Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL TENTANG PENDIDIKAN HARI INI

Kekerasan dalam Dunia Pendidikan


Sampai detik ini, tidak banyak orang yang mengamati tentang problema yang cukup serius dalam dunia pendidikan. Hal ini terkait dengan terbitnya buku Kekerasan Simbolik di Sekolah karya Nanang Martono, yang telah membuka mata kita, bahwa masih ada kekeras an yang dilakukan di sekolah, baik oleh oknum dari dalam maupun oknum dari luar sekolah. Jika mendengar kata kekerasan, otak akan langsung merekam bahwa itu adalah kekerasan secara fisik, seperti yang masih sering terjadi di Indonesia pada saat ini. Sejak dahulu, kekerasan selalu menjadi jalan utama untuk menerapkan kedisiplinan pada anak. Di pesantren, sekolah, bahkan di rumah, kekerasan seakan sudah dihalalkan. Sebagian hal itu memang dapat menimbulkan efek jera pada sang anak. Namun, pada sebagian yang lain kekerasan malah menjadi beban mental, gangguan psikis, ketakutan, bahkan trauma. Apalagi jika itu diterapkan pada anak yang masih dalam tahap awal pembelajaran. Pada realitanya kekerasan masih sering terjadi, khususnya dalam dunia pendidikan. Di Indonesia misalnya, siswa SD Islam Sudirman, Cijantung, Jakarta Timur, mengalami tindakan kekerasan fisik dari gurunya. Mulutnya dilakban sampai luka-luka, karena sering ramai di dalam kelas (28 November 2006). Siswi SMP 282 Jakarta juga mendapatkan tindak kekerasan dari guru Bahasa Inggrisnya, ditampar karena tidak mengerjakan tugas yang diberikan (Ramadhan, 2008). Melihat rentetan kejadian di atas, dapat diartikan bahwa konsep kekerasan yang dilakukan tidak lagi mengedepankan masalah kedisiplinan. Akan tetapi lebih pada tekanan psikis pribadinya, yang merasa tindakan yang dilakukan siswa tersebut telah menyinggung harga diri sang guru. Seharusnya guru bisa bersikap lebih dewasa dalam hal ini. Kekerasan fisik seperti itu hanya akan menimbulkan dampak negatif. Hal tersebut berbeda dengan kekerasan simbolik yang diungkap Nanang Martono, dalam bukunya yang bersumber dari sebuah ide sosiologi pendidikan, Pierre Bourdieu. Dalam buku tersebut penulis menyimpulkan, bahwa kekerasan simbolik adalah kekerasan yang hanya bersifat simbol, tidak secara nyata, berjalan perlahan, akan tetapi implikasinya sangat mengena bagi psikologi anak didik atau murid. Seperti pembagian kelas yang membedakan antara kelas favorit dan kelas yang tidak favorit. Kelas favorit lebih diisi dengan siswa dari kalangan atas (kaya), dan yang tidak favorit diisi dengan siswa dari kalangan bawah (miskin). Membedakan antara kelas atas dan kelas bawah, berarti secara perlahan telah melakukan penindasan kepada si miskin. Dari keterbatasan ekonomi, membuat siswa mandek sekolah. Akibatnya, otak yang seharusnya diasah dan didesain untuk masa depan malah mengalami stagnasi, bahkan kemunduran secara pola pikir. Anak yang seharusnya berprestasi terkalahkan oleh anak dari kalangan penikmat. Ditambah lagi dengan munculnya BSE (Buku Sekolah Elektronik), yang terkhususkan untuk siswa SD. Kekerasan simbolik di sini terakses lebih banyak dalam buku Bahasa Indonesia. Mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar, merupakan mata pelajaran yang masih dalam tahap pengenalan huruf, menyusun kata dan pembentukan kalimat dari benda-benda yang ada di lingkungan sekitar sang anak. Namun, BSE Bahasa Indonesia yang menunjang proses pembelajaran, malah memuat bahasa dari orang kalangan atas (kaya), yang kebanyakan tidak dikenal dan tidak terdapatkan di lingkungan anak dari kalangan bawah (miskin). Seperti penyebutan nama papa, mama, eyang. Penyebutan pekerjaan seperti dokter, pilot, pramugari. Penyebutan tempat liburan, pantai, Taman

Mini, Puncak, atau bahkan penggambaran denah rumah yang menggambarkan bentuk garasi mobil, kulkas, mesin cuci. Siswa SD yang tidak pernah mengenal kata-kata seperti itu sebelumnya, imajinasinya akan terpaksa berputar, membayangkan apa-apa yang belum pernah ia lihat. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter juga penanaman moral, respon dan daya ingatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Imajinasinya sangat luas berkait dengan apa yang diketahuinya. Adanya BSE tentu tetap ada dampak positif dan negatifnya untuk sang anak. Jika ia tidak dikenalkan dengan sesuatu yang tidak pernah diketahui sebelumnya, maka ia akan tetap tidak tahu, atau akan tahu tapi dalam proses yang lama. Akan tetapi, jika sang anak tetap dipaksa untuk menerima apa yang sudah menjadi ketentuan, maka bisa jadi ia malah menganggap bahwa apa yang ada di lingkungan sekitarnya adalah buruk, tidak termasuk dalam kualitas pendidikan yang diajarkan di sekolahnya. Pertama, keluargalah yang paling berperan penting dalam pembentukan karakter dan pengetahuan pertama kali pada sang anak. Ke dua, guru yang harus bisa mengarahkan imajinasi siswanya pada imajinasi yang dapat diterima dan sesuai dengan kapasitasnya. Seberapa penting BSE itu terbit tidak akan berpengaruh apapun pada siswa, jika tidak ada pengarahan dari sang guru. Hanya sedikit saja dari siswa SD yang mau membaca sendiri buku sekolah yang diterimanya, di sinilah peran guru sangat dibutuhkan. Tidak hanya seorang guru yang pintar dan bisa menguasai muridnya, akan tetapi lebih dibutuhkan akan guru yang benar-benar mempunyai jiwa kecintaan pada pengabdian. Mampu menyamaratakan hak dan kewajiban atas peserta didiknya.

Masa Depan Sekolah


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ngotot mempertahankan kebijakan ujian nasional dengan berbagai cara. Salah satunya melalui konvensi UN baru-baru ini. Kemdikbud bahkan menghadirkan politisi senior Jusuf Kalla untuk meyakinkan masyarakat bahwa UN perlu dipertahankan dengan perbaikan teknis di sana-sini. Akan tetapi, ada kontroversi di sini. Kalau sebelumnya Mendikbud berwacana bahwa urusan UN adalah ikhwal akademik, konvensi UN justru mencari justifikasi politis. Makin janggal lagi ketika Kemdikbud justru menyibukkan diri dengan persoalan teknis, seperti pencetakan soal UN, tidak fokus pada persoalan-persoalan strategik kebijakan. Jadi, pendidikan nasional seperti lari cepat dengan membawa beban berat, tetapi ke arah yang salah! Tulisan Acep Iwan Saidi dan Abduh Zen baru-baru ini di harian ini pula telah menguliti sesat pikir dan legal kebijakan UN. Dapat dipastikan UN akan terus menjadi polemik nasional justru karena Kemdikbud kurang fokus pada arah pendidikan di lanskap baru abad ke-21. Anggaran yang besar untuk Kemdikbud terbukti tidak efektif meningkatkan relevansi pendidikan nasional karena Kemdikbud keliru mengambil pertempuran yang sebenarnya. Masalah pendidikan kita tidak di UN, tetapi di sekolah. Penyakit kronis UN sebenarnya hanya gejala dari penyakit kronis yang disebut schoolism. Ini seperti demam akibat malaria. Ini adalah penyakit yang muncul akibat menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Anak yang tidak bersekolah langsung dianggap kampungan dan tidak terdidik.

Orang yang tidak punya gelar dianggap tidak kompeten. Para pejabat negara berlomba memburu gelar dengan cara apa pun agar dianggap kompeten. Saat ini, kita melihat semakin banyak sekolah dan kampus dibangun, tetapi masyarakat kita tidak lebih terdidik. Ketua Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK baru-baru ini adalah doktor hukum. DPR dipenuhi orang dengan gelar akademik, tetapi DPR adalah salah satu lembaga publik paling korup. Salah satu fitur paling mencolok dari peradaban yang dengan congkak kita sebut modern ini adalah kerusakan lingkungan, konsumerisme, kehancuran rumah tangga, dan sekolah! Memang sejak semula sekolah diciptakan sebagai pendukung pokok industri yang berkembang selama 200 tahun terakhir ini dengan menyediakan tenaga terampil untuk bekerja di pabrikpabrik skala besar. Sejarah menunjukkan kemudian bahwa tugas pendidikan oleh keluarga di rumah diambil alih sekolah dan tugas produktif berbasis rumah tangga berskala kecil diambil alih pabrik. Mulailah kita saksikan kehancuran lembaga keluarga. Data menunjukkan bahwa saat ini terjadi sekitar 35 perceraian per jam di Indonesia. Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkotika, penggunaan kendaraan bermotor tanpa SIM, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, dan gizi buruk adalah bukti betapa keluarga Indonesia saat ini dalam kondisi menghadapi tantangan besar, tetapi dilupakan dalam banyak kebijakan publik. Perilaku pelajar di bawah umur yang menyebabkan kecelakaan maut baru-baru ini oleh Daoed Joesoef disebut salah asuhan. Saya menyebutnya salah asuhan sekolah saat keluarga tidak lagi kompeten mendidik anak-anak yang dilahirkan. Maka, sekolah saat ini praktis beroperasi seperti panti asuhan yatim piatu. Pelemahan keluarga Bersamaan dengan pelemahan lembaga keluarga, sekolah menjadi tempat untuk menyombongkan diri. Konsep diri anak tidak dibentuk di rumah, tetapi di sekolah atau di luar sekolah, seperti geng motor. Banyak pelajar di Kamal, Madura, kebut-kebutan menjelang maghrib hampir setiap hari dengan suara knalpot yang memekakkan telinga. Ikatan alumni sekolah favorit menjadi simbol kebanggaan kelompok masyarakat tertentu, sementara alumni sekolah pinggiran kehilangan kepercayaan dan harga diri. Perkembangan zaman membuat gelombang internet datang merobohkan tembok- tembok sekolah. Hampir semua pertanyaan murid bisa dicari jawabnya di internet, bahkan jauh lebih kaya daripada jawaban yang diberikan oleh kebanyakan guru. Sir Ken Robinson mengatakan bahwa sekolah sudah tidak kita butuhkan lagi. Sugata Mitra juga membuktikan bahwa anak-anak yang normal tidak membutuhkan sekolah untuk belajar. Dia menyebut self-organized learning environment (SOLE) dengan kurikulum yang lentur menyesuaikan kebutuhan, bakat, dan minat anak bisa mengganti sekolah dengan biaya jauh lebih murah, tetapi jauh lebih efektif untuk belajar. Sebelum internet ada, 40 tahun lalu, Ivan Illich telah mengusulkan jejaring belajar (learning webs) untuk menggantikan sistem persekolahan. Sekolah bisa menjadi salah satu simpul dalam jejaring belajar ini. Pusat-pusat kegiatan masyarakat, seperti toko, bengkel, pasar, klinik, museum, perpustakaan, radio, kebun binatang, bahkan kantor polisi dan terminal, bisa menjadi simpulsimpul SOLE yang menyediakan kesempatan magang dan learning by doing atau learning by making things. Keluarga adalah salah satu SOLE terpenting dalam jejaring belajar tersebut. Belajar dan bekerja terjadi sekaligus dan sistemik.

Saat peran sekolah semakin berkurang dalam sistem pendidikan kita pada era digital baru, keluarga di rumah perlu kita perkuat agar mampu memikul tugas-tugas pendidikan dan produktif. Di tengah krisis lingkungan, krisis ekonomi, dan krisis keluarga dalam skala global ini, harapan kita terletak di rumah, tidak di sekolah.

Menyoal Kekerasan Seksual di Sekolah


Kasus kekerasan pada siswa di sekolah seolah tidak ada hentinya; mulai dari kekerasan laten yang dapat berwujud pada buku-buku pelajaran maupun kuesioner, kekerasan seksual, tindakan pornografi, hingga kekerasan fisik yang terpampang secara jelas. Semua itu menghantui setiap orang tua yang justru terlalu berharap lebih kepada sebuah lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Terkuaknya kasus perekaman adegan mesum yang dilakukan dua siswa SMP 4 Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, kembali menampar dunia pendidikan kita. Bahkan, kejadian ini tidak saja terjadi satu kali, namun beberapa kali. Terlepas dari dugaan bahwa kegiatan ini dilakukan atas dasar suka sama suka, yang jelas kebobrokan moral telah menjangkiti para pelajar kita. Nyatanya kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah pelajar yang mempunyai peran sebagai perekam, bahkan beberapa menjadi penontonnya, tanpa ada upaya dari mereka untuk mencegah perilaku tidak senonoh ini. Dampak lebih dahsyat selanjutnya adalah hasil rekaman tersebut telah disebarkan secara bebas melalui situs internet, sehingga setiap orang, termasuk para pelajar di bawah umur, akan dengan bebas menyaksikannya. Miris dan tragis. Bagi setiap orang tua yang peduli kepada nasib anaknya, ketakutan ini benarbenar akan selalu membayangi. Sebuah sekolah, yang seharusnya menjadi sebuah zona aman dan nyaman bagi tumbuh dan berkembangnya anak, nyatanya tidak cukup memberikan kedua hal tersebut. Lebih mengkhawatirkan lagi, anak-anak seusia SMP terkadang belum mempunyai pemahaman yang cukup mengenai seks dan segala macam konsekuensinya. Di usia ini mereka berada pada tahap operasional formal, merupakan periode terakhir yang mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa; seperti disebutkan dalam teori perkembangan kognitif Piaget. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada gradasi abu-abu di antaranya. Artinya, mereka masih sangat memerlukan pendampingan, memerlukan figur dan sosok yang dapat mereka contoh, juga sangat memerlukan arahan dalam menemukan jati diri dalam dunianya yang masih abu-abu tersebut. Seperti diungkapkan dalam teori perkembangan usia tersebut, dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.

Degradasi moral yang semakin memiriskan di kalangan remaja adalah sebuah isyarat bahwa fungsi tripilar pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat belum memberikan peran yang optimal. Sementara itu, tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg (1958) menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan. Artinya, pendidikan seharusnya memegang peran penting ini. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membangun sebuah watak dan sikap seorang anak yang mempunyai nilai-nilai etika serta religius. Paradigma bahwa pendidikan hanya untuk mentransfer pengetahuan sudah seharusnya dibebaskan. Sejatinya pendidikan dilakukan untuk membentuk watak dan pengendalian diri sehingga akan menjadi sebuah kesalahan fatal jika orang tua hanya memercayakan pendidikan pada sekolah. Ini karena sejatinya pendidikan berawal dari rumah. Ki Hajar Dewantara telah menuliskan dalam bukunya, Wasita Tahun ke-1 No 3 Tahun 1935, bahwa sesungguhnya alam keluarga itu bukan saja pendidikan individual, tetapi juga suatu pusat untuk melakukan pendidikan sosial. Orang tua melakukan pendidikan anak-anaknya harus selalu bersama-sama dengan guru-guru di sekolahnya. Lebih lanjut, Hattie (2003) telah menunjukkan dalam risetnya bahwa karakter peserta didik dipengaruhi hanya 30 persen dari faktor guru. Hal itu berarti 70 persen dari faktor pembentukan karakter anak ada pada dua pilar pendidikan yang lain, yaitu keluarga dan masyarakat lingkungannya tempat ia tumbuh. Di sinilah perlu ditekankan kembali bahwa terbentuknya budi pekerti yang kita harapkan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan sekolahnya. Sayangnya, sikap permisif orang tua sering terwujud tanpa disadari, dengan sekadar memenuhi kebutuhan anak secara materi, tanpa ada pengecekan ulang apa saja yang dilakukan anak atas pemberiannya.Pemberian HP kepada anak, misalnya, dengan alasan supaya komunikasi lebih mudah, harus mempertimbangkan dampaknya. Jangan sekadar mengikuti tren, sementara fitur yang tersedia dalam alat komunikasi tersebut justru menjadi jalan lebar untuk mengakses situs porno. Dunia dalam genggaman sang anak. Apa pun dapat mereka lihat dan ambil internet. Tanpa ada filter pendidikan dalam keluarga serta kepedulian orang tua, hal tersebut akan berdampak buruk tanpa disadari. Kita sebagai orang tua tidak cukup hanya merasa galau, namun harus bertindak dengan mengambil peran yang besar dalam pendidikan mereka di rumah. Dapat dilakukan melalui pendidikan seksual sejak dini dan juga menerapkan nilai-nilai ajaran agama, yang diharapkan dapat membentengi anak dari perbuatan amoral yang menyesatkan. SUMBER : Daniel Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur KOMPAS, 07 November 2014

Anda mungkin juga menyukai