawah jenggot dengan tangan
kanan, dengan air yang baru.
16. Membaca doa membasuh muka.
17. Melakukannya tiga kali basuhan.

 Sunnah-sunnah membasuh tangan sampai siku:


18. Memulai dengan tangan sebelah kanan.
19. Memulai dari ujung jari diteruskan sampai siku.
20. Menyela-nyela jari-jari tangan.
21. Menyela-nyela jari dari punggung tangan (bukan dari
depan telapak tangan).
22. Menggerak-gerakkan cincin agar sempurna masuknya air
ke kulit.
23. Memanjangkan basuhan.
24. Melakukannya tiga kali basuhan.
25. Membaca doa membasuh tangan kanan dan kiri.

 Sunnah-sunnah mengusap sebagian kepala:


26. Membasuh semua rambut atau kulit kepala.
27. Meletakkan kedua ibu jari pada pelipis wajah, dan ujung-
ujung jari kiri dan kanan dipertemukan, lalu mulai
mengusap dari depan permukaan tumbuhnya rambut ke
arah belakang, kemudian dikembalikan lagi ke arah
depan.
28. Membasuh kedua telinga bersamaan dengan rambut.
29. Membaca doa mengusap sebagian kepala.
30. Mengusap imamah (surban yang mengikat di kepala),
dengan syarat telah mengusap bagian yang wajib untuk
diusap dari sebagian rambut kepala.
25
31. Melakukannya tiga kali usapan.

 Sunnah-sunnah membasuh kedua telinga:


32. Mengusap kedua telinga, dengan cara meletakkan kedua
ibu jari dibelakang daun telinga sedangkan jari
telunjuknya di telinga bagian dalam, kemudian mulai
menjalankan jari telunjuknya dengan cara memutar
secara merata kebagian lipatan bagian dalam telinga
dimulai dari bawah dan setelah jari telunjuk sampai ke
ujung lipatan bagian atas telinga, maka ibu jarinya yang
tadi dibelakang daun telinga didorong ke atas telinga
bagian belakang.
33. Melakukannya sebanyak tiga kali.
34. Memasukkan jari telunjuk tangan kanan ke lubang telinga
kanan, dan jari telunjuk tangan kiri ke lubang telinga kiri.
Dan melakukan sebanyak tiga kali dengan air yang baru.
(cara ini istilah fiqihnya adalah “Simakhoini”)
35. Membasahi telapak tangan kanan dan kiri dengan air, lalu
merapatkan kedua telapak tangan tersebut pada masing-
masing daun telinga sebanyak tiga kali, dengan air yang
baru pula. (cara ini dalam fiqih disebut “Istizharon”).
36. Membaca doa membasuh telinga.

 Sunnah-sunnah membasuh kedua kaki:


37. Mendahulukan kaki sebelah kanan.
38. Memulai basuhan dari ujung jari kaki.
39. Menyela-nyela jari kaki dengan kelingking tangan kiri.
40. Memulai menyela kaki dari kelingking kaki kanan sampai
terakhir kelingking kaki kiri.
26
41. Mulai menyela dari bagian bawah kaki (telapak kaki).
42. Memanjangkan basuhan lebih dari mata kaki.
43. Berlebihan dalam membasuh tumit. (karena tempat itu
sering terlalaikan).
44. Membaca doa-doa dalam membasuh kaki kanan dan kaki
kiri.

 Sunnah-sunnah setelah melaksanakan wudhu:

45. Membaca doa setelah wudhu (dengan menghadap kiblat


dan menghadapkan wajah ke langit (ke atas), sambil
menengadahkan tangan ke atas).
46. Tidak mengeringkan air wudhunya dengan kain atau
handuk.
47. Shalat sunnah wudhu.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqih Sistematis (Terjemah Kitab at-Taqrirat al-Sadidah fil


Masail Mufidah, Karya Sayyid Hasan bin Ahmad Al Kaaf, Bab:
Wudhu, Hal: 61.

27
BAB 7

MAKRUHNYA WUDHU

Adapun makruhnya wudhu adalah sebagai berikut¹:


1. Berlebih-lebihan dalam menggunakan air.
2. Mengeringkan air wudhu (dengan baju/handuk).
3. Membasuh lebih dari tiga basuhan.
4. Memercikkan atau menyipratkan air setelah wudhu.
5. Meminta bantuan orang lain dalam menuangkan air wudhu.
6. Mendahulukan yang sebelah kiri dari pada yang kanan.
7. Berkumur-kumur dan beristinsyak dengan cara mubalaghoh
(berlebihan) bagi orang yang berpuasa.
8. Berbicara yang tidak bermanfaat ketika berwudhu.
9. Meninggalkan doa-doa sunnahnya wudhu.
10. Berwudhu tanpa busana (telanjang).



Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 69.

28
BAB 8

YANG MEMBATALKAN WUDHU

‫ ﺍﻷﻭﻝ ﺍﳋﺎﺭﺝ ﻣﻦ ﺍﺣﺪ ﺍﻟﺴﺒﻴﻠﱺ‬: ‫ﻧﻮﺍﻗﺾ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺷﻴﺎﺀ‬


‫ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺃﻭﺩﺑﺮ ﺭﻳﺢ ﺃﻭﻏﱹﻩ ﺇﻻ ﺍﳌﱷ ﺍﻟﺜﹷﺎﱏ ﺯﻭﺍﻝ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﺑﻨﻮﻡ‬
‫ﺃﻭﻏﱹﻩ ﺇﻻ ﻧﻮﻡ ﻗﺎﻋﺪ ﳑﻜﻦ ﻣﻘﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺍﻟﺘﻘﹷﺎﺀ‬
‫ﺑﺸﺮﺗﻰ ﺭﺟﻞ ﻭﺍﻣﺮﺃﺓ ﻛﺒﱹﻳﻦ ﺃﺟﻨﺒﻴﱺ ﻣﻦ ﻏﱹﺣﺎﺋﻞ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻣﺲ‬
۰‫ﻗﺒﻞ ﺍﻷﺩﻣﻲ ﺃﻭﺣﻠﻘﺔ ﺩﺑﺮﻩ ﺑﺒﻄﻦ ﺍﻟﺮﺍﺣﺔ ﺃﻭﺑﻂﻮﻥ ﺍﻷﺻﹷﺎﺑﻊ‬

Yang membatalkan wudhu ada 4 perkara:


1. Sesuatu yang keluar dari salah satu jalan yaitu qubul
(kemaluan depan) atau dubur (kemaluan belakang), baik
berupa angin, atau yang lainnya kecuali mani.
2. Hilangnya akal yang disebabkan tidur atau lainnya, kecuali
tidur orang yang duduk dan menetap (pantatnya) diatas
tanah (tempat duduknya).
3. Bertemunya kedua kulit laki-laki dan perempuan yang sama
besarnya (dewasa), keduanya tidak ada hubungan mahram
dan tanpa pemisah.

29
4. Menyentuh qubulnya (kemaluan) anak Adam, atau
menyentuh lingkaran duburnya (lubang pantat) anak Adam
dengan telapak tangan atau jari-jari tangan bagian dalam.

Penjelasan:
1. Apapun yang keluar dari kedua kemaluan tersebut
membatalkan wudhu, baik yang keluar itu biasa seperti: angin,
kencing, berak, madzi atau wadi dan lain-lain. Ataupun yang
tidak biasa seperti: cacing, batu dan lain-lain, baik dalam
keadaan basah atau kering.
Kenapa mani (sperma) tidak membatalkan wudhu? Karena
sperma mewajibkan perkara yang lebih besar atau berat dari
pada wudhu, yaitu mandi (janabah) sehingga tidak lagi
mewajibkan wudhu. Karena berdasarkan kaidah fiqih:
“Setiap sesuatu yang mewajibkan perkara yang lebih besar
(berat) diantara dua perkara (mandi/wudhu), karena
khususnya perkara tersebut (air mani) maka tidak wajib
pekerjaan yang lebih ringan darinya (wudhu) walaupun
keduanya sama-sama keluar dari kemaluan.” ¹
Lain halnya apabila memasukkan sesuatu ke dalam salah satu
kemaluan, maka tidak batal wudhunnya. Contoh: memasukkan
obat lewat kemaluan bagian belakang.²
2. Hilangnya akal, dengan salah satu dari empat sebab yaitu:
a. Tidur, kecuali tidur dalam keadaan duduk yang tidak
berubah menetap pada tempat duduknya dari mulai tidur
sampai bangun (sadar). Dan dia termasuk orang yang
ukuran badannya sedang (tidak terlalu gemuk dan tidak
terlalu kurus), dan syarat lainnya adalah ia tidak diberitahu
30
oleh orang yang adil (tidak melakukan dosa besar, dan tidak
melakukan dosa kecil secara terus menerus) bahwa ketika
tidur ia mengeluarkan angin, apabila ia diberitahu bahwa ia
buang angin, maka batal wudhunya.³
b. Gila, walaupun sesaat maka batal wudhunya.
c. Pingsan atau ayan, meskipun sesaat, maka batal
wudhunya.
d. Mabuk, baik sengaja ataupun tidak (diberi obat/minuman
oleh orang lain yang ia tidak mengetahuinya).
3. Persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan dengan
syarat:
a. Keduanya berumur dewasa, maksudnya adalah baik yang
laki-laki maupun yang perempuan sudah menimbulkan
syahwat lawan jenis menurut orang yang tabiatnya normal
(bukan orang yang punya penyakit kelainan sex), walaupun
belum mencapai batas baligh (bongsor_jawa).
b. Tidak ada penghalang diantara dua kulit, apabila ada
penghalang seperti: kertas, kain, plastik dan lain-lain maka
tidak membatalkan wudhu.
c. Yang bersentuhan adalah kulit keduanya. Apabila bukan
kulit, seperti gigi, kuku, atau rambut maka tidak
membatalkan wudhu (karena hal tersebut tidak
menimbulkan syahwat).
d. Yang bersentuhan berbeda jenis kelamin, apabila sesama
lelaki atau sesama perempuan maka tidak membatalkan
wudhu.
e. Tidak ada hubungan mahrom. Lain halnya jika ada
hubungan mahrom dari jalur nasab, sepersusuan atau
pernikahan maka tidak membatalkan wudhu.
31
 Macam-macam Mahrom ada 18: ⁴

A. Karena nasab ada 7 golongan:


a. Ibu (keatas yaitu nenek, buyut dan seterusnya).
b.Anak perempuan (kebawah yaitu cucu, anak dari cucu
dan seterusnya).
c. Saudara perempuan.
d.Keponakan perempuan dari anak saudara laki-laki.
e.Keponakan perempuan dari anak saudara perempuan.
f. Bibi (saudara ayah).
g. Bibi (saudara ibu).

B. Karena sepersusuan ada 7 golongan:


a. Ibu sesusuan (keatas).
b.Anak perempuan sesusuan (kebawah).
c. Saudara perempuan sesusuan.
d.Keponakan perempuan, anak dari saudara laki-laki
sesusuan.
e.Keponakan perempuan, anak dari saudara perempuan
sesusuan.
f. Bibi, saudara perempuan ayah sepersusuan.
g. Bibi, saudara perempuan ibu sepersusuan.

C. Karena pernikahan ada 4 golongan:


a. Ibu mertua (keatas).
b.Mantu perempuan.
c. Anak perempuan istri (anak tiri).
d.Istri ayah (ibu tiri).

32
4. Menyentuh kemaluan depan atau belakang (lingkar anus), baik
disengaja atau tidak, milik sendiri atau orang lain dengan
tangan bagian dalam (telapak tangan atau telapak jari-jari
tangan).
Yang dimaksud telapak tangan atau telapak jari-jari tangan
adalah bagian tangan yang apabila disatukan (telapak tangan
kiri dan kanan) maka yang tidak terlihat (yang menempel)
apabila menyentuh kemaluan akan membatalkan wudhu.
Apabila menyentuh dengan bagian selain itu, seperti ujung
jari, punggung tangan atau pinggiran jari maka tidak
membatalkan wudhu.
Itu pun yang disentuh adalah batang zakarnya, sedangkan
telur zakarnya apabila tersentuh maka tidak membatalkan
wudhu. Begitu pula rambut kemaluan jika tersentuh tidak
membatalkan wudhu.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan kemaluan perempuan
adalah bibir kemaluannya, baik bibir dalam maupun luar,
begitu pula klirotisnya.
Adapun lingkar anus yang apabila disentuh membatalkan
wudhu adalah pada lingkaran yang berkerut tepat pada lubang
anusnya. Sedang bagian pantat dan sekitarnya tidak
membatalkan wudhu apabila disentuh.⁵

Permasalahan:
1. Permasalahan pada keluarnya sesuatu pada kemaluan.
 Apabila kita ragu, biasanya terjadi ketika setelah wudhu, kita
ragu akan keluar seperti angin pada pantat kita, selama kita
tidak mendengar atau tidak ada bau, maka hukumnya
33
adalah tidak membatalkan wudhu. Karena itu adalah
gerakan lubang anus yang terbuka atau tertutup sehingga
seperti ada keluar angin, dan ini juga berasal dari setan agar
orang menjadi was-was. Ini juga biasa terjadi ketika duduk
mendengarkan khotib berkhutbah pada hari Jum’at.
 Jika dua kemaluan tersebut atau salah satunya buntu atau
tidak berfungsi normal, baik bawaan lahir atau karena suatu
penyakit, lalu dibuatlah lubang pembuangan pengganti dari
tempat asal. Apakah sesuatu yang keluar dari lubang
pengganti tersebut membatalkan wudhu? Jawabannya
dapat diperinci sebagai berikut:
a. Jika tempat yang asal (kemaluan asli) tidak berfungsi
karena bawaan lahir, dengan kata lain ketika dilahirkan
memang tidak ada lubang kencing atau anusnya, maka
sesuatu yang keluar dari lubang pengganti tersebut yang
mana saja akan membatalkan wudhu.
b. Jika tidak berfungsinya lubang kemaluan tersebut bukan
karena dari lahir tetapi karena terkena penyakit atau
kecelakaan sehingga harus membuat lubang
pembuangan, maka diperinci menjadi:
1) Jika lubang penggantinya dibuat dibawah pusar, maka
apapun yang keluar dari lubang pengganti ini (baik
kotoran, kencing, darah, dll) membatalkan wudhu.
2) Jika lubang penggantinya dibuat tepat diatas pusar,
maka apapun yang dikeluarkan dari lubang tersebut
tidak membatalkan wudhu.
3) Jika kemaluan yang asli berfungsi, tetapi ada lubang lain
yang juga berfungsi mengeluarkan kotoran, maka tetap
hukumnya yang keluar dari lubang asli membatalkan
34
wudhu, sedangkan yang keluar dari lubang buatan tidak
membatalkan wudhu.⁶

2. Jika terjadi keraguan antara tidur atau hanya mengantuk?


maka dapat dilihat dari:
a. Jika tidak dapat mendengar suara orang yang sedang
berbicara, maka dinamakan “tidur”, dan hal ini
membatalkan wudhu.
b. Jika masih dapat mendengar suara orang yang berbicara,
walaupun tidak jelas pokok pembicaraannya, maka itu
dinamakan “mengantuk”, dan ini tidak membatalkan
wudhu.⁷
3. Untuk perkara mahrom, banyak di Indonesia terutama orang
Jawa yang mengatakan bahwa anak dari paman itu adalah
kakak/adik keponakan. Disini ada kesalahan istilah bahasa,
yang dinamakan keponakan adalah anak dari saudara kita laki-
laki atau perempuan yang sekandung. Sedang anak dari
bibi/paman (saudara ayah/ibu) adalah bukan keponakan
melainkan saudara sepupu. Saudara sepupu membatalkan
wudhu jika bersentuhan kulit dengan syarat yang sudah
disebutkan dan dijelaskan diatas.
4. Untuk orang yang sudah melakukan mandi dari hadats besar
maka tidak wajib berwudhu lagi ketika akan melaksanakan
shalat, apabila ia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan
wudhu ketika mandi. Ini menurut kesepakatan seluruh ulama.⁸



35
Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 70.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 189.
3. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 72.
4. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 74.
5. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 75.
6. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal: 71.
7. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 194.
8. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 190.

36
BAB 9

LARANGAN BAGI ORANG YANG BATAL WUDHU

‫ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﻄﻮﺍﻑ‬: ‫ﻣﻦ ﺍﻧﺘﻘﺾ ﻭﺿﻮﺀﻩ ﺣﺮﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺷﻴﺎﺀ‬


۰‫ﻭﻣﺲ ﺍﳌﺼﺤﻒ ﻭﺣﻤﻠﹹﻪ‬

Seorang yang batal wudhunya maka tidak diperbolehkan


(haram) baginya untuk melakukan 4 perkara:
1. Shalat.
2. Thowaf.
3. Menyentuh al Qur’an.
4. Membawa al Qur’an.

Penjelasan:
1. Shalat
Haram dan tidak sah bagi seseorang yang tidak memiliki
wudhu melaksanakan shalat, baik shalat fardhu ataupun
shalat sunnah. Hal ini berlaku apabila disengaja, mengetahui
hukumnya dan tanpa paksaan. Lain halnya apabila ia lupa,
tidak mengetahui hukumnya (jahil) atau karena terpaksa maka
hukumnya adalah tetap tidak sah tetapi tidak haram.

37
Tetapi ada beberapa keadaan yang menyebabkan orang boleh
melakukan shalat walaupun dalam keadaan berhadats yaitu:
a. Bagi orang yang selalu berhadats (beser, selalu buang
angin, istihadhoh).
b. Bagi orang yang tidak memiliki air atau debu untuk bersuci,
maka ia tetap wajib shalat untuk menghormati waktu, dan
wajib di qodho setelah menemukan salah satu dari kedua
alat untuk bersuci tersebut (air/debu).
c. Bagi seseorang yang dipaksa untuk shalat dalam keadaan
berhadats.¹
Selain shalat diharamkan pula sujud syukur dan sujud tilawah.²

2. Thowaf
Haram dan tidak sah bagi seseorang yang tidak memiliki
wudhu untuk melaksanakan thowaf fardhu atau sunnah,
karena syarat dalam thowaf sama seperti syarat dalam shalat,
yaitu harus dalam keadaan suci dari dua hadats.
- Thowaf Fardhu adalah thowaf yang terdapat dalam ibadah
Haji atau ibadah Umroh.
- Thowaf Sunnah adalah thowaf yang dilakukan diluar ibadah
haji atau ibadah umroh.³

3. Menyentuh Al Qur’an
Menyentuh al Qur’an dalam keadaan berhadats meskipun
menggunakan penghalang, seperti: baju, kertas atau yang
lainnya adalah haram, walaupun hanya bagian yang tidak ada
tulisannya selama itu bagian dari al Qur’an. Dan juga
diharamkan pula menyentuh peti atau tas yang dikhususkan
untuk al Qur’an sementara al Qur’an-nya ada didalam tas/peti
38
tersebut, kecuali dalam keadaan darurat, maka hukumnya
adalah boleh dengan 3 syarat:
a. Dalam keadaan darurat, seperti: takut jatuh ditempat najis
atau takut hilang.
b. Tidak mungkin untuk berwudhu sebelumnya.
c. Tidak mungkin dititipkan kepada muslim yang lain.

4. Membawa al Qur’an
Membawa al Qur’an tanpa wudhu hukumnya haram, lain
halnya membawa kitab hadits Qudsi, hadits Nabawi maka
hukumnya adalah boleh membawanya tanpa dalam keadaan
wudhu.
 Dibolehkan membawa al Qur’an atau sebagian dari ayat-ayat
al Qur’an tanpa wudhu dalam beberapa keadaan:
a. Jika membawa kitab tafsir, dan jumlah huruf tafsirnya lebih
banyak dari jumlah huruf al Qur’annya.
b. Jika membawa tas yang didalamnya terdapat barang-
barang selain al Qur’an, dan tatkala mengangkat tas
tersebut diniatkan bukan membawa al Qur’an melainkan
membawa barang yang ada di tas tersebut. Contoh
membawa tas yang didalamnya ada al Qur’an, buku-buku,
pulpen, dll, kita niatkan membawa pulpen, atau membawa
buku, maka diperbolehkan.
c. Jika ayat al Qur’an ditulis untuk perhiasan.
d. Jika tertulis di mata uang, seperti dinar atau dirham.⁴

39
Permasalahan:
Permasalahan yang berhubungan dengan al Qur’an:

 Tidak diperbolehkan membuka lembaran al Qur’an dengan


menggunakan jari yang telah dibasahi dengan air ludah.⁵
 Dilarang membawa al Qur’an kedalam tempat najis, seperti
WC, kecuali jika takut hilang atau tidak ada penitipan, itupun
harus ditutup (dibungkus).
 Dilarang meletakkan al Qur’an, kitab hadits, atau kitab yang
berisi ayat-ayat al Qur’an atau hadits ditempat pijakan kaki
seperti lantai, tangga, dan sebagainya karena perbuatan
tersebut bukan dari pengagungan terhadap al Qur’an, akan
tetapi sebaliknya bentuk merendahkan al Qur’an, walaupun
bukan dengan maksud merendahkan atau meremehkan. Kalau
disertai dengan maksud tersebut maka bukan haram lagi
melainkan murtad.
 Haram menulis ayat-ayat al Qur’an dengan huruf latin, karena
hal itu termasuk dalam sifat orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang telah merubah firman-firman Allah dengan kalimat yang
lain.
Dan al Qur’an merupakan mu’jizat yang paling besar, baik dari
segi ilmu dan juga susunan bahasa arabnya dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan orang yang ingin belajar al Qur’an?
Jawabannya adalah mereka harus dan wajib belajar huruf-
hurufnya, karena jika dia membaca dengan menggunakan
huruf latin, maka banyak menyimpang dari makhroj (bunyi asli
huruf) aslinya.⁶


40
Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 203.
2. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Syarat Wudhu, Hal 87.
3. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 203.
4. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Wudhu, Hal 204.
5. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Syarat Wudhu, Hal 87. Sayyid Muhammad Amin
juga menuliskan demikian dalam Kitabnya Fiqhul Ibadah.
6. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Syarat Wudhu,

41
BAB 10

AIR

‫ ﺍﻟﻘﻠﻴﻞ ﻣﺎ ﺩ ﻭﻥ ﺍﻟﻘﻠﺘﱺ ﻭﺍﻟﻜﺜﱹ ﻗﻠﺘﹷﺎﻥ‬٬‫ﺍﳌﹷﺎﺀ ﻗﻠﻴﻞ ﻭﻛﺜﱹ‬


‫ﻓﺄﻛﺜﺮ ﺍﻟﻘﻠﹻﻴﻞ ﻳﺘﻨﺠﺲ ﺑﻮﻗﻮﻉ ﺍﻟﻨﺠﹷﺎﺳﺔ ﻓﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺘﻐﱹ‬
۰‫ﻭﺍﻟﻤﹷﺎﺀ ﺍﻟﻜﺜﱹ ﻻﻳﺘﻨﺠﺲ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺗﻐﱹ ﻁﻌﻤﻪ ﺃﻭﻟﻮﻧﻪ ﺃﻭﺭﳛﻪ‬

Air terbagi dalam 2 macam:


1. Air sedikit.
2. Air banyak.
Air sedikit yaitu air yang belum mencapai 2 qullah. Air banyak
yaitu air yang sudah mencapai 2 qullah.
Air sedikit itu bisa najis disebabkan kejatuhan najis, sekalipun
tidak berubah (rasa, warna dan baunya).
Air banyak itu tidak bisa najis kecuali apabila rasa, warna dan
baunya itu berubah (walaupun berubahnya sedikit).

Penjelasan:

 Ukuran 2 qullah adalah 216 liter.


 Apabila tempatnya persegi (kotak) maka ukuran panjang, lebar
dan dalamnya adalah masing-masing 60 cm.¹
42
 Apabila tempatnya adalah silinder/lingkaran seperti drum,
maka ukurannya adalah lebar 1 hasta (48 cm) dan dalamnya 2
hasta (96 cm).
 Air sedikit (kurang dari 2 qullah) jika kejatuhan najis, maka air
tersebut dihukumi mutanajjis, walaupun tidak berubah 3
sifatnya yaitu rasa, warna dan baunya.
 Air yang sedikit tidak dihukumi najis apabila terjadi perkara
dibawah ini:
1) Ragu akan kejatuhan najis. Apabila yakin kejatuhan najis
maka airnya menjadi mutanajjis. Jika ragu maka airnya
tetap dihukumi suci.
2) Kejatuhan najis yang dima’fu (dimaafkan), contoh:
bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, seperti
cicak, lalat, kecoa, semut, maka air tersebut tetap
dihukumi suci.
3) Bangkai hewan tersebut terjatuh, bukan dijatuhkan
dengan sengaja kedalam air tersebut.
4) Hewan tersebut dalam keadaan mati ketika di air, jika
masih hidup maka mutlaq air tersebut masih suci.
5) Bangkai tersebut tidak merubah salah satu sifat air.²

PEMBAGIAN AIR

 Dari asal-usulnya air terbagi menjadi dua bagian:


1. Air yang turun dari langit: Air Hujan, Salju dan Embun.
2. Air yang keluar dari bumi: Air sumur, Air laut, Air Sungai
dan Mata air.

43
 Dari segi hukum air dibagi menjadi 3:

1. Air yang suci dan mensucikan (thohur), ada 2 macam:


a. Air mutlaq adalah air yang suci dan bisa mensucikan
dan tidak makruh digunakan.
b. Air yang suci dan mensucikan akan tetapi makruh
untuk digunakan, seperti:
- Air yang terlalu dingin.
- Air yang terlalu panas.
- Air yang keluar dari tempat-tempat yang pernah
diturunkan azab oleh Allah swt, contoh: sumur kaum
Hijr pada perkampungan Nabi Saleh as (kecuali
sumur Naqoh), air diperumahan kaum Luth, dan lain-
lain.
- Air Musyammas, yaitu air yang terkena panas
matahari, karena dapat menimbulkan penyakit
belang (apabila digunakan setelah dingin maka tidak
makruh lagi).

2. Air yang suci tapi tidak dapat mensucikan.


Air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan ada 2 macam:
1) Air musta’mal, adalah air yang pernah digunakan untuk
segala perkara yang wajib (seperti wudhu dari hadats).
Air menjadi musta’mal dengan syarat:
a. Air kurang dari 2 qullah (air sedikit). Jika air tersebut
2 qullah atau lebih, maka tidak akan menjadi
musta’mal walaupun digunakan berulang-ulang
untuk bersuci.

44
b. Air tersebut digunakan untuk thoharoh yang wajib,
apabila digunakan untuk thoharoh yang sunnah
(seperti untuk memperbaharui wudhu, mandi
sunnah), maka air bekasnya bisa digunakan untuk
bersuci, karena tidak dihukumi musta’mal.
c. Air tersebut sudah berpisah dari anggota badan.
d. Ketika akan menggunakan air (yang sedikit) tidak
berniat ightirof. Ightirof adalah berniat untuk
menjadikan tangan sebagai alat untuk mengambil
air. Apabila ketika mengambil air berniat ightirof,
maka sisa airnya tidak dihukumi musta’mal. Apabila
tidak berniat ightirof maka menurut madzhab Imam
Syafi’i sisa airnya termasuk musta’mal.
Waktu niat ightirof adalah setelah membasuh wajah
dan sebelum memasukkan kedua tangan ke dalam
timba air (kurang dari 2 qullah). ³

2) Air Suci yang berubah sifatnya.


Air suci tetapi tidak mensucikan yang kedua adalah air
suci yang berubah salah satu sifatnya atau semuanya
(rasa, warna dan baunya). Misalnya air itu berubah
karena tercampur dengan benda suci seperti: teh, kopi,
susu, sirup dan lain-lain, dan berubah namanya menjadi
air kopi atau air teh. Jika tidak merubah nama dari pada
air tersebut, contoh air dalam bak mandi tercampur
dengan secangkir teh, dan air tersebut tidak berubah
namanya tetap disebut air bak, maka hukum air
tersebut adalah suci dan dapat digunakan untuk
bersuci.⁴
45
3. Air Mutanajjis.
Adapun air mutanajjis adalah air yang suci akan tetapi
kejatuhan najis. Diperinci menjadi dua:
1) Jika air tersebut kurang dari 2 qullah lalu kejatuhan
benda najis, maka hukum air tersebut menjadi najis
baik tidak berubah sifatnya (bau, warna dan rasanya).
2) Jika air tersebut 2 qullah atau lebih lalu kejatuhan najis,
maka air tersebut tidak dihukumi najis, kecuali berubah
salah satu sifatnya (bau, warna ataupun rasanya).

 Cara Mensucikan air yang Najis:

a) Hilangnya sifat-sifat najis yang terdapat pada air tersebut


dengan sendirinya, karena air tersebut tidak digunakan
dalam jangka waktu yang lama, maka air itu dihukumi suci
dan dapat digunakan untuk bersuci, dengan syarat airnya
mencapai 2 qullah atau lebih.
Contoh: Zaid memiliki air dalam bak mandi yang terkena
najis air kencing atau darah, dan ada aroma pada air
tersebut. Setelah didiamkan selama sebulan, kemudian
hilang warna, rasa dan bau dari air bak mandi tersebut,
maka air tersebut telah menjadi suci kembali.
b) Diadakan penambahan air yang suci atau musta’mal atau
mutanajjis pada air tersebut, sehingga air tersebut
berukuran 2 qullah atau lebih dan hilang sifat-sifat najisnya,
maka air tersebut dihukumi suci dan mensucikan, meskipun
setelah menjadi suci dipisah-pisah untuk diambil sedikit,
46
maka hukum air yang telah dipisah-pisah tersebut tetap suci
dan mensucikan.⁵
c) Dengan mengurangi air pada air yang najis dengan cara
mengeluarkan zat yang najis, cara ini dapat mensucikan air
yang najis dengan syarat air yang tersisa adalah mencapai
ukuran 2 qullah atau lebih.
Contoh: Pada bak mandi terdapat kotoran cicak, dan ukuran
air mencapai 2 qullah. Apabila kita mandi dengan air
tersebut, pada pengambilan air pertama air masih suci, dan
sisa air tersebut dalam bak mandi menjadi kurang dari 2
qullah, maka air sisa yang ada di bak mandi menjadi air najis.
Agar air tersebut menjadi suci, sebelum kita mandi kita
ambil kotoran cicak yang ada dalam bak mandi lalu kita
buang (dengan syarat ketika diambil najisnya air masih
dalam ukuran 2 qullah atau lebih).



Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Wudhu, Hal 9.
2. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Air, Hal 71.

47
3. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Air, Hal 99.
4. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Thoharoh, Hal 5.
5. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Air, Hal 102.

48
BAB 11

PERKARA YANG MEWAJIBKAN MANDI

‫ ﺇﻳﹿﻼﺡ ﺍﳊﺸﻔﺔ ﻓﻰﺍﻟﻔﺮﺝ ﻭﺧﺮﻭﺝ‬: ‫ﻣﻮﺟﺒﹷﺎﺕ ﺍﻟﻐﺴﻞﺳﺘﺔ‬


۰‫ﺍﳌﱸ ﻭﺍﳊﻴﺾ ﻭﺍﻟﻨﻔﹷﺎﺱ ﻭﺍﻟﻮﻻﺩﺓ ﻭﺍﻟﻤﻮﺕ‬

Perkara yang mewajibkan mandi ada 6:


1. Memasukkan hasyafah (ujung kemaluan laki-laki) ke dalam
farji (kemaluan perempuan).
2. Keluarnya Mani (sperma).
3. Haid (menstruasi)
4. Nifas.
5. Melahirkan.
6. Meninggal dunia.

Penjelasan:
1. Memasukkan hasyafah ke dalam farji.
Masuknya ujung kemaluan laki-laki (bukan semua batang
zakar) ke dalam farji (kemaluan perempuan walaupun hanya
sekali masuk dan tidak sampai mengeluarkan mani maka wajib
bagi keduanya mandi janabah (junub).
Begitu pula masuk kedalam dubur laki-laki atau perempuan,
atau dubur hewan (na’udzubillaah), baik dilakukan sengaja
49
atau tidak sengaja, sebentar atau lama juga mewajibkan
mandi atas keduanya.

2. Keluar Mani (sperma).


Keluarnya mani baik dari seorang laki-laki maupun
perempuan, baik dengan sengaja seperti hubungan badan,
masturbasi, onani, dan lain-lain, atau secara tidak sengaja
seperti mimpi basah dan lain-lain maka wajib bagi mereka
mandi untuk mengangkat hadats besarnya tersebut.

 Pengertian Mani, Madzi dan Wadi.

- Mani (sperma) adalah cairan yang kental, berwarna putih,


keluar dengan syahwat dan terasa nikmat saat keluar, keluar
secara bertahap (terpancar), menyebabkan badan menjadi
lemas setelah keluarnya. Hukumnya adalah suci, dan
mewajibkan mandi bagi yang mengeluarkannya.
Tanda-tanda mani adalah:
a. Terasa nikmat ketika keluar.
b. Keluarnya dengan terpancar (nyemprot).
c. Jika masih basah baunya seperti adonan kue, jika kering
baunya seperti putih telur.

- Madzi adalah cairan berwarna putih bening, lengket dan


keluar karena terangsang oleh syahwat, akan tetapi tidak
sampai ke puncak (orgasme/keluar mani). Hukumnya najis,
membatalkan wudhu dan tidak mewajibkan mandi.

50
- Wadi adalah cairan yang kental (terkadang encer), berwarna
putih seperti sperma, biasanya keluar setelah keluarnya air
kencing, atau setelah mengangkat benda berat, atau ketika
kelelahan atau bisa juga karena sakit. Kalau pada wanita
biasa disebut “keputihan”. Hukumnya najis, membatalkan
wudhu dan tidak mewajibkan mandi.

Permasalahan:

 Apabila ragu, apakah yang keluar air mani atau yang lainnya
(madzi atau wadi), maka hukukmnya dikembalikan kepada
orang tersebut terserah mau pilih yang mana. Jika ia yakin itu
mani (dengan ciri-cirinya) maka wajib baginya mandi. Jika ia
yakin itu bukan mani maka ia tidak wajib mandi, dan ia wajib
membasuh tempat yang terkena wadi/madzi tersebut lalu ia
hanya wajib wudhu ketika hendak shalat.¹
 Apabila sisa air sperma keluar dari kemaluan setelah ia mandi
janabah, maka hukumnya diperinci menjadi dua:
1. Jika ia yakin bahwa mani yang keluar adalah miliknya, maka
ia wajib mengulangi mandinya (mungkin karena ia tidak
kencing dahulu sebelum mandi sehingga sisa mani masih
ada pada saluran kemaluannya).
2. Jika ia yakin yang keluar itu adalah mani milik orang lain,
contoh: milik suaminya, maka ia tidak wajib mengulangi
mandinya.²

3. Suci dari Haid.


Apabila ia yakin bahwa darah haidnya telah berhenti, maka
wajib atasnya mandi.
51
4. Suci dari Nifas.
Apabila ia yakin bahwa darah nifasnya telah berhenti, maka
wajib atasnya mandi.

 Cara mengetahui apakah sudah suci atau belum?

Adalah dengan cara memasukkan sesuatu yang berwarna


putih (tisu, kain, kapas, atau yang lainnya) kedalam vagina
(kemaluan perempuan) bagian bawah yaitu tempat masuknya
zakar. Jika dia dapati kain atau kapas itu dalam keadaan
bersih, maka ia sudah suci dari haid atau nifasnya, jika masih
ada warna keruh atau kuning pada kapas atau kainnya maka
dikatakan belum suci.³

5. Melahirkan.
Wajib bagi wanita setelah melahirkan, baik melahirkan anak
yang sempurna atau keguguran walaupun hanya segumpal
darah (alaqoh) atau segumpal daging (mudhghoh). Baik
dengan proses kelahiran normal atau dengan operasi cesar,
maka wajib atas wanita yang mengalaminya untuk mandi
setelahnya, itu pun jika setelah proses kelahiran tidak
bersambung dengan keluarnya darah nifas. Apabila
bersambung dengan nifas maka mandi (besar)nya dijadikan
satu dengan mandi suci dan nifas nanti.⁴

52
6. Meninggal Dunia.

Jika ada seorang muslim yang meninggal dunia bukan karena


syahid dunia akhirat, dan bukan juga anak yang dilahirkan
karena keguguran, maka wajib secara fardhu kifayah atas
kaum muslimin yang mengetahuinya untuk memandikannya
sebelum dikuburkan.
Apabila syahid dunia akhirat (perang fisabilillah) maka
mayatnya tidak boleh dimandikan, dan dikuburkan dengan
pakaian yang ia gunakan ketika mati berperang.

 Syahid terbagi menjadi tiga:

1. Syahid dunia akhirat, yaitu kematian karena perang dalam


membela agama Allah swt (perang fiisabilillah).
2. Syahid akhirat, yaitu kematian karena sakit atau
kecelakaan.
3. Syahid dunia, yaitu kematian karena perang tetapi niatnya
bukan karena Allah swt (contoh: agar digelari pahlawan,
agar dikenal pemberani, dan urusan dunia lainnya).⁵



53
Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Mandi, Hal 93.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Mandi, Hal 240.
3. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Mandi, Hal 95.
4. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Mandi, Hal 95.
5. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Wajib Mandi, Hal 74.

54
BAB 12

FARDHU-FARDHU MANDI

۰‫ ﺍﻟﻨﻴﹷﺔ ﻭﺗﻌﻤﻴﻢ ﺍﻟﺒﺪﻥ ﺑﺎﺍﳌﹷﺎﺀ‬: ‫ﻓﺮﻭﺽ ﺍﻟﻐﺴﻞ ﺇﺛﻨﹷﺎﻥ‬


Fardhunya mandi ada 2:
1. Niat.
2. Meratakan air ke seluruh badan.

Penjelasan:
1. Niat.

Niat dalam mandi wajib atau ibadah yang lain letaknya adalah
di dalam hati, dengan lintasan saja sudah mencukupi.
Melafadzkan niat hukumnya sunnah.
Dalam mandi ini ia bertujuan untuk mandi mengangkat
janabah, atau untuk mengangkat hadats akbar, atau niat yang
semacamnya seperti “saya niat mandi wajib” itu sudah sah.
Karena mandi wajib sudah termasuk semua yang mewajibkan
mandi seperti: keluar mani, junub, haid, nifas, melahirkan, dan
lain-lain.

55
 Contoh lafadz niat:¹

۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﻐﺴﻞ ﻟﺮﻓﻊ ﺍﻟﺤﺪﺙ ﺍﻷﻛﺒﺮ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬


Artinya: “Saya niat mandi untuk mengangkat hadats besar
karena Allah swt.”
۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﻐﺴﻞ ﻟﺮﻓﻊ ﺍﻟﺠﻨﺎﺑﺔ‬
Artinya: “Saya niat mandi untuk mengangkat janabahku.”

۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻐﺴﻞ‬

Artinya: “Saya niat mandi wajib”


Atau dengan bahasa apapun yang penting bertujuan untuk
mengangkat hadats akbar (janabah)nya.
Contoh: Saya niat mandi wajib.
Saya niat mandi janabah.
Saya niat mandi mengangkat hadats besar, dll.

 Waktunya niat
Adalah ketika awal membasuh sebagian dari pada anggota
badan bagian manapun. Contoh ketika membasuh kaki,
tangan, ketika istinja’ dia niat mengangkat hadats akbar maka
sah hukum niat mandinya.

2. Meratakan air ke seluruh badan.

Meratakan air ke seluruh tubuh hukumnya wajib, baik kulit


maupun bulu-bulu atau rambut yang tumbuh dibagian-bagian
semua badan yang tampak dipermukaan, baik tebal atau tipis
56
kecuali rambut yang tidak tampak dari permukaan seperti
rambut didalam hidung (maka tidak wajib menyampaikannya
karena tidak terlihat). Juga wajib menyampaikan pada lipatan-
lipatan kulit bagi yang gemuk, dan juga kulit yang pecah-pecah
(pada tumit) dan bagian bawah kuku.

Permasalahan:

 Apabila seseorang mandi tetapi ia lupa niat, maka hukum


mandinya tidak sah, dan ia wajib mengulang mandinya.
 Apabila seseorang melakukan dua hal atau lebih yang
mewajibkan mandi (seperti: keluar mani dan bersetubuh),
maka cukup dengan satu kali mandi saja berniat untuk
mengangkat hadats besar sudah mencukupi, tidak perlu
mandi dua kali.
 Apabila seseorang akan mandi wajib dan sunnah, contoh:
mandi janabah dan mandi Jum’at, jika ingin memperoleh
dua pahala maka ia harus berniat untuk keduanya (janabah
dan Jum’at), apabila ia berniat hanya satu, maka ia hanya
mendapatkan pahala mandi yang diniatkannya saja.
 Apabila setelah mandi janabah maka hadats kecil dapat
terangkat, oleh karena itu tidak diwajibkan berwudhu
setelah mandi janabah walaupun ia tidak niat untuk
mengangkat hadats kecil, dengan syarat ketika ditengah-
tengah mandi janabah ia tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan wudhu seperti: buang angin, memegang
kemaluan, atau perbuatan yang membatalkan wudhu yang
lainnya. Sedangkan jika mandi sunnah (mandi Jum’at) maka

57
hadats kecil tidak terangkat, jadi harus tetap berwudhu
setelan mandi sunnah.²
 Apabila seseorang yang belum dikhitan (sunat) akan
melakukan mandi wajib, ia harus menyampaikan air ke
tempat yang wajib dikhitan dengan cara membukanya.
 Jika selesai mandi ternyata ada bagian yang tidak terkena
air, baik karena ada sesuatu yang mencegah sampainya air
ke tempat tersebut seperti: lilin, cat, tip-ex, dan lain-lain,
atau karena lupa, maka caranya adalah dengan
menghilangkan penghalang (cat, tip-ex, dll) sampainya air
tersebut lalu dibasahi tempat tersebut dengan air,³ dengan
niat menyempurnakan mandi dan tidak wajib mengulang
mandinya walaupun dalam jangka waktu yang lama,
misalnya 1 atau 2 hari. (karena dalam pekerjaan mandi tidak
wajib adanya tertib, jadi yang sudah terkena air sudah
terangkat hadatsnya, tinggal yang belum).
Lalu bagaimana shalatnya? karena shalatnya tidak sah maka
wajib mengqadha shalatnya.
 Tidak diwajibkan dalam mandi untuk memasukkan air ke
dalam kelopak mata, ke dalam bagian telinga (lubang)
ataupun ke dalam lubang hidung.



58
Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Mandi, Hal 96.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Mandi, Hal 247.
3. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Mandi, Hal 98.

59
BAB 13

SUNNAH-SUNNAH MANDI

Perkara-perkara yang disunnahkan saat mandi sangat banyak,


diantaranya adalah:
1. Membaca Basmalah.
2. Memakai siwak (sikat gigi sebelumnya).
3. Mandi dalam keadaan berdiri.
4. Menghadap kiblat ketika mandi.
5. Mencuci kedua tangannya sebelum mandi.
6. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
7. Kencing dahulu sebelum mandi jika mandinya karena keluar
mani, supaya benar-benar sisa mani keluar semua, apabila
pada kencing setelah mandi dan keluar sisa sperma pada
saluran kencing maka ia wajib mengulangi mandinya.
8. Menghilangkan najis-najis pada badan jika ada sebelum
mandi.
9. Melaksanakan wudhu seperti wudhu hendak shalat tetapi
dengan niat melakukan wudhu sunnah mandi.
Conto lafadznya:
۰ِ‫ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻐﺴﻞ‬
Artinya: “Saya niat wudhu untuk melaksanakan sunnahnya
mandi.”
10. Memperhatikan lipatan-lipatan pada badan yang
dikhawatirkan tidak terkena air ketika mandi.
60
11. Menyela-nyela rambut.
12. Menggosok badan seperti orang yang sedang mengurut,
bersamaan ketika menyiramkan air ke seluruh badan
supaya air benar-benar menyeluruh ke semua badan.
13. Mendahulukan anggota badan yang sebelah kanan.
14. Menyiram 3 kali.
15. Muwalah (terus-menerus).
16. Menutup aurat ketika mandi (yaitu qubul dan
dubur/memakai celana dalam, karena qubul dan dubur
adalah aurat seseorang dalam keadaan sepi). Apabila
dalam keadaan tanpa penutup aurat (tanpa busana) maka
disunnahkan membaca doa ini untuk menutupi auratnya
dari pandangan jin:

۰‫ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﻫﻮ‬


Artinya: “Dengan nama Allah yang tiada tuhan selain Dia.”
17. Air yang digunakan tidak kurang dari 1 sho (4 kali
genggaman tangan).
18. Mandi di tempat yang aman dari percikan air.¹

 Tambahan:
Apabila kita hendak makan atau tidur dan masih dalam
keadaan janabah maka disunnahkan berwudhu untuk
melakukan segala aktivitas. Maka niat wudhunya adalah
seperti:

.‫ﻧﻮﻳﺖ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺍﻷﻛﻞ ﺃﻭﺍﻟﻨﻮﻡ‬

61
Artinya: “Saya berniat melaksanakan wudhu sunnah untuk
makan, atau tidur atau yang lainnya.” ²



Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Mandi, Hal 99.
2. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Mandi, Hal 102.

62
BAB 14

MACAM-MACAM MANDI SUNNAH

Macam-macam mandi sunnah adalah:


1. Mandi pada hari Jum’at.
Waktunya adalah mulai dari terbitnya fajar shodiq (subuh) dan
keluar waktunya jika sudah tidak memungkinkan untuk
melaksanakan shalat Jum’at. Sunnahnya ketika hendak
berangkat untuk shalat Jum’at.
Contoh lafadz niatnya adalah:

۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﻐﺴﻞ ﻟﺼﹷﻼﺓ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬


Artinya: “Saya niat mandi untuk shalat jum’at karena Allah
swt.”

2. Mandi pada hari raya ‘Ied.


Sunnah bagi yang akan shalat ataupun yang tidak, laki-laki atau
perempuan (bahkan yang haid atau nifas), yang sudah dewasa
ataupun masih kanak-kanak untuk mandi pada hari ini, karena
mandi pada hari ‘Ied ini disunnahkan untuk menghormati hari
tersebut bukan untuk sholatnya.
Waktunya adalah mulai masuknya pertengahan malam hari
raya sampai terbenamnya matahari (maghrib) pada hari raya
tersebut.

63
Contoh lafadz niatnya adalah:

۰‫ ﻋﻴﺪ ﺍﻷﺿﺤﻰ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬/ ‫ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﻐﺴﻞ ﻟﻴﻮﻡ ﻋﻴﺪِ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬


Artinya: “Saya niat mandi untuk hari raya ‘Idul Fitri / ‘Idul Adha
karena Allah swt.”

3. Mandi setelah memandikan Mayit.


4. Mandi untuk shalat istisqo’ (minta hujan).
5. Mandi untuk shalat gerhana.
6. Mandi setelah masuk agama Islam.
Jika ia tidak pernah terkena hadats besar pada masa
kekafirannya maka mandi hukumnya sunnah, apabila ia pernah
mengalami hadats besar pada masa kekafirannya maka hukum
mandinya adalah wajib.
7. Mandi setiap malam pada bulan Ramadhan. Waktunya adalah
dimulai dari terbenamnya matahari.
8. Mandi setiap akan menghadiri majlis ta’lim atau majlis dzikir.
9. Mandi ketika akan berihrom untuk haji atau umroh.
10. Mandi bagi seseorang yang baru sembuh dari penyakit gila
atau pingsan.
11. Mandi ketika akan masuk kota Makkah dan Madinah.
12. Mandi setelah bekam.
13. Mandi ketika akan masuk masjid.



64
BAB 15

LARANGAN BAGI ORANG YANG JUNUB

‫ ﺍﻟﺼﹷﻼﺓ ﻭﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﻭﻣﺲ‬: ‫ﻭﳛﺮﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﳉﻨﺐ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻴﹷﺎﺀ‬


۰‫ﺍﳌﺼﺤﻒ ﻭﺣﻤﻠﻪ ﻭﺍﻟﻠﺒﺚ ﻓﻰﺍﳌﺴﺠﺪ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ‬

Orang yang junub itu haram melakukan 6 perkara:


1. Shalat.
2. Thawaf.
3. Menyentuh al Qur’an
4. Membawa al Qur’an.
5. Berdiam di masjid.
6. Membaca al Qur’an.

Penjelasan:
1. Diharamkan orang yang dalam keadaan junub untuk
melaksanakan shalat, baik shalat fardhu ataupun shalat
sunnah. Begitu juga diharamkan untuk sujud tilawah dan
sujud syukur.
2. Begitu pula thowaf, diharamkan untuk orang yang dalam
keadaan junub, baik thowaf fardhu atau thowaf sunnah.
3. Diharamkan orang yang junub untuk menyentuh dan
membawa al Qur’an.

65
4. Diharamkan terhadap pria atau wanita yang sedang junub
untuk menetap diruangan masjid, walaupun sejenak.
Walaupun di teras masjid dengan catatan kalau teras
tersebut masih termasuk daripada bangunan masjid. Namun
jika tidak termasuk, seperti WC (toilet), menara atau tempat
parkirnya maka bagian-bagian tersebut bukan termasuk dari
masjid.
5. Hukum membaca al Qur’an dalam keadaan junub adalah
haram apabila diniatkan ibadah membaca al Qur’an. Apabila
berniat untuk membaca surat al Ikhlas, al Falaq atau an-Nas
atau ayat Kursi yang bertujuan untuk wiridan (dzikir)
sebelum tidur atau ketika akan bepergian maka
diperbolehkan, karena bukan berniat membaca al Qur’an.
Demikian pula hukumnya dalam membaca wirid sehari-hari,
namun kebolehan itu disertai kemakruhan bagi yang junub,
adapun bagi wanita yang haid tidak dimakruhkan. Seperti
juga dimakruhkannya bagi yang sedang junub makan,
minum atau mengakhirkan mandi wajibnya, dan cara untuk
menghilangkan kemakruhannya adalah dengan berwudhu
seperti wudhu hendak shalat dengan niat seperti yang sudah
diterangkan pada bab sebelumnya.¹



Keterangan Sumber Kitab:

1. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al


Athos. Bab: Larangan Orang Yang Batal Wudhu, Hal 90.

66
BAB 16

LARANGAN BAGI WANITA YANG HAID

‫ ﺍﻟﺼﹷﻼﺓ ﻭﺍﻟﻄﹷﻮﺍﻑ ﻭﻣﺲ‬: ‫ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺑﺎﳊﻴﺾ ﻋﺸﺮﺓ ﺃﺷﻴﹷﺎﺀ‬


‫ﺍﳌﺼﺤﻒ ﻭﺣﻤﻠﻪ ﻭﺍﻟﻠﺒﺚ ﻓﻰ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﻭﺍﻟﺼﹷﻮﻡ‬
‫ﻭﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﺍﳌﺮﻭﺭ ﻓﻰﺍﳌﺴﺠﺪ ﺇﻥ ﺧﺎﻓﺖ ﺗﻠﻮﻳﺜﹷﻪ ﻭﺍﻹﺳﺘﻤﺘﺎﻉ ﲟﺎ‬
۰‫ﺑﱺ ﺍﻟﺴﺮﺓ ﻭﺍﻟﺮﻛﺒﺔ‬

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid 10 perkara:


1. Shalat.
2. Thawaf.
3. Menyentuh al Qur’an
4. Membawa al Qur’an.
5. Berdiam di masjid.
6. Membaca al Qur’an.
7. Puasa.
8. Thalaq (cerai).
9. Lewat di dalam masjid apabila ia khawatir akan mengotori
masjid (dengan darahnya).
10. Menikmati bagian tubuh antara pusar dan lutut.

67
Penjelasan:
Nomor 1 sampai 6 penjelasannya sama dengan yang sudah
dijelaskan diatas (bab larangan bagi orang yang junub).
7. Diharamkan atas wanita yang sedang haid untuk berpuasa,
baik puasa wajib atau sunnah. Apabila ketika berpuasa dan
hampir buka keluar darah haid maka ia wajib membatalkan
puasanya, apabila tidak ia batalkan tanpa udzur yang jelas
(seperti ketika diperjalanan dan tidak ada yang dapat
digunakan untuk membatalkan puasanya) maka hukumnya
haram dan berdosa.
8. Diharamkan bagi suami untuk men-thalaq istrinya yang sedang
haid, hukum thalaqnya sah tetapi hukumnya haram, kecuali
atas permintaan sang istri, karena idah wanita yang sedang
haid akan lebih lama dari idah wanita yang suci. Namun itu
apabila permintaan dan pillihan dari sang istri maka
diperbolehkan.¹
9. Bagi wanita yang sedang haid diharamkan untuk berlalu atau
berjalan melalui masjid dengan catatan jika ia khawatir akan
menetes darah haidnya, jika ia tidak khawatir karena telah
menggunakan pembalut misalnya, maka tidak diharamkan.
Namun jika ada jalan lain maka hukumnya makruh, dan kalau
tidak ada jalan lain kecuali harus melaluinya maka hukumnya
boleh tanpa ada kemakruhan. ²
10. Diharamkan bagi suami menyentuh bagian tubuh antara
pusar dan lutut istrinya yang sedang haid. Adapun bagi sang
istri diperbolehkan baginya untuk menyentuh anggota
suaminya pada bagian manapun (ketika haid).³

68
Permasalahan:

 Apabila wanita yang sedang haid ingin mengulang-ulang bacan


al Qur’an untuk menjaga hafalannya agar tidak lupa, maka
sebagian ulama memperbolehkannya (tanpa menyentuh),
namun kebanyakan dari mereka tetap mengharamkan hal
tersebut. Adapun pria yang junub, tidak diperbolehkan sama
sekali, karena waktu junub adalah sebentar dan haid lama bisa
berhari-hari (bahkan sampai 15 hari).
 Tentang membawa al Qur’an bagi yang haid sama halnya
seperti orang yang sedang junub atau batal wudhu. Yaitu
apabila membawanya dengan tas dan sebagainya, dan di
dalam tas tersebut ada barang lain selain al Qur’an (buku, atau
hanya sebuah pulpen), maka diperbolehkan membawa al
Qur’an tersebut dengan niat membawa barang (pulpen).
Namun juka di dalamnya hanya ada al Qur’an, maka
diharamkan.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al


Athos. Bab: Larangan Orang Yang Batal Wudhu, Hal 91.
2. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Larangan Orang Yang Batal Wudhu, Hal 90.
3. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Larangan Orang Yang Batal Wudhu, Hal 91.

69
BAB 17

SEBAB-SEBAB TAYAMMUM

‫ ﻓﻘﺪ ﺍﳌﹷﺎﺀ ﻭﺍﳌﺮﺽ ﻭﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺝ ﺇﻟﻴﻪ‬: ‫ﺃﺳﺒﹷﺎﺏ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺛﹷﻼﺛﺔ‬


۰ ‫ﻟﻌﻄﺶ ﺣﻴﻮﺍﻥ ﳏﱶﻡ‬
‫ﻏﱹ ﺍﳌﺤﱶﻡ ﺳﺘﺔ ﺗﺎﺭﻙ ﺍﻟﺼﹷﻼﺓ ﻭﺍﻟﺰﺍﱏ ﺍﳌﺤﺼﻦ ﻭﺍﳌﺮﺗﺪ ﻭﺍﻟﻜﺎﻓﺮ‬
۰‫ﺍﳊﺮﺑﻲ ﻭﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﻌﻘﻮﺭ ﻭﺍﳊﻨﺰﻳﺮ‬

Perkara yang menyebabkan tayammum ada 3:


1. Tidak adanya air.
2. Sakit.
3. Kebutuhannya kepada air untuk memberi minum hewan
kehausan yang dihormati oleh agama.
Sesuatu yang tidak dimuliakan (ghoiru muhtarom) menurut
syari’at ada enam:
1. Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.
2. Zani Muhshon, yaitu orang yang melakukan zina padahal ia
sudah mempunyai istri/suami yang sah.
3. Orang yang murtad.
4. Kafir harbi, yaitu orang kafir yang memerangi Islam.
5. Anjing gila (buas).
6. Babi.
70
Penjelasan:
Apabila seseorang memiliki air cukup hanya untuk berwudhu, dan
mereka (ghoiru muhtarom) itu sedang kehausan maka kita tidak
boleh memberikan airnya kepada mereka, wajib kita pakai untuk
berwudhu dan tidak boleh beralih ke tayammum. Namun apabila
kita punya air lebih maka tidak wajib hukumnya kita memberi
mereka, tapi boleh memberi.
1. Tidak ada air
Karena tidak adanya air yang memenuhi syarat kesuciannya,
maka ia boleh bertayammum, dengan syarat:
a. Tidak memiliki air.
b. Memiliki air tetapi terdapat udzur, seperti:
- Air yang dimiliki dibutuhkan untuk minumnya hewan yang
muhtarom (haram dibunuh) yang sedang kehausan.
- Menemukan air yang dijual diatas harga normal di daerah
tersebut.
- Menemukan air namun ada penghalang untuk
mendapatkannya, contohnya ada binatang buas.
- Menemukan air, namun khawatir sakit jika
menggunakannya.

 Tahapan kewajiban mencari air. ¹

Tahapan kewajiban mencari air ada 4 bagian:


1) Jika ia seorang musafir, maka dicari dahulu ditempatnya
sendiri. Seperti disekitar kendaraannya (mobilnya), jika

71
bukan musafir maka carilah dahulu dirumahnya, lalu ke
rumah tetangganya.
2) Mencari air hingga ke batas Haddul Ghauts, yaitu yakin atau
menduga adanya air. Jarak Haddul Ghauts adalah 300 dziro’
(150 meter). Jadi apabila ia yakin (mengira) adanya air pada
jarak ini maka hukumnya adalah wajib mendatangi tempat
yang jaraknya 150 meter dari jarak dia berada agar
mendapatkan air. Adapun jika sebelumnya ia sudah
mengenal tempat tersebut atau sudah diperiksa sebelumnya
memang tidak ada air maka ia tidak wajib mencarinya dan
boleh langsung bertayammum. Dengan syarat:
- Terjamin keamanan nyawa, jika ia tidak merasa aman
nyawanya seperti ada musuh atau binatang buas, maka
tidak wajib mencari air ke tempat tersebut dan langsung
tayammum.
- Aman anggota badan, misalnya jika ia mencari air sampai
ke tempat tersebut berakibat sebagian anggota
tubuhnya dipotong-potong oleh musuh atau binatang
buas, maka tidak wajib mencari sampai ke batas ini
tetapi langsung saja bertayammum.
- Aman hartanya, jika ia pergi ke batas jarak tersebut
hartanya akan hilang atau dicuri maka tidak wajib
baginya mencari air ke batas tersebut dan langsung saja
bertayammum.
- Aman dari keluarnya waktu shalat (mencarinya tidak
sampai keluar dari waktu shalat).
3) Mencari air di Haddul Qurbi, yaitu yaqin keberadaan air pada
suatu tempat yang jaraknya tidak lebih dari 9.000 driro’ (4,5
Km), maka hukumnya adalah wajib mendatangi tempat
72
tersebut agar mendapatkan air. Apabila ia tidak yakin
dengan adanya air pada batas tersebut maka tidak wajib
mencarinya akan tetapi langsung saja bertayammum.
 Dengan syarat: terjamin keamanan nyawa, anggota badan,
harta, dan aman dari keluarnya waktu shalat, apabila
tayammumnya itu sudah menggugurkan qadlanya shalat
(tayammum ditempat yang biasa tidak ada air (padang
pasir), maka disyaratkan tidak keluar waktu shalat pada
waktu itu). Jika ia meneruskan perjalanan mencari air
sampai ke batas yang ia yakini adanya air itu akan keluar
waktu shalatnya maka ia harus shalat dengan tayammum.
Jika tempat itu biasa ada air, ketika waktu itu memang
tidak ada air maka tidak disyaratkan aman dari keluarnya
waktu shalat tersebut (karena setelah mendapatkan air
shalatnya tetap wajib diqadla), dan ia tetap harus mencari
ke tempat tersebut walaupun harus keluar waktu shalat
tersebut.
4) Mencari air di Haddul Bu’ud, yaitu yakin akan adanya air
pada suatu tempat yang jaraknya lebih dari 9.000 dziro’ (4,5
Km), maka hukumnya tidak wajib mendatangi tempat
tersebut untuk mendapatkan air.

2. Sakit
Sebab kedua dibolehkannya tayammum adalah karena sakit,
tetapi tidak semua orang sakit boleh tayammum. orang yang
sakit tertentu yang dibolehkan bertayammum. Dibawah ini
adalah beberapa hukum untuk orang yang bertayammum
ketika sakit:

73
a. Wajib, apabila menggunakan air akan menyebabkan
kematiannya.
b. Mubah, apabila menggunakan air maka akan menyebabkan
sakitnya bertambah parah, atau apabila terkena air maka
membahayakan dirinya, menyebabkan cacat.
c. Haram, apabila sakitnya ringan dan tidak berbahaya jika
menggunakan air. Contoh: sakit kepala, flu, dan sakit-sakit
ringan yang lain.

Permasalahan:

 Jika ia ragu apabila apakah dengan menggunakan air akan


membahayakan sakitnya atau tidak, maka hukumnya ia
boleh bertayammum karena sakitnya itu (pendapat Ibnu
Hajar ra.).
 Apabila ada luka yang diperban maka:
- Wajib melepaskan perban apabila tidak ada bahaya bagi
penyakitnya (lukanya).
- Tidak wajib melepas apabila takut bertambah parah.
 Cara membasuh apabila ada perban pada anggota wudhu:
- Apabila perban ada pada tangan kita yang wajib terkena
air maka caranya adalah dengan:
1) Niat wudhu berbarengan dengan membasuh wajah.
2) Tayammum (untuk mengganti bagian yang diperban).
3) Membasuh tangan dengan air sampai di tempat yang
dipinggir-pinggir luka, lalu usap perban dengan tangan
kita.
4) Teruskan sampai sempurnanya wudhu.

74
- Apabila perban ada pada bagian wajah, maka caranya
adalah:
1) Niat sambil membasuh wajah yang sekiranya
memungkinkan untuk terkena air (yang tidak diperban).
2) Usap perban dengan tangan kita (dengan tangan yang
sudah dibasahi dengan air).
3) Keringkan air yang ada pada wajah dengan handuk atau
sejenisnya.
4) Tayammum (untuk mengganti pada bagian yang
diperban), termasuk usap bagian yang diperban dengan
debu.
5) Lanjutkan sampai sempurnanya wudhu.

 Apabila yang diperban ada pada dua anggota wudhu yang


wajib terkena air maka wajib bertayammum dua kali
(contoh: perban pada tangan dan sebagian wajah).
 Apabila dalam keadaan hadats besar (janabah, haid, nifas),
maka cara bersucinya adalah boleh dengan tayammum
dahulu atau mandi terlebih dahulu, namun disunnahkan
tayammum terlebih dahulu, karena dalam mandi wajib tidak
disyaratkan tertib.
Caranya adalah:
1. Tayammum dan disunnahkan mengusap perbannya
dengan debu.
2. Meratakan air ke seluruh anggota badan yang sehat.



75
Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Tayammum, Hal 111.

76
BAB 18

SYARAT-SYARAT TAYAMMUM

‫ ﺃﻥﻳﻜﻮﻥ ﺑﺘﺮﺍﺏ ﻭﺃﻥﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﱶﺍﺏ ﻁﺎﻫﺮﺍ‬: ‫ﺷﺮﻭﻃ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﻋﺸﺮﺓ‬


‫ﻭﺃﻥ ﻻﻳﻜﻮﻥ ﻣﺴﺘﻌﻤﻼ ﻭﺃﻥﻻﳜﹷﺎﻟﻄﻪ ﺩﻗﻴﻖ ﻭﳓﻮﻩ ﻭﺃﻥ ﻳﻘﺼﺪﻩ‬
‫ﻭﺃﻥ ﳝﺴﺢ ﻭﺟﻬﻪ ﻭﻳﺪﻳﻪ ﺑﻀﺮﺑﺘﱺ ﻭﺃﻥ ﻳﺰﻳﻞ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺃﻭﻻ‬
‫ﻭﺃﻥ ﳚﺘﻬﺪ ﻓﻰﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﻗﺒﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﻌﺪ ﺩﺧﻮﻝ ﺍﻟﻮﻗﺖ‬
۰‫ﻭﺃﻥ ﻳﺘﻴﻤﻢ ﻟﻜﻞ ﻓﺮﺽ‬
Syarat-syarat tayammum ada 10:
1. Harus memakai debu.
2. Debunya harus suci.
3. Tidak boleh dengan debu yang sudah pernah digunakan.
4. Debunya tidak kecampuran tepung dan yang
menyerupainya.
5. Bertujuan untuk memindahkan debu ke anggota
tayammum.
6. Mengusap wajah dan kedua tangan dengan dua pukulan.
7. Harus menghilangkan najis dahulu.
8. Harus mengetahui arah kiblat dahulu.
9. Tayammum harus dilakukan setelah masuk waktu shalat.
10. Tayammum hanya untuk satu shalat fardhu.

77
Penjelasan:
1. Harus Memakai Debu.
Tayammum harus dengan menggunakan debu atau tanah
yang berdebu, yaitu tanah yang apabila ditiup angin akan
berterbangan.

2. Debunya Harus Suci.


Tidak sah bertayammum dengan debu yang najis atau
bercampur najis, contoh debu yang terkena kencing lalu
kering.

3. Tidak Boleh dengan Debu yang sudah pernah digunakan.


Yaitu debu yang bekas dipakai untuk bertayammum, baik
yang masih melekat pada anggota tayammum, atau yang
berjatuhan dari anggota tayammum. begitu pula debu yang
telah digunakan untuk menghilangkan najis mugholadhoh.

4. Debunya tidak kecampuran tepung dan yang


menyerupainya.
Debunya harus murni, tidak tercampur dengan tepung,
kapur, semen, bedak atau benda halus lain yang
menyerupainya.

5. Bertujuan untuk memindahkan debu ke anggota


tayammum.
Orang yang tayammum harus bermaksud menggunakan
debu untuk bertayammum ke anggota wajah dan
tangannya. Memindahkan debu boleh dengan tangannya
sendiri, atau tangan orang lain yang telah diizinkannya,
78
meskipun orang lain tersebut anak kecil, atau orang kafir,
atau perempuan mahrom yang dalam keadaan haid atau
nifas (boleh menurut Imam Romli ra).¹
Apabila ada angin yang berterbangan dengan membawa
debu lalu ia sekalian berniat tayammum maka tidak sah
(hanya mengandalkan debu yang menempel dari angin yang
membawa debu tersebut).

6. Mengusap wajah dan kedua tangan dengan dua pukulan.


Hendaknya mengambil debu tersebut dengan dua
pengambilan, satu kali untuk mengusap wajah dan satu lagi
untuk mengusap kedua tangan. Maka tidak cukup dengan
satu kali memindahkan debu untuk wajah sekaligus untuk
kedua tangan.

7. Harus menghilangkan najis dahulu.


Sebelum bertayammum harus terlebih dahulu
membersihkan najis (yang tidak dima’fu) yang ada
dibadannya terlebih dahulu jika memungkinkan untuk
dibersihkan. Apabila ada najis yang tidak bisa dihilangkan
maka tetap sah tayammumnya (karena darurat) akan tetapi
shalat yang dilakukan dengan tayammum itu harus di qodho
(diulangi).

8. Harus mengetahui arah Kiblat dahulu.


Harus mengetahui arah kiblat sebelum bertayammum, dan
cara mengetahui dimana arah kiblat disini tidak harus
dengan cara yakin walaupun dengan ijtihadnya.

79
9. Tayammum harus dilakukan setelah masuk waktu shalat.
Diharuskan bertayammum setelah masuk waktu shalat yang
akan dilaksanakan.

10. Tayammum hanya untuk satu shalat fardhu.


Tayammum yang dilaksanakn hanya bisa untuk satu kali
shalat fardhu, tidak bisa untuk dua kali shalat fardhu,
misalnya akan menjama’ dua shalat, setelah shalat Dhuhur
selesai (dengan tayammum) apabila ia ingin shalat Asar
jama’, maka ia harus tayammum lagi.
Lain halnya dengan shalat sunnah, ia boleh menggunakan
sekali tayammum untuk sebanyak-banyaknya shalat sunnah.

Permasalahan:

 Untuk Khotib shalat Jum’at, ia wajib bertayammum dua kali.


Yang pertama untuk khutbah Jum’at, yang kedua untuk
shalat Jum’at, karena kedudukan khutbah Jum’at sama
seperti kedudukan dua rakaat dari shalat Dhuhur.
 Apakah boleh bertayammum dari dinding atau benda
lainnya? Jawabnya adalah: Allah swt memerintahkan kita
bertayammum dari tanah yang suci dan murni, jika ada yang
menyatakan Rasulullah saw. pernah bertayammum dari
dinding, maka kita harus ingat bahwa dinding zaman dahulu
murni terbuat dari tanah. Lain halnya dengan dinding
sekarang (dengen semen), namun apabila yakin bahwa debu
yang menempel pada dinding atau benda apapun itu adalah
murni debu dari tanah, maka boleh saja bertayammum

80
dengannya, tetapi apabila ragu-ragu maka tidak boleh
bertayammum dengannya.²



Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Tayammum, Hal 285.
2. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Syarat Tayammum, Hal 96.

81
BAB 19

FARDHU TAYAMMUM

‫ ﺍﻷﻭﻝ ﻧﻘﻞ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﺍﻟﺜﹷﺎﻧﻰ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ‬: ‫ﻓﺮﻭﺽ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺧﻤﺴﺔ‬


۰‫ﻣﺴﺢ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻣﺴﺢ ﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺍﳌﺮﻓﻘﱺ ﺍﳋﺎﻣﺲ ﺍﻟﺘﺮﺗﻴﺐ‬

Fardhu-fardhu tayammum ada 5:


1. Memindahkan debu.
2. Niat.
3. Mengusap wajah.
4. Mengusap kedua tangan beserta kedua sikunya.
5. Tertib diantara kedua usapan tersebut.

Penjelasan:
1. Memindahkan Debu.
Adanya pekerjaan memindahkan debu dari tempat asalnya
ke anggota tayammum. Jika berpindah sendiri disebabkan
hembusan angin hingga wajah dipenuhi dengan debu maka
tayammumnya tidak sah.

2. Niat.
Niat tayammum dilakukan ketika memukulkan tangan ke
tanah sampai mengusap wajah.
82
Niat disini adalah niat untuk diperbolehkannya shalat atau
ibadah lainnya. Contoh lafadz niat tayammum adalah:

۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﻹﺳﺘﺒﺎﺣﺔ ﺍﻟﺼﹷﻼﺓ‬


Artinya: “Aku niat tayammum untuk diperbolehkannya
shalat.”

 Tingkatan niat dalam tayammum ada 3:

a. Niat untuk shalat fardhu atau tawaf fardhu, maka


hukumnya adalah hanya boleh digunakan satu kali shalat
fardhu dan tawaf fardhu, dan dengan tayammum tadi
diperbolehkan shalat sunnah atau tawaf sunnah tanpa
bertayammum lagi.
b. Niat untuk shalat sunnah atau tawaf sunnah, maka
hukumnya hanya boleh digunakan untuk shalat sunnah
atau tawaf sunnah saja.
c. Niat untuk melakukan hal-hal yang membutuhkan
tayammum. Contoh: Memegang al qur’an, sujud tilawah
dan sujud syukur. Tetapi tidak boleh dilakukan untuk
shalat fardhu dan shalat sunnah atau towaf sunnah.

3. Mengusap Wajah.
Batasan mengusap wajah yang wajib diusap dalam
bertayammum sama seperti batasan wajah ketika
berwudhu, namun tidak disunnahkan untuk menyela-nyela

83
seluruh permukaan wajah. Hanya usapannya merata ke
seluruh wajah.

4. Mengusap kedua tangan beserta kedua sikunya.


Cara yang disunnahkan adalah dengan meletakkan jari-jari
tangan kiri dan jempol di bagian luar jari tangan kanan selain
jempolnya (tangan kanan), sekira jari tangan kanan tepat
pada jari tangan kiri, lalu menggerakkan tangan kiri.
Ketika sampai dipergelangan tangan kanan, maka ujung jari
tangan kiri dikumpulkan di tepi lengan tangan kanan dan
digerakkan hingga ke siku. Kemudian tangan kiri diputar
hingga posisi telapak tangan kiri berada dibagian dalam
lengan tangan kanan dan digerakkan ke depan dengan
mengangkat jempol kiri. Ketika sampai dipergelangan,
jempol kiri diusapkan ke bagian luar jempol kanan.
Ketika mengusap tangan kiri, caranya sebagaimana cara ini.
Andaikata kesulitan bagi orang yang sudah tua melakukan
cara ini, cukup dengan meratakan yang sekiranya dia yakin
rata usapan debu pada kedua lengannya.

5. Tertib di antara kedua usapan.


Yaitu harus mengusap wajah dahulu baru kemudian kedua
tangan beserta sikunya.



84
BAB 20

SUNNAH-SUNNAH TAYAMMUM

Diantara sunnah-sunnah dalam bertayammum adalah:


1. Memakai siwak, waktunya adalah sebelum memindahkan
debu yang pertama (ke wajah).
2. Membaca ta’awwudz, basmalah dan hamdalah.
3. Mendahulukan tangan kanan.
4. Muwalah (berturut-turut/berkesinambungan).
5. Menipiskan debu yang terdapat di tangan sebelum
mengusapkannya ke wajah. Cara menipiskannya boleh dengan
menggerak-gerakkan telapak tangan atau dengan meniupnya.
6. Merenggangkan jari-jari ketika mengambil debu.
7. Menghadap ke arah kiblat.
8. Melepaskan cincin ketika membasuh wajah, apabila
membasuh tangan cincin wajib dilepas (seandainya debu
tersebut tidak sampai kekulit kecuali dengan melepas cincin
tersebut).
9. Memulai mengusap dari bagian atas wajah (sama seperti
wudhu), dan untuk tangan dari ujung jari.
10. Tidak mengangkat tangan dari anggota yang diusap hingga
sempurna pengusapan (tangannya menempel terus pada kulit
anggota yang ditayammumi).
11. Tidak membersihkan debu dari anggota tayammum hingga
selesai melakukan shalat.

85
BAB 21

BATALNYA TAYAMMUM

‫ﻣﺒﻄﻼﺕ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﻣﺎ ﺃﺑﻄﻞ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﺍﻟﺮﺩﺓ ﻭﺗﻮﻫﻢ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺇﻥ‬


۰‫ﺗﻴﻤﻢ ﻟﻔﻘﺪﻩ‬
Perkara yang membatalkan tayammum ada 3:
1. Hal-hal yang membatalkan wudhu.
2. Murtad (keluar dari Islam).
3. Menduga adanya air, kalau tayammumnya adalah karena
tidak ada air.

Penjelasan:
1. Semua yang membatalkan wudhu itu membatalkan
tayammum, seperti yang sudah dujelaskan di bab perkara-
perkara yang membatalkan wudhu.
2. Murtad.
Jika seseorang yang bertayammum melakukan sebab-sebab
yang menjadikannya murtad maka batal tayammumnya.
Berbeda dengan wudhu, murtad tidak membatalkan wudhu,
dan karena tayammum itu adalah bersuci yang lemah.
3. Menduga adanya air, jika tayammumnya karena tidak ada
air. Dalam hal ini diperinci menjadi:

86
a. Jika menduga adanya air terjadi sebelum shalat dan tidak
ada penghalang untuk mendapatkannya (musuh atau
binatang buas), apalagi jika ternyata memang ada air.
b. Jika dugaan adanya air terjadi sebelum shalat namun ada
penghalang yang menghalanginya untuk mendapatkan air
seperti binatang buas, maka tidak batal tayammumnya
asalkan ia melihat penghalangnya dahulu.
Begitu pula jika ia melihat keduanya (air dan
penghalangnya) secara bersamaan maka tidak batal
tayammumnya.
Apabila ia melihat airnya dahulu sebelum penghalangnya
maka batal tayammumnya. Dan ia harus mengulang
tayammumnya kembali ketika akan shalat.
c. Jika ia menduga adanya air ketika shalat, maka tidak batal
tayammumnya karena hanya sekedar dugaan. Apabila ia
yakin akan adanya air maka diperinci menjadi:
- Jika shalat yang ia kerjakan harus di qodho’, karena ia
shalat ditempat yang biasa ada air, maka batal
tayammumnya dan ia harus shalat (berwudhu) dengan
air tersebut.
- Jika shalatnya tidak wajib di qodho’, karena ia
bertayammum di tempat yang memang tidak ada air,
maka tidak batal tayammumnya juga shalatnya. Namun
lebih baik ia batalkan shalatnya supaya ia bisa shalat
dengan air tersebut karena shalat (bersuci) dengan air
itu lebih sempurna, akan tetapi apabila ia teruskan
shalatnya maka tetap sah.¹

87
Permasalahan:
1. Apabila seseorang tidak mendapatkan air ataupun debu untuk
bersuci maka apakan harus tetap melakukan shalat?
 Jawabnya adalah ia harus tetap melakukan shalat, yaitu
shalat untuk menghormati waktu. Cara shalatnya seperti
biasa hanya saja tidak berwudhu dan tidak tayammum.
 Jika ia dalam keadaan hadats besar, maka haram ia
membaca al qur’an kecuali surat Al-Fatehah.
 Tidak boleh menjadi imam.
 Wajib mengqodho’ shalatnya.

2. Jika setelah shalat ia menemukan air atau debu, maka


hukumnya diperinci menjadi:
 Jika ia mendapatkan air, maka ia wajib mengulang shalatnya
jika masih ada waktu atau mengqodho’ jika sudah keluar
waktunya.
 Jika ia mendapatkan debu yang memang ditempat tersebut
memang biasa tidak ada air, maka wajib shalatnya diqodho’
dengan tayammum.
 Jika ia mendapatkan debu ditempat yang biasa ada air hanya
kebetulan ketika itu tidak ada air, maka tidak wajib
mengqodho’ shalatnya dengan tayammum (andai kata
diqodho’ pun tidak mengapa, tetapi ia melaksanakan shalat
2 kali, yang pertama qodho’ dengan tayammum karena
belum dianggap shalat dan tetap wajib mengqodho’ lagi
setelah menemukan air, yang kedua karena tempat itu biasa
ada air maka tetap dihitung belum shalat), tetapi tetap wajib

88
di qodho’ apabila sudah menemukan air. Intinya shalatnya
tetap wajib di qodho’ (apabila menemukan air).²

3. Kapan orang yang sudah shalat dengan tayammum tetapi


wajib mengqodho’ shalatnya? Yaitu pada keadaan:³

a. Orang yang melakukan bepergian untuk maksiat, walaupun


dia bertayammum di tempat yang biasa tidak ada air.
b. Orang yang tidak menemukan air di tempat yang biasanya
ada air, baik dalam bepergian atau tidak, namun kebetulan
ketika itu tidak ada air.
c. Orang yang lupa keberadaan air di rumahnya.
d. Orang yang kehilangan air di rumahnya.
e. Orang yang bertayammum karena kedinginan untuk
menggunakan air (karena tidak punya alat untuk
memanaskan air).
f. Orang yang tayammum karena ada perban di anggota
tayammumnya (wajah atau kedua tangan).
g. Orang yang tayammum karena ada perban di selain anggota
tayammumnya, namun saat memasang perban pertama
dalam keadaan berhadats (tidak suci), atau juga perbannya
melebihi batas lukanya. (Contoh: lukanya 2x2 cm, perbanyya
5x5 cm).
h. Orang yang tayammum dan di badannya terdapat najis yang
tidak dima’fu (dimaafkan), dan tidak mampu dihilangkan
karena tidak ada air. (contoh: cipratan air kencing pada kaki
ketika kencing).

89
4. Kapan orang yang sudah shalat dengan tayammum tetapi
tidak wajib mengqodho’ shalatnya? Yaitu pada keadaan:

a. Shalatnya orang yang tayammum karena tidak menemukan


air di tempat yang memang biasa tidak ada air.
b. Shalatnya orang yang tayammum dengan adanya air, tetapi
dia sangat membutuhkannya untuk keperluan darurat.
c. Shalatnya orang yang tayammum karena ada air tetapi tidak
ada alat untuk mengambil air tersebut. Seperti timba,
ember atau yang lainnya.
d. Ada sesuatu yang mencegah untuk mendapatkan air.
Seperti ada binatang buas.
e. Shalatnya orang tayammum diatas perahu, dan ia takut
tenggelam apabila mengambil air laut.
f. Tayammumnya orang yang sakit, apabila ia menggunakan
air maka akan menyebabkan kematiannya.
g. Tayammumnya orang yang sakit apabila menggunakan air
maka ia takut akan menambah parah pada sakitnya.
h. Tayammumnya orang yang sakit apabila ia menggunakan air
akan menjadikan sakitnya itu lama sembuhnya.
i. Tayammunnya orang yang sakit apabila ia menggunakan air
maka akan menyebabkan cacat pada dirinya.
j. Shalatnya orang tayammum yang sangat membutuhkan air
karena untuk memberi minum makhluk yang dihormati
dalam Islam (yang bukan termasuk dalam ghoiru
mukhtarom).
k. Shalatnya orang yang bertayammum dengan adanya air
tetapi air tersebut sangat dibutuhkan sehingga dijual untuk
kebutuhannya dan untuk membayar hutang.
90
l. Menemukan air tetapi harga air tersebut dijual oleh orang
lain diatas harga normal di daerah tersebut.
m. Shalatnya orang tayammum karena ada air tetapi ia
tidak mampu membelinya karena tidak punya uang.
n. Shalatnya orang tayammum dengan adanya air ia gunakan
untuk kebutuhannya menyambung hidup.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Tayammum, Hal 131.
2. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Tayammum, Hal 132.
3. Fiqih Sistematis (Terjemah Kitab at-Taqrirat al-Sadidah fil
Masail Mufidah, Karya Sayyid Hasan bin Ahmad Al Kaaf, Bab:
Tayammum, Hal: 122.
4. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Tayammum, Hal 134.

91
BAB 22

BENDA-BENDA NAJIS YANG BISA SUCI

‫ ﺍﳋﻤﺮ ﺇﺫﺍ ﲢﻠﻠﺖ ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﻭﺟﻠﺪ‬: ‫ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻄﻬﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺛﻼﺛﺔ‬


۰‫ﺍﳌﻴﺘﺔ ﺇﺫﺍ ﺩﺑﻎ ﻭﻣﺎ ﺻﺎﺭ ﺣﻴﻮﺍﻧﺎ‬

Benda-benda najis yang bisa suci adaa 3 macam:


1. Arak ketika jadi cuka dengan sendirinya.
2. Kulit bangkai ketika sudah disamak.
3. Hewan yang keluar dari bangkai.
Penjelasan:
1. Arak ketika menjadi cuka dengan sendirinya.
Jika telah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya
adalah suci. Namun pada saat fermentasi dari arak menjadi
cuka ada syaratnya:
a. Dalam proses perubahannya secara alami, tidak dicampur
dengan apapun.
b. Dalam arak tersebut tidak terdapat benda apapun. Misalnya
biji anggur, sendok atau benda yang lain, karena benda
tersebut tetap najis, dan yang suci hanya air araknya saja
yang sudah menjadi cuka, akan tetapi benda tersebut tetap
najis sehingga membuat cuka yang seharusnya suci menjadi
najis karena terdapat di dalam cairan cuka tersebut.
92
Permasalahan:

 Bagaimana dengan minyak wangi yang mengandung


alkohol?
Jawabannya adalah para ulama berbeda pendapat mengenai
hal ini, ada ulama yang berpendapat bahwa alkohol yang
ada pada minyak wangi itu bukan alkohol yang sama dengan
yang bisa memabukkan, jika kita berpegang pada ulama ini
maka hukumnya boleh menggunakan minyak wangi
tersebut, tetapi hanya sebatas pemakaian minyak wangi
saja, untuk hal lain tidak diperbolehkan.
Ada pula ulama yang berpendapat tidak boleh
menggunakannya karena semua jenis alkohol itu sama. Jika
kita berpegang pada ulama ini maka tidak boleh kita
menggunakan minyak yang beralkohol.
Untuk lebih berhati-hati maka lebih baik kita menggunakan
minyak wangi yang tidak mengandung alkohol, yang
sekarang banyak dan mudah di dapatkan.
 Untuk tisue yang beralkohol (sebagai pembersih tangan)
maka termasuk najis, apabila kita menggunakan untuk
membersihkan tangan yang berakibat tangan itu akan
menyentuh makanan apabila kita akan makan, dan makanan
itu akan basah terkena tisue lalu masuk ke dalam mulut kita.

2. Kulit bangkai ketika sudah disamak.


Kulit hewan terbagi menjadi 3 bagian:¹

a. Kulit hewan yang dapat dimakan dan mati dengan cara


disembelih, maka hukum kulitnya suci, meskipun tanpa
disamak. Contoh: kulit kambing, sapi, dll.
93
b. Kulit hewan anjing atau babi, maka hukum kulitnya adalah
najis, meskipun telah disamak.
c. Kulit hewan yang tidak dapat dimakan, meskipun mati
dengan cara disembelih atau tidak, maka hukum kulitnya
adalah suci jika sudah disamak. Contoh: kulit macan, kucing,
dll.
Permasalahan:
 Apabila ada hewan yang mati dengan sendirinya, tertabrak
atau disembelih dengan cara yang tidak sah menurut syari’at
maka hewan itu dikatakan bangkai, dan agama
membolehkan kita menggunakan kulit bangkai tersebut
untuk kebutuhan dengan syarat setelah disamak. Contoh:
untuk tas, dompet, ikat pinggang, dan lain-lain.
 Apakah alat yang bisa digunakan untuk menyamak?
Segala sesuatu yang dapat menghilangkan lendir dari kulit
tersebut walaupun najis seperti kotoran burung, atau
dedaunan dan sebagainya. Setelah lendir pada kulit itu
hilang dan tidak kembali lagi maka harus dibasuh dengan air
agar bisa suci.

3. Hewan yang keluar dari bangkai.


Hewan yang keluar dari bangkai seperti belatung, ulat dan
sebagainya adalah suci, yang najis hanya bangkainya.
Permasalahan:
 Bagaimana dengan belatung atau ulat yang keluar dari
bangkai anjing atau babi? Hukum ulat atau belatungnya
adalah suci.²



94
Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Macam-macam Najis dalam Syari’at, Hal
266.
2. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al
Athos. Bab: Benda-benda Najis yang bisa suci, Hal 101.

95
BAB 23

MACAM-MACAM NAJIS

۰‫ ﻣﻐﻠﻈﹷﺔ ﻭﳐﻔﻔﺔ ﻭﻣﺘﻮﺳﻄﺔ‬: ‫ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ ﺛﻼﺛﺔ‬


‫ﺍﳌﻐﻠﻈﺔ ﳒﺎﺳﺔ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻭﺍﳊﻨﺰﻳﺮ ﻭﻓﺮﻉ ﺃﺣﺪ ﻫﻤﺎ ﻭﺍﳌﺨﻔﻔﺔ ﺑﻮﻝ‬
۰‫ﺍﻟﺼﱯ ﺍﻟﺬﻯ ﻟﻢ ﻳﻄﻌﻢ ﻏﱹ ﺍﻟﻠﺒﻦ ﻭﻟﻢ ﻳﺒﻠﻎ ﺍﳊﻮﻟﱺ‬
۰ ‫ﻭﺍﳌﺘﻮﺳﻄﺔ ﺳﺎﺋﹻﺮ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ‬

Najis dibagi menjadi 3 macam:


1. Najis Mugholladzoh.
2. Najis Mukhoffafah.
3. Najis Mutawassithoh.
Najis Muhgolladzoh adalah nasjisnya anjing, babi dan anak salah
satu dari binatang tersebut. Najis Mukhoffafah adalah
kencingnya anak laki-laki yang belum makan sesuatu kecuali
susu, dan usianya belum sampai 2 tahun (hijriyyah). Najis
Mutawassithoh adalah semua najis selain yang diatas.
Penjelasan:
1. Najis Mugholladzoh (berat).

96
Adalah najisnya anjing dan babi serta anak dari salah satu
kedua hewan tersebut. Contoh anjing atau babi dikawinkan
dengan sapi, keluar anaknya berupa sapi, maka najisnya
termasik najis yang berat (mugholladzoh).
2. Najis Mukhoffafah (ringan).
Yaitu air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang dari 2
tahun (hijriyah), dan belum pernah makan sesuatu kecuali air
susu ibunya (ASI) atau air susu sapi murni (tanpa ada
campuran).
3. Najis Mutawassithoh (sedang).
Semua najis selain najis mugholladzoh dan mukhoffafah.

 Macam-macam Jenis Najis:


1. Air kencing (kecuali yang masuk najis mukhoffafah).
2. Kotoran hewan atau manusia.
3. Darah.
4. Muntah.
5. Nanah.
6. Wadi (salah satu air yang keluar dari kemaluan ketika lelah).
7. Madzi (salah satu air yang keluar dari kemaluan ketika
syahwat)
8. Arak (khomer, bir,dll).
9. Anjing.
10. Babi.
11. Bangkai (hewan yang mati tanpa disembelih secara
syari’at).
12. Tulang hewan.

97
13. Susu hewan yang dagingnya haram dimakan (susu kucing,
dll).
14. Air liur yang keluar dari perut.

98
BAB 24

CARA MENCUCI NAJIS

۰‫ﺍﳌﻐﻠﻈﺔ ﺗﻄﻬﺮ ﺑﺴﺒﻊ ﻏﺴﻼﺕ ﺑﻌﺪ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﻋﻴﻨﻬﺎ ﺇﺣﺪﺍ ﻫﻦ ﺑﺘﺮﺍﺏ‬


۰‫ﻭﺍﳌﺨﻔﻔﺔ ﺗﻄﻬﺮ ﺑﺮﺵ ﺍﳌﹷﺎﺀ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﻐﻠﺒﺔ ﻭﺇﺯﺍ ﻟﺔ ﻋﻴﻨﻬﺎ‬
‫ﺍﻟﻌﻴﻨﻴﺔ ﺍﻟﱵ‬۰ ‫ﻭﺍﳌﺘﻮﺳﻄﺔ ﺗﻨﻘﺴﻢ ﻋﻠﻰﻗﺴﻤﱺ ؛ ﻋﻴﻨﻴﺔ ﻭﺣﻜﻤﻴﺔ‬
۰‫ﻟﻬﺎ ﻟﻮﻥ ﻭﺭﻳﺢ ﻭﻃﻌﻢ ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﻟﻮﻧﻬﺎ ﻭﺭﻳﺤﻬﺎ ﻭﻃﻌﻤﻬﺎ‬
۰‫ﻭﺍﳊﻜﻤﻴﺔ ﺍﻟﱴ ﻻﻟﻮﻥ ﻭﻻﺭﻳﺢ ﻭﻻﻃﻌﻢ ﻳﻜﻔﻴﻚ ﺟﺮﻲﺍﻟﻤﺎﺀﻋﻠﻴﻬﺎ‬

Najis Mugholladzoh bisa suci dengan 7 kali basuhan sesudah


menghilangkan najisnya, yang salah satunya harus dicampur
dengan debu yang suci.
Najis mukhoffafah itu bisa suci dengan menyiramkan air pada
najisnya secara merata hingga hilang najisnya.
Najis mutawassithoh dibagi menjadi 2 bagian:
1. Najis ‘Ainiyyah.
2. Najis Hukmiyyah.
Najis ‘Ainiyyah yaitu najis yang ada warna, bau dan rasanya.
Najis Hukmiyyah yaitu najis yang tidak ada warna, bau dan
rasanya.
99
Penjelasan:
1. Cara mensucikan Najis Mugholladzoh.
Yaitu membasuhnya dengan air sebanyak 7 kali basuhan
setelah dihilangkan zat najisnya terlebih dahulu, dan salah
satu basuhannya harus dicampur dengan debu yang suci.
Dan yang lebih utama jika yang dicampur dengan debu
adalah pada basuhan yang pertama.
Permasalahan:

 Berapa ukuran kadar debu yang wajib digunakan dalam


mensucikan najis mugholladzoh?
Kadar debu yang digunakan adalah seukuran yang dapat
membuat air menjadi keruh, dan dituangkan ke seluruh
tempat yang terkena najis.¹

 Bagaimana cara menggunakan debu dalam mensucikan najis


mugholladzoh? ² ada 3 cara:
a. Mencampur air dengan debu (tanah) sampai air tersebut
menjadi keruh, kemudian menuangkannya di tempat najis
tersebut. Cara ini adalah cara yang paling utama dalam
madzhab Imam Syafi’i ra.
b. Meletakkan debu di tempat najisnya, kemudian tuangkan
air secara merata.
c. Menuangkan air di tempat najis tersebut, lalu meletakkan
debunya.

 Pendapat ulama tentang penggunaan debu dan sabun dalam


mensucikan najis mugholladzoh:³

100
a. Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Imam
Syafi’i wajib menggunakan debu.
b. Menurut pendapat sebagian ulama, tidak wajib
menggunakan debu, akan tetapi boleh menggunakan
sabun atau lainnya.
c. Menurut pendapat sebagian ulama, jika memiliki debu
yang suci, maka wajib menggunakan debu, jika tidak
memiliki debu maka boleh menggunakan sabun atau yang
lainnya.
2. Cara mensucikan Najis Mukhoffafah.
Yaitu cukup dengan memercikkan air ditempat najisnya,
dengan syarat air tersebut harus menyeluruh dan setelah
menghilangkan zat najisnya terlebih dahulu.
3. Cara mensucikan Najis Mutawassithoh
a. Najis Mutawassithoh ‘Ainiyyah, caranya adalah dengan
menghilangkan zat najisnya terlebih dahulu, kemudian
disiram dengan air sampai hilang ketiga sifatnya (warna, bau
dan rasa).
b. Najis Mutawassithoh Hukmiyyah, caranya adalah cukup
dengan mengalirkan air ke tempat najis tersebut, dengan
demikian sudah menjadi suci.
Contoh: Ada najis kencing pada lantai, agar mudah disucikan
maka jadikan najis ‘ainiyyah itu menjadi hukmiyyah dengan
mengeringkan najis tersebut dengan kain atau tisue sampai
hilang wujudnya, setelah kering hilang warna dan rasanya
kita usap dengan kain basah terlebih dahulu dan tunggu
101
sampai kering, baru kemudian alirkan air pada tempat najis
tersebut dengan syarat siraman air melebihi batas najis
tersebut. Maka lantai tersebut menjadi suci, dan air yang
dialirkan pada lantai tersebut menjadi air musta’mal, bukan
air najis. Lain halnya apabila langsung kita pel air tersebut
dengan kain, maka hukum lantainya akan menjadi najis
semua, walaupun di pel berulang kali.
Permasalahan:
1. Jika ada najis darah pada kain yang sudah dicuci, lalu
berusaha dihilangkan dengan dicuci berulang kali dan tidak
hilang (tinggal noda merahnya saja) maka hukum najis ini
adalah dima’fu, dan sah digunakan untuk shalat.
2. Untuk air liur yang najis adalah yang keluar dari perut dan
biasanya sangat bau dan dihukumi sama seperti muntahan.
Sementara air liur yang dari mulut (biasanya ketika duduk
keluar) itu bukan dari perut dan hukumnya seperti ludah
tidak najis.
3. Untuk binatang yang mati dengan sendirinya itu adalah najis
dan termasuk bangkai (kecuali ikan, belalang dan hewan
laut), begitu juga binatang yang disembelih bukan dengan
cara syari’at Islam maka termasuk najis juga.
4. Untuk nanah atau darah yang ada pada luka yang jumlahnya
sedikit maka najisnya dima’fu (dimaafkan).
5. Arak apapun jenisnya termasuk najis, jika ganja atau daun-
daunan lain yang dapat memabukkan bila dikonsumsi, maka
mengkonsumsinya adalah haram dan zatnya tidak najis.
6. Hukum bulu hewan terbagi menjadi 2: ⁴
102
a. Bulu dari hewan yang boleh dimakan (seperti: kambing,
sapi) hukumnya adalah suci walaupun bulunya telah
tercabut.
b. Bulu dari hewan yang tidak boleh dimakan (seperti:
kucing) terbagi menjadi 2:
i. Sebelum tercabut dari badannya adalah suci.
ii. Setelah tercabut dari badannya adalah najis, akan
tetapi dima’fu (dihukumi suci) apabila sedikit.


Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Macam-macam Najis dalam Syari’at, Hal
252.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Macam-macam Najis dalam Syari’at, Hal
252.
3. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Macam-macam Najis dalam Syari’at, Hal
253.
4. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Macam-macam Najis dalam Syari’at, Hal
268.
103
BAB 25

MASA HAID

۰‫ﺃﻗﻞ ﺍﳊﻴﺾ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻭﻏﺎﻟﺒﻪ ﺳﺖ ﺃﻭﺳﺒﻊ ﻭﺃﻛﺜﺮﻩ ﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ‬


“Paling sedikitnya masa haid adalah sehari semalam (24 jam).
Sedangkan umumnya adalah 6 atau 7 hari. Dan sebanyak-
banyaknya adalah 15 hari.”

Penjelasan:
Dalam madzhab Imam Syafi’i ra., masa haid terbagi menjadi 3
bagian:
1. Paling sedikit waktu keluarnya darah haid adalah sehari
semalam (24) jam, dan disyaratkan jika haidnya hanya 24 jam,
maka apabila dimasukkan kapas kedalamnya dan bersih maka
wajib mandi. Apabila darah haidnya terputus-putus lebih dari
sehari semalam, misalkan 6 hari, maka disyaratkan jumlah
waktu keluarnya darah haid tidak kurang dari 24 jam dalam 6
hari tersebut apabila setelah 6 hari ia bersih. Intinya
menit/jam keluarnya darah haid diperkirakan apabila
digabungkan minimal 24 jam keluar darahnya.
2. Masa umumnya (masa normal) keluarnya darah haid
kebanyakan wanita adalah 6 atau 7 hari.

104
3. Masa paling lama (maksimal) keluarnya darah haid adalah 15
hari. Apabila lebih dari 15 hari maka darah yang keluar dari
hari ke-16 dan seterusnya dinamakan darah istihadhoh. Wajib
mandi besar pada hari ke-16, lalu memakai pembalut lalu
shalat seperti biasa.

Permasalahan:

 Wajib bagi wanita ketika melihat datangnya darah untuk tidak


shalat, kemudian jika darah tersebut berhenti sebelum 24 jam
dan tidak kembali lagi, maka telah terbukti bahwa darah
tersebut bukan darah haid, dan wajib baginya untuk
mengqadha shalat yang telah ditinggalkannya, dan tidak wajib
mandi karena telah terbukti bukan darah haid.

105
BAB 26

MASA SUCI ANTARA DUA HAID

‫ﺃﻗﻞ ﺍﻟﻄﻬﺮ ﺑﱺ ﺍﳊﻴﻀﺘﻴﻦ ﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻏﺎﻟﺒﻪ ﺃﺭﺑﻌﺔ‬


۰‫ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻻﺣﺪ ﻷﻛﺜﺮﻩ‬

“Paling sedikitnya masa suci antara 2 haid adalah 15 hari. Pada


umumnya 24 atau 23 hari, dan sebanyak-banyaknya adalah tidak
terbatas.”
Penjelasan:
1. Paling sedikitnya masa suci antara 2 haid adalah 15 hari,
karena itu adalah batas maksimal untuk orang yang haidnya 15
hari, karena 1 bulan ada 30 hari maka masa sucinya adalah 15
hari.
2. Umumnya masa suci untuk wanita yang haid 6 hari adalah 24
hari, dan untuk wanita yang masa haidnya atau 7 hari masa
sucinya adalah adalah 23 hari.
3. Paling banyaknya masa suci dari haid adalah tidak terbatas,
untuk wanita yang tidak mengalami haid. Seperti Sayyidah
Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw.



106
BAB 27

MASA NIFAS

۰‫ﺃﻗﻞ ﺍﻟﻨﻔﺎﺱ ﳎﺔ ﻭﻏﺎﻟﺒﻪ ﺃﺭﺑﻌﻮﻥ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﺃﻛﺜﺮﻩ ﺳﺘﻮﻥ ﻳﻮﻣﺎ‬


“Paling sedikitnya nifas itu adalah 1 tetes, pada umumnya 40
hari. Dan paling banyaknya adalah 60 hari.”

Penjelasan:
1. Darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.
2. Paling sedikitnya keluar darah adalah 1 tetes, umumnya
wanita mengeluarkan darah nifas adalah 40 hari.
3. Paling lamanya seorang wanita mengeluarkan darah nifas
adalah 60 hari.
4.
Permasalahan:
1. Apabila keluar darahnya terputus, dan terputusnya kurang dari
15 hari tetap dinamakan darah nifas. Apabila terputusnya
lebih dari 15 hari, maka darah yang kedua keluar dinamakan
darah haid.
Contoh: Nifas tanggal 1, tanggal 4 berhenti, tanggal 6 keluar
lagi, tanggal 8 berhenti, tanggal 10 keluar lagi. Ini masih
dinamakan darah nifas.

107
Jika tanggal 1 keluar, tanggal 5 berhenti, lalu tanggal 21 keluar
lagi maka darah yang mulai tanggal 21 dihukumi darah haid,
bukan darah nifas.
2. Jika mengeluarkan darahnya lebih dari 60 hari, maka hari ke 61
adalah darah istihadhoh, wajib mandi dan melakukan shalat
seperi biasa dengan petunjuk yang sudah diterangkan pada
bab Syarat-syarat Wudhu sebelumnya.


108
BAB 28

UDZURNYA SHALAT

۰‫ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﻭﺍﻟﻨﺴﻴﺎﻥ‬: ‫ﺃﻋﺬﺍﺭ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺇﺛﻨﺎﻥ‬


Udzur-udzurnya shalat ada 2:
1. Tidur.
2. Lupa.

Penjelasan:
1. Tidur.
Udzur pertama yang memperbolehkan seseorang untuk
menunda waktu shalat hingga keluar dari waktunya adalah
tidur, dengan syarat:
- Tidurnya sebelum masuk waktu shalat.
- Tidurnya sudah masuk waktu, namun ia berpesan kepada
orang lain untuk membangunkannya.
- Tidurnya bukan disengaja untuk meninggalkan shalat.

Apabila tidurnya setelah masuk waktu shalat maka ada 2


perincian:
a. Jika ia mengira dapat bangun sebelum keluarnya waktu
shalat maka hukum tidurnya adalah boleh.

109
b. Jika ia yakin tidak akan bangun kecuali setelah keluarnya
waktu shalat, maka hukum tidurnya adalah haram.
2. Lupa.
Udzur kedua adalah lupa, hal ini menjadi udzur apabila lupa
tersebut disebabkan karena hal-hal yang mubah, sunnah atau
hal-hal yang wajib (seperti: bekerja yang halal, menulis, atau
silaturahmi).
Bukan udzur yang disebabkan karena hal-hal yang makruh
(contoh: main catur), apalagi yang haram (seperti: judi, mabuk
dan sebagainya).
Halangan-halangan tersebut diatas bukan berarti ia tidak wajib
mengqadha shalat yang ia tinggalkan, namun harus diqadha
kapan saja dia sempat (boleh mandi dahulu, makan, kemudian
shalat). Tetapi apabila ia meninggalkan shalat tidak karena udzur,
maka dia harus segera mengqadha shalatnya dan tidak boleh
ditunda alias harus segera dilakukan.¹



Keterangan Sumber Kitab:

1. Syarah Safinatunnaja, Karya Ust. Muhammad bin Agil al


Athos. Bab: Menerangkan Hukum Shalat, Hal 117.

110
BAB 29

SYARAT-SYARAT SHALAT

‫ ﻁﻬﺎﺭﺓ ﺍﳊﺪﺛﱺ ﻭﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ‬: ‫ﺷﺮﻭﻃ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺛﻤﺎﻧﻴﺔ‬


‫ﻓﻰﺍﻟﺜﻮﺏ ﻭﺍﻟﺒﺪﻥ ﻭﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﺳﺘﺮ ﺍﻟﻌﻮﺭﺓ ﻭﺍﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭﺩﺧﻮﻝ‬
‫ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻭﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﻔﺮﺿﻴﺘﻪ ﻭﺍﻥﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻓﺮﺿﺎ ﻣﻦ ﻓﺮﻭﺿﻬﺎ ﺳﻨﺔ‬
٠‫ﻭﺍﺟﺘﻨﺎﺏ ﺍﳌﺒﻄﻼﺕ‬
Syarat-syarat shalat ada 8:
1. Suci dari dua hadats.
2. Suci dari najis baik pada pakaian, badan atau tempat
shalatnya.
3. Menutup aurat.
4. Menghadap kiblat.
5. Masuknya waktu.
6. Mengetahui kefardluan shalat.
7. Tidak meyakini salah satu rukun sebagai hal yang sunnah.
8. Menjauhi hal-hal yang membatalkan shalat.

Penjelasan:
1. Suci dari dua hadats.
Orang yang hendak melaksanakan shalat harus suci dari 2
hadats, hadats kecil dan hadats besar. Apabila seseorang
111
shalat tanpa bersuci maka shalatnya tidak sah, walaupun
dalam keadaan lupa.
Hadats kecil adalah sesuatu yang menyebabkan orang wajib
untuk berwudhu.
Hadats besar adalah sesuatu yang menyebabkan orang wajib
untuk mandi wajib.
Suci dari hadats besar dan kecil adalah syarat sahnya shalat
kecuali pada dua keadaan:
a. Bagi orang yang selalu keluar hadats (beser atau
istihadhoh), sah shalatnya dan tidak wajib mengqodho
shalat dengan syarat dan tata cara yang sudah dijelaskan
pada bab sebelumnya.
b. Bagi seseorang yang tidak memiliki air atau debu untuk
bersuci. Maka tetap wajib shalat (lihurmatil waqti yaitu
shalat menghormati waktu) meskipun dalam keadaan
berhadats dan sah shalatnya tetapi wajib mengqodho
shalatnya.¹

2. Suci dari najis baik pada pakaian, badan atau tempat


shalatnya.

 Tidak sah orang yang shalat apabila terdapat najis pada


pakaian, badan atau tempat shalatnya. Yang dimaksud
dengan pakaian shalat yang harus suci adalah kita yakin
pakaian yang dipakai adalah suci, bedasarkan keyakinan kita,
dan semua yang bersambung atau dibawa oleh pakaian
tersebut. Seperti: dompet, kunci, sapu tangan dan semua
yang bersambung dengan pakaian kita. Contoh: ada benang
yang menempel pada pakaian kita, dan ujung benang
112
tersebut bersentuhan dengan najis, maka tidak sah
shalatnya karena benang tersebut juga termasuk dari
pakaian yang diharuskan dalam keadaan suci.

 Yang dimaksud dengan badan orang yang shalat adalah


dzohir badan kita (badan bagian luar seperti kulit).

 Yang dimaksud dengan tempat shalat adalah semua tempat


yang bersentuhan dengan badan atau pakaian yang sedang
melaksanakan shalat. Contoh, tempat yang disentuh
anggota sujud, yaitu dahi, 2 telapak tangan, dua lutut dan 2
kaki maka semuanya yang bersentuhan dengan ketujuh
anggota tersebut harus bersih dari najis. Jika ada najis pada
tempat antara lutut dan dahi seperti kotoran cecak, selama
tidak menyentuh badan dan pakaian kita maka tidak
mengapa.

Permasalahan:

 Hukum orang yang shalat dengan pakaian atau badan, atau


tempat yang terkena najis karena lupa adalah tidak sah dan
harus diulang.
 Jika terdapat darah atau nanah pada luka pada orang yang
melaksanakan shalat maka diperinci menjadi:
a. Jika darahnya tidak tampak oleh mata (sangat sedikit)
maka dimaafkan.
b. Jika darahnya tampak oleh mata akan tetapi sedikit maka
dimaafkan (ukuran banyak dan sedikit adalah banyak
perbedaan pendapat, akan tetapi menurut mu’tamad
(pendapat yang kuat) jika seukuran dengan uang logam,
113
atau ± 4 cm maka dimaafkan, jika lebih dari itu maka
berarti banyak dan tidak dimaafkan).
c. Tidak berpindah dari tempat asalnya keluar. Jika berpindah
dari tempat asalnya apabila sedikit dimaafkan, apabila
banyak maka tidak dimaafkan. Contoh: orang yang terluka
kepalanya kemudian darahnya menetes ke kaki sedikit,
maka dimaafkan. Apabila tetesannya banyak maka batal
shalatnya. Namun apabila darah yang di kepala itu
mengalir (tidak menetes) sampai ke kaki dengan
sendirinya maka dimaafkan meskipun banyak, dengan
syarat darahnya tidak mengalir mengenai pakaian yang
dipakai.

3. Menutup Aurat.
Tidak sah shalat orang yang terbuka auratnya. Aurat dalam
Islam diperinci menjadi:

 Aurat laki-laki.
a. Jika sendirian auratnya adalah qubul (kemaluan depan)
dan dubur (kemaluan belakang). Hukumnya boleh
membuka aurotnya ketika sendirian karena suatu
keperluan, seperti mandi.
b. Jika didalam shalat, di depan laki-laki lain dan wanita yang
mahrom adalah menutupi antara pusar hingga lutut
(bagian pusar dan lutut harus ditutup).
c. Jika didepan istri maka tidak ada aurat. Maka boleh
membukanya.

114
 Aurat Wanita.
a. Ketika sendirian, di depan wanita lain (muslimah) atau di
depan laki-laki yang mahromnya maka auratnya adalah
menutup bagian yang ada diantara pusar dan lututnya.
b. Jika di depan wanita kafir atau fasik maka auratnya
adalah yang tidak tampak ketika mengerjakan pekerjaan
sehari-hari. Berarti yang bukan aurat adalah: kepala,
leher, wajah, kedua tangan hingga lengan dan kedua kaki
hingga lutut.
c. Ketika melaksanakan shalat auratnya adalah seluruh
badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
d. Di depan laki-laki yang bukan mahrom adalah semua
badannya tanpa terkecuali, seluruhnya aurat, akan tetapi
ada pendapat yang mengatakan bahwa auratnya adalah
selain wajah dan dua tangan dengan syarat aman dari
fitnah dan tidak berhias.
e. Di depan suami tidak ada aurat, boleh suami meliat
seluruh tubuhnya tetapi makruh melihat kemaluannya.

Permasalahan:

 Jika pada saat melaksanakan shalat tiba-tiba auratnya


terbuka, maka hukumnya adalah:
a. Jika segera ditutup maka tidak batal shalatnya.
b. Jika terlalu lama (waktu yang cukup untuk menutup aurat
tetapi dia tidak segera menutupnya) maka batal
shalatnya, walaupun terbuka tanpa sengaja.

115
4. Menghadap Kiblat.

Wajib menghadap Ka’bah, adakalanya dengan yakin apabila


tidak ada penghalang antara dia dengan Ka’bah (berada di
dalam Masjidil Haram). Apabila ada penghalang (di luar
Masjidil Haram), maka boleh dengan perkiraan (yang
berdasarkan ilmu falak tentang arah Kiblat atau dengan
kompas).

Permasalahan:

 Bagaimana cara menghadap Kiblat?


a. Jika shalatnya dalam keadaan berdiri atau duduk, maka
harus menghadap Kiblat dengan dada.
b. Jika shalatnya berbaring/miring (ke arah kanan atau kiri),
maka harus menghadap Kiblat dengan wajah dan
dadanya.
c. Jika shalatnya dalam keadaan terlentang, maka wajib
menghadap Kiblat dengan wajah dan kedua telapak
kakinya.

 Boleh shalat tidak menghadap Kiblat dalam 2 keadaan:


a. Shalat dalam keadaan darurat (seperti dalam keadaan
perang)¸ atau dalam keadaan terikat tidak menghadap
Kiblat.
b. Shalat dalam perjalanan, baik jauh maupun dekat.

116
- Apabila berjalan kaki maka wajib menghadap Kiblat
dalam 4 rukun yaitu: Takbiratul Ihram, ruku’, sujud, dan
duduk diantara dua sujud.
- Apabila naik kendaraan, maka wajib menghadap Kiblat
pada saat Takbiratul Ihram jika mudah dilakukan. Jika
sulit maka tidak ada kewajiban secara mutlak. Jadi yang
menjadi Kiblatnya adalah arah tujuannya, maka tidak
boleh berpaling dari arah tujuannya kecuali ke arah
Kiblat aslinya. Dan jika berpaling dengan sengaja dan
mengetahui hukumnya batal shalatnya.

 Apabila ia shalat dalam keadaan terlentang, maka wajib


baginya menghadap ke arah Kiblat dengan wajah dan kedua
telapak kakinya. Oleh karena itu jika ia menolehkan
wajahnya tatkala salam (sebelum salam), maka shalatnya
menjadi batal, karena wajah sebagai pengganti dari dada
yang harus menghadap Kiblat.²

 Bagaimana tahapan mengetahui Kiblat?


1. Dengan yakin, contoh melihat Ka’bah secara langsung.
2. Ada orang yang memberi kabar tentang arah Kiblat.
3. Ijtihad dengan alat penunjuk arah (kompas).
4. Taqlid kepada orang yang berijtihad, jika tidak mampu
melakukan ijtihad sendiri, atau dengan meniru arah
mihrob masjid-masjid yang ada di sekitarnya.

117
5. Masuknya Waktu.

Tidak sah shalat apabila dilakukan sebelum masuk waktunya.


Cara untuk mengetahui masuknya waktu adalah sebagai
berikut:
a. Mengetahui masuknya waktu dengan yakin. Misalnya
melihat terbenamnya matahari.
b. Adanya orang yang memberi kabar masuknya waktu yang
mana diketahui dengan tanda-tanda yang sudah ada (orang
yang memberitahu melihat terbenamnya matahari).
c. Mengetahui dengan menggunakan jam yang tepat, atau
mendengar suara adzan dari muadzin yang dapat dipercaya.
d. Mengetahui masuknya waktu dengan berijtihad. Contoh ia
dalam hutan yang rimbun, atau penjara bawah tanah. Ia
berijtihad dengan pekerjaan yang ia lakukan, misalnya ia
biasa membaca 3 juz al qur’an setelah dhuhur masuk waktu
asar. Maka ia boleh memutuskan dengan masuknya waktu
asar setelah membaca 3 juz al qur’an.
e. Bertaqlid (mengikuti) dengan orang lain yang sudah
melakukan ijtihad.
Permasalahan:

 Jika seseorang melaksanakan shalat tanpa mengetahui


dengan masuknya waktu shalat atau belum, dan ia tidak
berusaha untuk mengetahuinya dengan cara berijtihad maka
shalatnya tidak sah walaupun ternyata shalat yang ia
lakukan tepat dalam waktunya, karena ia tidak pasti atau
ragu dalam niat shalatnya.³

118
 Jika shalatnya dengan ijtihad, kemudian ternyata shalatnya
terjadi di luar waktu, maka hukumnya dapat diperinci
menjadi:
a. Jika shalatnya terjadi sebelum masuk waktu shalat, maka
shalat tersebut menjadi qadha’ jika memiliki tanggungan
(hutang) shalat, jika tidak memiliki tanggungan maka
menjadi shalat sunnah mutlaq dan mendapat pahala
karena ia berijtihad terlebih dahulu.
b. Jika shalatnya terjadi setelah keluar dari waktunya maka
menjadi qadha’ dari shalat tersebut.⁴

6. Mengetahui Kefardluan Shalat.


Mengetahui bahwa shalat yang akan dilakukannya itu adalah
hukumnya fardlu (wajib). Apabila ia tidak mengetahui atau
menganggap shalat yang lima waktu itu adalah sunnah, maka
shalatnya tidak sah.
7. Tidak meyakini salah satu rukun sebagai hal yang sunnah.
Yaitu yakin dengan semua rukunnya shalat adalah sebagai
sesuatu yang wajib, dan tidak meyakini sebagai sesuatu yang
sunnah. Apabila ia meyakini salah satu dari rukun shalat
adalah sunnah maka shalatnya tidak sah. Contoh: ruku’ adalah
rukun shalat, apabila kita meyakini ruku’ adalah bukan wajib,
maka shalat kita tidak sah.
Permasalahan:
a. Jika ia meyakini semua pekerjaan shalat, baik yang rukun
atau yang sunnah dianggap rukun semuanya maka hukum
shalatnya sah.
119
b. Jika ia meyakini semua pekerjaan shalat adalah pekerjaan
sunnah, maka hukum shalatnya tidak sah.
c. Jika ia meyakini sebagian pekerjaan shalatnya ada yang
wajib ada yang sunnah, dan ia tidak bisa membedakannya,
maka shalatnya sah.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Kitab Shalat, Hal 362.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Kitab Shalat, Hal 365.
3. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat, Hal 205 .
4. Fiqih Sistematis (Terjemah Kitab at-Taqrirat al-Sadidah fil
Masail Mufidah, Karya Sayyid Hasan bin Ahmad Al Kaaf, Bab:
Shalat, Hal: 159.

120
‫‪BAB 30‬‬

‫‪RUKUN-RUKUN SHALAT‬‬

‫ﺃﺭﻛﺎﻥﺍﻟﺼﻼﺓ ﺳﺒﻌﺔ ﻋﺸﺮ‪ :‬ﺍﻷﻭﻝ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲﺗﻜﺒﱹﺓ ﺍﻹﺣﺮﺍﻡ‬


‫ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺎﺩﺭ ﻓﻰ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﺍﻟﺮﺑﻊ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﳋﻤﺲ‬
‫ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﺍﻟﺴﺎﺩﺱ ﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﺍﻹﻋﺘﺪﺍﻝ ﺍﻟﺜﺎﻣﻦ ﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ‬
‫ﺍﻟﺘﺎﺳﻊ ﺍﻟﺴﺠﻮﺩ ﻣﺮﺗﱺ ﺍﻟﻌﺎﺷﺮﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻓﻴﻪ ﺍﳊﺎﺩﻋﺸﺮ ﺍﳉﻠﻮﺱ ﺑﱺ‬
‫ﺍﻟﺴﺠﺪ ﺗﱺ ﺍﻟﺜﺎﻧﻰﻋﺸﺮ ﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻋﺸﺮ ﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺍﻷﺧﱹ‬
‫ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻋﺸﺮﺍﻟﻘﻌﻮﺩ ﻓﻴﻪ ﺍﳋﺎﻣﺲﻋﺸﺮ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺴﺎﺩﺱﻋﺸﺮ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻋﺸﺮ ﺍﻟﺘﺮﺗﻴﺐ‪۰‬‬

‫‪Rukun-rukun shalat ada 17:‬‬


‫‪1. Niat.‬‬
‫‪2. Takbiratul ihram.‬‬
‫‪3. Berdiri bagi orang yang mampu dalam shalat fardhu.‬‬
‫‪4. Membaca Surat Al Fatihah.‬‬
‫‪5. Ruku’.‬‬
‫‪6. Tuma’ninah dalam ruku’.‬‬
‫‪7. I’tidal (berdiri tegak setelah ruku’).‬‬
‫‪8. Tuma’ninah dalam i’tidal.‬‬
‫‪9. Sujud dua kali.‬‬
‫‪121‬‬
10. Tuma’ninah dalam sujud.
11. Duduk diantara dua sujud.
12. Tuma’ninah dalam duduk.
13. Melaksanakan Tasyahud akhir.
14. Duduk untuk membaca Tasyahud.
15. Membaca sholawat kepada Nabi saw. dalam tasyahud
akhir.
16. Salam.
17. Tertib.

Penjelasan:
1. Niat.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Dan melafadzkan niat
hukumnya sunnah.
Waktunya adalah bersamaan ketika bertakbir, ketika lisan
mengucapkan takbiratul ihram.
Batasannya adalah dimulai pada huruf “alif” pada lafadz Allah
dan berakhir pada huruf “ro” pada lafadz Akbar. Jadi ketika

lisan mengucapkan ‫ﺍﻛﺒﺮ‬ ‫ﺍﷲ‬ maka hati melintaskan niat shalat

yang akan dilakukan. Jika melaksanakan niat sebelum atau


setelah mengucapkan takbiratul ihrom maka shalatnya
dihukumi tidak sah.

 Tingkatan Niat.

Niat dalam shalat ada 3 tingkatan:

122
a. Jika shalat Fardhu maka wajib maka yang wajib dilintaskan
dalam niat shalat kita ada 3 hal, yaitu bermaksud
mengerjakan shalat ( ‫) ﺃﺻﻠﻲ‬, menentukan jenis shalatnya
(dhuhur, asar, dan lain-lain), dan menyebutkan
kefardhuannya.
Contoh: ‫ﺃﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ‬
Artinya: “Aku niat shalat fardhu Dhuhur”
Selebihnya adalah sunnah, kecuali apabila ma’muman maka

wajib menambahkan ‫ ﻣﺄﻣﻮﻣﺎ‬pada niatnya.

Begitu pula apabila niat mengqoshor shalat maka wajib pula


menambahkan ‫ﻗﺺﺭﺍ‬ (qosron) pada niatnya.

b. Jika shalat Sunnah yang mempunyai waktu khusus (contoh:


Dhuha, witir, dll), atau shalat sunnah yang dikerjakan karena
sebab (contoh: shalat Gerhana) maka wajib bermaksud
mengerjakan shalat ( ‫ﺃﺻﻠﻲ‬ ) dan menentukan jenis shalat

tersebut.

Contoh: ‫ﺃﺻﻠﻲ ﺍﻟﻀﺤﻰ‬


Artinya: “Aku niat shalat Dhuha.”
Adapun kata “sunnah” dan yang lainnya adalah hukumnya
sunnah.
c. Jika shalat sunnah mutlaq (shalat sunnah yang tidak terikat
dengan waktu dan sebab), maka dalam niatnya cukup
melintaskan bermaksud melakukan shalat.

123
Contoh: ‫ﺃﺻﻠﻲ‬
Artinya: “Saya niat shalat.”

Permasalahan:

 Apakah niat shalat wajib menggunakan bahasa Arab?


Perlu diketahui bahwa niat shalat tidak harus dilintaskan
dengan bahasa Arab, boleh dengan bahasa apapun yang
penting sesuai dengan arti niat yang sudah diterangkan di atas.
Contoh niat yang sempurna:
Jika yang dilakukan adalah shalat fardhu:

۰‫ﺃﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺭﺑﻊ ﺭﻛﻌﺎﺕ ﻣﺴﺘﻘﺒﻞ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﺃﺩﺍﺀ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬


Jika yang dilakukan adalah shalat sunnah:

‫ﺍﷲ ﺍﻛﺒﺮ‬۰‫ﺃﺻﻠﻲ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺭﻛﻌﺘﱺ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬


2. Takbiratul Ihram.

Takbiratul Ihram adalah takbir permulaan shalat, hukumnya


adalah wajib. Takbiratul Ihram mempunyai syarat-syarat yaitu:

a. Harus dilakukan ketika sedang berdiri pada shalat fardhu.


b. Takbir harus dengan bahasa Arab. Apabila bahasa selain
Arab maka tidak sah. Kecuali benar-benar tidak bisa
mengucapkannya seperti baru masuk Islam, maka boleh

124
mengucapkan dengan terjemahannya, tetapi tetap ia wajib
belajar mengucapkannya.
c. Harus menggunakan lafadz “Jalalah” . Yaitu lafadz ( ‫) ﺍﷲ‬.
d. Harus menggunakan lafadz “Akbar”.
e. Antara kedua lafadz ( Allah dan Akbar) harus tertib (urut).
Yaitu Allah dahulu baru kemudian Akbar, tidak boleh dibalik.
f. Tidak boleh memanjangkan “hamzah” pada lafadz Allah.
Seperti “Aaallaah”.
g. Tidak boleh memanjangkan “ba” pada lafadz Akbar. Seperti
“Allaahu Akbaar”.
h. Tidak boleh mentasydidkan “ba” pada lafadz Akbar. Seperti
“Allaahu Akabbar”.
i. Tidak boleh menambahkan “wawu” hidup atau mati antara
dua kata (Allah dan Akbar).
Seperti: “Allaahuw Akbar”, atau “Allaahuwakbar”.
j. Tidak boleh menambah “wawu” sebelum lafadz “Allah”.
Seperti: “Wallaahu Akbar”.
k. Tidak boleh berhenti antara lafadz Allah dan Akbar dengan
berhenti yang lama dan sebentar. Berhenti lama dengan
udzur masih diperbolehkan, misalnya punya penyakit
pernapasan.
Apabila berhenti dalam waktu sebentar tidak diperbolehkan
dan tidak sah takbiratul ihramnya apabila dilakukan dengan
sengaja berniat memutuskan takbir.
l. Seluruh huruf takbiratul ihram harus bisa didengar oleh
dirinya sendiri. Sama seperti rukun-rukun qouli yang lain.
m. Harus sudah masuk waktunya shalat, apabila
mengerjakan shalat yang berwaktu.
125
Contoh: melakukan shalat Dhuhur, takbiratul ihramnya
harus sudah masuk waktu Dhuhur, apabila belum masuk
waktu ia sudah bertakbir, maka takbirnya tidak sah, dengan
demikian maka shalatnya pun tidak sah.
n. Melakukan Takbiratul Ihram ketika menghadap Kiblat
(wajah dan dada).
o. Tidak merusak atau mengubah satu huruf dari huruf-huruf
Takbiratul Ihram.
Seperti: Huruf “kaf” pada lafadz Akbar jangan dibaca “qof”.
p. Mengakhirkan Takbiratul Ihram Makmum dari Takbiratul
Ihramnya Imam. Dengan arti makmum bertakbir setelah
Imam selesai mengucapkan Takbiratul Ihram. Kalau
bersamaan huruf “ro” makmum dengan Imam pada lafadz
Akbar, maka makmumnya tidak sah.

3. Berdiri bagi yang mampu didalam shalat fardhu.

Melaksanakan shalat dalam keadaan berdiri adalah wajib


hukumnya pada shalat fardhu. Adapun dalam shalat sunnah
boleh dilaksanakan dengan cara duduk walaupun ia mampu
berdiri, akan tetapi ia hanya mendapatkan setengah pahala
dari pahala shalat dalam keadaan berdiri.
Permasalahan:

 Kriteria yang bagaimana yang dapat memperbolehkan


seseorang shalat dalam keadaan tidak berdiri?
Seseorang tidak mampu untuk melaksanakan shalat dalam
keadaan berdiri adalah jika dia paksakan shalat dalam keadaan
berdiri maka ia akan mendapatkan kesulitan yang sangat dan
126
tidak dapat diatasi. Misalnya: apabila ia tetap paksakan shalat
dalam keadaan berdiri maka ia akan meninggal dunia, atau
bertambah parah sakitnya, atau akan lama sembuh
penyakitnya, atau akan tampak cacat pada anggota tubuh
yang dzohir atau sebagian dari badannya, dan lain-lain.
Kesimpulannya apabila ia paksakan shalat dalam keadaan
berdiri dia akan mengalami kesulitan yang tidak dapat
diatasinya, maka ia boleh melaksanakan shalat fardhu dalam
keadaan tidak berdiri.

 Bagaimana Cara shalat orang yang tidak mampu untuk


berdiri?
Urutan langkah untuk seseorang yang tidak mampu shalat
fardhu dengan cara berdiri adalah: ¹
1. Melaksanakan shalat dengan cara berdiri semampunya
walaupun dengan cara membungkukkan badan atau dengan
cara bertumpu pada kedua lututnya.
2. Jika tidak mampu maka ia melaksanakan shalat dengan cara
duduk, dan yang paling afdhol duduknya adalah dengan
cara duduk iftirosy (duduk ketika tasyahud awal). Dan
apabila tidak sanggup boleh baginya duduk tawarruk
(duduk yang disunnahkan ketika tasyahud akhir), boleh juga
dengan duduk bersila, dan lain-lain.
3. Jika tidak mampu maka ia shalat dengan cara berbaring, dan
yang utama berbaring ke arah kanan dari pada ke arah kiri.
Jika ia melaksanakan shalat dengan cara berbaring maka dia
menghadap ke arah kiblat dengan permukaan badannya.
Dan melakukan ruku’ dan sujud semampunya.

127
4. Jika tidak mampu maka shalat dengan cara terlentang, dan
melaksanakan rukun-rukun shalatnya (ruku’, sujud, dll)
dengan isyarat kepala. Misalnya: ketika ruku’ ia angkat
kepalanya kedepan sedikit, dan ketika sujud lebih diangkat
lagi kepalanya lebih dari pada ketika ruku’.
Dan ketika melaksanakan shalat dengan cara terlentang
maka cara menghadap kiblatnya adalah dengan wajah dan
kedua tepalak kakinya. Oleh karena itu dibawah kepalanya
kita letakkan sesuatu seperti bantal atau yang lain sehingga
kepalanya terangkat dan wajahnya menghadap kiblat.
5. Jika tidak mampu maka ia shalat dengan isyarat mata,
misalnya ketika ia berdiri membaca Fatihah denga isyarat
matanya mengangkat ke atas, lalu ketika ruku’ agak
diarahkan ke bawah, dan ketika sujud pandangannya lebih
di ke bawah lagi.
6. Jika tidak mampu juga maka ia melaksanakan shalat dengan
hatinya, yaitu dengan cara melintaskan semua rukun-rukun
shalat tersebut dalam hatinya. Misalnya: ia melintaskan
dalam hatinya sedang berdiri membaca Fatihah, lalu ruku,
kemudian i’tidal dan seterusnya.

4. Membaca Surat al Fatihah.


Membaca Fatihah ada syarat-syaratnya, diantaranya:
a. Tertib. Yaitu dari ayat satu sampai selesai dibaca sesuai

urutan ayat-ayatnya. Dari ‫ﺍﳊﻤﺪ ﷲ‬ sampai ‫ﻭﻻﺍﻟﻀﺎﻟﱺ‬


dibaca urut.

128
b. Berturut-turut. Masing-masing ayatnya dibaca secara
bersambung, tidak putus-putus dengan waktu yang lama.
c. Menjaga huruf-hurufnya. Yaitu menjaga makhroj (tempat

keluarnya huruf pada lisan. Contoh huruf “‫ “ﺱ‬harus

berbeda dengan huruf “‫ ” ﺙ‬atau “‫” ﺵ‬.

d. Menjaga tasydid-tasydidnya. Yaitu benar-benar


mentasydidkan huruf yang ditasydid dengan pembacaan
yang benar.
e. Tidak boleh diam terlalu lama.
f. Tidak boleh diam sebentar dengan maksud memotong
bacaan Fatihah.
g. Membaca seluruh ayat-ayatnya, dan sebagian dari ayat-
ayatnya yaitu Basmalah. Jadi Basmalah termasuk ayat dari
surat Fatihah, apabila tidak dibaca maka shalatnya batal.
h. Tidak boleh ada bacaan yang tidak tepat yang bisa merusak
makna (arti) Fatihah. Contoh: ketika membaca ‘aalamiin
dibaca menggunakan ‘ain. Apabila menggunakan hamzah
menjadi aalamiin maka artinya berbeda, dan dapat
membatalkan shalat.
i. Fatihah dibaca ketika berdiri pada shalat fardhu.
j. Harus dapat di dengar oleh dirinya sendiri dan tidak dipisah
oleh dzikir lain.

Permasalahan:

 Apakah Basmalah termasuk ayat dari Surat Fatihah? Ya.


Basmalah termasuk ayat dalam surat al Fatihah. Imam 4

129
madzhab sepakat bahwa Basmalah termasuk ayat dari surat
al Fatihah. Namu pengucapannya ada perbedaan antara 4
Imam Madzhab, ada yang dibaca sirr (rahasia/tidak
terdengar makmum) ada yang Jahr (keras).
Imam Syafi’i memilih mengeraskan bacaan basmalah pada
shalat fardhu dan beberapa shalat yang disunnahkan untuk
mengeraskan bacaannya.

5. Ruku’.
Ruku’ dalam bahasa arab adalam membungkuk, sedangkan
menurut syari’at adalah gerakan shalat dengan
membungkukkan badannya sekiranya kedua telapak
tangannya dapat menyentuh kedua lututnya.

 Syarat-syarat Ruku’:

1. Rukun sebelumnya sudah dianggap sah (membaca al Fatihah


dan berdirinya). Jika ia ragu sah atau tidaknya maka ia wajib
mengulangi bacaan fatihahnya.
2. Melakukan ruku’ dengan tujuan sengaja untuk
melaksanakan ruku’, bukan untuk yang lain. Misalnya: ada
lemparan batu, atau binatang terbang kearahnya lalu ia
menunduk lalu dengan menunduknya itu ia sekalian akan
ruku’, maka ruku’nya tidak sah, dan harus kembali berdiri
untuk melakukan ruku’ yang sebenarnya sebagai rukun
shalat (tanpa membatalkan shalat).
3. Thuma’ninah (diamnya semua anggota badan pada

tempatnya dengan kadar lamanya adalah bacaan ‫)ﺳﺒﺤﺎﻥﺍﷲ‬.

130
4. Membungkukkan badannya sekiranya kedua tangannya
dapat menggapai kedua lututnya. Walaupun dia tidak benar-
benar meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya.
5. Melaksanakan ruku’ tanpa inhinas (menundukkan pantatnya
dan mengangkat kepalanya serta membusungkan dadanya).
Apabila dilakukannya dengan sengaja dan tahu hukumnya
maka batal shalatnya.

6. Thuma’ninah dalam ruku’.

Sudah dijelaskan di atas bahwa thuma’ninah adalah diamnya


semua anggota badan pada tempatnya dengan kadar lamanya

adalah bacaan ‫ﺳﺒﺤﺎﻥﺍﷲ‬ .

7. I’tidal.

I’tidal dalam bahasa arab berarti lurus dan tegak, sedangkan


menurut arti syar’i adalah kembalinya seseorang yang
melaksanakan shalat kepada keadaan sebelum ia ruku’
(berdiri). Dan i’tidal termasuk rukun pendek.

 Syarat-syarat I’tidal:

1. Rukun sebelumnya diyakini sudah sah (ruku’).


2. Bertujuan sengaja untuk melaksanakan i’tidal, bukan tujuan
lainnya.
3. Harus thuma’ninah dalam i’tidalnya.

131
4. Melaksanakan i’tidal dengan badan tegak, dengan
menegakkan punggungnya seperti ketika berdiri (kecuali
mempunyai penyakit bungkuk atau cacat).
5. Tidak memanjangkan i’tidak melebihi kadar waktu untuk
membaca doa yang disunnahkan. Batas panjangnya adalah
selama ia membaca doa yang disunnahkan ditambah al
Fatihah, apabila ia melebihi batas waktu tersebut maka
batal shalatnya, kecuali i’tidal pada akhir rakaat dari shalat-
shalat fardhu, karena itu adalah tempatnya qunut (subuh,
witir, atau nazilah).²

8. Thuma’ninah dalam I’tidal.

9. Sujud Dua Kali.

Sujud menurut bahasa adalah merendahkan diri dan condong.


Sedangkan menurut syar’i adalah meletakkan dahi diatas
tempat sujud.
 Syarat sahnya sujud:

1. Rukun sebelumnya diyakini sudah sah.


2. Bertujuan sengaja untuk melaksanakan sujud, bukan tujuan
lainnya.
3. Thuma’ninah dalam sujud.
4. Melaksanakan sujud dengan tujuh anggota badan, yaitu:
Dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua telapak kaki.
5. Ketika sujud dahinya dalam keadaan terbuka. Tidak sah
sujud apabila semua bagian dahi tertutup, apabila ada

132
sebagian dahinya yang terbuka walaupun sedikit dan
mengenai tempat sujud maka sah sujudnya.
6. Tidak sujud diatas benda yang bergerak dengan gerakannya.
Seperti peci yang menutupi dahinya, atau ketika ia sujud
diatas rida’ (selendang surban) yang ia pakai atau sujud
diatas lengan bajunya karena terlalu lebar. Lain halnya
ketika akan sujud ia melepaskan rida’nya dan meletakkan
ditempat sujudnya, lalu ia sujud dengannya maka sah
sujudnya.
7. Melaksanakan sujud dengan bagian belakang (pantat) lebih
tinggi dari bagian depan (kepala dan bahunya). Maka tidak
sah apabila sujud dalam keadaan datar rata antara
pinggang, kepala dan bahunya, kecuali ia tidak mampu
melakukannya dengan sempurna maka tiada mengapa,
seperti bagi wanita hamil, atau orang yang sakit mata.
8. Ketika sujud hendaknya agak menekankan dahinya sedikit,
sekiranya jika ia sujud diatas kapas yang mengembang akan
kempes karena sujudnya tersebut. Jadi tidak cukup hanya
menempelkan dahinya diatas tempat sujud saja, namun
agak ditekan sedikit.

Permasalahan:

 Apabila di dahinya terdapat luka dan diperban maka


sujudnya sah, dan tidak wajib mengqadha shalatnya.³

10. Thuma’ninah dalam sujud.

133
11. Duduk diantara dua Sujud.
Duduk diantara dua sujud adalah merupakan salah satu dari
rukun pendek dalam shalat seperti halnya i’tidal.

 Syarat-syarat duduk diantara dua sujud: ⁴

1. Rukun sebelulmnya diyakini sudah sah.


2. Bertujuan sengaja untuk melaksanakan duduk diantara
dua sujud, bukan tujuan lainnya.
3. Melaksanakan thuma’ninah didalamnya.
4. Melaksanakan rukunnya dalam keadaan duduk dengan
sempurna. Maka tidak sah jika ia melaksanakan dalam
keadaan tidak duduk dengan sempurna seperti agak
membungkuk padahal ia sehat, dan lain sebagainya.
5. Tidak memanjangkan waktu melaksanakan duduk diantara
dua sujud lebih dari lamanya waktu membaca doa yang
disunnahkan ditambah dengan kadar waktu membaca
sedikitnya tasyahud. Misalnya membaca doa dan
sedikitnya tasyahud adalah 30 detik, maka apabila lebih
dari 30 detik maka batal shalatnya jika dilakukan dengan
sengaja dan tahu hukumnya (kecuali shalat tasbih).

12. Thuma’ninah dalam Duduk diantara dua Sujud.

13. Melaksanakan Tasyahud Akhir.


Rukun ini dinamakan tasyahud karena di dalamnya terdapat
dua kalimat syahadat.

134
 Syarat-syarat sahnya Tasyahud:

1. Rukun sebelumnya diyakini sudah sah.


2. Membaca tasyahud dengan bahasa arab. Kecuali jika tidak
mampu karena tidak hafal dan belum bisa membaca tullisan
arab, maka boleh membaca terjemahan paling sedikitnya
tasyahud.
3. Mengucapkan semua huruf-hurufnya.
4. Mengucapkan semua tasydid-tasydidnya.
5. Membaca semua tasyahud sesuai dengan makhrojnya.
6. Membacanya dalam keadaan duduk, maka tidak sah jika
membacanya ketika belum duduk dengan sempurna.
7. Dia mendengar bacaan tasyahud dengan dirinya sendiri
(melafadzkan). Karena termasuk rukun qouli, jadi tidak
cukup hanya di baca dalam hati atau menggerakkan mulut
tanpa suara.
8. Membacanya dengan tertib dalam kalimat-kalimatnya
(berurutan dari “attahiyyatul... sampai selesai).

Contoh sempurna kalimat tasyahud adalah sebagai berikut:

‫ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻚ‬٬ ‫ﺍﻟﺘﺤﻴﺎﺕ ﺍﻟﻤﺒﺎﺭﻛﺎﺕ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﻄﻴﺒﺎﺕ ﷲ‬


‫ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻭﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﷲ‬٬ ‫ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﷲ ﻭﺑﺭﻛﺎﺗﻪ‬
‫ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﱺ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﷲ ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻋﺒﺪﻩ‬
۰‫ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ‬
135
14. Duduk untuk Membaca Tasyahud.

Diantara rukun-rukun shalat adalah duduk untuk membaca


tasyahud yang akhir, maka tidak boleh membacanya dalam
keadaan tidak duduk.

15. Membaca Sholawat kepada Nabi saw. pada Tasyahud


Akhir.

Membaca sholawat kepada Rasulullah saw. pada tasyahud


akhir adalah termasuk dalam rukun shalat. Dan syarat
membaca sholawat kepada Rasulullah saw. sama seperti
syarat membaca tasyahud dan paling sedikitnya sholawat
adalah:

۰‫ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ‬


Dan paling sempurnanya adalah membaca sholawat
ibrahimiyyah.

16. Mengucapkan Salam.

Salam dalam shalat diucapkan sebanyak dua kali, akan tetapi


yang rukun di dalam shalat adalah salam yang pertama,
sedangkan salam yang kedua hukumnya sunnah.
Jadi apabila seseorang setelah salam yang pertama sebelum
salam yang kedua batal wudhunya karena berhadats atau
yang lain maka hukum shalatnya sah.
Paling sedikitnya salam adalah :
136
۰ ‫ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ‬
 Syarat-syarat mengucapkan salam:
1. Membacanya dengan lafadz ‫ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ‬
2. Tidak boleh dengan lafadz ‫ ﺳﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ‬.

3. Harus dengan lafadz ‫ ﻋﻠﻴﻜﻢ‬tidak boleh dengan lafadz

‫ ﻋﻠﻴﻬﻢ‬atau ‫ ﻋﻠﻴﻚ‬atau ‫ ﻋﻠﻴﻜﻤﺎ‬.


4. Membaca dua kalimat salam itu secara langsung tanpa
berhenti antara keduanya. Andaikata berhenti karena
batuk atau yang lainnya maka harus diulang salamnya.
5. Mengucapkan salam dalam keadaan menghadap kiblat
dengan dadanya. Maka tidak sah jika mengucapkannya
sudah tidak menghadap kiblat.
6. Mengucapkannya dalam keadaan duduk.
7. Mengucapkannya dengan suara dilafadzkan, tidak sah jika
salam dalam hati saja. Karena salam termasuk rukun Qouli.
8. Harus dengan bahasa Arab. Tidak boleh dengan bahasa
lain.

17. Tertib.
Yaitu melakukan setiap rukun shalat, baik berupa perkataan
atau perbuatan pada waktu dan tempatnya sesuai tuntunan
syari’at.



137
Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Rurun-rukun Shalat, Hal
228.
2. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Rurun-rukun Shalat, Hal
246.
3. Terjemah Kifayatul Akhyar, karya Imam Taqiyuddin Abu
Bakar bin Muhammad Al Husaini, Bab Rukun-rukun shalat,
Hal: 244.
4. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Rurun-rukun Shalat, Hal
256.

138
BAB 31

SUNNAH-SUNNAH DALAM SHALAT¹

A. Sunnah-sunnah sebelum shalat:


1. Adzan.
2. Iqomah.
3. Berdiri tegak.
4. Merenggangkan kedua kaki.
5. Jarak renggangnya sejengkal.
6. Menatap ketempat sujud (pandangan mata).
7. Menundukkan kepala sedikit.
8. Bersiwak dan memakai minyak wangi.
9. Bagi pria menggunakan baju Gamis (baju muslim yang
panjang sampai mata kaki).
10. Mengenakan rida’ (selendang surban diatas pundak).
11. Mengenakan kopiyah.
12. Mengenakan imamah (surban yang dililitkan di kepala).
13. Mengucapkan ‫ﺃﻋﻮﺫ ﺑﺎﷲ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺍﻟﺮﺟﻴﻢ‬ sebelum

masuk shalat.
14. Membaca Surat “an-Naas” sebelum masuk shalat.
15. Melafadzkan niat (mengucapkan niat dengan suara).

16. Menyebut jumlah rokaat ( ‫ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ‬/ ‫) ﺛﻼﺙﺭﻛﻌﺎﺕ‬.


17. Berniat menghadap kiblat ( ‫ﻣﺴﺘﻘﺒﻞﺍﻟﻘﺒﻠﺔ‬ ).

139
18. Mengucapkan “lillaahi ta’aala”.
19. Mengucapkan “adaa-an” atau “qodhoo-an”.
20. Niat menjadi Imam bagi shalat selain: Shalat Jum’at, shalat
yang diulang, shalat yang dinadzarkan berjamaah, dan
shalat jama’ taqdim karena hujan, karena niat imam pada
4 tempat ini adalah wajib.

B. Sunnah-sunnah Takbiratul Ihrom:

21. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram.


22. Tangan diangkat sejajar dengan bahu (tidak didepan atau
terlalu ke belakang).
23. Dibaca Jahr (bersuara) bagi imam.
24. Takbiratul ihrom dibaca sedang-sedang saja, tidak terlalu
pendek atau panjang.
25. Kedua tangan terbuka (bukan menggenggam).
26. Kedua tangan menghadap ke arah kiblat.
27. Merenggangkan kedua jari-jari tangan.
28. Kedua ibu jari sejajar dengan kedua bagian bawah telinga.
29. Ujung-ujung jari yang lainnya mengarah ke bagian atas
telinga.
30. Seluruh jarinya agak ditekuk (seperti cakar macan).
31. Menyudahi pengangkatan tangan seiring berakhirnya
takbir.
32. Menurunkan kedua tangan dengan pelan-pelan.
33. Meletakkan kedua tangan dibawah dada dan diatas pusar.
34. Meletakkan kedua tangan bersamaan, miring sedikit ke
arah kiri.
35. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.
140
36. Merenggangkan jari-jari tangan kanan di atas lengan kiri.
37. Jari telunjuk dan jari tengah direnggangkan.
38. Tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri.
39. Pergelangan tangan kiri digenggam oleh ibu jari, jari manis
dan kelingking tangan kanan.
40. Menggenggam awal lengan (dibawah pergelangan).

C. Sunnah-sunnah dalam keadaan berdiri:

41. Selalu memandang pada tempat sujud selama shalat,


kecuali pada saat tasyahud ketika mengucapkan “illallaah”
pandangan mata beralih kepada jari telunjuk sampai akhir
tasyahud (baik tasyahud pertama atau terakhir).
42. Diam sejenak setelah takbiratul ihrom (seukuran bacaan
Subhanallaah).
43. Membaca doa iftitah.
44. Doa iftitah di baca dengan sirr (perlahan tak terdengar).
45. Membaca ta’awwudz.
46. Diam sejenak antara doa iftitah dan ta’awwudz.
47. Dibaca secara sirr.
48. Diam sejenak antara ta’awwudz dan Surat al Fatihah.
49. Menyambung Bismillah dan Hamdalah dalam membaca
Surat al Fatihah.
50. Diam sejenak antara akhir surat al Fatihah ( ‫ﺍﻟﻀﺎﻟﻴﻦ‬ ‫ﻭﻻ‬ )

dan Aamiin.
51. Mengucapkan “Aamiin” setelah membaca Surat al Fatihah.
52. Meringankan (tidak ditekan) huruf “mim” ketika
mengucapkan “Aamiin”.
141
53. Makmum berusaha membarengi Imam ketika
mengucapkan “aamiin” (tidak mendahului).
54. Mengucapkan ( ‫) ﺭﺏ ﺍﻏﻔﺮﻟﻲ ﻭﻟﻮﺍﻟﺪﻱ ﻭﻟﺠﻤﻴﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﱺ‬
setelah mengucapkan ( ‫ﺍﻟﻀﺎﻟﻴﻦ‬ ‫) ﻭﻻ‬.
55. Diam sejenak antara aamiin dan membaca Surat (sunnah).
56. Memperpanjang diam bagi Imam antara Aamin dan
membaca Surat dalam shalat-shalat Jahr (Magrib, Isya’,
Subuh).
57. Membaca salah satu surat atau ayat dari al Qur’an setelah
al Fatihah.
58. Membaca tiga ayat atau lebih.
59. Menyimak bacaan imam bagi makmum.
60. Membaca surat dengan sempurna (satu surat) lebih utama
dari pada membaca sebagian.
61. Membaca Basmalah bagi yang memulai dipertengahan
surat kecuali surat al Bara’ah.
62. Bacaaan surat pada rakaat pertama lebih panjang dari
pada rakaat kedua.
63. Membacanya dengan Jahr pada shalat-shalat Jahr, kecuali
wanita apabila ada disekitarnya orang yang bukan
mahram.
64. Membaca surat-surat pendek pada shalat Maghrib.
65. Melakukan sujud tilawah ketika membaca ayat Sajdah.

142
D. Sunnah-sunnah dalam Ruku’:

66. Diam sejenak antara selesai membaca surat dan ruku’.


67. Mengucapkan takbir untuk ruku’.
68. Mengangkat kedua tangan ketika takbir.
69. Mulai mengangkat kedua tangannya ketika masih berdiri
(bukan seiringan dengan menyondongkan badan akan
ruku’).
70. Memperpanjang takbir sampai posisi ruku’ sempurna.
71. Hendaknya kepala, punggung dan leher ada pada satu
garis lurus (sejajar, bukan melengkung).
72. Menegakkan kedua kaki.
73. Meletakkan telapak tangan di kedua lututnya.
74. Merenggangkan jari-jarinya ketika meletakkan pada lutut
dengan ukuran renggang yang sedang.
75. Merenggangkan kedua kakinya seukuran satu jengkal.
76. Mengucapkan “subhaana robbiyal ‘adziim” sekali.
77. Sunnah yang utama dibaca 3 kali.

E. Sunnah-sunnah I’tidal:

78. Mengangkat kedua tangan ketika i’tidal (bangun dari


ruku’).
79. Hendaknya waktu mengangkat kedua tangan bersamaan
dengan permulaan mengangkat kepala.
80. Mengucapkan ‫ ﺳﻤﻊ ﺍﷲ ﳌﻦ ﺣﻤﺪﻩ‬.
81. Mengucapkannya seiring dengan mengangkat kepala.
82. Meluruskan kedua tangan ke bawah.
143
83. Membaca doa yang umum diajarkan Nabi saw dalam
i’tidal.
84. Mengucapkannya dengan sirr (perlahan).
85. Membaca doa qunut pada shalat subuh di i’tidal rakaat
kedua dan pada shalat witir pada 15 hari terakhir bulan
Ramadhan, dan pada saat-saat tertentu disunnahkannya
qunut.
86. Mengangkat kedua tangannya ketika membaca doa qunut.
87. Menghadapkan telapak tangannya ke arah atas.
88. Merapatkan kedua sisi telapak tangannya.
89. Pandangan mata tertuju pada kedua tekapak tangan.
90. Imam membaca dengan Jahr.
91. Makmum mengaminkan qunutnya imam.
92. Tidak sunnah mengusapkan tangan ke wajah ketika selesai
qunut.

F. Sunnah-sunnah Sujud:

93. Bertakbir ketika akan sujud.


94. Memperpanjang takbir hingga sampai ke tempat sujud.
95. Meletakkan hidung bersama dengan dahi.
96. Memperhatikan urutan ketika turun hendak sujud, yaitu
lutut dahulu lalu kedua tangan kemudian baru hidung dan
dahi.
97. Menghadapkan jari-jari ke arah kiblat dalam posisi sujud.
98. Merapatkan jari-jari kedua tangan.
99. Tidak menempelkan kedua hasta (lengannya) di atas
lantai.

144
100. Membuka kedua mata ketika sujud (Tidak memejamkan
mata ketika sujud).
101. Melebarkan kedua kaki (paha, betis dan lutut) seukuran
satu jengkal.
102. Menjauhkan kedua siku dalam posisi sujud dari badan
(laki-laki), apabila wanita merapatkan kedua sikunya
dengan badan.
103. Meletakkan kedua telapak tangan searah dengan kedua
bahu.
104. Kedua telapak kaki berdiri.
105. Jari-jari kaki menghadap kiblat.
106. Mengucapkan: ‫ ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺭﺑﻲ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﻭﺑﺤﻤﺪﻩ‬.
107. Dibaca 3 kali lebih utama.
108. Mengucapkan takbir ketika akan berpindah dari sujud ke
duduk diantara dua sujud.

G. Sunnah-sunnah duduk diantara dua sujud:

109. Takbir dimulai ketika permulaan mengangkat kepala dari


sujud.
110. Memanjangkan takbir sampai selesai duduk.
111. Duduk iftirosy (yaitu duduk dengan meletakkan kaki kiri
di bawah pantat, dan menegakkan telapak kaki kanan
serta mengarahkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat).
112. Meletakkan kedua tangan diatas paha.
113. Letak kedua tangannya diujung paha dekat lutut.
114. Menghadapkan ujung-ujung jari ke arah kiblat.
115. Merapatkan jari-jari tangan.
145
116. Membaca doa ketika duduk diantara dua sujud:

‫ﺭﺏ ﺍﻏﻔﺮﻟﻲ ﻭﺍﺭﺣﻤﻨﻲ ﻭﺍﺟﺒﺮﻧﻲ ﻭﺍﻓﻌﻨﻲ ﻭﺍﺭﺯﻗﻨﻲ ﻭﺍﻫﺪﻧﻲ ﻭﻋﺎﻓﻨﻲ‬


۰‫ﻭﺍﻋﻒﻋﻨﻲ‬
117. Melakukan duduk istirahat apabila setelah selesai sujud
yang kedua dan ingin berdiri melanjutkan rakaat.
118. Lama duduknya adalah sedurasi duduk antara dua sujud
yang paling pendek.
119. Bertumpu pada kedua tangannya ketika hendak berdiri.
120. Hendaknya tangannya terbuka ketika hendak berdiri dan
tidak mengepal.
121. Bertakbir ketika hendak berpindah menuju berdiri.

H. Sunnah-sunnah Tasyahud:

122. Duduk untuk tasyahud awal.


123. Meletakkan tangan kiri di atas paha kiri.
124. Merapatkan jari-jari tangan kiri.
125. Menghadapkan ujung jari tangan kiri ke arah kiblat.
126. Meletakkan tangan kanan di atas ujung lutut kanan.
127. Mengepalkan jari tangan kanan kecuali telunjuk dan
jempol.
128. Meletakkan jempol di bawah telunjuk.

129. Mengangkat telunjuk ketika mengucapkan “ ‫ﺇﻻ ﺍﷲ‬ “ .

130. Mengangkat telunjuk tanpa di gerak-gerakkan.


131. Membiarkan gerakan ini (no. 130) hingga keadaan
berdiri pada tasyahud awal.

146
132. Membiarkan gerakan ini (no. 130) hingga salam pada
tasyahud akhir.
133. Melihat ke arah telunjuk ketika mengangkatnya (baik
ketika tasyahud awal atau akhir).
134. Membaca tasyahud dengan sempurna, yaitu:

‫ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻳﻬﺎ‬٬ ‫ﺍﻟﺘﺤﻴﺎﺕ ﺍﳌﺒﺎﺭﻛﺎﺕ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﻄﻴﺒﺎﺕ ﷲ‬


‫ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﷲ‬
‫ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ‬٬ ‫ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻭﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﷲ ﺍﻟﺼﺎﳊﱺ‬٬ ‫ﻭﺑﺮﻛﺎﺗﻪ‬
‫ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﷲ‬
٠‫ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬

135. Bershalawat kepada Nabi saw setelah itu.


136. Besholawat kepada keluarga Nabi saw dalam sholawat
tersebut.
137. Duduk iftirosy dalam tasyahud (awal).
138. Bertakbir ketika berdiri.
139. Memanjangkan takbir sampai berdiri (dari tasyahud
awal).
140. Memulai takbirnya sejak duduk istirahat.
141. Mengangkat tangan ketika berdiri dari tasyahud awal.
142. Posisi pengangkatan, peletakan tangan sama seperti
ketika takbiratul ihram.

147
143. Disunnahkan duduk tawarruk (meletakkan telapak kaki
kiri ke bawah kaki kanan) dalam tasyahud akhir.
144. Membaca sholawat Ibrahimiyyah pada tasyahud akhir.
145. Berta’awwudz (minta perlindungan) dari yang empat
(azab neraka, azab kubur, fitnahnya hidup dan mati dan
fitnah Dajjal) pada tasyahud akhir.
146. Berdoa setelah tasyahud akhir.
147. Hendaknya dengan doa-doa yang diajarkan Nabis saw.

I. Sunnah-sunnah Salam:

148. Berpaling ke arah kanan pada salam yang pertama


sampai terlihat pipi kanannya
dari shaf belakangnya.
149. Mengucapkan salam yang ke dua.
150. Berpaling ke arah kiri pada salam yang kedua sampai
terlihat pipi kirinya dari shaf
belakangnya.
151. Membaca salam dengan sempurna.

٠ ‫ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻟﻴﻜﻢ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﷲ‬


152. Berturut-turut antara dua kalimat salam.
153. Memulai salam seraya dengan menghadap kiblat
(sebelumnya pandangan ke arah telunjuk), ketika ucapan
“kum” pada assalamu’alaikum.
154. Menghadap kiblat dengan wajah.
155. Diam sejenak antara dua salam (sedurasi ucapan
Subhanallah).
156. Mengusap dahinya setelah selesai salam.
148
157. Mengusap dengan tangan kanan.
158. Berdoa dan berdzikir setelah shalat.

 Sunnah-sunnah Ab’adh Shalat:

1. Tasyahud Awal.
2. Duduk pada tasyahud awal.
3. Membaca shalawat kepada Nabi saw. di dalam tasyahud
awal.
4. Membaca shalawat kepada keluarga Nabi saw. dalam
tasyahud akhir.
5. Membaca doa qunut.
6. Membaca shalawat dalam qunut.
7. Membaca salam kepada nabi saw., keluarga dan
sahabatnya di dalam qunut.

Selain sunnah-sunnah Ab’adh shalat di atas termasuk ke


dalam sunnah-sunnah Hai’at shalat (seperti mengangkat ke dua
tangan, membaca dzikir yang disunnahkan, dan lain-lain).
Barang siapa yang meninggalkan sunnah-sunnah ab’adh
shalat maka disunnahkan sujud sahwi.
Sunnah hai’at shalat adalah sunnah yang apabila
ditinggalkan tidak disunnahkan untuk sujud sahwi.



149
Keterangan Sumber Kitab:

1. Lima Ratus Sunnah yang terdapat dalam Shalat, karya al


Allamah al Habib Muhammad bin Alawy al Idrus.

150
BAB 32

MAKRUH-MAKRUHNYA SHALAT¹

 Makruhnya shalat ada banyak, diantaranya:

1. Shalat menahan buang air besar, buang air kencing dan


menahan keluarnya angin.
2. Berdiri dengan satu kaki ketika shalat.
3. Shalat dalam keadaan menahan rasa lapar, sedangkan
makanan sudah disediakan dan waktu shalat masih panjang.
4. Shalat dalam keadaan marah.
5. Shalat dalam keadaan mengantuk.
6. Shalat tidak memakain kopiyah (peci) atau baju bagi laki-laki.
7. Shalat memakai baju yang bergambar.
8. Shalat dengan menggunakan baju, celana atau sarung yang
terlalu panjang sehingga menempel ke lantai.
9. Tidak mengeraskan suara pada shalat jahriyyah (subuh,
magrib dan isya’) atau mengeraskan suara pada shalat
sirriyyah (dhuhur dan asar).
10. Menempelkan paha dengan perut ketika sujud bagi laki-
laki.
11. Meletakkan lengan tangan pada lantai ketika sujud.
12. Tidak menempelkan hidung ketika sujud.
13. Menoleh dengan cepat ketika salam.

151
14. Mendahulukan kedua tangan sebelum lututnya ketika
hendak sujud.
15. Tidak membaca surat pada dua rakaat yang pertama dalam
shalat.
16. Tidak membaca takbir ketika akan berpindah dari satu
rukun ke rukun yang lain.
17. Tidak membaca dzikir ketika ruku’, i’tidal, sujud dan seluruh
gerakan shalat yang disunnahkan untuk membaca dzikir.
18. Shalat dengan memandang ke atas.
19. Menoleh dengan wajah tanpa ada kepentingan (darurat).
20. Membunyikan persendian jari-jari tangan atau kaki.
21. Menempelkan kedua kaki ketika sujud.
22. Terlalu cepat dalam sujud.
23. Mengusap dahi setelah sujud di dalam shalat.
24. Menempelkan satu kakinya ke kaki yang lain ketika shalat.
25. Meludah ketika shalat.

 Makruhnya shalat berdasarkan tempat shalatnya adalah:

1. Shalat di kamar mandi.


2. Shalat di tempat melepas baju tatkala masuk kamar mandi.
3. Shalat di tempat penyembelihan hewan.
4. Shalat di dalam Gereja, Pura atau tempat ibadah agama lain.
5. Shalat di tempat maksiat.
6. Shalat di atas Ka’bah.
7. Shalat di tengah-tengah keramaian (pasar).
8. Shalat di tempat berlalunya orang (jalan).
9. Shalat menghadap gambar atau patung.
10. Shalat di tempat pembuangan sampah.
152
11. Shalat di pemakaman yang belum pernah di gali.
12. Shalat di bukit Shofa dan Marwa, di gunung Arofah, dan
pada Jumrotul Aqobah.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar.

153
BAB 33

BATALNYA SHALAT

‫ ﺧﺼﻠﺔ ﺑﺎﳊﺪﺙ ﻭﺑﻮﻗﻮﻉ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺇﻥ ﻟﻢ‬٬ ‫ﺗﺒﻄﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﺎﺭﺑﻊ ﻋﺸﺮﺓ‬


٬‫ﺗﻠﻖ ﺣﺎﻻ ﻣﻦ ﻏﱹﲪﻞ ﻭﺍﻧﻜﺸﺎﻑ ﺍﻟﻌﻮﺭﺓ ﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﺴﺘﺮﺣﺎﻻ‬
‫ ﻭﺑﺎﳌﻔﻄﺮ ﻋﻤﺪﺍ‬٬ ‫ﻭﺍﻟﻨﻄﻖ ﲝﺮﻓﱺ ﺃﻭﺣﺮﻑ ﻣﻔﻬﻢ ﻋﻤﺪﺍ‬
٬ ‫ﻭﺍﻻﻛﻞ ﺍﻟﻜﺜﱹﻧﺎﺳﻴﺎ ﺍﻭﺛﻼﺙ ﺣﺮﻛﺎﺕ ﻣﺘﻮﺍﻟﻴﺎﺕ ﻭﻟﻮﺳﻬﻮﺍ‬
٬ ‫ ﻭﺯﻳﺎﺩﺓ ﺭﻛﻦ ﻓﻌﻠﻲ ﻋﻤﺪﺍ‬٬ ‫ﻭﺍﻟﻮﺛﺒﺔ ﺍﻟﻔﺎﺣﺸﺔ ﻭﺍﻟﻀﺮﺑﺔ ﺍﳌﻔﺮﻁﺔ‬
٬ ‫ﻭﺍﻟﺘﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺇﻣﺎﻣﻪ ﺑﺮﻛﻨﱺ ﻓﻌﻠﻴﱺ ﻭﺍﻟﺘﺨﻠﻒ ﺑﻬﻤﺎ ﺑﻐﱹ ﻋﺬﺭ‬
۰‫ ﻭﺍﻟﺘﺮﺩﺩ ﰲ ﻗﻄﻌﻬﺎ‬٬ ‫ ﻭﺗﻌﻠﻴﻖ ﻗﻄﻌﻬﺎ ﺑﺸﻴﺊ‬٬ ‫ﻭﻧﻴﺔ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬

Batalnya shalat ada 14 perkara:


1. Sebab berhadats.
2. Kejatuhan najis bila tidak dibuang seketika, dan najis itu
tidak dibawa.
3. Terbukanya aurat bila tidak ditutup seketika.
4. Berkata dengan dua huruf atau satu huruf yang
memahamkan dengan sengaja.
5. Melakukan sesuatu yang membatalkan puasa secara
sengaja.
6. Makan yang banyak meskipun dalam keadaan lupa.
154
7. Bergerak 3 kali berturut-turut walaupun dalam keadaan
lupa.
8. Meloncat dengan keras.
9. Memukul dengan keras.
10. Menambah rukun fi’liy dengan sengaja.
11. Mendahului imam dua rukun fi’liy dan tertinggal dua rukun
fi’liy tanpa udzur.
12. Niat memutus shalat.
13. Niat menggantungkan putusnya shalat.
14. Ragu-ragu dalam memutuskan shalat.

Penjelasan:
1. Sebab berhadats.
Terjadinya hadats menyebabkan batalnya shalat, jika keluar
sebelum salam yang pertama. Apabila keluar setelah salam
yang pertama maka shalatnya sah.
2. Kejatuhan najis bila tidak dibuang seketika, dan najis itu
tidak dibawa.
Kejatuhan najis menyebabkan batalnya shalat seseorang
apabila tidak segera dibuang. Ukuran lamanya adalah
seukuran thuma’ninah. Dan cara membuangnya pun tidak
dibawa (diangkat) tetapi ditepis (geser).
Contoh: ketika shalat ada kotoran cicak jatuh di surban (rida’)
kita, setelah kita mengetahui langsung surban yang kita
gunakan kita jatuhkan dengan cara menepis dari pundak
sampai jatuh ke lantai. Jika kita angkat kemudian dijatuhkan

155
ke lantai maka shalat kita batal, karena kita membawa najis,
lain halnya dengan menepis.

3. Terbukanya aurat bila tidak ditutup seketika.


Terbukanya aurat akan membatalkan shalat seseorang
apabila tidak segera ditutup (sebelum ukuran thuma’ninah).
Walaupun ia shalat di tempat yang tidak ada seorangpun
yang melihat.
Contoh: ketika shalat sarungnya terbuka tertiup angin (kipas
angin) sampai terbuka lututnya, apabila ia diamkan lebih dari
ukuran thuma’ninah maka shalatnya batal.
4. Berkata dengan dua huruf atau satu huruf yang
memahamkan dengan sengaja.

Berkata disini adalah dengan satu atau dua huruf akan tetapi

dapat difahami. Contoh ( ‫ﻕ‬ ) yang artinya “jagalah”, karena

kata tersebut dapat difahami maka batallah shalatnya.


Begitu juga apabila satu huruf tidak mempunyai arti, tetapi ia
mengucapkannya diniatkan untuk bercanda, maka batal
shalatnya.
Jika kalimat yang diucapkan adalah empat kata atau lebih,
maka batal shalatnya meskipun disengaja atau tidak.
Jika sedikit, yaitu kurang dari empat kata, maka tidak
membatalkan shalat apabila tidak disengaja (latah), dan
apabila disengaja maka batal shalatnya.¹
Contoh: ketika shalat ada orang yang mengagetkannya dan ia
tanpa sengaja mengucapkan: “Aduh kaget aku” maka
156
shalatnya tidak batal. Tetapi apabila ia kaget dan
mengucapkan: “Aduh kamu gimana sih kaget aku” lebih dari 4
kata maka batal shalatnya.

5. Melakukan sesuatu yang membatalkan puasa secara


sengaja.

Batal shalat seseorang yang melakukan sesuatu yang


membatalkan puasa apabila dilakukan dengan sengaja,
seperti makan, minum meskipun hanya sedikit.
Contoh: Makan, ada yang tertinggal pada giginya sisa-sisa
makanan, ketika keluar dari sela-sela gigi maka hendaknya
dikeluarkan. Apabila tidak dikeluarkan dan tertelan, maka ada
dua hukum:

a. Apabila besarnya sisa makanan tersebut lebih besar dari


biji wijen, maka batal shalatnya.
b. Apabila lebih kecil dari biji wijen, dan tidak disengaja
tertelan atau sudah berusaha mengeluarkannya tetapi
tetap saja tertelan maka tidak membatalkan shalat.
Apabila disengaja maka membatalkan shalat.
Contoh yang lainnya adalah minum, misalnya sisa air wudhu
ada yang mengalir masuk ke mulut, lalu ia menelannya maka
batal shalatnya. Apabila air ludah maka tidak membatalkan
shalat apabila ia menelannya.
6. Makan banyak meskipun dalam keadaan lupa.
Jika sedikit dan karena lupa maka tidak membatalkan shalat
(seperti keterangan diatas nomor: 5), apabila banyak (lebih
157
besar dari biji wijen) maka membatalkan shalat, meskipun
dalam keadaan lupa.
7. Bergerak 3 kali berturut-turut walaupun dalam keadaan
lupa.
Bergerak tiga kali berturut-turut dapat membatalkan shalat.
Arti berturut-turut adalah bergeraknya tanpa jeda (berhenti)
langsung dari gerakan pertama sampai ketiga atau lebih.
Lain halnya apabila bergerak 1 kali, lalu berhenti. Kemudian
bergerak lagi dihitung sekali bukan dua kali yang penting ada
jeda. Dan gerakan ini timbul dari anggota badan yang besar,
contoh tangan atau kaki. Apabila dari anggota badan yang
ringan, seperti: jari-jari tangan atau jari-jari kaki, telinga, bibir,
mata meskipun bergerak berulang kali tidak membatalkan
shalat selama tidak diniatkan untuk bercanda.
Contoh gambaran bergerak 3 kali yang tidak membatalkan
shalat adalah seseorang yang menggaruk dengan
menggerakkan lengannya dan menempelkan pada anggota
badan yang akan di garuk, lalu menggaruk dengan jarinya
sebanyak mungkin garukan tanpa menggerakkan lengannya,
hal ini tidak membatalkan shalat.
Membatalkan shalat juga apabila anggota tubuh yang
berlainan bergerak secara bersamaan, contoh ketika tangan
bergerak, kemudian kepala bergerak dan kaki bergerak secara
bersamaan maka batal shalatnya.

158
8. Meloncat dengan keras.
Satu kali lompatan keras yang dapat menggerakkan seluruh
badan atau sebagian besar badan maka dapat membatalkan
shalat.
9. Memukul dengan keras.
Satu kali pukulan yang keras yang dapat menggerakkan
seluruh badan, maka dapat membatalkan shalat.
10. Menambah rukun fi’liy dengan sengaja.
Sengaja menambah rukun fi’liy (perbuatan) seperti: ruku’,
sujud meskipun tanpa thuma’ninah, maka dapat
membatalkan shalat.
11. Mendahului imam dua rukun fi’liy dan tertinggal dua rukun
fi’liy tanpa udzur.
Mendahului imam dengan dua rukun fi’liy meskipun selain
rukun yang panjang (i’tidal), dapat membatalkan shalat.
Contoh: seorang makmum yang ruku’, kemudian i’tidal lalu ia
sujud sementara imam masih dalam keadaan berdiri maka
batal shalatnya, jika dilakukan dengan sengaja dan tahu
hukumnya. Apabila tidak disengaja (karena jauhnya letak
imam) atau karena tidak mengetahui hukum maka tidak batal
shalatnya. Namun gerakan tersebut tidak terhitung, dan ia
wajib mengulang satu rakaat setelah imam salam.
Begitu juga dengan tertinggal imam dua rukun fi’liy, dapat
membatalkan shalat apabila tanpa udzur, disengaja dan tahu
hukumnya.

159
Contoh gambaran tertinggal 2 rukun fi’liy dari imam adalah
ketika makmum berdiri membaca surat al fatihah, lalu imam
ruku’ dengan sempurna kemudian imam i’tidal makmum
masih berdiri, lalu ketika imam hendak mulai sujud dan
makmum masih berdiri maka batallah shalat makmum
apabila tanpa udzur.
Kenapa thuma’ninah tidak dihitung sebagai rukun fi’liy?
Karena thuma’ninah adalah syarat dari rukun ruku’ tersebut.
Maka dari itu ada sebagian ulama tidak memasukkan
thuma’ninah dalam rukun tetapi syarat, yang apabila ruku’
tanpa thuma’ninah maka tidak sah ruku’nya.

12. Niat memutus shalat.

Termasuk membatalkan shalat adalah niat untuk


memutuskan shalat yang sedang dilaksanakannya. Misalnya:
seseorang didalam shalatnya mengatakan dalam hatinya,
“Aku ingin keluar dari shalat untuk buang hajat.” Maka ketika
ia berniat demikian langsung batal shalatnya, meskipun ia
tidak jadi dalam buang hajatnya dan meneruskan shalatnya,
tetap batal shalatnya.

13. Niat menggantungkan putusnya shalat.

Menggantungkan niat membatalkan shalat. Contoh: jika si


fulan datang, maka aku akan membatalkan shalatku. Maka
shalatnya menjadi batal walaupun si fulan tidak jadi datang.

160
14. Ragu-ragu dalam memutuskan shalat.

Ragu-ragu dalam membatalkan shalat juga dapat


membatalkan shalat. Contoh: “Aku keluar dari shalat tidak
ya?” ini sudah membatalkan shalat.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 1, Bab Yang Membatalkan Shalat, Hal 477.

161
BAB 34

SHALAT YANG DIWAJIBKAN NIAT MENJADI IMAM

‫ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﺩﺓ ﻭﺍﳌﻨﺬﻭﺭﺓ‬٬ ‫ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻠﺰﻡ ﻓﻴﻪﻧﻴﺔ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﺃﺭﺑﻊ‬


۰‫ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻭﺍﳌﻘﺪﻣﺔ ﰱﺍﳌﻄﺮ‬

Shalat yang wajib niat menjadi imam ada 4:


1. Shalat Jum’at.
2. Shalat yang diulang.
3. Shalat yang dinadzari dengan berjama’ah.
4. Shalat jama’ taqdim di dalam waktu hujan.

Penjelasan:
1. Apabila shalat jum’at, bagi imam wajib meniatkan dalam
shalat jum’at tersebut niat sebagai Imam.
2. Shalat yang diulang, jika seseorang sudah shalat, lalu ia ingin
mengulang shalatnya bersama orang banyak dan ia ditunjuk
sebagai imam, maka wajib ia meniatkan “imaaman” ketika
takbiratul ihrom. Baik untuk shalat fardhu ataupun shalat
sunnah yang dianjurkan secara berjamaah.
3. Shalat yang dinadzarkan untuk berjama’ah. Sebagai imam
wajib meniatkan “imaaman” dalam hatinya pada waktu
takbiratul ihrom.
162
4. Shalat jama’ taqdim di dalam waktu hujan, dan hujannya
belum berhenti ketika ia menyempurnakan takbiratul ihrom.
Apabila ia berniat shalat sebagai imam maka wajib meniatkan
”imaaman” dalam hatinya ketika takbiratul ihrom.
Selain empat perkara diatas, maka tidak wajib bagi imam untuk
berniat menjadi imam (imaaman), akan tetapi ia tidak
mendapatkan pahala shalat berjamaah jika ia tidak meniatkan
menjadi imam.
Permasalahan:

 Apabila sang imam lupa untuk mengucapkan “Imaaman”


bagaimana status shalatnya?¹
1. Apabila shalat Jum’at sang imam tidak niat menjadi imam
bersamaan dengan takbir, maka shalatnya tidak sah.
2. Apabila shalat yang dinadzarkan berjamaah, imam lupa niat
imaaman maka shalatnya sah, akan tetapi ia berdosa.
3. Apabila shalat jama’ taqdim yang disebabkan karena
turunnya hujan, sang imam lupa berniat imaaman maka
shalatnya tidak sah.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 2, Bab Shalat Berjama’ah, Hal 72.
163
BAB 35

SYARAT-SYARAT MENJADI MAKMUM

‫ ﺃﻥﻻﻳﻌﻠﻢ ﺑﻄﻼﻥ ﺻﻼﺓ ﺇﻣﺎﻣﻪ ﺑﺤﺪﺙ‬:‫ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﻘﺪﻭﺓ ﺃﺣﺪﻋﺸﺮ‬


‫ ﻭﺃﻥﻻﻳﻜﻮﻥ ﻣﺄﻣﻮﻣﺎ‬٬‫ ﻭﺃﻥﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻭﺟﻮﺏ ﻗﻀﺎﺋﻬﺎ ﻋﻠﻴﻪ‬٬ ‫ﺃﻭﻏﱹﻩ‬
‫ ﻭﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻧﺘﻘﺎ ﻻﺕ‬٬ ‫ ﻭﺃﻥﻻ ﻳﺘﻘﺪﻣ ﻋﻠﻴﻪ ﰱ ﺍﳌﻮﻗﻒ‬٬ ‫ﻭﻻ ﺃﻣﻴﺎ‬
‫ ﻭﺃﻥ‬٬ ‫ ﻭﺃﻥ ﳚﺘﻤﻌﺎ ﰲ ﻣﺴﺠﺪ ﺍﻭﰲ ﺛﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﺫﺭﺍﻉ ﺗﻘﺮﻳﺒﺎ‬٬ ‫ﺇﻣﺎﻣﻪ‬
‫ ﻭﺃﻥ ﻻ‬٬ ‫ ﻭﺃﻥ ﻳﺘﻮﺍﻓﻖ ﻧﻈﻢ ﺻﻼ ﺗﻬﻤﺎ‬٬ ‫ﻳﻨﻮﻱ ﺍﻟﻘﺪﻭﺓ ﻭﺍﳉﻤﻌﺎﻋﺔ‬
۰ ‫ ﻭﺃﻥﻳﺘﺎﺑﻌﻪ‬٬ ‫ﳜﺎﻟﻔﻪ ﰲ ﺳﻨﺔ ﻓﺎﺣﺸﺔ ﺍﳌﺨﺎﻟﻔﺔ‬

Syarat-syarat jadi makmum ada 11 perkara:


1. Ma’mum tidak mengetahui batalnya shalat imam, baik
sebab hadats atau lainnya.
2. Ma’mum tidak boleh mengi’tikadkan wajib qadha shalatnya
imam.
3. Imamnya tidak menjadi ma’mum.
4. Imamnya tidak Ummi (tidak bisa baca tulis).
5. Ma’mum tidak berada di depan imam.
6. Ma’mum harus tahu pindahnya (gerakan) imam.

164
7. Antara imam dan ma’mum harus berada di satu masjid,
atau berada kira-kira dalam jarak 300 dzira’.
8. Ma’mum harus niat mengikuti imam (berjama’ah).
9. Antara imam dan ma’mum harus sama dalam gerakan
shalatnya.
10. Ma’mum tidak boleh berbeda dengan imam dengan
perbedaan yang menyolok di dalam sunnah.
11. Ma’mum harus mengikuti imamnya.

Penjelasan:
1. Ma’mum tidak mengetahui batalnya shalat imam, baik
sebab hadats atau lainnya.
Apabila makmum mengetahui bahwa imam batal, dan imam
meneruskan shalatnya maka makmum berpisah dari jama’ah
(mufaroqoh) atau meneruskan shalat sendiri tanpa mengikuti
imam.

2. Ma’mum tidak boleh mengi’tikadkan wajib qadha shalatnya


imam.
Makmum tidak meyakini bahwa shalatnya imam adalah
shalat yang nanti wajib di qadha, contoh sang imam shalat
untuk lihurmatil waqt (shalat menghormati waktu karena
tidak memperoleh alat untuk bersuci baik debu atau air).
Atau imam shalat dengan pakaian yang najis, karena tidak
ada pakaian lain dan waktu shalat akan keluar, maka tetapi
wajib shalat tetapi tidak sah shalatnya dan wajib di qadha.
Ketika shalat yang pertama ini makmum tidak sah berjamaah
dengannya.
165
3. Imamnya tidak menjadi ma’mum.
Sang makmum shalat dengan imam yang tidak sedang
bermakmum kepada orang lain.

4. Imamnya tidak Ummi (tidak bisa baca tulis).


Imamnya bisa membaca al Qur’an, bukan orang yang buta
huruf, bukan orang yang membaca huruf latin, sehingga
makhroj huruf tidak sesuai dengan huruf aslinya. Atau sang
imam benar dalam hal makhroj hurufnya, sehingga ketika
membaca rukun-rukun qouli tidak salah dalam maknanya.

5. Ma’mum tidak berada di depan imam.


Posisi makmum ada dibelakang imam, dengan batas tumit
makmum tidak sejajar atau mendahului imam.

6. Ma’mum harus tahu pindahnya (gerakan) imam.


Makmum mengetahui gerakan pindahnya imam, baik dengan
suara, atau makmum melihat kepada makmum yang ada di
depannya.

7. Antara imam dan ma’mum harus berada di satu masjid,


atau berada kira-kira dalam jarak 300 dzira’.
Jarak antara makmum dan imam tidak lebih dari 300 dzira’
atau sekitar 150 meter, kecuali makmum yang bersambung
maka jaraknya tidak terbatas selama masih dalam satu
tempat. Contoh ada 200 shof, itu lebih dari 150 m, dan ini
tiada mengapa karena makmum saling bersambung.

166
8. Ma’mum harus niat mengikuti imam (berjama’ah).
Makmum harus berniat “ma’muman” pada niat shalatnya
berbarengan ketika takbiratul ihram. Jika tidak berniat
ma’muman maka tidak sah shalatnya.

9. Antara imam dan ma’mum harus sama dalam gerakan


shalatnya.
Tidak boleh gerakan shalatnya berbeda, harus ada kesamaan
gerakan antara shalat imam dengan shalatnya makmum.
Contoh shalat jenazah, shalat gerhana yang menggunakan
dua ruku’.
Makmum boleh berjamaah dengan imam asalkan gerakan
shalatnya sama, walaupun shalatnya berbeda. Contoh: kita
boleh bermakmum dengan orang yang shalat sunnah tetapi
kita shalat wajib, mengambil keutamaan shalat berjama’ah.
Misal si A shalat ba’diyah maghrib, kita terlambat shalat
maghrib. Kita boleh bermakmum dengan si A dan sah karena
gerakan shalatnya sama, walaupun niatnya berbeda.

10. Ma’mum tidak boleh berbeda dengan imam dengan


perbedaan yang menyolok di dalam sunnah.

11. Ma’mum harus mengikuti imamnya.


Tidak boleh berbarengan, mendahului atau terlambat darinya.
Apabila berbarengan, terlambat atau mendahului hukumnya
makruh, apabila terlambat dua rukun fi’liy maka batallah
shalatnya.

167
 Gambaran Menjadi Makmum yang sah.

1. Imam laki-laki makmum laki-laki


2. Imam laki-laki makmum perempuan.
3. Imam banci (asli) makmum perempuan.
4. Imam banci makmum banci.
5. Imam perempuan makmum perempuan.

Permasalahan:

 Bagaimana kita bermakmum dengan imam yang beda


madzhab?
Hukum shalat bermakmum dengan yang berbeda madzhab
adalah sah, selama madzhabnya masih ahlu sunnah. Apabila
bukan ahlu sunnah seperti syi’ah maka tidak sah shalatnya.



168
BAB 36

SUJUD SAHWI

 Hukum Sujud Sahwi


Sujud sahwi hukumnya sunnah, yang dilakukan karena lupa.
Manfaatnya adalah untuk menutupi kekurangan yang terjadi
dalam shalat.

 Sebab-sebab Sujud Sahwi

Sebab-sebab sujud sahwi ada 4:


1. Meninggalkan salah satu sunnah Ab’adh shalat, atau
sebagian darinya.
2. Melakukan sesuatu yang apabila dilakukan dengan sengaja
membatalkan shalat, dan apabila tidak sengaja maka tidak
membatalkan shalat.
3. Memindahkan rukun qouli di tempat lain.
4. Menempatkan rukun fi’liy serta condong untuk
menambahi.
Penjelasan:
1. Karena meninggalkan salah satu sunnah-sunnah Ab’adh shalat
kita disunnahkan untuk sujud sahwi. Sunnah-sunnah ab’adh
shalat sudah kita sebutkan pada keterangan di atas (Bab 31).
Baik salah satu sunnahnya ataupun sebagiannya, contoh:
membaca doa qunut tidak sempurna.
169
2. Melakukan sesuatu yang apabila disengaja membatalkan
shalat, contoh: berbicara sedikit, apabila sengaja maka
membatalkan shalat, apabila tidak sengaja maka tidak
membatalkan shalatnya. Contoh lain, menambah rukun fi’liy,
apabila sengaja maka membatalkan shalat, apabila lupa atau
tidak sengaja maka tidak membatalkan shalat. Apabila kita
melakukan semua diatas maka disunnahkan untuk sujud
sahwi.
3. Memindahkan rukun Qouli di tempat lain. Misalnya: membaca
surat Al-Fatihah ketika ruku’, atau ditempat lain, maka
disunnahkan bagi kita pada akhir shalat untuk melakukan
sujud sahwi. Begitu pula apabila kita membaca dzikir-dzikir
yang sunnah bukan pada tempatnya, seperti ketika ruku’
membaca dzikir sujud atau sebaliknya, maka disunnahkan pula
sujud sahwi.
4. Begitu pula pada rukun fi’liy, dengan adanya kemungkinan kita
melakukannya lebih, contoh kita sudah ruku’, tapi ketika i’tidal
kita ragu apakah tadi kita sudah ruku’ atau belum, maka kita
wajib kembali kepada ruku’ tersebut dan i’tidal lagi lalu
meneruskan shalat, pada kasus ini sunnah kita sujud sahwi
diakhir shalat kita.

 Cara Melakukan Sujud Sahwi.


Cara melakukan sujud sahwi adalah dengan sujud dua kali
seperti sujudnya shalat.

 Waktu melakukan Sujud Sahwi.


Waktu melakukan sujud sahwi dalam shalat adalah setelah
membaca tasyahud akhir dan sebelum mengucapkan salam.
170
 Bacaan yang dibaca ketika Sujud Sahwi.
Para ulama mengajarkan beberapa bacaan, boleh membaca
bacaan sujud dalam shalat yaitu:
‫ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺭﺑﻲ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﻭﺑﺤﻤﺪﻩ‬
Atau apabila melakukan sebabnya karena tidak sengaja atau
lupa maka membaca:

۰‫ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻨﺎﻡ ﻭﻻ ﻳﺴﻬﻮ‬


Artinya: “Maha suci Allah dzat yang tidak pernah tidur dan
tidak pernah lupa.”
Atau membaca istighfar, apabila sebabnya adalah dengan
sengaja meninggalkan sunnah-sunnah Ab’adh shalat.
Atau diam tanpa membaca apapun juga diperbolehkan tetapi
tidak mendapat keutamaan sunnah dalam bacaannya.
Ketika duduk diantara dua sujud sahwi boleh membaca doa
yang dibaca ketika duduk diantara dua sujud dalam shalat,
boleh juga tidak membaca apapun.

Permasalahan:
1. Bolehkan sujud sahwi dilakukan hanya dengan sekali sujud?
Tidak boleh. Kecuali ketika kita pertama sudah berniat untuk
sujud dua kali untuk sujud sahwi, akan tetapi ketika setelah
sujud yang pertama kita berkeinginan untuk tidak
melanjutkan sujud yang kedua, maka tidak mengapa.
171
Apabila kita berniat dari pertama untuk sujud sahwi cuma
sekali sujud maka tidak boleh.
2. Apakah makmum wajib mengikuti imam ketika imam sujud
sahwi, walaupun makmum tidak mengetahui sebabnya?
Iya, makmum wajib mengikuti imamnya sujud sahwi. Apabila
makmum tidak mengikuti imam maka shalatnya makmum
batal.

3. Bolehkah sujud sahwi dilakukan setelah salam?¹


Apabila ia sudah mengucapkan salam ia lupa sujud sahwi dan
tadinya tidak ada niat untuk sujud sahwi maka tidak boleh.
Apabila ia mengucapkan salam dan lupa untuk sujud sahwi
padahal tadi ia berniat untuk melakukannya, maka ia boleh
melakukan sujud sahwi setelah salam asalkan memenuhi
syarat dibawah ini, akan tetapi nanti setelah ia sujud sahwi ia
wajib melakukan salam lagi, karena salam yang pertama tadi
dianggap tidak pernah ada. Inilah syarat-syarat
diperbolehkannya sujud sahwi setelah salam:
a. Kita mengucapkan salam karena lupa (untuk sujud sahwi),
padahal kita berniat untuk melakukan sujud sahwi. Apabila
ketika salam kita tidak lupa melainkan memang sengaja
untuk tidak sujud sahwi maka tidak boleh setelah salam
kita sujud sahwi.
b. Jarak antara salam dan ingatnya kita tentang akan
melakukan sujud tidak terlalu lama (jarak lamanya adalah
umumnya kebanyakan orang).
c. Antara salam dan ingatan kita akan sujud sahwi itu tidak
melakukan hal-hal yang membatalkan shalat. Misalnya:

172
berhadats, terkena najis, berpaling dari kiblat, dan lain-
lain.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Sujud Sahwi, Hal 322.

173
BAB 37

SYARAT-SYARAT SHALAT JAMA’ TAQDIM

٬‫ ﻭﺍﻟﻨﻴﺔ ﺍﳉﻤﻊ ﻓﻴﻬﺎ‬٬‫ ﺍﻟﺒﺪﺍﺀﺓ ﺑﺎﻷﻭﻟﻰ‬: ‫ﺷﺮﻭﻁ ﺟﻤﻊ ﺍﻟﺘﻘﺪﻳﻢ ﺃﺭﺑﻌﺔ‬

۰‫ ﻭﺩﻭﺍﻡ ﺍﻟﻌﺬﺭ‬٬ ‫ﻭﺍﳌﻮﺍﻻﺓ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ‬


Syarat-syarat shalat jama’ taqdim ada 4:
1. Memulai dari shalat yang pertama.
2. Niat jama’ di dalam shalat yang pertama.
3. Berturut-turut antara shalat yang pertama dengan yang
kedua.
4. Kekalnya udzur (halangan).

Penjelasan:
1. Memulai dari shalat yang pertama.
Apabila kita hendak menjama’ taqdim shalat, maka shalat yang
dilakukan pertama adalah shalat yang pertama (waktunya).
Contoh: Apabila ingin shalat jama’ taqdim Asar dengan
Dhuhur, maka yang shalat dilakukan pertama adalah shalat
Dhuhur, baru kemudian Asar. Atau akan mentaqdim Isya’
dengan Maghrib, maka yang dilakukan adalah shalat yang
pertama dahulu yaitu Maghrib, baru kemudian shalat Isya’.
174
Apabila tidak tertib (shalat yang kedua dahulu), maka shalat
yang sah hanya yang mempunyai waktu pertama
(Dhuhur/Maghrib’) saja sementara shalat yang waktunya
kedua (Asar/Isya’) tidak sah.

2. Niat jama’ di dalam shalat yang pertama.

Niat menjama’ taqdim ada pada shalat yang pertama, dan


tidak harus pada saat takbiratul ihrom saja, namun boleh niat
kapan saja asal masih dalam keadaan shalat yang pertama.
Akan tetapi lebih baik jika niat menjama’ taqdim shalat kedua
itu pada saat melaksanakan takbiratul ihrom yang pertama.
Dan niat tersebut letaknya di dalam hati. Boleh dilafadzkan
sebelum takbir.
Contoh niatnya adalah:
۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﺃﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻣﺠﻤﻮﻋﺎ ﺑﺎﻟﻌﺼﺮ‬
Artinya: “Saya niat shalat fardhu Dhuhur dan jama’ taqdim
(Asar)”.

۰‫ﻧﻮﻳﺖ ﺃﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﳌﻐﺮﺏ ﻣﺠﻤﻮﻋﺎ ﺑﺎﻟﻌﺸﺎﺀ‬


Artinya: “Saya niat shalat fardhu Maghrib dan jama’ taqdim
Isya’”.¹
Atau

۰‫ﺃﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻣﺠﻤﻮﻋﺎ‬


Artinya: “Saya niat shalat fardhu Dhuhur jama’.”

175
Boleh juga niat dalam hati di dalam shalat yang pertama
(Dhuhur) dengan melintaskan: “Saya niat mau menjama’
shalat Asar.”

3. Berturut-turut antara shalat yang pertama dengan yang


kedua.

Shalat yang pertama dan yang kedua tidak ada sela waktu
yang panjang (waktu panjang pendeknya adalah umumnya
kebiasaan orang). Jadi setelah salam shalat yang pertama
langsung kita melaksanakan shalat yang kedua tanpa ada sela
waktu yang lama.
Apabila terpisah antara shalat pertama dan kedua terlalu lama
karena lupa atau yang lainnya maka menurut pendapat kuat
dalam madzhab Imam Syafi’i tidak diperbolehkan untuk
menjama’ shalat dan wajib menunda shalat yang kedua pada
waktunya.²

4. Kekalnya udzur (halangan).

Selama kita menjama’ shalat kita masih dalam keadaan


bepergian jika seorang musafir, atau keadaannya masih hujan
ketika akan melaksanakan takbiratul ihrom shalat yang kedua.
Apabila keadaan ketika sebelum takbiratul ihrom yang kedua
kita sampai kota tujuan (misalnya kapalnya sandar di kota
kita), maka tidak diperbolehkan menjama’ shalat yang kedua
dan harus dilaksanakan nanti pada waktunya.
Apabila hujan berhenti pada pertengahan shalat yang
pertama, lalu ketika kita pada rakaat terakhir (shalat yang
176
pertama) kembali hujan maka masih diperbolehkan untuk
menjama’ shalat. Ketika setelah takbiratul ihram sempurna
pada rakaat yang kedua hujan berhenti, maka tetap
dilanjutkan shalat kedua tersebut sampai selesai dan
hukumnya sah.

Permasalahan:
1. Apabila kita lupa niat menjama’ taqdim pada shalat yang
pertama, baru ingat ketika selesai salam, maka tidak boleh
menjama’ shalat yang kedua tersebut, dan harus
melaksanakan shalat yang kedua pada waktunya.

2. Orang yang sudah menjama’ taqdim shalat keduanya (contoh


shalat Asar) ketika diperjalanan lalu apabila ia sampai
dirumahnya ternyata masih belum masuk waktu shalat yang
kedua (shalat Asar), misalnya masuk rumah jam 2 siang,
apakah ia wajib mengulang shalat Asar? Tidak perlu
mengulang, karena pelaksanaannya sudah memenuhi syarat
dalam agama dan dianggap sah jama’ taqdimnya.³

3. Apakah orang sakit boleh menjama’ taqdim? Dan sakit yang


bagaimana yang diperbolehkan?
Orang sakit boleh menjama’ taqdim. Sakit yang diperbolehkan
adalah sakit apa saja yang sekiranya jika kita laksanakan setiap
shalat dalam keadaan sakit tersebut pada waktunya masing-
masing akan sangat merepotkannya.
Contoh: bagi orang yang sakit sudah menahun di tempat tidur,
apabila ia susah untuk membersihkan najisnya setiap waktu
177
shalat, maka ia boleh menjama’ shalatnya dan ia boleh
memilih mana yang lebih mudah baginya, jama’ taqdim atau
jama’ ta’khir. ⁴

4. Bolehkan menjama’ shalat karena hujan dengan jama’ ta’khir?


Tidak boleh, hanya boleh jama’ taqdim, dan menjama’nya pun
secara berjama’ah, tidak boleh menjama’ taqdim karena hujan
dengan sendirian.
Dan tempat dilaksanakannya shalat jama’ah (masjid) tersebut
terletak ditempat yang jauh dari rumahnya, sehingga
ditakutkan kalau tidak menjama’ taqdim maka ia tidak akan
melaksanakan shalat secara berjama’ah karena tidak bisa
kembali ke masjid tersebut karena turunnya hujan.⁵



Keterangan Sumber Kitab:

1. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,


karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 2, Bab Shalat Musafir, Hal 155.

178
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 2, Bab Shalat Musafir, Hal 156.
3. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Musafir, Hal 396.
4. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Musafir, Hal 399.
5. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Musafir, Hal 400.

179
BAB 38

SYARAT-SYARAT JAMA’ TA’KHIR

‫ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﺘﺄﺧﱹ ﻭﻗﺪﺑﻘﻲ ﻣﻦ ﻭﻗﺖ ﺍﻷﻭﻟﻰ‬: ‫ﺷﺮﻭﻁ ﲨﻊ ﺍﻟﺘﺄﺧﱹ ﺍﺛﻨﺎﻥ‬

۰ ‫ ﻭﺩﻭﺍﻣ ﺍﻟﻌﺬﺭ ﺇﻟﻰ ﺗﻤﺎﻡ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ‬٬ ‫ﻣﺎ ﻳﺴﻌﻬﺎ‬


Syarat-syarat jama’ ta’khir ada 2:
1. Niat jama’ ta’khir pada (masuknya) waktu shalat yang
pertama, dan waktunya masih cukup untuk mengerjakan
shalat (waktu akhirnya).
2. Kekalnya udzur (hingga sempurnanya shalat yang kedua).

Penjelasan:
1. Berniat untuk menjama’ shalatnya dengan jama’ ta’khir
adalah ketika masuknya waktu shalat yang pertama.

Contoh: Akan menjama’ ta’khir shalat Dhuhur dengan Asar,


maka niat jama’nya ketika masuknya waktu Dhuhur. Jadi
ketika adzan Dhuhur kita niat untuk menjama’ ta’khir
(memundurkan) shalat Dhuhur di waktu Asar.
 Bagaimana contoh niatnya?
“Aku berniat untuk menjama’ ta’khir shalat Dhuhurku
nanti di waktu Asar.”
180
Caranya sama dengan niat yang lain, yaitu melintaskan
dalam hati, boleh juga dengan melafadzkannya.

 Kapan waktu berakhirnya niat jama’ ta’khir?


Waktu berakhirnya niat adalah sampai sisa waktu tersebut
hanya cukup untuk melaksanakan shalat satu rakaat.
Apabila sekiranya sisa waktu itu tidak cukup untuk
melakukan shalat 1 rakaat, maka ia tidak bisa berniat
untuk menjama’ ta’khir, apalagi sampai keluar waktu.
Maka ia berdosa (karena meninggalkan shalat sampai
keluar waktunya).
Contoh: ia lupa niat menjama’ ta’khir Dhuhur, dan baru
ingat niat pada jam 2:30, sedangkan waktu Asar jam 3:00.
Jika ia berniat pada waktu 2:30 maka niatnya sah, karena
30 menit bisa melaksanakan shalat sampai sempurna
apalagi hanya 1 rakaat.
Apabila Asar jam 3:00, dan ia lupa berniat ta’khir sedang
jam menunjukkan pukul 2:58, apabila diperkirakan
sebelum jam 3:00 ia tidak bisa melaksanakan shalat 1
rakaat saja maka tidak sah niat ta’khirnya.

2. Kekalnya udzur (hingga sempurnanya shalat yang kedua).

Udzur yang dibolehkannya ia menjama’ shalat masih tetap


ada (masih berlangsung) pada dirinya hingga ia sempurna
mengerjakan shalatnya yang kedua tersebut sampai selesai.
Gambarannya adalah, ketika kita shalat yang kedua sempurna
selesai, diri kita masih musafir, belum masuk ke kota asal kita.

181
Permasalahan:¹

1. Apabila misalnya seseorang lupa berniat ta’khir sampai


masuk waktu shalat yang kedua, bagaimana statusnya? Dia
tidak boleh menta’khir shalatnya, akan tetapi wajib
mengqodho shalatnya.

2. Jika seseorang bepergian di waktu Dhuhur, dan ia belum


shalat, kemudian ketika melewati batas kotanya ia boleh
niat menta’khir shalatnya. Apabila belum melewati batas
kota asalnya maka niat ta’khirnya tidak sah.

3. Apabila pada waktu shalat yang pertama dalam satu


perjalanan ia berniat untuk jama’ ta’khir, dan ketika sampai
dirumahnya ternyata waktu shalat yang pertama masih
belum keluar, maka ia tidak boleh menjama’ ta’khir
shalatnya karena waktunya masih ada dan sekarang ia bukan
lagi seorang musafir, maka ia wajib shalat yang pertama
pada waktunya karena waktu shalat masih ada.

4. Apakah untuk jama’ ta’khir harus muwalah (berturut-


turut/langsung)? Tidak, untuk jama’ ta’khir tidak wajib
muwalah antar keduanya.

5. Apakah harus tertib (urut) antara shalat yang pertama dan


kedua? Tidak harus tertib. Boleh shalat Dhuhur dulu
kemudian Asar, boleh juga Asar dulu kemudian Dhuhur.


182
Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Musafir, Hal 398.

183
BAB 39

SYARAT-SYARAT MENGQASHAR SHALAT

‫ ﻭﺃﻥﻳﻜﻮﻥ ﻣﺒﺎﺣﺎ‬٬ ‫ ﺃﻥﻳﻜﻮﻥ ﺳﻔﺮﻩ ﻣﺮﺣﻠﺘﱺ‬:‫ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﻘﺼﺮﺳﺒﻌﺔ‬


‫ﻭﺃﻥﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬٬ ‫ ﻭﻧﻴﺔ ﺍﻟﻘﺼﺮﻋﻨﺪﺍﻹﺣﺮﺍﻡ‬٬‫ﻭﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺠﻮﺍﺯ ﺍﻟﻘﺼﺮ‬
‫ ﻭﺃﻥ ﻻﻳﻘﺘﺪﻯ ﲟﺘﻢ ﻓﻲﺟﺰﺀ ﻣﻦ‬٬ ‫ ﻭﺩﻭﺍﻣ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺇﻟﻰﲤﺎﻣﻬﺎ‬٬ ‫ﺭﺑﺎﻋﻴﺔ‬
۰‫ﺻﻼ ﺗﻪ‬

Syarat-syarat diperbolehkannya mengqashar shalat ada 7:


1. Jarak kepergiannya itu sudah ada 2 marhalah.
2. Perjalanannya untuk sesuatu yang mubah.
3. Mengetahui kebolehan qashar.
4. Niat qashar ketika takbiratul ihram.
5. Shalat yang di qashar harus yang empat rakaat.
6. Kekalnya bepergian sampai selesai shalat.
7. Orang yang mengqashar shalat tidak boleh bermakmum
dengan orang yang sempurna shalatnya.

Penjelasan:
1. Jarak kepergiannya itu sudah ada 2 marhalah.
Jarak perjalanannya harus 2 marhalah atau lebih, disini ada
beberapa pendapat, ada yang menyatakan 82 km atau lebih
184
dari perbatasan kota tempat tinggalnya. Pendapat yang lain
ada yang menyatakan 89 km, kita ikut pendapat yang 82 km.
Jadi apabila kurang dari 82 km, dia belum boleh mengqashar
shalatnya.

2. Perjalanannya untuk sesuatu yang mubah.


Kepergiannya ini untuk sesuatu yang mubah, bukan
berpergian untuk maksiat atau ada unsur kemaksiatannya.
Macam-macam diperbolehkannya mengqashar shalat adalah
jika perjalanannya:
a. Wajib. Contoh: berpergian untuk haji atau membayar
hutang.
b.Sunnah. Contoh: bepergian untuk silaturrahmi atau ziarah.
c. Mubah. Contoh: bepergian untuk berdagang.
d.Makruh. Contoh: menjual kain kafan, atau bepergian
sendirian.
Bepergian yang hanya untuk mellihat-lihat pemandangan,
atau rekreasi tanpa diiringi dengan niat yang baik, maka tidak
boleh bagi dirinya mengqashar shalat dalam perjalanannya
tersebut.¹

Disyaratkan pula dalam mengqashar shalat adalah ia menuju


tempat yang jelas meskipun hanya arahnya saja, maka tidak
diperbolehkan mengqashar bagi orang yang pergi tidak
mempunyai tempat tujuan pasti.
3. Mengetahui kebolehannya mengqashar shalat.
Orang yang mengqashar shalat harus mengetahui bahwa
hukum shalat qashar yang dilakukannya adalah boleh.

185
4. Niat qashar ketika takbiratul ihram.
Niat qashar bersamaan dengan niat shalat, yaitu ketika
takbiratul ihram.
Contoh niat qashar dalam shalat:
٠‫ﺃﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻗﺼﺮﺍ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬

5. Shalat yang di qashar harus yang empat rakaat.


Yang diqashar adalah shalat yang rakaatnya berjumlah empat,
seperti Dhuhur, Asar dan Isya’, selain itu tidak boleh diqashar.

6. Kekalnya bepergian sampai selesai shalat.


Dia masih melakukan perjalanan hingga tuntasnya shalat
qashar yang dia lakukan. Lain halnya apabila ia telah sampai
ke kota asalnya dan shalat qasharnya belum selesai maka ia
wajib menyempurnakan shalatnya.
7. Orang yang mengqashar shalat tidak boleh bermakmum
dengan orang yang sempurna shalatnya.
Orang yang mengqashar shalat tidak boleh bermakmum
kepada seorang imam yang sempurna shalatnya, walaupun
hanya dalam sebagian shalatnya, seperti jika ia masbuk
kepada imam yang melakukan tasyahud akhir tetapi shalat
imamnya bukan qashar. Maka ia harus menyempurnakan
shalatnya. Sebaliknya seorang yang sempurna shalatnya
boleh bermakmum dengan orang yang mengqashar shalatnya
(imamnya musafir makmumnya muqim), ketika imam salam
makmum meyempurnakan shalatnya.

186
Permasalahan:
1. Bagaimana jika lupa berniat qashar ketika takbiratul ihram?
Menurut pendapat yang kuat dari ulama madzhab Imam Syafi’i
niat qashar wajib ketika takbiratul ihram, apabila lupa maka ia
harus menyempurnakan shalatnya.
Namun apabila lupa boleh dibagian manapun menurut Imam
Muzni ra., dan apabila ia pada awal shalat telah berniat shalat
4 rakaat, maka boleh dirubah shalat tersebut menjadi 2 rakaat
dengan niat qashar di pertengahan shalat (dengan syarat tahu
ilmu qashar, dan rakaat yang dilakukan belum masuk ke rakaat
ketiga).²
2. Bagaimana jika setelah takbir ia ragu apakah sudah berniat
qashar atau belum? Maka hukumnya adalah ia wajib untuk
menyempurnakan shalatnya menjadi 4 rakaat. ³
3. Bagaimana jika imam dan makmum dalam keadaan
bepergian, dan sang makmum tidak mengetahui niat sang
imam?
Diperbolehkan untuk sang makmum untuk menggantungkan
niatnya dengan sang imam. Contoh: ‘’Saya niat qoshor jika
imam menqoshor shalat dan saya niat sempurna shalat jika
imam niat menyempurnakan shalat.” ⁴

4. Berapa lama kita diperbolehkan untuk mengqashar shalat?


Berapa lamanya diperinci sebagai berikut:
a. Jika seseorang yang bepergian tersebut berniat akan tinggal
di kota yang dituju lebih dari 4 hari selain hari kedatangan

187
dan kepulangannya, maka ia tidak boleh menjama’ dan
mengqashar shalat.⁵
b. Jika ia tidak berniat tinggal di kota yang dituju itu 4 hari atau
lebih, maka ia boleh mengqashar shalatnya hingga 4 hari
selain hari kedatangan dan kepulangannya (6 hari), apabila
lebih dari 4 hari tersebut maka ia tidak boleh mengqashar
shalatnya.
c. Jika ia menempati di suatu daerah untuk suatu kepentingan
yang dimungkinkan selesai dalam waktu kurang dari 4 hari,
namun ternyata tidak sesuai perkiraan, maka ia boleh
melakukan qashar sampai dengan 18 hari.⁶

5. Bagaimana hukum mengqashar shalat qadha’?⁷


Ada beberapa keadaan:
a. Apabila shalat yang ditinggalkan saat bepergian, maka
boleh di qadha’ dan qashar saat bepergian pula.
b. Apabila shalat yang ditinggalkan saat muqim (tidak
bepergian), maka diqadha’ shalatnya dan tidak boleh di
qashar walaupun mengqadha’nya saat bepergian.
c. Apabila shalat yang ditinggalkan pada saat bepergian, dan
mengqadha’mya dirumahnya, maka tidak boleh di qashar
dan harus shalat dengan sempurna.
d. Jika ragu-ragu terhadap status shalatnya, apakah ia
tinggalkan saat bepergian atau dirumahnya maka ia tidak
diperbolehkan mengqashar shalatnya.



188
Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Musafir, Hal 386.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 2, Bab Shalat Musafir, Hal 146.
3. Kifayatul Akhyar, karya Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad al Husaini. Jilid 1, Bab Shalat Qashar, Hal 315.
4. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 2, Bab Shalat Musafir, Hal 147.
5. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 2, Bab Shalat Musafir, Hal 150.
6. Fiqih Sistematis (Terjemah Kitab at-Taqrirat al-Sadidah fil
Masail Mufidah, Karya Sayyid Hasan bin Ahmad Al Kaaf, Bab:
Shalat, Hal: 271.
7. Fiqih Sistematis (Terjemah Kitab at-Taqrirat al-Sadidah fil
Masail Mufidah, Karya Sayyid Hasan bin Ahmad Al Kaaf, Bab:
Shalat, Hal: 271.

189
BAB 40

SYARAT-SYARAT SHALAT JUM’AT

‫ ﻭﺃﻥﺗﻘﺎﻣ ﰲ‬٬‫ ﺃﻥﺗﻜﻮﻥ ﻛﻠﻬﺎ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﻈﻬﺮ‬٬ ‫ﺷﺮﻭﻁ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﺳﺘﺔ‬


‫ ﻭﺃﻥﻳﻜﻮﻧﻮﺍ ﺍﺭﺑﻌﱺ ﺃﺣﺮﺍﺭﺍ‬٬ ‫ ﻭﺃﻥ ﺗﺼﻠﻰﲨﺎﻋﺔ‬٬ ‫ﺧﻄﺔ ﺍﻟﺒﻠﺪ‬
‫ ﻭﺃﻥﻻ ﺗﺴﺒﻘﻬﺎ ﻭﻻ ﺗﻘﺎﺭﻧﻬﺎ ﺟﻤﻌﺔ‬٬ ‫ﺫﻛﻮﺭﺍ ﺑﺎﻟﻐﱺ ﻣﺴﺘﻮﻃﻨﱺ‬
۰‫ ﻭﺃﻥ ﻳﺘﻘﺪ ﻣﻬﺎ ﺧﻄﺒﺘﺎﻥ‬٬ ‫ﰲ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﺒﻠﺪ‬

Syarat-syarat shalat Jum’at ada 6:


1. Shalatnya harus dilakukan dalam waktu Dhuhur.
2. Shalatnya harus didirikan di dalam batas kota.
3. Harus dilaksanakan secara berjama’ah.
4. Jumlah orang yang shalat harus mencapai 40 orang yang
semuanya merdeka, laki-laki, baligh dan menetap menjadi
warga di daerah tersebut.
5. Tidak didahului dan tidak bersamaan dengan shalat Jum’at
yang lain di daerah itu.
6. Harus didahului oleh dua khutbah.

190
Penjelasan:
1. Shalatnya harus dilakukan dalam waktu Dhuhur.
Shalat dan khutbahnya dilakukan di dalam waktu Dhuhur,
boleh awal, pertengahan atau akhir waktunya yang penting
cukup untuk melaksanakan khutbah dan shalatnya.

2. Shalatnya harus didirikan di dalam batas kota.


Maksudnya adalah shalat Jum’at ini dilakukan ditengah-
tengah kota atau perkampungan (desa) di dalam batas kota
yang sudah ditentukan.

3. Harus dilaksanakan secara berjama’ah.


Shalatnya harus dilakukan secara berjama’ah, tidak bisa
dilakukan secara sendiri.

4. Jumlah orang yang shalat harus mencapai 40 orang yang


semuanya merdeka, laki-laki, baligh dan menetap menjadi
warga di daerah tersebut.
Dan ke-empat puluh orang ini harus sempurna sampai selesai
shalat Jum’at dilaksanakan. Apabila ada yang batal ketika
tasyahud akhir, maka yang mengikuti hanya 39 orang maka
tidak sah shalat jum’atnya, dan harus diulang shalat
jum’atnya dari pertama mulai khutbah kemudian shalat
Jum’atnya. Karena syarat sahnya shalat jum’at adalah harus
dilakukan 40 orang atau lebih. Dan menurut Imam Syafi’i,
imam termasuk dalam orang yang 40.

191
5. Tidak didahului dan tidak bersamaan dengan shalat Jum’at
yang lain di daerah itu.
Yang dimaksud dengan tidak didahului atau tidak bersamaan
disini adalah dari segi mendahului atau bersamaan dalam
mengucapkan takbiratul ihram. Sehingga jika kedua shalat
Jum’at itu imamnya bersamaan dalam mengucapkan huruf
“ro” dari takbiratul ihrom maka Jum’at keduanya tidak sah.
Dan kedua kelompok itu bersatu untuk mendirikan shalat
Jum’at lagi.
Adapun jika didahului oleh Jum’at yang lain di tempat itu,
maka yang shalat pertama kali sah hukumnya, dan yang
shalat jum’at kedua tidak sah dan diganti shalat dhuhur.
Mengapa shalat Dhuhur bukan mengulang shalat Jum’atnya?
Karena shalat Jum’atnya yang pertama sudah dianggap sah.

 Tidak boleh mendirikan lebih dari satu shalat Jum’at dalam


satu wilayah kecuali:
a. Jika masjidnya tidak dapat menampung jumlah jama’ah
yang terlalu banyak dari penduduk kota tersebut, sehingga
boleh mendirikan dua Jum’at atau lebih menurut kebutuhan
mereka.
b. Jika para jama’ah dari dua masjid tersebut tidak akur dan
saling bermusuhan sehingga apabila dikumpulkan dalam
satu masjid akan terjadi pertumpahan darah dan lain-lain.
c. Jika jarak antara satu masjid dengan masjid yang lain sangat
jauh, sekiranya para jama’ah masjid yang lainnya tidak
dapat mendengar suara adzan yang dikumandangkan dari
ujung desa atau kota tersebut.

192
6. Harus didahului oleh dua khutbah.
Tidak sah shalat Jum’at tanpa didahului dua khutbah atau
khutbahnya hanya satu kali.
Permasalahan:
1. Bagaimana jika makmum masbuk dalam shalat Jum’at?
Jika makmum masbuk dan mendapatkan 1 rakaat bersama
imam, maka shalat Jum’atnya sah, dan wajib menambah 1
rakaat untuk menyempurnakannya.
2. Bagaimana jika makmum tidak mendapatkan 1 rakaat
bersama imam?
Contoh: makmum masuk dalam jama’ah shalat setelah
imam i’tidal dan hendak sujud pada rakaat kedua, maka
hukumnya adalah makmum wajib menambah 4 rakaat
setelah imamnya salam, dan shalat makmum berubah
menjadi shalat Dhuhur.



193
BAB 41

RUKUN-RUKUN KHUTBAH JUM’AT

‫ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ‬٬ ‫ ﺣﻤﺪ ﺍﷲ ﻓﻴﻬﻤﺎ‬: ‫ﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﳊﻄﺒﺘﱺ ﺧﻤﺴﺔ‬


‫ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ‬٬ ‫ ﻭﺍﻟﻮﺻﻴﺔ ﺑﺎﻟﺘﻘﻮﻯ ﻓﻴﻬﻤﺎ‬٬ ‫ﺻﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻴﻬﻤﺎ‬
‫ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﱺ ﻭﺍﳌﺆﻣﻨﺎﺕ ﰲ‬٬ ‫ﺃﻳﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﰲ ﺇﺣﺪﺍﻫﻤﺎ‬
۰‫ﺍﻷﺧﱹﺓ‬

Rukun-rukun dua khutbah ada 5:


1. Membaca hamdalah di dalam dua khutbah (pertama dan
kedua).
2. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. di dalam
dua khutbah.
3. Wasiat taqwa di dalam dua khutbah.
4. Membaca sebagian dari ayat al Qur’an di dalam salah satu
khutbah.
5. Membaca do’a untuk orang mu’min laki-laki dan
perermpuan di khutbah kedua.

Penjelasan:
1. Membaca hamdalah di dalam dua khutbah (pertama dan
kedua).
194
Wajib membaca kalimat hamdalah dalam khutbah pertama
dan kedua. Apabila di salah satunya saja maka tidak sah.
Contoh kalimat hamdalahnya adalah boleh dengan kalimat

‫ﺍﳊﻤﺪ ﷲ‬ atau dengan kalimat ‫ﺃﻧﺎﺣﺎﻣﺪ ﷲ‬ .

2. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. di dalam


dua khutbah.
Boleh dengan kalimat shalawat apapun asalkan itu adalah
shalawat kepada Nabi Muhammad saw., tidak disyaratkan
harus memakai nama Muhammad, tetapi boleh memakai

nama lain dari nama Rasulullah saw., seperti ( ‫ ) ﺃﺣﻤﺪ‬atau (


‫ ) ﺍﻟﺤﺎﺷﺮ‬atau nama Nabi Muhammad yang lainnya.
Tidak sah jika hanya memakai dhomir (kata ganti) saja, seperti
( ‫) ﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪ‬.
Tidak sah jika memakai selain lafadz shalawat.
Contoh shalawat kepada Beliau salah satunya adalah:

‫ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻠﻰ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ‬


3. Wasiat taqwa di dalam dua khutbah.
Memberikan wasiat taqwa di dalam 2 khutbah adalah wajib.

Contoh kalimatnya adalah: ( ‫ﺍﷲ‬ ‫) ﺃﻭﺻﻴﻜﻢ ﻭﻧﻔﺴﻲ ﺑﺘﻘﻮﻯ‬.


4. Membaca sebagian dari ayat al Qur’an di dalam salah satu
khutbah.
Boleh membaca di khutbah yang pertama boleh juga di
khutbah yang kedua. Yang utama adalah membaca ayat di
khutbah yang pertama, agar seimbang antara dua khutbah,
195
yang pertama membaca sebagian ayat al Qur’an dan yang
kedua ada rukun membaca do’a untuk kaum muslimin.
Dan syarat ayat yang dibaca adalah ayat yang memahamkan,
paling sedikitnya satu ayat. Dan tidak sah apabila ayatnya
tidak memberi pemahaman atau pengertian bagi

pendengarnya, misalnya: ‫ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ‬ atau ‫ ﻁﻪ‬atau ‫ﻳﺲ‬ .

5. Membaca do’a untuk orang mu’min laki-laki dan


perermpuan di khutbah kedua.
Do’a ini diharuskan berhubungan dengan urusan akhirat
mereka, tidak cukup hanya urusan duniawi saja. Dan tidak
boleh dikhususkan untuk kaum muslimin yang hadir
mendengarkan khutbah saja melainkan untuk semua kaum
muslimin.
Permasalahan:

 Apakah khutbah Jum’at harus tertib dari hamdalah sampai


do’a?¹
Tidak, menurut pendapat yang mu’tamad (kuat) tertib
adalah tidak wajib melainkan termasuk sunnah.



Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Jum’at, Hal 412.
196
BAB 42

SYARAT-SYARAT KHUTBAH JUM’AT

Syarat-syarat dua khutbah ada 10:


1. Khotib harus suci dari dua hadats, besar dan kecil.
2. Pakaian, badan dan tempat harus suci dari najis.
3. Menutup aurat.
4. Berdiri bagi yang mampu.
5. Duduk diantara dua khutbah lebih lama dari
thuma’ninahnya shalat.
6. Berturut-turut antara dua khutbah.
7. Berturut-turut antara dua khutbah dan shalat.
8. Rukun-rukun khutbah harus dengan bahasa Arab.
9. Khutbahnya harus didengar oleh 40 orang.
10. Kesemuanya harus didalam waktu Dhuhur.

Penjelasan:
1. Khotib harus suci dari dua hadats, besar dan kecil.
Tidak sah khutbah tanpa bersuci (thoharoh) terlebih dahulu.

2. Pakaian, badan dan tempat harus suci dari najis.


Ketiganya harus suci dari najis yang di ma’fu sebagaimana
ketika akan shalat. Maka tidak sah khutbahnya apabila salah
satu dari yang tiga itu terkena najis. Andaikata terinjak najis
maka, sucikan najisnya dan diulang khutbahnya.
197
3. Menutup aurat.
Jika auratnya terbuka dan tidak cepat-cepat ditutupnya
kembali (jika berlalu waktu yang cukup untuk menutup ia
tidak segera menutupnya) maka batal khutbahnya dan harus
mengulanginya dari awal.

4. Berdiri bagi yang mampu.


Khutbah harus dilaksanakan dalam keadaan berdiri bagi yang
mampu. Apabila tidak mampu berdiri maka boleh berkhutbah
dengan duduk, jika tidak mampu boleh berbaring. Akan tetapi
lebih utama adalah diganti dengan orang yang mampu
berdiri.
Jika melaksanakan khutbah dengan duduk, sebagai pengganti
duduk diantara 2 khutbah adalah dengan cara diam diantara
2 khutbah.

5. Duduk diantara dua khutbah lebih lama dari


thuma’ninahnya shalat.
Yaitu lebih dari kadar waktu membaca “subhanallaah”, akan
tetapi yang lebih utama adalah terpisahnya kedua khutbah
tersebut seukuran waktu membaca surat al-Ikhlas, dan khotib
disunnahkan membaca surat al-Ikhlas ketika duduk diantara
dua khutbah.

6. Berturut-turut antara dua khutbah.


Berturut-turut disini adalah tidak dipisahkan antara kedua
khutbah dengan waktu yang cukup untuk shalat dua rakaat.

198
7. Berturut-turut antara dua khutbah dan shalat.
Antara kedua khutbah dan shalat tidak terpisah dalam waktu
yang lama. Setelah selesai khutbah kedua langsung iqomat
untuk shalat Jum’at. Waktu lamanya adalah umumnya orang
mengatakan lama, sebagian ulama berpendapat waktunya
adalah cukup untuk melakukan 2 rakaat shalat yang ringkas.
Apabila lebih dari itu maka batal khutbahnya dan wajib
mengulang dari awal.

8. Rukun-rukun khutbah harus dengan bahasa Arab.


Semua rukun khutbah harus dibaca dengan bahasa Arab,
meskipun para hadirin yang shalat Jum’at adalah bukan orang
Arab dan tidak faham bahasa Arab. Selain rukun-rukun
khutbah boleh dengan bahasa apapun.

9. Khutbahnya harus didengar oleh 40 orang (rukunnya).


Rukun khutbahnya harus didengar oleh 40 orang yang
memenuhi syarat (mustautin, laki-laki, merdeka, baligh).
Maka tidak sah khutbah Jum’at jika diantara 40 orang ada
yang tidak mendengarkannya. Misalnya ada satu orang yang
tertidur dari yang 40 orang itu sehingga ia tidak
mendengarkan (rukun khutbah) yang dibaca khotib maka
khutbah tersebut batal dan harus diulang rukun-rukun
khutbahnya.

10. Kesemuanya harus didalam waktu Dhuhur.


Dua khutbah jum’at tersebut semuanya dilaksanakan pada
waktu Dhuhur, maka tidak sah apabila sebagian rukunnya
dilaksanakan diluar waktu Dhuhur.
199
 Tambahan:
Khotib untuk Khutbah Jum’at adalah harus dari kaum laki-laki.
Permasalahan:
1. Bagaimana apabila Khotib batal wudhu ditengah-tengah
khutbahnya?
Ia tidak boleh meneruskan khutbahnya, akan tetapi wajib
berwudhu kemudian ia wajib mengulangi khutbahnya dari
pertama.

2. Apakah boleh ketika khotib batal, kemudian digantikan oleh


orang lain?
Boleh, tetapi dengan syarat orang yang menggantikannya itu
telah mendengar rukun-rukun yang telah dibawakan oleh
khotib pertama, sehingga ia tinggal meneruskan khutbah dari
khotib pertama tanpa mengulangi dari awal.¹

3. Apakah boleh jika yang menjadi Imam dalam shalat Jum’at


adalah selain khotibnya?
Hukumnya boleh, dengan syarat yang akan menjadi imam
mendengar seluruh rukun-rukun khutbah yang dibacakan oleh
sang khotib.²



200
Keterangan Sumber Kitab:

1. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya


Ust. Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bab: Shalat Jum’at, Hal 413.
2. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar. Jilid 2, Bab Shalat Jum’at, Hal 118.

201
PENUTUP

Allah adalah Dzat yang lebih mengetahui dengan benar...


Alhamdulillah telah selesai tulisan ini, sebagian dari ilmu fiqih
thorahoh dan shalat, yang hanya setetes dari samudera yang
diambil dari kitab Safinatunnaja karya Syaikh Salim bin Smeer al
Hadrami. Hanya Allah yang Maha Benar dan Maha Mengetahui
kebenaran. Dengan nama Allah dan dengan kemuliaan Nabi
Muhammad saw., semoga Allah mengeluarkanku, orang tuaku,
sahabat-sahabatku dan kaum muslimin dari dunia ini secara
Islam, dalam keadaan diridhoi oleh Allah Yang Maha Mulia dan
dalam keadaan baik. Semoga Allah mengampuniku dan kita
semua dari segala dosa, baik yang besar atau yang kecil. Dan
semoga kita dikumpulkan bersama Nabi Muhammad saw., Nabi
yang kita selalu damba-dambakan syafaatnya di hari Kiamat
kelak.. aamiin ya robbal ‘aalamiin...

202
DAFTAR PUSTAKA

1. Safinatunnaja, karya Syaikh Salim bin Smeer Al Hadrami


2. Bidayatul Hidayah, karya Imam al Ghozali
3. Syarah Safinatunnaja (Nailurroja’), karya al Habib Ahmad bin
Umar asy-Syathiri
4. Kifayatul Akhyar, karya Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad al-Husaini
5. Sabilul Muhtadin, karya Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari
6. Ibanatul Ahkam, karya Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki
7. Lima Ratus Sunnah dalam Shalat, karya Habib Muhammad
bin Alawi al Aydrus
8. Syarah Safinatunnaja, karya Ustad Muhammad bin Agil al-
Athos
9. Fiqhul Ibadah li Ahlil Bidayati Minatthoolibiina wa Tholibaat,
karya Sayyid Muhammad Amin bin Idrus bin Syeikh Abu
Bakar
10. Bagaimana Anda Menunaikan Shalat Dengan Benar, karya
Ustad Segaf Hasan Baharun
11. Fiqih Sistematis (Terjemah at-Taqrirat as-Sadidah fi al-
Masail Mufidah), karya Habib Hasan bin Muhammad al-
Kaff

203

Anda mungkin juga menyukai