PENDAHULUAN
A. Klasifikasi
Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon.
Sagu (Metroxylon spp) termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, marga
Metroxylon dan ordo Spadiciflorae (Ruddie et al., 1976) dalam Haryanto dan
Pangloli (1992). Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua
suku kata, yaitu Metra berarti isi batang atau empelur dan xylon yang berarti
xylem (Flach, 1977). Sagu berkembangbiak melalui tunas, akar atau biji sehingga
tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).
Secara garis besar sagu digolongkan dalam dua golongan, yaitu yang
berbunga atau berbuah sekali (Hapaxanthic) dan yang berbunga atau berbuah
lebih dari sekali (Pleonanthic) (Deinum, 1984 dalam Djumadi, 1989). Golongan
pertama mempunyai nilai ekonomi yang penting karena kandungan acinya tinggi.
Golongan ini terdiri dari lima jenis yaitu : (1) metroxylon sagus Rottb (Sagu
Molat).; (2) Metroxylon rumphii Mart (Sagu Tuni).; (3) Metroylon micracanthum
Mart ( Sagu Rotan),; (4) Metroxylon Longispinum Mart ( Sagu Makanaru),; (5)
Metroxylon sylvestre Mart (Sagu Ihur).
Dari kelima varietas diatas yangmemiliki arti ekonomis penting adalah
Ihur, Tani dan Molat. Ihur dan Tuni berduri sedangkan Molat tidak berduri
sehingga disebut sagu perempuan. Sagu Tuni dan Molat enak rasanya, sedangkan
sagu ihur kurang enak. Sagu Tuni dan Ihur mempunyai kesanggupan beranak
yang tinggi, sedangkan sagu Molat pada umumnya anakan yang dibentuk jauh
lebih sedikit ( Harsanto 1992).
Habitus Ihur dan Tuni tumbuh lebih kuat dari pada Molat, tinggi batang
Ihur 10-20 m; Tuni 10-12 m dan Molat 9-10 m (Harsanto 1992).
Sedangkan golongan kedua terdiri dari spesies Metroxylon filarae dan
Metroxylon elatum yang banyak tumbuh di dataran yang relatif tinggi. Golongan
ini nilai ekonominya rendah karena kandungan acinya kurang.
Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke
waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku
(provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha
(Balitbanghut 2005).
Di seluruh nusantara terdapat pohon sagu dan sagu-saguan. Daerah-daerah
yang merupakan sagu utama ialah Irian Jaya, Maluku (terutama Seram dan
Halmahera), Sulawesi, Kalimantan (terutama Kalimantan Barat) dan Sumatera
(terutama Riau). Hutan sagu alam yang luas terdapat di sepanjang dataran rendah
pantai dan muara sungai di Irian Jaya, Seram, Halmahera dan Riau. Di daerah lain
hutan sagu yang ada sekarang kebanyakan merupakan kebun sagu yang meliar
menjadi hutan karena tidak ada pemeliharaan (Heyne, 1950).
Di Jawa sagu tidak terdapat umum dan ditemukan secara terbatas di
Banten dan di beberapa tempat sepanjang pantai utara Jawa Tengah. Di daerah
Maluku Tenggara yang berhujan kurang, sagu ditemukan lebih sedikit atau tidak
ada. Di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur serta Timor Timur tidak terdapat
sagu. Yang ada ialah sagu-saguan. (Wijandi,dkk 1981).
Komponen yang paling domonan dalam aci sagu adalah pati (karbohidrat).
Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan untuk persediaan
bahan makanan. Komposisi kimia dalam setiap 100 gram aci terdiri dari 355 kal
kalori, 0,7 gr protein, 0,2 gr lemak, 84,7 gr karbohidrat, 14 gr air, 13 mg fosfor, 11
mg kalsium, 1,5 gr besi (Haryanto dan Philipus, 1992).
Pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan
ukuran granula sebesar 20-60 mm dan suhu gelatinisasinya berkisar 60-72oC.
Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al., (1986) suhu gelatinisasi pati sekitar
72-90oC.
Sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh
pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar. Lingkungan
yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, dimana akar
napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna cokelat
dan bereaksi agak asam (Flach, 1977). Selanjutnya dikatakan habitat yang
demikian cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi
pertumbuhan tanaman sagu. Pada tanah-tanah yang tidak cukup mengandung
mikroorganisme pertumbuhan sagu kurang baik. Selain itu pertumbuhan sagu
juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama
unsur P, K, Ca, dan Mg. Apabila akar napas sagu terendam terus menerus, maka
pertumbuhan sagu terhambat dan pembentukan aci atau karbohidrat dalam batang
juga terhambat.
Selain kondisi tersebut di atas, sagu juga dapat tumbuh pada tanah-tanah
organik akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah demikian menunjukkan
berbagai gejala kekahatan beberapa unsur hara tertentu yang ditandai dengan
kurangnya jumlah daun dan umur sagu akan lebih panjang yaitu sekitar 15 sampai
17 tahun (Flach, 1977). Sagu banyak juga yang tumbuh dengan baik secara
alamiah pada tanah liat yang berwarna dan kaya akan bahan-bahan organik seperti
di pinggir hutan mangrove atau nipah. Selain itu, sagu juga dapat tumbuh dengan
tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik
kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya (Manan et al., 1984 dalam Haryanto dan
Pangloli, 1992).
Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan
permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa
yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang
aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak
terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah
liat > 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah
pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi. Sagu
dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning,
alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya. Sagu mampu tumbuh
pada lahan yang memiliki keasaman tinggi. Pertumbuhan yang paling baik terjadi
pada tanah yang kadar bahan organiknya tinggi dan bereaksi sedikit asam pH 5,5
6,5.
o Berlumpur
o Kaya mineral
Menurut Turukay (1986) 43% luasan sagu terdapat dilahan kering yang
lembab, 30% dirawa dan sisanya ditepi sungai. Menurut Notohadiprawiro dan
Louhennapessy (1993) habitat asli sagu ialah tepi parit atau sungai yang becek
serta berlumpur tetapi secara berkala mongering. Pada lahan keing yang lembab,
tanaman sagu kalah bersaing dengan tumbuhan hutan lainnya, akibatnya jumlah
anakan berkurang. Namun demikian kadar patinya tinggi (Flach 1997).
Syarat bibit untuk pembibitan cara generatif adalah biji yang digunakan
sudah tua, tidak cacat fisik, besarnya rata-rata dan bertunas. Syarat bibit untuk
pembibitan cara vegetatif adalah berasal dari tunas atau anakan yang umurnya
kurang dari 1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan berat 2-3 kg. Tinggi anakan
+1 meter dan punya pucuk daun 3-4 lembar.
Penyiapan Benih atau Bibit
Biji yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua dan jatuh/rontok
dari pohon induk yang baik, yaitu subur dan produksinya tinggi, tumbuh pada
lahan yang wajar serta produksi klon rata-rata tinggi. Biji/buah yang diambil
tersebut adalah
4. Luka bekas irisan dangkel yang msih tertanam segera dilumuri dengan zat
penutup luka (seperti : TB-1982 atau Acid Free Coalteer) untuk mencegah
hama dan penyakit.
5. Bibit sagu direndam dalam air aerobic selama 3-4 minggu. Setelah itu bibit
ditanam.
6. Penyiapan dangkel sebaiknya dilakukan pada waktu menjelang sore hari,
kemudian pada sore hari dangkel dikumpulkan dan pada waktu malam hari
diangkut ke lahan, untuk menghindari kerusakan dangkel oleh cahaya
matahari.
H. PEMANENAN SAGU
Ciri dan umur panen
Panen dapat dilakukan umur 6 -7 tahun, atau bila ujung batang mulai
membengkak disusul keluarnya selubung bunga dan pelepah daun berwarna putih
terutama pada bagian luarnya. Tinggi pohon 10 15 m, diameter 60 70 cm,
tebal kulit luar 10 cm, dan tebal batang yang mengandung sagu 50 60 cm. Ciri
pohon sagu siap panen pada umumnya dapat dilihat dari perubahan yang terjadi
pada daun, duri, pucuk dan batang. Cara penentuan pohon sagu yang siap panen di
Maluku adalah sebagai berikut :
a. Tingkat Wela/putus duri, yaitu suatu fase dimana sebagian duri pada pelepah
daun telah lenyap. Kematangannya belum sempurna dan kandungan acinya masih
rendah, tetapi dalam keadaan terpaksa pohon ini dapat di panen.
b. Tingkat Maputih, ditandai dengan menguningnya pelepah daun, duri yang
terdapat pada pelepah daun hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada bagian
pangkal pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang terbentuk ukurannya
semakin pandek dan kecil. Pada tingkat ini sagu jenis Metroxylon rumphii
Martius sudah siap dipanen, karena kandungan acinya sangat tinggi.
c. Tingkat Maputih masa/masa jantung, yaitu fase dimana semua pelepah daun
telah menguning dan kuncup bunga mulai muncul. Kandungan acinya telah padat
mulai dari pangkal batang sampai ujung batang merupakan fase yang tepat untuk
panen sagu ihur (Metroxylon sylvester Martius)
d. Tingkat siri buah, merupakan tingkat kematangan terakhir, di mana kuncup
bunga sagu telah mekar dan bercabang menyerupai tanduk rusa dan buahnya
mulai terbentuk. Fase ini merupakan saat yang paling tepat untuk memanen sagu
jenis Metroxylon longisipium Martius
Cara Panen
Langkah-langkah pemanenan sagu adalah sebagai berikut :
I. PENGOLAHAN SAGU
Pangkur Sagu adalah proses awal pembuatan Sagu yang di olah dari
batang pohon Sagu sebelum menjadi "Tumang" atau biasa di sebut Sari tepung
sagu.Pohon sagu apabila sudah mencapai umur untuk bisa di olah maka para
tukang pangkur sagu segera bekerja,sperti gambar di atas salah satu seorang
sedang melakukan
pangkur sagu mulai dari penebangan sampai proses pemerasan Sari Sagu.
Bisanya Pangkur sagu di lakukan Di dekat dimana ada mata air untuk bisa
melakukan proses pemerasan Sari Sagu karena proses tersebut sangat
membutuhkan banyak air.prosesnya sangatlah unik batang pohon sagu di babat
hingga hancur kemudian batang pohon yang sudah hancur tadi di peras hingga
menjadi sari sagu "Tumang". Setelah semua proses telah selesai kemudian sari
yang di persa tadi di taru di wadah yang telah di desain khusus yang terbuat dari
daun pohon sagu itu sendiri dan untuk membuatnya butuh orang yang ahli dalam
menganyam nya agar sari sagu yang masih cair tidak tumpah. Kemudian sagu
dapat diolah menjadi beberapa olahan seperti makanan khas daerah ataupun yang
lainnya .
DAFTAR PUSTAKA
______. MYJ. Purwanto, dan A. Shandra. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB
Press. Bogor
Flach, M. 1997. Sago Palm, Metroxylon sago Rottb. IPGRI. Rome, 76p
Flach, M.1983. Yield Potential of The Sago Palm, Metroxylon sago Its
Realisation. First International Sago Symposium. Kuching, 5-7
Juli 1976. Pp 157-177
Turukay, B.1986. The Role of Sago Palm in the Development of Integrated Farm
System in Maluku Province of Indonesia. Pp 7-15 in N Yamada
and K. Kainuma(Eds) Proc. The 3rd Int. Sago Symposium. Tokyo,
May 20-23 1985
Wijiastuti,S. Bercocok tanam sagu ditulis oleh Prof. Dr. Ir. H. M. Bintoro, MM.
Agr. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
bekerjasama dengan Universitas Tokyo. 2008. Diakses 19
Desember 2013
TUGAS INDIVIDU
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
BUDIDAYA SAGU
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014