Anda di halaman 1dari 4

Nama : Raja Harraul Azmi

Kelas : THP-B

1. Definisi dan Sejarah Sagu


Ada berbagai jenis tanaman sumber pati, antara lain padi, gandum, jagung, kentang,
ubi jalar, ubi kayu, barley, dan sagu. Di antara polimer karbohidrat, pati mendapat
perhatian besar mengingat kegunaannya yang luas dalam produk pangan dan
nonpangan, yakni sebagai pengental, penstabil koloid, pembuat gel, bahan pengembang,
dan bahan penahan air (Dalimunthe et al., 2019). Sagu (Metroxylon sagu Rottb.)
merupakan salah satu sumber karbohidrat tanaman tertua yang digunakan oleh
masyarakat di Asia Tenggara dan Oceania. Sebelumnya dilaporkan bahwa luas areal
tanaman sagu di dunia sekitar 2 juta hektar, dengan kapasitas produksi 2,5-5,5 ton pati
sagu kering per hektar (Flach, 1983).
Sagu merupakan tanaman sumber pangan yang kurang dimanfaatkan. Pohon sagu
tumbuh subur di hutan topis dengan suhu udara 25o C dan kelembapan relatif 70%, juga
mampu hidup di lingkungan ekstrem seperti lahan tergenang dan lahan gambut
(Dalimunthe et al., 2019). Metroxylon sagu Rottb. merupakan tanaman sosio-ekonomi
yang semakin penting di Asia Tenggara. Pusat keanekaragamannya diyakini berada di
Nugini. Distribusi Metroxylon yang paling padat tampaknya berada di Kepulauan
Maluku, dengan Ceram (Seran) sebagai center dan papua nugini (Rauwerdink, 1986).
Metroxylon sagu tumbuh secara alami dari kepulauan Pasifik Selatan, membentang
ke arah barat melalui Melanesia hingga Indonesia, Malaysia, dan Thailand, dimana
sebagian besar tanaman budidaya tidak dapat dibedakan dengan spesies liar. Di alam,
palem terdapat dirumpun dan tegakan yang relatif murni dan menempati rawa air tawar
dataran rendah (Johnson, 1977). Dalam sebuah uraian etnobotani disebutkan bahwa
sejak ratusan tahun silam, sebelum keberadaan Kerajaan Sriwijaya, selain beras 20 Sagu
(Metroxylon sagu Rottb.) sebagai bahan makanan pokok, terdapat sejenis pohon
berbatang cukup besar, kulit tipis yang membungkus kayu cukup keras, dan batang
menghasilkan tepung yang disebut dengan tepung sagu (M. sagu). Jenis tepung ini
merupakan bahan makanan pokok bagi penduduk di lahan basah pesisir timur Sumatera
saat itu. Lingkungan alam pesisir timur Sumatera saat itu berada di titik pusat daerah
aliran Sungai Musi (Manguin et al., 2006).

2. Peran sagu dalam pangan dan ekonomi


Sebagai sumber pati, sagu mempunyai peranan penting sebagai bahan pangan.
Pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan tradisional sudah sejak lama dikenal oleh
penduduk di daerah penghasil sagu, baik di Indonesia maupun di luar negeri seperti
Papua Nugini dan Malaysia. Produk-produk makanan sagu tradisional dikenal dengan
nama papeda, sagu lempeng, buburnee, sagu tutupala, sagu uha, sinoli, bagea, dan
sebagainya. Sagu juga digunakan untuk bahan pangan yang lebih komersial seperti roti,
biskuit, mie, sohun, kerupuk, hunkue, bihun, dan sebagainya (Rosida, 2019).
Berdasarkan Ishizuka et al. (1995), sagu mengandung sejumlah besar pati dalam
batangnya dan produktivitasnya dihitung 4 kali lipat yaitu nasi padi. Khususnya di Asia
Tenggara, tepung sagu mempunyai telah digunakan dalam memasak berbagai jenis
masakan seperti jeli,puding, sup, mie, biskuit, sagu mutiara, dan masih banyak lagi.
Komposisi kimia sagu per 100 gram bahan adalah kalori (Kal) 326,82, protein
0.43 g, lemak 0.26 g, karbohidrat 81,19 g, kadar air 18,10 g, abu 0,14 , pati 62,59 g
(Lawalata, 2004) dan vitamin B1 0,1 mg, kalsium (Ca) 10 mg, fosfor (P) 95 mg dan
besi (Fe) 1.5 mg serta mengandung 35 - 39% amilosa (Mahmud et al., 2005). Ditinjau
dari kandungan gizinya, sagu tergolong berkadar protein rendah, namun daya terima
sagu sebagai bahan substitusi pada beberapa produk makanan olahan (snack, mi, gel)
cukup baik. Ini mengindikasikan bahwa potensi sagu dapat ditingkatkan melalui
teknologi pengolahan makanan. Sagu mengandung pati resisten (resistant starch) yang
sangat bermanfaat untuk kesehatan, pemanfaatan pati resisten dapat diarahkan pada
pengembangan pangan untuk penderita diabetes maupun untuk mereka yang
melakukan diet, Selain itu, pati resisten memiliki nilai kalori rendah yaitu 1,9 kal/g,
sehingga dapat menjadikan ingredien untuk pangan rendah kalori (Taggart, 2004).
Sebelum tahun 1990-an, Indonesia pada tahun 1930 sempat menggarap sagu
sebagai komoditi ekspor, yakni berupa ampas serat sagu 3 untuk makanan ternak
sebanyak 15 000 ton, pati sagu kasar 9 000 ton, dan pati sagu halus 27 000 ton. Tahun
1936 dikabarkan masih terus meningkatkan ekspor sagu sebanyak 9 000 ton pati kasar
dan 37 000 ton pati halus. Tahun-tahun berikutnya cenderung menurun, seperti pada
tahun 1954 hanya 2 ton pati sagu kasar, tetapi pada tahun 1974 melonjak, Permintaan
komoditi pati sagu selain untuk konsumsi dalam negeri juga berpotensi menjadi
komoditi ekspor. Permintaan pasar di luar negeri terhadap sagu asal Indonesia cukup
besar jumlahnya. Pada tahun 1985, jumlah permintaan pasar di luar negeri telah
dipenuhi sebesar 50 ton, kemudian pada tahun 1987 adalah sebesar 80 ton. Pada tahun
1988 naik tajam menjadi 120 ton. Permintaan pasar di luar negeri tersebut berasal dari
Singapura, Belanda, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia (Rosida, 2019).

3.Potensi Sagu di Berbagai Daerah


Papua telah dianggap sebagai salah satu pusat keanekaragaman sagu, karena
luasnya tegakan alami dan tingginya variasi genetik pohon sagu yang ditemukan di
kawasan tersebut.(Maturbong dan Luhulima, 2007). Flach (1977) memperkirakan
terdapat total 1200.000 ha tegakan liar dan 14.000 ha tegakan semi budidaya. pohon
sagu di Papua (Irian Jaya) Sayangnya, di sana tidak ada perkembangan signifikan
dalam membangun industri berbasis sagu. Sebaliknya industri sagu di Malaysia (di
Negara Bagian Sarawak) sudah mapan dan telah menjadi salah satu industri penting
yang menyumbang pendapatan ekspor. Pohon sagu memilikiKeuntungan utama dari
tanaman ini adalah kemampuannya untuk tumbuh subur di lahan gambut yang keras
dan berawa lingkungan hidup yang meliputi area seluas 1,5 juta jiwa ha, 12% dari total
luas daratan Sarawak (Ruddle 1977).
Untuk tingkat dunia, 1,4 juta ha tanaman sagu berada di Indonesia dari total
areal sagu 2,47 juta ha. Sisanya adalah di Papua Nugini, Malaysia, Thailand, Filipina
dan negara-negara lain. Potensi sagu di Indonesia sangat besar, khususnya Irian Jaya
dan Maluku di wilayah Indonesia Timur (Flach, 1977). Luas areal tanaman sagu di
dunia lebih kurang 2.187.000 hektar, tersebar mulai dari Pasifik Selatan, Papua Nugini,
Indonesia, Malaysia, 2 dan Thailand. Sebanyak 1.111.264 hektar diantaranya terdapat
di Indonesia. Daerah yang terluas adalah Irian Jaya, menyusul Maluku, Sulawesi, Riau,
Kalimantan, Kepulauan Mentawai, dan daerah lainnya. Perkiraan luas areal tanaman
sagu di Indonesia. Luas areal sagu adalah 850.000 hektar dengan potensi produksi
lestari 5 juta ton pati sagu kering per tahun. Luas areal sagu tidak kurang dari 740 ribu
hektar dengan perkiraan produksi 5.2 – 8.5 juta ton pati sagu kering per tahun (Rosida,
2019).
Sekitar 60% areal sagu dunia terdapat di Indonesia dan sekitar 90% berada di
Papua, dengan potensi produksi berkisar 8,4-13,6 juta ton per tahun. Data sagu terbaru
dilaporkan oleh Tim P4B IPB (2013) bahwa ternyata luas area sagu di Indonesia
mencapai 3,5 juta ha, dan penyebaran terbesar terdapat di Provinsi Papua dan Papua
barat, yaitu 3.173.322 ha. Negara lain penghasil sagu antara lain adalah Papua Nugini
1,02 juta ha, Malaysia 33.000 ha, serta Thailand, Filipina, dan Negara Kepulauan
Pasifik 20.000 ha (Jong 2003). Penyebaran tanaman sagu di Indonesia terutama di
daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera
Barat ( Mentawai), dan Riau (Syakir et al., 2014).

Daftar Pustaka
Dalimunthe, L.M., G.K. Rana, N. Ekasari, P.I. Iskak, dan J. Andriani. 2019. Sagu
(Metroxylon sagu Rottb.). Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi
Pertanian. Jakarta.
Flach M. 1977. Yield potential of the sago palm and its realisation. Papers of the First
International Sago Symposium. 157–77.
Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication, Exploitation, and Product. FAO Plant
Production and Protection. Rome.
Ishizuka, K., S. Hisajima, and D.R.J. Macer 1995. Sago palm, a promising renewable
carbohydrate resource. Proceedings of UNESCO-Univ. Tsukuba Sci
City, Japan. 75–6.
Johnson, D. 1977. Distribution of sago making in the old world. Proceedings of the
first international sago symposium, Kuching, July 5–7, 1976. 65-75.
Jong, F.S. 2003. Pembangunan sebuah perkebunan sagu secara maju dengan
rekomendasi khusus Papua. Prosiding Lokakarya Nasional Pendayagunaan
Pangan Spesifik Lokal Papua. Universitas Negeri Papua, Jayapura, 2-4
Desember 2003..15-26.
Lawalata, V.N. 2004. Kajian Pemanfaatan Kenari (Canarium ovatum) untuk
Meningkatkan Nilai Gizi Sagu Mutiara. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. 1-93.
Mahmud, M.K., Hermana, N.A. Zulfianto, R. Rossana, I. Ngadiarti., B. Hartati,
Bernadus, dan Tinexcelly. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi). Jakarta.
Manguin, P.Yves, Soeroso, dan M. Charras. 2006. Daerah Dataran Rendah dan Daerah
Pesisir dalam Menyelusuri Sungai Merunut Waktu, Penelitian Arkeologi di
Sumatera Selatan. P.T. Enrique Indonesia. Jakarta.
Maturbongs, L. and F. Luhulima. 2007. Strategy for community sago development in
Papua. In:Abstract of the 9th International Sago Symposium. The Philippines.
Rauwerdink, J.B. 1986. An essay on Metroxylon, the sago palm. Principles: Journal of
the International Palm Society. 30(4):165–180.
Rosida, D.F. 2019. Inovasi Teknologi Pengolahan Sagu. Mitra Sumber Rezeki.
Surabaya.
Ruddle, K.R. 1977. Sago in the new world.. Papers of the First International Sago
Symposium. 53–64.
Syakir, M., H. Novarianto, A. Lay, N. Mashud, R. Barlina, S. Karouw , dan M.L.A.
Hosang. 2014. Teknologi Budidaya dan Pascapanen Sagu. IAARD Press.
Jakarta.
Taggart, P. 2004. Starch as Ingredients: Manufacture and Applications. CRC Press.
Baco Raton. Florida.

Anda mungkin juga menyukai