Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SISTEM PERIWAYATAN HADIS DAN PEMBUKUAN


KITAB-KITAB HADIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Studi Al Qur’an dan Hadis
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, M.Ag.

Disusun oleh:
Imam Syafi’i (2203038012)

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2022
A. Pendahuluan
Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Untuk
memahami ajaran Islam secara utuh beserta praktik dan penerapannya yang ideal,
para sahabat mengambil sumber melalui penafsiran yang disampaikan Nabi atas
Al Qur’an1. Dalam perkembangannya, hadis Nabi saw. telah menarik perhatian
banyak orang. Semenjak periode awal Islam, para sahabat telah memiliki tradisi
untuk mentransmisikan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi saw. baik yang
terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal
pribadi. Sebagai seorang suri tauladan, Nabi saw. menjadi sentral perhatian dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai syari’at Allah yang
hampir semua perkataan dan perbuatannya memiliki nilai-nilai hukum, kecuali
sebagian hal-hal yang berkaitan dengan urusan duniawi.2
Dilihat dari segi periwayatannya, hadis berbeda dengan Al-Qur’an. Al-
Qur’an, semua periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawatir3. Sedangkan
hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian
lagi berlangsung secara ahad4. Oleh karenanya, Al-Qur’an dilihat dari segi
periwayatannya mempunyai kedudukan qath’iy al-wurud atau qath’iy as-tsubut5,
yakni seluruh ayat telah diakui keasliannya. Sedangkan hadis, terutama yang
dikategorikan hadis ahad masih diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh
kepasian periwayatannya: apakah berasal dari Nabi atau bukan. Sehingga dari segi
periwayatannya memiliki berkedudukan sebagai zhanniy al-wurud atau zhanniy
as-tsubut.
Dalam sejarah Islam, hadis telah mengalami perkembangan yang cukup
panjang, sejak pra-pembukuan dari zaman Nabi hingga masa sahabat. Dari yang

1
Wahyuddin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah Atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 24-25.
2
Idri, Hadis dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Orientalis Tentang Hadis Nabi,
(Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 5.
3
Mutawatir adalah tatabu’, berurutan, yang dalam ilmu hadis disebut sebagai berita yang
diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat mulai dari tingkat sahabat sampai
dengan mukharrij, yang menurut ukuran akal dan adat kebiasaan mustahil para periwayat itu
bersepakat dahulu untuk berdusta.
4
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah periwayatnya tidak mencapai, terkadang
mendekati, jumlah mutawatir.
5
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2016), hlm.
3-4

1
awalnya hanya dijadikan sebagai tradisi lisan dan hafalan saja, kini sudah bisa
dinikmati dalam bentuk kitab-kitab hadis. Meskipun demikian, pada awal mula
penulisan hadis telah mendapat berbagai macam tanggapan, baik dari Nabi sendiri
hingga dari para sahabat.
Dalam catatan sejarah, penyebarluasan hadis hingga abad pertama hijriah
berakhir hanya dilakukan melalui mulut ke mulut saja. Khalifah Umar bin Abdul
Azis merupakan orang pertama yang memiliki gagasan atau ide untuk menuliskan
sebuah hadis secara formal.6 Karena kekhawatiran akan hilangnya hadis7,
Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Azis memerintahkan sekaligus memberikan tugas
untuk mengumpulkan dan menuliskan kembali hadis yang dipercayakan kepada
Ibnu Syihab al-Zuhri dan lain-lain. Pendapat ini pun kemudian dikuatkan oleh
salah satu imam empat mazhab, yaitu Imam Malik yang sependapat bahwa Ibnu
Syihab al-Zuhri merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan menulis
hadis secara formal dan bukan atas inisiatif sendiri.
Dari deskripsi di atas, maka permasalahan yang menjadi fokus kajian
dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan periwayatan hadis?
2. Apa saja syarat dan metode periwayatan hadis?
3. Bagaimana pandangan orientalis terhadap sistem periwayatan hadis?
4. Bagaimana pembukuan kitab-kitab hadis?
B. Periwayatan Hadis
Secara etimologis kata al-riwayat merupakan masdar dari kata rawa
(rawa, yarwi, riwayatan) yang memiliki arti al-naql (pemindahan/penukilan), al-
zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan). Sedangkan secara terminologis, istilah al-
riwayat dalam ilmu hadis diartikan sebagai kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu dalam rangkaian para
periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu8.

6
Luthfi Maulana, ‘Periodesasi Perkembangan Studi Hadiss (Dari Tradisi Lisan/Tulisan
Hingga Berbasis Digital)’, Esensia, 17.1 (2016), 111–23.
7
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 106.
8
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), hlm
23.
Arti ini sejalan dengan hadis Nabi: qala shalla allahu alayhi wa sallam:
allahumma irham khulafa’iy, qila wa man khulafa’uka? Qala al-ladzina ya’tuna
min ba’diy yarwuna ahadisiy wa yu’alimunaha annasa, rawahu at-thabrani wa
ghairuhu. Semakna dengan itu adalah menyampaikan, menceritakan, dan
menyebarkan hadis kepada orang lain, seperti tersirat dari sabda Nabi : ‘an zaid
bin tsabit qala: sami’tu rasulallah shalla allahu alaihi wa sallam yaqul:
nadhdhara allahu al-mar’a sami’a minhu hadisan fabalaghahu ghairahu ….
Rawahu abu dawud wa at-tirmidzi.
Menurut istilah ahli hadis, ar-riwayah adalah memindahkan dari seorang
guru kepada orang lain atau membukukannya ke dalam buku hadis. Orang yagn
melakukan kegiatan ini disebut rawi,yaitu orang yang menyampaikan atau
menuliskan hadis yang diterima dari gurunya dalam sebuah buku.
C. Syarat dan Metode Periwayatan Hadis
1. Syarat Penerimaan dan Periwayatan Hadis
Syarat penerimaan dan periwayatan hadis yang telah ditetapkan oleh
para ahli hadis semata-mata bertujuan untuk memelihara hadis dari tindakan
pemalsuan. Penetapan syarat-syarat penerimaan dan periwayatan hadis
ditetapkan oleh para ulama sesudah generasi sahabat, terutama saat hadis
dihimpunkan menjadi kitab-kitab hadis9. Adapun kegiatan atau proses yang
berisi seluk-beluk penerimaan dan penyampaian hadis lazim dikenal dengan
istilah tahammul wa ada’al-hadith. Dengan demikian, seseorang baru dapat
dinyatakan sebagai periwayat Hadis, apabila dia telah melakukan pada apa
yang disebut dengan tahammul wa ada’al-hadith dan hadis yang
disampaikannya tersebut lengkap berisi sanad dan matan10.
Menurut para ulama, secara umum, terdapat perbedaan antara syarat-
syarat penerimaan dan syarat-syarat periwayatan hadis. Mereka pada umumnya
memperbolehkan penerimaan hadis dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak,
asalkan ketika meriwayatkannya ia telah masuk Islam dan mukalaf. Sedangkan
syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah sebagai

9
Ibn Atsir al-Jazari, Jami’al-Ushul fi Ahadits al-Rasul (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), hlm.70
10
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), hlm
23.
berikut: (1) Islam,(2) baligh, (3) berakal, (4) tidak fasik, (5) terhindar dari
tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan (muru’ah) (6)
mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya, (7) jika periwayat
memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya, dan (8) sangat
mengetahui hal-hal yang merusak maksud hadis yang diriwayatkannya secara
makna11. Kedelapan syarat itu, menurut Ibnu Al-Asir Al-Jazari, tercakup ke
dalam Islam, mukalaf, adil, dan dhabith12. Sedangkan menurut Syuhudi Ismail,
kedelapan syarat tadi tercakup di dalam dua karakteristik dasar, yakni adail dan
dhabith.
Tampak bahwa syarat-syarat yang ditetapkan ulama terhadap periwayat
yang melakukan kegiatan periwayatan hadis lebih ketat daripada persyaratan
ketika menerima hadis. Namun demikian, menurut Syuhudi Ismail, orang yang
menerima hadis paling tidak harus memenuhi dau syarat, yaitu: (1) sehat akal
pikirannya, (2) secara fisik dan mental tersebut mampu memahami dengan baik
riwayat hadis yang diterimanya13.
2. Metode Periwayatan Hadis
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud periwayatan ialah kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadis serta menyandarkannya kepada rangkaian
para periwayat hadis itu dengan bentuk-bentuk tertentu. Dalam hal ini, ada tiga
unsur yang harus dipenuhi dalam meriwayatkan hadis, yaitu: (1) kegiatan
menerima hadis dari periwayatannya; (2) kegiatan menyampaikan hadis kepada
orang lain,dan (3) ketika hadis ini disampaikan kepada orang lain, disebutkan
susunan rangkaian periwayatannya14.
Jadi, orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi ia
tidak menyampaikan hadis tersebut kepada orang lain, maka ia tidak disebut
sebagai orang yang meriwayatkan hadis. Sekiranya orang tersebut
menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika
menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya,

11
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), hlm.
56
12
Ibn Atsir al-Jazari, Jami’al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987),
hlm.70
13
-------------, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), hlm. 57
14
-------------, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), hlm. 23-24
maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis.
Dalam konteks periwayatan hadis, sahabat Nabi merupakan generasi
pertama yang langsung menerima sabda-sabda dari Nabi saw. namun dalam
aktivitasnya, para sahabat berbeda-beda cara dalam menerima sabda tersebut,
bahkan tiap seorang dari sahabat tidak dapat dan tidak mungkin mengetahui
langsung semua hadis, baik yang berbentuk aqwal, af’al maupun taqrir15,
sebab tidak mungkin pula semua sahabat senantiasa bersama Nabi sepanjang
harinya.
Akan tetapi pada masa itu, para sahabat yang hadir di majlis Rasulullah
saw. senantiasa memberikan informasi keapada sahabat lain yang tidak sempat
hadir tentang hal-hal yang mereka dengar dan lihat pada majelis tersebut.
Mereka selalu menisbahkan hal-hal tersebut kepada Nabi saw., sehingga
hampir semua informasi tentang sabda dan perilaku Nabi sudah terekam
diingatakan para sahabat. Dari sinilah proses periwayatan sebenarnya secara
tidak langsung dan tidak tertulis sudah dirintis oleh para sahabat. Pada masa
berikutnya proses ini semakin berjalan secara berkesinambungan hingga pada
masa tabi’in dan generasi setelahnya.
Cara yang dilakukan para ulama di masa-masa berikutnya dalam
meneliti kehidupan rawi, baik yang berkaitan dengan keadaan khusus dan
keadaan yang bersifat umum. Segi daya hapal, dan segi kecermatannya, adalah
dengan meneliti bagaimana seorang periwayat tersebut memperoleh hadis dari
gurunya dan bagaimana cara periwayat menyampikan riwayat tersebut kepada
periwayat lain16.
Dalam proses periwayatan hadis terdapat beberapa bentuk atau model,
bentuk periwayatan disini mencakup pada al-tahammul (pengambilan riwayat)
dan al-ada’ (penyampaian riwayat). Adapun bentuk-bentuk tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Al-Sima’ (Mendengar)

15
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis, Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,
(Bandung: Rosda Karya, 2004), hlm 88.
16
Muhammad Al Fayyadl, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), hlm 51.
Metode al-sima’ ini merupakan bentuk paling tinggi dan kuat di
antara bentuk periwayatan lainnya. Bentuk ini ditandai dengan kata-kata
yang diucapkan periwayat: (a) sami’tu (b) hadatsana (c) haddatsaniy (d)
akhbarana (e) qala lana dan (f) dzakara lana dan lain sebagainya. Para
ulama hadis telah menetapkan bahwa apabila satu dari kata-kata tersebut
dipakai oleh para periwayat dalam rangkaian para periwayat hadis yang ia
riwayatkan maka metode penerimaan dan periwayatan hadis tersebut
adalah al-sama’, yaitu seorang periwayat menerima hadits dengan cara
mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis. Dengan kata lain, al-sima’
adalah ketika seorang guru hadis meriwayatkan hadisnya kepada
penerimanya (murid) dengan cara mendiktekan atau memperdengarkan
ucapan hadis yang dihafal atau hadis yang telah dicatatnya, sedang sang
murid menuliskan apa yang ia dengar atau hanya mendengarkan saja tanpa
menuliskan17.
b. Al-Qira’ah (Membaca)
Pendapat yang banyak diterima mengatakan bahwa membaca tanpa
mendengar lebih dahulu itu menempati derajat kedua, namun ada
sementata ulama berpendapat bahwa cara manapun sama derajatnya
dengan mendengar. Metode ini ditandai dengan adanya kata-kata: (a)
qara’tu ‘ala fulanin (b) qara’tu ‘ala fulanin wa ana asma’u fa aqqrabahu.
Para ulama sepakat bahwa pemakaian kata-kata ini telah menggambarkan
cara periwayatan hadis dengan metode qira’ahi, yaitu periwayat
menghadapkan riwayat hadis kepada guru dengan cara periwayat itu
sendiri membacanya atau orang lain yang membacanya dan
memperdengarkan. Riwayat hadis yang dibacakan itu dapat saja berasal
dari catatan atau dari hafalannya. Guru hadis aktif memperdengarkan
bacaan hadis yang disodorkannya itu dengan teliti dan cermat melalui
hafalan sendiri atau catatan yang dianggap peling benar. Metode demikian,
menurut ‘ajjaj al-Khatib disebut ‘ard al-qira’ah (mendemonstrasikan
bacaan).

17
Mahmud Al-Thahhān, Taysīr Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar el Fikr, 1985), hlm 132.
Terkait derajat kualitas bentuk al-qiraah atau membaca ini, dibagi
ke dalam tiga kelompok pendapat, pertama: membaca sama derajatnya
dengan mendengar (al-sima’), pendapat ini diriwayatkan dari Malik, al-
Bukhari, dan mayoritas ulama Hijaz dan Kufah. Kedua, lebih rendah dari
pada al-sima’, pendapat ini diriwayatkan dari mayoritas Ahl al-Mashriq
dan ini adalah pendapat yang sahih. Ketiga, lebih tinggi dari al-sima’,
pendapat ini diriwayatkan dari abu Hanifah, ibn Abi Za’b dan satu
pendapat dari Malik.
c. Al-Ijazah (Ijazah)
Metode ini ditandai dengan adanya kata-kata: (a) haddatsana
ijazatan (b) akhbarana ijazatan. Kata-kata ini menggambarkan suatu
metode penerimaan dan periwayatan hadis dengan metode ijazah, yaitu
pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan
sebuah kitab hadis tanpa membaca hadis tersebut satu per satu. Bentuk
ijazah ini adalah seperti halnya ucapan seorang guru kepada murid: “saya
memberikan ijazah kepadamu untuk meriwayatkan kitab Sahih al-
Bukhari18“
d. Al-Munawalah (Memberi)
Metode ini ditandai dengan kata-kata (a) haddatsana munawalatan
wa ‘aradhan (b) iakhbarana munawalatan yang merekam suatu
penerimaan dan periwayatan hadis dengan munawalah, pemberian, yaitu
seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seorang untuk
meriwayatkannya.
e. Al-Kitabah (Menulis)
Metode ini ditandai dengan kata-kata (a) kataba ila fulanin (b)
akhbarani mukatabatan (c) akhbarana bihi kitabatan yang melukiskan
metode mukatabah, yaitu seorang ulama hadis menuliskan hadis atau
menyuruh orang lain untuk menulisknannya, kemudian memberikan
kepada orang lain yang ada dihadapannya atau tidak berada di
hadapannya.

18
Mahmud Al-Thahhān, Taysīr Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar el Fikr, 1985), hlm 134.
f. Al-I’lam (Memberitahukan)
Kata akhbarana i’lamam dipakai periwayat hadis karena
menunjukan pengertian bahwa metode yang dipakai dalam kegiatan
menerima dan meriwayatkan hadis itu adalah i’lam, memberitahukan.
I’lam berarti bahwa seorang guru memberitahukan kepada muridnya
bahwa dirinya telah menerima hadis tertentu dari periwayatnya dengan
metode tertentu, namun pemberitahuan itu tanpa disertai pernyataaan agar
muridnya itu meriwayatkan hadis (memberi ijazah) yang baru
diberitahukan sang guru tadi.
g. Al-Washiyah (Wasiat)
Kata ausha ila fulanin melukiskan pengertian kepada metode
ketujuh, yaitu metode al-washiyah. Yakni, seorang periwayat hadis
mewasiatkan kitab hadis kepada seseorang. Wasiat itu berupa
penegasannya bahwa seorang yang diberi wasiat itu boleh meriwayatkan
hadis yang termuat dalam kitab itu.
h. Al-Wijadah (Penemuan)
Kata wajadtu fi kitabi fulanin atau aqra’tu bi- khaththi fulanin ‘an
fulanin. Kata ini menunjukan bahwa metode penerimaan dan periwayatan
hadis yang ditempuh seorang hadis adalah wijadah, yaitu seseorang
seseorang menemukan hadis atau kitab hadis yang ditulis oleh guru hadis
yang dikenal tanpa melalui as-sama’, ijazah, dan munawalah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode periwayatan
hadis itu ialah: (a) as-sama’, (b) qiraah (c) ijazah, (d) munawalah, (e)
mukatabah, (f) I’lam, (g) washiyah, dan (h) wijadah.
Dapat dipahami bahwa ketika periwayat hadis melakukan kegiatan
penerimaan hadis dari seorang seorang guru hadis, sesungguhnya guru hadis
itu telah melakukan periwayatan hadis. Saat itu dai dapat saja menempuh
meted qira’ah, ia sendiri membacakan atau mendiktekan hadis, ijazah,
munawalah, mukatabah, i’lam, washiyah dan sama’ (guru hadis mendengarkan
bacaan murudnya, lalu mengesahkan atau mengoreksi). Sedang satu metode
yang tidak mungkin dilakukan guru adalah wijadah. Metode ini hanya
mungkin dilakukan oleh penerima hadis saja.
D. Pandangan Orientalis terhadap Sistem Periwayatan Hadis
Tradisi periwayatan hadis dengan sistem yang sudah bertahan selama
berabad-abad tidak diakui oleh para pengkaji Barat atau yang lebih dikenal
sebagai orientalis19. Ilmu hadis dengan kaidah dan konsep-konsepnya dianggap
tidak memenuhi kaidah ilmiah, mereka membuat sendiri teori-teori tentang
keautentikan dan sejarah perkembangan hadis. Kebanyakan orientalis
mempertanyakan keotentikan hadis karena pembukuan hadis baru dilakukan pada
abad ke-2 dan ke-3 H. Josep Schacht, seorang orientalis Jerman pasca Ignaz
Goldziher bahkan berani menyimpulkan bahwa semua hadis itu palsu. Schacht
tidak yakin hadis yang beredar saat ini benar-benar berasal dari Nabi, melainkan
dikarang sendiri oleh umat Islam.
Gugatan para orientalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke-
19 M, ketika hampir seluruh bagian dunia Islam mengalami kolonialisme bangsa-
bangsa Eropa. Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status Hadis
dalam Islam dengan mengklaim bahwa Hadis merupakan kumpulan anekdot
(cerita-cerita bohong tapi menarik).
Untuk waktu yang tidak begitu lama muncul Ignaz Goldziher. Menurut
dia, Hadis lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan
kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada
periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan
Islam20. Kemudian hasil penelitian Ignaz Goldziher diolah dan diproduksi lagi
oleh Joseph Schacht, orientalis asal Jerman. Menurut Schacht, tidak ada Hadis
yang benar-benar asli dari Nabi, dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan, maka
jumlahnya amat sangat sedikit sekali21. Tujuan para orientalis ini adalah untuk
melemahkan dan menyebarkan sikap keraguan terhadap sumber ajaran Islam
setelah Al Quran, yakni hadis22.

19
Idri, Hadis dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Orientalis Tentang Hadis
Nabi, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 5.
20
Ignaz Goldziher, Muhammedanische Studien (Halle: Max Niemeyer, 1890), hlm. 5.
21
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon
Press, 1950), hlm. 149.
22
M Khusnun Niam, ‘Interaksi Sarjana Muslim dan Sarjana Barat Dalam Diskursus
Hadis’, Matan: Journal of Islam and Muslim Society, 2.2 (2020), 113-122
Menurut Schacht, Ignaz Goldziher telah menegaskan pula bahwa hadis-
hadis yang berkembang pada masa pemerintahan Bani Umayyah tidak ada
hubungannya dengan ilmu fiqih, tapi lebih kepada masalah akhlak, zuhud, akhirat,
dan terakhir masalah politik23. Pandangan Joseph Schacht mengenai hadis telah
menimbulkan pro-kontra di kalangan sarjana Barat sendiri, salah satunya kritik
dari Michael Cook yang menyimpulkan bahwa tradisi (Islam) harus diberi tanggal
berdasarkan kriteria eksternal, terutama dari termin yang berasal dari sebuah
dokumen.24 Cook tidak mau menerima data-data historis yang telah ditemukan,
dikumpulkan dan dikemukakan oleh para sarjana muslim. Para ulama hadis
berupaya untuk menunjukkan bukti-bukti konkret tentang pencatatan dan
penulisan hadis yang sudah dimulai semenjak kurun pertama hijriah Nabi
Muhammad saw. di antaranya pendapat dari ulama kontemporer, Muhammad
Musthafa Azami.
Menurut Azami, terdapat lima kekeliruan dan kesesatan Joseph Schacht
dalam memahami dan meneliti hadis; pertama, sikap Schacht tidak konsisten
dalam berteori dan menggunakan rujukan. Kedua, bertolak dari asumsi-asumsi
yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah. Ketiga, salah dalam menangkap
dan memahami sejumlah fakta. Keempat, ketidaktahuannya akan kondisi politik
dan geografis yang dikaji. Kelima, salah faham mengenai istilah-istilah yang
dipakai oleh para ulama Islam.25 Sanggahan-sanggahan yang dikemukakan oleh
Azami ini juga dituangkannya di bab II dan IV dalam buku Studies in Early Hadis
literature.
E. Pembukuan Kitab-Kitab Hadis
Dalam sejarahnya, pembukuan hadis melewati banyak tantangan dan
perdebatan. Hal ini dikarenakan timbulnya sikap ambivalensi yang dilanda para
sahabat dan tabi’in awal tentang boleh-tidaknya menuliskan hadis26. Kebingungan
yang terjadi pada abad ke-1 H awal ini diakibatkan oleh dilema tentang penulisan
23
Ignaz Goldziher dan Joseph de Somogyi, A Short History of Classical Arabic
Literature (Hildesheim: Olms Verlag, 1966), hlm. 31.
24
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), hlm. 116
25
Muhammad Mustafa Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Cambridge: Islamic Texts Society, 2013), hlm. 115-53.
26
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 108.
hadis, yang mana di satu sisi penulisan hadis dapat memberikan manfaat yang
besar bagi umat Islam di masa mendatang, tapi di sisi lain juga dapat
menimbulkan kekhawatiran akan adanya pencampuradukan antara Al-Qur’an dan
hadis. Sehingga ditakutkan akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat
muslim sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Nabi saw. saat melarang para
sahabatnya menuliskan hadis.
Baru pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H),
penghimpunan dan pembukuan hadis gencar dilakukan atas perintah sang
khalifah. Kebijakan tersebut diambil karena Khalifah khawatir ajaran-ajaran Nabi
saw. dalam bentuk hadis lenyap. Sebab, banyak ulama’ hadis dari kalangan
sahabat dan tabi’in meninggal27.
Ibnu Hajar menegaskan bahwa pada periode awal abad ke-1 H (masa
Nabi, sahabat, dan tabi’in awal) hadis Nabi belum disusun dan dibukukan. Faktor
utama yang mendasarinya setidaknya ada dua; Pertama, karena ada larangan
menulis hadis oleh Nabi yang disebabkan karena kekhawatiran adanya
pencampuradukan hadis dan Al Qur’an yang dapat menimbulkan kebingungan
pada masyarakat muslim. Dan kedua, para sahabat memiliki daya ingat yang kuat,
sehingga tidak diperlukan kegiatan menyusun dan membukukan hadis. Selain
karena jumlah sahabat yang menguasai bidang tulis-menulis sedikit.
Baru pada akhir periode tabi’in generasi tua, penyusunan dan pembukuan
kitab hadis menjadi perhatian para sahabat karena dirasa cukup penting. Pada
periode ini mulai bermunculan ulama-ulama yang menyusun hadis dalam bentuk
kitab seperti Al-Rabi’ bin Shabih yang menyusun bab hadis secara khusus28 atau
Imam Malik yang membukukan hadis berdasarkan metode penyusunan kitab fiqih
dalam kitabnya yang berjudul Al-Muwattha’.
Pada awal perkembangan penulisan hadis, para sahabat Nabi menuliskan
hadis dalam lembaran-lembaran yang belakangan dikenal dengan nama shuhuf
(bentuk tunggal dari shahifah). Sayangnya manuskrip-manuskrip berharga
tersebut banyak yang telah musnah, hanya sebagian kecil saja yang masih ada

27
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 59.
28
------------, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
hlm. 108.
hingga saat ini, salah satunya shahifah yang ditulis oleh Hammam bin
Munabbih29. Pada masa berikutnya, gaya penulisan hadis mengalami
perkembangan. Setidaknya ada tiga macam corak yang digunakan oleh para ulama
dalam menyusun kitab hadis: bentuk musannaf, musnad, dan shahih.
1. Mushannaf (pertengahan abad ke-2 H)
Penulisan hadis dengan gaya mushannaf dilakukan dengan cara
mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar secara lisan kemudian
mengelompokkannya ke dalam tema-tema tertentu secara sistematis30.
Karena periodenya yang tidak terlalu jauh dari masa Nabi, kitab bentuk
mushannaf biasanya tidak menyertakan sanad secara lengkap. Kitab Al-
Muwattha’ yang disusun oleh Imam Malik masuk ke dalam kategori
mushannaf ini.
2. Musnad (akhir abad ke-2 H)
Penulisan hadis dengan gaya musnad dilakukan dengan cara menyusun
hadis dan mengklasifikasikannya berdasarkan nama-nama periwayat hadis
mulai dari tingkat sahabat31. Ada banyak karya musnad yang disusun oleh
pata ulama pada periode abad ke-3 H, salah satu yang paling populer
adalah kitab Musnad Ahmad. Namun, kitab hadis yang diyakini sebagai
karya pertama dalam bentuk musnad adalah kitab karya Sulaiman bin
Dawud al-Tayalisi (w. 204 H) yang menghimpun sekitar 2.767 hadis32.
3. Shahih (abad ke-3 dan ke-4 H)
Gaya penulisan hadis dalam bentuk musnad ternyata juga memiliki
kelemahan karena tidak memisahkan antara hadis shahih dan hadis dla’if.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran dan kanonisasi terkait ke-
shahih-an hadis dengan cara mengkomparasikannya dengan Al Qur’an33

29
Abdul Haris, Usul Al-Hadits: Teori Dasar Studi Hadis Nabi Muhammad SAW
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018), hlm. 45.
30
--------------, Usul Al-Hadits: Teori Dasar Studi Hadis Nabi Muhammad SAW
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018), hlm. 47.
31
--------------, Usul Al-Hadits: Teori Dasar Studi Hadis Nabi Muhammad SAW
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018), hlm. 48.
32
--------------, Usul Al-Hadits: Teori Dasar Studi Hadis Nabi Muhammad SAW
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018), hlm. 49.
33
Umayyah Syarifah, ‘Kontribusi Muhammad Musthafa Azami Dalam Pemikiran Hadis
(Counter Atas Kritik Orientalis)’, Ulul Albab: Jurnal Studi Islam, 15.2 (2015), hlm. 222–41.
dan menetapkan status ke-tsiqoh-an atau kecacatan pada diri pribadi
periwayat hadis. Dari sini kemudian lahirlah gaya penyusunan kitab hadis
dalam bentuk shahih. Salah satu karya kitab hadis dalam bentuk shahih
adalah kitab Shahih al-Jami’ al-Shahih karya Muhammad bin Ismail bin
al-Mughirah al-Bukhari (w.256 H)34.
F. Penutup
Dari pembahasan yang dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Periwayatan hadis adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis,
serta penyandaran hadis itu dalam rangkaian para periwayatnya dengan
bentuk-bentuk tertentu.
2. Ada delapan syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan hadis, yaitu:
(1) Islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) tidak fasik, (5) terhindar dari tingkah
laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan (muru’ah) (6)
mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya, (7) jika periwayat
memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya, dan (8) sangat
mengetahui hal-hal yang merusak maksud hadis yang diriwayatkannya
secara makna. Sedangkan metode yang digunakan dalam meriwayatkan
hadis juga ada delapan, meliputi: (a) as-sama’, (b) qiraah (c) ijazah, (d)
munawalah, (e) mukatabah, (f) I’lam, (g) washiyah, dan (h) wijadah.
3. Orientalis tidak mengakui tradisi periwayatan hadis lengkap dengan kaidah
dan konsep-konsepnya karena dianggap tidak memenuhi kaidah ilmiah.
Bahkan mereka menganggap bahwa hadis yang ada sekarang adalah hadis
palsu, tidak benar-benar berasal dari Nabi, melainkan dikarang sendiri oleh
umat Islam. Pandangan ini ramai-ramai dibantah oleh para sarjana muslim,
salah satunya adalah Mustafa Azami dengan menunjukkan bukti-bukti
konkret tentang pencatatan dan penulisan hadis yang sudah dimulai
semenjak kurun pertama hijriah Nabi Muhammad saw.

34
Abdul Haris, Usul Al-Hadits: Teori Dasar Studi Hadis Nabi Muhammad SAW
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018), hlm. 50.
DAFTAR PUSTAKA

Al Fayyadl, M. 1998. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis. Bandung: Pustaka


Setia.
Al-Jazari, Ibn Atsir. 1987. Jami’al-Ushul fi Ahadits al-Rasul. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Thahhān, M. 1985. Taysīr Musthalah al-Hadis. Beirut: Dar el Fikr.
Azami, M. M. 1994. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Azami, M. M. 2013. On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence.
Cambridge: Islamic Texts Society.
Cook, M. 1981. Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study. Cambridge:
Cambridge University Press.
Darmalaksana, W. 2004. Hadis di Mata Orientalis: Telaah Atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht. Bandung: Benang Merah Press.
Goldziher, I. dan De Somogyi, J. 1966. A Short History of Classical Arabic
Literature. Hildesheim: Olms Verlag.
Goldziher, I. 1890. Muhammedanische Studien. Halle: Max Niemeyer.
Haris, A. 2018. Usul Al-Hadits: Teori Dasar Studi Hadis Nabi Muhammad SAW.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Idri. 2017. Hadis dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Orientalis Tentang
Hadis Nabi. Jakarta: Kencana.
Ismail, S. 2014. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, S. 2016. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
Khaeruman, B. 2004. Otentisitas Hadis, Studi Kritis Atas Kajian Hadis
Kontemporer. Bandung: Rosda Karya.
Khon, A. M. 2013. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Maulana, L. 2016. ‘Periodesasi Perkembangan Studi Hadis (Dari Tradisi
Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital)’, Esensia, 17.1. 111–23.
Niam, M. K. 2020. ‘Interaksi Sarjana Muslim dan Sarjana Barat Dalam Diskursus
Hadis’, Matan: Journal of Islam and Muslim Society, 2.2. 113-122
Schacht, J. 1950. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: Clarendon
Press.
Syarifah, U. 2015. ‘Kontribusi Muhammad Musthafa Azami Dalam Pemikiran
Hadis (Counter Atas Kritik Orientalis)’, Ulul Albab: Jurnal Studi Islam,
15.2, 222–41.

Anda mungkin juga menyukai