Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ILMU MUNASABAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen pengampu : Zulaikhah Fitri Nur Ngaisah, M. Ag

Penyusun :

Disusun oleh :

1. Galih Syaputra Pradana 4319012


2. Firda Yuliasari 4321052
3. Fifi Aprilia Yulianti 4321107

Kelompok : 5

Kelas : Ulumul Qur’an C

PRODI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

TAHUN 2022/2023
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
Berikut beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian dari munasabah ?
2. Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan munasabah?
3. Apa saja macam-macam munasabah?
4. Bagaimana kedudukan munasabah dalam menafsirkan al-Qur’an?
5. Apa manfaat mempelajari munasabah ?
6. Bagaimana contoh munasabah dalam al-Qur’an ?
1.3 Tujuan
Berikut beberapa tujuan dalam makalah ini, yaitu:
1. Menjelaskan pengertian dari munasabah.
2. Mendeskripsikan sejarah pertumbuhan dan perkembangan munasabah.
3. Menjelaskan macam-macam munasabah.
4. Mendeskripsikan kedudukan munasabah dalam menafsirkan al-Qur’an.
5. Menjelaskan manfaat mempelajari munasabah.
6. Menjelaskan contoh munasabah dalam al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Munasabah
Kata munasabah secara etimologi berarti almuqarabah (kedekatan), al-
musyakalah (keserupaan) dan al-muwafaqoh (kecocokan).5 Contoh dalam kalimat
sebagai berikut: fulan yunasib fulan, berarti si fulan (A) mempunyai hubungan
dekat dengan si fulan (B) dan menyerupainya.
Dari kata itu, lahir pula kata “an-nasib,” berarti kerabat yang mempunyai
hubungan seperti dua orang bersaudara dan putra paman. Istilah munasabah juga
digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas, dan berarti Al-wasf Almuqarib li Al-
hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah
diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian). Karenanya munasabah
merupakan hal yang logis (apabila dijelaskan dapat diterima akal).
Sedangkan secara terminologi (istilah), munasabahdapat didefinisikan sebagai
berikut:
1. Menurut Az-Zarkasyi:
“Munasabah adalah suatu perkara yang dapat dipahami oleh akal. Tatkala
dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.”
2. Menurut Manna’ Al-Qathtan:
“Munasabah adalah aspek yang punya keterikatan antara satu kalimat dengan
kalimat lain dalam satu ayat, antara ayat satu dengan ayat lain dalam banyak
ayat, atau antara surat dengan surah yang lain (di dalam Al-Quran).”
3. Menurut Ibn Al-’Arabi:
Munasabah adalah keterkaitan ayat ayat Al-Quran sehingga seolah-olah
merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan
redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”
------------
Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, (Beirut: Darul Fikr, 1972), h. 916.
Az-Zarkasyi , op.cit., h. 61. Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran,
2.2 Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Munasabah
Al-Quran merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.11 Di
dalamnya sarat dengan informasi yang selalu hangat dan aktual dari zaman ke
zaman. Dan walaupun segala usaha telah dikerahkan untuk menggali dan
menyelami isi kandungan al-Quran, hal itu tidak pernah akan habis-habisnya.12
Berbagai ilmu yang mendukung untuk lebih memahami isi kandungannya telah
melahirkan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengannya, seperti: ilmu asbab
nuzul, makki madani, munasabah dan yang lainnya.
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihad.
Artinya, pengetahuan tentang ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak
ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabat. Oleh karena itu, tidak
ada keharusan mencari munasabahpada setiap ayat. Alasannya, Al-Quran
diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa
yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang mufasir menemukan keterkaitan
suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan
keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Dalam hal ini, Syekh
‘Izzuddin bin ‘Abd As-Salam berkata “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik,
tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata secara baik itu disyaratkan hanya
dalam hal yang bagian awal dengan bagian akhirnya memang bersatu dan
terkoneksi. Sedangkan, apabila terjadi pada berbagai sebab yang berbeda,
keterkaitan salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang
mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya.
Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan korelasi yang lemah.
----------
Lihat Q.S. Al-Kahfi [18], ayat 109. Artinya: Katakanlah: Kalau sekiranya lautan
menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan
itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula).

Itu semua mengingat Al-Quran diturunkan dalam waktu lebih dari dua puluh
tahun, mengenai berbagai hukum dan dengan beragam sebab. Oleh karenanya,
tidak mudah menginterkoneksikan antara yang satu dengan lain” Mengetahui
munasabat atau pertautan antara beberapa ayat dalam Al-Quran bukanlah
merupakan halhal yang ditetapkan oleh Al-Quran itu sendiri atau AlHadits,
melainkan sepenuhnya bertitik tolak dari ijtihad dan kepandaian serta kejelian si
mufassir dalam menerangkan i’jaz-i’jaz dan rahasia-rahasia Al-Quran. Oleh
karena itu, sangat sulit untuk menentukan criteria yang dapat dijadikan pedoman
tatkala menentukan kriteria umum yang dapat dijadikan rujukan. Umpamanya,
jika munasabah itu seiring dengan konteks redaksi ayat serta tidak bertentangan
dengan kaedah-kaedah linguistic Arab, munasabah itu dapat diterima.14As-
Suyuthi menjelaskan secara global bahwa ada beberapa langkah yang perlu
dilakukan untuk menemukan munasabah, yaitu:
1. Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek bahasan.
2. Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam
surat.
3. Mengkategorikan uraian tersebut dengan tingkat hubungannya (interkoneksi),
jauh dekatnya korelasi.
4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan ungkapan-
ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
2.3 Macam-macam Munasabah
a. Munasabah dari Segi Sifat atau Keadaan
1) Munasabah yang Jelas (Zhahir al-Irtibath)
Maksudnya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat
berikutnya atau satu ayat dengan ayat berikutnya terlihat jelas atau
tampak nyata.
--------
Al-Qaththan, op. cit. h. 98. 14 Rosihan Anwar, Pengantar Ulumul Quran,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), h. 139.
Adakalanya kalimat atau ayat yang kedua bisa berupa ta’kid
(penegasan), tafsir (penjelasan), i’tiradh (bantahan), atau tasydid
(penekanan) terhadap kalimat atau ayat yang pertama. Kalimat atau
ayat sebelumnya tergantung dengan kalimat atau ayat sesudahnya,
tidak dapat dipisahkan. Karena jika dipisahkan maka maknanya
menjadi tidak sempurna, bahkan bisa menimbulkan pemahaman yang
keliru. Sebagai contoh dalam Q.S. Al-Ma’un ayat 4-7.

َ ‫فَ َو ْي ٌل لِّ ْل ُم‬


(٤)‫ْن‬Hَ ‫صلِّي‬

َ ‫الَّ ِذ ْينَ هُ ْم ع َْن‬


(٥) َ‫صاَل تِ ِه ْم َساهُوْ ن‬
(٦) َ‫الَّ ِذ ْينَ هُ ْم يُ َر ۤاءُوْ ن‬
(٧) َ‫َويَ ْمنَعُوْ نَ ْال َما ُعوْ ن‬
Artinya : “Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu)
yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberi)
bantuan.”

Ayat tersebut mempunyai korelasi yang jelas dan tidak dapat


dipisahkan. Karena apabila dipisahkan dapat menimbulkan sebuah
pertanyaan “mengapa orang yang salat mendapatkan kecelakaan?”
padahal ia telah menunaikan sebuah kewajiban yang telah
ditetapkan. Maka dari sinilah peranan munasabah itu penting dengan
melihat kolerasi di antara ayat-ayat baik sebelum dan
sesudahnya. Untuk memberikan pemahaman yang baik dan benar
dalam menafsirkan ayat.

2) Munasabah yang Tidak Jelas (Khafiy al-Irtibath)


Maksudnya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat
berikutnya atau antara satu ayat dengan ayat berikutnya tidak tampak
nyata. Masing-masing berdiri sendiri, tidak tergantung dengan kalimat
atau ayat sesudahnya. Kesempurnaan makna kalimat pertama atau ayat
pertama tidak tergantung dengan kalimat atau ayat berikutnya. Jadi,
apabila dipisahkan maknanya tetap sempurna. Ada dua bentuk irtibath
yang tidak tampak, yaitu:
a) Irtibath Ma’Thufah
Irtibath Ma’thufah yakni Irtibath antara satu bagian dengan
bagian lain dari ayat menggunakan huruf ‘athaf. Bagian kedua bisa
berupa nazhir (bandingan) dan syarik (mitra) dari bagian
sebelumnya dan bisa berupa al-madhadhah (lawan katanya).
Berikut contoh yang berupa nazhir (bandingan), dalam Q.S. Al-
Hadid ayat 4:

ِ ْ‫ض فِى ِستَّ ِة َأي ٍَّام ثُ َّم ٱ ْستَ َو ٰى َعلَى ْٱل َعر‬
‫ش‬ َ ْ‫ت َوٱَأْلر‬ َ َ‫ۚ هُ َو ٱلَّ ِذى َخل‬
ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬

ِ ْ‫يَ ْعلَ ُم َما يَلِ ُج فِى ٱَأْلر‬


ِ َ‫ض َو َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا َو َما ي‬
‫نز ُل ِمنَ ٱل َّس َمٓا ِء َو َما يَ ْع ُر ُج‬

ِ َ‫فِيهَا ۖ َوهُ َو َم َع ُك ْم َأ ْينَ َما ُكنتُ ْم ۚ َوٱهَّلل ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬


‫صي ٌر‬
Artinya : “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa: Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui
apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya
dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya.
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Kata kerja “yaliju” yang berarti masuk adalah bandingan


dari kata kerja “yakhruju” yang berarti keluar. Begitu juga kata
kerja “yanzilu” yang berarti turun adalah bandingan dari kata kerja
“ya’ruju” yang berarti naik. Tampak dalam ayat tersebut kaitan
antara kalimat apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang
keluar daripadanya; dan kaitan antara apa yang turun dari langit
dan apa yang naik kepada-Nya. Sehingga kalimatnya menjadi
sangat serasi.1

b) Irtibath Ghairu Ma’Thufah


Irtibath Ghairu Ma’Thufah merupakan irtibath antara satu
bagian dengan bagian lain dari ayat tidak menggunakan huruf
‘athaf. Maka untuk mencari munasabahnya dalam hal ini harus
dicari melalui qarain maknawiyah, yakni petunjuk petunjuk yang

1
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an..., jilid I, juz I, hlm. 40. Lihat juga
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, hlm. 149.
didapat dari pengertian maknanya. Petunjuk-petunjuk maknawiyah
yang bisa digunakan antara lain adalah:
1. At-Tanzhir (perbandingan)
At-Tanzhir yakni membandingkan dua hal yang sebanding
menurut kebiasaan orang berakal.
2. Al-Madhadhah (berlawanan)
3. Al-Istidhrad (peralihan kepada penjelasan lain)
4. At-Takhallush (peralihan)
At-Takhallush yakni peralihan yang terus menerus dan
tidak kembali lagi pada pembicaraan pertama.

b. Munasabah dari Segi Materi


1) Munasabah Antara Satu Kalimat dengan Kalimat Lain Dalam
Satu Ayat
Munasabah jenis ini bertujuan untuk mencari hubungan atau
kaitan antara satu kalimat dengan kalimat sebelumnya yang masih
dalam satu ayat. Misalnya dalam Q.S. Al-Fatihah ayat 2, yang
berbunyi:

َ‫ْٱل َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْٱل ٰ َعلَ ِمين‬


Artinya : “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Dalam lafadz tersebut terdapat korelasi antara lafadz lillahi yang
artinya “bagi Allah”, yang dijelaskan oleh lafadz selanjutnya tentang
siapa Allah itu, yakni Rabbi al-‘alamin yang artinya “Tuhan semesta
alam”.
2) Munasabah Antara Ayat dengan Ayat Dalam Satu Surat
Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu ayat dengan
ayat sesudahnya yang masih dalam satu surat. Misalnya hubungan
antara Surat Al-Isra’ ayat 1 dan 2, berikut:

َ ‫ى َأ ْس َر ٰى بِ َع ْب ِد ِهۦ لَ ْياًل ِّمنَ ْٱل َم ْس ِج ِد ْٱل َح َر ِام ِإلَى ْٱل َم ْس ِج ِد ٱَأْل ْق‬
‫صا ٱلَّ ِذى‬ ٓ ‫ُس ْب ٰ َحنَ ٱلَّ ِذ‬
ِ َ‫ٰبَ َر ْكنَا َحوْ لَهۥُ لِنُ ِريَ ۥهُ ِم ْن َءا ٰيَتِنَٓا ۚ ِإنَّهۥُ هُ َو ٱل َّس ِمي ُع ْٱلب‬
‫صي ُر‬
Artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

‫وا ِمن ُدونِى‬ َ ‫ب َو َج َع ْل ٰنَهُ هُدًى لِّبَنِ ٓى ِإس ٰ َْٓر ِء‬


۟ ‫يل َأاَّل تَتَّ ِخ ُذ‬ َ َ‫َو َءاتَ ْينَا ُمو َسى ْٱل ِك ٰت‬
‫َو ِكياًل‬

Artinya : “Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami
jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman):
"Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.”

Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat pertama menyebutkan


bahwa Allah menganugerahkan Nabi Muhammad untuk mengisra’kan
beliau dalam waktu yang singkat. Sedangkan pada ayat kedua Allah
mengisra’kan Nabi Musa dari Mesir ke negeri Palestina yang diberkati,
namun memakan waktu yang lama. Dalam hal ini penyebutan Nabi
Musa memiliki kaitan yang sangat jelas dengan peristiwa Isra’ dan
Mi’raj, karena beliau berulang-ulang kali mengusulkan Nabi
Muhammad untuk memohon kepada Allah dalam meringankan
atas kewajiban shalat 50 kali sehari semalam. Maka dapat
disimpulkan bahwa pada surah al-Isra’ ayat 1 dan 2 terdapat kolerasi
yang saling terkait satu sama lain. Di mana pada kedu aayat tersebut
menjelaskan seorang nabi yang sama-sama dianugerahkan oleh
Allah dalam pelaksanaan Isra’ mi’raj, namun dengan durasi waktu
yang berbeda.2

3) Munasabah Antara Awal Surat dengan Akhir Surat Dalam Satu


Surat
Misalnya dalam Q.S. Al-Mukminun ayat 1 dan 117, yang berbunyi:

2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 7, hlm. 407.
Hَ ُ‫قَ ْد َأ ْفلَ َح ْٱل ُمْؤ ِمن‬
‫ون‬
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.”

َ‫ِإنَّهۥُ اَل يُ ْفلِ ُح ْٱل ٰ َكفِرُون‬...


Artinya : “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung.”
Pada ayat pertama dijelaskan bahwa orang-orang yang beriman
akan beruntung dan pada ayat terakhirnya menjelaskan jika orang-
orang kafir tidak akan beruntung. Maka terdapat keserasian antara
pembukaan dan penutup surat Al-Mukminun di mana adanya
perbandingan antara orang yang beriman dengan orang yang
kafir.

4) Munasabah Antara Awal Surat dengan Akhir Surat Sebelumnya


Misalnya awal Surat Al-Hadid dengan akhir Surat Al-Waqi’ah. Allah
SWT berfirman:

‫ض ۖ َوهُ َو ْٱل َع ِزي ُز ْٱل َح ِكي ُم‬


ِ ْ‫ت َوٱَأْلر‬
ِ ‫َسب ََّح هَّلِل ِ َما فِى ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
Artinya : “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi
bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

‫ك ْٱل َع ِظ ِيم‬
َ ِّ‫فَ َسبِّحْ بِٱس ِْم َرب‬
Artinya : “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang
Maha Besar.”
Hal ini dapat dilihat bahwa adanya keterkaitan dan kedekatan
makna di antara keduanya. Di dalam Surah Al-Waqiah sangat
jelas bahwa Allah memerintahkan untuk bertasbih dan hanya
menyebut nama-Nya. Selanjutnya jika dikaitkan pada Surah Al-Hadid
bahwa seluruh yang ada di langit dan bumi bertasbih menyebut nama-
Nya. Hal ini menyatakan kebesaran-Nya dan ke kokohan-Nya.

5) Munasabah Antara Nama Surat dengan Isi Kandungannya


Nama-nama surat yang ada dalam al-Qur’an mempunyai hubungan
dengan isi kandungan suratnya. Misalnya, Surat Al-Fatihah yang
mempunyai dua nama: Pertama disebut Al-Fatihah, karena posisinya
yang berada di awal al-Qur’an. Kedua disebut Ummul Qur’an
(induknya al-Qur’an), karena dalam surat ini memuat berbagai tujuan
al-Qur’an.

2.4 Kedudukan Munasabah dalam Menafsirkan al-Qur’an


Kajian tentang munasabah sangat diperlukan dalam penafsiran al-
Qur’an karena untuk menunjukkan keserasian antara kalimat dengan
kalimat dalam satu ayat, keserasian antara satu ayat dengan ayat
berikutnya, bahkan juga keserasian antara satu surat dengan surat
berikutnya, dan lain sebagainya. Tatkala menemukan ayat-ayat yang
sepertinya tidak ada keterkaitannya sama sekali, maka sebagian orang
yang tidak mengetahui munasabah akan mempertanyakan kenapa
penyajian al-Qur’an melompat-lompat dari satu masalah ke masalah lain
atau dari satu tema ke tema lain (tidak sistematis). Namun, setelah
mengetahui munasabah maka mereka akan menyadari bahwa al-Qur’an
tersusun dengan sangat serasi dan sistematis, dan tentu saja berbeda
dengan sistematika buku-buku dan karya ilmiyah buatan manusia.
Adapun menurut as-Suyuthi, ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat
penting dalam penafsiran al-Qur’an, tetapi hanya sedikit mufassir yang
memberikan perhatiannya dikarenakan ilmu ini sangat memerlukan
ketelitian dan kejelian. Di antara mufassir yang banyak memberikan
perhatian terhadap ilmu munasabah adalah Imam Fakhruddin ar-Razi. Ar-
Razi menyatakan bahwa sebagian besar rahasia yang tersembunyi dari al-
Qur’an tersimpan dalam persoalan urutan surat dan ayat serta kaitan antara
satu sama lain. Khusus tentang Surat Al-Baqarah, ar-Razi menyatakan
bahwa siapa saja yang memperhatikan rahasia susunan ayat-ayat dalam
surat ini maka ia akan mengetahui bahwa al-Qur’an tidak hanya mukjizat
dari segi kefasihan lafal-lafalnya dan kehebatan isinya saja, tetapi juga
mukjizat dari segi susunan surat dan ayat-ayatnya.3

3
As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, juz III, hlm. 322-323.
Ada tiga arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam
memahami dan menafsirkan al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1) Dari sisi balighah, korelasi antara ayat dengan ayat menjadikan ayat-
ayat al-Qur’an utuh dan indah.
2) Ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna
ayat atau surat.
3) Ilmu munasabah sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an, sehingga dapat menjelaskan keutuhan makna ayat atau
kelompok ayat. 4

2.5 Manfaat Mempelajari Munasabah


2.6 Contoh Munasabah dalam al-Qur’an

4
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 172-173.

Anda mungkin juga menyukai