Anda di halaman 1dari 25

NORMATIVITAS DAN HISTORISITAS DALAM KAJIAN KEISLAMAN

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Pendekatan Ilmu Keislaman

Dosen Pengampu : Dr. M. Rikza Chamami, MSI

Disusun Oleh :

1. Ita Naharani (2203038008)


2. Sonny Novitasari (2203038009)

PASCASARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI)

FAKULTAS ILMU TARBIYAN DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
tentang Normativitas dan Historisitas dalam Kajian Keislaman. Makalah telah kami susun
dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untu itu kami menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang
mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari susunan kalimat, tata bahasanya, dan isi. Maka dari itu, kami bersedia
menerima kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Semarang, 28 Agustus 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 1


DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2
BAB I ......................................................................................................................................... 3
A. Latar belakang .............................................................................................................. 3
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................... 4
C. TUJUAN ........................................................................................................................ 4
BAB II ....................................................................................................................................... 5
A. Pengertian Normativitas .............................................................................................. 5
B. Pengertian Historisitas ................................................................................................. 6
C. Ruang Lingkup Islam Normatif dan Historis ............................................................ 7
D. Pendekatan Normativitas dan Historisitas ............................................................... 14
E. Hubungan antara Normatif dan Historis ................................................................. 18
BAB III.................................................................................................................................... 21
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 21
B. Kritik dan Saran ......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 23

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam adalah sebuah agama yang mempunyai dimensi kompleks yang dapat
dilihat dan ditelaah dari berbagai sudut pandang, fenomena, dan disiplin ilmu. Dengan
demikian di dalam mempelajari dan menelaah diharapkan ekstra hati-hati sehingga
tidak akan menimbulkan pemahaman yang keliru dan kurang pas. Supaya tidak terjadi
hal demikian, untuk saling bersinergi, saling memperkaya wawasan, dan tidak merasa
ada ancaman dari satu terhadap yang lain maka konsep tasamuh atau toleransi mutlak
di kedepankan.1 Manusia sebagai makhluk allah pasti membutuhkan agama (Islam)
untuk menjadi pijakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak mudah bagi
seseorang mendefinisikan dengan tepat mengenai agama. Hal ini terungkap dalam
pernyataan Mukhti Ali bahwa “tidak ada kata yang paling sulit diberikan pengertian
dan definisi selain dari kata agama”.2
Kajian keislaman adalah salah satu studi yang mendapat perhatian yang serius
di kalangan ilmuan. Dengan demikian Islam dapat dipandang sebagai sebuah kajian
keilmuan yang tak terelakkan. Dari perspektif filasafat ilmu, setiap ilmu baik itu ilmu
alam, sosial, agama atau ilmu-ilmu keislaman, harus diformulasikan dan dibangun di
atas teori-teori yang berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas. Ketika Islam
dilihat dari sisi normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran
Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam
dilihat dari sisi historis atau sebagaimana yang tampak alam masyarakat, Islam tampil
sebagai sebuah disiplin ilmu atau ilmu keislaman.3
Dalam studi agama fenomena keberagaman manusia dapat di lihat dari
berbagai sudut pendekatan. Pada umumnya pendekatan normativitas ajaran wahyu
dibangun dan ditelaah lewat pendekatan doctrinal-teologis, sedang historisitas
keberagaman manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-
keberagaman yang bersifat multi dan inter disipliner, baik lewat pendekatan historis,

1
Siswanto, “Normativitas Dan Historisitas Dalam Kajian Keislaman,” Jurnal Ummul Qura 10, no. 2
(2017): 121–42, http://ejournal.insud.ac.id/index.php/ummulquro/article/view/118.
2
Arfan Muammar, “Studi IslamPerspektif Insider/Outsider”, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 81
3
Mudzhar, Atho. “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1998. hlm 25

3
filosofis, psikologis, sosiologis, cultural, maupun antropologis. Dari kedua
pendekatan ini mempunya keterkaitan yang sangat erat dalam mengkaji studi islam.4

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Normativitas ?
2. Apa yang dimaksud dengan Historisitas ?
3. Apa saja yang menjadi Ruang Lingkup Islam Normatif dan Historis?
4. Bagaimana pendekatan antara Normativitas dan Historisitas ?
5. Bagaimana hubungan antara Normativitas dengan Historisitas dalam kajian
keislaman ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Normativitas.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Historisitas.
3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi Ruang Lingkup Islam Normatif dan
Historis.
4. Untuk mengetahui bagaimana pendekatan antara Normativitas dan Historitas
5. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pendekatan antara Normativitas
dan Historitas dalam kajian keislaman.

4
M. Amin Abdullah, “Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm 5-6

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Normativitas
Secara etimologi normatifitas berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti
norma ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan secara terminologi normatifitas
dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu
ketuhanan yang bertolak pada suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Normatifitas di satu sisi merupakan pendekatan yang berpijak pada teks yang tertulis
di dalam kitab suci masing-masing agama. Sehingga dalam batasan-batasan tertentu
normatifitas cenderung bercorak liberalis, tekstualis, atau skripturalis.5
Secara normatif, Islam itu absolut, sakral dan universal yang kebenarannya
trans-historis melewati batas ruang dan zaman, sehingga dalam wilayah ini ia tunggal.
Ketunggalan Islam terwakili oleh al-Qur’an - walaupun Islam telah ekspansif dalam
area multi-bahasa dan menyejarah dalam multi era - tetapi sumber norma itu tidak
pernah mengalami distorsi.6 Al-Qur’an merupakan sumber norma yang mengatur
kehidupan manusia dalam hubungan vertikal dengan tuhan maupun hubungan
horisontal sesama manusia. Ia memuat nilai-nilai kemanusiaan yang universal yang
diberlakukan kepada semua manusia pada tingkat yang sama. Dalam khazanah
pemikiran Islam al qur’an telah melahirkan sederetan teks turunan dengan berbagai
versi, sifat, dan pendekatannya yang sedemikian luas dan mengagumkan. Teks-teks
turunan itu merupakan teks kedua bila al-qur’an dipandang sebagai teks pertama yang
mengungkapkan dan menjelaskan makna-makna, norma, simbolisasi dan substansi
yang terkandung dalam al-qur’an dengan kecenderungan dan karakteristik, visi, misi
dan orientasi, perspektif dan teori yang berbeda-beda.7

5
M. Amin Abdullah, “Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm 5
6
Nasitotul Janah, “Pendekatan Normativitas Dan Historisitas Serta Implikasinya Dalam Perkembangan
Pemikiran Islam,” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 13, no. 2 (2018): 102–19,
https://doi.org/10.31603/cakrawala.v13i2.2331.
7
Muhammad Fauzil ‘Adzim and Nela Syarah Vrikati, “Studi Islam Dalam Kaca Mata Normatif Dan
Historis,” Al-Munqidz : Jurnal KajianKeislaman 8, no. 3 (2020): 441–52,
https://doi.org/10.52802/amk.v8i3.275.

5
Pemahaman Islam secara normatif bersifat doktriner , yaitu bahwa agama
Islam sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan doktrin-
doktrin yang berasal dari ilahi yang mempunyai nilai (kebenaran) absolut, mutlak,
dan universal. Pendekatan doktriner tersebut juga berasumsi bahwa ajaran Islam yang
sebenarnya adalah ajaran Islam yang berkembang pada masa salaf, yang
menimbulkan berbagai mazhab keagamaan, baik teologis maupun hukum-hukum atau
fiqh, yang tetap dan baku. Sesudah masa itu, studi Islam berlangsung secara doktriner.
Sehingga ajaran Islam menjadi bersifat permanen, yang pada akhirnya menjadi
tampak sebagai ketinggalan zaman.8

B. Pengertian Historisitas
Secara etimologi historisitas dalam kamus bahasa inggris artinya sejarah, atau
peristiwa. Kata sejarah dari bahasa arab syajarahtun yang berarti pohon. Pengambilan
istilah ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah setidaknya dalam pandangan
orang pertama yang menggunakan kata ini menyangkut tentang, antara lain, syajarat
al-nasab, pohon genealogis yang dalam masa sekarang bisa disebut sejarah keluarga
(family history). Sejarah sebagai ilmu manusia adalah studi mengenai rangkaian
ungkapan-ungkapan (kejadian-kejadian) khusus yang tak dapat ditarik kembali di
mana ungkapan-ungkapan yang lebih akhir secara kumulatif dipengaruhi oleh yang
lebih dahulu.9 Namun selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang sama
dengan tarikh (Arab), istora (Yunani), history atau geschichte (jerman), yang secara
sederhana berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam. Secara
terminologi dalam kamus umum bahasa Indonesia, W. J. S. Poerwadaminta
mengatakan sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa
lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi. Definisi tersebut terlihat
menekankan kepada materi peristiwanya tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya.
Sedangkan dalam pengartian yang lebih komprehensif suatu peristiwa sejarah perlu
juga di lihat siapa yang melakukan peristiwa tersebut, dimana, kapan, dan mengapa
peristiwa tersebut terjadi.10

8
Muhaimin, et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007, cet. II, hlm.14
9
Mariasusai Dhavamony, Terj. Sudiarja, Fenomonologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Cet. 1,
hlm. 13
10
M. Amin Abdullah, “Studi Agama Normativitas atau Historisitas”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm 6-7

6
Islam historis berarti Islam yang tidak terlepas dari sejarah kehidupan manusia
yang berada dalam ruang dan waktu. Maksudnya, Islam semacam ini terangkai oleh
konteks kehidupan pemeluknya, karena memang berbeda di bawah realitas ke
Tuhanan. Dengan kata lain, Islam historis merupakan Islam riil atau Islam yang
senyatanya. Bentuknya berupa aspek kontekstual Islam, yaitu penerapan secara
praktis dari Islam normatif. Maksudnya, wujud Islam historis tersebut diambil dari
upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalaui berbagai pendekatan di
berbagai bidang yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu tafsir,
hadits, fiqh, ushul fiqh, teologi, tasawuf, dan lain-lain yang kebenarannya bersifat
relatif dan terbuka untuk dipersoalkan
Menurut M.Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama Nomativitas dan
Historitas. Islam historis adalah Islam yang ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan
keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi- dan inter-disipliner, baik lewat
pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antropologis.
Melalui kajian ini seseorang akan diarahkan dari alam idealis ke alam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
keselarasa atau bahkan kesenjangan antara yang terdapat pada alam idealis dengan
yang ada pada alam empiris.
Dari pengertian demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
sejarah Islam adalah peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang
seluruhnya berkaitan dengan ajaran Islam. Diantara cakupannya itu ada yang
berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya,
tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam tersebut,
sejarah kemajuan dan kemunduran yang di capai umat Islam dalam berbagai bidang,
seperti dalam bidang pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik,
pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya.11

C. Ruang Lingkup Islam Normatif dan Historis


Berdasarkan pengertian studi Islam dalam bingkai normatif di atas yang
mengatakan bahwa pemahaman agama pada teks, maka dapat diperinci ruang lingkup
dalam memahami Islam sebagai berikut:

11
‘Adzim and Vrikati, “Studi Islam Dalam Kaca Mata Normatif Dan Historis.” Al-Munqidz : Jurnal
Kajian Keislaman vol: 8 no.3, 2020.

7
1. Tafsir
Tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah
(al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara
mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di
dalamnya.12
Al-qur’an menjadi objek pembahasan tafsir merupakan sumber agama
Islam. Kitab suci ini menduduki posisi sentral, bukan hanya dalam perkembangan
dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi merupakan inspirator, pemandu
gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat
ini.
Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul Studi Agama yang
mengatakan, bahwa sejarah penulisan Tafsir abad pertengahan, agak tidak terlalu
meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan al-Qur’an secara leksiografis
(lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al-Din al-Khaffaji (1659)
memusatkan perhatian pada analisis gramatikan dan analisis sintaksis atas ayat al-
Qur’an. Juga karya al-Baydawi (1286), yang hingga searang masih dipergunakan
di pesantren-pesantren, memusatkan penafsiran al-Qur’an corak leksiografis seperti
itu.
Tafsir modern karya ‘Aisyah Abd Rahman bint al-Syati’ al-Tafsir al-Bayani
lil al-Qur’an al-Karim, yang oleh silabus jurusan TH fakultas Usuluddin IAIN
Sunan Kalijaga halaman 151 disebut sebagai al-Tafsir al-‘Asri, juga masih punya
kesan kuat corak leksiografi.13
Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksiografi seperti
itu, corak penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman al-Quran
yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang
utuh dan terpadu dari al-qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menonjolkan
aspek Ijaz, umpamanya, akan membuat kita terpesona akan keindahan bahasa al-
Qur’an, tapi belum dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio-moral al-Qur’an
untuk kehidupan seharihari manusia. Begitu juga penonjolan aspek asbab al-nuzul
–bila terlepas dari nilai-nilai fundamental-universal yang ingin ditonjolkan- sudah
barang tentu bermanfaat untuk mempelajari latar belakang sejarah turunnya ayat

12
Imam al-Zarkasi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, jilid II, Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, t.t, hlm. 13
13
Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011,
Cet. V, hlm. 139

8
per ayat, tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran
al-Qur’an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia
dimana pun mereka berada. Dalam kaitannya dengan ini kita lalu teringat, sekligus
tertarik untuk mengkaji lebih lanjut kaidah penafsiran yang berbunyi “al-‘Ibratu bi
‘umumi al-lafaldi laa bi khususi al-sabab”. Titik tekan yang berlebihan pada asbab
al-nuzul akan membawa kita secara tak tersadari kepada pemahaman yang
mengacu pada khususi al-sabab, bukan pada bi ‘umumi al-lafaldi.14
2. Hadits
Menurut jumhur ulama’ hadits adalah segala sesuatu yang dinukil dari
Rasulullah saw., sahabat atau tabiin baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun
ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering
dan banyak diikuti oleh para sahabat.15
Seiring dengan waktu, ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu
keislaman. Penelitian hadits nampaknya masih terbuka luas terutama kaitannya
dengan permasalahan dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadits yang dipakai
dalam berbagai kitab misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian
hadits-hadits yang ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih
terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis juga belum banyak
digunakan. Misalnya pendekatan sosiologis, paedagogis, antropologis, ekonomi,
politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadits
sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, maka tampak bahwa pemahaman
masyarakat terhadap hadits pada umumnya masih bersifat parsial.
3. Teologi
Secara etomologis, kata teologi diartikan ilmu agama, ilmu tentang Tuhan
berkaitan dengan sifat-sifatnya, khususnya berkaitan dengan kitab suci. Sedangkan
dalam arti istilah teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah
ketuhanan, sifat-sifat wajibNya, sifat-sifat mustahilNya dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan perbuatanya. Dengan demikian teologi adalah istilah ilmu
agama yang membahas ajaran dasar dari suatu agama atau suatu keyakinan yang
tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang ingin memahami seluk beluk
agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang
diyakininya.

14
Ibid, hlm. 139-140
15
Abuddin Nata, op. cit. hlm. 237

9
Teologi, sebagaimanaa kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu pada
agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang
tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai
pelaku –bukan sebagai pengamat- adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologis.16 Dalam Islam terdapat teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan
Maturidiyah. Dan sebelumnya muncul teologi yang bernama Khawarij dan
Murjiah.
Menurut Abuddin Nata, bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman
keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-
simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang
lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa
pahamannyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang
paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula
paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya
sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses
saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara
satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang
ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan
dan terkotak-kotak.
Berdasarkan uraian di atas, Amin Abdullah berpendapat bahwa pendekatan
teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama
saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan
bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas
dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung
keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai
pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu
komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan
historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya
menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama.

16
Amin Abdullah. op. cit. hlm. 29

10
Sedangkan studi historis dalam Islam mengarah pada aspek-aspek
kebudayaan dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih luas, meliputi;
antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.
1. Antropologi
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologi dalam memilih sesuatu masalah digunakan pula untuk memahami
agama. Antropolog dalam kaitannya ini sebagaimana dikatakan Dawan
Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya
partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang
mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan
sosiologis. Pendekatan antropologis yang induktif atau grounded, yaitu turun
kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya
membebaskan dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat
abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih
ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi
sumbangan kepada penelitian historis.17
2. Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat dan menyelidiki iktan-ikatan antara manusia yang menguasahi
hidupnya itu. Sosiologi mencoba untuk mengerti sifat dan maksud hidup
bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan
hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang membiri sifat tersendiri
kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.18 Dapat
diartikan juga bahwa pendekatan sosiologi termasuk ilmu yang mempelajari
suatu nilai yang terdapat di masyarat yang menjadi objek kajian.

17
Dawam Rahardjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Agama, dalam M. Taufik Abdullah dan
M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. cet.II, hlm. 19
18
Hasan Shadaliy, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1983, cet. XIX, hlm.
53

11
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah pendekatan dalam memahami
agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak didang kajian agama
yang baru dapat dipahami secara proposional dan tepat apabila menggunakan
jasa bantuan dari ilmu sosiologi.
Besarnya perhatian agama terhadap sosial ini mendorong kaum agama
mendorong memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agama.
Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, Jalaludin Rahmat telah
menunjukkan bahwa besarnya perhatian agama Islam terhadap masalah sosial
dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut;
a. Dalam al-Qur’an dan hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu
berkenaan dengan urusan muamalah.
b. Bahwa ditekankan masalah muamalah (sosial) dalam islam ialah kenyataan
bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan
urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan, melainkan masih tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c. Ibadah yang mengandung hubungan kemasyarakatan diberikan ganjaran
yang lebih dari pada ibadah yang bersifat individu.
d. Kifarat (denda bagi yang melanggar peraturan agama) berupa sesuatu yang
berubungan dengan kemasyarakatan.
e. Ibadah yang mengandung hubungan kemasyarakatan diberikan ganjaran
yang lebih dari pada ibadah sunnah.
3. Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang
melalui gejala prilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Drajat,19 perilaku
seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang
dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat
kepada orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran,
dan sebagainya merupakan gejala-gejala kegamaan yang dapat dijelaskan
melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan oleh
Zakiah Drajat, tidak akan mempersoalkan benar atau tidaknya suatu agama yang
dianut seseorang, melainkan yang ditingkatkan adalah bagian keyakinan agama
tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.

19
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.cet. I. hlm. 76

12
Psikologi yang terkemuka dalam pendekatan psikologi terhadap agama
adalah Sigmund Freud (1866-1939). Freud berhasil merumuskan satu
pendekatan dalam bidang psikologi agama, yang ia sebut dengan psiko-analisis.
Teori psiko-analisis Freud memandang bahwa kepercayaan agama, seperti
keyakinan akan keabadian, surga, dan neraka, tidak lain merupakan hasil dari
pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan yang mempercayai
adanyakekuasaan muthlak bagi pemikiran-pemikiran manusia.20
Pandangan yang berkembang lainnya adalah bahwa sikap seseorang
kepada Tuhan adalah peralihan dari sikapnya terhadap bapak. Yaitu
sikap Oedip yang bercampur antara takut dan butuh kasih sayang. Selain itu,
pandangan bahwa doa-doa lainnya merupakan cara-cara yang disadari
(Obsession) untuk mengurangi dosa. Yaitu perasaan yang ditekan akibat
pengalaman-pengalaman seksual, yang kembali ke masa pertumbuhannya yang
kompleks, Oedip. Dalam beberapa tulisan, Freud selalu menampakkan sikap
ateisnya karena ia menganggap agama sebagai bentuk gangguan kejiwaan. 21
a. Titik temu Islam normatif dan historis
Dilihat dari pengertian dan ruang lingkup antara pemahaman keislaman
dengan pendekatan normatif dan historis terdapat pembedaan dan terdapat titik
temu atau hubungan di antara keduanya.
1) Perbedaan antara Islam normatif dan historis
Lebih jelasnya akan perbedaan, penulis merangkumnya melalui tabel
sebagaimana yang tertera di bawah ini.
No. Sudut Pandang Normatif Historis
1 Institusi Keagamaan Sosial masyarakat
(ekonomi, sosial, politik,
pertahanan, dll)
2 Sifat Eksklusif Inklusif
3 Manfaat Mengawetkan ajaran Mengkomunikasikan
agama dan sebagai ajaran dengan keadaan riil
pembentuk karakter yang ada.
pemeluk.
4 Objek kajian Tafsir, hadits, teologi. Antropologi, sosiologi, dan
psikologi.
5 Corak Literalis, tekstualitas, Reduksionis, kontekstual
absolutis, dan skriptualis
6 Konsep Esoteris Eksoteris
7 Pola pikir Deduktif Induktif
8 Prilaku Salaf, rigit (kaku) Modern, luwes

20
Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana,20011, hlm. 104
21
Zakiah Raradjat, dkk., Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 66.

13
D. Pendekatan Normativitas dan Historisitas
a. Pendekatan Normativitas
Pendekatan normativ berangkat dari keyakinan bahwa Islam itu agama wahyu
yang kebenarannya bersifat mutlak dan universal karenanya tidak mungkin
mengambil kesimpulan yang bertentangan dengan teks wahyu. Jadi kesimpulan
yang diambil bukanlah berdasar pendekatan fakta melainkan berdasar keyakinan
teologis bahwa kebenaran adalah sejauh mana fakta sesuai dengan wahyu. Dengan
demikian realitas harus tunduk dan menjadi sub-ordinasi di bawah otoritas teks –
teks agama.22 Pengkajian dalam pendekatan ini lebih kepada motivasi atau
kepentingan dari pada masing-masing agama tersebut, selain itu prinsip dasar dari
pendekatan keagamaan ini bagaimana memahami teks-teks yang tertulis di dalam
kitab suci masing-masing agama.23 Sisi lain dari pendekatan normatif secara
umum ada dua teori yang dapat digunakan bersama pendekatan normatif-
teologis. Teori yang pertama adalah hal-hal yang bertujuan untuk mengetahui
kebenaran serta dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Teori yang
kedua adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan
eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya
disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran).
Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib)
biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan. Hanya
saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi
empirik dan mana yang tidak sehingga terjadi menyebabkan perbedaan pendapat
dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan
normatif adalah sikap kritis.
Contoh pendekatan normatif dalam realita di kehidupan sekarang ini seperti
peringatan “Maulidan”, yakni sebuah acara peringatan untuk mengenang
kelahiran Nabi Muhammad saw. yang dilakukan dengan berbagai cara yang
berbeda antara satu kelompok dengan yang lainnya. Untuk format acaranya antar
satu daerah dengan daerah yang lain cukup beragam, ada yang dengan membaca

22
Mudzar, Atho, “Pendekatan Studi Islam dalam teori dan praktek”, Yogyakarta: pustaka Pelajar,
1998. Hlm. 13
23
Suparlan Suparlan, “Metode Dan Pendekatan Dalam Kajian Islam,” Fondatia 3, no. 1 (2019): 83–91,
https://doi.org/10.36088/fondatia.v3i1.185.

14
manaqib, al-Barzanji. Hampir setiap tahunnya acara peringatan ini dimeriahkan
diberbagai daerah di Indonesia, bahkan di dunia.
Hingga saat ini mengenai acara peringatan tersebut masih menjadi isu-isu
keagamaan yang menjadi bahan perbincangan dalam tiap tahunnya, pada bulan
Rabi’ul Awal tepatnya. Tidak cukup sampai di situ, dampak dari perbedaan
pemahaman mengenai boleh tidaknya mengadakan acara “maulidan” tersebut
bahkan sampai pada titik saling mengklaim “benar” dan “salah” atau “bid’ah”.
Mahrus Ali mengutip dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (pernah menjadi ketua
majelis ulama’ besar Saudi dan mufti Makkah) mengemukakan, bahwa peringatan
maulid sekalipun itu maulid Nabi seluruhnya adalah bid’ah, kemungkaran, diada-
adakan oleh manusia dan tidak terdapat pada masa Nabi, para sahabat atau di
abad-abad yang utama. Menurutnya peringatan semacam ini adalah bagian dari
tasyabbuh dengan kebudayaan Nasrani dan Yahudi untuk memperingati hari besar
mereka, walaupun banyak orang yang melakukannya. Ia menyatakan bahwa
ukuran kebenaran bukan karena banyak orang yang mendukung, tapi ada tidaknya
dalil-dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjelaskan. Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baz dalam memberikan ketegasan terhadap hukum bid’ah yang
menyesatkan pada peringatan maulid Nabi merupakan contoh implementasi dari
pendekatan normatif dalam memahami agama Islam. Karena ia membangun
argumentasinya dengan melandaskan pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Perayaan
maulid Nabi saw. itu tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat
dalam dua skrip utama agama Islam tersebut. Memahami Islam secara normatif
berarti menggali, memahami, menghayati dan mengamalkan pesan-pesan Islam
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Jadi segala sesuatu baik yang
berupa ritual keagamaan atau tidak yang tidak berlandaskan dua referensi utama
tersebut dianggap menyalahi ajaran Islam yang sebenarnya.
Dengan memahami urian di atas, tidak bisa kita dikatakan salah dalam
memahami agama dengan menggunakan pendekatan normatif. Karena nomatifitas
agama ini akan mendorong masyarakat untuk selalu memegang teguh nilai-nilai
universal yang ada dalam agamanya dan seseorang akan memiliki sikap militansi
dalam bergama. Namun menyikapi setiap permasalahan yang muncul di
masyarakat dengan hanya menggunakan pendekatan normatif juga tidak bisa
dibenarkan. Karena paradigma normative yang berisi doktrin ketat yang
mengharuskan agama muncul sebagai kekuatan absolut dapat memicu gesekan

15
antar kelompok atau organisasi masyarakat. Maka harus memerlukan pendekatan
lain, yang menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis dan lunak terhadap
perbedaan yang sudah menjadi realitas masyarakat Indonesia.24
b. Pendekatan Historisitas
Pendekatan historis merupakan cara pandang dalam memahami sesuatu
dengan melihat, memahami dan menghubungkan suatu peristiwa atau kejadian
berdasarkan data dan fakta agar bermanfaat pada masa yang akan datang.
Pendekatan ini tidak dapat lepas dari histotris yang berkembangan di masyarakat
karena Islam turun dalam rangka memberikan petunjuk kepada manusia dan
hampir keilmuan dalam Islam terkait dengan sejarah. Dalam pendekatan historis
terdapat aliran yang digunakan dalam mengkaji Arab pra-Islam, kelahirann Islam
dan penaklukan Islam atau secara umum kajian Islam dan masyarakat Islam.
Aliran pertama yang digunakann oleh para tradisionalis yang disebut pendekatan
tradisonal dan aliran kedua disebut pendekatan revisionis. Pendekatan
tradisionalis ini dalam parakteknya membatasi diri, hanya pada warisan literatur
Arab-Muslim dengan pemahaman yang menggunakan premis-premis yang
berkembang dalam tradisi keagamaan Islam. Pada prinsipnya, pendekatan ini
didasarkan pada asumsi-asumisi dan premis-premis dasar yaitu dengan literatur
islam, sanad keilmuan, data tulisan tidak perlu dibuktikan degan proses analisa
peristiwa sejarah, alquran dianalisa berdasarkan tradisi yang berkembang dalam
kalagan ilmuwan Islam dan analisis linguistik.25
Pendekatan tradisionalis ini pola pemikiran yang hanya mengandalkan
sumber-sumber tertulis, itu pun dibatasi hanya sumber-sumber dari umat Islam
yang berbahasa Arab dengan menggunakan pola-pola pendekatan, teori dan
metodologi yang berkembang dikalangan umat Islam. Pendekatan revisionis ini
didasarkan pada asumsi-asumisi dan premis-premis dasar yaitu melalui sumber
tertulis yang universal, saksi sejarah, reduksi penulisan karena keterbatasan kata
yang meggambarkan peristiwa yang benar-benar terjadi, sejarah tentang tranmisi
dokumen tertulis harus dicermati, karya tulis belum pasti mengungkapkan apa
yang benar-benar terjadi atau hanya menyajikan pandangan penulisnya tentang
24
‘Adzim and Vrikati, “Studi Islam Dalam Kaca Mata Normatif Dan Historis.” Al-Munqidz : Jurnal
Kajian Keislaman vol: 8 no.3.2020.441.
25
Minhaji, “Sejarah Sosial dalam Studi Islam Teori, Metodologi dan Impelentasi”, (Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2013), hlm. 99-101.

16
suatu peristiwa yang diketahui dan bukti eksternal merupakan hal penting untuk
diteliti.26
Pendekatan historis dalam studi Islam ditanggapi positif oleh beberapa tokoh
seperti Mohammad Arkount yang menawarkan kajian islam melalaui pendekatan
historis. Beliau seorang pemikir pos-tradisionalistik yang mengkaji keotoritasan
teks. Baginya teks suci dan tradisi tidak dapat dipisahkan dari historitas,
melainkan justru sepenuhnya terbentuk dan terbukaan dalam sejarah. Meskipun
pendekatan historis berasal dari Barat namun bukan berarti tidak dapat diterapkan
pada studi Islam. Akan tetapi pendekatan ini dapat diterapkan pada semua sejarah
umat manusia dan bahkan dalam hal menafsirkan wahyu sekalipun
membutuhkannya dengan menghubungkan konteks historis turunya wahyu.27
Dengan ini pendekatan historis ini mengambil semangat yang telah diajarkan
oleh Wali Songo dalam dakwahnya ke Nusantara sekitar abad 15 dan ke tanah
jawa pada abad 16. Dalam hal ini Wali Songo telah berhasi mengakulturasikan
nilai-nilai lokal dalam Islam yang khas keindonesiaan dan tidak ada nalar
Arabisasi yang melekat dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Dalam
konteks ini sudah jelas bahwa Walisongo tidak melakukan pemurnian dan
otentifikasi ajaran Islam secara total, melainkan melalui adaptasi terhadap budaya
dan kondisi sosial masyarakat setempat. Sehingga masyarakat Nusantara tidak
melakukan aksi perlawanan terhadap ajara baru yang masuk dan dapat menerima
dengan damai. Dengan demikian Islam tidak dapat lepas dari kesejarahan manusia
dalam ruang dan waktu. Melalui pendekatan historis seorang diajak berfikir dari
alam idealis menuju alam yang bersifat empris dan mendunia. Dan seseorang
dalam memahami agama dapat menyesuaikan dalam kondisi yang dihadapai dan
bersifat terbuka, dapat menerima masukan pendapat dari luar.28

26
Minhaji, “Sejarah Sosial dalam Studi Islam”. Yogyakarta : Suaka Press , 2013. Hlm 102-108
27
Adnin Armas, Metode Bible dalam Studi al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insan, 2005).Hlm. 66
28
Kusumawardana, Ardi. “Upaya Pengembangan Kajian Islam Melalui Pendekatan Sejarah”. El
CJikmah Jurnal: Kajian dan Penelitian Pendidikan Islam. Vol. 14. No. 1. 2020.

17
E. Hubungan antara Normatif dan Historis
Kedua pendekatan ini bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda, namun
keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan , tetapi keduanya
menyatu teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu
dalam satu kesatuan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas
keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami lika-
liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar
dari belenggu dan jebakan waktu.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagaman yang bercorak
normatif dan historis tidak selamanya akur dan sinergi. Hubungan antara keduanya
seringkali diwarnai dengan ketegangan(tention) baik yang bersifat kreatif maupun
destruktif (merusak). Pendekatan normatif di satu sisi merupakan pendekatan yang
selalu berpijak pada teks yang tertulis dalam kitab suci masing-masing agama
sehingga pendekatan ini cenderung bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis.
Sementara dari sisi lain, pendekatan kedua , historitas , melihat kitab suci dan
fenomena keagamaan tidak melalui cara tekstualitas, namun dengan sudut pandang
keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multidemensional, baik secara sosiologis,
filosofis, psikologis, historis, kultur, maupun antropologis.29
Jenis pendekatan apapun masih terdapat kekurangan, kelemahan masing-masing,
dan jauh dari memuaskan, karena fenomena agama bersifat komplek. Masing-masing
tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Regiliositas atau keberagaman
manusia pada umumnya adalah bersifat universal, infinite (tidak terbatas, tidak
tersekat-sekat), transhistoris (melewati batas-batas pagar historis kesejarahan
manusia), namun regiliositas yang begitu mendalam-abstrak , pada hakikatnya tidak
dapat dipahami oleh manusia tanpa sepenuhnya terlibat dalam bentuk religiositas yang
konkret, terbatas, tersekat historis, terkurung oleh ruang dan waktu tertentu secara
subjektif. Kedua dimensi religiositas tersebut , menurut M. Amin Abdullah bersifat
dialektis, dalam artian saling mengisi, melengkapi, memperkokoh , memanfaatkan
bahkan saling mengkritik dan mengontrol.

29
Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar, (Yogjakarta: Tiara Wacana.2001), h.62

18
Untuk meredakan ketegangan antara dua faksi pendekatan normativitas dan
historitas, Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas” dan intergrasi
yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humily (rendah diri)
dan human (manusia). 30
Berangkat dari paradigma “interkoneksitas” yang berasumsi memaknai
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi manusia, maka setiap bangunan
keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun
kealaman tidak dapat berdiri sendiri dalam menyatukan , saling menyapa antara satu
bangunan ilmu dengan lainnya,terutama sains dan agama.31
Interkoneksitas atas sains dan agama dapat didekati melalui tiga
perspektif:ontologis, epistimologi dan aksiologi. Dalam setiap pendekatan ini mampu
menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuan baru , terbuka dan
dialogis serta mencairkan hubungan berbagai displin ilmu agar saling terbuka.
Walaupun begitu, tidak bisa dihindai masih adanya persinggungan antara wilayah
tekstual, kebudayaan atau keilmuan , serta filsafat. Diharapkan pradigma ini mampu
memberikan perubahan cara berpikir dan sikap ilmuan.
Dengan pendekatan “intergrasi” keilmuan ini seolah -olah diharapkan tidak ada
ketegangan, karena ada peleburan dan pelumatan yang satu ke dalam yang lain. Baik
dengan cara melebur sisi normatif-sakralis keberagamaan secara menyeluruh masuk
ke wilayah “historistas-propanitis”, maupun justru sebaliknya, dengan membenamkan
dan meniadakan seluruh isi historitas keberagaman islam ke wilayah normativitas-
sakralitas tanpa reserve. Ini sebenarnya yang menjadi alasan M. Amin Abdullah
menawarkan paradigma interkoneksitas.32
Keberagaman dapat diibaratkan “sinar”. Sinar tidak dapat dinikmati secara
kongkret oleh manusia tetapi sinar tersebut telah termanifetasikan dalam warna-warna
tertentu (merah, jingga, kuning,biru,hijau dan sebagainya). Walaupun begitu, warna-
warna sinar yang beraneka ragam tersebut hanya bisa dinikmati secara partikulistik.
Salah satu warna yang bersifat partikulistik tidak dapat mengklaim bahwa warna
merah sajalah yang paling unggul , apalagi jika klaim tersebut diikuti dengan
keinginan dan tindakan ingin memerahkan seluruh warna yang ada.

30
Ibid.,h.64
31
Ibid.,h.65
32
Ibid.,h.64

19
Berarti kedua pemahaman atas keberagaman bisa disandingkan dan beriringan,
jika pemahaman agama yang bersifat normativitas mau membuka diri atas
pemahaman berkembang sesuai keadaan yang sebenarnya. Begitu juga pemahaman
agama yang bersifat historitas diharapkan mampu menahan diri dan tidak
memaksakan untuk memberikan pemahaman akan keberagamaan berdasarkan riil
kehidupan bermasyarakat dan mengenyampingkan dasar agama.

20
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Secara etimologi normativitas berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma
ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan. Secara normatif, Islam itu absolut, sakral dan
universal yang kebenarannya trans-historis melewati batas ruang dan zaman, sehingga
dalam wilayah ini ia tunggal. Pemahaman Islam secara normatif bersifat doktriner ,
yaitu bahwa agama Islam sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci dan
merupakan doktrin-doktrin yang berasal dari ilahi yang mempunyai nilai (kebenaran)
absolut, mutlak, dan universal.
Secara etimologi historisitas dalam kamus bahasa inggris artinya sejarah, atau
peristiwa. Kata sejarah dari bahasa arab syajarahtun yang berarti pohon. Sejarah
dipahami mempunyai makna yang sama dengan tarikh (Arab), istora (Yunani),
history atau geschichte (jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian
menyangkut manusia pada masa silam.
Ruang lingkup studi normatif dalam Islam yang umumnya dikerjakan kaum
Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran religius, meliputi studi-studi; tafsir,
hadis, fiqh, teologi, dan tasawuf. Sedangkan ruang lingkup studi historis mengarah
pada aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih
luas, meliputi; antropologi agama, sosiologi agama, dan psikologi agama.
Pendekatan normativ berangkat dari keyakinan bahwa Islam itu agama wahyu
yang kebenarannya bersifat mutlak dan universal, kesimpulan yang diambil bukanlah
berdasar pendekatan fakta melainkan berdasar keyakinan teologis bahwa kebenaran
adalah sejauh mana fakta sesuai dengan wahyu. Contoh pendekatan normatif dalam
realita di kehidupan sekarang ini seperti peringatan “Maulidan”. Pendekatan historis
merupakan cara pandang dalam memahami sesuatu dengan melihat, memahami dan
menghubungkan suatu peristiwa atau kejadian berdasarkan data dan fakta agar
bermanfaat pada masa yang akan datang. Bagi Mohammad Arkount teks suci dan
tradisi tidak dapat dipisahkan dari historitas, melainkan justru sepenuhnya terbentuk
dan terbukaan dalam sejarah.

21
Hubungan antara normatif dan historis bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda.
Untuk meredakan ketegangan antara dua faksi pendekatan normativitas dan historitas,
Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas” dan intergrasi yang lebih
modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humily (rendah diri) dan human
(manusia).

B. Kritik dan Saran


Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada satupun yang sempurna. Tentunya,
kecuali Allah yang Maha sempurna. Oleh karena itu, penulis banyak berharap kepada
para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adzim and Vrikati. (2020). “Studi Islam Dalam Kaca Mata Normatif Dan Historis”. Al-
Munqidz : Jurnal Kajian Keislaman, vol: 8 no.3

Abdullah M. Amin. 2004. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Al-Zarkasi Imam. al-Burhan fi Ulum al-Qur’an.(jilid II). Mesir: Isa al-Baby al-Halaby

Armas Adnin. 2005. Metode Bible dalam Studi al-Qur’an. Jakarta:Gema Insan.

Drajat Zakiah.1987. Ilmu Jiwa Agama.(cet.I). Jakarta: Bulan Bintang.

Kusumawardana, Ardi. “Upaya Pengembangan Kajian Islam Melalui Pendekatan Sejarah”. El


Jikmah Jurnal: Kajian dan Penelitian Pendidikan Islam. Vol. 14. No. 1.

Mariasusai Dhavamony, Terj. Sudiarja. 1995. Fenomonologi Agama. (cet.1) Yogjakarta :


Kanisius.

Minhaji. 2013. Sejarah Sosial dalam Studi Islam Teori, Metodologi dan Impelentasi.
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press.

Minhaji. 2013. Sejarah Sosial dalam Studi Islam. Yogyakarta : Suaka Press.

Muammar Arfan. 2012. Studi Islam Perspektif Insider/Outsider. Jogjakarta: IRCiSoD.

Mudzhar, Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Muhaimin, et al. 2007. Kawasan dan Wawasan Studi Islam.(cet.II) Jakarta: Kencana.

Muhammad Fauzil ‘Adzim and Nela Syarah Vrikati. (2020). “Studi Islam Dalam Kaca Mata
Normatif Dan Historis,” Al-Munqidz : Jurnal Kajian Keislaman 8, no. 3: 441–52,
https://doi.org/10.52802/amk.v8i3.275.

Nasitotul Janah. (2018). “Pendekatan Normativitas Dan Historisitas Serta Implikasinya Dalam
Perkembangan Pemikiran Islam,” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 13, no. 2: 102–19,
https://doi.org/10.31603/cakrawala.v13i2.2331.

Nata Abuddin, op. cit

23
Hidayatullah Syarif. 2001. Studi Agama: Suatu Pengantar. Yogjakarta: Tiara Wacana.

Rahardjo Dawam .1990. Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Agama, dalam M. Taufik
Abdullah dan M. Rusli Karim. Metodologi Penelitian agama. (cet II). Yogyakarta: Tiara
Wacana

Raradjat Zakiah, dkk.1996. Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara.

Shadaliy Hasan.1983. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia.(cet.XIX).Jakarta: Bina Aksara.

Siswanto. (2017).“Normativitas Dan Historisitas Dalam Kajian Keislaman,” Jurnal Ummul


Qura 10, no. 2 : 121–42, http://ejournal.insud.ac.id/index.php/ummulquro/article/view/118.

Suparlan. (2019). “Metode Dan Pendekatan Dalam Kajian Islam,” Fondatia 3, no. 1: 83–91,
https://doi.org/10.36088/fondatia.v3i1.185.

24

Anda mungkin juga menyukai