Mini, Puncak, atau bahkan penggambaran denah rumah yang menggambarkan bentuk garasi mobil, kulkas, mesin cuci. Siswa SD yang tidak pernah mengenal kata-kata seperti itu sebelumnya, imajinasinya akan terpaksa berputar, membayangkan apa-apa yang belum pernah ia lihat. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter juga penanaman moral, respon dan daya ingatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Imajinasinya sangat luas berkait dengan apa yang diketahuinya. Adanya BSE tentu tetap ada dampak positif dan negatifnya untuk sang anak. Jika ia tidak dikenalkan dengan sesuatu yang tidak pernah diketahui sebelumnya, maka ia akan tetap tidak tahu, atau akan tahu tapi dalam proses yang lama. Akan tetapi, jika sang anak tetap dipaksa untuk menerima apa yang sudah menjadi ketentuan, maka bisa jadi ia malah menganggap bahwa apa yang ada di lingkungan sekitarnya adalah buruk, tidak termasuk dalam kualitas pendidikan yang diajarkan di sekolahnya. Pertama, keluargalah yang paling berperan penting dalam pembentukan karakter dan pengetahuan pertama kali pada sang anak. Ke dua, guru yang harus bisa mengarahkan imajinasi siswanya pada imajinasi yang dapat diterima dan sesuai dengan kapasitasnya. Seberapa penting BSE itu terbit tidak akan berpengaruh apapun pada siswa, jika tidak ada pengarahan dari sang guru. Hanya sedikit saja dari siswa SD yang mau membaca sendiri buku sekolah yang diterimanya, di sinilah peran guru sangat dibutuhkan. Tidak hanya seorang guru yang pintar dan bisa menguasai muridnya, akan tetapi lebih dibutuhkan akan guru yang benar-benar mempunyai jiwa kecintaan pada pengabdian. Mampu menyamaratakan hak dan kewajiban atas peserta didiknya.
Orang yang tidak punya gelar dianggap tidak kompeten. Para pejabat negara berlomba memburu gelar dengan cara apa pun agar dianggap kompeten. Saat ini, kita melihat semakin banyak sekolah dan kampus dibangun, tetapi masyarakat kita tidak lebih terdidik. Ketua Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK baru-baru ini adalah doktor hukum. DPR dipenuhi orang dengan gelar akademik, tetapi DPR adalah salah satu lembaga publik paling korup. Salah satu fitur paling mencolok dari peradaban yang dengan congkak kita sebut modern ini adalah kerusakan lingkungan, konsumerisme, kehancuran rumah tangga, dan sekolah! Memang sejak semula sekolah diciptakan sebagai pendukung pokok industri yang berkembang selama 200 tahun terakhir ini dengan menyediakan tenaga terampil untuk bekerja di pabrikpabrik skala besar. Sejarah menunjukkan kemudian bahwa tugas pendidikan oleh keluarga di rumah diambil alih sekolah dan tugas produktif berbasis rumah tangga berskala kecil diambil alih pabrik. Mulailah kita saksikan kehancuran lembaga keluarga. Data menunjukkan bahwa saat ini terjadi sekitar 35 perceraian per jam di Indonesia. Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkotika, penggunaan kendaraan bermotor tanpa SIM, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, dan gizi buruk adalah bukti betapa keluarga Indonesia saat ini dalam kondisi menghadapi tantangan besar, tetapi dilupakan dalam banyak kebijakan publik. Perilaku pelajar di bawah umur yang menyebabkan kecelakaan maut baru-baru ini oleh Daoed Joesoef disebut salah asuhan. Saya menyebutnya salah asuhan sekolah saat keluarga tidak lagi kompeten mendidik anak-anak yang dilahirkan. Maka, sekolah saat ini praktis beroperasi seperti panti asuhan yatim piatu. Pelemahan keluarga Bersamaan dengan pelemahan lembaga keluarga, sekolah menjadi tempat untuk menyombongkan diri. Konsep diri anak tidak dibentuk di rumah, tetapi di sekolah atau di luar sekolah, seperti geng motor. Banyak pelajar di Kamal, Madura, kebut-kebutan menjelang maghrib hampir setiap hari dengan suara knalpot yang memekakkan telinga. Ikatan alumni sekolah favorit menjadi simbol kebanggaan kelompok masyarakat tertentu, sementara alumni sekolah pinggiran kehilangan kepercayaan dan harga diri. Perkembangan zaman membuat gelombang internet datang merobohkan tembok- tembok sekolah. Hampir semua pertanyaan murid bisa dicari jawabnya di internet, bahkan jauh lebih kaya daripada jawaban yang diberikan oleh kebanyakan guru. Sir Ken Robinson mengatakan bahwa sekolah sudah tidak kita butuhkan lagi. Sugata Mitra juga membuktikan bahwa anak-anak yang normal tidak membutuhkan sekolah untuk belajar. Dia menyebut self-organized learning environment (SOLE) dengan kurikulum yang lentur menyesuaikan kebutuhan, bakat, dan minat anak bisa mengganti sekolah dengan biaya jauh lebih murah, tetapi jauh lebih efektif untuk belajar. Sebelum internet ada, 40 tahun lalu, Ivan Illich telah mengusulkan jejaring belajar (learning webs) untuk menggantikan sistem persekolahan. Sekolah bisa menjadi salah satu simpul dalam jejaring belajar ini. Pusat-pusat kegiatan masyarakat, seperti toko, bengkel, pasar, klinik, museum, perpustakaan, radio, kebun binatang, bahkan kantor polisi dan terminal, bisa menjadi simpulsimpul SOLE yang menyediakan kesempatan magang dan learning by doing atau learning by making things. Keluarga adalah salah satu SOLE terpenting dalam jejaring belajar tersebut. Belajar dan bekerja terjadi sekaligus dan sistemik.
Saat peran sekolah semakin berkurang dalam sistem pendidikan kita pada era digital baru, keluarga di rumah perlu kita perkuat agar mampu memikul tugas-tugas pendidikan dan produktif. Di tengah krisis lingkungan, krisis ekonomi, dan krisis keluarga dalam skala global ini, harapan kita terletak di rumah, tidak di sekolah.
Degradasi moral yang semakin memiriskan di kalangan remaja adalah sebuah isyarat bahwa fungsi tripilar pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat belum memberikan peran yang optimal. Sementara itu, tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg (1958) menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan. Artinya, pendidikan seharusnya memegang peran penting ini. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membangun sebuah watak dan sikap seorang anak yang mempunyai nilai-nilai etika serta religius. Paradigma bahwa pendidikan hanya untuk mentransfer pengetahuan sudah seharusnya dibebaskan. Sejatinya pendidikan dilakukan untuk membentuk watak dan pengendalian diri sehingga akan menjadi sebuah kesalahan fatal jika orang tua hanya memercayakan pendidikan pada sekolah. Ini karena sejatinya pendidikan berawal dari rumah. Ki Hajar Dewantara telah menuliskan dalam bukunya, Wasita Tahun ke-1 No 3 Tahun 1935, bahwa sesungguhnya alam keluarga itu bukan saja pendidikan individual, tetapi juga suatu pusat untuk melakukan pendidikan sosial. Orang tua melakukan pendidikan anak-anaknya harus selalu bersama-sama dengan guru-guru di sekolahnya. Lebih lanjut, Hattie (2003) telah menunjukkan dalam risetnya bahwa karakter peserta didik dipengaruhi hanya 30 persen dari faktor guru. Hal itu berarti 70 persen dari faktor pembentukan karakter anak ada pada dua pilar pendidikan yang lain, yaitu keluarga dan masyarakat lingkungannya tempat ia tumbuh. Di sinilah perlu ditekankan kembali bahwa terbentuknya budi pekerti yang kita harapkan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan sekolahnya. Sayangnya, sikap permisif orang tua sering terwujud tanpa disadari, dengan sekadar memenuhi kebutuhan anak secara materi, tanpa ada pengecekan ulang apa saja yang dilakukan anak atas pemberiannya.Pemberian HP kepada anak, misalnya, dengan alasan supaya komunikasi lebih mudah, harus mempertimbangkan dampaknya. Jangan sekadar mengikuti tren, sementara fitur yang tersedia dalam alat komunikasi tersebut justru menjadi jalan lebar untuk mengakses situs porno. Dunia dalam genggaman sang anak. Apa pun dapat mereka lihat dan ambil internet. Tanpa ada filter pendidikan dalam keluarga serta kepedulian orang tua, hal tersebut akan berdampak buruk tanpa disadari. Kita sebagai orang tua tidak cukup hanya merasa galau, namun harus bertindak dengan mengambil peran yang besar dalam pendidikan mereka di rumah. Dapat dilakukan melalui pendidikan seksual sejak dini dan juga menerapkan nilai-nilai ajaran agama, yang diharapkan dapat membentengi anak dari perbuatan amoral yang menyesatkan. SUMBER : Daniel Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur KOMPAS, 07 November 2014