Anda di halaman 1dari 101

PENGELOLAAN TANAMAN TEBU

(Saccharum officinarum.L) LAHAN KERING


DI PT GULA PUTIH MATARAM, LAMPUNG
DENGAN ASPEK KHUSUS TEBANG, MUAT, DAN ANGKUT

OLEH
DHIYAUDZDZIKRILLAH
A24062623

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

DHIYAUDZDZIKRILLAH. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum


officinarum) Lahan Kering di PT Gula Putih Mataram, Lampung, Dengan
Aspek Khusus Tebang, Muat, dan Angkut. (Dengan pembimbing Ir.
Purwono, MS.)
Kegiatan magang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta kemampuan teknis dan manajemen budidaya tebu. Aspek
khusus yang diamati dalam magang ini adalah sistem tebang, muat, dan angkut di
PT Gula Putih Mataram. Kegiatan magang dilaksanakan dari tanggal 15 Febuari
dan berakhir pada tanggal 15 Juli 2010 di perkebunan tebu PT Gula Putih
Mataram, Lampung. Kegiatan magang menggunakan dua metode yaitu metode
langsung dengan pengamatan pelaksanaan kegiatan teknis budidaya terutama
terhadap sistem tebang, muat, dan angkut. Metode yang kedua adalah metode
tidak langsung dengan mempelajari dan menganalisis laporan pihak kebun dan
studi pustaka.
PT Gula Putih Mataram menerapkan sistem panen burn cane atau tebu
bakar. Sistem pembakaran menjadi faktor yang perlu diperhatikan oleh
perusahaan karena berpengaruh terhadap kelestarian dan fungsi metabolisme tebu
sendiri serta pengaruh lainnya terhadap lingkungan. Pembakaran yang bijak akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan maupun daerah sekitar. Penebangan
tebu dilakukan secara manual atau menggunakan tenaga manusia dengan alat
berupa golok tebang. Sistem muat dan angkutnya dibedakan atas sistem tebu urai
(loose cane) dan tebu ikat (bundle cane). Perbedaan antara dua sistem tersebut
yaitu pemakaian mesin untuk memuatnya. Sistem loose cane dimuat dengan
menggunakan grabloader dan sidetyping setelah tebu ditebang dan ditumpuk di
areal. Selanjutnya tebu dipindahkan ke truk atau trailer untuk diangkut ke pabrik.
Tebu pada sistem bundle cane, setelah ditebang kemudian diikat dengan kulit tebu
dan selanjutnya dimuat ke bundle truck, dan selanjutnya diangkut ke pabrik.
Curah hujan yang tinggi cukup mempengaruhi proses tebang, muat, dan
angkut. Tingginya curah hujan menyebabkan tebu tidak bisa dibakar ataupun
dipanen. Proses muat dan pengiriman tebu ke pabrik pun terhambat karena adanya
faktor kesulitan penggunaan alat di areal atau jalan yang basah. Semakin tinggi
curah hujan maka semakin berkurang pengiriman tebu ke pabrik (-0.417). Hal ini
pun akan berpengaruh terhadap brix dan pol tebu.
Pola penebangan yang masih menggunakan tebang rangkul menunjukkan
adanya kehilangan hasil di areal, walaupun evaluasi kehilangan hasil masih lebih
baik dibandingkan standarnya. Pada pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan
dengan tepat, baik pemberian peringatan bagi tim pekerja yang kurang sesuai
dengan standar maupun pemberian reward untuk pekerjaan yang sesuai.
Kebutuhan tenaga kerja cukup besar selama on season, terutama untuk
tenaga penebang. Jumlah tenaga tebang yang sedikit menjadi kendala dalam
manajemen tebangan. Jumlah tenaga kerja yang ada harus mampu memenuhi
kapasitas giling pabrik demi menjaga efisiensi kerja pabrik. Kekurangan tenaga
tebang yang terjadi saat ini dikarenakan banyaknya profesi lain yang lebih
diminati dan menguntungkan pekerja serta adanya persaingan pemberian upah
dengan perkebunan tebu lainnya.
PENGELOLAAN TANAMAN TEBU
(Saccharum officinarum.L) LAHAN KERING
DI PT GULA PUTIH MATARAM, LAMPUNG
DENGAN ASPEK KHUSUS TEBANG, MUAT, DAN ANGKUT

Skripsi sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

OLEH
DHIYAUDZDZIKRILLAH
A24062623

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
v

Judul : PENGELOLAAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum


L.) LAHAN KERING, DI PT GULA PUTIH MATARAM,
LAMPUNG (DENGAN ASPEK KHUSUS TEBANG, MUAT,
DAN ANGKUT
Nama : DHIYAUDZDZIKRILLAH
NRP : A24062623

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

(Ir. Purwono, MS.)


NIP: 19580922 198203 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen

(Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr)


NIP: 19611101 198703 1 003

Tanggal lulus:
vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1988. Penulis merupakan


anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Abdul Aziz Yasin dan Anisah
Asfas.
Penulis lulus dari SDN Depok 2 pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis
berhasil menyelesaikan pendidikan dari SLTPN 2 Depok untuk selanjutnya masuk
ke SMAN 1 Depok pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006.
Tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI. Pada tahun 2007, saat penulis tingkat dua, penulis berhasil diterima di
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB (angkatan kedua
kurikulum mayor-minor).
Penulis aktif dalam keorganisasian sejak tingkat SLTP hingga SLTA di
bidang kerohanian islam dan pendidikan. Penulis pernah menjadi perwakilan Kota
Depok dalam Olimpiade Kimia Tingkat SLTA se-Jawa Barat. Saat menjadi
mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti BIRENA (2006-2008) dan
LPQ (2007-2008) DKM Al-Hurriyyah, staff Forum Komunikasi Rohis
Departemen (FKRD) periode 2007-2008. Pada tahun 2008-2011, penulis terlibat
pada pembinaan mahasiswi baru sebagai Senior Residence (SR) Asrama Putri
TPB IPB. Selain itu, penulis aktif dalam beberapa seminar yang berhubungan
dengan perkembangan dunia pendidikan dan pertanian. Selama kuliah, penulis
mendapatkan beasiswa yang mendukung kegiatan penulis terutama dalam
peningkatan belajar, diantaranya PPA (2006-2009) dan Korean Exchange
Bank/KEB (2010).
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, penulis
melakukan kegiatan magang skripsi yang berjudul “Pengelolaan Tanaman Tebu
(Saccharum officinarum L.) di PT Gula Putih Mataram, Lampung (dengan aspek
khusus Tebang, Muat, dan Angkut)” di bawah bimbingan Ir. Purwono, MS.
vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan magang
dan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “ Pengelolaan
Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering, Di PT Gula Putih
Mataram, Lampung, dengan Aspek Khusus Tebang, Muat, dan Angkut”.
Skripsi ini memberikan gambaran mengenai kegiatan magang yang dilaksanakan
oleh penulis. Pelaksanaan magang dan penulisan skripsi ini dalam rangka
menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat kelulusan di Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyampaikan terimakasih kepada:
1. Ibu dan ayah tercinta yang telah mendidik dan mendo’akan dalam setiap
sujudnya selama ini,
2. Keluarga besar (Ce Shanti dan Bang Mujahid, Aa Rama dan Ce Ana, Ce
Enten dan Ka Dodi, dan 7 keponakan yang luar biasa) yang telah memberikan
dorongan, menginspirasi, dan menjadi penyejuk mata,
3. Ir. Purwono, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan
nasihat dan saran selama bimbingan,
4. Dr. Ir. Hariyadi, MS dan Dwi Guntoro, SP. MS selaku dosen penguji yang
telah memberikan nasihat dan saran selama penyusunan skripsi,
5. Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS selaku dosen pembimbing akademik yang
telah mengarahkan selama program studi serta membantu dalam keperluan
beasiswa,
6. Ir. C. Sudrajat Widiarso sebagai Harvesting Manager PT GPM sekaligus
pembimbing lapang yang telah membantu pembelajaran di lapangan selama
magang,
7. Ir. H. A. Amin Budiarto selaku Plantation Manager beserta staff, karyawan
serta pihak lainnya di PT GPM yang telah mendukung pelaksanaan magang,
8. Ika Yuli Astuti dan Nita Choirunnisa, teman sebimbingan yang telah
menemani dan berjuang bersama-sama dalam tugas akhir ini,
viii

9. Teman-teman AGH43 yang bersama-sama berjuang mengejar cita-cita dan


memberikan banyak warna indah selama kuliah,
10. Teman-teman Jelitaqu dan Mba Yof yang telah membantu, memotivasi, dan
menginspirasi tuk menjadi yang terbaik di dunia dan akhirat,
11. Teman-teman SR, BPA dan staff Asrama TPB yang telah memberikan
banyak kesempatan untuk penulis berkarya di asrama dan IPB,
12. Teman-teman FKRD, BIRENA, dan LPQ DKM Al-Hurriyyah yang menjadi
pelabuhan untuk bermuhasabah dan beramal nyata,
13. Guru-guru dan murid-murid SDIT Al-Kautsar yang special dan luar biasa,
mewarnai indahnya perjalanan tugas akhir,
14. Orang-orang luar biasa yang berada di sekitar kehidupan penulis yang bekerja
keras membantu penyusunan skripsi ini serta menjadi motivator dan
muhasabah diri untuk selalu bersyukur dan bersabar

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak lainnya yang telah
memberikan doa, dorongan dan dukungan baik moril maupun materil dalam
penulisan skripsi ini. Penulis pun meminta maaf atas kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini, karena penulis menyadari bahwa skripsi magang ini
masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat, terutama dalam perkembangan ilmu pertanian.

Bogor, Mei 2011

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi


DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
PENDAHULUAN............................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4
Botani dan Syarat Tumbuh Tebu...................................................................... 4
Budidaya Tebu Lahan Kering .......................................................................... 6
Kemasakan dan Pemanenan Tebu .................................................................... 8
Pembakaran ................................................................................................... 10
Sistem Tebang, Muat, dan Angkut ................................................................. 12
Trash dan Tebu Tertinggal............................................................................. 15
METODE MAGANG ....................................................................................... 17
Tempat dan Waktu ........................................................................................ 17
Metode Pelaksanaan ...................................................................................... 17
Pengamatan dan Pengumpulan Data .............................................................. 18
Analisis Data dan Informasi........................................................................... 19
KEADAAN UMUM PERUSAHAAN............................................................... 20
Sejarah dan Perkembangan Perusahaan.......................................................... 20
Letak Geografis dan Topografi ...................................................................... 21
Keadaan Tanah dan Iklim .............................................................................. 21
Luas Areal dan Tata Guna Lahan................................................................... 22
Keadaan Tanaman dan Perkembangan Produksi ............................................ 22
Keragaan Pabrik ............................................................................................ 23
Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan....................................................... 23
PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG ...................................................... 25
Aspek Teknis................................................................................................. 25
Persiapan Lahan (Land Preparation) .......................................................... 25
Pembibitan dan Persiapan Bahan Tanam .................................................... 34
Persiapan Tanam dan Penanaman............................................................... 36
Pengairan/Irigasi ........................................................................................ 37
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman......................................... 38
Kultivasi (Cultivation)................................................................................ 42
Pemupukan (Fertilizer) .............................................................................. 44
Pemeliharaan Tanaman Keprasan (Ratoon Cane/RC) ................................. 45
Kegiatan Tebang, Muat, dan Angkut .......................................................... 46
Evaluasi Kehilangan Hasil (Cane Wastage)................................................ 57
Proses Pengolahan Gula di Pabrik .............................................................. 58
Aspek Manajerial .......................................................................................... 60
Pengorganisasian Kebun............................................................................. 60
Deskripsi Kerja Karyawan.......................................................................... 61
x

PEMBAHASAN ............................................................................................... 63
Pengaruh Curah Hujan dengan Sistem Pemanenan Tebu................................ 63
Pelaksanaan Tebang ...................................................................................... 65
Transportasi/Angkutan Tebu.......................................................................... 67
Tenaga Kerja ................................................................................................. 67
KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 69
Kesimpulan ................................................................................................... 69
Saran ............................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 71
LAMPIRAN...................................................................................................... 73
xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rencana dan Realisasi Program Tebangan PT GPM 2010 .................... 51


Tabel 2. Kehilangan Tebu di Jalan pada Sistem Loose Cane dan Bundle Cane.. 56
Tabel 3. Kualitas Tebangan Sistem Loose Cane dan Bundle Cane ..................... 58
Tabel 4. Korelasi Tebu Terkirim Berdasarkan Waktu Pembakaran (Burn to crush)
periode Juni 2010 .............................................................................................. 64
Tabel 5. Trend Jumlah Tenaga Kerja PT GPM Periode 2007-2010 .................... 68
xii

DAFTAR GAMBAR

Diagram 1. Tahapan Land Preparation (LP),


Mechanical Maintenance Replanting Cane (RPC)............................................ 26
Diagram 2. Tahapan Mechanical Maintenance Ratoon Cane (RC) ..................... 45
Diagram 3. Tahapan Harvesting Program ......................................................... 47
Diagram 4. Tahapan Analisa Kemasakan (Maturity Test) .................................. 49
Diagram 5. Tahapan Pengukuran Nilai Brix dan Pol Tebu ................................. 50

Gambar 1. Pencacahan Tunggul (Brushing)....................................................... 27


Gambar 2. Aplikasi Blotong (Filter cake).......................................................... 29
Gambar 3. Implemen Bajak Singkal (Ploughing)............................................... 30
Gambar 4. Implemen Penggaruan (Harrowing) ................................................. 31
Gambar 5. Implemen Pembuatan Jalur Lintasan Alat (Track Marking) .............. 32
Gambar 6. Implemen Pengolahan Lapisan Kedap Tanah (Ripping).................... 33
Gambar 7. Implemen Furrowing and Basalt-Carbofuran Application ............... 34
Gambar 8. Tebang dan Angkut Bibit Divisi III PT GPM ................................... 35
Gambar 9. Ecer (unloading) Bibit Divisi III PT GPM ........................................ 36
Gambar 10. Pencacahan Bibit............................................................................ 37
Gambar 11. Pengairan/Irigasi ............................................................................ 38
Gambar 12. Serangan Kutu Babi ....................................................................... 40
Gambar 13. Aplikasi Boom spraying ................................................................. 41
Gambar 14. Klentek dan Gancu ........................................................................ 42
Gambar 15. Implemen Kultivasi (a) leaf tine, (b) tera tine ................................. 43
Gambar 16. Implemen Pemupukan (fertilizer) ................................................... 44
Gambar 17. Pembakaran dan Penebangan Tebu................................................. 53
Gambar 18. Model Penumpukan Loose Cane & Bundle Cane ........................... 54
Gambar 19. Muat Loose cane (a) grabloader ke side tipping, (b) side tipping ke
trailer ................................................................................................................ 55
Gambar 20. Muat Bundle cane .......................................................................... 56
Gambar 21. Bongkaran (Lifter).......................................................................... 57
xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Perkebunan PT Gula Putih Mataram ...................................... 73


Lampiran 2. Jurnal Harian Pelaksanaan Magang di PT Gula Putih Mataram ...... 74
Lampiran 3. Data Rata-rata Curah Hujan PT Gula Putih Mataram ..................... 82
Lampiran 4. Data Rata-rata Suhu Daerah Lampung ........................................... 84
Lampiran 5. Data Rata-rata Kelembaban Daerah Lampung................................ 85
Lampiran 6. Struktur Organisasi Perusahaan dan Plantation Departement PT Gula
Putih Mataram................................................................................................... 86
Lampiran 7. Contoh Lembar Hasil Pengujian Maturity Test............................... 87
Lampiran 8. Sistem Pembagian Blok dan Petak Perkebunan PT GPM ............... 88
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gula di dalam perekonomian Indonesia memiliki peranan yang sangat


penting dan strategis, karena gula merupakan salah satu kebutuhan pokok
penduduk Indonesia. Kebutuhan gula nasional diperkirakan terus meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Produksi gula nasional ditargetkan
dapat memenuhi konsumsi langsung rumah tangga serta konsumsi tidak langsung
oleh industri. Demi tercapainya tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan
tersebut, pemerintah telah merancang kebijakan swasembada gula nasional.
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program swasembada gula
diperkirakan mencapai 15 trilyun rupiah yang bersumber dari anggaran
pemerintah, pelaku usaha, dan perbankan. Dana tersebut digunakan untuk
membiayai kegiatan pengembangan tanaman, rehabilitasi pabrik gula (PG) dan
pembangunan PG baru, infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia
(SDM), penelitian, dan manajemen (Ditjenbun, 2009). Akselerasi yang telah
dilakukan pemerintah dalam periode 2003-2008, menunjukkan bahwa produksi
gula nasional meningkat dalam kurun waktu 5 tahun tersebut yaitu dari 1.62 juta
ton menjadi 2.7 juta ton, dengan rendemen yang berfluktuatif 7.14-8.10%.
Tingkat produksi gula tersebut pada dasarnya telah memenuhi konsumsi rumah
tangga sebesar 2.67 juta ton gula yang diperuntukkan lebih dari 230 juta jiwa
penduduk Indonesia atau setara dengan 12 kg/orang/tahun. Jumlah pabrik gula
untuk jenis kristal putih hingga tahun 2009 sebanyak 60 unit, sedangkan untuk
jenis rafinasi terdapat 8 pabrik gula. Pembangunan PG baru maupun program
pemerintah lainnya akan dilakukan secara simultan dari tahun ke tahun sehingga
pada tahun 2014 diproyeksikan produksi gula nasional mencapai 5.7 juta ton yang
diperuntukkan bagi konsumsi rumah tangga maupun industri, walaupun dalam
pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala (Ditjenbun, 2010).
Perluasan areal perkebunan tebu pun dilakukan untuk mendukung
swasembada gula nasional. Luas areal perkebunan tebu di Jawa sekitar 211 000 ha
dan di luar Jawa sekitar 133 400 ha dan hampir 80% areal beralih ke lahan kering.
2

Perkebunan tebu lahan kering di Indonesia yang cukup prosfektif banyak terdapat
di daerah Lampung. Luas areal perkebunan tebu di Lampung yang telah
digunakan yaitu 105 915 ha (Bappenas, 2008). Salah satu pelopor usaha
perkebunan dan pabrik gula di luar Jawa, khususnya Lampung, yang turut
memenuhi pasokan gula nasional adalah PT Gula Putih Mataram (GPM).
Perusahaan ini mengembangkan konsep budidaya tebu lahan kering dengan
berbagai sarana pendukung pada setiap tahapannya.
Majunya suatu industri gula pada umumnya ditentukan pertama-tama oleh
kualitas tebu. Oleh karena itu, setiap pabrik gula sangat berkepentingan
memelihara tanaman tebunya sebaik mungkin, sehingga dapat menghasilkan
jumlah kristal per hektar setinggi mungkin (Moerdokusumo, 1993). Aspek yang
mempengaruhi kualitas tersebut yaitu aspek tanaman tebu (on farm) dan aspek
pabrik (off farm) terkait teknis dan teknologi proses (Sutaryanto, 2009). Pada
aspek on farm, peningkatkan produksi per hektar dan peningkatan nilai rendemen
dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni,
optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang,
pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal giling yang tepat,
penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisis kemasakan,
penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat (P3GI,
2008b).
Hubungan dan koordinasi antara produksi tebu per hektar di lapangan
dengan kapasitas giling di pabrik merupakan kunci utama dalam menjaga kualitas
dan kontinyuitas produksi gula. Kegiatan giling tebu akan optimal dan efisien,
jika jumlah tebu yang dikirim memenuhi kapasitas giling yang diharapkan.
Selama musim giling, pengelolaan tebang-angkut harus ada di dalam satu tangan
dengan pengelolaan di pabrik atau paling sedikit ada di bawah satu komando,
sehingga penyediaan tebu atau jumlah tebu yang ditebang sesuai dengan
kebutuhan pabrik. Kesulitan di pabrik yang akan menyebabkan pabrik berhenti
giling dan kesulitan dalam penebangan/pengangkutan yang akan menyebabkan
tertundanya tebu digiling atau kekurangan tebu harus segera diinformasikan pada
pengelola sehingga dapat segera diambil jalan pengamanan (P3GI, 1989).
3

Pihak manajemen perlu menentukan dan memperhitungkan areal dan


luasan yang hendak ditebang sesuai dengan perkiraan produktivitasnya hingga
memenuhi target gilingan di pabrik. Manajemen akan menunda penebangan pada
areal yang diduga dapat dimundurkan waktu panennya apabila kapasitas giling
telah terpenuhi dan tebu di areal memiliki daya tahan tinggi (kadar gula tidak
mengalami penurunan jika ditunda). Sebaliknya, beberapa pabrik sering juga
mengurangi kapasitas kerjanya bahkan menghentikan kegiatan gilingan jika
ketersediaan tebu tidak memenuhi kapasitas pabrik karena random fluctuation.
Random fluctuation yaitu faktor yang selalu berubah, tidak diinginkan, tidak
bisa/sukar dikendalikan, mempengaruhi secara acak proses produksi, dan
seringkali menyebabkan output bisa berbeda dengan yang diinginkan. Hal ini
terjadi karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap sistem. Oleh karena itu
manajemen harus bekerja keras dalam menetapkan langkah-langkah yang tepat.

Tujuan
1. Mengetahui aspek budidaya dan manajemen perkebunan tebu lahan kering
2. Mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam
sistem tebang, muat, dan angkut
3. Menganalisis manajemen tebang, muat, dan angkut yang tepat, optimal, dan
efisien di perkebunan tebu lahan kering
TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Syarat Tumbuh Tebu

Gula diproduksi di 121 negara dengan produksi dunia melebihi 120 juta
ton per tahun. Sekitar 70% gula dihasilkan dari tebu yang dibudidayakan di
negara-negara tropis. Produksi gula lainnya diperoleh dari bit gula, terutama di
daerah beriklim sedang. Secara historis, gula hanya dihasilkan dari tebu dan
dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini mengakibatkan gula menjadi barang
mewah, terutama di Eropa karena tebu sulit ditanam. Saat ini, beberapa negara
mengimpor raw sugar (gula mentah) untuk memproduksi gula kristal putih.
Tanaman tebu termasuk suku rumput-rumputan yang tumbuh bergerombol
membentuk rumpun. Akarnya berbentuk serabut. Batangnya bulat panjang dan
berbuku-buku. Tingginya dapat mencapai 6 meter. Warna batangnya beragam,
ada yang hijau, kuning, ungu, merah dan lain-lain. Permukaan batangnya kadang-
kadang berlilin. Pada buku-buku batang terdapat mata akar dan tunas. Helaian
daun berbentuk pita. Panjang daun dapat mencapai panjang 1-2m dan lebar 4-
8cm. Pada permukaan daun atas dan bawah terdapat bulu-bulu yang panjang dan
tajam. Bunganya tersusun dalam malai yang tegak berwarna putih. Masa berbunga
biasanya antara bulan Februari dan Juni (LIPI, 1978).
Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung.
Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman saja. Secara
komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam
bentuk stek batang. Rata-rata di Jawa setiap 1 ha kebun bibit dapat memenuhi
kebutuhan 8 ha kebun tebu giling, sedangkan di luar Jawa lebih kecil lagi, 1 ha
kebun bibit hanya dapat memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat
benih, 2008).
Tebu merupakan tanaman sub-tropis dan tropis yang menyukai banyak
sinar matahari dan air yang melimpah (akar tidak tergenang) untuk pertumbuhan
optimal. Beberapa spesies yang dikembangkan yaitu Saccharum officinarum, S.
spontaneum, S. barberi, dan S. sinense. Tanaman komersial ini memiliki banyak
kultivar yang dapat dimanfaatkan oleh petani dalam usahataninya. Kemasakan
5

tebu biasanya terjadi pada umur 12 bulan. Rata-rata tebu yang masak memiliki
kandungan gula 10% dari bobot tebunya. Jika estimasi produktivitas tebu 100 ton
per hektar, maka gula yang diperoleh sebesar 10 ton per hektar. Beberapa faktor
yang membedakan kandungan gula dari satu kebun dengan kebun lainnya yaitu
varietas tebu, perubahan musim, dan perbedaan keadaan lokasi (SKIL, 1998).
Tebu (Saccharum officinarum) yang banyak dikembangkan oleh
masyarakat merupakan tanaman C4, yang menyimpan hasil produksinya dalam
batang. Tebu merupakan salah satu tanaman yang sangat efisien memproduksi
karbohidrat melalui fotosintesis dibandingkan tumbuhan lain. Fotosintesisnya
melibatkan 2 kumpulan sel yang ditunjukkan dengan adanya Kranz Anatomi,
yaitu perpindahan struktur dalam prosesnya, yang melibatkan sel-sel mesofil dan
sel-sel seludang pembuluh. Tanaman C4 lebih efisien ketika proses reduksi CO2
dan tingkat fotorespirasinya rendah. Tanaman ini cukup beradaptasi dengan iklim
yang agak panas.
Tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur, mudah
menyerap tapi juga mudah melepaskan air. Di Indonesia tebu dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1300 m (LIPI, 1978). Tanaman tebu sangat toleran pada kisaran
kemasaman tanah (pH) 5-8. Jika pH tanah kurang dari 4.5 maka kemasaman tanah
menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman, seperti pada beberapa kasus
disebabkan oleh pengaruh toksik unsur aluminium (Al) bebas. Pemberian kapur
pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu. Hasil tebu pun
akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara makro
sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi dari
batas kritisnya(Balai Penelitian Tanah, 2010).
Sifat iklim yang diinginkan tanaman tebu adalah iklim kering pada musim
kemarau selama 3-6 bulan dengan suhu optimum 25-300C. Suhu udara yang tinggi
diikuti dengan kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi, akan sangat
menguntungkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Cuaca kering yang dingin atau
cool dry weather dapat mempercepat pematangan (Balai Penelitian Tanah, 2010).
Menurut Bey dan Las (1991) menyatakan bahwa curah air hujan bagi
pertumbuhan tanaman tebu rata-rata 45-145 mm/bulan dengan radiasi surya
berkisar antara 1.0-1.4 kal/cm2/menit.
6

Budidaya Tebu Lahan Kering

Hasil gula yang tinggi dapat diperoleh dengan memahami pengetahuan


tentang teknik budidaya tebu yang mencakup ketersediaan air, sifat fisik tanah,
kemasaman/pH tanah, pemupukan berdasarkan uji tanah, penggunaan varietas
unggul, serta pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).
Pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan
untuk mempercepat proses pencapaian kuantitas, kualitas dan kontinyuitas
produksi gula menuju kemandirian gula nasional. Luas lahan kering yang tersedia
menurut skala ekonomi dan potensi sumberdaya yang memungkinkan serta
teknologi proses produksi yang sudah dikuasai dengan baik menjadi pertimbangan
dalam pengembangannya. Apabila masalah bibit dan penyediaan air menurut
ruang (spasial) dan waktu (temporal) dapat dilakukan dengan baik, maka
produktivitas tebu lahan kering tidak kalah dengan tebu lahan sawah di Jawa
seperti yang terjadi selama ini.
Lahan kering umumnya memiliki tingkat kesuburan relatif rendah.
Kebanyakan pengembangannya dilakukan pada daerah dengan topografi tidak
rata, peka terhadap erosi, dan kerusakan lainnya. Titik kritis dari pengelolaan tebu
lahan kering yaitu kondisi kekeringan yang kelak akan berdampak terhadap
penurunan produksi tebu per hektar, terutama pada fase pembentukan gula
maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan
produktivitas gula persatuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas
rendemen (kandungan gula persatuan bobot tebu) meningkat (Irianto, 2003).
Kondisi ideal syarat tumbuh tebu dari variabel sifat fisik lahan ditentukan
oleh drainase tanah yang baik dengan kelebihan air keluar dari tubuh tanah tidak
lebih dari 24 jam, sifat olah tanah ideal yang berada pada kisaran antara tanah
ringan dan berat (mengurangi tenaga, biaya dan beban pengolahan tanah) dan
lahan cukup air (kecukupan air tersedia sepanjang tahun). Adapun penilaian
terhadap hirarki klas lahan tinggi sampai rendah, meliputi :
a. Klas S1, lahan sangat sesuai (highly suitable), tidak mempunyai pembatas
pertumbuhan berarti yang mempengaruhi pengelolaan tebu. Apabila jaminan
nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu padat mencapai >100.000 kg/ha.
7

b. Klas S2, lahan cukup sesuai (moderatelly suitable), mempunyai pembatas


ringan (bersyarat rendah) yang mempengaruhi pengelolaan tebu dan
memerlukan masukan biaya sedang. Apabila jaminan nutrisi hara dipenuhi,
potensi tebu dapat mencapai 80.000 - 100.000 kg/ha
c. Klas S3, lahan sesuai marginal (marginaly suitable) mempunyai pembatas
berat (bersyarat tinggi) yang mempengaruhi pengelolaan tebu dan
memerlukan biaya besar. Apabila nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu
dapat mencapai 45.000 – 80.000 kg/ha
d. Klas N, lahan tidak sesuai saat ini (currenty not sutitable), mempunyai
pembatas sangat berat. Apabila nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu
mencapai < 45.000 kg/ha.

Berdasarkan definisi klas pengelompokan lahan di atas, klasifikasi klas lahan


memberikan informasi terhadap faktor pembatas, tingkat pengelolaan dan potensi
produksi. Prinsip lain dari pengklasan tanah juga adalah mengandung makna
(berdasarkan faktor pembatas yang ada) terhadap upaya-upaya yang diperlukan
untuk mendapatkan produktivitas lahan sesuai kemampuan yang
berkesinambungan (Ditjenbun, 2003).
Menurut Irianto (2003), masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu
serta pengelolaan sumber daya iklim memang memegang peranan strategis dalam
proses produksi tebu lahan kering. Pengelolaan sumber air untuk menekan resiko
kekeringan, penurunan hasil tebu dapat dilakukan dengan pengembangan konsep
“rainfall and runoff harvesting” melalui pembangunan “channel reservoir”, yaitu
dengan menyimpan air aliran permukaan pada saat musim hujan dan
didistribusikan pada saat musim kemarau. Teknologi ini terbukti sangat efektif
untuk menekan laju aliran permukaan (runoff velocity), erosi dan pencucian hara
(nutrient leaching) serta menyediakan air secara spasial dan temporal, sehingga
peluang terjadinya cekaman air dapat diminimalkan. Di wilayah dengan
kemiringan kurang dari 8% dan terdapat banyak alur sungai kecil seperti yang ada
di hampir semua perkebunan tebu di Lampung, terbukti dapat digunakan untuk
menyimpan dan mendistribusikan air dengan baik apabila dibangun parit
bertingkat (channel reservoir in cascade).
8

Kemasakan dan Pemanenan Tebu

Secara konvensional untuk meningkatkan banyaknya gula yang dapat


diperah, dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit sehat dan
murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan
berimbang, pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal giling yang
tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisis
kemasakan, penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat.
Untuk mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik maka diperlukan
optimasi kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling dan mengurangi
kehilangan gula di stasiun gilingan dan pengolahan (P3GI, 2008a).
Komposisi kandungan tebu terdiri dari 11-19% sukrosa, 65-75% air, serta
komponen lainnya. Demi mencapai nilai sukrosa yang tinggi, dalam sistem
pemanenan tebu, faktor kemasakan tebu menjadi sangat penting. Tebu yang
masak akan memberikan tingkat kandungan gula yang tinggi. Kemasakan tebu
secara umum diukur berdasarkan nilai brix, pol, harkat kemurnian, dan rendemen.
Brix adalah zat kering yang larut dalam air yang terdiri dari kristal gula dan bukan
gula. Pol menyatakan kadar gula, baik dari zat kering yang larut atau yang berada
dalam air. Harkat kemurnian (HK) menyatakan prosentase kemurnian gula dalam
komposisi zat kering yang larut dalam air atau dengan kata lain prosentase
perbandingan pol dengan brix. Rendemen menunjukkan banyaknya gula dari
bobot tebu tertentu.
Kemasakan tebu menjadi permasalahan prapanen. Pengawasan kemasakan
tebu pada petak-petak tebang menjelang giling di pabrik-pabrik gula sudah sejak
lama dilakukan secara intensif. Rendemen tebu akan maksimal, hanya dapat
diperoleh pada tebu yang telah masak, sehingga analisis kemasakan diperlukan
sebelum pemanenan. Berbagai cara penentuan kemasakan dapat digunakan
analisis brix atau analisis tiga bagian yang lebih teliti (Mochtar, 1989). Analisis
tingkat kematangan tebu dilaksanakan terus menerus selama tahun giling dan
beberapa bulan sebelumnya. Perubahan tingkat kematangan tebu, dapat diketahui
dari semua data hasil analisis tebu dari berbagai areal, yang pengambilan
contohnya ditentukan dari peta tanaman. Tiap contoh biasanya diperlukan 15
9

batang tebu dan dianalisis 7 kali berturut-turut dalam hal polarisasi, brix, nilai nira
dan harkat kemurnian (HK). Tujuan dari perhitungan ini yaitu mengetahui berapa
besar selisih rendemen batang atas dan bawah. Pada tebu yang tua, perbedaan atau
selisih tersebut berkurang, dan rendemen rata-ratanya bertambah, dan pada titik
tertentu tetap. Pada tingkat inilah tebu dinyatakan mencapai tingkat kematangan
tertinggi, meskipun itu belum berarti tanaman tebu di areal tersebut sudah saatnya
ditebang (Moerdokusumo, 1993).
Ketika tebu mencapai kemasakan yang maksimal, maka rendemen dan
kadar P2O5 akan tinggi dan kadar gula reduksi akan turun. Jadi keuntungan yang
akan diperoleh apabila penebangan dilakukan pada saat masak optimal dengan
potensi produksi gula tertinggi. Kadar P2O5 yang memegang peranan penting
dalam proses pemurnian nira di pabrik juga dalam kondisi tertinggi dan akan
mengurangi biaya penambahan P2O5. Penambahan P2O5 dimaksudkan untuk
membantu proses pemurnian nira dan agar inkrustasi di pan penguapan sesedikit
mungkin dan tidak terlalu sulit dibersihkan (Mochtar, 1989).
Kemasakan tebu dalam beberapa kondisi tertentu dapat mengalami
kendala sehingga kandungan sukrosanya tidak mencapai sepenuh potensinya.
Cuaca yang basah pada saat tanaman tebu mendekati umur panen, misalnya, dapat
mengakibatkan tanaman gagal mencapai puncak kemasakan potensialnya.
Demikian pula intensitas penyinaran yang tidak maksimal akibat cuaca yang
sering berawan selama periode pemasakan, seperti yang sering dialami oleh
pertanaman tebu di wilayah tropika, dapat menyebabkan pencapaian kadar gula
atau rendemen yang relatif rendah.
Teknologi zat pemacu kemasakan tebu (ZPK, cane ripener) mulai
diperkenalkan di pertengahan tahun 1970an, terutama di perkebunan-perkebunan
di Hawaii, Florida, Lousiana, Afrika Selatan, dan Brasil. Tujuan aplikasi ZPK
adalah untuk memacu kemasakan tebu, khususnya di dalam situasi yang tidak
ideal untuk berlangsungnya proses pemasakan secara alami. Bahan kimia yang
digunakan sebagai ZPK pada umumnya adalah sama dengan herbisida, namun
diaplikasikan dalam dosis sub-letal (non-herbisida) (Widyatmoko, 2009).
Zat Pemacu Kemasakan (ZPK) pada tebu atau cane ripener merupakan
suatu bahan kimia yang dapat mempercepat kemasakan tebu dengan mekanisme
10

menyimpan hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa pada batang tebu. Penggunaan
ZPK biasanya ditujukan pada tebu yang secara fisiologis belum masak atau
mengalami penundaan kemasakan akibat berbagai faktor seperti kondisi tanah
kelebihan air dan kebanyakan pupuk nitrogen (N). Percepatan proses kemasakan
pada akhirnya akan berdampak terhadap rendemen atau perolehan gula. Namun
walaupun demikian pemberian ZPK tidak bisa meningkatkan rendemen di atas
batas optimum yang dihasilkan tebu secara alamiah. Bila secara alami suatu
varietas tebu memiliki potensi rendemen 11% pada umur 12 bulan, maka
pemberian ZPK tidak akan menyebabkan rendemen menjadi lebih dari 11%.
Aplikasi ZPK diperlukan pada saat awal giling, terutama pada hamparan
tebu dengan komposisi varietas yang memiliki komposisi kemasakan kurang baik
atau didominasi oleh varietas tebu masak tengah hingga akhir. Pada awal musim
giling dibutuhkan tebu masak relatif banyak, sementara sebagian besar tebu yang
ada masih belum masak. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya diaplikasikan
ZPK.
Secara alamiah sebenarnya kemasakan tebu bisa dipercepat dengan cara
mengeringkan tanah, menurunkan suhu sekitar perakaran, membuat tanaman
stress (kekurangan) hara atau memperpendek penyinaran matahari. Akan tetapi,
cara-caratersebut relatif sulit dilakukan dan perlu waktu cukup panjang. Iklim
tropika basah seperti di Indonesia sangat bertentangan dengan kondisi yang
dibutuhkan untuk proses pemasakan tebu secara alami. Karena itu alternatif yang
paling efektif adalah dengan menyemprotkan ZPK (Toharisman, 2009).

Pembakaran

Tanaman tebu ketika dewasa hampir seluruh daun-daunnya mengering,


namun masih mempunyai beberapa daun hijau. Sebelum panen, jika
memungkinkan, seluruh tanaman tebu dibakar untuk menghilangkan daun-daun
yang telah kering dan lapisan lilin. Api membakar pada suhu yang cukup tinggi
dan berlangsung sangat cepat sehingga tebu dan kandungan gulanya tidak ikut
rusak. Di beberapa wilayah, pembakaran areal tanaman tebu tidak diijinkan
karena asap dan senyawa-senyawa karbon yang dilepaskan dapat membahayakan
penduduk setempat. Banyak bahan yang biasa ditemukan dalam udara yang
11

tercemar diketahui merupakan penyebab sakitnya seseorang, jika terdapat dalam


kadar yang cukup tinggi. Biasanya, kadar yang menunjukkan pengaruh yang
membahayakan pada uji laboratorium jauh lebih tinggi daripada yang teramati
dalam atmosfer. Karbon monoksida yang lebih mudah bergabung dengan
hemoglobin dibandingkan oksigen, dapat mengurangi daya darah untuk
mengangkut oksigen, meningkatkan bahaya kematian akibat penyakit jantung,
mengurangi kemampuan untuk melakukan kegiatan fisik, mempengaruhi mental,
kesiagaan, dan ketajaman penglihatan. (SKIL, 1998).
Pembakaran yang dilakukan merupakan salah satu bentuk sumbangsih gas
rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi ketika kadar gas rumah kaca (seperti karbon
dan turunannya) cukup tinggi, sehingga mempengaruhi ketebalan atmosfer bumi
dan menyebabkan naiknya suhu bumi. Suhu udara yang tinggi akan meningkatkan
suhu tanaman, sehingga akan mengganggu banyak proses dalam tanaman. Suhu
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, perkembangan, dan produksi
tanaman. Berbagai proses fisiologi pada tanaman terjadi pada kisaran suhu 0-
400C. Pada sebagian besar tanaman laju pemanjangan tercepat dari daun muda
terjadi pada kisaran 20-300C. Pada suhu 40-450C laju pemanjangan daun muda
akan menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh rusaknya protein dan terjadinya
defisit air pada sel jaringan tanaman. Suhu juga mempengaruhi distribusi asimilat
serta proses transformasi dan penyimpanannya. Ini terutama menyangkut kegiatan
enzim serta laju transpirasi maupun respirasi yang dapat berakibat matinya
tanaman.
Keadaan cuaca (terutama unsure suhu) di suatu tempat serta perubahannya
dalam jangka pendek berpengaruh kuat terhadap proses metabolisme sel seperti
tersebut di atas. Di samping itu, keadaan cuaca juga berpengaruh kuat terhadap
kadar air dalam tanah. Dengan demikian tedapat pola hubungan yang jelas antara
keadaan cuaca dan proses fisiologi tanaman. Dalam hal ini, data cuaca sehari-hari
bermanfaat untuk membantu tindakan operasional di dalam suatu usahatani. Dan
dalam jangka panjang akan dapat diketahui hubungan mantap antara data iklim
dan data pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman (Nasir, 1991).
Salah satu bentuk konservasi tanah di lahan tebu adalah dengan
penambahan mulsa dan bahan organik. Dalam upaya melakukan konservasi pada
12

tanaman tebu, kebiasaan membakar tebu atau sisa-sisa daun tebu di lapang harus
dihilangkan. Pembakaran daun tebu bisa menyebabkan pencemaran udara, serta
akan menghilangkan berbagai unsur hara tanah yang mudah menguap seperti
nitrogen dan belerang. Daun tebu dan sisa tanaman tebu lainnya sebaiknya
dijadikan mulsa atau dikomposkan (Ditjenbun, 2003).

Sistem Tebang, Muat, dan Angkut

Sistem tebangan berhubungan dengan cara-cara praktis di lapang untuk


memanen tebu. Pelaksanaan sistem tebang, muat, angkut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor terutama dalam penentuan jadwal tebang (T-score) yang meliputi
masa tanam, selisih harkat kemurnian bawah dan harkat kemurnian atas,
rendemen rata-rata, selisih antara rendemen atas dan bawah, faktor kemasakan,
koefisien peningkatan, koefisien daya tahan, hama penggerek pucuk, kondisi
tanaman, jarak. Sedangkan layout kebun, prasarana (kondisi jalan, jembatan),
topografi, iklim dan cuaca, dan peralatan penanggulangan kebakaran menentukan
sistem tebangan yang akan digunakan (Supatma, 2008).
Pemanenan dapat dilakukan baik secara manual dengan tangan ataupun
dengan mesin. Pemotongan tebu secara manual dengan tangan merupakan
pekerjaan kasar yang sangat berat tetapi dapat mempekerjakan banyak orang di
area di mana banyak terjadi pengangguran.Tebu dipotong di bagian atas
permukaan tanah, dedauan hijau di bagian atas dihilangkan dan batang-batang
tersebut diikat menjadi satu. Potongan-potongan batang tebu yang telah diikat
tersebut kemudian dibawa dari areal perkebunan dengan menggunakan
pengangkut-pengangkut kecil dan kemudian dapat diangkut lebih lanjut dengan
kendaraan yang lebih besar ataupun lori tebu menuju ke penggilingan.
Pemotongan dengan mesin umumnya mampu memotong tebu menjadi
potongan pendek-pendek. Mesin-mesin hanya dapat digunakan ketika kondisi
lahan memungkinkan dengan topografi yang relatif datar. Sebagai tambahan,
solusi ini tidak tepat untuk kebanyakan pabrik gula karena modal yang
dikeluarkan untuk pengadaan mesin dan hilangnya banyak tenaga kerja kerja
(SKIL, 1998).
13

Sistem tebangan yang diterapkan di beberapa perusahaan yaitu sistem


tebangan secara mekanis, semimekanis, dan manual. Menurut Soepardan (1989),
tebangan secara mekanisasi dalam pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang,
muat, angkut, dan bongkarnya di pabrik dilakukan secara mekanisasi. Namun cara
ini seperti yang telah diamati di PG Subang, tidak dapat diterapkan karena faktor
tenaga kerja relatif cukup banyak tersedia, keadaan topografi yang tidak
menunjang karena sangat bergelombang, juga mutu tebangan yang dihasilkan
sangat rendah. Bahkan dari beberapa penelitian yang dilakukan pada tahun 1985,
trash (kotoran) mencapai 30 %.
Mekanisasi dalam bidang pertanian bertujuan meningkatkan produktivitas
dari tenaga kerja untuk memberikan hasil yang maksimal. Penggunaan mesin
tebang memerlukan syarat-syarat yang hingga saat ini belum sepenuhnya dipenuhi
dengan baik. Salah satu syarat utama yang perlu dipenuhi adalah layout dari
kebun secara keseluruhan. Apabila mesin tebang yang digunakan jenis chopper,
maka mesin tebang yang memotong batang tebu menjdi 30 cm ini, memerlukan
adanya road transport (Kartohadikusumo, 1975).
Kapasitas penebangan dengan menggunakan mesin tebang bisa mencapai
20-45 ton per jam. Jika dalam satu harinya bisa bekerja dengan lancar selama
8jam, maka sudah dapat menghasilkan 160-360 ton tebu. Jadi untuk suatu pabrik
dengan kapasitas 2 000 TCD akan diperlukan 12 atau 8 mesin tebang. Oleh karena
mesin tebang ini harganya mahal, maka untuk merendahkan biayanya perlu
mencapai hasil pekerjaan yang maksimal (Kartohadikusumo, 1975).
Tebangan semimekanis yang pernah dilaksanakan di PG Subang
(Soepardan, 1989) ialah pelaksanaan tebangan sejak tebang, muat, angkut, serta
bongkarnya dilakukan secara mekanisasi, sedangkan pembersihan klaras (tras
cleaning) dan pengikatan batang-batang tebu tebangan dilakukan oleh tenaga
manusia. Akan tetapi sistem ini hanya sebagian kecil saja dari kegiatan pekerjaan
tebangan manual secara keseluruhan.
Tebangan secara manual (Soepardan, 1989), merupakan kegiatan tebangan
sejak menebang, pembersihan klaras (sisrikan), pengikatan dan muat tebu hasil
tebangan dilakukan seluruhnya oleh tenaga manusia. Sedangkan pengangkutannya
dilakukan dengan menggunakan truk-truk milik kontraktor, serta
14

pembongkarannya dilakukan secara mekanisasi di pabrik. Sistem tebang manual


yang dilaksanakan di lahan kering seperti di PG Subang ini, pelaksanaannya
meliputi penebangan batang tebu rata dengan permukaan tanah, membersihkan
klaras, akar serta kotoran lain yang melekat pada setiap batang tebu yang
ditebang, memotong pucuk yang kemudian disisihkan bersama klaras dan kotoran
lain pada lajur khusus. Selanjutnya meletakkan batang-batang tebu tebangan pada
lajur atau juringan-juringan yang telah dibersihkan dari klaras dan kotoran lain
sebelumnya, yang terdapat diantara dua lajur tempat timbunan klaras dan
potongan pucuk. Namun menurut Suharyono (1989), tebangan manual yang
dilakukan di PG Bone, dilakukan dengan tebang pangkal, memotong pucuk,
kelentek, sisik, pengikatan dan dipindahkan sampai di pinggir jalan kebun atau
jalan diperkeras. Hal ini disebabkan karena unit angkutan tebu tidak
diperbolehkan masuk ke tengah kebun. Keuntungan dari sistem ini yaitu tidak
terjadi pemadatan tanah di kebun dan angkutan tebu lebih diperlancar, namun
kerugiannya kapasitas tebang per orang menurun dan tebu tertinggal di kebun
meningkat terutama pada kebun bertopografi miring atau bergelombang.
Muat tebu didefinisikan sebagai kegiatan yang dimulai dari pekerjaan
mengambil ikatan tebu pada lahan, mengangkat ikatan tebu menuju truk
pengangkut, sampai meletakkan di atas truk. Kegiatan selanjutnya, pengangkutan
tebu yang harus dilakukan dengan cepat dan aman. Hal ini berarti bahwa
pengangkutan tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan nira pada tebu,
memenuhi target giling pabrik setiap harinya, tidak merusak lingkungan dan
dalam jangkauan biaya (Irawan, 2008). Alat muat yang biasa digunakan yaitu
grabloader. Kapasitasnya sekitar 10-60 ton per jam tergantung dari jenisnya. Jika
rata-rata memuat 25 ton per jam-nya, maka dalam satu hari (8 jam) bekerja bisa
memuat 200 ton tebu. Prinsip dalam penggunaannya perlu memperhatikan layout
mekanisasi yang baik (Kartohadikusumo, 1975).
Menurut Sutaryanto (2009), tebang dan angkut dengan mutu tebu yang
MBS (Masak, Bersih, dan Segar) dilakukan dengan cara, yaitu:
1. Memperkecil front tebang dan Tebang Sendiri Angkut Sendiri (TSAS)
melalui kelompok tebang. Batasan jumlah kebun ditebang maksimal 3-
15

6 kebun tebangan per wilayah. Hal ini bertujuan agar kontrak petugas
tebangan terjangkau masing-masing wilayah.
2. Penjadwalan kebun ditebang berdasarkan analisis kemasakan yaitu
faktor kemasakan (FK), koefisien peningkatan (KP), koefisien daya
tahan (KDT).
3. Pemenuhan bahan baku tebu sesuai kapasitas giling harian dan total
4. Pengendalian sisa tebu pagi di emplasemen 0-10% kapasitas giling.
5. Pada periode awal ditetapkan brix minimal nira tebu yang ditebang
lebih dari sama dengan 17%.

Trash dan Tebu Tertinggal

Kebersihan tebu yang dikirim ke pabrik adalah sangat penting. Trash


(kotoran) yang ikut terbawa ke pabrik harus ditekan serendah mungkin. Trash
adalah segala sesuatu yang tidak mengandung gula yang melekat pada tanaman
tebu. Trash yang dianalisis pada umumnya meliputi kelaras (kelopak daun) daun
kering/hijau, sogolan yang kurang dari 1.5m, pucuk, akar, tali ikat, dan tebu mati.
Trash dinyatakan dengan nilai EM (extraneous matter), yaitu persentase dari berat
kotoran dibanding dengan berat tebu. Berdasarkan kriteria di lapangan,
dinyatakan tebu bersih bila EM< 5% (Haryanti, 2008). Menurut Mochtar (1989),
kotoran bersabut (seperti daun, pucuk, kelaras, akar, sogolan, gulma, kayu) akan
menurunkan rendemen tebu karena akan menaikkan kadar sabut dengan menurun
kadar nira tebu. Ini berarti sebagian gula yang seharusnya dapat diperoleh hiang
dalam ampas. Di samping itu ada bagian nongula yang larut dalam nira tebu,
sehingga menurunkan nira tebu. Kotoran tidak bersabut (tanah, pasir, batu, bahan
logam) mungkin tidak larut, akan tetapi akan merusak peralatan gilingan,
sehingga dapat menurunkan keragaan peralatan tersebut dan menambah biaya
untuk perbaikan. Tanah yang tidak larut, akan masuk sampai stasiun pemurnian
dan sebagai koloid akan mempersulit proses pengendapan, sehingga sukar untuk
mendapatkan nira yang jernih sehingga dapat menekan kapasitas pengolahan.
Tebu tertinggal yang biasa terjadi di lapangan berupa tunggak, yaitu sisa
tebu akibat tebangan yang melebihi tinggi standar tebangan. Tunggak merupakan
masalah yang harus dipecahkan karena merupakan bagian yang memiliki kadar
16

gula tinggi. Di PG Subang, tunggak pada tahun 2006 mencapai 7.4 kuintal per
hektar (Renatho, 2007). Pada PG Sindang Laut dan Tersana Baru, untuk tinggi
tunggak maksimal yang diperbolehkan adalah 5 cm (Supatma, 2008).
METODE MAGANG

Tempat dan Waktu

Kegiatan magang dilaksanakan di perkebunan tebu milik PT. Gula Putih


Mataram, Lampung. Magang dilaksanakan selama 4 bulan atau 16 minggu efektif,
yang dimulai sejak 15 Maret hingga 15 Juli 2010.

Metode Pelaksanaan

Metode yang dilakukan adalah bekerja langsung di lapangan dan menjadi


satu bagian dari sistem kerja di perkebunan tebu PT Gula Putih Mataram,
Lampung. Kegiatan ini memberikan pengalaman tentang keterampilan teknis dan
manajerial dari berbagai level atau spesifikasi pekerjaan sesuai dengan
tahapannya. Kemampuan analisis mahasiswa juga dilatih dalam memandang suatu
permasalahan. Mahasiswa selama magang dilibatkan dalam aktivitas budidaya
tanaman tebu dengan melaksanakan pekerjaan pada posisi tugas sebagai
pendamping mandor atau field maintenance, pendamping officer, dan pendamping
manajer.
Tahap budidaya yang dilakukan di lapangan pada saat itu, mulai dari
persiapan lahan (land preparation), pembibitan dan persiapan bahan tanam,
persiapan tanam dan penanaman, pengairan/irigasi, pengendalian OPT, kultivasi,
dan pemupukan, pemanenan (program ripener, analisis kemasakan, tebang, muat,
angkut dan bongkar), hingga pengolahan hasil. Secara administrasi mahasiswa
melakukan penyusunan jurnal harian yang diketahui pembimbing lapang,
mencatat prestasi kerja tenaga kerja yang diperoleh pada beberapa tahapan
budidaya, kemudian dibandingkan dengan norma kerja di perusahaan tersebut.
Pada aspek khsusus yang diamati, mahasiswa melakukan pendekatan
masalah pada sistem panen, terutama mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi tebang, muat, dan angkut pada dua sistem pemanenan yang
diterapkan (bundle cane dan loose cane).
18

Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan mengumpulkan data


primer dan data sekunder. Data primer dilakukan melalui pengamatan langsung di
lapangan terhadap semua kegiatan yang berlangsung di perkebunan, khususnya
terhadap faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap tebang, muat, dan
angut tebu. Faktor-faktor tersebut yaitu perencanaan program tebang, pembakaran
dan pengiriman tebu (burn to crush), aspek teknis dan kehilangan hasil, serta
aspek ketenagakerjaan.
Pengumpulan data terhadap faktor perencanaan program tebang meliputi
penentuan jadwal tebangan dan luasannya dengan berdasarkan prinsip nilai
kemasakan. Pada aspek teknis dan kehilangan hasil meliputi:
1. Jenis pemanenan: a) hijau atau bakar, b) manual, mekanisasi, atau
semimekanisasi, c) sistem penumpukan tebu.
2. Proses muat berdasarkan sistem pemanenan (burai atau ikat) serta
banyaknya muatan.
3. Pengangkutan memperhatikan letak dan arah gerakkan angkutan.
4. Kehilangan hasil diamati dengan pengukuran berat
a. tebu tidak tertebang yang melebihi standar (tunggul) pada sistem bundle
cane dan loose cane yang diwakili oleh beberapa kontraktor. Standar
tunggul yang diperbolehkan yaitu 5 cm.
b. pengukuran bobot tebu tebangan yang tertinggal di petakan (lonjoran)
pada sistem bundle cane (BC) dan loose cane (LC) yang diwakili oleh
beberapa kontraktor. Luas petak contoh pengukuran kehilangan hasil
pada BC yaitu 4 double row (DR) sepanjang 5 m, sedangkan LC 6 DR
sepanjang 5 m.
c. pengukuran bobot tebu yang terjatuh ketika pengangkutan di jalur
pengangkutan, dengan pengamatan sepanjang 500 m pertama jalur
pengangkutan. Jarak 500 m pertama merupakan jalur kritis
pengangkutan karena peristiwa tebu jatuh lebih banyak dibandingkan
jarak selanjutnya.
Data sekunder diperoleh dari kebun meliputi lokasi dan letak geografis
kebun, keadaan tanah dan iklim, luas areal dan tata guna lahan, kondisi
19

pertanaman dan produksi, norma kerja di lapang serta organisasi dan manajerial,
dan data lain yang terdapat diperusahaan yang mendukung. Data brun to crush
bulan Juni dan jumlah tenaga kerja juga diperoleh dari data perusahaan.

Analisis Data dan Informasi

Analisis data yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil pengamatan


adalah dengan membandingkan data-data yang diperoleh dari kebun dan data
standar perusahaan. Dari data tersebut, selanjutnya akan dilakukan pengolahan
data menggunakan perhitungan matematis dan statistik. Analisis diawali dengan
membandingkan nilai brix dan pol tebu tiap kemasakan tebu (masak awal, tengah,
dan akhir). Analisis data tenaga kerja dilakukan dengan membuat grafik trend
tenaga kerja setiap bulannya. Analisis lainnya yaitu menduga banyaknya
kehilangan hasil dari penebangan dan pengangkutan.
KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

Sejarah dan Perkembangan Perusahaan

Seiring dengan ditetapkannya kebijakan pemerintah untuk berswasembada


gula pada masa yang akan datang, maka pada tahun 1988 dibangun PT Gula Putih
Mataram (PT GPM). Perusahaan yang dibangun dengan mengintegrasikan
perkebunan tebu dengan pabrik gula ini merupakan wujud partisipasi pihak swasta
dalam menunjang pengembangan perindustrian gula di Indonesia, terutama dalam
mendukung penciptaan dan pemerataan pusat-pusat perekonomian baru di daerah.
Pabrik dan perkebunannya berlokasi di Kecamatan Bandar Mataram, Kabupaten
Lampung Tengah, Provinsi Lampung, sedangkan kantor pusat berada di Jakarta.
Perusahaan ini berbentuk Perseroan Terbatas (PT) swasta penuh dengan
status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan merupakan salah satu
perusahaan dari Sugar Group Companies (SGC), kelompok usaha PT Garuda
Pancaarta. PT GPM tergolong perusahaan yang padat modal dan padat karya. Hal
ini tercermin dari besarnya investasi yang ditanam dan jumlah tenaga kerja yang
diserap.
PT GPM didirikan dengan akte notaris Imas Fatimah, SH. Nomor 33 pada
tanggal 21 April 1988 dan surat izin 064/SITU/BKPMD/II/1988 serta terdaftar di
kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor
1092/Not/1991/PN.JK.SEL, juga telah memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP) dari Departemen Perdagangan pada bulan Juni 1991 dengan nomor
SIUP:507/09-04/PB/UI/91.
Kegiatan perkebunan tebu dan pabrik gula mulai beroperasi sejak 1987
dengan memanfaatkan konsesinya seluas 12 860.66 ha dengan status Hak Guna
Lahan (HGU) dengan luasan pabrik 43 361 m2. Pada penggilingan perdana pada
tahun 1987, sudah menghasilkan gula dengan kualitas super yang setara dengan
semi rafinasi, dengan kapasitas giling 10 000 TCD. Pabrik perusahaan ini
merupakan yang pertama dibangun di Indonesia untuk menghasilkan kualitas gula
yang demikian. Saat ini pabrik PT GPM dikembangkan untuk memproduksi gula
dengan merk dagang ”GULAKU”. Gula kemasan jenis premium bermerk pertama
21

di Indonesia ini, diproses secara higienis dan berkualitas tinggi dengan standar
internasional. Pengolahannya menggunakan mesin-mesin otomatis yang modern
dan berteknologi tinggi tanpa perlu melibatkan kontak fisik manusia untuk
mencegah kontaminasi oleh bakteri, debu, dan partikel asing lainnya. Produk
”GULAKU” telah didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.

Letak Geografis dan Topografi

PT GPM mempunyai kantor direksi di Jakarta, dan untuk membantu


kelancaran kegiatan divisi bisnis dibuka kantor pembantu yaitu kantor Purchasing
di Bandar Lampung dan Molasses Instalation di Pelabuhan Panjang. Perkebunan
tebu dan pabrik gula PT GPM terletak di Mataram Udik, Kecamatan Seputih
Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Jarak perusahaan dari
Bandar Lampung sekitar 144 km. Lokasi pabrik berada di tengah-tengah areal
perkebunan tebu. Peta lokasi dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1.
Letak geografis PT GPM berada pada 105026’18”-105030’22” BT dan
4042’50” LS. Batas-batas wilayahnya yaitu dikelilingi dari bagian:
Selatan timur : areal perkebunan PT Gunung Madu Plantation
Barat bagian selatan : areal perkebunan PT Great Giant Pineapple
Barat bagian utara : Way Terusan
Utara : areal perkebunan PT Sweet Indo Lampung
Perusahaan ini berada pada ketinggian 105-127 meter di atas permukaan
laut (mdpl), dengan kondisi tanah secara umum datar hingga bergelombang.
Tingkat kemiringan tertinggi yaitu 9-15% terutama pada daerah yang dekat sungai
atau lebung.

Keadaan Tanah dan Iklim

Jenis tanah di areal perkebunan PT GPM yaitu ultisol dan aluvial. Ultisol
memiliki ciri-ciri warna yang relatif krem tua terang, tanahnya dalam dan liat.
Aluvial umumnya dekat dengan aliran air, dominana sedimen. Jika dilihat dengan
penampang melintang, maka akan terlihat dalam satu tanah terdapat lapisan-
lapisan yang berbeda. Derajat kemasaman (pH) tanah antara 4.5-6.5. Tipe iklim
menurut Schmidt & Ferguson, perkebunan tebu PT GPM termasuk ke dalam tipe
22

B. Suhu udara rata-rata berkisar 26.1-27.1 0C, dengan kecepatan angin rata-rata
0.79-3.09 km/jam. Rata-rata curah hujan tahunan yaitu 2 424.6 mm dengan
jumlah hari hujan rata-rata 141 hari. Jumlah bulan basah berturut-turut yaitu 5-6
bulan (November-April). Data curah hujan selama 10 tahun terakhir dapat dilihat
pada Tabel Lampiran 3.

Luas Areal dan Tata Guna Lahan

Areal perusahaan secara keseluruhan memiliki luasan sebesar 34 912.75


ha, yang digunakan untuk perkebunan, pabrik, perkantoran dan fasilitas
perusahaan lainnya, serta bentangan alam yang ada (hutan dan rawa-rawa). Luas
perkebunan sebesar 24 515.98 ha yang terdiri dari areal untuk riset seluas 140.87
ha, lahan produksi 22 300 ha, dan sisanya untuk pembibitan. Sebagian besar areal
perkebunan merupakan perkebunan HGU, akan tetapi perusahaan juga memiliki
perkebunan plasma inti yang bekerja sama dengan masyarakat. Sekitar 75% areal
perkebunan ini berasal dari hutan sekunder dan selebihnya hutan primer. Data luas
areal dan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4.
Areal kebun produksi di PT GPM dibagi menjadi lima divisi yakni divisi 1,
2, 3, 4, dan 5. Pembagian divisi ini berdasarkan jalan utama (main road) menjadi
empat kuadran. Titik pusat (0,0) dari kuadran tersebut terletak di pabrik. Letak
masing-masing divisi tersebut yaitu:
Divisi I : mulai dari km 5 – km 17 Timur Utara
Divisi II : mulai dari km 2 Timur Selatan – Ujung Barat Selatan
Divisi III : mulai dari Ujung Barat Utara– km 5 Timur Utara
Divisi IV : mulai dari km 2 Timur Selatan – km 17 Timur Selatan
Divisi V : mulai dari km 17 Timur – Ujung Timur

Keadaan Tanaman dan Perkembangan Produksi

Tanaman tebu yang dibudidayakan terdiri dari 2 kategori yaitu Replanting


Cane (RPC) dan Ratoon Cane (RC). Replating Cane adalah tanaman tebu baru
yang ditanam pada areal yang pernah ditanam sebelumnya atau ”dibongkar”.
Ratoon Cane (tebu keprasan) merupakan tanaman tebu yang berasal dari sisa
tanaman yang ditebang sebelumnya yang kemudian dipelihara kembali menjadi
23

tanaman baru. Sistem RC dapat dilakukan hingga 2-3 kali tahun tanam tergantung
dengan sifat atau varietas tebu yang ditanam. Jika tanaman dinilai tidak mampu
berproduksi lagi selanjutnya dilakukan replanting. Kategori tanaman yang
dibudidayakan lainnya yaitu Plant Cane (PC) atau tanaman tebu pertama yang
ditanam pada areal yang baru dibuka. Perkebunan tebu GPM pada tahun 2010
membuka areal penanaman baru untuk dipanen pada tahun selanjutnya.
Sistem tanam yang digunakan yaitu sistem baris ganda (double row). Jarak
tanam antar baris yang berdekatan 65 cm, dan antar double row 185 cm.
Produktivitas tanaman rata-rata 80 ton/ha dari varietas yang dikembangkan
perusahaan ataupun yang didatangkan dari luar negeri seperti Taiwan.

Keragaan Pabrik

PT GPM memiliki pabrik sendiri yang dibangun sejak bulan Juni 1986 dan
mulai beroperasi penuh mulai tahun 1987. Kapasitas giling awal pabrik ini 8 000 -
10 000 TCD. Pada tahun 1994 kapasitas giling pabrik ditingkatkan menjadi 10000
-12 000 TCD. Waktu giling pabrik mulai bulan April sampai dengan November.
Produksi gula sejak 2005-2009 yaitu 152 608.62 ton, 136 736.26 ton, 154 904.36
ton, 168 264.64 ton, dan 153 045.08 ton.
Kebutuhan listrik dipenuhi dengan memiliki sumber pembangkit listrik
sendiri menggunakan 2 Boiler dengan kapasitas 120 ton bagas per jam per unit,
3unit Turbo Generator dengan kapasitas 6 000 KVA per unit, dan 3 unit Diesel
Generator dengan kapasitas 750 KVA per unit.

Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan

PT Sugar Group Companies (SGC) merupakan perusahaan gabungan dari


lima perusahaan yaitu PT Gula Putih Mataram (GPM), PT Indo Lampung Perkasa
(ILP), PT Indo Lampung Distillery (ILD), PT Sweet Indo Lampung (SIL), dan PT
Guna Layang Kuasa (GULAKU). Direktur PT GPM membawahi 6 departemen
dengan masing-masing departemen dipimpin oleh seorang manager. Struktur
organisasi PT GPM dapat dilihat pada Lampiran 2.
24

Salah satu departemen yang terdapat di PT GPM yaitu departemen


pertanian (Plantation). Keberadaannya sangat penting karena menentukan
produktivitas dan kualitas tebu yang diharapkan. Departemen ini bertanggung
jawab dalam mengelola seluruh kegiatan budidaya tanaman, sejak dari
penanaman, perawatan, pemanenan sampai pengangkutan tebu ke cane yard.
Manajer Plantation Departement membawahi 10 divisi yaitu 5 divisi wilayah,
harvesting, field technical support (FTS), stillage & blotong, administrasi, dan
quality control.
Workshop Departement bekerja sama dengan bagian workshop divisi
wilayah, bertanggung jawab dalam mengelola perbaikan, perawatan serta
pengadaan barang spare part seluruh alat dan mesin yang digunakan. Depatemen
Warehouse mengelola stok material yang berhubungan dengan kebutuhan
perusahaan, seperti BBM, pupuk, spare part, dan lain-lain. Factory Department
merupakan bagian perusahaan yang bertanggung jawab dalam mengelola seluruh
kegiatan di pabrik, mulai dari tebu tiba di cane yard hingga pengemasan gula,
serta pemeliharaan peralatan di pabrik. Departemen Administrasi bertanggung
jawab terhadap pendataan serta kesejahteraan karyawan. Manajer Finance
berkaitan dengan keuangan internal perusahaan dan mengatur hubungan dengan
pihak-pihak yang bekerja sama dengan perusahaan.
Tenaga kerja dibedakan atas karyawan dan tenaga harian. Dalam beberapa
tahun terakhir ini terdapat karyawan berstatus kontrak dalam jangka waktu
tertentu di perusahaan. Karyawan dibedakan atas karyawan staf dan nonstaf.
Karyawan nonstaf terdiri atas pengawas, teknisi lapangan, mandor, mekanik, dan
operator.
25

PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG

Aspek Teknis

Budidaya tebu lahan kering yang dilakukan PT GPM merupakan


rangkaian tahapan-tahapan yang saling berkelanjutan, terutama saat on season
(April-November). Tahapan tersebut meliputi survey dan pembukaan lahan,
persiapan lahan (land preparation), pembibitan dan persiapan bahan tanam,
persiapan tanam dan penanaman, pengairan/irigasi, pengendalian organisme
pengganggu tanaman, pemupukan dan pemeliharaan lainnya, pemanenan.

Persiapan Lahan (Land Preparation)

Persiapan lahan akan dilakukan pada areal yang ditujukan untuk kategori
RPC. Pertimbangan suatu petakan siap dibongkar dan replanting yaitu apabila
tanaman tidak mampu menghasilkan produksi optimal pada musim selanjutnya.
Alasan lainnya yaitu kondisi areal yang rusak berat akibat aktivitas mekanikal
harvesting. Program RPC dilakukan sekitar 30% dari seluruh program
penanaman.
Kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan kondisi lahan yang siap
tanam dengan sebaik-baiknya demi mendukung pertumbuhan tanaman. Kondisi
lahan yang diharapkan yaitu tanah yang gembur sehingga infiltrasi air, sistem
aerasi, dan perkembangan akar menjadi lebih baik. Kegiatan persiapan lahan pun
diharapkan mampu memutus siklus perkembangan organisme pengganggu
tanaman (gulma, hama, dan penyakit).
Setelah tebangan selesai, lahan diolah dalam beberapa tahapan untuk siap
ditanami kembali. Langkah-langkah dalam program persiapan lahan (land
preparation) yaitu pencacahan tunggul (brushing), pembajakan (ploughing),
penggaruan (harrowing), pembuatan alur tanam (track marking), ripping,
furrowing and basalt-carbofuran application. Rangkaian kegiatan ini
membutuhkan waktu minimal dua minggu hingga siap tanam.
Perbaikan lahan seringkali dilakukan sebelum kegiatan pengolahan dengan
tujuan mengatur dan menata kembali saluran drainase, menghilangkan genangan-
26

genangan pada petak (water logging), dan mengatur tanah agar tidak tererosi.
Perbaikan lahan ini dilakukan dengan memperhatikan kontur lahan. Alat yang
digunakan yaitu bulldozer dan excavator.

Brushing

Aplikasi Stillage

Tabur Blotong

Tabur Kapur Furrowing, Basalt, Carbofuran


Plough

Tanam dan Irigasi


Harrow I, II
Sulam

Pre Emergence
Track Marking

Cultivation
Ripping

Top Dressing
Furrowing, Basalt, Carbofuran

(A) (B)
Diagram 1. Tahapan (A). Land Preparation (LP),
(B). Mechanical Maintenance Replanting Cane (RPC)

a. Pencacahan Tunggul (Brushing)

Kegiatan tebangan yang telah selesai, meninggalkan tunggul dan sampah


tebu di areal. Kegiatan brushing merupakan tahapan awal dalam kegiatan land
preparation yang bertujuan memecah dan mencacah tunggul dan perakaran tebu
yang tersisa. Kebersihan areal dari sampah dan kondisi areal yang lebih rata
merupakan fungsi lainnya.
Implemen yang digunakan yaitu berupa garu dengan 28 disc yang disusun
dengan tipe offset, dengan jumlah disc depan dan belakang sama banyak.
Diameter dari masing-masing disc sekitar 30 cm. Lebar pengolahan mencapai
2.5m dan kedalaman olah sekitar 20 cm. Implemen ditarik traktor medium
berdaya 140 HP (horse power). Standar kapasitas kerja alat brushing ini 1.2
ha/jam. Kapasitas kerja alat sangat dipengaruhi dengan kondisi lingkungan dan
27

petakan itu sendiri. Areal yang basah akan sulit dikerjakan dan membutuhkan
waktu yang cukup lama serta tingkat resiko alat rusak cukup tinggi.

Gambar 1. Pencacahan Tunggul (Brushing)

Pada kegiatan ini, traktor dijalankan searah dengan baris tanam yang lama.
Tiap petakan diawali dengan mengerjakan pada bagian pinggir yang berlawanan
arah lintasan baris yang lama. Pada petakan dengan baris tanam yang lurus,
bagian pinggir cukup dilakukan pada dua sisi saja. Sedangkan petakan dengan
baris tanam yang miring/diagonal maka dilakukan pada semua sisi pinggirnya.

b. Aplikasi Stillage

Stillage merupakan limbah cair hasil pengolahan molases menjadi etanol.


Stillage yang dihasilkan dari PT ILD ini merupakan pengganti atau subtitusi
pupuk KCl karena kandungan kalium yang terdapat di dalamnya. Stillage yang
ditampung pada kolam pembuangan didistribusikan dengan menggunakan mobil
tangki berbahan stainlessteel ke petakan-petakan tanaman tebu. Dosis yang
diberikan yaitu 10 000 l/ha (dari kolam/pond C). Unsur hara yang terkandung
pada stillage yaitu 2.22% K, 0.4% Ca, 0.17% Mg. Pemberian stillage yang
berlebihan akan menyebabkan tebu rusak bahkan mati. Oleh karena itu,
pemakaiannya yang bijak akan memberikan hasil yang baik.
28

c. Tabur Kapur

Jenis tanah di areal perkebunan PT GPM yaitu ultisol dan aluvial, dengan
derajat kemasaman (pH) tanah antara 4.5-6.5. Hal ini menjadi faktor pembatas
dalam budidaya tebu karena tanaman tebu akan berkembang optimal pada pH
netral. Oleh karena itu, dilakukan kegiatan tabur kapur dengan tujuan
meningkatkan pH tanah dan kadar Ca tanah. Jenis kapur yang diberikan yaitu
gypsum dan lime dengan dosis masing-masing yaitu 1 ton/ha dan 2 ton/ha. Pada
kondisi tingkat unsur hara Mg yang rendah sering kali suatu areal diberikan
dolomit.
Kegiatan ini dilakukan oleh kontraktor dari luar perusahaan yang diawasi
pelaksanaannya oleh mandor. Jumah kapur yang dibawa dari gudang disesuaikan
luasan petak yang dituju. Selanjutnya kapur dibawa dengan traktor hingga
petakan. Karung-karung berisi kapur langsung diecer pada titik-titik yang
memudahkan dan merata pembagiannya. Penaburan dilakukan oleh tenaga
manusia dengan cara ditebar. Kontraktor rata-rata mampu menyelesaikan setiap
hari seluas 6 ha.

d. Tabur Blotong (Filter Cake)

Tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur, mudah
menyerap dan mudah melepaskan air. Kemampuan blotong dalam menahan air
tanah, banyak digunakan PT GPM di areal perkebunannya. Perkebunan lahan
kering memerlukan aplikasi ini untuk menjaga air tanah pada musim penghujan
dan menyediakannya pada musim kemarau. Blotong merupakan limbah dari
proses pengolahan tebu menjadi gula. Blotong secara fisik berwarna cokelat
kehitaman, agak kasar, dan menimbulkan bau yang tidak sedap.
29

Gambar 2. Aplikasi Blotong (Filter cake)

Blotong yang keluar dari pabrik diangkut dengan dump truck ke areal
dengan kapasitas tiap truk sekitar 8 ton. Areal yang diberikan blotong diutamakan
pada areal dengan kondisi fisik tanahnya sulit menampung air atau rusak. Pada
aplikasi di lapangan, blotong ditebarkan pada areal yang cenderung dekat dengan
pabrik. Hal ini terkait dengan tidak seimbangnya jumlah unit pengangkut dengan
kecepatan pabrik menghasilkan blotong.
Dosis yang digunakan yaitu 40 ton/ha atau dibutuhkan 5 truk pengangkut
tiap hektarnya. Cara pemberiannya yaitu tiap 1 ha (27 double row), blotong
diletakkan di bagian tengah-tengah baris. Kemudian diletakkan 5 tumpukan
blotong dengan jarak yang sama. Selanjutnya blotong diecer dalam jumlah yang
lebih sedikit menggunakan tenaga manusia. Blotong diecer menjadi sekitar 60 kg
kemudian menjadi 30 kg. Blotong akan merata di petakan seiring dengan
berjalannya traktor pada kegiatan pengolahan.

e. Pembajakan (Ploughing)

Kegiatan bajak merupakan tahapan persiapan lahan yang bertujuan untuk


memotong, memecah, dan membalikkan tanah. Implemen yang digunakan dalam
pembajakan ini menggunakan jenis bajak singkal (mouldbord plough). Bajak
singkal ini memiliki 3 mata singkal yang ditarik dengan traktor medium berdaya
30

140 HP. Ukuran masing-masing mata singkal yaitu sekitar 60 cm. Kedalaman
olah bajak ini yaitu 40 cm.

Gambar 3. Implemen Bajak Singkal (Ploughing)

Pembajakan dilakukan mengikuti alur tanam sebelumnya. Pembajakan


pada satu petakan diawali dengan membajak pada 3 bagian yang menjadi garis
awal alur bajak sehingga membaginya menjadi 3 bagian. Selanjutnya dari tiap
garis dilakukan bajak dengan alur seperti spiral, dengan traktor berbelok di dalam
petakan. Kegiatan ini akan optimal dan efisien jika dilakukan pada areal tidak
basah, karena pada areal basah menyebabkan roda traktor akan lebih mudah slip
dan kebutuhan bahan bakar akan cukup tinggi. Kapasitas kerja alat pada kondisi
normal yaitu 0.3-0.33 ha/jam. Kegiatan ini dilakukan sekitar 3-5 hari setelah
brushing.

f. Penggaruan (Harrowing I, II)

Harrowing atau penggaruan merupakan kegiatan menghaluskan butiran-


butiran tanah. Tujuan dari kegiatan ini yaitu meremahkan tanah hasil bajakan dan
lebih meratakannya. Kegiatan ini menggunakan implemen disc plow yang ditarik
tarktor medium berdaya 140 HP sebagaimana pada kegiatan brushing. Disc plow
berdiameter sekitar 50 cm. Kedalaman olahnya sekitar 20 cm. Kapasitas kerja alat
1.2 ha/jam.
31

Gambar 4. Implemen Penggaruan (Harrowing)

Arah kerja traktor garu tegak lurus dengan arah pembajakan. Hal ini
dimaksudkan agar bongkahan tanah dapat lebih remah. Pada kondisi tertentu
apabila tanah kurang remah maka dilakukan harrowing kedua dan seterusnya.

g. Pembuatan Jalur Lintasan Alat (Track Marking)

Pembuatan jalur lintasan (track marking) ini merupakan tahapan penting


dari persiapan lahan karena jalur yang dibuat harus lurus dan tepat. Tujuan dari
track marking adalah membuat jalur lintasan untuk kegiatan-kegiatan berikutnya
yaitu ripping dan furrowing. Kegiatan ini harus dilakukan oleh operator yang
berpengalaman sehingga hasilnya baik dan tepat. Alur yang terbentuk memiliki
lebar 1.85 m. Jalur dibuat berdasarkan kontur, terutama pada lahan miring untuk
mengatur drainase dan menghindari terjadinya erosi. Pada lahan yang datar, alur
dibuat dengan memperhatikan datangnya sinar matahari. Secara umum alur dibuat
mengikuti arah barat-timur sepanjang 200 m. Pada petak utuh atau berukuran 200
x 500 m, jumlah alur selebar 1.85 m yang dibuat sebanyak 270 alur atau 27 alur
setiap hektar.
32

Gambar 5. Implemen Pembuatan Jalur Lintasan Alat (Track Marking)

Pembuatan alur ini menggunakan implemen dengan 12 disc yang ditarik


traktor medium berdaya 140 HP. Keduabelas disc tersebut berada pada posisi
bagian depan dan belakang disebelah kanan dan kiri masing-masing sebanyak 3
disc. Kedalaman olah yang tebentuk sekitar 30 cm. Kapasitas kerja alat sebesar
0.5-0.6 ha/jam.

h. Pengolahan Lapisan Kedap Tanah (Ripping)

Ripping merupakan bagian dari kegiatan pengolahan lahan terutama


pengolahan pada sub-soil. Tujuan dari kegiatan ini yaitu untuk memecah dan
menggemburkan lapisan kedap tanah yang berfungsi sebagai penampung air
(water reservoir). Tanah yang telah dilakukan ripping diharapkan mampu
menampung air ketika hujan ataupun dilakukan aplikasi irigasi. Ketersediaan air
tanah akan sangat berpengaruh sekali pada pertumbuhan tanaman, terutama pada
saat bibit mulai tumbuh (germination).
33

Gambar 6. Implemen Pengolahan Lapisan Kedap Tanah (Ripping)

Kegiatan ini menggunakan implement 2 mata pisau beserta hollowbuster


yang ditarik denga traktor medium 140 HP. Hollowbuster (seperti besi pemberat)
memiliki diameter 15 cm yang berfungsi membuat jalur aliran air, aerasi dan
drainase dalam tanah. Kedalam olah pada kegiatan ini yaitu sebesar 70 cm atau
hingga bagian subsoil. Kapasitas kerja rata-rata 0.7 ha/jam.

i. Pembuatan Alur Tanam dan Pemupukan Dasar (Furrowing and


Basalt-Carbofuran Application)

Sistem penanaman tebu yang digunakan yaitu sistem double row atau dua
alur tanam. Pembuatan alur tanam (furrowing) ini dilakukan bersamaan dengan
pengaplikasian pupuk dasar dan pemberian carbofuran (basalt-carbofuran
application). Kegiatan ini menggunakan traktor medium berdaya 140 HP dengan
implemen furrower and basalt-carbofuran application. Jarak antar double row
yang terbentuk selebar 60 cm. Kedalaman olah furrower sekitar 30 cm.
34

Gambar 7. Implemen Furrowing and Basalt-Carbofuran Application

Pupuk dasar yang digunakan yaitu ZA dan TSP dengan dosis masing-
masing 100 kg/ha. Kedua pupuk tersebut dicampur di gudang pupuk yang
jumlahnya disesuaikan dengan luasan petak yang dipupuk. Pupuk dimasukkan ke
dalam 2 hopper dengan kapasitas masing-masing 250 kg. Aplikasi karbofuran
menggunakan furadan dengan dosis 30 kg/ha. Kapasitas kerja alat yaitu 0.5-0.6
ha/jam. Biasanya traktor dijalankan dengan kecepatan sekitar 23 km/jam.
Kegiatan ini merupakan tahapan terakhir pada pengolahan lahan, sehingga tanah
siap untuk ditanami tebu.

Pembibitan dan Persiapan Bahan Tanam

Pembibitan merupakan salah satu tahapan budidaya tanaman yang


memerlukan pengelolaan yang baik. Kebun pembibitan seluas 1 ha mampu
mencukupi kebutuhan bibit di areal tanam seluas 7 ha. Pengelolaannya dilakukan
oleh masing-masing divisi wilayah dan pengawasannya dibantu oleh FTS. Luas
kebun bibit tiap divisi sekitar 400 ha. Hal ini dalam rangka menyediakan
kebutuhan bibit yang akan digunakan dalam program replanting sekitar 30% luas
kebun tiap divisi.
Kegiatan budidaya untuk bibit umumnya sama dengan tebu untuk produksi
seperti pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Akan tetapi
sistem dalam pembibitan lebih intensif dan ditambah dengan berbagai perlakuan.
35

Hal ini bertujuan untuk memperoleh bibit yang sehat dan terjaga kualitas fisik,
fisiologis, dan genetiknya.
Salah satu kegiatan penting dalam pembibitan yaitu dongkel anak bibit.
Kegiatan ini merupakan kegiatan seleksi dengan membuang bibit tanaman yang
tidak termasuk dalam varietas pada petak tersebut (off type). Dongkel anak bibit
dilakukan pada tanaman yang telah berumur sekitar 3 bulan. Tujuan kegiatan ini
untuk menjaga kemurnian varietas, atau meminimalisir pencampuran varietas di
lahan. Kemurnian varietas sangatlah penting dalam budidaya tanaman. Kemurnian
varietas akan memberikan peluang waktu kemasakan seragam dan menghindarkan
banyaknya jenis organisme pengganggu tanaman.
Pemanenan bibit dilakukan pada umur bibit sekitar 6-7 bulan, dengan
jumlah ruas rata-rata 21. Kegiatan ini dilakukan oleh kontraktor yang telah
bermitra dengan perusahaan. Sistem tebangan dilakukan secara manual
sebagaimana dilakukan pada sistem bundle cane pada tebu giling namun
perbedaannya tebu tidak dibakar dan daun tidak dibersihkan. Tebu dinilai baik
menjadi bibit bila tebu tersebut dipotong hingga ruas terbawah (tunggul pendek)
dan bagian pucuknya dihilangkan agar tunas tumbuh dengan baik.

Gambar 8. Tebang dan Angkut Bibit Divisi III PT GPM

Tiap penebang bibit mendapat bagian tebang sebanyak 2 k (1k setara 2 DR


x 50 m). Tebu dari dua double row ditebang, dihilangkan pucuknya, dan ditumpuk
pada satu baris dan diikat sekitar 30 kg. Tiap ikat bibit dimuat ke atas truk dan
36

selanjutnya siap dibawa ke areal tanam. Bibit yang ditebang dapat juga digunakan
untuk kebun bibit selanjutnya dengan diberikan perlakuan perendamaan pada air
panas (hot water system) terlebih dahulu.

Persiapan Tanam dan Penanaman

Bibit yang telah ditebang selanjutnya ditransportasikan ke areal yang


hendak ditanam. Kebutuhan bibit disesuaikan dengan luas petakan yang hendak
ditanami dengan perbandingan areal bibit ditebang dengan tanam 1:7. Bibit
diangkut dengan menggunakan truk. Pada areal tanam, truk pengangkut bibit
mengecer (unloading) bibit dan bergerak diantara 3 DR kiri dan 3 DR kanan.

Gambar 9. Ecer (unloading) Bibit Divisi III PT GPM

Tenaga kontraktor selanjutnya mengecer tiap ikat bibit pada alur tanam
yang ada. Standar penanaman yang baik yaitu single-overlapping 50%, atau 1
bibit diletakkan berhimpitan setengah bagiannya dengan 1 bibit lainnya.
Pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa sistem tanam yang diterapkan yaitu
double-overlapping 25%, yaitu 2 bibit diletakkan berhimpitan seperempat
bagiannya dengan 2 bibit lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga daya
tumbuh bibit supaya tinggi. Sistem ini secara analisis menunjukkan bahwa
pertanaman terlalu rapat dan dapat mengakibatkan persaingan faktor tumbuh
seperti hara, air, dan udara antar tanaman.
37

Bibit yang telah diecer pada alur tanam kemudian dicacah dengan
menggunakan golok tebang. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi dominasi
apikal pada batang sehingga tunas akan banyak yang tumbuh. Selanjutnya
tanaman disiram dengan air irigasi selama 2 jam. Jika irigasi telah selesai maka
tanaman dapat ditutup (cover) dengan tanah dan dipadatkan (compact) dengan
memanfaatkan ban traktor yang berjalan. Pemadatan ini berfungsi melekatkan
batang dengan tanah lebih awal, sehingga kebutuhan hara akan lebih mudah
dipenuhi dan tunas baru segera terbentuk. Kapasitas tenaga kerja tanam mulai dari
mengecer, mencacah, serta menutup bibit dengan tanah rata-rata dapat mencapai
600 m DR/orang/hari atau 3 DR utuh/orang/hari.

Gambar 10. Pencacahan Bibit

Kendala yang sering dihadapi pada tahapan ini yaitu ketersediaan bibit di
areal tanam karena faktor jarak antara kebun bibit dengan areal yang hendak
ditanam cukup jauh. Standar penanaman yang diterapkan perusahaan perlu
diperhatikan atau diawasi dengan baik, agar bibit tumbuh menjadi optimal dengan
jumlah populasi yang tinggi (mencapai 80% daya tumbuhnya).

Pengairan/Irigasi

Tanaman tebu memerlukan air yang lebih banyak pada tahap pertumbuhan
awal. Perkebunan tebu di lahan kering menerapkan sistem irigasi curah (springkle
irrigation) sebagai pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman. Irigasi dilakukan pada
38

tanaman RPC maupun RC. Kegiatan penyiraman pada tanaman RPC dilakukan
sebanyak 2 kali. Penyiraman pertama dilakukan sebelum bibit ditutup tanah
(covering) dan penyiraman kedua dilakukan setelah tanah ditutup. Penyiraman
pada kategori RC dilakukan setelah tebu dikepras.

Gambar 11. Pengairan/Irigasi

Irigasi dilakukan selama 2 jam dengan target per hari sebesar 2,5 ha.
Perusahaan telah memberikan ketentuan bahwa pemakaian pompa hanya
dilakukan dalam rentang waktu pkl 07.00-22.00. Peralatan yang digunakan yaitu
engine pump dan aksesorisnya. Penyiraman selama 2 jam pada 2 titik (gun)
mampu menyirami lahan seluas 0,5 ha. Lebar semprotnya sebesar 20-40 m dengan
overlapping 10%. Air yang digunakan berasal dari lebung yang dipompa dengan
engine pump (mesin diesel) dan dialirkan melalui pipa-pipa (galvanis)
berdiameter 4 inci dan 5 inci dengan panjang 5.9 m.

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman

Pertumbuhan tebu sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuhnya.


Pabrikasi dalam tubuh tebu akan mampu menghasilkan bahan dan energi dengan
baik dan sempurna jika kondisi keragaan tebu terjaga. Kelembaban merupakan
faktor penting yang mempengaruhi perkembangan berbagai organisme
pengganggu tanaman (OPT) seperti hama, penyakit, dan gulma. Menurut Badan
Meteorologi dan Geofisika Lampung, rata-rata kelembaban udara di daerah
Lampung berkisar 75-85% (Lampiran.5). Pengendalian dapat dilakukan dengan
39

cara mekanis, kimia, dan biologi. Biasanya kegiatan pengendalian dilakukan


apabila telah terjadi serangan tinggi pada petakan terserang, yang didasarkan atas
analisis data tim survey divisi wilayah yang dibantu oleh Divisi R and D. sasaran
utama dalam pengendalian OPT yaitu menurunkan tingkat kehilangan hasil panen
dengan metode yang secara ekonomis menguntungkan bahkan tidak menimbulkan
pencemaran.
Hadirnya gulma pada periode permulaan siklus hidup tanaman dan periode
menjelang panen tidak berpengaruh atau hanya berpengaruh kecil terhadap
produksi tanaman. Akan tetapi di antara dua periode tersebut tanaman peka
terhadap gulma. Periode kritis merupakan saat suatu pertanaman berada pada
kondisi yang peka terhadap lingkungan terutama unsur hara, air, cahaya, dan
ruang tumbuh. Bila gulma tumbuh dan mengganggu pertanaman pada periode
kritis tersebut maka tanaman akan kalah bersaing dalam hal penggunaan unsur-
unsur yang diperlukan untuk pertumbuhannya sehingga pertumbuhan tanaman
terhambat, sehingga akhirnya akan menurunkan produksinya. Gulma yang banyak
tumbuh di areal tanaman tebu GPM terdiri dari jenis teki, rumputan, dan daun
lebar. Beberapa gulma yang banyak tumbuh di areal yaitu Echinochloa colona
(L.) Link, Cyperus rotundus L., dan lain sebagainya.
Hama yang sering dijumpai di GPM yaitu penggerek pucuk (top borer),
penggerek batang (stem borer), kutu bulu putih, kutu perisai, kutu babi, kutu daun
merah, tikus, dan belalang. Hama penggerek pucuk (Tryporyza novella F.) dapat
menyerang tebu mulai tunas umur 2 minggu hingga saat tebang. Ulat penggerek
pucuk menyerang batang tebu melalui tulang daun kemudian terus menembus ke
bawah di tengah-tengah batang sehingga merusak titik tumbuh batang tebu. Hama
penggerek batang (Chillo spp.) dapat menyerang tebu pada setiap fase
pertumbuhan. Pada tanaman muda, penggerek batang dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan, batang mudah patah atau dapat pula menyebabkan
kematian bila titik tumbuh batang terserang. Serangan pada tebu yang telah beruas
dapat meyebabkan batang-batang mati atau busuk yang tidak dapat digiling,
penurunan bobot tebu dan rendemen.
Kutu bulu putih (Ceratovacuna lanigera Z.) hidup berkelompok di bawah
permukaan daun dan menghisap nira tebu. Sisa-sisa kotoran dan embun madu
40

yang dikeluarkan jatuh melekat pada daun di bawahnya, sehingga permukaan


daun tampak hitam dan menghambat proses asimilasi daun. Kutu perisai batang
(Aulacaspis spp.) umumnya menyerang tebu yang telah beruas dengan menghisap
cairan batang. Tebu yang pelepahnya rapat dan sukar membuka lebih disukai oleh
kutu perisai batang. Kutu babi melekat pada batang dan dapat menyebabkan
penurunan produksi tebu.

Gambar 12. Serangan Kutu Babi

Serangan penyakit di perkebunan PT GPM tidak banyak terjadi. Menurut


tim survey pengendalian hama dan penyakit, penyakit yang sering menyerang
tanaman tebu di GPM yaitu karat daun, pokahbung, luka api. Tanaman yang
terserang karat daun menunjukkan gejala pada daun seperti ada noda karat dan
tanaman terlihat kerdil. Penyakit pokahbung yang disebabkan oleh fusarium
ditunjukkan dengan daun yang berwarna putih bening, sedangkan luka api yang
disebabkan oleh jamur ditunjukkan dengan terdapatnya warna hitam pada bagian
pucuknya.
Kegiatan pengendalian OPT yang dilakukan di GPM lebih banyak
dilakukan setelah terjadi serangan dibandingkan bentuk pencegahan (preventif).
Pengendalian dilakukan secara biologi, kimiawi (pestisida), dan mekanis
(manual). Secara biologi biasanya dilakukan dengan menebarkan predator/parasit
bagi hama atau hama penyebar penyakit. Pelepasan predator ini dilakukan dan
diawasi oleh Divisi R & D. Kegiatan pengendalian yang sering dilakukan di
perkebunan PT GPM yaitu pre emergence, post emergen, klentek, dan weeding.
41

a. Pengendalian Gulma Pra Tumbuh (Pre Emergence)

Kegiatan pre emergence yaitu pemberian herbisida pra tumbuh atau


pengendalian bibit-bibit gulma. Keberhasilan pada kegiatan ini menjadi kunci
persaingan pertumbuhan gulma dan tebu selanjutnya. Aplikasinya dilakukan
dengan menggunakan boom spraying yang ditarik oleh small tractor berdaya 76-
90 HP dengan kapasitas kerja alat 1.2-1.5 ha/jam. Kegiatan ini menggunakan
herbisida berbahan aktif Diuron 2.5 kg/ha dan 2,4 D Amine 1.5 l/ha. Volume
semprot tiap boom spray berkapasitas 600 l yaitu 400 l larutan untuk 1,5 ha. Lebar
semprot sekitar 10 m atau 7 DR dengan overlapping 1 DR. Nozel yang digunakan
sebanyak 24 buah dengan ukuran nozel 16. Jarak antara nozel dengan tanah
sekitar 50-70 cm.
Penggunaannya sangat dipengaruhi cuaca terutama angin dan hujan.
Kondisi berangin akan membuat pemberian herbisida tidak efektif karena butiran-
butiran (spray) tidak jatuh pada tanah. Dalam pelaksanaannya seringkali
menghadapi masalah tersumbatnya nozel. Hal ini terjadi karena bahan herbisida
diuron yang digunakan berbentuk tepung terlalu kasar.

Gambar 13. Aplikasi Boom spraying

b. Pengendalian Gulma Periode Tumbuh (Post Emergence)

Gulma yang tumbuh di lahan perlu dikendalikan dengan segera agar


pertumbuhan tanaman tebu berkembang dengan optimal. Pengendalian pada saat
pertumbuhannya dapat dilakukan secara kimiawi dengan herbisida. Dosis
42

herbisida yang digunakan yaitu herbisida berbahan aktif 2,4 D Amine 2 l/ha,
paraquat 2 l/ha, serta surfactan 0.5 l/ha. Pemberiannya dilakukan oleh pekerja
dengan cara disemprot menggunakan knapsack sprayer berukuran 16 l. Volume
semprot yang biasa digunakan yaitu 32 l/ha. Pemberian pada tahap pertumbuhan
ini dapat dilakukan hingga lebih dua kali jika aplikasi tidak ada atau kurang
berpengaruh.

c. Klentek

Kondisi yang lembab akan memberikan peluang berkembangnya


bermacam hama dan penyakit. Pelepah daun tebu seringkali menjadi tempat
berkembangnya beberapa hama, seperti kutu perisai, kutu bulu putih, atau kutu
babi. Klentek merupakan kegiatan membuka batang tebu dari pelepah-pelepah
yang terserang hama dengan menggunakan gancu. Areal dengan tingkat serangan
hama cukup besar menjadi prioritas dalam kegiatan pengendalian ini. Kebutuhan
tenaga kerja rata-rata pada kegiatan ini yaitu 25 orang/ha/hari.

Gambar 14. Klentek (kiri) dan Gancu (kanan)

Kultivasi (Cultivation)

Lapisan tanah perlu digemburkan agar lapisan tanah memiliki aerasi yang
baik. Kutivasi merupakan kegiatan menggemburkan tanah sekaligus
mengendalikan gulma dengan menaikkan lapisan tanah ke permukaan. Kultivasi
43

dilaksanakan pada program tanaman replanting dan ratoon. Implemen yang


digunakan antara keduanya berbeda.
Pada program replanting, implemen yang digunakan leaf tyne yang
memiliki kedalaman olah 15-20 cm. Implemen ditarik oleh traktor small berdaya
76-90 HP dengan kapasitas kerja alat 0.4 ha/jam. Aplikasinya diterapkan pada
tebu berumur rata-rata 1.5 bulan. Program ratoon juga dilakukan kultivasi yang
lebih bertujuan memutus zona perakaran lama dan merangsang pertumbuhan akar
baru. Implemen yang digunakan yaitu tera tine yang ditarik traktor small berdaya
76-90 HP dengan kapasitas kerja 0.75 ha/jam.

(a)

(b)
Gambar 15. Implemen Kultivasi (a) leaf tine, (b) tera tine
44

Pemupukan (Fertilizer)

Kebutuhan tanaman akan hara tidak sepenuhnya dapat dipenuhi dari media
tanamnya (tanah). Hara perlu disuplai dengan pemupukan. Program pemupukan
merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dilakukan untuk mencapai
produksi yang diinginkan dalam suatu usaha perkebuan. Besar kecilnya jumlah
pupuk yang diberikan harus dipertimbangkan. Jumlah pupuk yang diberikan
kepada suatu pertanaman memiliki pengaruh terhadap tanaman yang
bersangkutan, tanah tempat tumbuh, dan pengaruh secara ekonomi terhadap
pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk pembelian pupuk dan tenaga kerja.
Dalam pemupukan sangat penting untuk diperhatikan mengenai jenis pupuk,
jumlah pupuk, waktu pemberian, dan tata cara pemupukan.

Gambar 16. Implemen Pemupukan (fertilizer)


Pemupukan pada fase pertumbuhan, dilakukan dengan menggunakan
traktor kecil berdaya 76-90 HP yang menarik implemen berbentuk pedang,
dengan kedalaman olah lebih dari 20cm. Kapasitas kerja alat sekitar 0.5-0.6
ha/jam. Pada tanaman tebu berumur lebih dari 2 bulan diberikan pupuk dengan
dosis urea 283 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 240 kg/ha (jika tidak menggunakan
stillage). Pupuk diberikan diantara dua baris di dalam DR. Pemupukan perlu
pengawasan yang baik, agar pupuk yang diberikan benar-benar mencukupi
kebutuhan tanaman (sesuai dosis).
45

Pemeliharaan Tanaman Keprasan (Ratoon Cane/RC)

Tebu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang secara


vegetatif dengan menggunakan tunas. Tunas atau tanaman baru dapat diperoleh
dari pemeliharaan batang yang telah ditebang pada musim sebelumnya, atau
disebut keprasan.
Pertimbangan suatu petakan tebu akan dikepras yaitu apabila tebu masih
mampu memberikan keuntungan pada musim selanjutnya tanpa harus dibongkar.
Penilaiannya lebih banyak didasarkan rendemen dan produktivitas tanaman serta
pertimbangan biaya. Hampir 70% program tanam tiap musim dilakukan dengan
memelihara tanaman keprasan. Beberapa varietas tebu mampu dikepras lebih dari
dua kali (musim). Investasi yang dikeluarkan pada program ratoon dibandingkan
replanting lebih sedikit, begitu pula aktivitas mekanisasi di lahan akan lebih
sedikit.
Tebang

Stubble Shaver

Aplikasi Stillage

Irigasi

Furrowing, Basalt, Carbofuran

Cultivasi

Pre Emergence

Sulam

Subsoiling/Ripping

Diagram 2. Tahapan Mechanical Maintenance Ratoon Cane (RC)


46

Tahapan pemeliharaan tanaman ratoon setelah tebangan (mechanical


maintenance) yaitu irigasi, stubble shaver, stillage, top dressing-carbofuran
aplication, kultivasi, pre emergence, sulam, subsoiling/ripping.
Lahan yang siap dikepras (setelah ditebang) dilakukan aplikasi/pemberian
stillage dan irigasi sebagaimana dilakukan pada program replanting.
Keseragaman tumbuh tanaman ratoon ini diharapkan dapat tercapai dengan
memotong tunggul sisa tebangan dengan menggunakan stubble shaver. Implemen
yang digunakan yaitu piringan dengan 6 mata pisau (seperti pemotong rumput),
dengan ditarik traktor small. Kapasitas kerja alat 0.5 ha/jam. Pemakaian alat ini
baru diterapkan 3 tahun terakhir. Pisau yang digunakan harus terjaga
ketajamannya dengan mengganti mata pisaunya.
Selanjutnya tanaman diberikan pupuk (single dressing) dan karbofuran.
Dosis yang digunakan yaitu urea 283 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 240 kg/ha (jika
tidak diaplikasikan stillage), dan carbofuran 30 kg/ha. Tahapan kegiatan ini
bertujuan untuk memberikan nutrisi serta mengendalikan hama (terutama stem
dan top borrer). Pupuk diberikan diantara baris dalam 1 DR dengan menggunakan
traktor small (implemen berbentuk pedang) berkapasitas 0.5-0.6 ha/jam. Kedalam
pupuk lebih dari 20 cm.
Tahap kultivasi merupakan tahapan yang memegang peranan penting
dalam memutus zona perakaran lama dan merangsang pertumbuhan akar baru.
Implemen yang digunakan yaitu tera tine yang ditarik oleh traktor small dengan
kedalaman olah lebih dari 20 cm. Kapasitas kerja alat sebesar 0.75 ha/jam. Tahap
berikutnya yaitu pre emergence dan penyulaman yang dilakukan sama seperti
pada replanting. Sub soiling/ ripping merupakan tahapan yang bertujuan
memecah dan menggemburkan tanah lapisan kedap air. Kedalaman olah lebih dari
40 cm dengan menggunakan traktor yang memiliki kapasitas kerja 0.5-0.7 ha/jam.

Kegiatan Tebang, Muat, dan Angkut

Kegiatan pemanenan merupakan tahapan penting dari budidaya. Tebu


yang telah dibudidayakan selama ini, kemudian dipanen untuk diambil bagian
ekonomisnya terutama batang utama untuk dapat dimanfaatkan.
47

Harversting Program

Analisis Program Ripener Taksasi TCH


Kemasakan

TEBANG

MUAT

ANGKUT

BONGKAR

Diagram 3. Tahapan Harvesting Program

a. Program Ripener

Zat pemacu kemasakan (ZPK) banyak digunakan pada budidaya tanaman


tebu. Penggunaannya menjadi fokus bagi perusahaan untuk mencapai nilai
rendemen optimal saat tanaman tebu dipanen. Aplikasinya dilakukan dengan
menggunakan pesawat terbang yang telah disesuaikan untuk penyemprotan.
Pesawat yang digunakan yaitu AT 502 B dengan mesin PTG-34 AG. Pesawat
dilengkapi dengan tangki yang berisi larutan ZPK dengan daya tampung 1 800 l.
Pada sayap bagian kanan dan kirinya masing-masing dipasang 17 nozel, dengan
lebar semprot aplikasinya 20 m. Jumlah pesawat yang ada sebanyak 3 buah dan
hanya 2 yang dioperasikan. Penggunaan pesawat ini ditujukan untuk 3 perkebunan
SGC yaitu GPM, SIL, dan ILP.
Bahan ZPK yang digunakan yaitu Touchdown dengan bahan aktif glifosat.
Dosis penggunaannya yaitu 0,46 l/ha yang diencerkan dengan air hingga 30 l/ha.
Pesawat dalam satu kali terbang mampu mencukupi areal semprot seluas 60 ha.
Kegiatan penyemprotan ini dilakukan pada pukul 06.30-10.00 dan sangat
dipengaruhi dengan cuaca terutama angin. Ketinggian pesawat saat aplikasi ke
tanaman tebu dalam satu blok yaitu mencapai 2-3 m. Hal ini dimaksudkan agar
48

penyemprotan efektif (cepat diserap tanaman dan menghindari banyaknya yang


hilang). Rata-rata kecepatan terbang sekitar 140 knot atau 500 km/jam. Blok atau
petak-petak yang akan diaplikasikan diberikan tanda bendera (orange). Kecepatan
angin di areal dan dianggap aman pada kecepatan 2-7 knot.
Pesawat akan mulai menyeprotkan ZPK sejauh 2 meter dari tepi petak atau
blok. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari petak di sebelahnya atau sekitarnya
terkena semprotan. Pemberian ZPK ini menyebabkan daun tebu berwarna kuning,
karena butir-butir klorofilnya pecah. Rendemen akan meningkat hingga titik
optimal. Tebu dapat dipanen pada umur 28-35 hari setelah aplikasi ZPK.

b. Analisis Kemasakan (Maturity Test)

Pada dasarnya program penebangan disesuaikan dengan memperhitungkan


kemasakan tanaman melalui analisis kemasakan. Apabila tanaman telah mencapai
kemasakan optimal dan dilakukan tebangan maka nilai gula yang diperoleh akan
tinggi. Hal ini dikarenakan kuantitas dan kualitas gula telah mencapai optimal.
Analisis kemasakan atau yang biasa disebut ’maturity test’ dilakukan oleh Field
Technical Service (FTS) Departemen Research and Development. Hasil analisis
kemudian menjadi rekomendasi bagi divisi Harvesting.
Pengamatan nilai kemasakan dilakukan secara terus menerus, terutama
pada petakan yang mendekati masa tebang dan telah diberikan zat pemacu
kemasakan (ZPK). Analisis ini untk mengetahui nilai brix, pol, dan purity sampel.
Pengambilan sampel dilakukan terutama pada areal yang telah diberikan
cane ripener dengan diwakilkan 2 petak setiap bloknya. Sampel diambil sejauh
20m dari tepi petak, dengan mengambil 9 batang tua dan 1 sogolan. Hal ini
dilakukan sebagaimana gambaran ketika penebangan dilakukan sehingga data
akan memberikan gambaran kondisi yang terjadi. Pada pengamatan selanjutnya
dapat diambil sampel pada petak yang sama atau tidak. Namun yang terpenting
dapat mewakili aplikasi ZPK yang telah diberikan pada blok tersebut.
Batang yang telah ditebang dibersihkan daunnya dan dipotong pucuknya
hingga ruas kelima. Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Tiap
batang diamati serangan hama dan penyakitnya. Selanjutnya dilakukan pendataan
49

meliputi nomor sampel, divisi, nomor petak, varietas, kategori tanam, masa
tanam, umur, jumlah batang, panjang batang, diameter batang, dan berat sampel.

Survei Lapangan

Penebangan Contoh

Laboratorium Kualitas Tebu

Observasi Bahan
 Jumlah
 Panjang (cm)
 Berat (kg)
 Diameter batang (cm)
 Keberadaan hama atau
penyakit

Penggilingan

Analisis Bagase Analisis Nira


 Bobot (kg)
 Brix
 Pol
 Kemurnian
Diagram 4. Tahapan Analisa Kemasakan (Maturity Test)

Langkah berikutnya tebu digiling dengan miller kecil (dipasang pada


faktor perasan 50%), disaring dan diambil niranya serta ditimbang beratnya.
Selanjutnya dilakukan pengukuran brix dan suhu dengan Hydrometer Brix. Nira
yang telah diperhitungkan brixnya kemudian ditentukan nilai pol. Nira
dimasukkan pada labu takar 100/110 ml sebanyak 100 ml kemudian ditambahkan
1 ml masing-masing penjernih aman lingkungan (PAL) I berupa timbal asetat dan
II berupa eter. Selanjutnya ditambahkan dengan aquades hingga 110 ml kemudian
dikocok. Larutan disaring dengan kertas saring, dan hasil saringannya ditampung
pada beker glass. Kemudian dimasukkan ke dalam pembulu pol 200 mm dan
ditera pada polarimeter/ sukromat dan dibaca nilai pol nya. Nilai yang diperoleh
50

dari analisis tersebut dikoreksi dengan suatu konstanta yang telah disesuaikan
dengan alat yang digunakan oleh pabrik. Prosesnya dapat dilihat pada bagan di
bawah ini.

Diagram 5. Tahapan Pengukuran Nilai Brix dan Pol Tebu

c. Pemanenan (Tebangan)

Kegiatan tebang dan giling di GPM memerlukan sistem organisasi yang


baik. Semua pihak saling terkait satu dengan lainnya. Divisi Harvesting yang ada
di GPM merupakan bagian utama dalam tahap penting ini. Divisi ini bertanggung
jawab mengkoordinasikan bagian pengelola divisi wilayah, kontraktor tebang,
kelompok pekerja, serta pabrik.
Hampir 100% tebu yang dipanen merupakan tebu bakar (burn cane). Hal
ini sangat berhubungan dengan kemampuan dan kebiasaan penebang, serta luasan
tebangan tiap harinya yang cukup luas (sekitar 143,75 ha). Hanya pada kondisi
tertentu seperti hujan, tebu ditebang hijau. Sistem tebangan yang diterapkan yaitu
bundle cane (BC), loose cane (LC), dan chopped cane. Sistem bundle cane yaitu
sistem tebang, ikat, dan muat dengan menggunakan tenaga manusia. Loose cane
51

yaitu sistem tebang menggunakan tenaga manusia dan pengangkutannya


menggunakan mesin grabloader. Pada tiga tahun terakhir, sistem loose cane
banyak digunakan di perkebunan GPM dikarenakan tenaga tebang bundle cane
mulai sulit didapatkan, terutama tenaga dari Pulau Jawa. Berdasarkan banyaknya
tenaga kerja yang digunakan, perbandingan loose cane dengan bundle cane pada
tahun 2010 yaitu 65:35 sampai 70:30. Berbeda dengan sistem lainya, sistem
chopped cane menggunakan mesin harvester untuk menebang dan memuatnya.
Tebu yang dihasilkan berupa potongan. Harvester digunakan pada kondisi
kekurangan tenaga penebang pada sistem loose cane dan bundle cane.
Pengoperasiannya mengeluarkan biaya yang cukup besar, terutama terhadap
penggunaan bahan bakar. Sistem chopped cane sudah 3 tahun tidak dioperasikan
karena sistem tanam di perkebunan berubah dari sistem single row menjadi double
row.
Kapasitas giling pabrik GPM yang dipasang sebesar 11 500 TCD. Artinya
perkebunan harus mampu memasok 11 500 ton tebu yang telah masak tiap
harinya ke pabrik. Target milling pada tahun 2010 yaitu 23 152.12 ha dengan rata-
rata produktivitas tanaman 80 ton/ha. Tebu yang digiling pada musim tersebut
sekitar 1 852 169.6 ton. Musim giling ditargetkan sejak bulan April hingga
November.

Tabel 1. Rencana dan Realisasi Program Tebangan PT GPM 2010

Target Tebangan Realisasi Tebangan


Bulan
Luas Areal (ha) Luas Areal (%) Luas Areal (ha) Luas Areal (%)

April 3 544.68 15.31 1 970.29 8.51


Mei 3 125.22 13.50 2 785.51 12.03
Juni 3 229.44 13.95 2 170.46 9.37
Juli 4 086.83 17.65
Agustus 2 907.92 12.56
September 1 795.37 7.75
Oktober 3 909.63 16.89
November 553.03 2.39
Total 23 152.12 100.00

Kegiatan tebang di areal diawali dengan kegiatan pembakaran.


Pembakaran dilakukan dalam dua tahap yaitu sekitar 30% luas tebangan dibakar
52

pada malam hari dan sisanya pada pagi atau siang hari. Pembakaran yang
dilakukan harus memperhatikan kondisi areal, terutama arah angin dan kondisi
petak-petak di sekitarnya, agar api tidak menyebar pada areal yang tidak
ditujukan. Jika angin bertiup dari arah barat ke timur, maka permulaan bakaran
dari tepi petak bagian timur (berlawanan arah). Hal ini dimaksudkan agar bakaran
tidak menyebar pada areal yang tidak termasuk dalam program tebangan. Setelah
sejauh 20 m, kemudian dibakar searah angin atau dari arah petak yang telah
ditebang/ aman agar lebih cepat dan api akan mati pada tengah-tengah petak.
Pembakaran dilakukan oleh tim PMK beranggotakan 4 orang dengan
pembagian tugas yaitu 1 operator, 2 pembakar, 1 penyemprot. Tim memiliki tugas
agar pembakaran dapat dilakukan dengan sempurna dan api dapat dikendalikan.
Bahan bakar yang digunakan campuran solar dan avtur dengan menggunakan alat
lighted (5 liter). Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk membakar sekitar 10-15
menit tergantung dengan luas dan letak petakan, kondisi pertanaman (kerapatan
tanaman, aplikasi ripener, banyaknya gulma, klentekan), dan kondisi cuaca.

(a)
53

(b)
Gambar 17. (a) Pembakaran dan (b) Penebangan Tebu

Selanjutnya mandor membagikan luasan petak yang akan ditebang kepada


sejumlah kontraktor tenaga kerja. Jumlah luasan dan pembagiannya
mempertimbangkan kemampuan tenaga kontraktor. Pembagian luasan biasanya
dilakukan pada pagi hari dengan cara pengundian. Kontraktor yang mendapat
urutan pertama dalam undian berhak menentukan petakan yang akan ditebang
oleh timnya, dan selanjutnya diikuti oleh urutan berikutnya. Biasanya dalam
sistem loose cane, kontraktor lebih memilih areal yang mudah atau ringan
dilakukan. Kontraktor kemudian membagikan luasan/barisan yang menjadi
tanggung jawab tiap penebangannya. Prinsipnya adalah tiap orang dioptimalkan
memiliki kapasitas kerja 2 k atau 2 x 8 DR x 15 m atau 8 DR sepanjang 30 m atau
sekitar 30 orang/ha. Akan tetapi pembagian tanggung jawab baris tebangan tidak
harus demikian apabila jumlah baris yang diberikan bukan kelipatan 8. Oleh
karena itu, perlu sekali peranan kontraktor dalam pembagian yang adil antar
penebang. Pada sistem bundle cane, areal tebang diharapkan mampu memberikan
tonase yang tinggi, karena pembayaran berdasarkan berat tebu yang ditebang.
Pembagian petakannya pun sama dengan sistem loose cane dengan cara diundi
dan pembagian barisan tebangan diserahkan kepada kontraktor.
Tebu dipotong dengan golok tebang hingga rata dengan tanah. Bagian
pucuknya dipotong hingga ruas kelima dan daun-daunnya dibersihkan.
54

Selanjutnya tebu ditumpuk untuk memudahkan proses muat. Pada sistem loose
cane tebu ditebang dan langsung ditumpuk 8:1. Sistem tumpukan ini maksudnya
dari 8 baris ditumpuk pada 1 baris. Tumpukan tebu diletakkan pada baris keempat
dan kelima. Sistem tumpukan pada bundle cane yaitu 4:1. Tebu yang telah
ditebang dari 4 baris kemudian diikat dengan kulit tebu rata-rata setiap 30 kg dan
ditumpuk pada 1 baris (yaitu baris kedua dan ketiga).

Gambar 18. Model Penumpukan Loose Cane (kiri) & Bundle Cane (kanan)

d. Muat, Angkut dan Bongkar

Faktor yang menjadi pembeda antara sistem loose cane dengan bundle
cane yaitu sejak muat tebu hingga dibongkarnya. Pada saat muat, sistem loose
cane menggunakan peralatan-peralatan atau mesin, sedangkan bundle cane secara
manual. Pengangkutannya pun berbeda dalam alat transportasi antara keduanya.
Begitu pula perlakuan pada bongkaran di cane yard pabrik.
Pada sistem loose cane, tebu yang ditebang dan selesai ditumpuk
kemudian dimuat dengan menggunakan grabloader (GL) dan side tipping (STP).
Penggunaan STP baru diterapkan 2 tahun belakangan ini. Penggunaan STP
dimaksudkan untuk mengganti penggunaan trailer di areal yang menyebabkan
pemadatan tanah. STP memiliki lebar ban yang lebih besar dibandingkan trailer.
Akan tetapi STP ini secara prosedur, digunakan pada sistem chopped cane atau
tebu potong. Jika tebu potong dimuat ke dalam STP maka akan optimal
dibandingkan pada sistem loose cane (tebu dalam bentuk lonjoran/stalk).
Jika tumpukan tebu diletakkan pada baris keempat dan kelima, maka GL
akan bergerak diantara baris ketiga atau keempat dan STP akan mengiringi GL
diantara baris keenam. Traktor yang dilengkapi grabloader, beberapa diantaranya
dipasang pada sisi kanan (sehingga dapat bergerak pada sisi kanan saja) dan
dipasang pada bagian depan traktor (sehingga dapat bergerak ke sisi kanan dan
55

kiri). Setiap STP mampu dipenuhi 3 kali cakupan grabloader. Tiap STP mampu
memuat tebu seberat 2.5-3 ton.

(a)

(b)
Gambar 19. Muat Loose cane (a) grabloader ke side tipping, (b) side tipping ke
trailer

Tebu dari petak tebangan kemudian dibawa STP ke secondary road


(selebar 12 m) untuk dipindahkan ke dalam head truck dan trailernya. Rata-rata 1
trailer mampu memuat tebu dari 4 STP. Tebu yang ditumpahkan dari STP
bermesin hidrolik tersebut, selanjutnya diatur dan dipadatkan dengan grabloader.
Sirkulasi antara STP yang satu dengan yang lainnya perlu diatur dan diawasi agar
waktu pengisian berlangsung secara efektif. Sekeliling petakan yang ditebang
56

dibuat rute jalur kosong dan jalur isi (dengan muatan). Hal ini dilakukan dalam
rangka efisiensi alat dan menghindarkan terjadinya penumpukan alat ataupun
kecelakaan.

Gambar 20. Muat Bundle cane

Tebu yang ditebang pada sistem bundle cane selanjutnya diikat dan
diangkut dengan tenaga manusia. Tebu ditumpuk di atas truk secara rapi agar
aman dan tidak tumpah/ tercecer selama perjalanan. Tebu yang disusun
diamankan dengan sabuk/tali. Tinggi muatan dapat mencapai 6 m dengan berat
rata-rata 15 ton.
Tebu yang telah dimuat dari areal, ditransportasikan ke pabrik untuk siap
digiling. Dalam sistem transportasi/pengangkutan tebu seringkali terjadi tebu
terjatuh yang dianggap sebagai kehilangan hasil (loses).

Tabel 2. Kehilangan Tebu di Jalan pada Sistem Loose Cane dan Bundle Cane

Sistem Angkutan Berat Tebu Terjatuh di Jalan 500m pertama pengangkutan (ton/ha)*
Loose Cane (LC) 0.014
Bundle Cane (BC) 0.006
*angka dikonversi dengan asumsi 1 muatan seberat 15 ton

Tebu yang masuk ke pabrik ditimbang angkutan terisi dan saat keluar
ditimbang kembali berat kosongnya, sehingga diketahui banyaknya tebu yang
terangkut. Di cane yard pabrik, pembongkaran dilakukan dengan menggunakan
tripper dan lifter (yang diatur dari menara pengawas) serta cane stacker.
57

Tebu yang dibawa menggunakan truk bundle cane dibongkar dengan


menggunakan tripper dan cane stacker. Tripper yaitu alat bongkar yang
menggunakan ‘lantai angkat’ hingga terbentuk sudut sekitar 45 derajat sehingga
tebu jatuh atau langsng masuk ke feeding cane. Cane stacker atau traktor yang
dilengkapi implemen berbentuk seperti garpu mendorong tebu-tebu dari arah
samping truk sehingga tebu-tebu jatuh ke lantai cane yard.
Angkutan loose cane yang dilengkapi trailer dibongkar dengan lifter.
Boom trailer (besi panjang yang dihubungkan dengan rantai-rantai pada trailer)
akan dikaitkan dan diangkat dengan lifter, sehingga tebu-tebu yang berada di atas
rantai-rantai terangkat dan jatuh pada lantai cane yard atau langsung meluncur ke
feeding cane.

Gambar 21. Bongkaran (Lifter)

Evaluasi Kehilangan Hasil (Cane Wastage)

Tebu yang tertinggal di areal tebangan secara umum masih bernilai


ekonomis. Tebu yang biasanya tertinggal yaitu pucuk, lonjoran, dan tunggul.
Bagian pucuk yang masih memiliki kandungan gula yaitu ruas batang di bawah
ruas/daun kelima dari ujung. Penebang seringkali memotong bagian pucuk
melebihi ruas kelima, sehingga ada bagian yang masih mengandung gula yang
terbuang. Lonjoran (stalk) merupakan tebu utuh yang tidak tertebang atau
58

tertinggal di areal. Tunggul yaitu bagian pangkal tebu yang tersisa karena
penebangan dilakukan tidak rata tanah (standar tebangan perkebunan).
Ukuran contoh evaluasi kehilangan hasil ini yaitu 4 DR x 5 m pada sistem
bundle cane dan 6 DR x 5 m pada sistem loose cane. Kegiatan ini dilakukan pada
areal tebangan tiap kontraktor. Tunggul-tunggul ditebang, pucuk dipotong, dan
lonjoran tertinggal dikumpulkan. Selanjutnya bagian-bagian tersebut dibersihkan
dari tanah, akar, atau daun. Kemudian masing-masing ditimbang beratnya
sehingga dapat diketahui berat tebu tertinggal pada petak contoh tersebut. Nilai
cane wastage dapat digunakan untuk menduga berapa ton tebu yang tertinggal
tiap hektar serta mengevaluasi kualitas tebangan tiap kontraktor.

Tabel 3. Kualitas Tebangan Sistem Loose Cane dan Bundle Cane

Sistem Bobot Tebu Tertinggal di Areal (ton/ha)


Pucuk Lonjoran Tunggul
Standar Perusahaan 0.70 1.00 1.10
Loose Cane (LC) 0.30±0.1 0.20±0.1 0.39±0.1
Bundle Cane (BC) 0.31±0.1 0.48±0.3 0.48±0.1

Proses Pengolahan Gula di Pabrik

Gula pasir diolah secara teknologi yang lebih baik sehingga menghasilkan
gula yang bermutu. Proses pengolahan gula yang dilakukan PT GPM
menggunakan sistem sulfitasi. Proses pembuatan gula pasir terdiri atas beberapa
tahap, yaitu:

1. Tahap persiapan (cane preparation)


Pertama tebu ditimbang untuk diketahui berat/jumlah tebu yang akan
digiling, setelah itu ditampung di emplasemen (cane yard). Kapasitas cane
yard ini 20-30% dari kapasitas giling. Selanjutnya tebu dimasukkan ke dalam
meja tebu (feeding table) dengan bantuan alat stacker, kemudian melewati
krepyak (intermediate cane carrier) menuju pisau pencacah (cane cutter I
dan II) sehingga tebu akan menjadi bagian cacahan lebih kecil. Kemudian
masuk ke mesin penghancur (cane hammer shredder) sehingga menjadi
serpihan-serpihan halus yang siap dilakukan pemerahan selanjutnya. Pada
proses ini belum ada nira tebu (juice) yang terperah.
59

2. Tahap pemerahan/gilingan (cane milling)


Tebu yang telah menjadi serpihan halus dari tahapan sebelumnya
selanjutnya digling/diperah berulang-ulang sehingga akan diperoleh nira tebu
(mixed juice). Jumlah tandem gilingan di PT GPM berjumlah 5 tandem/5 mill
dan masing-masing mill memiliki 4 roll. Ampas dari penggilingan atau
bagase yang diperoleh digunakan untuk bahan bakar boiler sebagai penghasil
uap (steam). Steam tersebut berfungsi untuk menggerakkan turbin, memasak
nira tebu, dan pembangkit tenaga listrik.
3. Tahap pemurnian dan penguapan (clarification and evaporation)
Nira tebu (mixed juice) hasi pemerahan (setelah ada penambahan asam
fosfat) akan melewati flow meter untuk mengetahui jumlah juice yang
diperoleh, menuju alat pemanasan (juice heater) yang akan dipanaskan pada
suhu kurang lebih 750C untuk mematikan mikroorganisme. Kemudian
dipompa menuju tangki pengapuran. Susu kapur diberikan pada tangki
pengapur hingga pH 8.9-9.2 (limed juice). Selanjutnya dipompa menuju
tangki sulfitasi (juice sulphitator) untuk ditambah gas SO2 sehingga pH
menjadi 6.8-7.2 (sulphured juice).
Kemudian dipanaskan kembali ke juice heater pada suhu 1050C, menuju
alat pengembang (flash tank) untuk dibuang gas-gas yang ada dalam juice,
selanjutnya ditambah bahan pembantu penggumpal yaitu flocculant dan
diendapkan/pemurnian (clarification). Pada tahap ini akan dihasilkan nira
jernih (clear juice) dan lumpur juice (mud). Lumpur juice/mud dipompa
menuju alat penapis (vacuum filter) sehingga diperoleh blotong (filter cake)
yang digunakan sebagai pupuk, dan nira tapis (filtrate juice) yang akan
dikembalikan ke tangki pengapuran untuk diolah lagi. Sedangkan clear juice
dipompa untuk diuapkan ke badan penguapan (evaporator) sehingga akan
diperoleh nira kental (raw syrup).
4. Tahap pengkristalan dan pemisahan (crystallization/boiling and centrifugal)
Sistem pemasakan di PT GPM dikenal dengan sistem 3 tingkat yaitu A, B,
C. Tujuan tingkat masak ini menekan kehilangan gula yang terikut dalam
tetes tebu (final molasses). Sedangkan jumlah tingkatnya didasarkan atas
60

kualitas bahan baku (tebu), jika kualitas bahan baku rendah cukup memakai
sistem 3 tingkat dan jika kualitas bahan baku tinggi memakai 4 tingkat.
5. Tahap pengeringan dan pendinginan (dryer and cooler)
6. Tahap penimbangan dan pengarungan (weighing and bagging)

Aspek Manajerial

Pengorganisasian Kebun

Pengelolaan kebun di PT GPM dilakukan oleh Departemen Plantation.


Pimpinan puncak di Departemen Plantation PT GPM dipegang oleh kepala
manager. Plantation Manager memiliki wewenang tertinggi untuk memimpin
mengelola dan melakukan pengawasan secara tidak langsung terhadap kinerja
kebun. Plantation Manager membawahi 5 manager divisi wilayah, harvesting,
field technical support (FTS), stillage & blotong, administrasi, dan quality control
(Lampiran.2).
Perkebunan PT GPM dibagi menjadi 5 sektor/divisi dengan luasan sekitar
4 500-5 000 ha. Divisi wilayah melakukan tugasnya secara sektoral, artinya
wilayah perkebunan ini dibagi menjadi 5 bagian wilayah yang masing–masing
dipimpin oleh manajer divisi. Manajer divisi wilayah bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan teknis dan manajerial wilayah yang dipimpinnya. Bagian (seksi)
kegiatan budidaya tanaman yang dibawahi oleh divisi wilayah yaitu land
preparation (alat berat dan tanam), manual maintenance (dibagi 2 sektor meliputi
kegiatan weeding, spraying, klentek, dan sebagainya), mechanical maintenance
(RPC dan RC), irigasi dan administrasi.
Divisi harvesting merupakan koordinator dalam program pemanenan.
Bagian-bagian yang dibawahi yaitu bagian tebangan bundle cane (barat, tengah,
timur), tebangan loose cane (barat, timur, gleaning), angkutan, ripener, dan
administrasi. Bagian tebangan bertanggung jawab dalam pembakaran, koordinasi
teknis kontraktor dan tenaga tebang, serta memantau kualitas tebangan.
Pengordinasian angkutan perlu diperhatikan agar proses pengangkutan berjalan
dengan baik dan tebu tetap terjaga kesegarannya.
Field technical support (FTS) menjadi bagian penting dalam penelitian
dan pengembangan produksi tanaman tebu. Divisi stillage dan blotong
61

bertanggung jawab dalam mengelola limbah atau by product berupa stillage dan
blotong sebagai penambah bahan organik bagi tanaman. Pengolahan limbah
pabrik pun perlu dikelola dengan baik untuk mendukung kelestarian lingkungan.
Semua kegiatan budidaya dinilai dan dievaluasi oleh Divisi Quality Control
sebagai masukan untuk perbaikan kegiatan budidaya selanjutnya. Sedangkan
untuk pendataan yang berkaitan dengan kegiatan budidaya dan administrasi
seluruhnya berpusat dan dikelola oleh Divisi Administrasi (PAS/MIS).

Deskripsi Kerja Karyawan

a. Tenaga Harian Lepas


Tenaga harian lepas adalah tenaga kerja yang direkrut oleh kontraktor dan
tidak memiliki ikatan kontrak kerja secara langsung dengan perusahaan. Bertugas
menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati oleh kontraktor dan perusahaan,
seperti menebang tebu (harvesting), tanam tebu (replanting), menabur kapur dan
blotong serta kegiatan lainnya. Masa kerja karyawan bersifat musiman atau sekitar
6 (enam) bulan bekerja. Dengan sistem penggajian kolektif setiap minggunya
melalui kontraktor masing-masing.

b. Karyawan Harian Tetap


Karyawan harian tetap adalah tenaga kerja harian yang memiliki hubungan
kontrak kerja secara langsung dengan perusahaan. Penggajian dilakukan seminggu
sekali setiap hari Sabtu dengan gaji pokok yang telah ditetapkan perusahaan.
Masa kontrak kerja bersifat relatif, ada yang enam bulan dan ada pula yang satu
tahun. Perpanjangan kontrak dipertimbangan berdasarkan etos kerja dan
kedisiplinan karyawan. Karyawan bertugas menyelesaikan pekerjaan teknis di
lapangan, seperti pengoperasian tractor, weeding, gleaning, spraying, dan
terkadang juga diperbantukan untuk menebang tebu jika kekurangan tenaga kerja
tebang.

c. Karyawan Bulanan
Karyawan bulanan adalah tenaga kerja yang telah diangkat menjadi
pegawai tetap perusahaan. Masa kerja sejak penerimaan SK pengangkatan
62

karyawan sampai pensiun yaitu hingga berusia 55 tahun. Beberapa karyawan


masih bersifat kontrak atau belum tetap sejak beberapa tahun belakangan ini.
Sistem penggajian dilakukan sebulan sekali per tanggal 28 atau 29 melalui
rekening bank masing-masing. Karyawan juga mendapatkan hak kesejahteraan
berupa perumahan dinas dan pelayanan kesehatan gratis bagi dirinya dan
batih/anggota keluarga. Karyawan bulanan terbagi beberapa tingkat jabatan, yang
memiliki tugas masing-masing dan yang termasuk sebagai staf Departemen
Plantation yaitu Officer, Division Manager, dan Departemen Plantation Manager.
1. Mandor dan Field Maintenance
Mandor bertugas mengarahkan karyawan harian agar bekerja sesuai dengan
target program yang telah ditentukan oleh atasan. Seorang mandor
membawahi 10 hingga 100 karyawan harian. Mandor juga bertugas mendata
kehadiran para karyawan.
2. Pengawas (Supervisor dan Officer)
Pengawas bertugas mengevaluasi hasil kerja karyawan harian. Jika terdapat
kekurangan/ kesalahan hingga hasil kerja tidak sesuai dengan yang
diharapkan, pengawas akan memberikan teguran baik kepada karyawan
harian maupun mandor yang mengarahkan. Pengawas melaporkan hasil kerja
di lapangan kepada divisi manager.
3. Divisi manager
Departemen plantation terbagi menjadi beberapa divisi. Setiap kepala divisi
(divisi manager) bertanggung jawab atas divisinya. Divisi manager bertugas
mengkoordinir seluruh pengawas agar pekerjaan di lapangan terlaksana
sesuai target yang diharapkan.
4. Departemen manager
Departemen manager adalah pemimpin tertinggi di Departemen Plantation.
Bertanggung jawab terhadap proses keseluruhan perkebunan. Mulai dari
persiapan lahan sampai panen/tebang dan angkut tebu ke pabrik. Bertugas
mengkoordinir seluruh divisi manager agar dapat mencapai target yang telah
ditentukan.
63

PEMBAHASAN

Prinsip dari manajemen atau pengelolaan tebangan (harvesting) tebu


adalah menghasilkan dan membawa bagian tebu yang bernilai ekonomis (dalam
perolehan gula) sejak penebangan hingga siap digiling di pabrik. Tebu yang
ditebang diharapkan memiliki kriteria segar, bersih, dan manis (SBM). Tebu yang
segar menunjukkan bahwa tebu yang ditebang sesegera mungkin dikirim ke
pabrik dan maksimal ditempuh dalam waktu 30 jam hingga digiling. Kebersihan
tebu sangat penting diperhatikan karena benda-benda yang tidak bernilai
ekonomis (selain batang tebu) akan menurunkan kadar gula. Nilai kemanisan
diketahui pada tingkat kemasakan tebu. Jika kemasakan tebu optimal maka
kandungan gula di dalamnya akan tinggi sehingga dapat menguntungkan. Sistem
manajemen tebang, muat, angkut yang optimal dan efisien dapat dinilai melalui
keberhasilan pengelolaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan
target giling pabrik serta kemampuan membawa tebu dari areal hingga pabrik
dalam kondisi yang baik.
Berdasarkan Tabel 1. target giling tahun 2010, selama 3 bulan pertama
(April-Juni) yaitu dengan luas areal yang ditebang 9 899.34ha (42.76%).
Pelaksanaan di lapang menunjukkan luas areal tebu yang sudah ditebang seluas 6
926.29 ha. Hal ini menunjukkan bahwa 70% program terlaksana dari target 3
bulan pertama yang direncanakan. Berdasarkan pengamatan di lapang, diketahui
bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan giling pada 3
bulan pertama tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu curah hujan,
pelaksanaan tebangan, transportasi, dan faktor tenaga kerja.

Pengaruh Curah Hujan dengan Sistem Pemanenan Tebu

Pada bulan pertama musim tebangan, pengiriman dilakukan dalam jumlah


yang cukup sedikit. Hal ini dikarenakan curah hujan pada bulan tersebut masih
sangat tinggi dan kondisi peralatan pabrik yang masih belum baik. Curah hujan
yang tinggi menjadi faktor kesulitan operasi peralatan muat (grabloader dan side
typing) serta angkutan tebu (truck dan head truck). Gilingan tebu dalam jumlah
64

banyak di pabrik pada bulan pertama juga kurang efisien. Perolehan gula akan
sedikit pada gilingan pertama karena nira akan banyak menempel pada bahan-
bahan tertinggal/tersisa pada peralatan giling musim sebelumnya. Jika tebu yang
digiling terlalu banyak pada bulan pertama maka akan banyak gula yang terbuang
yang terikut dengan ampas/kotoran.
Kondisi tebu akan terjaga kesegarannya apabila antara waktu pembakaran
hingga digiling ditempuh dalam waktu sesingkat mungkin. Kunci dari kesegaran
ini terletak pada pembakaran/burning (burn to crush). Prinsipnya pembakaran
dilakukan semalam mungkin dan sesedikit mungkin. Penambahan bakaran akan
lebih banyak dilakukan pada pagi atau siang hari. Pertimbangan dari kegiatan
bakaran ini memperkecil waktu tempuh tebu dibakar dan dipanen dari areal
hingga digiling. Kondisi tebu sejak dibakar hingga siap digiling akan mengalami
penurunan kualitas kandungan gulanya.
Pembakaran dilakukan dalam 2 tahap tiap harinya, yaitu pembakaran
pertama sebanyak 30% (dari luasan program tebangan) pada sore atau malam hari,
selanjutnya 70% bagian pada pagi atau siang hari. Jika dalam satu hari ditargetkan
pada sistem loose cane sebesar 5000 ton tebu, dan TCH diperkirakan sekitar
80ton/ha, maka dilakukan tebangan sebanyak 62.5 ha. Pembakaran tahap pertama
sebesar 30% yaitu 18.75 ha dan sisanya 43.75 ha pada tahap kedua. Pada sistem
bundle cane, diusahakan perbandingan pembakaran pertama lebih banyak
daripada bakaran kedua. Tenaga bundle cane akan optimal pada tebangan
pertama, dan akan berkurang kemampuannya pada bakaran kedua.

Tabel 4. Korelasi Tebu Terkirim Berdasarkan Waktu Pembakaran (Burn to crush)


periode Juni 2010

Rata-rata Total Brix Pol


CH Kiriman
Total Kiriman -0.417*
Brix -0.703** 0.558**
Pol -0.701** 0.570** 0.999**
% Kiriman Tebu ≤ 30 jam -0.450* 0.665** 0.801** 0.793**
Keterangan : *) nyata
**) sangat nyata
65

Bakaran akan sangat terkait dengan kondisi cuaca terutama hujan. Terjadi
kondisi yang diluar perkiraan pada bulan Juni 2010 yaitu curah hujan masih dalam
kisaran yang tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi jumlah tebu dalam memenuhi
kapasitas giling pabrik per hari serta mempengaruhi kerja alat angkut bahkan
memperpanjang waktu penundaan pengangkutan tebu dari areal.
Iklim mikro yang tidak beraturan ini, memberikan dampak yang berarti pada
sistem tebangan yang telah ditetapkan PT GPM. Analisis data (Tabel
4.)menunjukkan bahwa total kiriman tebu berkolerasi nyata dengan rata-rata curah
hujan, dan kolerasi keduanya bersifat negatif (-0.417). Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan curah hujan mengakibatkan berkurangnya total pengiriman
tebu. Persentase kiriman tebu ≤ 30 jam ke pabrik berkolerasi positif dengan total
pengiriman pada hari tersebut (0.665) atau tebu yang terkirim ≤ 30 jam, bobotnya
cenderung akan tetap.
Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa seringkali manajemen
mengambil keputusan secara cepat untuk mengganti petak yang akan dibakar agar
memenuhi kiriman tebu pada hari tersebut. Namun cuaca yang tidak diduga,
seringkali petak yang telah dibakar tersebut juga mengalami hujan. Alat muat dan
angkut dengan kondisi areal yang basah pun mengalami kesulitan bahkan tidak
dioperasikan. Hal inilah yang mempengaruhi pengiriman tebu ke pabrik.
Persentase kiriman tebu ≤ 30 jam mempengaruhi sangat nyata terhadap nilai
brix (0.801) dan pol (0.793). Hubungan antara brix dan pol menunjukkan korelasi
sangat nyata dan bersifat positif (0.999). Analisis data tersebut membuktikan
bahwa prinsip mendasar dari harvesting management adalah tebu yang telah
dibakar dan ditebang untuk sesegera mungkin dikirim dan digiling di pabrik agar
kualitas tebu terjaga. Tebu bakar akan rentan terkena penyakit dan mudah
berkurang kadar gulanya sejak dibakar.

Pelaksanaan Tebang

Bagian pangkal batang tebu memiliki nilai gula tertinggi. Penebangan


dengan standar yang ditetapkan akan menguntungkan perusahaan dalam
perolehan gula. Standar tebangan (tebu bakar) yang ditetapkan perusahaan yaitu:
66

a) Pemotongan batang tebu diusahakan rata dengan tanah atau minimal 5cm dari
tanah
b) Pucuk dipotong hingga ruas ke lima dari atas (30 cm)
c) Tidak meninggalkan lonjoran (tebu utuh)
Pelaksanaannya yang diawali dengan pembakaran perlu ditindaklanjuti. Hal
ini dikarenakan pembakaran cukup memberikan dampak negatif terhadap tanaman
ataupun kesehatan manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Konservasi terhadap sumberdaya yang ada perlu dilakukan dengan sebaik-
baiknya, terutama pengurangan kegiatan pratebangan.
Kualitas tebangan antara kontraktor tebang loose cane dan bundle cane
secara umum baik. Berdasarakan data pada Tabel 3. diketahui bahwa nilai pucuk,
lonjoran, dan tunggul yang tertinggal (pengukuran setelah tebangan) lebih sedikit
pada loose cane dibandingkan pada bundle cane.
Kehilangan hasil pada bundle cane (Tabel 3.) lebih besar dibandingkan
dengan loose cane diakibatkan banyaknya lonjoran (0.48 ton/ha) yang tidak
terangkut atau tertutupi oleh sampah sisa panen. Kehilangan pucuk dan tunggul
sebesar 0.31ton/ha dan 0.48ton/ha. Dua sistem panen yang diterapkan perusahaan
dinilai baik karena memiliki nilai cane wastage dibawah standar yang ditetapkan
perusahaan.
Penggunaan tenaga tebang sistem loose cane lebih banyak daripada bundle
cane merupakan pilihan yang dianggap tepat oleh perusahaan. Hal ini didukung
dengan, biaya yang dikeluarkan untuk sistem loose cane dalam jumlah banyak
akan sama ataupun menutupi pendapatan seperti penggunaan sistem bundle cane.
Pemakaian sistem loose cane yang lebih banyak ini pun terkait dengan waktu
ataupun capaian target giling. Kemasakan tebu yang semakin menurun dari masa
masak fisiologisnya akan mempengaruhi perolehan gula. Jika waktu penebangan
diundur akibat kekurangan tenaga kerja maka perusahaan akan mengalami
kerugian. Hal perlu meninjau juga penggunaan harvester yang memiliki kapasitas
kerja yang lebih baik dibandingan secara semimanual yang dilakukan selama ini.
Jika kita memprediksi masa depan, maka tenaga tebang tebu semakin lama akan
berkurang. Sehingga untuk mempersiapkan masa tersebut, perusahaan mulai
menggunakan harvester dalam pelaksanaan tebang.
67

Transportasi/Angkutan Tebu

Kegiatan muat dan angkut memerlukan kondisi areal yang optimal atau
tidak basah. Areal yang basah menjadi faktor kesulitan dalam pengoperasian alat,
bahkan menyebabkan tidak beroperasinya alat. Sistem bundle cane perlu masuk
ke areal untuk memudahkan dalam proses muat dan angkut. Transportasi pun
dipengaruhi dengan kondisi jalan yang baik. Jika jalur/jalan angkutan tidak baik
maka akan mengakibatkan tebu terjatuh bahkan dapat berakibat angkutan terbalik
dan muatan tebu tumpah. Kehilangan tebu di jalan banyak terjadi pada angkutan
tebu loose cane dibandingkan bundle cane yaitu sebesar 0.014ton/ha (Tabel 2.).
Perbandingan sistem loose cane dan bundle cane mengalami perubahan dari
tahun sebelumnya sebesar 30:70, menjadi 60:40. Penggunaan sistem tebangan
loose cane memiliki resiko yang cukup besar dibandingkan dengan bundle cane
karena pada pelaksanaannya kondisi lingkungan dalam kondisi normal (tidak
hujan), sedangkan saat-saat ini iklim tidak menentu. Sedangkan sistem muat
bundle cane sangat rapih sehingga kecil kemungkinan jatuh di jalan.

Tenaga Kerja

Trend tenaga kerja meningkat pada saat on season (Maret-November)


karena adanya karyawan musiman. Tenaga kerja musiman pada on season
tersebut berkisar 4000-6000 orang karena banyak diperlukan untuk kegiatan
tebangan, seperti untuk memenuhi kebutuhan operator alat-alat (grabloader dan
side typing), angkutan, dan beberapa sebagai tenaga harian tebang yang direkrut
oleh perusahaan. Masa kerja karyawan musiman ini relatif singkat yaitu sekitar 6
bulan.
Prinsip pengelolaan tenaga kerja ini didasarkan atas produktivitas dan
kesejahteraan tenaga kerja, serta mempertimbangakan efisiensi alat. Selama tiga
tahun terakhir trend tenaga kerja mengalami peningkatan. Jumlah tenaga kerja
pada bulan Maret-April 2010 sebanyak 5 290 dan 5 670 pekerja. Hal ini
dikarenakan semakin luas areal perkebunan serta semakin panjang rantai
pengangkutan dan pemakaian berbagai jenis alat yang dioperasikan. Contohnya
penggunaan alat muat perantara (side typing) selama 2 tahun belakangan ini,
68

banyak digunakan untuk memudahkan pengangkutan tebu dari areal ke angkutan


(trailer) dan mengurangi pemadatan tanah (karena ukuran ban yang lebar).

Tabel 5. Trend Jumlah Tenaga Kerja PT GPM Periode 2007-2010

Bulan 2007 2008 2009 2010


Januari 3580 3085 3841 3970
Februari 3097 3085 3902 4247
Maret 3072 3501 4710 5290
April 3172 4170 4977 5670
Mei 3219 4324 5310
Juni 3918 4990 5855
Juli 4411 5281 5953
Agustus 4624 5254 5103
September 4551 5062 4812
Oktober 4427 5074 5011
November 4426 3732 3618
Desember 3042 3810 3987
Rata-rata 3795 4281 4757 4794
Sumber : PAS 2010

Tenaga tebang yang direkrut perusahaan secara langsung pun dalam jumlah
yang banyak. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya jumlah kontraktor dan
tenaga tebang kontraktor, sehingga untuk memenuhi target pengiriman tebu tiap
harinya, perusahaan melakukan perekrutan sendiri. Jumlah kontraktor dan tenaga
tebang kontraktor yang berkurang didasarkan atas pertimbangan kesejahteraan,
karena hampir seluruh tenaga tebang kontarktor berasal dari Pulau Jawa. Target
kiriman tebu oleh tenaga tebang yang direkrut perusahaan biasanya lebih rendah
daripada target tenaga tebang kontraktor, karena pelaksanaan tebangan
memerlukan keahlian khusus.
69

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Manajemen atau pengelolaan tebangan (harvesting) tebu yang optimal


dan efisien akan memberikan keuntungan dan manfaat yang besar bagi
perusahaan. Pengelolaan kebun yang baik diharapkan dapat menghasilkan dan
membawa bagian tebu yang bernilai ekonomis (dalam perolehan gula) sejak
penebangan hingga siap digiling di pabrik. Tebu yang ditebang diharapkan
memiliki kriteria segar, bersih, dan manis (SBM).
Optimalisasi sistem tebang, muat, dan angkut tebu dapat dinilai dari
pencapaian target gilingan pabrik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian
target gilingan pabrik yaitu curah hujan, pelaksanaan tebang, transportasi, dan
tenaga kerja. Terdapat korelasi negatif antara curah hujan dan total kiriman.
Tingginya curah hujan menyebabkan berkurangnya kiriman tebu ke pabrik.
Terjadi kehilangan hasil di areal karena penebangan yang tidak tepat. Kehilangan
hasil bundle cane lebih banyak daripada loose cane yaitu 0.31 ton/ha pucuk, 0.48
ton/ha lonjoran, 0.48 ton/ha tunggul. Transportasi/alat angkut tebu sangat
dipengaruhi oleh kondisi areal dan jalur angkut. Terjadi kehilangan hasil lebih
banyak pada sistem loose cane dibandingkan bundle cane yaitu 0.014 ton/ha.
Jumlah tenaga tebang meningkat tiap tahun karena semakin luas areal, semakin
banyak penggunaan alat, dan berkuranganya kontraktor dan atau tenaga
tebangnya.

Saran

Pengelolaan seluruh proses/tahapan budidaya perkebunan PT Gula Putih


Mataram perlu memperhatikan aspek sumber daya alam (SDA), sumber daya
manusi (SDM), dan pengelolaan secara finansialnya. Manajemen tebang, muat,
angkut harus memiliki perencanaan yang matang dan harus siap dengan keputusan
yang cepat dan tepat dalam pencapaian target tiap harinya, terutama terhadap
faktor random fluctuation seperti hujan. Koordinasi antara perkebunan dan pabrik
diusahakan berjalan dengan baik.
70

Pembakaran tebu perlu dilakukan secara bijak. Hal ini dikarenakan


pembakaran menyebabkan kenaikan suhu yang akan berpengaruh pula pada
sistem metabolisme tanaman, yang kelak akan mempengaruhi pula hasil produksi.
Pelaksanaan tebangan perlu dilakukan pengawasan yang optimal. Pelaksanaannya
dapat menggunakan sistem reward and punishment. Pengangkutan menjadi
penting dalam pengiriman tebu ke pabrik, sehingga perlu dilakukan pemeliharaan
areal dan jalur angkut yang lebih intensif. Perusahaan harus membangun
hubungan baik dengan kontraktor dan tenaga tebangnya, terutama dalam
kesepakatan tugas dan hak tenaga tebang, serta pemberian upah yang sesuai.
Besarnya upah perusahaan akan menentukan banyaknya tenaga tebang, karena
upah kebutuhan tenaga tebang bersaing juga dengan perkebunan gula lainnya.
Batas minimal upah dapat disesuaikan dengan upah minimum regional (UMR)
Lampung ditambah dengan tunjangan yang relevan seperti tunjangan kesehatan
atau kesejahteraan (seperti beras).
71

DAFTAR PUSTAKA

BAPPENAS. 2008. Kapasitas Giling Tebu dan Produksi Gula.


http://www.bappenas.go.id/node/138/353/kapasitas-giling-tebu-dan-
produksi-gula/ [12 Februari 2010]

Balai Penelitian Tanah. 2010. Gagasan Swasembada Gula di Indonesia.


http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id [12 Februari 2010]

Bey, A. dan Las, I. 1991. Strategi Pendekatan Iklim dalam Usaha Tani. Kapita
Selekta Dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Hal 31

Direktorat Benih, 2008. Penyediaan Bibit Tebu Berkualitas Melalui Kebun


Berjenjang. http://ditjenbun@deptan.go.id [6 April 2009]

Ditjenbun. 2003. Prospek dan Peluang Produksi Gula Tebu Tahun 2008, Klas
Pengelompokan Lahan. http://ditjenbun@deptan.go.id [11 Mei 2009]

Ditjenbun. 2009. Road Map Swasembada Gula Nasional.


http://ditjenbun@deptan.go.id [23 November 2009]

Ditjenbun. 2010. Workshop Swasembada Gula Nasional.


http://ditjenbun@deptan.go.id [29 Maret 2010]

Haryanti, V. 2008. Analisa Sistem Pemanenan Tebu (Saccharum officinarum L.)


yang Optimal di PG Jati Tujh, Majalengka, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas
Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 104 hal.

Irianto, G. 2003. Tebu Lahan Kering dan Kemandirian Gula Nasional.


http://ditjenbun@deptan.go.id [15 November 2009]

Irawan, L. C. 2008. Analisis Beban Kerja pada Kegiatan Tebang dan Muat Tebu
Secara Manual di PG Bungamayang PTPN VII (Persero), Lampung.
Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kartohadikusumo, N. 1975. Masalah Pelaksanaan Mekanisasi pada Tanaman


Tebu di Indonesia. Prosiding Ikatan Ahli Gula Indonesia. Pengurus Pusat
Ikatan Ahli Gula Indonesia. Yogyakarta. Hal 18-23.

Lembaga Biologi Nasional-LIPI. 1978. Tanaman Industri. PT Bina Kancana:


Bogor.

Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di


Indonesia. Penerbit ITB Bandung
72

Mochtar, M. 1989. Beberapa Aspek Pra-Panen dan Pasca Panen Yang Perlu
Diperhatikan Dalam Rangka Maksimalisasi Perolehan Gula Dari Tebu.
Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan 23-25
Nov1988. P3GI. Pasuruan: 71-89.

Nasir, A. A. 1991. Informasi Iklim dalam Budidaya Pertanian. Kapita Selekta


Dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Hal 75

P3GI. 1989. Manajemen Tebangan dan Pabrik. http://www.p3gi.net [16 Maret


2009]

P3GI. 2008a. Konsep peningkatan rendemen. http://www.p3gi.net [16 Maret


2009]

P3GI. 2008b. Gambaran Sekilas Kondisi Pertanaman Tebu Giling Saat Ini Dan
Prediksi Produksi Gula Indonesia Tahun 2008. http://www.p3gi.net [30
April 2009]

Renatho, I. 2007. Mempelajari Aspek Keteknikan pada Pemanenan Tebu di PT


Rajawali II Unit PG Subang, Jawa Barat. Laporan Praktek Lapang.
Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 67 hal

SKIL (Sugar Knowledge International). 1998. Sugarcane.


http://www.sucrose.com [13 November 2010]

Soepardan, D. 1989. Upaya Peningkatan Mutu Tebangan PG Subang dengan


Sistem Empat Dua dan Enam Dua. Prosiding Seminar Budidaya Tebu
Lahan Kering, Pasuruan 23-25 Nov1988. P3GI. Pasuruan: 736-752.

Suharyono. 1989. Tebang dan Angkut Di Pabrik Gula Bone. Prosiding Seminar
Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan 23-25 Nov1988. P3GI.
Pasuruan: 753-761.

Supatma, I. A. 2008. Susut Rendemen dalam Sistem Tebang Muat Angkut di


Pabrik Gula Sindang Laut dan Tersana Bar, Cirebon. Skripsi.
Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Sutaryanto, T. 2009. Pentingnya Peningkatan Mutu Tebu. Gula Indonesia Vol.33


(2): 60. Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI). Pasuruan

Toharisman, A. 2009. Info Singkat Seputar ZPK. http://www.sugarresearch.org


[23 November 2009]

Widyatmoko, K. 2009. Aplikasi Zat Pemacu Kemasakan.


http://www.ikagisumatera.com [17 Desember 2010]
73

LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Perkebunan PT Gula Putih Mataram
74

Lampiran 2. Jurnal Harian Pelaksanaan Magang di PT Gula Putih Mataram


No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa
1 15-Mar-10 Administrasi dan orientasi lapangan Kantor Administrasi
2 16-Mar-10 Libur Nasional
3 17-Mar-10 Diskusi tebangan dan pengawasan pembuatan Dep.Plantation dan
gorong-gorong Div.3
4 18-Mar-10 Pemeliharaan tebu (klentek dan post Div.4
emergence)
5 19-Mar-10 Cek persiapan tebangan Div.4
6 20-Mar-10 Pengenalan Dep.Riset and Development Dep. R&D
7 21-Mar-10 Libur Hari Minggu
8 22-Mar-10 Persiapan aplikasi ripener Run Way
9 23-Mar-10 Pengawasan persiapan alat muat dan angkut Supporting Div. HVT
10 24-Mar-10 Analisis kemasakan (maturity test) Dep. R&D
11 25-Mar-10 Penjelasan pengambilan sample analisis Div.3
kemasakan
12 26-Mar-10 Pengawasan pembuatan gorong-gorong pada Div.3
lebung
13 27-Mar-10 Persiapan administrasi tebangan dan Div. HVT
selamatan
14 28-Mar-10 Libur Hari Minggu
15 29-Mar-10 Persiapan administrasi tebangan Div. HVT

HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)


75

Lampiran 2. Lanjutan
No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa

16 30-Mar-10 Persiapan administrasi tebangan Div. HVT


17 31-Mar-10 Persiapan administrasi tebangan Div. HVT
18 1-Apr-10 Persiapan administrasi tebangan Div. HVT
19 2-Apr-10 Libur Nasional
20 3-Apr-10 Bongkaran tebu dari angkutan Cane yard PT SIL
21 4-Apr-10 Libur Hari Minggu
22 5-Apr-10 Tebangan (Bundle cane) 20 BS 46 0.03 ha 0.024
ha
23 6-Apr-10 Scoring tunggul dan lonjoran serta Div.2 dan TU
pengamatan loose cane
24 7-Apr-10 Scoring tunggul dan lonjoran serta Div.2 dan TU
pengamatan loose cane
25 8-Apr-10 Scoring tunggul dan lonjoran serta Div.2 dan TU
pengamatan loose cane
26 9-Apr-10 Aplikasi gypsum dan klentek Div.2
27 10-Apr-10 Pengawasan tebangan 8 BU 4 (Main road)
28 11-Apr-10 Libur Hari Minggu
29 12-Apr-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
30 13-Apr-10 Pengawasan tebangan 148 TS 15 dan Div.4

HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)


76

Lampiran 2. Lanjutan
No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa

31 14-Apr-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT


32 15-Apr-10 Supervisi Dosen Dep.Plantation
33 16-Apr-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
34 17-Apr-10 Pengawasan tebangan Div.4
35 18-Apr-10 Libur Hari Minggu
36 19-Apr-10 Pengawasan tebangan dan bongkaran (loose Div.2,3,4 dan Cane yard 0.03 ha 0.25 ha
cane) GPM
37 20-Apr-10 Pengawasan tebangan Div.2,3,4
38 21-Apr-10 Pembakaran tebu TU 2/7 (Div.1)
39 22-Apr-10 Pengawasan tebangan dan rapat dengan Div.1
kontraktor
40 23-Apr-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
41 24-Apr-10 Pengawasan jalur angkutan panen Div.2
42 25-Apr-10 Libur Hari Minggu
43 26-Apr-10 Pengenalan alat angkutan dan penjelasan Supporting Div. HVT
budidaya tanaman
44 27-Apr-10 Diskusi tebangan dan pengambilan data Div. HVT
sekunder
45 28-Apr-10 Pengawasan jalur angkutan panen Div.3
77

HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)


Lampiran 2. Lanjutan

No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)


Standar Pekerja Mahasiswa

46 29-Apr-10 Pengenalan alat angkutan Supporting Div. HVT


47 30-Apr-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
48 1-Mei-10 Pembakaran tebu BS 3/8
49 2-Mei-10 Libur Hari Minggu
50 3-Mei-10 Pengawasan tebangan BS 2/8 dan TS
51 4-Mei-10 Orientasi kegiatan divisi wilayah Div.3
52 5-Mei-10 Klentek dan spraying TU (Div.3) 0.070 ha 0.070 ha
53 6-Mei-10 Klentek BU (Div.3) 0.070 ha 0.052 ha 0.001 ha
54 7-Mei-10 Klentek 32 TU 09, 30 TU 07, 30 0.070 ha 0.020 ha 0.001 ha
TU 05
55 8-Mei-10 Klentek BU (Div.3) 0.070 ha 0.020 ha
56 9-Mei-10 Libur Hari Minggu
57 10-Mei-10 Klentek TU (Div.3)
58 11-Mei-10 Penanaman dan Irigasi BU (Div.3)
59 12-Mei-10 Land preparation (LP) BU dan TU (Div.3)
60 13-Mei-10 Libur Nasional

HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)


78

Lampiran 2. Lanjutan

No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)


Standar Pekerja Mahasiswa

61 14-Mei-10 Land preparation (LP), terutama BU dan TU (Div.3) 3.5 ha 3.5 ha 2.3 ha
furrowing,basalt-carbofuran application
62 15-Mei-10 Land preparation (LP) BU dan TU (Div.3)
63 16-Mei-10 Libur Hari Minggu
64 17-Mei-10 Pengawasan blotong Pabrik dan BU (Div.3)
65 18-Mei-10 Tebang bibit dan Penanaman BU dan TU (Div.3)
66 19-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) BU 1/2 0.036 ha 0.036 ha 0.0001 ha
67 20-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) BU 1/2 0.036 ha 0.036 ha
68 21-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) BU 1/2 0.036 ha 0.036 ha
69 22-Mei-10 Pemupukan dan tera BU 3/6
70 23-Mei-10 Libur Hari Minggu
71 24-Mei-10 Pemupukan BU 3/6 dan 1/7 3.5 ha 3.5 ha
72 25-Mei-10 Pre emergence/boom spraying dan kepras BU 3/6 dan 1/7

73 26-Mei-10 Pemupukan dan tera BU 3/6 dan 1/7


74 27-Mei-10 Pemupukan dan tera BU 3/6 dan 1/7
75 28-Mei-10 Libur Nasional

HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)


79

Lampiran 2. Lanjutan

No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)


Standar Pekerja Mahasiswa

76 29-Mei-10 Pemupukan dan tera BU 3/6 dan 1/7


77 30-Mei-10 Libur Hari Minggu
78 31-Mei-10 Tera BU (Div.3) 5.25 ha 5.25 ha
79 1-Jun-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
80 2-Jun-10 Pengawasan tebangan BU (Div.3)
81 3-Jun-10 Cane wastage dan ripper ratoon TU 1/26 (Div.5) dan
BU 2/1 (Div.3)
82 4-Jun-10 Cane wastage BS 1/6
83 5-Jun-10 Cane wastage TS 1/17
84 6-Jun-10 Libur Hari Minggu
85 7-Jun-10 Cane wastage BS 1/6
86 8-Jun-10 Cane wastage TU 1/16
87 9-Jun-10 Cane wastage TU 5/3
88 10-Jun-10 Cane wastage TU 5/3
89 11-Jun-10 Cane wastage BU 3/5
90 12-Jun-10 Cane wastage TS 1/21

HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)


80

Lampiran 2. Lanjutan
No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa

91 13-Jun-10 Libur Hari Minggu


92 14-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data Div. HVT
sekunder, konsultasi
93 15-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data Div. HVT
sekunder, konsultasi
94 16-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data Div. HVT
sekunder, konsultasi
95 17-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data Div. HVT
sekunder, konsultasi
96 18-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data Div. HVT
sekunder, konsultasi
97 19-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data Div. HVT
sekunder, konsultasi
98 20-Jun-10 Libur Hari Minggu
99 21-Jun-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
100 22-Jun-10 Penjelasan aplikasi ripener Dep.Plant
101 23-Jun-10 Pengecekan waktu angkut TU 6/5
102 24-Jun-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
103 25-Jun-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
104 26-Jun-10 Penyulaman Div.3
105 27-Jun-10 Libur Hari Minggu

HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)


81

Lampiran 2. Lanjutan
No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa

106 28-Jun-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT


107 29-Jun-10 Pengawasan tebangan TU 6/5
108 30-Jun-10 Pengecekan angkutan panen TU 2/29 (Div.5)
109 1-Jul-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
110 2-Jul-10 Izin
111 3-Jul-10 Izin
112 4-Jul-10 Libur Hari Minggu
113 5-Jul-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
114 6-Jul-10 Membantu administrasi tebangan Div. HVT
115 7-Jul-10 Leaf tine BU 1/2
116 8-Jul-10 Penyusunan Laporan dan diskusi Div. HVT
117 9-Jul-10 Penyusunan Laporan dan diskusi Div. HVT
118 10-Jul-10 Penyusunan Laporan dan diskusi Div. HVT
119 11-Jul-10 Libur Hari Minggu
120 12-Jul-10 Penyusunan Laporan dan diskusi Div. HVT
121 13-Jul-10 Penyusunan Laporan dan diskusi Div. HVT
122 14-Jul-10 Pengawasan kegiatan divisi wilayah Div.2
123 15-Jul-10 Pulang

HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)


82

Lampiran 3. Data Rata-rata Curah Hujan PT Gula Putih Mataram

DATA RATA-RATA CURAH HUJAN PT GPM PERIODE 2004-2010 (mm)


BULAN
TAHUN
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES
2000 277 212 279 247 139 201 120 52 32 215 406 371
2001 302 363 262 201 281 102 24 117 119 315 391 373
2002 252 305 354 180 238 88 195 11 13 0 93 258
2003 452 416 325 232 136 24 47 54 52 126 204 235
2004 288 445 309 146 156 37 61 21 5 40 225 384
2005 389 277 375 240 175 229 96 105 54 126 201 286
2006 436 308 390 309 167 115 29 0 10 0 69 354
2007 246 364 338 300 81 110 149 37 21 59 182 344
2008 297 107 524 215 79 83 9 78 76 133 344 409
2009 210 299 381 157 207 83 86 75 1 143 327 268
2010 575 516 *497
*) s/d tanggal 19 Maret 2010
Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson

BK = Jumlah Bulan Kering = 2.4


Jumlah tahun

BB = Jumlah Bulan Basah = 8.3


Jumlah tahun

Q = BK x 100 % = 28.92%
BB
83

Tipe Iklim B (Basah) dengan nilai 0.143 < Q < 0.333


84

Lampiran 4. Data Rata-rata Suhu Daerah Lampung

DATA RATA-RATA SUHU LAMPUNG PERIODE 1999-2009 (0C)


BULAN
TAHUN
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES
1999 26.1 26.1 26.5 27.4 26.2 26.1 25.6 25.8 26.7 26.2 26.8 26.0
2000 26.0 26.2 26.5 26.8 27.3 26.1 26.1 25.7 27.0 26.9 26.8 26.7
2001 26.2 26.0 26.7 26.9 26.8 26.6 26.0 26.5 26.3 26.8 26.7 26.2
2002 26.7 26.4 26.9 26.0 27.0 25.9 26.4 26.6 27.1 28.3 27.5 27.0
2003 27.1 26.4 26.8 25.9 26.9 25.7 25.9 26.6 25.6 26.8 26.6 26.1
2004 26.9 26.1 26.5 25.7 27.1 25.4 25.9 26.2 27.0 27.5 27.1 26.5
2005 26.1 26.5 26.3 26.7 26.7 26.4 26.1 26.3 27.2 26.8 26.8 26.9
2006 26.1 26.6 26.6 26.6 26.9 25.9 26.2 25.9 26.6 27.7 28.2 27.0
2007 26.7 26.6 26.7 26.8 27.0 26.3 26.1 25.9 25.9 27.5 27.6 26.7
2008 26.8 26.2 26.2 25.5 26.7 25.3 26.0 26.1 26.9 26.6 25.6 26.1
2009 26.2 26.1 26.5 27.1 27.1 25.8 26.3
Sumber: BMKG, Stasiun Meteorologi Radin Inten II Bandar Lampung
85

Lampiran 5. Data Rata-rata Kelembaban Daerah Lampung

DATA RATA-RATA KELEMBABAN LAMPUNG PERIODE 1999-2009 (%)


BULAN
TAHUN
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES
1999 88.4 86.5 86.1 79.1 85.7 83.8 82.9 82.2 76.1 83.9 81.5 85.9
2000 86.2 84.4 81.9 82.9 80.5 84.1 85.3 80.2 77.8 80.5 83.0 82.9
2001 85.4 85.7 83.6 79.4 83.2 79.8 83.2 78.3 78.8 82.5 82.1 85.5
2002 85.9 84.3 84.3 84.1 84.0 78.9 82.7 79.3 73.8 69.0 78.3 83.8
2003 82.4 86.9 85.4 83.9 84.2 78.7 80.8 75.2 77.3 80.9 83.3 86.9
2004 83.7 86.6 85.5 86.7 83.5 80.5 83.8 77.1 76.0 75.6 79.5 83.8
2005 84.0 85.3 79.9 79.0 78.8 78.5 78.1 76.4 75.5 80.0 79.9 75.2
2006 84.4 82.9 83.5 82.2 80.7 81.5 79.6 71.9 67.4 68.3 70.7 81.6
2007 80.0 80.5 80.4 82.8 81.7 82.7 80.5 77.0 69.0 71.4 68.9 69.6
2008 80.2 74.4 82.9 78.7 76.7 77.9 74.2 78.7 76.4 79.9 79.3 84.3
2009 82.0 81.8 80.7 79.1 79.2 82.6 78.0
Sumber: BMKG, Stasiun Meteorologi Radin Inten II Bandar Lampung
86

Lampiran 6. Struktur Organisasi Perusahaan dan Plantation Departement PT Gula Putih Mataram
87

Lampiran 7. Contoh Lembar Hasil Pengujian Maturity Test

SUGAR GROUP COMPANIES


Agro Lab. Division-PT GPM
ANALISIS PENDAHULUAN/KEMASAKAN
Periode: --------------------------------------------------------------
Bobot Brix Pol % Frkwns
N M J D Inten
Petak V C U PB HK Pol H T S
O T B B Tebu Nira SKL Suhu % SKL % Rend SB
APS K B B
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
1 10BU15 A R1 5B 100 10 204 22 87 48 19,36 27 19,32 629 16,71 0,86

Keterangan:
1: Nomor 13: Suhu (0C)  Kegiatan umum yang  SKL Pol yaitu nilai pol  Nilai Nira
2: Petak 14: Brix (%) dilakukan termuat pada berdasarkan = pol-0.4 (brix-pol)
3: Varietas 15: Skala Pol kolom 1-17 polarimeter/Sucromart
4: Kategori 16: Pol (%)  KNT
 SKL Brix yaitu nilai brix  % Pol yaitu nilai SKL (Kadar Nira Tebu)
5: Masa Tanam 17: Harkat Kemurnian
= Bobot nira/Bobot tebu
6: Umur (bln) 18: Pol APS berdasarkan Hydrometer pol terkoreksi berdasarkan
7: Jumlah Batang 19: Rendemen Brix suhu (dapat diketahui dari  Rendemen
8: Panjang Batang (cm) 20: Harkat Kemurnian tabel koreksi) = Nilai Nira x KNT/100
9: Diameter Batang (cm) 21: Top Borer  % Brix yaitu nilai SKL
10: Bobot Tebu (gr) 22: Stem Borer brix terkoreksi berdasarkan  Harkat kemurnian (HK)
11: Bobot Nira (gr) 23: Intensitas Stem Borer suhu (dapat diketahui dari merupakan pembagian %
12: Skala Brix tabel koreksi) pol dengan % brix
88

Lampiran 8. Sistem Pembagian Blok dan Petak Perkebunan PT GPM

Main Road : 20 m
Second Road : 12 m
Infiel Road :8m
Perimeter Road :6m

Anda mungkin juga menyukai