Anda di halaman 1dari 19

PEMBIBITAN TEMBAKAU (Nicotiana tabacum)

KONVENSIONAL DAN KULTUR JARINGAN

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Produksi Tanaman
Penyegar

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1

NADIYAH MIA A. 150510120001

ALFREDO SIHOMBING 150510120025

NADYA JENETHA 150510120042

DEDDY PARDOSI 150510120187

AGROTEKNOLOGI A

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

JATINANGOR

2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa karena atas karunia -Nya
kami berhasil menyelesaikan makalah yang telah penulis susun sebelumnya
berdasarkan apa yang telah kami dapatkan dari perkuliahan dan ditambah beberapa
sumber terpercaya yang kami anggap relevan untuk melengkapi isi makalah ini.

Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan oleh
dosen dalam mengikuti perkuliahan Produksi Tanaman Penyegar dengan judul
“Pembibitan Tembakau (Nicotiana tabacum) Konvensional dan Kultur Jaringan”

Walaupun pembuatan makalah ini dilakukan secara terbatas namun


diharapkan dapat memberikan informasi bagi pembacanya.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan


baik dalam kandungan materi maupun cara penyusunannya. Oleh karena itu Penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran agar menjadi pelajaran bagi kami lebih baik
untuk kedepannya.

Jatinangor, Maret 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………......................………..…….. i
DAFTAR ISI …………………………………….........................……..……….. ii
DAFTAR TABEL ....................................... ...................................................
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ………………………...……………..……………….
1.1. Latar belakang …….....……………….......................................….…. 1
1.2. Tujuan Penelitian ………....................…………….....……….………. 2
1.3. Rumusan Masalah ...........................…...…………….……………..... 2
BAB II. PEMBAHASAN ……….…………….…….…………….……………… 3
2.1 Pembibitan …….…………….…….……………………….…….……... 3
2.1.1. Pembibitan sistem konvensional …….…………….…….…….. 3
2.1.2. Pembibitan sistem para-para …….…………….…….…………. 3
2.1.3. Pembibitan sistem semi floating …….…………….…………… 4

2.2 Aplikasi Kultur Jaringan pada Pembibitan Tembakau ………………….

2.2.1 Metode Kultur Jaringan pada Tembakau

2.2.2. Hasil dan Pembahasan

BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bibit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam budidaya tembakau


karena kualitas bibit tembakau sangat menentukan keberhasilan usaha dan
produksinya. Langkah pertama dalam pembibitan adalah mengadakan benih yang
bermutu dari varietas unggul. Benih yang bermutu dan varietas unggul dapat
menentukan hasil tembakau. Varietas unggul tembakau dapat diperoleh dari
tetua-tetua yang memiliki sifat-sifat yang unggul. Dengan telah lamanya
pengembangan tembakau di Indonesia (1860), maka diperkirakan Indonesia telah
memiliki plasma nutfah yang besar sebagai sumber genetic untuk melakukan
pemuliaan tanaman.
Benih merupakan sarana produksi yang menentukan hasil tembakau karena
setiap benih memiliki sifat genetic dan morfofisiologis yang mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman. Benih haruslah memiliki kemurnian yang
tinggi tidak tercampur benih rusak, kotoranataupunbijigulma, dayakecambah di
atas 80 % danbebashamadanpenyakit. Dengan demikian, untuk pengadaan benih
harus diseleksi dari pohon induk ataupun proses pemuliaan yang benar serta
teknologi produksi benih yang memenuhi standar sehingga diperoleh benih
unggul dan bermutu.
Bibit dari para penangkar ini biasanya sangat dipengaruhi oleh kondisi
musim dan pasar bibit pada waktu itu. Beberapa kekurangan bibit yang berasal
dari pembelian adalah: varietas tidak diketahui dengan pasti, kadang-kadang
tercampur, umur kurang tua, bibit kecil dan etiolasi karena padat, perakaran
kurang bagus, kecil dan tidak seragam. Pembibitan tembakau sangat mudah dan
murah. Petani bisa mengusahakan pembibitan sendiri sehingga mereka akan
memperoleh bibit yang sehat dan seragam, varietasnya jelas, berbatang keras,
berakar banyak, dan bisa memilih dalam jumlah yang diinginkan.
Ada beberapa sistem dalam pembibitan tembakau yaitu sistem
konvensional, sistem para-para dan sistem semi float.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui bagaimana sistem dan cara pembibitan yang tepat dan
perbandingan antara pembibitan secara kultur jaringan terhadap pembibitan
secara konvensional, para-para dan semifloat.

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara pembibitan yang tepat?
2. Bagaimana perbandingan antara pembibitan secara kultur jaringan terhadap
pembibitan secara konvensional, para-para, dan semifloat?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembibitan
Langkah pertama dalam pembibitan adalah mengadakan benih yang bermutu
dari varietas unggul. Benih yang bermutu dan varietas unggul dapat menentukan
hasil tembakau. Varietas unggul tembakau dapat diperoleh dari tetua-tetua yang
memiliki sifat-sifat yang unggul.

a) Benih

Benih tembakau sangat kecil dengan indeks biji 50 – 80 mg/1 000 biji atau
setiap gram mengandung 13.000 butir benih, dengan demikian untuk dapat
menyebar secara merata di atas bedengan tidak dapat disebarkan secara
langsung. Benih yang digunakan untuk pembibitan harus dipersiapkan dari areal
khusus pembibitan dan diseleksi secara tepat. Benih harus memiliki daya
kecambah lebih dari 80 %. Untuk itu pengadaan benih haruslah dikelola secara
profesional baik oleh instansi terkait (seperti Balitas Malang dan Badan
Penangkar Benih) dan swasta yang berkecimpung dalam industri tembakau.

b) Persemaian Bedengan

Kegiatan pertama adalah pemilihan lahan untuk pembibitan dengan kriteria :


dekat dengan areal pertanian, dekat dengan sumber air, tanahnya gembur subur
dan mudah diolah, lahan terbuka terhadap sinar matahari, bebas dari tanaman
famili Solanaseae pada pertanaman sebelumnya dan bebas dari gangguan hewan
peliharaan.

1) Pengolahan Tanah Persemaian Bedengan

Dilakukan 30 – 35 hari sebelum penaburan benih. Pengolahan tanah ini


harus sudah dilakukan 70 – 80 hari sebelum tanam agar bibit siap salur pada
waktu tanam, karena umur bibit tembakau siap salur adalah 40 – 45 hari.
Pengolahan tanah terdiri dari pembajakan I dan pembajakan II dengan
interval 1 sampai 2 minggu dan dengan kedalaman bajak 30 – 40 cm.
Bedengan dibentuk dengan arah timur barat yang berukuran lebar 1 m
panjang 5 m tinggi 30 cm dan jarak antar bedengan 75 – 100 cm.

2) Penaburan Benih

Dilakukan setelah bedengan semai siap tanam. Sebelum penaburan benih


dilakukan pemupukan dasar dengan dosis 0,5 – 1 kg pupuk NPK/m2, 3
sampai 4 hari sebelum sebar. Benih tembakau dapat disebar di bedengan
dengan perendaman atau tanpa rendaman sebelumnya. Perendaman benih
dapat dilakukan selama 48 jam sebelum sebar. Penaburan benih dapat
dilakukan dengan gembor berisi air ditambah sabun sebagai pendispersi
agar benih tidak mengumpul. Penyebaran benih tanpa perendaman dapat
dilakukan dengan mencampur benih dengan abu atau pasir halus agar
merata.

3) Penaungan

Pembibitan perlu diberi naungan untuk melindungi benih dari cahaya


matahari konstruksi atap naungan terbuat dari bambu berbentuk setengah
lingkaran memanjang sepanjang bedengan. Naungan dapat digunakan
plastik Polyetilen berukuran 5,2 m x 1,2 m x 0,5 m. Plastik Polyotilen (atap)
dapat dibuka dari pukul 07.00 sampai 10.30 pada saat bibit berumur 15 – 20
hari, pukul 07.00 – 12.00 pada saat umur bibit 20 – 28 hari dan satu hari
penuh setelah umur bibit 28 hari. Di atas benih perlu dihamparkan mulsa
dari potongan jerami berukuran ± 25 cm. Mulsa tersebut berfungsi untuk
mencegah benih berpindah pada saat penyiraman atau saat hujan,
melindungi kecambah dari matahari dan mengurangi penguapan serta
mencegah kerusakan permukaan bedengan.

4) Pemeliharaan pembibitan

Meliputi penyiraman, pemupukan, pengaturan naungan, penjarangan mulsa,


penyiangan, penjarangan tanaman, pengendalian hama dan penyakit dan
seleksi bibit. Penyiraman pada pembibitan harus dilakukan secara intensif
untuk memperoleh pertumbuhan bibit yang baik. Waktu dan volume
penyiraman pada pembibitan seperti tertera pada tabel berikut.

Keterangan : HSS = Hari Setelah Sebar

Sumber : Standar kultur Teknis PT. BAT Indonesia Klate

5) Pemupukan bedengan semai

Dilakukan 3-4 hari sebelum penaburan benih. Dosis pemupukan adalah 35 g


ZA, 100 g SP-36 dan 20 g ZK per m2 bedengan. Atau dapat digunakan
pupuk majemuk NPK dengan dosis 0.1 – 1 kg/m2 bedengan. Pupuk ditabur
merata di atas bedengan dan dicampur dengan lapisan tanah atas.

6) Hama dan penyakit

Yang sering menyerang pembibitan adalah ulat daun, ulat pucuk, ulat tanah
dan penyakit rebah kecambah Phytium spp.

7) Penjarangan bibit (reseting)

Perlu dilakukan untuk menghindari kelembaban yang berlebihan karena


bibit terlalu padat yang dapat menimbulkan serangan penyakit rebah
kecambah atau lanas. Disamping itu penjarangan juga diperlukan agar bibit
tidak mengalami etiolasi dan tidak terjadi persaingan unsur hara sehingga
bibit tumbuh dengan vigor seragam. Reseting dilakukan pada umur 21 hari.

8) Seleksi bibit
Dilakukan tiga kali yaitu pada umur 10 – 13 hari, 20 – 23 hari dan 33 hari.
Bibit siap salur memiliki kriteria umur 38 – 40 hari, tinggi bibit 10 – 12 cm,
diameter batang 0,8 – 1 cm, jumlah daun 5 -6 lembar, warna daun hijau dan
tanaman sehat. Pencabutan bibit dilakukan pada pagi atau sore hari dengan
menyiram bedengan sebelumnya. Pencabutan dilakukan dengan
menyatukan daun yang telah sempurna.

c) Pembibitan Sistem Polybag

Kelebihan utama dari sistem ini adalah mengurangi kerusakan akar


pada saat pemindahan bibit, mengurangi tingkat kematian bibit,
menghilangkan stagnasi dan menyeragamkan pertumbuhan bibit. Dengan
demikian penyulaman dapat ditekan hingga tingkat nol. Cara pembibitan
dengan sistem polybag pada awalnya sama seperti sistem bedengan, hanya
setelah umur bibit 21 hari bibit dipindahkan ke polybag. Media bibit sistem
polybag terdiri dari tanah dicampur dengan pupuk kandang dan pasir dengan
perbandingan : a) pada tanah berat 5 : 3 : 2, b) pada tanah sedang 5 : 2 : 2 dan
c) pada tanah ringan 5 : 3 : 1. Disamping itu media dicampur dengan pupuk
NPK dengan dosis 1,5 – 2 kg pupuk NPK setiap 1 m3 tanah. Ukuran plastik
media adalah panjang 110 cm dan diameter 110 cm. Tanah media
dimasukkan ke dalam plastik polybag. Tanah media tersebut sebelumnya
disterilisasi dengan metode solarisasi selama 14 – 20 hari. Selanjutnya bibit
yang telah berumur 3 minggu (21 HSS) dipindahkan ke polybag dan
dilakukan penyiraman seperti pada pembibitan bedengan. Pemeliharaan dan
kriteria salur seperti pada pembibitan bedengan, hanya pada pembibitan
polybag telah dilakukan seleksi bibit dan pengaturan jarak tanam.

Ada beberapa sistem dalam pembibitan tembakau yaitu sistem


konvensional, sistem para-para dan sistem semi float.

2.1.1. Pembibitan sistem konvensional


Pembibitan sistem konvensional adalah pembibitan yang
dilakukan di lahan atau tanah dengan cara membuat bedengan-bedengan.
Ukuran bedengan bisa sangat bervariasi tetapi dibutuhkan lahan seluas
150m² untuk pertanaman 1 Ha. Keuntungan bedengan sistem ini adalah
mudah dan murah untuk dikerjakan, bisa memilih bibit sepuasnya dan
kadang-kadang ada kelebihan bibit yang bisa dijual. Kekurangannya
adalah petani harus menyisakan lahan untuk bedengan, biasanya ada
serangan penyakit dan banyak memerlukan tenaga kerja untuk
pemeliharaan.

2.1.2. Pembibitan sistem para-para

Merupakan modifikasi sistem konvensional. Bedengan dibuat di


sekitar rumah petani dengan luas menyesuaikan kebutuhan bibit yang
akan di tanam. Bedengan dibuat diatas para-para yang terbuat dari
bamboo atau bahan-bahan yang mudah didapat disekitar tempat tinggal
petani. Keuntungannya adalah tidak perlu menyisakanlahan produktif,
bisa dibuat disekitar rumah sehingga pemeliharaan menjadi lebih mudah,
bisa mengurangi serangan penyakit. Kekeurangannya adalah adanya
tambahan modal dan tenaga untuk mempersiapkan para-para, harus
mempersiapkan media untuk bedengan dan jumlah bibit yang dihasilkan
biasanya terbatas sehingga kurang leluasa dalam pemilihan bibit dan
tidak ada sisa bibit.

2.1.3. Pembibitan sistem semi floating

Sistem semi floating adalah sistem pembibitan yang sudah


modern. Pembibitan dilakukan didalam tray yang diletakkan di dalam
kolam air sehingga sangat menghemat penggunaan tenaga kerja.
Keuntungannya adalah sangat praktis, tidak perlu disiram tiap hari dan
tidak perlu melakukan penyiangan, hemat tenaga kerja dan bibit yang
dihasilkan seragam dan perakarannya tidak rusak. Bibit tidak mengalami
stress saat ditanam di lahan sehingga pertanaman akan lebih sehat dan
seragam. Kekurangannya adalah adanya biaya tambahan untuk
pembelian tray, pembuatan kolam bedengan dan pembelian media
bedengan. Bibit yang dihasilkan juga terbatas sehingga kurang leluasa
memilih bibit yang bagus.

2.2 Aplikasi Kultur Jaringan pada Pembibitan Tembakau

Kesalahan dalam proses pembibitan tembakau akan berdampak pada


proses pemeliharaan, panen dan pasca panen. Hal ini juga akan berakibat
membesarnya biaya produksi. Budidaya tembakau konvensional dilakukan
dengan cara menyemaikan biji dimana untuk mendapatkan perkecambahan yang
seragam biji harus direndam dalam air jernih selama dua hari dan diletakkan di
tempat yang memiliki penyinaran dan aliran udaranya bagus. Selanjutnya air
rendaman biji diganti dan biji didinginkan selama 2 hari, baru dilakukan
penaburan benih di lahan (Chane, 1989). Basuki et al (1999) melaporkan bahwa
tingkat pemasakan buah per individu tanaman tidak serempak, sehingga panen
buah untuk dijadikan benih tidak dapat dilakukan secara serempak. Proses
pembibitan yang baik merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk
keberlangsungan budidaya tembakau dan hasil daun yang akan di panen.
Inovasi dalam pembibitan mutlak diperlukan untuk meningkatkan
kualitas bibit yang akan ditanam. Hal ini memerlukan proses yang tidak
sederhana dan waktu yang relatif lama, selain itu sifat-sifat genetis yang
diturunkan ke keturunannya melalui biji mungkin tidak sama persis seperti
induknya. Oleh karena itu diperlukan metode kultur jaringan untuk budidaya
tembakau. Melalui metode kultur jaringan tembakau dapat dibudidayakan dalam
jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat, selain itu sifat keturunan yang
diperoleh akan sama persis seperti induknya. Kultur jaringan menurut
Suryowinoto (1991) dalam Hendaryono (1994) berarti membudidayakan suatu
jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti
induknya. Keberhasilan kultur jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya sterilisasi, pemilihan bahan eksplan, faktor lingkungan
seperti pH, cahaya dan temperatur, serta kandungan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh)
dalam medium kultur (Hendaryono, 1994).
2.2.1 Metode Kultur Jaringan pada Tembakau
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan jurusan
Biologi ITS Surabaya oleh Fatmawati et al. Dengan tujuan untuk mengetahui
pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP dan mengetahui
kombinasi konsentrasi yang optimum dalam menginduksi tunas dan akar
tembakau melalui teknik kultur jaringan Adapun proses kultur jaringan
tembakau antara lain;
1. Sterilisasi Alat
Semua peralatan baik alat pembuatan media (botol kultur) dan alat
inokulasi eksplan (cawan petri, scalpel blade, gunting eksplan, pinset,
kertas saring dan tissue) dilakukan sterilisasi dengan mengunakan
autoklaf.

2. Sterilisasi Media dan Pembuatan Stoj Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) IAA
dan BAP.
Media yang digunakan adalah media Murashige dan skoog yang
disetrilkan dengan autoklav. Untuk ZPT Pembuatan larutan stok IAA dan
BAP 10 ppm, dilakukan dengan menimbang bahan sebanyak 10 mg lalu
ditambahkan 50 ml aquades ke dalam erlenmeyer berukuran 100 ml.
Sambil diaduk, diteteskan sedikit larutan KOH 1 N dengan hati-hati
sampai larut benar (jernih) (Hendaryono, 1994).
3. Sterilisasi Eksplan.
Ekspan yang digunakan adalah daun muda tembakau Nicotiana tabacum
L. var prancak 95 yang dosterilisasi dengan cara dicelupkan dengan etanol
75 % yang selajutnya di bilas. Sterilisasi dilakukan di dalam Laminar air
flow.
4. Inokulasi Eksplan
Proses inokulasi dilakukan di laminar air flow dengan kondisi aseptik.
Alat-alat inokulasi ditata didalam laminar air flow. Setiap alat tersebut
dicelupkan ke dalam alkohol 95% dan dilewatkan di atas nyala api bunsen
selama 1-2 menit. Daun tembakau dipotong ±1x1 cm dan diinokulasikan
ke dalam botol kultur yang telah berisi ± 20 ml media MS dengan posisi
bagian abaksial menyentuh medium (Dhaliwal et al., 2004). Penelitian ini
menggunakan 20 kombinasi dengan empat kali ulangan. Tujuan dari
pengulangan adalah memperoleh komposisi yang efektif untuk
morfogenesis eksplan.
2.2.2. Hasil dan Pembahasan

Pengamatan terhadap eksplan tembakau N. tabacum L. var. Prancak 95


yang ditumbuhkan selama 28 hari dalam medium MS padat dengan 20
kombinasi ZPT menunjukkan adanya respon pertumbuhan dan organogenesis.
Respon organogenesis eksplan secara in vitro terjadi dengan dua cara yang
berbeda yaitu secara langsung dan tidak langsung. Organogenesis eksplan secara
langsung ditunjukkan dengan munculnya organ secara langsung dari potongan
tanaman utuh tanpa melalui terbentuknya kalus. Sedangkan organogenesis
secara tidak langsung yaitu terjadi melalui terbentuknya kalus terlebih dahulu,
kemudian kalus berdiferensiasi membentuk organ yang spesifik (George, 1993)
Organogenesis eksplan tembakau Nicotiana tabacum L. var Prancak 95 terjadi
secara tidak langsung, dimana organogenesis diawali dengan munculnya kalus.
Kalus merupakan jaringan yang amorphous dan belum terdiferensiasi yang
terbentuk ketika sel tanaman mengalami pembelahan yang tidak teratur. Kalus
dapat diinisiasi secara invitro dengan meletakkan irisan jaringan tanaman
(eksplan) pada medium pendukung pertumbuhan dalam kondisi steril (George,
1993).

rata jumlah tunas pada eksplan N. tabacum pada penganatan 28 hari


Sumber. Fatmawati et al.
Berdasarkan table diatas dapat disimpulkan bahwa adanya hasil postif
pada percobaan pertumbuhan tembakau dengan apalikasi kultur jaringan. Dapat
disimpulkan bahwa kombinasi ZPT antara IAA dan BAP yang paling baik
adalah 2 ppm BAP dan 0,5 ppm IAA dimana tunas yang tumbuh sebanyak 34
buah. Skoog dan Miller (1950) dalam Kieber (2002) mengungkapkan bahwa
dengan adanya auksin dan sitokinin dalam medium dapat menstimulasi sel-sel
jaringan parenkim tembakau untuk membelah. Sitokinin telah diketahui
memainkan peranan penting dalam hampir semua aspek pertumbuhan dan
perkembangan tanaman termasuk di dalamnya pembelahan sel, inisiasi dan
pertumbuhan tunas, serta perkembangan fotomorfogenesis. Fotomorfogenesis
adalah dimana perubahan morfologi terutama dalam hal kultur jaringan karena
adanya pengaruh cahaya.
Dari table juga dapat disimpulkan bahwa penambahan BAP sebagai
hormone sitokin tanpa IAA sebagai auksin masih dapat mampu menginisiasi
tunas sedangkan pada media yang tidak di tambahkan BAP tidak ada
pertumbuhan akar. Hal ini sesuai dengan peryataan George 1993 yang
menyatakan bahwa jika rasio auksin lebih rendah daripada sitokinin maka
organogenesis akan mengarah ke tunas, jika rasio auksin seimbang dengan
sitokinin maka akan mengarah ke pembentukan kalus sedangkan jika rasio
auksin lebih tinggi daripada sitokinin organogenesis akan cenderung mengarah
ke pembentukan akar.

Gambar 1. Ekspan daun tembakau pada


media tanpa penambahan IAA dan BAP

Gambar 2. Eksplan daun Tembakau


pada media dengan penambahan 0,5
ppm BAP dan 2 ppm IAA.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dengan menggunakan aplikasi kultur jaringan pada budidaya tembakau dapat


menghasilkn bibit tanaman yang sehat dan mempunyai daya tumbuh yang baik serta
serempak. Dengan demikian pemeliharaan tembakau akan lebih efesien ditinjau dari
ketahanan tanaman terhadap penyakit dan lingkungan yang tidak sesuai. Hal ini akan
meningkatkan produktivitas dan kualitas dari hasil budidaya tembakau serta
menurunkan biaya produksi
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, soesanti et al. 1999. Biologi dan Morfologi Tembakau Madura. Monograf
Balitas No.4. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat : Malang

Chane, Chun .1989. Bertanam Tembakau. Agricultural Technical Mission of China

Fatmawati et al. 2011. Pengaruh Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh IAA Dan BAP
Pada Kultur Jaringan Tembakau Nicotiana tabacum L. VAR. Prancak 95.
ITS . Surabaya
George, Edwin F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture, Part 1, 2nd Edition.
Exegetic Limited : England

Hendaryono, Daisy et al. 1994. Teknik Kultur Jaringan : Pengenalan dan Petunjuk
Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Kanisius : Yogyakarta

Kieber, Joseph J. 2002. The Arabidopsis Book: Cytokinins. American Society of


Plant Biologists. University of North Carolina, Biology Department :
Carolina

Anda mungkin juga menyukai