Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Sagu merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang dapat


dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia,
khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada dasarnya sampai saat ini
belum dimanfaatkan secara optimal. Dilihat dari keanekaragamaan dan
keasliannya banyak yang menyatakan sagu berasal dari Maluku dan Irian jaya
karena dapat dijumpai hutan sagu dengan banyak ragamnya. Sagu ada yang
berduri panjang dan ada yang tidak berduri. Jakson in Tan (1997) menyatakan
bahwa penyebaran sagu hanya terbatas di wilayah Asia Tenggara. Negara
produsen sagu yang dikenal terbatas pada Indonesia, Malaysia dan Papua New
Guinea.
Sagu sebagai salah satu sumber karbohidrat memiliki peranan yang sangat
penting pada berbagai bidang, meskipun saat ini peranan sagu masih berkembang
secara tradisional dan terbatas. Di Indonesia sendiri peranan sagu sangat
mendukung pelaksanaan Inpres No.20 tahun 1979 tentang usaha diversifikasi
pangan, sebab sagu di Indonesia disamping potensi produksinya tinggi, sagu
berpeluang besar dipakai sebagai makanan yang disukai masyarakat. Dengan
teknologi pangan yang tinggi sagu dimungkinkan sebagai bahan pangan yang
lezat dan bergizi tinggi. Ditambah lagi kandungan kalori relatif sama dengan
kalori jagung kering atau beras giling , bahkan dinyatakan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu atau kentang, sehingga
sagu dapat dijadikan salah satu komoditi pangan yang dapat menjawab tantangan
peningkatan kebutuhan pangan nasional dimasa mendatang.
Disamping sebagai makanan pokok, sagu juga dikonsumsi sebagai
makanan pendamping seperti sagu lempeng, sinali, bagea dan lain-lain. Pada
umumnya pangan tersebut diproduksi dalam skala industri kecil. Bahkan di Jawa
barat sendiri hanya daunnya saja yang dimanfaatkan sebagai bahan atap.
Teknologi yang digunakan dalam pengolahan tepung sagu di Indonesia
kebanyakan masih tradisional dan sebagian kecil saja yang menggunakan cara
mekanis. Pengolahan sagu secara industri baru dilakukan di daerah-daerah seperti
Jambi, Riau dan Sumatera Selatan. Produksinya untuk memenuhi permintaan
pasar dalam negeri dan diekspor dalam jumlah terbatas.
Budidaya tanaman sagu di Indonesia pada umumya masih primitif atau
dapat dikatakan masih tumbuh secara liar terutama di papua. Masih banyak petani
sagu belum melaksanakan teknik budidaya sagu seperti teknik budidaya tanaman
perkebunan lainnya. Sagu di Indonesia masih menuntut teknik bercocok tanam
secara intensif.
Dalam pengembangan suatu jenis tanaman di Indonesia, pendekatan yang
dipergunakan adalah pendekatan gizi. Disamping usaha pengadaan karbohidrat
agar seiring dengan usaha pengadaan karbohidrat diproduksikan pula unsur-unsur
gizi lain. Karbohidrat didapat dari tanaman penghasil karbohidrat, sedangkan
protein, lemak, vitamin dan mineral dapat diambil dari sumber lain. Dalam
pengembangan sagu sebagai sumber karbohidrat, lebih tepat dengan pendekatan
menu yakni meski kandungan proteinnya rendah dapat diganti dengan
mengkonsumsi sumber bahan pangan lain. Mengingat sagu adalah tanaman
daerah rawa maka berfungsi sebagai tempat penghasil ikan, selain itu sagu juga
berperan dalam intensifikasi pemanfaatan lahan dimana lahan yang ditumbuhi
tanaman sagu merupakan lahan yang komoditi lain tidak mampu untuk tumbuh
dengan baik dan produktif. Mengingat konversi lahan pertanian yang semakin hari
semakin tinggi perkembangannya.
Tak terbatas pada bidang pangan, sagu yang sebagian besar tumbuh secara
alami memiliki multifungsi bagi kehidupan manusia, namun tanaman tersebut
belum banyak diperhatikan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia,
bahkan terdapat kecenderungan populasinya semakin menurun. Disatu sisi pati
yang dikandung dalam batang sagu dapat digunakan sebagai bahan pangan
potensial, disisi lain juga digunakan untuk bahan baku agroindustri. Selain itu,
tumbuhan sagu dapat beperan sebagai pengaman lingkungan karena dapat
mengabsorbsi emisi gas CO2 yang ditransmisikan dari lahan rawa dan gambut ke
udara. Emisi gas CO2 dan NH4 yang ditransmisikan ke udara bervariasi dari 25-
200 mg/m2/jam ( Boss dan Plassche 2003). Adanya tegakan hutan sagu, gas yang
ditransmisikan keudara akan berkurang karena CO2 digunakan untuk fotosintesis.
Tanaman sagu dapat mengkonversi air tanah, karena tanaman sagu
menghendaki kelembaban tanah yang tinggi. Kawasan yang kadang-kadang
tergenang air sangat disukai tanaman sagu, namun apabila kawasan tersebut selalu
tergenang akan mengakibatkan pertumbuhan sagu lambat dan kadar patinya
rendah. Kawasan yang ditumbuhi sagu akan dipertahankan dalam keadaan lembab
sebaliknya kawasan yang digunakan untuk tanaman perkebunan akan dibuat
saluran drainase. Air yang ada didalam kawasan tersebut akan dialirkan ketempat
lain. Oleh karena itu kawasan yang ditumbuhi sagu akan mengandung banyak air,
padahal air dimasa mendatang akan menjadi masalah serius bagi manusia, hewan
maupun tumbuhan.
Suatu kawasan yang tertutup rapat vegetasi termasuk vegetasi sagu akan
mengakibatkan intensitas curah hujan yang tinggi namun dengan aliran
permukaan yang kecil. Dengan demikian air yang tersedia bagi makhluk hidup
dikawasan tersebut menjadi lebih banyak.
Apabila tegakan sagu mendominiasi pinggiran sungai akan berakibat
aliran permukaan tidak masuk kedalam sungai tetapi akan dihambat sehingga
aliran permukaan tersebut akan merembes kedalam tanah kemudian menjadi air
tanah. Menurut Harsanto (1986) tegakan sagu yang rapat memiliki kemampuan
untuk membersihkan limbah industri dan limbah domestik.
Dengan demikian, tanaman sagu sangat bermanfaat bagi manusia. Secara
umum pemanfaatan sagu dimulai dari daunnya yang dijadikan atap rumah
tradisional, tulang daunya dapat dijadikan dinding, lidinya dapat dibuat sapu, kulit
batangnya dapat dijadikan lantai. Empulur sagu setelah diparut dapat dijadikan
pakan ternak. Apabila setelah diparut, kemudian parutan tersebut diolah lebih
jauh, maka limbahnya yang berupa serat dapat dijadikan makanan ternak, media
tumbuh untuk jamur atau media berbagai tanaman pertanian. Limbah cairnya
dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, misalnya makanan pokok,
bahan baku industri makanan, bahan bakar biofuel, bahan baku penyedap
makanan, bahan bakku gula cair.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi
Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon.
Sagu (Metroxylon spp) termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, marga
Metroxylon dan ordo Spadiciflorae (Ruddie et al., 1976) dalam Haryanto dan
Pangloli (1992). Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua
suku kata, yaitu Metra berarti isi batang atau empelur dan xylon yang berarti
xylem (Flach, 1977). Sagu berkembangbiak melalui tunas, akar atau biji sehingga
tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).
Secara garis besar sagu digolongkan dalam dua golongan, yaitu yang
berbunga atau berbuah sekali (Hapaxanthic) dan yang berbunga atau berbuah
lebih dari sekali (Pleonanthic) (Deinum, 1984 dalam Djumadi, 1989). Golongan
pertama mempunyai nilai ekonomi yang penting karena kandungan acinya tinggi.
Golongan ini terdiri dari lima jenis yaitu : (1) metroxylon sagus Rottb (Sagu
Molat).; (2) Metroxylon rumphii Mart (Sagu Tuni).; (3) Metroylon micracanthum
Mart ( Sagu Rotan),; (4) Metroxylon Longispinum Mart ( Sagu Makanaru),; (5)
Metroxylon sylvestre Mart (Sagu Ihur).
Dari kelima varietas diatas yangmemiliki arti ekonomis penting adalah
Ihur, Tani dan Molat. Ihur dan Tuni berduri sedangkan Molat tidak berduri
sehingga disebut sagu perempuan. Sagu Tuni dan Molat enak rasanya, sedangkan
sagu ihur kurang enak. Sagu Tuni dan Ihur mempunyai kesanggupan beranak
yang tinggi, sedangkan sagu Molat pada umumnya anakan yang dibentuk jauh
lebih sedikit ( Harsanto 1992).
Habitus Ihur dan Tuni tumbuh lebih kuat dari pada Molat, tinggi batang
Ihur 10-20 m; Tuni 10-12 m dan Molat 9-10 m (Harsanto 1992).
Sedangkan golongan kedua terdiri dari spesies Metroxylon filarae dan
Metroxylon elatum yang banyak tumbuh di dataran yang relatif tinggi. Golongan
ini nilai ekonominya rendah karena kandungan acinya kurang.
Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke
waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku
(provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha
(Balitbanghut 2005).
Di seluruh nusantara terdapat pohon sagu dan sagu-saguan. Daerah-daerah
yang merupakan sagu utama ialah Irian Jaya, Maluku (terutama Seram dan
Halmahera), Sulawesi, Kalimantan (terutama Kalimantan Barat) dan Sumatera
(terutama Riau). Hutan sagu alam yang luas terdapat di sepanjang dataran rendah
pantai dan muara sungai di Irian Jaya, Seram, Halmahera dan Riau. Di daerah lain
hutan sagu yang ada sekarang kebanyakan merupakan kebun sagu yang meliar
menjadi hutan karena tidak ada pemeliharaan (Heyne, 1950).
Di Jawa sagu tidak terdapat umum dan ditemukan secara terbatas di
Banten dan di beberapa tempat sepanjang pantai utara Jawa Tengah. Di daerah
Maluku Tenggara yang berhujan kurang, sagu ditemukan lebih sedikit atau tidak
ada. Di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur serta Timor Timur tidak terdapat
sagu. Yang ada ialah sagu-saguan. (Wijandi,dkk 1981).
Komponen yang paling domonan dalam aci sagu adalah pati (karbohidrat).
Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan untuk persediaan
bahan makanan. Komposisi kimia dalam setiap 100 gram aci terdiri dari 355 kal
kalori, 0,7 gr protein, 0,2 gr lemak, 84,7 gr karbohidrat, 14 gr air, 13 mg fosfor, 11
mg kalsium, 1,5 gr besi (Haryanto dan Philipus, 1992).
Pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan
ukuran granula sebesar 20-60 mm dan suhu gelatinisasinya berkisar 60-72oC.
Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al., (1986) suhu gelatinisasi pati sekitar
72-90oC.

Pati sagu mengandung sekitar 27 persen amilosa dan sekitar 73 persen


amilopektin. Rasio amilosa akan mempengaruhi sipat pati itu sendiri. Apabila
kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung
meresap lebih banyak air (higroskopis). Amilosa mempunyai struktur lurus
dengan ikatan (1-4) glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai ikatan (1-6)
glukosa seperti yang disajikan bercabang (Wiranatakusumah, dkk, 1986).
Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif.
Tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia mencapai 5 juta ton pati kering per
tahun, setara dengan 3 juta kiloliter bioetanol. Mengingat habitat sagu di lahan
payau dan tergenang air maka pengembangan sagu sebagai sumber energi
bioetanol tidak akan membahayakan ketahanan pangan. Sekitar Danau Sentani,
Kabupaten Jayapura, Papua. Di tempat tersebut dijumpai keragaman plasma
nutfah sagu yang paling tinggi. Areal sagu terluas terdapat di Papua (1,2 juta ha)
dan Papua Nugini (1,0 juta ha) yang merupakan 90% dari total areal sagu dunia.
Tanaman sagu tersebar di wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania,
terutama tumbuh di lahan rawa, payau atau yang sering tergenang air. Batang sagu
ditebang menjelang tanaman berbunga, saat kandungan patinya tertinggi. Setelah
Sumber tepung sagu yang utama adalah Metroxylon Sagu, yang ditemukan
Asia Bagian tenggara dan Guinea Baru; lain jenis, termasuk M. salomonense dan
M. amicarum ditemukan di Melanesia Dan Micronesia di mana itu lebih sedikit
penting secara ekonomis sebagai sumber sagu untuk dikonsumsi. Tepung Sagu
atau Metroxylon memiliki karbohidrat yang hampir murni dan mempunyai sangat
kecil protein, vitamin, atau mineral. Seratus gram dari sagu kering menghasilkan
355 kalori, mencakup suatu rata-rata 94 gram karbohidrat, 0.2 gram protein, 0.5
gram dari serabut berkenaan dg aturan makan, 10mg zat kapur, 1.2mg besi/
setrika, dan sedikit karotein, thiamine, dan cuka asorbik. Sagu dapat disimpan
untuk minggu atau bulan, walaupun umumnya disepakati dimakan segera setelah
itu diproses (Anonim, 2008).
Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku
diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan
sagu di Indonesia adalah antara 836 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu
di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20
pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan
satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah
produksi tepung sagu diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah
yang besar dengan perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti
potensi ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri
dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981).
Pengolahan bagian dalam batang pohon sagu menjadi bagian-bagian kecil
dengan menggunakan parut yang terbuat dari bahan kayu dan paku sebagai mata
parut. Pada masyarakat Akit di Pulau Rupat alat tersebut dikenal dengan sebutan
pahut sagu. Masyarakat Mentawai di Pulau Siberut mencacah bagian dalam
batang pohon sagu dengan alat yang disebut kukuilu. Alat ini berbentuk segitiga
yang terbuat dari kayu yang diikat satu sama lain dengan menggunakan tali dari
kulit kayu. Pemrosesan sari/pati sagu dan pengeringan. Pati sagu dikeluarkan dari
parutan sagu dengan cara diinjak-injak dengan kaki. Kegiatan tersebut di Pulau
Lingga disebut diirik, sehingga alatnya disebut juga alat pengirik yang terdiri dari
langgar atau pelantar terbuat dari kayu lait, dan diberi dasar tikar sebagai wadah
tempat sagu. Biasanya di dekat alat pengirik dipasang timba air yang berfungsi
untuk menyiram parutan sagu yang diinjak-injak, yang terdiri dari bambu, tali,
timba, dan batu pemberat. Selanjutnya pati sagu ditampung dengan ube atau uba
(penampung). Alat tersebut berbahan kayu dan berbentuk menyerupai perahu
pencalang. Pada ujungnya dibuat lobang tempat keluar air. Apabila uba dipenuhi
air, sementara pengirikan masih berlangsung, maka air akan keluar melalui lubang
tersebut, sedangkan pati sagu mengendap pada dasar uba. Hasil sagu irikan
diambil dari dalam uba. Karena sagu yang dihasilkan masih kotor maka
dimasukkan ke tempayan yang 2/3 diisi air laut kemudian diaduk sehingga ampas
kotoran lainnya naik ke permukaan dan pati sagu mengendap di dasar tempayan
(Susilowati, 2008).
Pembuatan suspensi pati dilakukan dengan langkah memasukkan aci sagu
ke dalam tangki suspensi dan ditambah dengan air sampai suspensi pati mencapai
konsentrasi 35 % bahan kering. Kemudian pH diatur menjadi 6,0-6,5 dengan
penambahan CH3COOH. Selanjutnya suspensi pati ditambah termamyl 60 L
dengan dosis satu liter (1L) untuk setiap ton bahan baku atau 0,001 ml/gram aci,
sambil di aduk agar setiap bagian yang terkandung merata (Harsanto, 1986).
Untuk mendapatkan aci sagu, maka dari empelur batang sagu diperlukan
ekstraksi aci dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang
dihancurkan terlebih dahulu dengan ditokok atau diparut. Ditinjau dari cara alat
yang digunakan, cara ekstraksi sagu yang dilakukan di daerah-daerah penghasil
sagu di Indonesia saat ini dikelompokkan secara tradisonal, ekstraksi semi
mekanis dan ekstraksi secara mekanis (Pietries, 1966).
B. Morfologi sagu
Sagu mempunyai tanda-tanda morfologi seperti Aren ( Arecha sp),
perbedannya Aren tidak membentuk rumpun. Batang Aren hampir seluruhnya
diliputi ijuk hitam, sedangkan sagu hanya mempunyai ijuk hitam sedikit pada
pinggiran pelepah daunnya sehingga batang sagu tampak jelas, mirip pohon
pinang (Harsanto 1992).
Sagu tumbuh dalam bentuk rumpun. Setiap rumpun terdiri dari 1-8
batang sagu, pada setiap pangkal tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar
rumpun sagu akan melebar dengan jumlah anakan yang banyak dalam berbagai
tingkat pertumbuhan (Harsanto, 1986). Lebih lanjut Flach (1983) dalam Djumadi
(1989) menyatakan bahwa sagu tumbuh berkelompok membentuk rumpun mulai
dari anakan sampai tingkat pohon. Tajuk pohon terbentuk dari pelepah yang
berdaun sirip dengan tinggi pohon dewasa berkisar antara 8-17 meter tergantung
dari jenis dan tempat tumbuhnya.
C. Batang
Batang sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan gudang
penyimpanan aci atau karbohidrat yang lingkup penggunaannya dalam industri
sangat luas, seperti industri pangan, pakan, alkohol dan bermacam-macam industri
lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Batang sagu berbentuk silinder yang tingginya dari permukaaan tanah
sampai pangkal bunga berkisar 10-15 meter, dengan diameter batang pada bagian
bawah dapat mencapai 35 sampai 50 cm (Harsanto, 1986), bahkan dapat
mencapai 80 sampai 90 cm (Haryanto dan Pangloli, 1992). Umumnya diameter
batang bagian bawah agak lebih besar daripada bagian atas, dan batang bagian
bawah umumnya menagndung pati lebih tinggi daripada bagian atas (Manuputty,
1954 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992)
Pada waktu panen berat batang sagu dapat mencapai lebih dari dari 1
ton, kandungan acinya berkisar antara 15 sampai 30 persen (berat basa), sehingga
satu pohon sagu mampu menghasilkan 150 sampai 300 kg aci basah (Harsanto,
1986; Haryanto danPangloli, 1992).
Menurut Harsanto (1992) tingkat pertumbuhan batang dibedakan
sebagai berikut:
Tingkat semai : tinggi batang sampai dengan 0,50m
Tingkat sapihan : tinggi batang 0,50 m - 1,50 m
Tingkat tiang : tinggi batang 1,50 m 5 m
Tingkat pohon : tinggi batang > 5 m
D. Daun
Daun sagu berbentuk memanjang (lanceolatus), agak lebar dan berinduk
tulang daun di tengah, bertangkai daun dimana antara tangkai daun dengan lebar
daun terdapat ruas yang mudah dipatahkan (Harsanto, 1986).
Daun sagu mirip dengan daun kelapa mempunyai pelepah yang
menyerupai daun pinang. Pada waktu muda, pelepah tersusun secara berlapis
tetapi setelah dewasa terlepas dan melekat sendiri-sendiri pada ruas batang
(Harsanto, 1986; Haryanto dan Pangloli, 1992). Menurut Flach (1983) dalam
Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa sagu yang tumbuh pada tanah
liat dengan penyinaran yang baik, pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun
yang panjangnya sekitar 5 sampai 7 meter. Dalam setiap tangkai sekitar 50
pasang daun yang panjangnya bervariasi antara 60 cm sampai 180 cm dan
lebarnya sekitar 5 cm.
Pada waktu muda daun sagu berwarna hijau muda yang berangsur-
angsur berubah menjadi hijau tua, kemudian berubah lagi menjadi coklat
kemerah-merahan apabila sudah tua dan matang. Tangkai daun yang sudah tua
akan lepas dari batang (Harsanto, 1986).
E. Bunga dan Buah
Tanaman sagu berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10 sampai 15
tahun, tergantung jenis dan kondisi pertumbuhannya dan sesudah itu pohon akan
mati (Brautlecht, 1953 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Flach (1977)
menyatakan bahwa awal fase berbunga ditandai dengan keluarnya daun bendera
yang ukurannya lebih pendek daripada daun-daun sebelumnya.
Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau
pucuk batang sagu, berwarna merah kecoklatan seperti karat (Manuputty, 1954
dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Sedangkan menurut Harsanto (1986), bunga
sagu tersusun dalam manggar secara rapat, berkuran secara kecil-kecil, waranya
putih berbentuk seperti bunga kelapa jantan dan tidak berbau.
Bunga sagu bercabang banyak yang terdiri dari cabang primer, sekunder
dan tersier (Flach, 1977). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada cabang tersier
terdapat sepasang bunga jantan dan betina, namun bunga jantan mengeluarkan
tepung sari sebelum bunga betina terbuka atau mekar. Oleh karena itu diduga
bahwa tanaman sagu adalah tanaman yang menyerbuk silang, sehingga bilamana
tanaman ini tumbuh soliter jarang sekali membentuk buah.
Bilamana sagu tidak segera ditebang pada saat berbunga maka bunga
akan membentuk buah. Buah bulat kecil, bersisik dan berwarna coklat
kekuningan, tersusun pada tandan mirip buah kelapa (Harsanto, 1986). Waktu
antara bunga mulai muncul sampai fase pembentukan buah diduga berlangsung
sekitar dua tahun (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Sagu budidaya merupakan tanaman menahun yang hanya berbunga atau
berbuah sekali pada masa hidupnya. Setelah berbunga dan berbuah sagu akan mati
( Harsanto 1992).
Selanjutnya Haryanto dan Pangloli (1992) menjelaskan bahwa tanaman
sagu akan menghasilkan anakan secara berurutan dengan pola anak beranak yang
selanjutnya membentuk rumpun yang lebih luas. Jenis sagu rotan dibiarkan
tumbuh secara liar dan tidak ada usaha pemeliharaan. Lebih lanjut Haryanto dan
Pangloli (1992) menjelaskan bahwa populasi tanaman sagu tergantung dari jenis,
daerah produksi dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan dimana
pertumbuhan sagu yang dipelihara atau dibudidayakan populasinya lebih padat
dari pada yang tumbuh secara liar.
F. Lingkungan Tumbuh Tanaman Sagu
Tanaman sagu merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah
khatulistiwa, di daerah tepi pantai dan sepanjang aliran sungai pada garis lintang
antara 10 LU dan 10 LS dan pada ketinggian 300 sampai 700 meter di atas
permukaan laut (dpl), mempunyai curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun (Tan,
1982; Harsanto, 1986).
Menurut Harsanto (1986) bahwa jumlah curah hujan yang menguntungkan
bagi pertumbuhan sagu diduga antara 2000 sampai 4000 mm per tahun, tersebar
merata sepanjang tahun dengan temperatur rata-rata 24C sampai 30C. . Suhu
optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50 29oC dan suhu minimal
15oC, dengan kelembaban nisbi 90%. . Sagu dapat ditanam di daerah dengan
kelembaban nisbi udara 40%. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhannya
adalah 60%.

Sagu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, 1) belum berkembang,


berdrainase baik hingga buruk yakni sulfaquent (mengandung bahan sulfidik),
hidraquent ( waterlogged), tropaquent ( kawasan iklim tropika), flulvaquent
( tanah alluvial) dan psammaquent (tanah berpasir); 2) tanah sedang berkembang
berdrainase baik sampai buruk tropaquent ( dikawasan iklim tropik) sari sub
golongan typic (norma) dan vertic (liat), tanah gambut troposaprist ( taraf
perombakan jauh), tripohenist ( taraf perombakan menengah dan sulfihemist
( mengandung bahan sulfuric , pH rendah) dan tanah alluvial yang tertimbun
gambut thaptohistic ( tropic) fluvaquent ( Notohadiprawito dan Louhennapessy
1993).

Sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh
pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar. Lingkungan
yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, dimana akar
napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna cokelat
dan bereaksi agak asam (Flach, 1977). Selanjutnya dikatakan habitat yang
demikian cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi
pertumbuhan tanaman sagu. Pada tanah-tanah yang tidak cukup mengandung
mikroorganisme pertumbuhan sagu kurang baik. Selain itu pertumbuhan sagu
juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama
unsur P, K, Ca, dan Mg. Apabila akar napas sagu terendam terus menerus, maka
pertumbuhan sagu terhambat dan pembentukan aci atau karbohidrat dalam batang
juga terhambat.

Selain kondisi tersebut di atas, sagu juga dapat tumbuh pada tanah-tanah
organik akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah demikian menunjukkan
berbagai gejala kekahatan beberapa unsur hara tertentu yang ditandai dengan
kurangnya jumlah daun dan umur sagu akan lebih panjang yaitu sekitar 15 sampai
17 tahun (Flach, 1977). Sagu banyak juga yang tumbuh dengan baik secara
alamiah pada tanah liat yang berwarna dan kaya akan bahan-bahan organik seperti
di pinggir hutan mangrove atau nipah. Selain itu, sagu juga dapat tumbuh dengan
tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik
kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya (Manan et al., 1984 dalam Haryanto dan
Pangloli, 1992).
Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan
permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa
yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang
aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak
terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah
liat > 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah
pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi. Sagu
dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning,
alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya. Sagu mampu tumbuh
pada lahan yang memiliki keasaman tinggi. Pertumbuhan yang paling baik terjadi
pada tanah yang kadar bahan organiknya tinggi dan bereaksi sedikit asam pH 5,5
6,5.

Lingkungan tumbuh tanaman sagu secara umum:

o Berlumpur
o Kaya mineral

o Kaya bahan organik

o Air tanah berwarna coklat, dan

o Bereaksi agak masam pH 5,5-6,5

Menurut Turukay (1986) 43% luasan sagu terdapat dilahan kering yang
lembab, 30% dirawa dan sisanya ditepi sungai. Menurut Notohadiprawiro dan
Louhennapessy (1993) habitat asli sagu ialah tepi parit atau sungai yang becek
serta berlumpur tetapi secara berkala mongering. Pada lahan keing yang lembab,
tanaman sagu kalah bersaing dengan tumbuhan hutan lainnya, akibatnya jumlah
anakan berkurang. Namun demikian kadar patinya tinggi (Flach 1997).

Tanaman sagu merupakan tanaman yang berkembangbiak dengan


menghasilkan anakan. Dalam satu indukan tanaman sagu mampu menghasilkan
anakan yang cukup banyak. Pada umur 4-5 tahun, anakan sagu mulai membentuk
batang, kemudian pada sekitar batang bagian bawah tumbuh tunas-tunas yang
berkembang menjadi anakan (sucker) (Bintoro, 2008). Flach (1983) dalam
Bintoro (2008) mengatakan, pada kondisi tanaman yang baik setiap 3-4 tahun dua
anakan akan berkembang menjadi pohon.
Flach et al (1986) mengemukakan lima fase pertumbuhan sagu 1) fase
awal yaitu dari perkecambahan sampai dua tahun pertama; 2) fase roset yang
dimulai dari dua daun pertama sampai daun dewasa pertama yakni 3,5 4 tahun;
3) fase pertumbuhan batang; 4) fase pembentukan buah; 5) fase pembentukan
buah.
Pietries (1966) dan Louhennapessy (1993) membagi enam fase
pertumbuhan yaitu fase semai/anakan; fase sapihan; fase tihang; fase pohon dan
fase masak tebang dan fase lewat masa tebang, sedangkan fase masak tebang
terdiri atas fase putus duri, fase daun pendek, fase jantng dan fase sirih buah.

G. Perbanyakan Tanaman Sagu


Teknologi perbanyakan tanaman sagu dapat dilakuan dengan metode
generatif dan vegetatif. Secara generatif yaitu dengan menggunakan biji yang
berasal dari buah yang sudah tua dan rontok dari pohonnya. Biji yang digunakan
adalah biji yang berasal dari pohon induk yang baik, yang subur dan produksinya
tinggi.

Perbanyakan tanaman sagu secara vegetatif dapat dilakukan dengan


menggunakan bibit berupa anakan yang melekat pada pangkal batang induknya
yang disebut dangkel atau abut (jangan yang berasal dari stolon).

Syarat bibit untuk pembibitan cara generatif adalah biji yang digunakan
sudah tua, tidak cacat fisik, besarnya rata-rata dan bertunas. Syarat bibit untuk
pembibitan cara vegetatif adalah berasal dari tunas atau anakan yang umurnya
kurang dari 1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan berat 2-3 kg. Tinggi anakan
+1 meter dan punya pucuk daun 3-4 lembar.
Penyiapan Benih atau Bibit

a). Cara generatif

Pembiakan generatif dalah pembiakan dengan menggunakan benih.


Pembiakan generative memiliki beberapa kelemahan antara lain daya kecambah
rendah dan tanaman hasil pembiakan generatif belum tentu sama dengan tanaman
induknya.

Biji yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua dan jatuh/rontok
dari pohon induk yang baik, yaitu subur dan produksinya tinggi, tumbuh pada
lahan yang wajar serta produksi klon rata-rata tinggi. Biji/buah yang diambil
tersebut adalah

Usman (1996) telah mencoba mengecambahkan benih sagu tanpa dibuang


kulitnya dibandingkan benih yang dibuang kulitnya. Kedua macam benih tersebut
diberi perlakuan perendaman air 24 jam, diolesi zat pengatur tumbuh dan
direndam selama 8 40 jam. Benih tanpa dikupas kulitnya kemudian direndam air
hanya berkecambah 1,43 % sedang benih yang direndam ZPT daya kecambahnya
mencapai 4-5 %. Benih yang dikupas kulitnya dapat berkecambah lebih banyak
yaitu4 - 6 %.

b). Cara Vegetatif

Pembiakan secara vegetatif dapat dilakukan dengan menggunakan bibit


berupa anakan yang melekat pada pangkal batang induknya. Anakan sagu yang
akan digunakan sebagai biibit hendaknya diambil dari induk sagu yang produksi
patinya tinggi, bibit masih segar dengan pelepah daun masih hijau, bibit sudah
cukup tua dicirikan dengan bonggol/banir yang cukup keras, pelepah dan daun
masih hidup, mempunyai perakaran cukup, panjang pelepah minimal 30 cm, dna
tidak terserang hama penyakit serta banir berbentuk L ( Bintoro 2008).

Adapun cara pengadaan adalah sebagai berikut :

1. Pengambilan dengkel dipilih yang terletak di permukaan atas.

2. Pemotongan dilakukan di sisi kiri dan kanan sedalam 30 cm, tanpa


membuang akar serabutnya.

3. Dangkel yang telah dipotong, dibersihkan dari daun-daun dan ditempatkan


pada tempat yang mendapat cahaya matahari langsung dengan bagian
permukaan belahan tepat pada tempat di mana cahaya matahari jatuh,
selama 1 jam.

4. Luka bekas irisan dangkel yang msih tertanam segera dilumuri dengan zat
penutup luka (seperti : TB-1982 atau Acid Free Coalteer) untuk mencegah
hama dan penyakit.

5. Bibit sagu direndam dalam air aerobic selama 3-4 minggu. Setelah itu bibit
ditanam.
6. Penyiapan dangkel sebaiknya dilakukan pada waktu menjelang sore hari,
kemudian pada sore hari dangkel dikumpulkan dan pada waktu malam hari
diangkut ke lahan, untuk menghindari kerusakan dangkel oleh cahaya
matahari.

Setelah 3 bulan dipersemaian bibit diangkut dan dipindahkan ke lapangan


tempat dilakukanya penanaman. Pada penanaman dilapangan, terlebih dahulu di-
lakukan pengajiran hal ini dimaksud untuk menandai tempat dibuatnya lubang
tanam beserta penentuan jarak tanam. Jarak tanam antar ajir 10 m x 10 m bila
pada kebun diusahakan sistem tanam monokultur, tetapi bila diusahakan dengan
tumpang sari jarak tanam yang digunakan antar ajir 10 m x 15 m (Bintoro, 2008).

H. PEMANENAN SAGU
Ciri dan umur panen
Panen dapat dilakukan umur 6 -7 tahun, atau bila ujung batang mulai
membengkak disusul keluarnya selubung bunga dan pelepah daun berwarna putih
terutama pada bagian luarnya. Tinggi pohon 10 15 m, diameter 60 70 cm,
tebal kulit luar 10 cm, dan tebal batang yang mengandung sagu 50 60 cm. Ciri
pohon sagu siap panen pada umumnya dapat dilihat dari perubahan yang terjadi
pada daun, duri, pucuk dan batang. Cara penentuan pohon sagu yang siap panen di
Maluku adalah sebagai berikut :
a. Tingkat Wela/putus duri, yaitu suatu fase dimana sebagian duri pada pelepah
daun telah lenyap. Kematangannya belum sempurna dan kandungan acinya masih
rendah, tetapi dalam keadaan terpaksa pohon ini dapat di panen.
b. Tingkat Maputih, ditandai dengan menguningnya pelepah daun, duri yang
terdapat pada pelepah daun hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada bagian
pangkal pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang terbentuk ukurannya
semakin pandek dan kecil. Pada tingkat ini sagu jenis Metroxylon rumphii
Martius sudah siap dipanen, karena kandungan acinya sangat tinggi.
c. Tingkat Maputih masa/masa jantung, yaitu fase dimana semua pelepah daun
telah menguning dan kuncup bunga mulai muncul. Kandungan acinya telah padat
mulai dari pangkal batang sampai ujung batang merupakan fase yang tepat untuk
panen sagu ihur (Metroxylon sylvester Martius)
d. Tingkat siri buah, merupakan tingkat kematangan terakhir, di mana kuncup
bunga sagu telah mekar dan bercabang menyerupai tanduk rusa dan buahnya
mulai terbentuk. Fase ini merupakan saat yang paling tepat untuk memanen sagu
jenis Metroxylon longisipium Martius
Cara Panen
Langkah-langkah pemanenan sagu adalah sebagai berikut :

a. Pembersihan untuk membuat jalan masuk ke rumpun dan pembersihan


batang yang akan di potong untuk memudahkan penebangan dan
pengangkutan hasil tebangan.

b. Sagu dipotong sedekat mungkin dengan akarnya. Pemotongan


menggunakan kampak/mesin pemotong (gergaji mesin).

c. Batang dibersihkan dari pelepah dan sebagian ujung batangnya karena


acinya rendah, sehingga tinggal gelondongan batang sagu sepanjang 6
15 meter. Gelondongan dipotong potong menjadi 1-2 meter untuk
memudahkan pengangkutan. Berat 1 gelondongan adalah + 120 kg dengan
diameter 45 cm dan tebal kulit 3,1 cm.

Periode Panen dan Perkiraan Produksi


Pemanenan kedua dilakukan dengan jangka waktu + 2 tahun. Perkiraan
produksi hasil yang paling mendekati kenyataan pada kondisi liar dengan
produksi 40 60 batang/ha/tahun, jumlah empulur 1 ton/batang, kandungan aci
sagu 18,5 %, dapat diperkirakan hasil per hektar per tahun adalah 7 11 ton aci
sagu kering. Secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat dihasilkan 100
-600 Kg aci sagu kering. Rendemen total untuk pengolahan yang ideal adalah
15%.

I. PENGOLAHAN SAGU
Pangkur Sagu adalah proses awal pembuatan Sagu yang di olah dari
batang pohon Sagu sebelum menjadi "Tumang" atau biasa di sebut Sari tepung
sagu.Pohon sagu apabila sudah mencapai umur untuk bisa di olah maka para
tukang pangkur sagu segera bekerja,sperti gambar di atas salah satu seorang
sedang melakukan
pangkur sagu mulai dari penebangan sampai proses pemerasan Sari Sagu.

Bisanya Pangkur sagu di lakukan Di dekat dimana ada mata air untuk bisa
melakukan proses pemerasan Sari Sagu karena proses tersebut sangat
membutuhkan banyak air.prosesnya sangatlah unik batang pohon sagu di babat
hingga hancur kemudian batang pohon yang sudah hancur tadi di peras hingga
menjadi sari sagu "Tumang". Setelah semua proses telah selesai kemudian sari
yang di persa tadi di taru di wadah yang telah di desain khusus yang terbuat dari
daun pohon sagu itu sendiri dan untuk membuatnya butuh orang yang ahli dalam
menganyam nya agar sari sagu yang masih cair tidak tumpah. Kemudian sagu
dapat diolah menjadi beberapa olahan seperti makanan khas daerah ataupun yang
lainnya .
DAFTAR PUSTAKA

Alfons,J. B. Dan S.Bustaman.2005. Prospek dan Arah Pengembangan Sagu di


Maluku.BPTP Maluku

Anonim. 2008. Metroxylon sago. Dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sago

Bintoro. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor

______. MYJ. Purwanto, dan A. Shandra. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB
Press. Bogor

Fajar, IA. Thesis Pengelolaan Persemaian Bibit Sagu (Jvfelroxylon Sp) 01


Perkebunan PT. National Timber And Forest Product Unit Btl
Murni Sagu, Selat Panjang. Riau.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15428 diakses 19
Desember 2013

Flach, M. 1997. Sago Palm, Metroxylon sago Rottb. IPGRI. Rome, 76p

Flach, M.1983. Yield Potential of The Sago Palm, Metroxylon sago Its
Realisation. First International Sago Symposium. Kuching, 5-7
Juli 1976. Pp 157-177

Harsanto, P.B., 1986. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.


Haryanto, B. Dan Pangloli, P., 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius.
Yogyakarta.

Hasan, BI.2011. Budidaya Tanaman Sagu dalam


http://budidayatanamansagu/2011/11/budidaya-
tanaman-sagu.htm diakses pada 12 Desember 2013

Notohadiprawiro, T dan J.E Louhennapessy. 1993. Potensi Sagu


Dalam Penganekaragaman Bahan Pokok Ditinjau
Dari Persyaratan Lahan. Pp 99-106. UNPATTI
dalam /tim Fakultas Pertanian UNPATTI (Eds).
Prosiding Symposium Sagu Nasional. Ambon. 12-13
Oktober, 1992.

Nurulhaq, MI.2012. Tinjauan Pustaka Tanaman Sagu.


http://studiperkebunan.blogspot.com/2012/07/tinjau
an-pustaka-tanaman-sagu.html diakses 15
Desember 2013.

Revan, D. 2011. Dapus Sagu dalam http://inspirasimuda/2011/05/dapus-sagu.htm


diakses pada 15 Desember 2013

Samarang,S. 2010. Budidaya Sagu dalam http//google.com/budidaya-sagu-


1442.html

Suyitno, E. 2011. Budidaya Tanaman Sagu dalam http//google.com/budidaya-


sagu.html. Diakses pada 15 Desember 2013

Turukay, B.1986. The Role of Sago Palm in the Development of Integrated Farm
System in Maluku Province of Indonesia. Pp 7-15 in N Yamada
and K. Kainuma(Eds) Proc. The 3rd Int. Sago Symposium. Tokyo,
May 20-23 1985

Usman HF. 1996. Informasi teknik perkembangan sagu. Materi Simposium


Nasional Sagu III. Simposium sagu dalam usaha pengembangan
Agribisnis di Wilayah Lahan Basah. Pekan Baru 22-28 Februari
1996.

Wijiastuti,S. Bercocok tanam sagu ditulis oleh Prof. Dr. Ir. H. M. Bintoro, MM.
Agr. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
bekerjasama dengan Universitas Tokyo. 2008. Diakses 19
Desember 2013

TUGAS INDIVIDU
HASIL HUTAN BUKAN KAYU

BUDIDAYA SAGU

NAMA : TEGUH BIMANTARA

STAMBUK : M111 13 029


KELAS :B

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

Anda mungkin juga menyukai