OLEH
DHIYAUDZDZIKRILLAH
A24062623
OLEH
DHIYAUDZDZIKRILLAH
A24062623
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Departemen
Tanggal lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan magang
dan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “ Pengelolaan
Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering, Di PT Gula Putih
Mataram, Lampung, dengan Aspek Khusus Tebang, Muat, dan Angkut”.
Skripsi ini memberikan gambaran mengenai kegiatan magang yang dilaksanakan
oleh penulis. Pelaksanaan magang dan penulisan skripsi ini dalam rangka
menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat kelulusan di Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyampaikan terimakasih kepada:
1. Ibu dan ayah tercinta yang telah mendidik dan mendo’akan dalam setiap
sujudnya selama ini,
2. Keluarga besar (Ce Shanti dan Bang Mujahid, Aa Rama dan Ce Ana, Ce
Enten dan Ka Dodi, dan 7 keponakan yang luar biasa) yang telah memberikan
dorongan, menginspirasi, dan menjadi penyejuk mata,
3. Ir. Purwono, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan
nasihat dan saran selama bimbingan,
4. Dr. Ir. Hariyadi, MS dan Dwi Guntoro, SP. MS selaku dosen penguji yang
telah memberikan nasihat dan saran selama penyusunan skripsi,
5. Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS selaku dosen pembimbing akademik yang
telah mengarahkan selama program studi serta membantu dalam keperluan
beasiswa,
6. Ir. C. Sudrajat Widiarso sebagai Harvesting Manager PT GPM sekaligus
pembimbing lapang yang telah membantu pembelajaran di lapangan selama
magang,
7. Ir. H. A. Amin Budiarto selaku Plantation Manager beserta staff, karyawan
serta pihak lainnya di PT GPM yang telah mendukung pelaksanaan magang,
8. Ika Yuli Astuti dan Nita Choirunnisa, teman sebimbingan yang telah
menemani dan berjuang bersama-sama dalam tugas akhir ini,
viii
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak lainnya yang telah
memberikan doa, dorongan dan dukungan baik moril maupun materil dalam
penulisan skripsi ini. Penulis pun meminta maaf atas kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini, karena penulis menyadari bahwa skripsi magang ini
masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat, terutama dalam perkembangan ilmu pertanian.
Penulis
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN ............................................................................................... 63
Pengaruh Curah Hujan dengan Sistem Pemanenan Tebu................................ 63
Pelaksanaan Tebang ...................................................................................... 65
Transportasi/Angkutan Tebu.......................................................................... 67
Tenaga Kerja ................................................................................................. 67
KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 69
Kesimpulan ................................................................................................... 69
Saran ............................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 71
LAMPIRAN...................................................................................................... 73
xi
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Perkebunan tebu lahan kering di Indonesia yang cukup prosfektif banyak terdapat
di daerah Lampung. Luas areal perkebunan tebu di Lampung yang telah
digunakan yaitu 105 915 ha (Bappenas, 2008). Salah satu pelopor usaha
perkebunan dan pabrik gula di luar Jawa, khususnya Lampung, yang turut
memenuhi pasokan gula nasional adalah PT Gula Putih Mataram (GPM).
Perusahaan ini mengembangkan konsep budidaya tebu lahan kering dengan
berbagai sarana pendukung pada setiap tahapannya.
Majunya suatu industri gula pada umumnya ditentukan pertama-tama oleh
kualitas tebu. Oleh karena itu, setiap pabrik gula sangat berkepentingan
memelihara tanaman tebunya sebaik mungkin, sehingga dapat menghasilkan
jumlah kristal per hektar setinggi mungkin (Moerdokusumo, 1993). Aspek yang
mempengaruhi kualitas tersebut yaitu aspek tanaman tebu (on farm) dan aspek
pabrik (off farm) terkait teknis dan teknologi proses (Sutaryanto, 2009). Pada
aspek on farm, peningkatkan produksi per hektar dan peningkatan nilai rendemen
dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni,
optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang,
pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal giling yang tepat,
penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisis kemasakan,
penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat (P3GI,
2008b).
Hubungan dan koordinasi antara produksi tebu per hektar di lapangan
dengan kapasitas giling di pabrik merupakan kunci utama dalam menjaga kualitas
dan kontinyuitas produksi gula. Kegiatan giling tebu akan optimal dan efisien,
jika jumlah tebu yang dikirim memenuhi kapasitas giling yang diharapkan.
Selama musim giling, pengelolaan tebang-angkut harus ada di dalam satu tangan
dengan pengelolaan di pabrik atau paling sedikit ada di bawah satu komando,
sehingga penyediaan tebu atau jumlah tebu yang ditebang sesuai dengan
kebutuhan pabrik. Kesulitan di pabrik yang akan menyebabkan pabrik berhenti
giling dan kesulitan dalam penebangan/pengangkutan yang akan menyebabkan
tertundanya tebu digiling atau kekurangan tebu harus segera diinformasikan pada
pengelola sehingga dapat segera diambil jalan pengamanan (P3GI, 1989).
3
Tujuan
1. Mengetahui aspek budidaya dan manajemen perkebunan tebu lahan kering
2. Mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam
sistem tebang, muat, dan angkut
3. Menganalisis manajemen tebang, muat, dan angkut yang tepat, optimal, dan
efisien di perkebunan tebu lahan kering
TINJAUAN PUSTAKA
Gula diproduksi di 121 negara dengan produksi dunia melebihi 120 juta
ton per tahun. Sekitar 70% gula dihasilkan dari tebu yang dibudidayakan di
negara-negara tropis. Produksi gula lainnya diperoleh dari bit gula, terutama di
daerah beriklim sedang. Secara historis, gula hanya dihasilkan dari tebu dan
dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini mengakibatkan gula menjadi barang
mewah, terutama di Eropa karena tebu sulit ditanam. Saat ini, beberapa negara
mengimpor raw sugar (gula mentah) untuk memproduksi gula kristal putih.
Tanaman tebu termasuk suku rumput-rumputan yang tumbuh bergerombol
membentuk rumpun. Akarnya berbentuk serabut. Batangnya bulat panjang dan
berbuku-buku. Tingginya dapat mencapai 6 meter. Warna batangnya beragam,
ada yang hijau, kuning, ungu, merah dan lain-lain. Permukaan batangnya kadang-
kadang berlilin. Pada buku-buku batang terdapat mata akar dan tunas. Helaian
daun berbentuk pita. Panjang daun dapat mencapai panjang 1-2m dan lebar 4-
8cm. Pada permukaan daun atas dan bawah terdapat bulu-bulu yang panjang dan
tajam. Bunganya tersusun dalam malai yang tegak berwarna putih. Masa berbunga
biasanya antara bulan Februari dan Juni (LIPI, 1978).
Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung.
Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman saja. Secara
komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam
bentuk stek batang. Rata-rata di Jawa setiap 1 ha kebun bibit dapat memenuhi
kebutuhan 8 ha kebun tebu giling, sedangkan di luar Jawa lebih kecil lagi, 1 ha
kebun bibit hanya dapat memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat
benih, 2008).
Tebu merupakan tanaman sub-tropis dan tropis yang menyukai banyak
sinar matahari dan air yang melimpah (akar tidak tergenang) untuk pertumbuhan
optimal. Beberapa spesies yang dikembangkan yaitu Saccharum officinarum, S.
spontaneum, S. barberi, dan S. sinense. Tanaman komersial ini memiliki banyak
kultivar yang dapat dimanfaatkan oleh petani dalam usahataninya. Kemasakan
5
tebu biasanya terjadi pada umur 12 bulan. Rata-rata tebu yang masak memiliki
kandungan gula 10% dari bobot tebunya. Jika estimasi produktivitas tebu 100 ton
per hektar, maka gula yang diperoleh sebesar 10 ton per hektar. Beberapa faktor
yang membedakan kandungan gula dari satu kebun dengan kebun lainnya yaitu
varietas tebu, perubahan musim, dan perbedaan keadaan lokasi (SKIL, 1998).
Tebu (Saccharum officinarum) yang banyak dikembangkan oleh
masyarakat merupakan tanaman C4, yang menyimpan hasil produksinya dalam
batang. Tebu merupakan salah satu tanaman yang sangat efisien memproduksi
karbohidrat melalui fotosintesis dibandingkan tumbuhan lain. Fotosintesisnya
melibatkan 2 kumpulan sel yang ditunjukkan dengan adanya Kranz Anatomi,
yaitu perpindahan struktur dalam prosesnya, yang melibatkan sel-sel mesofil dan
sel-sel seludang pembuluh. Tanaman C4 lebih efisien ketika proses reduksi CO2
dan tingkat fotorespirasinya rendah. Tanaman ini cukup beradaptasi dengan iklim
yang agak panas.
Tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur, mudah
menyerap tapi juga mudah melepaskan air. Di Indonesia tebu dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1300 m (LIPI, 1978). Tanaman tebu sangat toleran pada kisaran
kemasaman tanah (pH) 5-8. Jika pH tanah kurang dari 4.5 maka kemasaman tanah
menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman, seperti pada beberapa kasus
disebabkan oleh pengaruh toksik unsur aluminium (Al) bebas. Pemberian kapur
pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu. Hasil tebu pun
akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara makro
sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi dari
batas kritisnya(Balai Penelitian Tanah, 2010).
Sifat iklim yang diinginkan tanaman tebu adalah iklim kering pada musim
kemarau selama 3-6 bulan dengan suhu optimum 25-300C. Suhu udara yang tinggi
diikuti dengan kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi, akan sangat
menguntungkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Cuaca kering yang dingin atau
cool dry weather dapat mempercepat pematangan (Balai Penelitian Tanah, 2010).
Menurut Bey dan Las (1991) menyatakan bahwa curah air hujan bagi
pertumbuhan tanaman tebu rata-rata 45-145 mm/bulan dengan radiasi surya
berkisar antara 1.0-1.4 kal/cm2/menit.
6
batang tebu dan dianalisis 7 kali berturut-turut dalam hal polarisasi, brix, nilai nira
dan harkat kemurnian (HK). Tujuan dari perhitungan ini yaitu mengetahui berapa
besar selisih rendemen batang atas dan bawah. Pada tebu yang tua, perbedaan atau
selisih tersebut berkurang, dan rendemen rata-ratanya bertambah, dan pada titik
tertentu tetap. Pada tingkat inilah tebu dinyatakan mencapai tingkat kematangan
tertinggi, meskipun itu belum berarti tanaman tebu di areal tersebut sudah saatnya
ditebang (Moerdokusumo, 1993).
Ketika tebu mencapai kemasakan yang maksimal, maka rendemen dan
kadar P2O5 akan tinggi dan kadar gula reduksi akan turun. Jadi keuntungan yang
akan diperoleh apabila penebangan dilakukan pada saat masak optimal dengan
potensi produksi gula tertinggi. Kadar P2O5 yang memegang peranan penting
dalam proses pemurnian nira di pabrik juga dalam kondisi tertinggi dan akan
mengurangi biaya penambahan P2O5. Penambahan P2O5 dimaksudkan untuk
membantu proses pemurnian nira dan agar inkrustasi di pan penguapan sesedikit
mungkin dan tidak terlalu sulit dibersihkan (Mochtar, 1989).
Kemasakan tebu dalam beberapa kondisi tertentu dapat mengalami
kendala sehingga kandungan sukrosanya tidak mencapai sepenuh potensinya.
Cuaca yang basah pada saat tanaman tebu mendekati umur panen, misalnya, dapat
mengakibatkan tanaman gagal mencapai puncak kemasakan potensialnya.
Demikian pula intensitas penyinaran yang tidak maksimal akibat cuaca yang
sering berawan selama periode pemasakan, seperti yang sering dialami oleh
pertanaman tebu di wilayah tropika, dapat menyebabkan pencapaian kadar gula
atau rendemen yang relatif rendah.
Teknologi zat pemacu kemasakan tebu (ZPK, cane ripener) mulai
diperkenalkan di pertengahan tahun 1970an, terutama di perkebunan-perkebunan
di Hawaii, Florida, Lousiana, Afrika Selatan, dan Brasil. Tujuan aplikasi ZPK
adalah untuk memacu kemasakan tebu, khususnya di dalam situasi yang tidak
ideal untuk berlangsungnya proses pemasakan secara alami. Bahan kimia yang
digunakan sebagai ZPK pada umumnya adalah sama dengan herbisida, namun
diaplikasikan dalam dosis sub-letal (non-herbisida) (Widyatmoko, 2009).
Zat Pemacu Kemasakan (ZPK) pada tebu atau cane ripener merupakan
suatu bahan kimia yang dapat mempercepat kemasakan tebu dengan mekanisme
10
menyimpan hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa pada batang tebu. Penggunaan
ZPK biasanya ditujukan pada tebu yang secara fisiologis belum masak atau
mengalami penundaan kemasakan akibat berbagai faktor seperti kondisi tanah
kelebihan air dan kebanyakan pupuk nitrogen (N). Percepatan proses kemasakan
pada akhirnya akan berdampak terhadap rendemen atau perolehan gula. Namun
walaupun demikian pemberian ZPK tidak bisa meningkatkan rendemen di atas
batas optimum yang dihasilkan tebu secara alamiah. Bila secara alami suatu
varietas tebu memiliki potensi rendemen 11% pada umur 12 bulan, maka
pemberian ZPK tidak akan menyebabkan rendemen menjadi lebih dari 11%.
Aplikasi ZPK diperlukan pada saat awal giling, terutama pada hamparan
tebu dengan komposisi varietas yang memiliki komposisi kemasakan kurang baik
atau didominasi oleh varietas tebu masak tengah hingga akhir. Pada awal musim
giling dibutuhkan tebu masak relatif banyak, sementara sebagian besar tebu yang
ada masih belum masak. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya diaplikasikan
ZPK.
Secara alamiah sebenarnya kemasakan tebu bisa dipercepat dengan cara
mengeringkan tanah, menurunkan suhu sekitar perakaran, membuat tanaman
stress (kekurangan) hara atau memperpendek penyinaran matahari. Akan tetapi,
cara-caratersebut relatif sulit dilakukan dan perlu waktu cukup panjang. Iklim
tropika basah seperti di Indonesia sangat bertentangan dengan kondisi yang
dibutuhkan untuk proses pemasakan tebu secara alami. Karena itu alternatif yang
paling efektif adalah dengan menyemprotkan ZPK (Toharisman, 2009).
Pembakaran
tanaman tebu, kebiasaan membakar tebu atau sisa-sisa daun tebu di lapang harus
dihilangkan. Pembakaran daun tebu bisa menyebabkan pencemaran udara, serta
akan menghilangkan berbagai unsur hara tanah yang mudah menguap seperti
nitrogen dan belerang. Daun tebu dan sisa tanaman tebu lainnya sebaiknya
dijadikan mulsa atau dikomposkan (Ditjenbun, 2003).
6 kebun tebangan per wilayah. Hal ini bertujuan agar kontrak petugas
tebangan terjangkau masing-masing wilayah.
2. Penjadwalan kebun ditebang berdasarkan analisis kemasakan yaitu
faktor kemasakan (FK), koefisien peningkatan (KP), koefisien daya
tahan (KDT).
3. Pemenuhan bahan baku tebu sesuai kapasitas giling harian dan total
4. Pengendalian sisa tebu pagi di emplasemen 0-10% kapasitas giling.
5. Pada periode awal ditetapkan brix minimal nira tebu yang ditebang
lebih dari sama dengan 17%.
gula tinggi. Di PG Subang, tunggak pada tahun 2006 mencapai 7.4 kuintal per
hektar (Renatho, 2007). Pada PG Sindang Laut dan Tersana Baru, untuk tinggi
tunggak maksimal yang diperbolehkan adalah 5 cm (Supatma, 2008).
METODE MAGANG
Metode Pelaksanaan
pertanaman dan produksi, norma kerja di lapang serta organisasi dan manajerial,
dan data lain yang terdapat diperusahaan yang mendukung. Data brun to crush
bulan Juni dan jumlah tenaga kerja juga diperoleh dari data perusahaan.
di Indonesia ini, diproses secara higienis dan berkualitas tinggi dengan standar
internasional. Pengolahannya menggunakan mesin-mesin otomatis yang modern
dan berteknologi tinggi tanpa perlu melibatkan kontak fisik manusia untuk
mencegah kontaminasi oleh bakteri, debu, dan partikel asing lainnya. Produk
”GULAKU” telah didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Jenis tanah di areal perkebunan PT GPM yaitu ultisol dan aluvial. Ultisol
memiliki ciri-ciri warna yang relatif krem tua terang, tanahnya dalam dan liat.
Aluvial umumnya dekat dengan aliran air, dominana sedimen. Jika dilihat dengan
penampang melintang, maka akan terlihat dalam satu tanah terdapat lapisan-
lapisan yang berbeda. Derajat kemasaman (pH) tanah antara 4.5-6.5. Tipe iklim
menurut Schmidt & Ferguson, perkebunan tebu PT GPM termasuk ke dalam tipe
22
B. Suhu udara rata-rata berkisar 26.1-27.1 0C, dengan kecepatan angin rata-rata
0.79-3.09 km/jam. Rata-rata curah hujan tahunan yaitu 2 424.6 mm dengan
jumlah hari hujan rata-rata 141 hari. Jumlah bulan basah berturut-turut yaitu 5-6
bulan (November-April). Data curah hujan selama 10 tahun terakhir dapat dilihat
pada Tabel Lampiran 3.
tanaman baru. Sistem RC dapat dilakukan hingga 2-3 kali tahun tanam tergantung
dengan sifat atau varietas tebu yang ditanam. Jika tanaman dinilai tidak mampu
berproduksi lagi selanjutnya dilakukan replanting. Kategori tanaman yang
dibudidayakan lainnya yaitu Plant Cane (PC) atau tanaman tebu pertama yang
ditanam pada areal yang baru dibuka. Perkebunan tebu GPM pada tahun 2010
membuka areal penanaman baru untuk dipanen pada tahun selanjutnya.
Sistem tanam yang digunakan yaitu sistem baris ganda (double row). Jarak
tanam antar baris yang berdekatan 65 cm, dan antar double row 185 cm.
Produktivitas tanaman rata-rata 80 ton/ha dari varietas yang dikembangkan
perusahaan ataupun yang didatangkan dari luar negeri seperti Taiwan.
Keragaan Pabrik
PT GPM memiliki pabrik sendiri yang dibangun sejak bulan Juni 1986 dan
mulai beroperasi penuh mulai tahun 1987. Kapasitas giling awal pabrik ini 8 000 -
10 000 TCD. Pada tahun 1994 kapasitas giling pabrik ditingkatkan menjadi 10000
-12 000 TCD. Waktu giling pabrik mulai bulan April sampai dengan November.
Produksi gula sejak 2005-2009 yaitu 152 608.62 ton, 136 736.26 ton, 154 904.36
ton, 168 264.64 ton, dan 153 045.08 ton.
Kebutuhan listrik dipenuhi dengan memiliki sumber pembangkit listrik
sendiri menggunakan 2 Boiler dengan kapasitas 120 ton bagas per jam per unit,
3unit Turbo Generator dengan kapasitas 6 000 KVA per unit, dan 3 unit Diesel
Generator dengan kapasitas 750 KVA per unit.
Aspek Teknis
Persiapan lahan akan dilakukan pada areal yang ditujukan untuk kategori
RPC. Pertimbangan suatu petakan siap dibongkar dan replanting yaitu apabila
tanaman tidak mampu menghasilkan produksi optimal pada musim selanjutnya.
Alasan lainnya yaitu kondisi areal yang rusak berat akibat aktivitas mekanikal
harvesting. Program RPC dilakukan sekitar 30% dari seluruh program
penanaman.
Kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan kondisi lahan yang siap
tanam dengan sebaik-baiknya demi mendukung pertumbuhan tanaman. Kondisi
lahan yang diharapkan yaitu tanah yang gembur sehingga infiltrasi air, sistem
aerasi, dan perkembangan akar menjadi lebih baik. Kegiatan persiapan lahan pun
diharapkan mampu memutus siklus perkembangan organisme pengganggu
tanaman (gulma, hama, dan penyakit).
Setelah tebangan selesai, lahan diolah dalam beberapa tahapan untuk siap
ditanami kembali. Langkah-langkah dalam program persiapan lahan (land
preparation) yaitu pencacahan tunggul (brushing), pembajakan (ploughing),
penggaruan (harrowing), pembuatan alur tanam (track marking), ripping,
furrowing and basalt-carbofuran application. Rangkaian kegiatan ini
membutuhkan waktu minimal dua minggu hingga siap tanam.
Perbaikan lahan seringkali dilakukan sebelum kegiatan pengolahan dengan
tujuan mengatur dan menata kembali saluran drainase, menghilangkan genangan-
26
genangan pada petak (water logging), dan mengatur tanah agar tidak tererosi.
Perbaikan lahan ini dilakukan dengan memperhatikan kontur lahan. Alat yang
digunakan yaitu bulldozer dan excavator.
Brushing
Aplikasi Stillage
Tabur Blotong
Pre Emergence
Track Marking
Cultivation
Ripping
Top Dressing
Furrowing, Basalt, Carbofuran
(A) (B)
Diagram 1. Tahapan (A). Land Preparation (LP),
(B). Mechanical Maintenance Replanting Cane (RPC)
petakan itu sendiri. Areal yang basah akan sulit dikerjakan dan membutuhkan
waktu yang cukup lama serta tingkat resiko alat rusak cukup tinggi.
Pada kegiatan ini, traktor dijalankan searah dengan baris tanam yang lama.
Tiap petakan diawali dengan mengerjakan pada bagian pinggir yang berlawanan
arah lintasan baris yang lama. Pada petakan dengan baris tanam yang lurus,
bagian pinggir cukup dilakukan pada dua sisi saja. Sedangkan petakan dengan
baris tanam yang miring/diagonal maka dilakukan pada semua sisi pinggirnya.
b. Aplikasi Stillage
c. Tabur Kapur
Jenis tanah di areal perkebunan PT GPM yaitu ultisol dan aluvial, dengan
derajat kemasaman (pH) tanah antara 4.5-6.5. Hal ini menjadi faktor pembatas
dalam budidaya tebu karena tanaman tebu akan berkembang optimal pada pH
netral. Oleh karena itu, dilakukan kegiatan tabur kapur dengan tujuan
meningkatkan pH tanah dan kadar Ca tanah. Jenis kapur yang diberikan yaitu
gypsum dan lime dengan dosis masing-masing yaitu 1 ton/ha dan 2 ton/ha. Pada
kondisi tingkat unsur hara Mg yang rendah sering kali suatu areal diberikan
dolomit.
Kegiatan ini dilakukan oleh kontraktor dari luar perusahaan yang diawasi
pelaksanaannya oleh mandor. Jumah kapur yang dibawa dari gudang disesuaikan
luasan petak yang dituju. Selanjutnya kapur dibawa dengan traktor hingga
petakan. Karung-karung berisi kapur langsung diecer pada titik-titik yang
memudahkan dan merata pembagiannya. Penaburan dilakukan oleh tenaga
manusia dengan cara ditebar. Kontraktor rata-rata mampu menyelesaikan setiap
hari seluas 6 ha.
Tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur, mudah
menyerap dan mudah melepaskan air. Kemampuan blotong dalam menahan air
tanah, banyak digunakan PT GPM di areal perkebunannya. Perkebunan lahan
kering memerlukan aplikasi ini untuk menjaga air tanah pada musim penghujan
dan menyediakannya pada musim kemarau. Blotong merupakan limbah dari
proses pengolahan tebu menjadi gula. Blotong secara fisik berwarna cokelat
kehitaman, agak kasar, dan menimbulkan bau yang tidak sedap.
29
Blotong yang keluar dari pabrik diangkut dengan dump truck ke areal
dengan kapasitas tiap truk sekitar 8 ton. Areal yang diberikan blotong diutamakan
pada areal dengan kondisi fisik tanahnya sulit menampung air atau rusak. Pada
aplikasi di lapangan, blotong ditebarkan pada areal yang cenderung dekat dengan
pabrik. Hal ini terkait dengan tidak seimbangnya jumlah unit pengangkut dengan
kecepatan pabrik menghasilkan blotong.
Dosis yang digunakan yaitu 40 ton/ha atau dibutuhkan 5 truk pengangkut
tiap hektarnya. Cara pemberiannya yaitu tiap 1 ha (27 double row), blotong
diletakkan di bagian tengah-tengah baris. Kemudian diletakkan 5 tumpukan
blotong dengan jarak yang sama. Selanjutnya blotong diecer dalam jumlah yang
lebih sedikit menggunakan tenaga manusia. Blotong diecer menjadi sekitar 60 kg
kemudian menjadi 30 kg. Blotong akan merata di petakan seiring dengan
berjalannya traktor pada kegiatan pengolahan.
e. Pembajakan (Ploughing)
140 HP. Ukuran masing-masing mata singkal yaitu sekitar 60 cm. Kedalaman
olah bajak ini yaitu 40 cm.
Arah kerja traktor garu tegak lurus dengan arah pembajakan. Hal ini
dimaksudkan agar bongkahan tanah dapat lebih remah. Pada kondisi tertentu
apabila tanah kurang remah maka dilakukan harrowing kedua dan seterusnya.
Sistem penanaman tebu yang digunakan yaitu sistem double row atau dua
alur tanam. Pembuatan alur tanam (furrowing) ini dilakukan bersamaan dengan
pengaplikasian pupuk dasar dan pemberian carbofuran (basalt-carbofuran
application). Kegiatan ini menggunakan traktor medium berdaya 140 HP dengan
implemen furrower and basalt-carbofuran application. Jarak antar double row
yang terbentuk selebar 60 cm. Kedalaman olah furrower sekitar 30 cm.
34
Pupuk dasar yang digunakan yaitu ZA dan TSP dengan dosis masing-
masing 100 kg/ha. Kedua pupuk tersebut dicampur di gudang pupuk yang
jumlahnya disesuaikan dengan luasan petak yang dipupuk. Pupuk dimasukkan ke
dalam 2 hopper dengan kapasitas masing-masing 250 kg. Aplikasi karbofuran
menggunakan furadan dengan dosis 30 kg/ha. Kapasitas kerja alat yaitu 0.5-0.6
ha/jam. Biasanya traktor dijalankan dengan kecepatan sekitar 23 km/jam.
Kegiatan ini merupakan tahapan terakhir pada pengolahan lahan, sehingga tanah
siap untuk ditanami tebu.
Hal ini bertujuan untuk memperoleh bibit yang sehat dan terjaga kualitas fisik,
fisiologis, dan genetiknya.
Salah satu kegiatan penting dalam pembibitan yaitu dongkel anak bibit.
Kegiatan ini merupakan kegiatan seleksi dengan membuang bibit tanaman yang
tidak termasuk dalam varietas pada petak tersebut (off type). Dongkel anak bibit
dilakukan pada tanaman yang telah berumur sekitar 3 bulan. Tujuan kegiatan ini
untuk menjaga kemurnian varietas, atau meminimalisir pencampuran varietas di
lahan. Kemurnian varietas sangatlah penting dalam budidaya tanaman. Kemurnian
varietas akan memberikan peluang waktu kemasakan seragam dan menghindarkan
banyaknya jenis organisme pengganggu tanaman.
Pemanenan bibit dilakukan pada umur bibit sekitar 6-7 bulan, dengan
jumlah ruas rata-rata 21. Kegiatan ini dilakukan oleh kontraktor yang telah
bermitra dengan perusahaan. Sistem tebangan dilakukan secara manual
sebagaimana dilakukan pada sistem bundle cane pada tebu giling namun
perbedaannya tebu tidak dibakar dan daun tidak dibersihkan. Tebu dinilai baik
menjadi bibit bila tebu tersebut dipotong hingga ruas terbawah (tunggul pendek)
dan bagian pucuknya dihilangkan agar tunas tumbuh dengan baik.
selanjutnya siap dibawa ke areal tanam. Bibit yang ditebang dapat juga digunakan
untuk kebun bibit selanjutnya dengan diberikan perlakuan perendamaan pada air
panas (hot water system) terlebih dahulu.
Tenaga kontraktor selanjutnya mengecer tiap ikat bibit pada alur tanam
yang ada. Standar penanaman yang baik yaitu single-overlapping 50%, atau 1
bibit diletakkan berhimpitan setengah bagiannya dengan 1 bibit lainnya.
Pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa sistem tanam yang diterapkan yaitu
double-overlapping 25%, yaitu 2 bibit diletakkan berhimpitan seperempat
bagiannya dengan 2 bibit lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga daya
tumbuh bibit supaya tinggi. Sistem ini secara analisis menunjukkan bahwa
pertanaman terlalu rapat dan dapat mengakibatkan persaingan faktor tumbuh
seperti hara, air, dan udara antar tanaman.
37
Bibit yang telah diecer pada alur tanam kemudian dicacah dengan
menggunakan golok tebang. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi dominasi
apikal pada batang sehingga tunas akan banyak yang tumbuh. Selanjutnya
tanaman disiram dengan air irigasi selama 2 jam. Jika irigasi telah selesai maka
tanaman dapat ditutup (cover) dengan tanah dan dipadatkan (compact) dengan
memanfaatkan ban traktor yang berjalan. Pemadatan ini berfungsi melekatkan
batang dengan tanah lebih awal, sehingga kebutuhan hara akan lebih mudah
dipenuhi dan tunas baru segera terbentuk. Kapasitas tenaga kerja tanam mulai dari
mengecer, mencacah, serta menutup bibit dengan tanah rata-rata dapat mencapai
600 m DR/orang/hari atau 3 DR utuh/orang/hari.
Kendala yang sering dihadapi pada tahapan ini yaitu ketersediaan bibit di
areal tanam karena faktor jarak antara kebun bibit dengan areal yang hendak
ditanam cukup jauh. Standar penanaman yang diterapkan perusahaan perlu
diperhatikan atau diawasi dengan baik, agar bibit tumbuh menjadi optimal dengan
jumlah populasi yang tinggi (mencapai 80% daya tumbuhnya).
Pengairan/Irigasi
Tanaman tebu memerlukan air yang lebih banyak pada tahap pertumbuhan
awal. Perkebunan tebu di lahan kering menerapkan sistem irigasi curah (springkle
irrigation) sebagai pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman. Irigasi dilakukan pada
38
tanaman RPC maupun RC. Kegiatan penyiraman pada tanaman RPC dilakukan
sebanyak 2 kali. Penyiraman pertama dilakukan sebelum bibit ditutup tanah
(covering) dan penyiraman kedua dilakukan setelah tanah ditutup. Penyiraman
pada kategori RC dilakukan setelah tebu dikepras.
Irigasi dilakukan selama 2 jam dengan target per hari sebesar 2,5 ha.
Perusahaan telah memberikan ketentuan bahwa pemakaian pompa hanya
dilakukan dalam rentang waktu pkl 07.00-22.00. Peralatan yang digunakan yaitu
engine pump dan aksesorisnya. Penyiraman selama 2 jam pada 2 titik (gun)
mampu menyirami lahan seluas 0,5 ha. Lebar semprotnya sebesar 20-40 m dengan
overlapping 10%. Air yang digunakan berasal dari lebung yang dipompa dengan
engine pump (mesin diesel) dan dialirkan melalui pipa-pipa (galvanis)
berdiameter 4 inci dan 5 inci dengan panjang 5.9 m.
herbisida yang digunakan yaitu herbisida berbahan aktif 2,4 D Amine 2 l/ha,
paraquat 2 l/ha, serta surfactan 0.5 l/ha. Pemberiannya dilakukan oleh pekerja
dengan cara disemprot menggunakan knapsack sprayer berukuran 16 l. Volume
semprot yang biasa digunakan yaitu 32 l/ha. Pemberian pada tahap pertumbuhan
ini dapat dilakukan hingga lebih dua kali jika aplikasi tidak ada atau kurang
berpengaruh.
c. Klentek
Kultivasi (Cultivation)
Lapisan tanah perlu digemburkan agar lapisan tanah memiliki aerasi yang
baik. Kutivasi merupakan kegiatan menggemburkan tanah sekaligus
mengendalikan gulma dengan menaikkan lapisan tanah ke permukaan. Kultivasi
43
(a)
(b)
Gambar 15. Implemen Kultivasi (a) leaf tine, (b) tera tine
44
Pemupukan (Fertilizer)
Kebutuhan tanaman akan hara tidak sepenuhnya dapat dipenuhi dari media
tanamnya (tanah). Hara perlu disuplai dengan pemupukan. Program pemupukan
merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dilakukan untuk mencapai
produksi yang diinginkan dalam suatu usaha perkebuan. Besar kecilnya jumlah
pupuk yang diberikan harus dipertimbangkan. Jumlah pupuk yang diberikan
kepada suatu pertanaman memiliki pengaruh terhadap tanaman yang
bersangkutan, tanah tempat tumbuh, dan pengaruh secara ekonomi terhadap
pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk pembelian pupuk dan tenaga kerja.
Dalam pemupukan sangat penting untuk diperhatikan mengenai jenis pupuk,
jumlah pupuk, waktu pemberian, dan tata cara pemupukan.
Stubble Shaver
Aplikasi Stillage
Irigasi
Cultivasi
Pre Emergence
Sulam
Subsoiling/Ripping
Harversting Program
TEBANG
MUAT
ANGKUT
BONGKAR
a. Program Ripener
meliputi nomor sampel, divisi, nomor petak, varietas, kategori tanam, masa
tanam, umur, jumlah batang, panjang batang, diameter batang, dan berat sampel.
Survei Lapangan
Penebangan Contoh
Observasi Bahan
Jumlah
Panjang (cm)
Berat (kg)
Diameter batang (cm)
Keberadaan hama atau
penyakit
Penggilingan
dari analisis tersebut dikoreksi dengan suatu konstanta yang telah disesuaikan
dengan alat yang digunakan oleh pabrik. Prosesnya dapat dilihat pada bagan di
bawah ini.
c. Pemanenan (Tebangan)
pada malam hari dan sisanya pada pagi atau siang hari. Pembakaran yang
dilakukan harus memperhatikan kondisi areal, terutama arah angin dan kondisi
petak-petak di sekitarnya, agar api tidak menyebar pada areal yang tidak
ditujukan. Jika angin bertiup dari arah barat ke timur, maka permulaan bakaran
dari tepi petak bagian timur (berlawanan arah). Hal ini dimaksudkan agar bakaran
tidak menyebar pada areal yang tidak termasuk dalam program tebangan. Setelah
sejauh 20 m, kemudian dibakar searah angin atau dari arah petak yang telah
ditebang/ aman agar lebih cepat dan api akan mati pada tengah-tengah petak.
Pembakaran dilakukan oleh tim PMK beranggotakan 4 orang dengan
pembagian tugas yaitu 1 operator, 2 pembakar, 1 penyemprot. Tim memiliki tugas
agar pembakaran dapat dilakukan dengan sempurna dan api dapat dikendalikan.
Bahan bakar yang digunakan campuran solar dan avtur dengan menggunakan alat
lighted (5 liter). Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk membakar sekitar 10-15
menit tergantung dengan luas dan letak petakan, kondisi pertanaman (kerapatan
tanaman, aplikasi ripener, banyaknya gulma, klentekan), dan kondisi cuaca.
(a)
53
(b)
Gambar 17. (a) Pembakaran dan (b) Penebangan Tebu
Selanjutnya tebu ditumpuk untuk memudahkan proses muat. Pada sistem loose
cane tebu ditebang dan langsung ditumpuk 8:1. Sistem tumpukan ini maksudnya
dari 8 baris ditumpuk pada 1 baris. Tumpukan tebu diletakkan pada baris keempat
dan kelima. Sistem tumpukan pada bundle cane yaitu 4:1. Tebu yang telah
ditebang dari 4 baris kemudian diikat dengan kulit tebu rata-rata setiap 30 kg dan
ditumpuk pada 1 baris (yaitu baris kedua dan ketiga).
Gambar 18. Model Penumpukan Loose Cane (kiri) & Bundle Cane (kanan)
Faktor yang menjadi pembeda antara sistem loose cane dengan bundle
cane yaitu sejak muat tebu hingga dibongkarnya. Pada saat muat, sistem loose
cane menggunakan peralatan-peralatan atau mesin, sedangkan bundle cane secara
manual. Pengangkutannya pun berbeda dalam alat transportasi antara keduanya.
Begitu pula perlakuan pada bongkaran di cane yard pabrik.
Pada sistem loose cane, tebu yang ditebang dan selesai ditumpuk
kemudian dimuat dengan menggunakan grabloader (GL) dan side tipping (STP).
Penggunaan STP baru diterapkan 2 tahun belakangan ini. Penggunaan STP
dimaksudkan untuk mengganti penggunaan trailer di areal yang menyebabkan
pemadatan tanah. STP memiliki lebar ban yang lebih besar dibandingkan trailer.
Akan tetapi STP ini secara prosedur, digunakan pada sistem chopped cane atau
tebu potong. Jika tebu potong dimuat ke dalam STP maka akan optimal
dibandingkan pada sistem loose cane (tebu dalam bentuk lonjoran/stalk).
Jika tumpukan tebu diletakkan pada baris keempat dan kelima, maka GL
akan bergerak diantara baris ketiga atau keempat dan STP akan mengiringi GL
diantara baris keenam. Traktor yang dilengkapi grabloader, beberapa diantaranya
dipasang pada sisi kanan (sehingga dapat bergerak pada sisi kanan saja) dan
dipasang pada bagian depan traktor (sehingga dapat bergerak ke sisi kanan dan
55
kiri). Setiap STP mampu dipenuhi 3 kali cakupan grabloader. Tiap STP mampu
memuat tebu seberat 2.5-3 ton.
(a)
(b)
Gambar 19. Muat Loose cane (a) grabloader ke side tipping, (b) side tipping ke
trailer
dibuat rute jalur kosong dan jalur isi (dengan muatan). Hal ini dilakukan dalam
rangka efisiensi alat dan menghindarkan terjadinya penumpukan alat ataupun
kecelakaan.
Tebu yang ditebang pada sistem bundle cane selanjutnya diikat dan
diangkut dengan tenaga manusia. Tebu ditumpuk di atas truk secara rapi agar
aman dan tidak tumpah/ tercecer selama perjalanan. Tebu yang disusun
diamankan dengan sabuk/tali. Tinggi muatan dapat mencapai 6 m dengan berat
rata-rata 15 ton.
Tebu yang telah dimuat dari areal, ditransportasikan ke pabrik untuk siap
digiling. Dalam sistem transportasi/pengangkutan tebu seringkali terjadi tebu
terjatuh yang dianggap sebagai kehilangan hasil (loses).
Tabel 2. Kehilangan Tebu di Jalan pada Sistem Loose Cane dan Bundle Cane
Sistem Angkutan Berat Tebu Terjatuh di Jalan 500m pertama pengangkutan (ton/ha)*
Loose Cane (LC) 0.014
Bundle Cane (BC) 0.006
*angka dikonversi dengan asumsi 1 muatan seberat 15 ton
Tebu yang masuk ke pabrik ditimbang angkutan terisi dan saat keluar
ditimbang kembali berat kosongnya, sehingga diketahui banyaknya tebu yang
terangkut. Di cane yard pabrik, pembongkaran dilakukan dengan menggunakan
tripper dan lifter (yang diatur dari menara pengawas) serta cane stacker.
57
tertinggal di areal. Tunggul yaitu bagian pangkal tebu yang tersisa karena
penebangan dilakukan tidak rata tanah (standar tebangan perkebunan).
Ukuran contoh evaluasi kehilangan hasil ini yaitu 4 DR x 5 m pada sistem
bundle cane dan 6 DR x 5 m pada sistem loose cane. Kegiatan ini dilakukan pada
areal tebangan tiap kontraktor. Tunggul-tunggul ditebang, pucuk dipotong, dan
lonjoran tertinggal dikumpulkan. Selanjutnya bagian-bagian tersebut dibersihkan
dari tanah, akar, atau daun. Kemudian masing-masing ditimbang beratnya
sehingga dapat diketahui berat tebu tertinggal pada petak contoh tersebut. Nilai
cane wastage dapat digunakan untuk menduga berapa ton tebu yang tertinggal
tiap hektar serta mengevaluasi kualitas tebangan tiap kontraktor.
Gula pasir diolah secara teknologi yang lebih baik sehingga menghasilkan
gula yang bermutu. Proses pengolahan gula yang dilakukan PT GPM
menggunakan sistem sulfitasi. Proses pembuatan gula pasir terdiri atas beberapa
tahap, yaitu:
kualitas bahan baku (tebu), jika kualitas bahan baku rendah cukup memakai
sistem 3 tingkat dan jika kualitas bahan baku tinggi memakai 4 tingkat.
5. Tahap pengeringan dan pendinginan (dryer and cooler)
6. Tahap penimbangan dan pengarungan (weighing and bagging)
Aspek Manajerial
Pengorganisasian Kebun
bertanggung jawab dalam mengelola limbah atau by product berupa stillage dan
blotong sebagai penambah bahan organik bagi tanaman. Pengolahan limbah
pabrik pun perlu dikelola dengan baik untuk mendukung kelestarian lingkungan.
Semua kegiatan budidaya dinilai dan dievaluasi oleh Divisi Quality Control
sebagai masukan untuk perbaikan kegiatan budidaya selanjutnya. Sedangkan
untuk pendataan yang berkaitan dengan kegiatan budidaya dan administrasi
seluruhnya berpusat dan dikelola oleh Divisi Administrasi (PAS/MIS).
c. Karyawan Bulanan
Karyawan bulanan adalah tenaga kerja yang telah diangkat menjadi
pegawai tetap perusahaan. Masa kerja sejak penerimaan SK pengangkatan
62
PEMBAHASAN
banyak di pabrik pada bulan pertama juga kurang efisien. Perolehan gula akan
sedikit pada gilingan pertama karena nira akan banyak menempel pada bahan-
bahan tertinggal/tersisa pada peralatan giling musim sebelumnya. Jika tebu yang
digiling terlalu banyak pada bulan pertama maka akan banyak gula yang terbuang
yang terikut dengan ampas/kotoran.
Kondisi tebu akan terjaga kesegarannya apabila antara waktu pembakaran
hingga digiling ditempuh dalam waktu sesingkat mungkin. Kunci dari kesegaran
ini terletak pada pembakaran/burning (burn to crush). Prinsipnya pembakaran
dilakukan semalam mungkin dan sesedikit mungkin. Penambahan bakaran akan
lebih banyak dilakukan pada pagi atau siang hari. Pertimbangan dari kegiatan
bakaran ini memperkecil waktu tempuh tebu dibakar dan dipanen dari areal
hingga digiling. Kondisi tebu sejak dibakar hingga siap digiling akan mengalami
penurunan kualitas kandungan gulanya.
Pembakaran dilakukan dalam 2 tahap tiap harinya, yaitu pembakaran
pertama sebanyak 30% (dari luasan program tebangan) pada sore atau malam hari,
selanjutnya 70% bagian pada pagi atau siang hari. Jika dalam satu hari ditargetkan
pada sistem loose cane sebesar 5000 ton tebu, dan TCH diperkirakan sekitar
80ton/ha, maka dilakukan tebangan sebanyak 62.5 ha. Pembakaran tahap pertama
sebesar 30% yaitu 18.75 ha dan sisanya 43.75 ha pada tahap kedua. Pada sistem
bundle cane, diusahakan perbandingan pembakaran pertama lebih banyak
daripada bakaran kedua. Tenaga bundle cane akan optimal pada tebangan
pertama, dan akan berkurang kemampuannya pada bakaran kedua.
Bakaran akan sangat terkait dengan kondisi cuaca terutama hujan. Terjadi
kondisi yang diluar perkiraan pada bulan Juni 2010 yaitu curah hujan masih dalam
kisaran yang tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi jumlah tebu dalam memenuhi
kapasitas giling pabrik per hari serta mempengaruhi kerja alat angkut bahkan
memperpanjang waktu penundaan pengangkutan tebu dari areal.
Iklim mikro yang tidak beraturan ini, memberikan dampak yang berarti pada
sistem tebangan yang telah ditetapkan PT GPM. Analisis data (Tabel
4.)menunjukkan bahwa total kiriman tebu berkolerasi nyata dengan rata-rata curah
hujan, dan kolerasi keduanya bersifat negatif (-0.417). Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan curah hujan mengakibatkan berkurangnya total pengiriman
tebu. Persentase kiriman tebu ≤ 30 jam ke pabrik berkolerasi positif dengan total
pengiriman pada hari tersebut (0.665) atau tebu yang terkirim ≤ 30 jam, bobotnya
cenderung akan tetap.
Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa seringkali manajemen
mengambil keputusan secara cepat untuk mengganti petak yang akan dibakar agar
memenuhi kiriman tebu pada hari tersebut. Namun cuaca yang tidak diduga,
seringkali petak yang telah dibakar tersebut juga mengalami hujan. Alat muat dan
angkut dengan kondisi areal yang basah pun mengalami kesulitan bahkan tidak
dioperasikan. Hal inilah yang mempengaruhi pengiriman tebu ke pabrik.
Persentase kiriman tebu ≤ 30 jam mempengaruhi sangat nyata terhadap nilai
brix (0.801) dan pol (0.793). Hubungan antara brix dan pol menunjukkan korelasi
sangat nyata dan bersifat positif (0.999). Analisis data tersebut membuktikan
bahwa prinsip mendasar dari harvesting management adalah tebu yang telah
dibakar dan ditebang untuk sesegera mungkin dikirim dan digiling di pabrik agar
kualitas tebu terjaga. Tebu bakar akan rentan terkena penyakit dan mudah
berkurang kadar gulanya sejak dibakar.
Pelaksanaan Tebang
a) Pemotongan batang tebu diusahakan rata dengan tanah atau minimal 5cm dari
tanah
b) Pucuk dipotong hingga ruas ke lima dari atas (30 cm)
c) Tidak meninggalkan lonjoran (tebu utuh)
Pelaksanaannya yang diawali dengan pembakaran perlu ditindaklanjuti. Hal
ini dikarenakan pembakaran cukup memberikan dampak negatif terhadap tanaman
ataupun kesehatan manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Konservasi terhadap sumberdaya yang ada perlu dilakukan dengan sebaik-
baiknya, terutama pengurangan kegiatan pratebangan.
Kualitas tebangan antara kontraktor tebang loose cane dan bundle cane
secara umum baik. Berdasarakan data pada Tabel 3. diketahui bahwa nilai pucuk,
lonjoran, dan tunggul yang tertinggal (pengukuran setelah tebangan) lebih sedikit
pada loose cane dibandingkan pada bundle cane.
Kehilangan hasil pada bundle cane (Tabel 3.) lebih besar dibandingkan
dengan loose cane diakibatkan banyaknya lonjoran (0.48 ton/ha) yang tidak
terangkut atau tertutupi oleh sampah sisa panen. Kehilangan pucuk dan tunggul
sebesar 0.31ton/ha dan 0.48ton/ha. Dua sistem panen yang diterapkan perusahaan
dinilai baik karena memiliki nilai cane wastage dibawah standar yang ditetapkan
perusahaan.
Penggunaan tenaga tebang sistem loose cane lebih banyak daripada bundle
cane merupakan pilihan yang dianggap tepat oleh perusahaan. Hal ini didukung
dengan, biaya yang dikeluarkan untuk sistem loose cane dalam jumlah banyak
akan sama ataupun menutupi pendapatan seperti penggunaan sistem bundle cane.
Pemakaian sistem loose cane yang lebih banyak ini pun terkait dengan waktu
ataupun capaian target giling. Kemasakan tebu yang semakin menurun dari masa
masak fisiologisnya akan mempengaruhi perolehan gula. Jika waktu penebangan
diundur akibat kekurangan tenaga kerja maka perusahaan akan mengalami
kerugian. Hal perlu meninjau juga penggunaan harvester yang memiliki kapasitas
kerja yang lebih baik dibandingan secara semimanual yang dilakukan selama ini.
Jika kita memprediksi masa depan, maka tenaga tebang tebu semakin lama akan
berkurang. Sehingga untuk mempersiapkan masa tersebut, perusahaan mulai
menggunakan harvester dalam pelaksanaan tebang.
67
Transportasi/Angkutan Tebu
Kegiatan muat dan angkut memerlukan kondisi areal yang optimal atau
tidak basah. Areal yang basah menjadi faktor kesulitan dalam pengoperasian alat,
bahkan menyebabkan tidak beroperasinya alat. Sistem bundle cane perlu masuk
ke areal untuk memudahkan dalam proses muat dan angkut. Transportasi pun
dipengaruhi dengan kondisi jalan yang baik. Jika jalur/jalan angkutan tidak baik
maka akan mengakibatkan tebu terjatuh bahkan dapat berakibat angkutan terbalik
dan muatan tebu tumpah. Kehilangan tebu di jalan banyak terjadi pada angkutan
tebu loose cane dibandingkan bundle cane yaitu sebesar 0.014ton/ha (Tabel 2.).
Perbandingan sistem loose cane dan bundle cane mengalami perubahan dari
tahun sebelumnya sebesar 30:70, menjadi 60:40. Penggunaan sistem tebangan
loose cane memiliki resiko yang cukup besar dibandingkan dengan bundle cane
karena pada pelaksanaannya kondisi lingkungan dalam kondisi normal (tidak
hujan), sedangkan saat-saat ini iklim tidak menentu. Sedangkan sistem muat
bundle cane sangat rapih sehingga kecil kemungkinan jatuh di jalan.
Tenaga Kerja
Tenaga tebang yang direkrut perusahaan secara langsung pun dalam jumlah
yang banyak. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya jumlah kontraktor dan
tenaga tebang kontraktor, sehingga untuk memenuhi target pengiriman tebu tiap
harinya, perusahaan melakukan perekrutan sendiri. Jumlah kontraktor dan tenaga
tebang kontraktor yang berkurang didasarkan atas pertimbangan kesejahteraan,
karena hampir seluruh tenaga tebang kontarktor berasal dari Pulau Jawa. Target
kiriman tebu oleh tenaga tebang yang direkrut perusahaan biasanya lebih rendah
daripada target tenaga tebang kontraktor, karena pelaksanaan tebangan
memerlukan keahlian khusus.
69
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bey, A. dan Las, I. 1991. Strategi Pendekatan Iklim dalam Usaha Tani. Kapita
Selekta Dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Hal 31
Ditjenbun. 2003. Prospek dan Peluang Produksi Gula Tebu Tahun 2008, Klas
Pengelompokan Lahan. http://ditjenbun@deptan.go.id [11 Mei 2009]
Irawan, L. C. 2008. Analisis Beban Kerja pada Kegiatan Tebang dan Muat Tebu
Secara Manual di PG Bungamayang PTPN VII (Persero), Lampung.
Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mochtar, M. 1989. Beberapa Aspek Pra-Panen dan Pasca Panen Yang Perlu
Diperhatikan Dalam Rangka Maksimalisasi Perolehan Gula Dari Tebu.
Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan 23-25
Nov1988. P3GI. Pasuruan: 71-89.
P3GI. 2008b. Gambaran Sekilas Kondisi Pertanaman Tebu Giling Saat Ini Dan
Prediksi Produksi Gula Indonesia Tahun 2008. http://www.p3gi.net [30
April 2009]
Suharyono. 1989. Tebang dan Angkut Di Pabrik Gula Bone. Prosiding Seminar
Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan 23-25 Nov1988. P3GI.
Pasuruan: 753-761.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Perkebunan PT Gula Putih Mataram
74
Lampiran 2. Lanjutan
No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa
Lampiran 2. Lanjutan
No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa
Lampiran 2. Lanjutan
61 14-Mei-10 Land preparation (LP), terutama BU dan TU (Div.3) 3.5 ha 3.5 ha 2.3 ha
furrowing,basalt-carbofuran application
62 15-Mei-10 Land preparation (LP) BU dan TU (Div.3)
63 16-Mei-10 Libur Hari Minggu
64 17-Mei-10 Pengawasan blotong Pabrik dan BU (Div.3)
65 18-Mei-10 Tebang bibit dan Penanaman BU dan TU (Div.3)
66 19-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) BU 1/2 0.036 ha 0.036 ha 0.0001 ha
67 20-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) BU 1/2 0.036 ha 0.036 ha
68 21-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) BU 1/2 0.036 ha 0.036 ha
69 22-Mei-10 Pemupukan dan tera BU 3/6
70 23-Mei-10 Libur Hari Minggu
71 24-Mei-10 Pemupukan BU 3/6 dan 1/7 3.5 ha 3.5 ha
72 25-Mei-10 Pre emergence/boom spraying dan kepras BU 3/6 dan 1/7
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa
Lampiran 2. Lanjutan
No Tanggal Jenis Kegiatan Lokasi Prestasi Kerja (HOK)
Standar Pekerja Mahasiswa
Q = BK x 100 % = 28.92%
BB
83
Lampiran 6. Struktur Organisasi Perusahaan dan Plantation Departement PT Gula Putih Mataram
87
Keterangan:
1: Nomor 13: Suhu (0C) Kegiatan umum yang SKL Pol yaitu nilai pol Nilai Nira
2: Petak 14: Brix (%) dilakukan termuat pada berdasarkan = pol-0.4 (brix-pol)
3: Varietas 15: Skala Pol kolom 1-17 polarimeter/Sucromart
4: Kategori 16: Pol (%) KNT
SKL Brix yaitu nilai brix % Pol yaitu nilai SKL (Kadar Nira Tebu)
5: Masa Tanam 17: Harkat Kemurnian
= Bobot nira/Bobot tebu
6: Umur (bln) 18: Pol APS berdasarkan Hydrometer pol terkoreksi berdasarkan
7: Jumlah Batang 19: Rendemen Brix suhu (dapat diketahui dari Rendemen
8: Panjang Batang (cm) 20: Harkat Kemurnian tabel koreksi) = Nilai Nira x KNT/100
9: Diameter Batang (cm) 21: Top Borer % Brix yaitu nilai SKL
10: Bobot Tebu (gr) 22: Stem Borer brix terkoreksi berdasarkan Harkat kemurnian (HK)
11: Bobot Nira (gr) 23: Intensitas Stem Borer suhu (dapat diketahui dari merupakan pembagian %
12: Skala Brix tabel koreksi) pol dengan % brix
88
Main Road : 20 m
Second Road : 12 m
Infiel Road :8m
Perimeter Road :6m