Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH AL-QURAN HADIST KELAS X

SEMESTER 2 TENTANG HADIST, SUNNAH,


ATSAR, KHABAR, DAN HADIST QUDSY

Dosen pengampu:

OLEH:

SEKOLAH TINGGI IL,U TARBIYAH

AL URWATUL WUTSQO

JOMBANG 2019/2020

0
DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN...................................2

B. PEMBAHASAN........................................3

1. HADIST.............................................3
2. SUNNAH............................................6
3. KHABAR............................................8
4. ATSAR................................................9
5. HADIST QUDSI................................10

C. KESIMPULAN..........................................12

D. DAFTAR PUSTAKA.................................13

1
A. Pendahuluan
Dalam Agama Islam dikenal dua sumber utama yang menjadi acuan dalam
menjalankan ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan segala hal yang bersumber dari
Nabi Muhammad SAW yang lebih sering disebut sebagai Hadits. Al-Qur’an
merupakan sumber pertama dan utama dalam kajian Islam. Sedangkan Hadits
merupakan sumber kedua dalam ajaran Islam. Kedua sumber penting itu
merupakan pegangan hidup umat Islam, yang jika dipegang secara teguh, maka
akan mampu menghindarkan dari ketersesatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai sebuah sumber hukum yang penting bagi umat Islam, hadits telah
dikaji berkali-kali oleh umat Islam dari masa ke masa. Dalam kajian Hadits,
terdapat berbagai macam diskursus yang menarik, terutama terkait peristilahan
yang digunakan untuk menyebut segala hal yang merupakan sabda Nabi SAW,
perilaku beliau, persetujuan beliau atas sebuah peristiwa maupun respon-respon
beliau terhadap kondisi masyarakat sekitar. Maka seringkali disebutkan dalam
literatur-literatur kajian Hadits istilah seperti Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar
maupun Hadits Qudsi. Akan tetapi seringkali ditemukan, penggunaan istilah-istilah
tersebut masih terkesan menyamakan antara Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar maupun
Hadits Qudsi. Istilah-istilah tersebut dipergunakan secara acak yang terkadang
menimbulkan pertanyaan terkait apakah istilah-istilah tersebut berbeda ataukah
sama.
Dalam dunia pendidikan Islam, istilah-istilah tersebut dipergunakan begitu
saja. Dalam buku-buku atau kitab-kitab keIslaman, juga seringkali menggunakan
istilah tersebut secara acak. Jika melihat implikasinya secara sekilas barangkali
tidak terlalu berarti. Akan tetapi ketiadaan penegasan itu barangkali akan
menimbulkan pemahaman yang tumpang tindih yang pada kelanjutannya akan
mengaburkan dalam proses kajian keIslaman. Hal ini senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Na’im yang menyatakan bahwa hal yang paling utama dan
pertama dilakukan dalam sebuah kajian adalah mengetahui terhadap apa yang
dikaji. 1 Memahami tentang istilah yang dikaji memiliki arti penting untuk

Abd muslim al-kasysyi hal 17

2
tercapainya kejelasan orientasi dan penentuan langkah strategis. Di samping itu
finalisasi dalam aspek terminologis keilmuan Hadits tidak akan didapatkan apabila
tidak ada kepastian dalam membedakan peristilahan-peristilahan tersebut. Oleh
karena itu, tulisan ini setidaknya akan ikut andil dalam menggali aspek kronologis
penyebutan varian istilah hadits tersebut.
Oleh karenya, Makalah ini kurang lebih akan mengulas tentang beberapa hal
seperti: pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi; Perbedaan
Ulama’ tentang definisi masing-masing istilah itu; perbedaan diantara ke lima hal
itu; dan Implikasi penggunaan varian istilah Hadits dalam kajian pendidikan Islam.

B. Pembahasan
1. Hadits
Istilah Hadis 2 atau Hadits seringkali dimaksudkan untuk menunjukkan
hal-hal yang terkait dengan diri Nabi Muhammad SAW, baik yang berbentuk
perbuatan, sabda (perkataan), persetujuan maupun hal-hal lain yang lebih luas.
Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyebut hal itu dengan istilah sunnah.
Inilah yang selalu menjadi perbincangan “wajib” dalam setiap literatur-literatur
studi hadits.

Beberapa literatur yang membahas tentang hadits, selalu memulai


mengartikan istilah Hadits dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Barang kali ini
menjadi sangat urgen mengingat bahwa setiap kata yang menjadi istilah pasti
memiliki asal-usul penggunaan sebelum kata tersebut berkembang dan
menyempit maknanya dalam peristilahan keilmuan tertentu. Kata Hadits (dalam
teks arab: ‫ )حديث‬dalam tinjauan kebahasaan (etimologis), memiliki kemiripan

arti dengan kata: ‫حدث – يحدث – حدوثا – وحداثة‬ yang dalam penjelasan

Abdul Majid memiliki beberapa makna seperti baru (al-jiddah), lemah lembut
(ath-thariy), dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-
kalaam).3 Oleh karenanya dari makna khabr (berita) inilah Hasbi Al-Shiddiqiy
berpendapat bahwa makna itu sering dihubungkan dengan kata tahdits yang

2
Abd al-rahman bin utsman bin umar hal 168
3
Abd ismail aal-aili hafsh bin umar hal 65

3
berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti penyampaian berita. 4 Betatapun
konten sebuah hadits dimodifikasi, di dalamnya tetap terdapat unsur ikhbar
(mengabarkan) ataupun tahdits (mengucapkan dalam rangka memberitahukan).

Penggunaan kata Hadits tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW
seperti misalnya pada sabda Nabi Muhammad SAW:

‫صلى هللا عليه‬- ‫عن النَّبى‬ َ ‫عن أَبيه‬ َ ‫ّللا بن َمسعُود‬ َّ ‫الرح َمن بن َعبد‬ َّ ‫عبد‬ َ ‫عن‬ َ
-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سمعتُ َر‬ َّ ُ ‫ قَا َل َعبد‬- ‫ أَنَّهُ قَا َل‬-‫وسلم‬
َ ‫الر َّزاق‬
ُ َ‫ظهُ َحتَّى يُبَلغَهُ فَ ُربَّ ُمبَلَّغ أَحف‬
‫ظ َلهُ من‬ َ ‫سم َع منَّا َحديثا فَ َحف‬ َّ ‫ نَض ََّر‬-‫يَقُو ُل‬
َ ‫ّللاُ ام َرأ‬
5
.‫سامع‬
َ
Dari Abdurrahman bin Abdulloh bin Mas’ud dari ayahnya, dari Nabi SAW,
bahwa ayahnya tersebut berkata: “Abdul Razaq berkata saya mendengar
Rasululloh SAW bersabda: “ semoga Allah memberikan cahaya pada orang
yang mendengar hadits dari saya, kemudian menghafalkannya lalu
menyampaikannya, maka banyak orang yang menyampaikan itu lebih hafal
daripada orang yang (hanya) mendengar (HR. Ahmad)

Penggunaan kata Hadits dalam beberapa ayat Al-Qur-an dan Teks


Hadits tersebut pada akhirnya juga menjadi sandaran beberapa pakar hadits
untuk menguatkan argumen-argumen mereka tentang terminologi hadis.

Ketika segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW ini
menjadi objek kajian keilmuan dalam disiplin ilmu Musthalah al-Hadits, maka
terdapatlah varian definisi yang bermunculan untuk mengurai hakikat “hal-hal
yang datang atau disandarkan pada Nabi Muhammad SAW”. Maka dalam
literatur studi Hadits terdapat beberapa definisi tentang Hadits. Misalnya
definisi Hadits yang diungkapkan oleh Muhadditsin (ulama’ hadis) seperti:

 Dr. Mahmud Al-Thahan:6

‫ما اضيف الى النبي من قول اوفعل او تقرير او صفة‬

4
Abd al-qohir al-baghdadi hal 62
5
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal hal 78
6
Abu hatim al-razi hal118

4
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, yang meliputi perkataan,
perbuatan, persetujuan, maupun sifat.
 Syaikh Mahfudz At-Turmusiy (Syaikh Mahfudz Termas, Pacitan)

‫ان الحديث ال يختص بالمرفوع اليه صلى هللا عليه وسلم بل جاء‬
‫بالموقوف وهو ما اضيف الى الصحابي والمقطوع وهو ما‬
7
‫اضيف للتابعي‬
“Bahwa Hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’,
yaitu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW;
melainkan juga bisa berupa sesuatu yang mauquf yaitu yang
disandarkan kepada shahabat dan juga bisa sesuatu yang
maqtu’ yaitu yang disandarkan kepada tabi’in”
 Syaikh Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi 8 yang mengutip dari
Syaikhul Islam Ibnu Hajar, bahwa Hadits adalah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam uraiannya,
Imam Suyuthi memaparkan bahwa memang terjadi berbagai macam
pengertian hadis. Bahkan dari macam-macam definisi tersebut
terkesan meniadakan perbedaan antara istilah-istilah tersebut.
Semuanya, baik itu hadits, atsar maupun maupun khabar memang
memiliki sisi kemiripan.
Akan tetapi dari kesemua definisi hadis yang telah dipaparkan di atas,
walaupun ada perbedaan pemaparan, tetapi semuanya memiliki substansi yang
sama, yaitu sebuah hal yang penyandarannya diarahkan kepada Nabi SAW.
Selain itu titik kesamaan lainnya adalah bahwa substansi dari definisi tersebut
mengarah kepada sebuah objek kajian. Dalam arti setiap definisi di atas selalu
mengisyaratkan kepada sebuah hal yang disandarkan pada seseorang, yang itu
menjadi objek kajian. Dan pada kenyataannya memang para ahli Hadits
menggunakan redaksi ma udlifa, atau ma jaa’a, ma utstsiro ilaihi dan
sejenisnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa apa yang menjadi objek kajian ilmu
hadits adalah sesuatu yang disandarkan, yang pada kelanjutannya memerlukan
proses untuk memastikan bahwa apa yang disandarkan itu benar atau tidak,
berkualitas atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dan lain
sebagainya.
7
Muh Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy hal 40
8
Abu mudhaffah bin al-sam’an hal 78

5
2. Sunnah
Dalam tinjauan kebahasaan sunnah berarti jalan, perjalanan atau
kebiasaan, baik itu positif maupun negatif. 9 Dalam ayat-ayat Al-Qur-an
maupun Hadits, juga sering dijumpai kata sunnah yang diartikan secara
bervariatif.
. Hal yang serupa juga bisa ditemui dalam Hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Jarir ibn Abdillah:

‫ب لَهُ مث ُل أَجر َمن‬ َ ‫سنَة فَعُم َل ب َها َبعدَهُ ُكت‬ ُ ‫س َّن فى اإلسالَم‬
َ ‫سنَّة َح‬ َ ‫َمن‬
ُ ‫س َّن فى اإلسالَم‬
َ ‫سنَّة‬
‫سيئَة‬ َ ‫ص من أ ُ ُجورهم شَىء َو َمن‬ ُ ُ‫عم َل ب َها َوالَ َينق‬
َ
‫ص من‬ ُ ُ‫ب َعلَيه مث ُل وزر َمن َعم َل ب َها َوالَ يَنق‬ َ ‫فَعُم َل ب َها َبعدَهُ ُكت‬
10
‫أَوزَ ارهم شَىء‬
“Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan
pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya
tanpa sedikitpun berkurang; dan barangsiapa membuat inisiatif yang
jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa-dosa orang yang
mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang (HR. Muslim)

Sedangkan sunnah menurut perspektif terminologi, terdapat beberapa


definisi yang di paparkan oleh para Ulama’ Hadits. Ambillah contoh Ajjaj Al-
Khatib maupun Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang menjelaskan
sunnah dalam 3 sudut pandang11, yakni:

a. Sunnah menurut sebagian Muhadditsin: “Segala apa yang dinisbatkan


kepada Rasululloh baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
karakter fisik dan etika, ataupun kebiasaan-kebiasaan Nabi SAW baik
sebelum diangkat menjadi utusan-seperti berhannuts-nya beliau di
gua Hira- maupun setelah diangkat menjadi rasul.”
Sementara menurut Muhadditsin yang lain, Sayyid Muhammad
menjelaskan bahwa “sunnah itu termasuk segala sesuatu yang

9
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur hal 43
10
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj hal 80
11
Abu hajir al-sa’id bin bas’yuni zaghlul

6
dihubungkan kepada para sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir ataupun sifat-sifatnya”.12
b. Sunnah menurut Ushuliyyin: “Segala sesuatu yang bersumber dari
Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur-an, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau ketetapan yang patut dijadikan dalil dalam penetapan
hukum agama (syari’at)”
c. Sunnah menurut Fuqaha’: “Segala sesuatu yang telah dipastikan
berasal dari Nabi SAW yang bukan merupakan hal fardlu juga bukan
hal yang wajib”
Sudut pandang dalam definisi di atas sudah sangat bisa dimaklumi
mengingat bahwa masing-masing ulama’ berangkat dari sudut pandang
keilmuan masing-masing. Keilmuan Ushul Fiqh memang menuntut adanya
dalil yang bisa dan layak untuk dijadikan dasar menentukan hukum. Sementara
keilmuan fiqh memang memiliki peristilahan tersendiri yang itu berkaitan
dengan bobot sebuah perintah (amr), apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh
atau haram. Sementara muhadditsin juga tidak seragam dalam memberikan
definisi terhadap sunnah, meskipun pada dasarnya tetap saja memiliki substansi
yang sama.
Dalam sebuah perbandingan, banyak juga para ahli hadits yang mencoba
menjelaskan definisi sunnah dengan menghadapkannya pada lawan kata
sunnah yaitu bid’ah. Dengan kata lain, Sunnah adalah sesuatu yang bukan
bid’ah.

3. Khabar

Secara etimologis khabar (‫ )الخبر‬berarti berita. Dalam pengembangan

bentuk katanya, kata khabar bisa berarti pemberitaan, baik itu berita yang
benar maupun berita yang salah. Kata Khabar ini tidak seperti kata Hadits dan

12
Muhammad Alwi, Al-Manhallu,… hal: 4

7
Sunnah yang telah dipergunakan cukup sering dalam ayat Al-Qur’an maupun
Hadits.
Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam
mendefiniskan Khabar. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa khabar
adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Di antara
definisi Khabar yang beredar di kalangan Muhadditisin digambarkan secara
lengkap oleh Ibnu Hajar sebagaimana sebagai berikut:

‫علماء الفن ُمرادف‬ُ ‫ الخبر عند‬:»‫وقال شيخ اإلسالم في «شرح النُّخبة‬


‫ الحديث‬:‫وقيل‬.‫طوع‬ُ ‫ وعلى الموقوف والمق‬,‫ فيُطلقان على ال َمرفُوع‬,‫للحديث‬
,‫ والخبر ما جاء عن غيره‬, - ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ما َجاء عن النَّبي‬
.‫ أخباري‬:‫ وبالتواريخ ونحوها‬,‫ ُمحدث‬:‫سنة‬ ُّ ‫ومن ث َ َّم قيل لمن يشتغل بال‬
13
.‫ وال عكس‬,‫ فكل حديث خبر‬,‫عموم وخصوص ُمطلق‬ ُ ‫ بينهما‬:‫وقيل‬
Syaikhul Islam (Ibnu Hajar) menuturkan dalam syarh nuhbah: “khabar
menurut pakar istilah merupakan sinonim dari hadits, dimana keduanya
merupakan sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, Sahabat dan
Tabi’in. pendapat lain mengungkapkan, bahwa hadits adalah sesuatu yang
berasal dari Nabi SAW sementara khabar berasal dari selain Nabi SAW.
Maka dari itu ada yang menyebut bahwa orang yang berkecimpung dalam
kajian sunnah disebut muhaddits, dan orang yang berkecimpung dalam
bidang tarikh/sejarah dan sesamanya disebut akhbariy. Pendapat lain
mengatakan dengan konsep umum-khusus, dalam arti setiap hadits adalah
khabar, dan belum tentu setiap khabar itu hadits.

Perbedaan dalam mengartikan khabar tersebut tampaknya masih terlihat


dalam literature-literatur hadits hingga kini. Para pakar kontemporer seperti
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manna Khalil Qatthan, hingga Subhi
Shalih tetap menguraikan perbedaan definisi khabar diantara para Ulama’.
Hanya saja, Subhi Shalih terlihat lebih memilih konsep umum-khusus dalam
membedakan Khabar dan Hadits. 14 Dalam arti bahwa setiap hadits itu pasti
khabar, dan setiap khabar belum tentu hadits. Karena bisa jadi khabar itu bukan
bersandar pada Rasulullah SAW, akan tetapi bisa jadi mauquf atau maqtu’. Hal

13
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi hal 103
14
Muhammad Alwi Al-Maliki hal 25-26

8
ini mengingat bahwa khabar lebih dominan sebagai pemberitaan atau
pemberitahuan, dari manapun datangnya.
4. Atsar

Secara etimologi, Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa
sesuatu dan berarti pula sesuatu yang dinukil (dikutip). Misalnya sering
terdengar ungkapan bahwa ”ini tafsir bil ma’tsur” yang maksudnya adalah
tafsir yang mengadopsi perkataan-perkataan atau ”bekas-bekas” orang
sebelumnya.
Sedangkan atsar menurut istilah, juga memiliki perbedaan definisi
diantaranya adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikh Dahlawi sebagai berikut:

‫وقد خصص بعضهم الحديث بالمرفوع والموقوف إذ المقطوع يقال‬


‫له األثر وقد يطلق األثر على المرفوع أيضا كما يقال األدعية‬
‫المأثورة لما جاء من األدعية عن النبي صلى هللا عليه و سلم‬
‫والطحاوي سمى كتابه المشتمل على بيان األحاديث النبوية وآثار‬
‫الصحابة بشرح معاني اآلثار وقال السخاوي إن للطبراني كتابا‬
‫مسمى بتهذيب اآلثار مع أنه مخصوص بالمرفوع وما ذكر فيه من‬
15
‫الموقوف فبطريق التبع والتطفل‬
“terkadang sebagian ulama’ mengkhususkan istilah hadits hanya untuk
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dan Sahabat, sedangkan
sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in disebut Atsar. Terkadang
istilah Atsar juga digunakan untuk menyebut sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, seperti misalnya ucapan seseorang bahwa “ini do’a

yang ma’tsur”, yang menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi SAW.

Ketika melihat pendapat semacam ini, maka Mahmud Thahan


memetakan definisi Atsar dalam 2 hal16, yakni:
 Atsar itu sama dengan Hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW
 Atsar itu berbeda dengan hadits, yakni bahwa atsar merupakan sesuatu
yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang meliputi ucapan
maupun perbuatan.

15
Abd al-Haq al-Dahlawi hal 134
16
Mahmud, Taisir…, Hal: 17

9
Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa Atsar hanya terkhusus
pada khabar yang mauquf atau maqtu’. Istilah atsar bisa digunakan untuk
menyebut Hadits jika disertai keterangan bahwa itu adalah hadits Nabi SAW.
misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan: “atsar ini dari Nabi SAW”, maka
berarti hal ini adalah hadits.

5. Hadits Qudsiy

Secara etimologi kata Qudsiy merupakan bentuk nisbah dari kata Quds
yang mempunyai arti bersih atau suci. Jikalau Quds berarti Suci, maka ketika
mendapat rangkaian huruf ya’ nisbah menjadi berarti: yang berhubungan
dengan hal yang suci atau disucikan.

‫قدس –> قدسي= قدسية‬


Hadits Qudsi merupakan varian lain dari hadits yang berasal dari Nabi
SAW. Secara terminologis, pengertian hadits qudsi yang telah disepakati
Muhadditsin adalah bahwa Hadits Qudsi merupakan setiap hal yang
diriwayatkan oleh Nabi SAW dari Tuhan Yang Maha Agung. Demikian yang
diungkap dalam Syarh Arba’in Nawawi.

‫ كل ما رواه النبي صلى هللا عليه وسلم عن ربه عز‬:‫والحديث القدسي‬


‫وجل‬
Akan tetapi terdapat perbedaan di kalangan Muhadditsin terkait lafadz
(redaksi) Hadits Qudsi. Perbedaan tersebut berangkat dari pertanyaan
mendasar: ”apakah hadits qudsi itu kalam Allah –dalam arti makna dan
lafadznya dari Allah sebagaimana Al-Qur’an- ataukah makna (substansi)
tersebut diwahyukan oleh Allah, kemudian Nabi SAW sendiri yang
memformulasikan redaksinya? Menanggapi pertanyaan ini, para Ulama’
(semoga Allah merahmati mereka) berbeda pendapat. Pendapat pertama
mengatakan bahwa seluruh komponen dalam hadits qudsi yang meliputi makna
dan lafadz berasal dari Allah SWT. Karena pada kenyataannya, Nabi SAW
meriwayatkan hadits tersebut dengan menyandarkannya kepada Allah SWT

seperti sabda beliau ‫ع َّز َو َج َّل يَقُو ُل‬ َّ ‫إ َّن‬.


َ َ‫ّللا‬ Ini menunjukkan bahwa lafadz

maupun makna Hadits tersebut dari Allah SWT. Apalagi pada kenyataannya

10
Nabi SAW adalah manusia yang paling dapat dipercaya dan kuat riwayatnya.
Tidak mungkin beliau mengungkapkan itu dengan tanpa arti dan maksud.
Pendapat kedua seakan memberikan bantahan terhadap pendapat yang
pertama. Para Ulama’ ini menyatakan bahwa lafadz hadits qudsi merupakan
lafadz Nabi SAW, sedangkan maknanya dari Allah SWT. Hal ini dikarenakan
oleh beberapa alasan, yakni:
 Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan maknanya dari
Allah SWT, maka berarti hadits Qudsi memiliki mata rantai sanad
yang lebih tinggi dari Al-Qur’an. Karena semua tahu bahwa hadits
Qudsi diriwayatkan Nabi SAW dari Allah SWT dengan tanpa
perantara Malaikat Jibril. Sementara Al-Qur’an disampaikan kepada
Nabi SAW melalui malaikat Jibril.
 Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan maknanya dari
Allah SWT, maka akan tidak ada bedanya antara hadits Qudsi dan
Al-Qur-an yang sama-sama Kalam Allah. Padahal Al-Qur’an telah
memiliki kekhususan dan keistimewaan seperti: bernilai ibadah bagi
yang membacanya, harus suci sebelum menyentuhnya, terjaga dari
campur tangan manusia dan lain sebagainya.
Menanggapi hal ini, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang
kedua yakni bahwa lafadz hadits Qudsi merupakan lafadz Nabi SAW sementara
maknanya berasal dari Allah SWT.
Contoh Hadis Qudsi misalnya:

‫عن أَبى‬ َ ‫عن أَبى سنَان‬ َ ‫ضيل‬ َ ُ‫َو َحدَّثَنَا أَبُو بَكر ب ُن أَبى شَيبَةَ َحدَّثَنَا ُم َح َّمد ُ ب ُن ف‬
َّ ‫سو ُل‬
- ‫ّللا‬ ُ ‫ قَاالَ قَا َل َر‬- ‫ رضى هللا عنهما‬- ‫سعيد‬ َ ‫عن أَبى ُه َري َرة َ َوأَبى‬ َ ‫صالح‬ َ
َ َ
‫صو َم لى َوأنَا أجزى به إ َّن‬ ُ
َّ ‫ع َّز َو َج َّل يَقو ُل إ َّن ال‬ َ َّ ‫ « إ َّن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬
َ ‫ّللا‬
‫س ُم َح َّمد ب َيده‬ ُ ‫ َوالَّذى نَف‬.‫ّللا فَر َح‬َ َّ ‫ى‬ َ ‫ط َر فَر َح َوإذَا لَق‬ َ ‫صائم فَر َحتَين إذَا أَف‬
َّ ‫لل‬
(‫) رواه مسلم‬17.» ‫ّللا من ريح المسك‬ َّ َ‫ب عند‬ ُ َ‫صائم أَطي‬ ُ ُ‫لَ ُخل‬
َّ ‫وف فَم ال‬
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad, beliau
bersabda, ”Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Puasa itu untukku, dan Aku
yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang menahan
syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-Ku, dan puasa itu
adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan, yaitu

17
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)

11
kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan
Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah,
daripada bau minya misk/kesturi”

C. Kesimpulan
1. Dalam mendefinisikan Hadits para Ulama’ berbeda pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi;
atau sahabat; atau tabi’in. Akan tetapi, pada pembahasan ini disimpulkan
bahwa Hadits adalah sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi SAW yang berupa
bentuk verbal (periwayatan).
2. Sunnah lebih menekankan kepada Practical Tradition (kebiasaan yang
dipraktekkan), yakni meliputi praktek-praktek yang dilakukan Nabi SAW
dan ditirukan oleh sahabat, tabi’in dan orang-orang setelahnya.
3. Khabar merupakan bentuk umum dari sesuatu yang diriwayatkan. Maka
dalam hal ini, Ulama’ berbeda pendapat tentang sandaran khabar yang bisa
mengarah ke marfu’, mauquf atau maqtu’. Sedangkan Atsar, juga
mengalami hal yang sama dengan khabar.
4. Hadits Qudsi adalah hadits yang oleh Rasululloh disandarkan kepada Allah
SWT. Dalam arti, Rasululloh meriwayatkan hadis tersebut dari Allah SWT.
dalam pada itu Ulama’ berselih paham tentang lafadz dan makna Hadits
Qudsi. Ada yang menyatakan bahwa lafadz dan makna hadits qudsi
semuanya dari Allah. Dan ada pula yang mengatakan bahwa lafadz hadis
qudsi merupakan lafadz Nabi SAW, sedangkan maknanya dari Allah SWT.

12
D. DAFTAR PUSTAKA

Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Jalal al-Diin Al-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim.
--:Dar al-Fikr
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (--: Wizarah
Auqof al-Mishriyyah, CD Maktabah Syameela: Ishdar II
Mahmud Al-Thahan, Taisir Mushthalahu al-Hadits. Kuwait:--, 1415 H
Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy, Manhaj Dzawi al-Nadzr (Jeddah: al-Haramain,
1974
al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Nuzhat al-Nadzar fi Taudlihi Nukhbati al-Fikar
fi Mushthalahi Ahli al-Atsar, (Maktabah Misykah: dalam CD Maktabah
Syameela Ishdar II).
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib
Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadir, tt
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Hostoris Metodologis (Kediri:
STAIN Kediri Press,2010
Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-
Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib
Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996
Subhi Shalih, Al-Hadits wa Mushtalahuhu,…;
Manna Khalil Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdlol A. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2004
Abd al-Haq al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli Al-Hadits (Beirut: Dar al-Basya’ir
Al-Islamiyyah,1986
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Dzikri Nirwana, “Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam: Telaah
Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar”, Jurnal Edu-Islamika, Vol.
3 No.1 Maret 2012
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin M. Bandung: Pustaka, 1984

13
TM Hasbie Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadis. Semarang: Pustaka Rizki
Putra,1997

14

Anda mungkin juga menyukai