Anda di halaman 1dari 104

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang dimana masyarakatnya mengkonsumsi nasi

sebagai makanan pokok. Namun, saat ini mie merupakan pilihan makan pokok setelah

nasi, Menurut Munarso dan Haryanto (2012), konsumsi mie di Indonesia semakin

meningkat, pada tahun 1995 mencapai 3554,5 juta perbungkus yang 3 setara dengan

265,838 ton. Sedangkan pada tahun berikutnya konsumsi meningkat hingga 25% dan

pada awal tahun 2000 hingga sekarang konsumsi mie terus meningkat mencapai 15%

per tahun, dimana bahan baku untuk membuat mie yaitu tepung terigu. Di sisi lain

tingkat produksi gandum dalam negri belum mampu mencukupi kebutuhan tepung

terigu, yang mengakibatkan impor tepung terigu selalu mengalami peningkatan dan

makin membebani devisi negara (Safriani, 2013). Menurut data BPS (2015) impor

tepung terigu Indonesia pada tahun 2015 telah mencapai 7,4 juta ton. Salah satu cara

untuk mengurangi angka impor tepung terigu adalah mensubstitusikan tepung terigu

dengan produk pangan lokal yaitu tepung suweg.

Pemanfaatan tepung suweg sebagai bahan pensubstitusi terigu kini mulai

digemari, suweg merupakan bahan makanan yang mempunyain indeks glikemik yang

rendah, sehingga aman dikonsumsi bagi penderita diabetes. Tepung suweg tidak dapat

diaplikasikan secara optimal sebagai bahan pengganti tepung terigu, dikarenakan tepung

suweg memiliki sifat fungsional yang kurang baik. Oleh karena itu diperlukan teknik

modifikasi tepung suweg dalam pemanfaatan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat

yang lebih luas. Umbi suweg memiliki nilai IG yaitu sebesar 36, dengan beban glikemik

10 sehingga digolongkan sebagai pangan dengan indeks glikemik rendah, yang lebih

1
dianjurkan dalam mengatur diet dan penderita diabetes (Utami, 2008). Pada tepung

suweg mengandung tinggi glukomanan (serat larut air) dan rendah kalori sehingga

memiliki manfaat menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah dan

menjaga berat badan. (Aulia dan Widjanarko,2014)

Peningkatan diversifikasi produk makanan dari suweg dapat dilakukan dengan

mengolah umbi suweg menjadi tepung, sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan

menjadi produk pangan khususnya yang berbahan dasar tepung terigu. Salah satu cara

untuk meningkatkan diversifikasi tepung suweg adalah dengan cara menjadikannya

produk makanan mie basah. Mie basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung

terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan yang

diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan.

Sodium Tripolyphosphate merupakan senyawa polifosfat, STPP banyak

digunakan dalam industri pangan karena memiliki beberapa sifat kimia dan fungsi yang

menguntungkan. Sifat-sifat fosfat yang utama adalah (1) sebagai buffer dan pengontrol

pH; (2) dapat menginaktifasi ion logam yang biasanya merusak sistem pangan dengan

membentuk endapan seperti kation kalsium, magnesium, tembaga dan besi; (3)

berperilaku sebagai polivalensi dan polielektrolit. Fosfat juga berperan dalam hal nutrisi

melalui pembentukan kompleks yang stabil dengan kalsium, besi dan magnesium yang

memungkinkan nutrient tersebut terserap dinding usus dapat digunakan oleh tubuh..

Pengembangan produk perlu diperlukan dan dikembangkan guna untuk

memaksimalkan dan mendayagunakan suweg supaya dapat dimanfaatkan sebagai

alternatif lain sebagai bahan pangan sumber karbohidrat, dengan menggunakan tepung

hasil olahan umbi suweg ini diharapkan akan mengurangi penggunakan pada tepung

2
terigu dan suweg menjadi bahan pangan yang mempunyai dayaguna baik dan

mempunyai manfaat lebih bagi kesehatan tubuh. Pengembangan produk ini akan

memanfaatkan suweg sebagai bahan baku dalam pembuatan mie basah dengan

menambahkan Sodium Tripolyphosphate yang berfungsi untuk memperbaiki tektur

pada mie basah.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui interaksi penambahan tepung suweg dengan STPP (Sodium

tripolyphosphate) terhadap sifat fisikokimia dan organoleptik mie basah.

2. Mengetahui pengaruh penambahan tepung suweg terhadap sifat fisikokimia

dan organoleptik mie basah.

3. Mengetahui pengaruh penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) terhadap

sifat fisikokimia dan organoleptik mie basah.

1.3 Hipotesis

1. Diduga ada interaksi penambahan tepung suweg dan STPP (Sodium

tripolyphosphate) terhadap sifat fisikokimia dan organoleptik mie basah.

2. Diduga penambahan tepung suweg mempengaruhi sifat fisikokimia dan

organoleptik mie basah.

3. Diduga penambahan STPP (Sodium tripolyphosphate) mempengaruhi sifat

fisikokimia dan organoleptik mie basah.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suweg (Amorphophallus campanulatus B)

Tanaman suweg (Amorphophallus campanulatus B) telah lama dikenal di

Indonesia. Pada jaman penjajahan jepang, umbi suweg berperan sebagai sumber

cadangan pangan bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat yang terkendala

untuk menyediakan beras atau bahan pangan karbohidrat lainnya. Umbi suweg

termasuk umbi batang, merupakan perubahan bentuk dari batang yang berfungsi sebagai

penyimpanan cadangan makanan sumber karbohidrat (Pitojo, 2007).

Menurut Tjitrosoepomo (1988), pada taksonomi tumbuhan, tanaman suweg

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuh- tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Arales

Famili : Arceae

Spesies : Amorphophallus campanulatus B

Nama umum : Suweg

Nama daerah : Suweg (Jawa)

Tanaman suweg umumnya ditanam di pekarangan dan tegalan. Pertumbuhannya

diawali dengan munculnya semacam kuncup bunga dari dalam tanah pada musim hujan.

Suweg dapat tumbuh baik hingga elevasi 2.500 m diatas permukaan laut dengan curah

hujan 1.000-1500 mm/tahun.

4
Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B) merupakan jenis umbi yang

mulai bertunas di awal musim kemarau dan dapat dipanen pada akhir tahun di musim

kemarau. Tanaman suweg adalah tanaman liar dan tumbuh baik di tempat – tempat yang

lembab dan terlindungi dari sinar matahari. Suweg dapat tumbuh pada tanah dengan pH

agak masam hingga netral dan toleran penaungan hingga 60%. Suweg dapat tumbuh

subur di dataran rendah sampai 800m di atas permukaan laut. Kisaran suhu ideal

pertumbuhan umbi suweg adalah sekitar 25-35oC dengan curah hujan

1000-1500mm/tahun.

Suweg berkembang biak dengan pemisahan anakan atau memotong tunas

anakan yang tersebar di permukaan umbi. Risa (2009) menambahkan, tanah yang cocok

adalah campuran antara tanah humus, lempung, dan pasir. Tanaman umbi suweg akan

menghasilkan umbi siap panen ketika memasuki umur 18 bulan. Menurut Lingga

(2006), pertumbuhan umbi suweg diawali dengan munculnya kuncup bunga dari dalam

tanah pada awal musim hujan. Tanaman ini memiliki kelebihan yaitu dapat tumbuh

dihutan dan dapat hidup di dalam naungan tanaman hutan yang tinggi, tanpa dipelihara

dan perawatan secara kontinyu serta relatif tahan terhadap penyakit. Menurut

Kriswidarti (2002), tanaman umbi suweg terdiri dari dua jenis, yaitu Amorphophallus

campanulatus varietas sylvestris, dan Amorphophallus campanulatus varietas hortensis.

Jenis umbi suweg varietas sylvestris merupakan umbi suweg dengan batang tanaman

yang kasar dan berwarna agak gelap, dan batang 20 serta umbinya yang menimbulkan

rasa sangat gatal. Jenis umbi ini masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan

masih merupakan tanaman liar. Umbi suweg varietas hortensis memiliki ciri-ciri batang

tanaman yang halus dan berwarna hijau dengan bintik-bintik putih disekitar batang,

5
batang dan umbinya tidak menimbulkan rasa gatal yang berlebihan. Jenis umbi suweg

hortensis sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat dengan cara direbus.

Suweg adalah salah satu jenis marga Amorphophallus yang termasuk kedalam

suku talas-talasan (Araceae). Suweg berasal dari daerah Asia tropik dan Afrika

kemudian menyebar sampai ke Indonesia (daerah Jawa), Filipina, dan Kepulauan

Pasifik (Kriswidarti, 1980). Di Indonesia sebagian kecil saja penduduk yang mengenal

dan menanam suweg. Tanaman suweg umumnya tumbuh liar di hutan, dan belum ada

usaha untuk membudidayakannya secara besar-besaran, meskipun suweg memiliki

potensi besar sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi (Lingga et al., 2003).

Tanaman marga Amorphophallus mempunyai 90 jenis. Di Indonesia jenis yang banyak

dijumpai adalah Amorphophallus campanulatus BI sedangkan di Jepang, jenis suweg

yang sudah diusahakan besar-besaran adalah Amorphallus conjac dengan kandungan

pati cukup tinggi (Kriswidarti, 1980).

Ada dua varietas Amorphophallus campanulatus yaitu varietas cyvestris yang

berbatang besar, berwarna agak gelap, umbinya sangat gatal dan varietas hortensis yang

berbatang lebih halus dan umbinya tidak begitu gatal (Kriswidarti, 1980).

Amorphophallus campanulatus varietas hortensis banyak ditanam rakyat sebagai

pangan karena umbinya banyak mengandung pati. Sedangkan Amorphophallus

campanulatus varietas cylvestris belum dimanfaatkan oleh penduduk dan masih

merupakan tumbuhan liar (Rosman dan Rusli, 1991). Hal lain yang juga membedakan

kedua varietas tersebut adalah halus kasarnya bintil-bintil pada tangkai daun yang

berwarna belang-belang. Bintil pada varietas cylvestris jika diraba terasa lebih kasar dan

tajam (Lingga et al., 1991). Suweg mempunyai bentuk umbi setengah bulat dengan

6
diameter antara 10-25 cm. Umbi ini mengandung kristal oksalat yang menyebabkan rasa

gatal bila dimakan. Menurut Rosman et al., (1994) dari 100g umbi suweg

(Amorphophallus campanulatus) mengandung kristal asam oksalat sebanyak 382 mg.

Untuk menghilangkan rasa gatal dapat dilakukan perendaman. Perendaman umbi yang

paling baik adalah dengan menggunakan air bersih dengan lama perendaman 12 jam

asam oksalat akan larut dan terbebas keluar.

2.1.1 Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi Umbi Suweg

Kulit umbi suweg berwarna coklat tua dengan daging umbi yang berwarna

jingga kusam sampai kemerah-merahan dan. memiliki ukuran yang dapat mencapai

diameter 40 cm, dengan bentuk umbi bundar pipih, diameter tinggi umbi bisa mencapai

30 cm, dan memiliki bobot kurang lebih 5 kg. Umbi suweg memiliki kandungan air

umbi cukup tinggi, yakni antara 65 sampai 70%, sementara kandungan patinya di bawah

30%. Umbi suweg dapat mengeluarkan bunga apabila pertumbuhan vegetatifnya telah

mencapai titik optimum dan kandungan pati pada umbi telah penuh. Menurut Kasno

(2009), perkembangbiakan tanaman suweg dapat dilakukan dengan cara generatif

maupun vegetatif. Pada setiap kurun waktu empat tahun tanaman ini menghasilkan

bunga yang kemudian menjadi buah dan biji. Satu tongkol buah dapat menghasilkan

250 butir biji yang dapat digunakan sebagai bibit dengan cara disemaikan terlebih

dahulu.

Cita rasa suweg netral sehingga mudah dipadupadakan dengan beragam bahan

sebagai bahan baku kue tradisional dan modern. Suweg sangat potensial sebagai bahan

pangan sumber karbohidrat (Sutomo, 2008).

7
Menurut Faridah (2005), komposisi utama suweg adalah karbohidrat sekitar 80-

85%. Kandungan serat, vitamin A dan B juga tinggi. Kandungan zat gizi pada umbi

suweg dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Kandungan Gizi suweg dalam 100g Bahan


Kandungan Jumlah (g)
Air 4,74
Abu 4,60
Lemak 0,28
Protein 7,20
Karbohidrat 83,18
Sumber : (Faridah,2005)

2.1.1.1 Indeks Glikemik Umbi Suweg (IG)

Serat terdapat pada berbagai tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan yang secara

fisis terdapat dua bentuk yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat akan

membentuk lapisan pada saluran pencernaan yang akan menghambat proses pencernaan

dan absorbsi. Serat dapat terdiri atas selulosa, lignin, pentosan, asam uronat dan lain -

lain yang dapat dianalisis. Ada sebagian serat yang mempunyai hubungan dengan

indeks glikemik yang rendah seperti leguminosa, guar dan tragacantha (Waspadji,2007).

Serat larut dan tidak larut mempunyai manfaat berbeda tetapi keduanya bekerja

saling melengkapi. Di dalam lambung, serat yang larut air akan menimbulkan rasa

kenyang dan menyebabkan makanan tinggal lebih lama. Serat tidak larut air, selain

menimbulkan rasa kenyang, juga bermanfaat menjaga kesehatan usus besar, serta

mencegah timbulnya tumor dan kanker. Di dalam saluran pencernaan, serat akan

mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan bersama

tinja. Semakin tinggi konsumsi serat, akan semakin banyak asam empedu dan lemak

8
yang dikeluarkan oleh tubuh. Hal tersebut secara otomatis akan mengurangi kadar

kolesterol. Selain untuk mengendalikan kolesterol, serat juga sangat berguna mencegah

diabetes melitus dan terjadinya kanker kolon (Sutanto, 2007).

Indeks Glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap

kadar gula darah. Pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan cepat memiliki

Indeks Glikemik tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan

lambat memiliki Indeks Glikemik rendah. Hal serupa juga dikemukakan oleh

Prijatmoko (2007), indeks glikemik adalah sebagai respon glukosa darah terhadap

makanan yang mengandung karbohidrat dalam takaran dan waktu tertentu. Karbohidrat

dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki Indeks Glikemik

tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan karbohidrat ini cepat dan tinggi.

Respon gula darah terhadap jenis pangan karbohidrat ini cepat dan tinggi. Dengan kata

lain, glukosa dan aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya karbohidrat yang

dipecah dengan lambat memiliki Indeks Glikemik rendah (slow release

carbohydrate)sehingga melepaskan glukosa dalam darah dengan lambat. Indeks

glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan

Indeks Glikemik pangan lain (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Makanan yang sedikit atau tidak mengandung karbohidrat, seperti daging, keju,

dan gajih memiliki indeks glikemik mendekati nol. Semakin sedikit makanan

mengandung pati atau gula yang mudah dicerna, semakin kecil indeks glikemiknya.

Makanan berserat, meskipun mengandung karbohidrat, membutuhkan waktu untuk

melewati sistem pencernaan, sehingga cenderung memiliki indeks glikemik rendah.

9
Serat juga membantu memperlambat masuknya gula ke dalam aliran darah (Wylio,

2011).

Pangan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan indeks glikemiknya. Kategori

pertama, pangan dengan Indeks Glikemik rendah adalah pangan yang memiliki rentang

IG < 55. Kategori kedua, pangan dengan Indeks Glikemik sedang adalah pangan yang

berada pada rentang IG 55-70. Kategori ketiga, pangan dengan Indeks Glikemik tinggi

adalah pangan dengan rentang IG>70. Indeks glikemik menunjukkan kecepatan

karbohidrat berubah menjadi gula darah. Indeks Glikemik tidak memberikan informasi

mengenai banyaknya karbohidrat dan dampaknya pada kadar gula darah.

Tabel 2. Indeks Glikemik (IG) Umbi-umbian


Jenis Bahan Pangan Indeks Glikemik (IG)
Roti tawar putih 75
Roti tawar dari gandum utuh (coklat) 74
Beras amilosa rendah 91-105
Beras amilosa tinggi ketan (amilosa 0-2%) 58-86
Kentang panggang 88
Jagung manis 73-79
Ubi kayu rebus 59
Ubi jalar goreng 62
Umbi garut segar/kukus 32
umbi suweg segar/kukus 36
umbi gayong rebus 65
Sumber: Ginting et al (2011)

Indeks glikemik (IG) adalah efek konsumsi bahan pangan dalam menaikkan

kadar gula darah. IG <55 tergolong rendah, 55-70 sedang dan >70 tinggi.

10
2.1.1.2 Asam Oksalat

Asam oksalat adalah asam dikarboksilat yang hanya terdiri atas dua atom karbon

pada masing-masing molekul, dimana dalam keadaan murni berupa senyawa kristal,

larut dalam air (8 persen pada 10 °C) dan larut dalam alkohol. Asam oksalat membentuk

garam netral dengan logam alkali (Na dan K), yang larut dalam air (5-25 persen), juga

dapat berikatan dengan ion logam dan membentuk endapan tak larut, seperti kalsium

oksalat. Kandungan oksalat dalam tanaman sekitar 5-80 persen (berat/bahan) dan 90

persen dari total oksalat tanaman berada dalam bentuk garam oksalat. Kristal kalsium

oksalat dalam tumbuhan memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai pengatur

kalsium dalam jaringan, melindungi dari hewan herbivora dan sebagai detoksifikasi

logam (Anggaraini, 2010). Oksalat larut air berada dalam bentuk asam oksalat, sodium

oksalat dam kalium oksalat, sedangkan oksalat yang tidak larut air berada dalam bentuk

garam kalsium oksalat, magnesium oksalat (terutama garam kalsium) (Anggarini,

2010).

Umbi yang termasuk ke dalam famili Araceae terutama edible aroid

mengandung bahan aktif yang dapat menyebabkan gatal dan menyebabkan iritasi pada

bibir, mulut, dan kerongkongan. Penyebab rasa gatal pada rongga mulut dan kulit

tersebut disebabkan oleh senyawa yang terdapat pada permukaan kristal kalsium oksalat

jenis rafida yang berfungsi sebagai pembawa, sedangkan senyawa yang menyebabkan

iritasi tersebut adalah jenis protein dengan bobot molekul 26 KDa (Paul et al., 2009

dalam Anggraini, 2010). Jenis oksalat lain yang terdapat dalam umbi Araceae adalah

oksalat larut air. Oksalat larut air yang ada dalam bahan pangan tersebut jika masuk ke

dalam tubuh manusia, maka dapat menghambat bioavailibilitas kalsium dalam tubuh

11
karena akan membentuk kompleks yang tidak dapat dicerna. Kompleks ini akan

mengendap di dalam ginjal dan membentuk batu ginjal (Noonan dan Savage, 2009

dalam Anggraini, 2010). Oleh sebab itu, kedua jenis oksalat, baik oksalat larut air

maupun yang tidak larut air memberikan efek yang tidak baik bagi tubuh jika berada

dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Untuk itu perlu dilakukan proses penurunan kadar

oksalat untuk mengurangi efek negatif tersebut. Menurut Sangketkit et al. (2006)

melakukan proses penurunan kadar oksalat pada umbi Yam New Zealand (Oxalis

tuberosa Mol.) dengan beberapa cara pemasakan konvensional, yaitu dengan perebusan,

pengukusan, dan pemanggangan. Hasilnya, terjadi penurunan kandungan total oksalat

pada umbi yang direbus dan dikukus, namun terjadi kenaikan kandungan oksalat pada

umbi yang dipanggang. Hasil yang sama juga terjadi pada proses penurunan kadar

oksalat berbagai jenis varietas umbi talas oleh Catterwood et al. (2007). Hasilnya

menunjukkan bahwa dengan proses perebusan, terjadi penurunan kandungan total

oksalat dari 1714 ppm menjadi 506 ppm, sedangkan proses pemanggangan

meningkatkan kandungan oksalat menjadi 290 ppm. Proses perebusan dapat

mengurangi kandungan oksalat karena dengan proses perebusan, maka akan melarutkan

berbagai jenis oksalat larut air ke dalam air perebusan tersebut. Menurut Dewisari

(1992) menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman dan pemasakan berpengaruh

nyata terhadap kadar kalsium, asam oksalat, dan kalsium oksalat. Proses perendaman

menyebabkan kenaikan kalsium 9,86 sampai 19,21 persen, tetapi menurunkan kadar

asam oksalat dan kalsium oksalat 34,67 sampai 62,89 persen. Penurunan ini semakin

besar setelah dilanjutkan dengan proses pemasakan baik dengan pengukusan maupun

dengan perebusan. Pada pengukusan kadar asam oksalat dan kalsium oksalat turun

12
sebesar 22,1 sampai 63,41 persen, sedangkan pada perebusan 38,30 sampai 89,42

persen. Pada pengukusan kadar kalsium turur sebesar 10,81 sampai 11,65 persen dan

pada perebusan turur 28,45 sampai 32,30 persen. Konsumsi oksalat per hari yang

dizinkan di inggris adalah sebesar 70-150 mg (Noonan dan Savage, 1999). Sedangkan

untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal, American Dietetic Association Nutrition

Care Manual merekomendasikan agar mengkonsumsi oksalat kurang dari 40-50 mg per

hari (Messy, 2007).

2.2 Tepung Suweg (Amorphophallus Companulatus)

Tepung Suweg adalah salah satu alternatif pilihan sebagai pangan fungsional,

karena memiliki nilai indeks glikemik (IG) rendah. Sumber pangan karbohidrat yang

memiliki IG rendah bermanfaat untuk menekan peningkatan kadar gula darah dan juga

mengurangi kadar kolesterol serum darah yang artinya umbi ini sangat cocok untuk

dikonsumsi oleh penderita diabetes. Menurut Faridah (2005), kandungan suweg paling

banyak adalah karbohidrat sekitar 80-85%. Menurut Kasno (2008) Tepung suweg

memiliki daya simpan yang lebih tahan lama dan dapat dijadikan bahan baku

pembuatan pangan maupun non pangan. Pembuatan tepung umbi suweg dilakukan

dengan cara memanen bahan baku umbi suweg yang telah memasuki fase siap panen.

Selanjutnya umbi suweg dicuci untuk menghilangkan kotoran dan tanah yang

menempel. Umbi dapat dikeringkan dengan dua cara yaitu, dioven dengan suhu 50 oC

selama 18 jam atau dijemur sampai kering dan dilanjutkan dengan proses penggilingan

dan pengayakan.

13
Menurut Pitijo (2007), tepung suweg memiliki warna putih keabu-abuan atau

kecokelatan. Warna kecoklatan yang dihasilkan terjadi karna adanya reaksi browning

pada saat pengupasan umbi sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna putih.

Sedangkan untuk sifat kimia dari tepung umbi suweg adalah memiliki aroma yang

spesifik dan tidak seperti tepung terigu yang memiliki banyak gluten. Kandungan serat

pada tepung umbi suweg menghasilkan tepung umbi suweg dengan daya cerna pati

yang rendah yaitu 61,75 Menurut Fadilah (2004), daya cerna pati dari umbi suweg

secara in vitro cukup rendah yaitu 61,75% bila dibandingkan dengan tepung singkong

sebesar 75,25%. Rendahnya daya cerna pati disebabkan oleh tingginya kandungan serat

pangan dalam tepung suweg yaitu sebesar 13,71%. Menurut penelitian Faridah (2005),

keunggulan dari tepung umbi suweg adalah memiliki kandungan protein dan serat yang

cukup besar dibandingkan dengan tepung umbi lainnya .Faridah (2005) menambahkan

bahwa terdapat hubungan erat antara konsumsi serat terhadap pertahanan tubuh akibat

berbagai penyakit. Konsumsi serat dalam bahan baku makanan yang mengandung serat

tinggi dapat memberikan pertahanan bagi tubuh terhadap timbulnya berbagai penyakit

seperti kanker usus besar, kolesterol, dan kencing manis.Proses pembuatan tepung

suweg (Amorphophallus Companulatus) dapat dilakukan dengan cara kering. Umbi

yang telah dicabut kemudian dibersihkan, dikupas, dan dicuci dengan air bersih.

Selanjutnya umbi suweg diiris tipis-tipis dan dikeringkan dengan cabinet dryer pada

suhu 50 ˚C selama 18 jam atau mengunakan sinar matahari selama dua hari. Kemudian

dilakukan penggilingan dan diayak menggunakan ayakan berukuran 80 mesh maka akan

dihasilkan tepung suweg (Faridah, 2005)

14
Menurut Pitojo (2007), sifat fisika tepung suweg antara lain halus, berwarna

putih keabu-abuan atau kecoklatan. Warna tepung suweg kurang putih dibandingkan

dengan tepung terigu, tepung tapioka atau tepung sukun. Tepung suweg berwarna

kecoklatan yang disebabkan terjadinya reaksi browning (pencoklatan) pada saat

pengupasan umbi sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna putih. Sifat kimia

tepung suweg memiliki aroma spesifik. Tepung suweg tidak seperti tepung terigu yang

memiliki banyak gluten. Namun demikian tepung suweg dapat dimanfaatkan sebagai

substitusi dengan tepung terigu atau tepung yang lain untuk membuat aneka makanan.

Tepung suweg dihasilkan dari tahapan proses mulai dari pencucian,

pengupasan, perajangan, pengeringan, penepungan dan pemisahan kalsium oksalat.

Pemisahan kalsium oksalat pada tepung porang dapat dilakukan secara fisik dan khemis.

Pemisahan secara fisik antara lain penyosohan, penepungan, pengayakan, dan

penghembusan udara menggunakan cyclone separator, sedangkan cara khemis dapat

dilakukan dengan menggunakan etanol. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan

Mawarni dan Widjanarko (2015) menghasilkan tepung porang dengan kadar kalsium

oksalat sebesar 0,89% dan derajat putih 69,95% menggunakan metode penepungan ball

mill. Penelitian lain yang dilakukan Kurniawati (2010) menggunakan metode

penepungan stamp mill dan pencucian etanol diperoleh tepung porang dengan kadar

kalsium oksalat 1,01% dan derajat putih 69,45

Penggunaan atau perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit (Na2S2O5)

dapat mencegah reaksi pencoklatan non enzimatis karena gugus sulfit pada Natrium

metabisulfit berikatan dengan gugus karbonil pada gula yang terkandung dalam tepung

suweg. Hal tersebut akan mencegah pembentukan senyawa melanoidin (komponen

15
pembentuk warna coklat) sehingga warna yang dihasilkan pada tepung suweg menjadi

lebih baik yang meliputi kecerahan dan tingkat kekuningan yang lebih tinggi. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Slamet (2010) bahwa tepung yang

dihasilkan dengan diberi perlakuan pendahuluan perendaman dalam larutan sodium

metabisulfit memiliki warna yang lebih baik (cerah). Hal ini dikarenakan sulfit dapat

menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat memblokir

reaksi pembentukan senyawa hidroksil metal furfural dari D-glukosa penyebab warna

coklat. Fenemma (1996) menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh fungsi sulfit

yang dapat menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat

memblokir reaksi pembentukan senyawa hidroksil metal furfural dari D-glukosa

penyebab warna coklat.

Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K- sulfit, bisulfit dan

metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tidak

terdisosiasi dan terutama terbentuk pada Ph dibawah 3. Selain sebagai pengawet, sulfit

dapat berinteraksi dengan gugus karboksil. Hasil reaksi itu akan bmengikat melanoid

sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi

sebagai antioksidan (Syarief dan Irawati, 1998).

Natium metabisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air, sedikit

larut dalam alkohol, dan berbau khas seperti sulfur dioksida, mempunyai rasa asan dan

asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan

bakteri,n kapang dan khamir (Chichester and Tanner, 1975)

Batas maksimum penggunaan SO2 dalam makanan yang dikeringkan, di

Amerika Serikat telah ditetapkan oleh Food Drug Administration, yaitu antara 2000-

16
3000 ppm. Jumlah penyerapan dan penahanan (residu) SO2 dalam bahan yang

dikeringkan dipengaruhi oleh antara lain : varietas, pemasakan dan ukuran bahan,

konsentrasi SO2 yang dihunakan, waktu sulfuring, suhu, kecepatan aliran udara dan

kelembaban udara selama pengeringan serta keadaan penyimpanan (Susanto dan

Saneto, 1994).

Tabel 3. Sifat Fisiko Kimia Tepung Suweg


Parameter Nilai
Desintas Kamba 0,775 g/ml + 0,22
Dferajat putih L: 60,60 + 0,81
Kadar amilosa 28,98% + 0,88
Serat pangan 13,71% + 0,08
Serat pangan larut 8,44% + 0,13
Serat pangan tidak larut 5,27% + 0,20
Daya cerna pati secara in vitro 61,75% + 0,02
Sumber: Faridah (2005)

2.3 STPP (Sodium Tripolyphosphate)

Sodium Tripolyphosphate merupakan senyawa polifosfat dari natrium dengan

rumus Na5P3O10. STPP berbentuk bubuk atau granula berwarna putih dan tidak berbau.

Kelarutan STPP dalam air sebesar 14,50 g per 100 ml pada suhu 25oC (larutan 1%).

STPP banyak digunakan dalam industri pangan karena memiliki beberapa sifat kimia

dan fungsi yang menguntungkan. Sifat-sifat fosfat yang utama adalah (1) sebagai buffer

dan pengontrol pH; (2) dapat menginaktifasi ion logam yang biasanya merusak sistem

pangan dengan membentuk endapan seperti kation kalsium, magnesium, tembaga dan

besi; (3) berperilaku sebagai polivalensi dan polielektrolit. Fosfat juga berperan dalam

hal nutrisi melalui pembentukan kompleks yang stabil dengan kalsium, besi dan

magnesium yang memungkinkan nutrient tersebut terserap dinding usus dapat

digunakan oleh tubuh.

17
STPP merupakan senyawa anorganik dengan rumus Na5P3O10. STPP adalah

salah satu garam fosfat yang bersifat basa yang berasal dari reaksi anorganik.

Karakteristik STPP adalah berupa butiran serbuk berwarna putih, higroskopis, bersifat

mudah larut di dalam air. STPP dapat bereaksi dengan pati, ikatan antara pati dengan

fosfat diester atau ikatan silang antar gugus hidroksil (OH), akan menyebabkan ikatan

pati menjadi kuat, tahan terhadap pemanasan, dan asam (Rizki,2013). Penggunaan pada

pati modifikasi, jumlah residu phosphor pada pati tidak lebih dari 0,4% (kecuali pada

pati gandum dan kentang sebesar 0,5%) (Food and Drug Administration, 2012 dalam

Amin. 2013). Rumus struktur sodium tripolyphosphat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Rumus struktur sodium tripolyphosphat (Yuliana, 2011)

STPP (Sodium Tripolyphosphate) digunakan sebagai bahan pengikat air agar air

dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat

mengering dan mengeras. Sodium tripolifosfat dapat digunakan untuk menggantikan

penggunaan boraks pada makanan. STPP mempunyai tekstur kecil-kecil halus seperti

garam, STPP bereaksi dengan pati. Ikatan antara pati dengan fosfat diester atau ikatan

silang antar gugus hidroksil (OH), akan menyebabkan ikatan pati menjadi kuat, tahan

terhadap pemanasan, dan asam sehingga dapat menurunkan derajat pembengkakan

granula, dan meningkatkan stabilitas adonan. STPP dapat menyerap, mengikat dan

18
menahan air, meningkatkan Water Holding Capacity (WHC), dan keempukan (Thomas,

1997).

Menurut Harahap (2007), jumlah penambahan sodium tripolyphosphate

berpengaruh sangat nyata, dimana hasil terbaik penambahan sodium tripolyphosphate

yaitu 0,25%. Kadar air diperoleh 72,23%, kadar protein 0,74%, kadar abu 2,53%, dan

nilai organoleptik untuk atribut rasa dan tekstur berpengaruh sangat nyata, sedangkan

nilai atribut warna berbeda nyata dengan adanya penambahan sodium tripolyphosphate.

Penggunaan polifosfat dalam bahan makanan berpati dapat meningkatkan Water

Holding Capacity (WHC) sehingga akan mengakibatkan massa yang kenyal.

Penggunaan polifosfat dalam pengolahan makanan adalah pada dosis 0,3%-0,5% dari

total adonan yang digunakan (Ernawati, 2010).

STPP dapat menghambat pertumbuhan bakteri sehingga mengurangi

kerusakanbahan makanan akibat mikroba, hal ini disebabkan penurunan Aw (water

activity) bahan dan terjadinya pengikatan kation logam yang bersifat esensial bagi

pertumbuhan bakteri (Yuanita, 1997). Selain itu, STPP juga berfungsi sebagai untuk

meningkatkan kekenyalan, kerenyahan, memberikan rasa gurih dan kepadatan terutama

pada jenis makanan yang mengandung pati. Penggunaan STPP banyak digunakan untuk

bahan tambahan pada makanan yang aman sebagai pengganti boraks dan tidak merubah

fungsi boraks pada kerupuk karak, selain itu pengguanaan STPP juga banyak

digunakan dalam pembuatan bakso dan juga meningkatkan masa simpan daging ayam

Jumlah penggunaan STPP yang diizinkan adalah 3 g untuk setiap kilogram daging 0,3%

dari berat daging yang digunakan (Saparinto dan Hidayati,2010).

19
2.4 Mie

Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa

penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk

khas mi (SNI, 1996).Mi merupakan salah satu jenis masakan yang sangat populer di

Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara. Menurut catatan sejarah, mi dibuat

pertama kali di daratan Cina sekitar 2000 tahun yang lalu pada masa pemerintahan

Dinasti Han. Dari Cina, mi berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan, dan

negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di Benua Eropa, mi mulai dikenal

setelah Marcopolo berkunjung ke Cina dan membawa oleh-oleh mi. Selanjutnya, mi

berubah menjadi pasta di Eropa, seperti yang dikenal saat ini (Suyanti, 2008).

Mie telah lama digunakan dalam kuliner Indonesia. Hal ini tampak dalam

berbagai resep masakan tradisional yang menggunakan mi sebagai bahan dasarnya,

seperti aneka soto, mi juhi Betawi, mi celor Palembang, dan lain-lain. Dewasa ini,

penggunaan mi dalam menu makan sehari-hari orang Indonesia sangat mudah ditemui,

baik yang menggunakan mi basah, mi kering, maupun mi instan. Hal ini menunjukkan

bahwa mi telah menjadi bagian dari kebudayaan kuliner Indonesia. Sifat mi yang

rasanya netral dan praktis memudahkan penggunaannya untuk diolah menjadi aneka

resep makanan yang bervariasi (Purnawijayanti, 2009).

Nilai gizi kandungan mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena

selain karbohidrat terdapat sedikit protein yang disebut glutein. Mutu atau resep yang

digunakan oleh pabrik sangat banyak sehingga nilai gizinyapun sangat bervariasi

(Judoadmijojo,1985).

20
Tabel 4. Kandungan Gizi dalam Mie
Zat Gizi Mie Basah Mie Kering
Energi (kal) 86,00 337,00
Protein (g) 0,60 7,90
Lemak (g) 3,30 11,80
Karbohidrat (g) 14,00 50,00
Kalsium (mg) 14,00 49,00
Fosfor (mg) 13,00 47,00
Besi (mg) 0,80 2,80
Vitamin A (SI) 0,00 0,00
Vitamin B1 (mg) 0,00 0,01
Vitamin C (mg) 0,00 0,00
Air (mg) 80,00 28,60
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes (1992)

2.4.1 Mie Basah

Di Indonesia produk mie merupakan makanan yang banyak digunakan sebagai

pengganti nasi. Produk mie ini berbahan dasar tepung terigu yang berasal dari tanaman

gandum. Menurut Irviani dan nisa (2014), pada tahun 2012 impor gandum telah

menembus angka 6,3 juta ton. Upaya pelaksanaan diversifikasi pangan agar tidak

tergantung kepada tepung terigu. Mi basah adalah mi yang dijual dalam keadaan basah.

Tekstur mi yang basah disebabkan karena air perebusan. Jadi setelah dibentuk atau

dicetak dengan cetakan, mi direbus, didinginkan, dikemas, dan dipasarkan. Contoh dari

mi basah adalah mi kuning atau mi bakso.

Mie basah merupakan jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap

pemotongan dan sebelum dipasarkan. Biasanya mie basah dipasarkan dalam keadaan

segar. Mie basah di Indonesia dikenal sebagai mie kuning atau mie bakso. Mie basah

memiliki cita rasa yang khas dan penyajiannya dapat dicampurkan dengan makanan lain

sehingga mie basah banyak disukai orang. Komposisi gizi mie basah per 100 gram

bahan yaitu energi 86 kal, air 80 g, karbohidrat 14 g, lemak 3,3 g dan protein 0,6 g.

21
Selain kelebihan yang ada pada mie basah, juga terdapat kekurangan yakni daya

simpannya relatif singkat yaitu 40 jam pada suhu kamar karena kadar air mie basah

dapat mencapai 52%. Penyipanan mie basah pada suhu kamar selama 40 jam

menyebabkan tumbuhnya kapang dan bakteri (Setyajaya dan Nawansih, 2008).

Kandungan air mi basah sekitar 52% sehingga cepat rusak dan hanya bertahan 40 jam

(Sutomo, 2008). Menurut SNI 01-2987 (1992), mie basah adalah produk pangan yang

terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan

tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Mutu mie

basah berdasarkan SNI dapat dilihat pada.

Tabel 5. Syarat Mutu Mie Basah SNI 01-2987 (1992)


NO Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
1.1 Keadaan - Normal
1.2 Rasa Normal
1.3 Warna Normal
2 Air % b/b 20-35
3 Abu (dihitung atas dasar bahan % b/b Maks. 3
kering)
4 Protein (N × 6,25)dihitung atas % b/b Min. 3
dasar bahan kering
5 Bahan Tambahan Tidak boleh ada. Sesuai
5.1 Boraks dan asam borat SNI-0222-M dan
SNI-022-M dan peraturan Peraturan
5.2 Pewarna MenKes.No.722
5.3 Formalin /MenKes/Per/IX/88

722/Menkes/per/IX/885.3
Formalin Tidak boleh ad
6 Cemaran Mikroba
6.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks. 1,0 × 106
6.2 E. Coli APM/g Maks. 10
6.3 Kapang Koloni/g Maks. 1,0 × 104
7 Cemaran Logam
7.1 Timbal (Pb) Maks. 1,0
7.2 Tembaga (Cu) 10,0
7.3 Seng (Zn) Maks. 10,0

22
7.4 Raksa (Hg) Maks. 0,05
8 Arsen (As) Mg/kg Maks. 0,05
Sumber: SNI 01-2987 (1992)
2.5 Bahan-bahan Pembantu dan Bahan Tambahan Mie Basah

2.5.1 Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu diperoleh

dari gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu diantara serealia

lainnya adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan mie menyebabkan mie

yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Mutu

terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8-

12%, kadar abu 0,025-0,60% dan glutein basah 24-36% (Astawan, 2008). Tepung

gandum merupakan produk serealia yang mengandung protein yang tinggi. Protein

merupakan komponen yang tertinggi bila dibandingkan dengan komponen yang lain

pada gandum. Gandum keras yang ditanam di musim dingin mengandung 14% protein

(Kent, 1975).

Tabel 6. Komposisi Tepung Terigu dalam 100 g bahan


Komposisi Jumlah
Energi (kal) 375,00
Air (g) 12,00
Protein (g) 8,90
Lemak (g) 1,30
Karbohidrat (g) 77,30
Mineral (g) 0,50
Kalsium (g) 16,00
Phosphor (mg) 10,60
Besi (mg) 1,20
Vitamin B1 (mg) 1,20
Vitamin C (mg) 0
Sumber: Nio, (1992)

23
Bila ingin mendapatkan mutu mie yang lebih baik dapat menggunakan terigu jenis

hard flour dengan kadar gluten yang lebih tinggi. Namun, harga mie yang dihasilkan

akan mejadi lebih mahal (Widyaningsih dan Murtini, 2006).Menurut Astawan (2008)

berdasarkan kandungan glutein (protein), tepung terigu yang beredar dipasaran dapat

dibedakan atas 3 macam yaitu:

 Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%.

Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mie berkualitas tinggi.

 Medium hard flour. terigu ini mengandung protein sebesar 9,5-11%. Tepung ini

banyak digunakan untuk pembuatan roti, mie dan macam-macam kue, serta

biscuit.

 Soft flour. terigu ini mengandung protein sebesar 7-8,5%. Penggunaannya cocok

sebagai bahan pembuatan kue dan biscuit

Dalam prakteknya, tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan mie terdiri

dari campuran dua jenis terigu hard flour dan medium hard flour. Pencampuran

kedua jenis tepung tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan konsentrasi protein

yang dikehendaki sehingga akan menghasilkan tekstur, konsistensi dan rasa yang

khas dari produk yang bersangkutan (Astawan, 2008).

2.5.2 Telur

` penambahan telur berfungsi untuk meningkatkan mutu protein mie dan

menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak muda terputus-putus. Putih telur

berfungsi untuk mencegah kekeruhan saos mie waktu pemasakan. Penggunaan putih

telur harus secukupnya saja karena pemakaian yang berlebihan akan menurunkan

kemampuan menyerap air (daya dehidrasi) waktu direbus (Astawan, 2008). Kuning

24
telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur terdapat lechitin. Selain

sebagai pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung dan untuk

mengembangkan adonan. Penambahan kuning telur juga akan memberikan warna yang

seragam (Astawan, 2008).

Membuat mie sebenarnya sangat mudah, cepat, praktis dengan bahan yang

sederhana. Ditambahkan kuning telur juga lebih baik, namun airnya harus dikurangi.

Karena kuning telur kadar airnya sekitar 50 ml. maka air yang akan digunakan

sebaiknya dikurangi agar campurannya pas (Anonim, 2007).

Telur dalam pembuatan produk olahan pangan mie dapat berfungsi membentuk

warna dan flavor yang khas pada mie, memperbaiki cita rasa dan kesegaran mie,

membantu pembentukan adonan yang kalis, meningkatkan nilai gizi serta kelembutan

produk. Telur berfungsi memunculkan warna khas kuning khas mie pada umumnya.

pada proses pembuatan mie telur juga berfungsi sebagai sumber protein dan air pada

pembuatan adonan mie. Albumin pada telur menyebabkan peningkatan kadar air pada

mie. Namun dalam penggunaannya telur juga tidak boleh terlalu berlebih, hal ini dapat

menyebabkan adonan menjadi lembek, dan susah kalis. Selain itu juga telur berfungsi

sebagai emulsifying dengan adanya lesitin sehingga dapat memperbaiki stabilitas

tekstur pada mie (Winarno, 1994). Telur ayam berfungsi sebagai penambah rasa dan

nutrisi, serta menambah kualitas gluten pada adonan mi. Mi yang menggunakan telur

rasanya lebih gurih yang terkandung pada mi dan lebih elastik dan kenyal. Pemakaian

minimal telur adalah 3 % sampai 10% dari berat tepung. Contoh : 5% dari 25 kg tepung

= 12,5 kg (Rasyad dkk, 2003).

2.5.3 Garam

25
Garam dapur selain untuk memberi rasa, juga memperkuat tekstur mie,

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie, serta untuk mengikat air. Garam dapur

akan menghambat aktivitas enzim amylase sehingga mie tidak bersifat lengket dan tidak

mengembang secara berlebihan (Astawan, 2008). Pemakain garam alkali pada

pembutan mi berguna untuk kekenyalan serta elastisitas pada mi yang dihasilkan.

Garam alkali yang biasa digunakan adalah Na2CO3 (sodium carbonat) dan K2CO3

(potassium carbonat). Fungsi garam di sini adalah memberikan rasa dan kekuatan

gluten pada mi. Pemakaiannya 0,2% sampai 3% dari berat tepung. Contoh : 0,2% dari

25 Kg = 500 gram (Rasyad dkk, 2003).

Penggunaan garam 1-2% akan meningkatkan kekuatan lembaran adonan dan

mengurangi kelengketan. Di Jepang, dalam pembuatan mie pada umumnya

ditambahkan 2-3% garam ke dalam adonan mie. Jumlah ini merupakan control terhadap

α-amilase jika aktivitas rendah (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Garam merupakan

bahan tambahan yang ditambahkan dalam jumlah sedikit pada bahan makanan. Namun

memberikan pengaruh terhadap penerimaan konsumen pada suatu produk pangan.

Garam dalam pembuatan mie dapat berfungsi memberi rasa agar tidak hambar,

memperkuat citarasa, dan mengkontrol pertumbuhan khamir pada pembuatan produk

yang dikembangkan dengan ragi, memperkuat keliatan gluten (daya regang) dalam

adonan dan membantu mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak dikehendaki, dan

dapat meningkatkan daya penyerapan air dari tepung, serta mengatur warna pada

produk mie (Andarwulan, 2011). Penambahan garam yang terlalu berlebih akan

menyebabkan kemampuan gluten dalam menahan gas tidak optimal, namun sebaliknya

penggunaan garam yang terlalu sedikit maka akan mengurangi volume adonan karena

26
gluten tidak mempunyai daya regang yang cukup. Penambahan konsentrasi garam yang

ideal pada pembuatan mie adalah 3% dari berat tepung yang digunakan (Nurzane,

2010).

2.5.4 Air

Air berfungsi sebagai media rekasi antara gluten dengan karbohidrat, larutan

garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH

6-9. Makin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorpsi

air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang

memenuhi persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau,

dan tidak berasa (Astawan, 2008). Jumlah air yang ditambahkan pada umumnya sekitar

23-38% dari campuran bahan yang akan digunakan. Jika lebih dari 38% adonan akan

menjadi sangat lengket dan jika kurang 28% adonan akan menjadi sangat rapuh

sehingga sulit dicetak (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Kepentingan air pada

pembuatan mie adalah untuk media reaksi antara glutein dengan karbohidrat, larutan

garam dan membentuk sifat kenyal dari glutein (Soenaryo, 1985).

Air merupakan bahan yang sangat penting dan besar perananan nya bagi produk

pangan membutuhkan elastisitas dan daya kembang yang baik. Air dalam pembuatan

mie diperlukan dalam pembentukan gluten yang berfungsi dalam menentukan

konsistensi dan karakteristik adonan, menentukan mutu produk yang dihasilkan dan

berfungsi sebagai pelarut bahan-bahan seperti garam dan telur sehingga bahan tersebut

menyebar rata keseluruh bagian tepung. penggunaan air yang tepat yaitu 20% dari berat

bahan baku tepung yang digunakan (Astawan, 1999). Penentuan kadar air optimum

untuk adonan dilakukan dengan cara melihat konsistensi adonan secara visual selama

27
proses pengadukan. Jika penggunaan air terlalu banyak, adonan akan menjadi lengket

karena sifat gluten dan garam yang membentuk matriks struktur adonan yang lengket,

disebabkan jumlah air berlebih. Penambahan air yang terlalu sedikit, sebaliknya produk

akhir baik mie yang

2.6 Cara Pembuatan Mie Basah

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mie basah adalah tepung terigu,

air, garam, bahan pengembang, zat warna, bumbu dan telur. Tepung terigu berfungsi

untuk membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Funsi air yaitu sebagai

media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat

kenyal gluten. Garam berperan dalam memberikan rasa, memperkuat tekstur mie,

meningkatkan fleksibel dan elastisitas mie serta mengikat air. Putih telur digunakan

untuk mencegah penyerapan minyak. Proses pembuatan mie basah diawali dengan

penimbangan bahan-bahan yaitu tepung terigu, garam, dan soda abu sesuai dengan

formula. Semua bahan kering dicampur rata, lalu adonan ditambahkan air sedikit demi

sedikit diadoni atau diuleni sampai terbentuk adonan yang kalis (tidak lengket

ditangan). Proses selanjutnya adalah membentuk adonan menjadi lembaran mie dengan

alat pembuat mie, lembaran adonan mie dipotong memanjang selebar 1-2 mm dan

dipotong melintang sepanjang 15 cm. Setelah pembentukan mie dilakukan perebusan

selama 5 menit dengan suhu 100oC (Astawan, 2006).

Pembuatan mie memiliki tahap-tahap yaitu meliputi pencampuran, pembentukan

lembaran, pemotongan atau pencetakan dan pemasakan. Pencampuran bertujuan untuk

pembentukan gluten dan distribusu bahan-bahan agar homogen. Sebelum pembentukan

lembaran, adonan biasanya diistirahatkan untuk memberi kesempatan penyebaran air

28
dan pembentukan gluten. Pengistirahatan adonan mie yang lama dari gandum keras

akan menurunkan kekerasan mie. Pembentukan lembaran dengan roll pengepresa

menyebabkan pembentukan serat-serat gluten yang halus dan ekstensibel (Anonim,

2003).

Menurut Sunaryo (1985) dalam Ratnawati (2003), pada awal pencampuran

terjadi pemecahan lapisan tipis air dan tepung. Makin lama, semua bagian tepung

teraliri air dan menjadi gumpalan-gumpalan adonan. Air akan menyebabkan serat-serat

gluten mengembang karena gluten menyerap air. Dengan pemanasan, serat-serat gluten

akan ditarik, disusun bersilang dan membungkus pati sehingga adonan menjadi lunak,

kaku dan elastis.

29
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan di

Laboratorium Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang. Penelitian dilaksanakan

pada bulan September sampai Januari 2018.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pisau, timbangan digital merk

camry, kompor, blender merk Philips, baskom, nampan plastik, slicer kayu, sendok,

ayakan, gilingan mie merk weston UTICON (C10), saringan, sarung tangan karet,

panci, gelas ukur, timbangan analitik merk ohanus (410 g).

Alat yang digunakan untuk menganalisa adalah timbangan analitik merk ohanus

(410 g), desikator, oven merk WTC BINDER (E 53), cawan porselin, tabung kjeldahl,

lemari asam, destilator, buret, labu lemak, sokhlet, corong kaca, mortar martil, kertas

saring, tanur listrik merk Furnace (48010), tabung reaksi, Colour Reader merk Konica

Minolta, Texture Analyzer merk SHIMADZU (EZ-SX 500 N), bola hisap karet, beker

glass, gelas ukur, pipet volume, spatula besi, tabung erlenmeyer, aluminium foil, kapas.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi suweg diperoleh dari

pasar wage Tulungagung, tepung terigu protein tinggi diperoleh dari supermarket,

garam, telur ayam diperoleh dari warung.

30
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk penelitian adalah: Sodium

Tripolyphosphate, Natium metabisulfit diperoleh dari toko kimia Makmur Sejati,

aquades (teknis), asam borat, HCl 0,02%, NaOH, H2SO4 pekat, Na2SO4 4%, HgO

(20:1), Na2S2O3, etanol 96% yang diperoleh dari Laboraturium Ilmu dan Teknologi

Pangan Universitas Muhammadiyah Malang.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian dilakukan dengan pembuatan mie basah dengan subtitusi tepung

umbi suweg dan penambahan sodium tripoliposphate terhadap sifat fisikokimia mie

basah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental dengan desain

Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial dan terdiri dari 2

faktor. Faktor I yaitu konsentrasi kombinasi tepung suweg dan tepung terigu dengan 3

level. Faktor II yaitu konsentrasi penambahan sodium tripoliphosfat dengan 4 level.

Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan dengan 3 kali pengulangan.

Faktor I Subtitusi Tepung Suweg (T)

T1 : Tepung suweg 10 gram dan tepung terigu 90 gram

T2 : Tepung suweg 15 gram dan tepung terigu 85 gram

T3 : Tepung suweg 20 gram dan tepung terigu 80 gram

Faktor II konsentrasi penambahan sodium tripoliphosfat (P)

P1 : 0,10 (b/b)

P2 : 0,15 (b/b)

P3 : 0,20 (b/b)

P4 : 0,25 (b/b)

31
Tabel 7. Matriks Kombinasi Perlakuan Rancangan Percobaan
Konsentrasi Sodium Tripolyphosphate
C2 (tepung Suweg)
P1 P2 P3 P4
C1(Tepung Terigu) 0,10 b/b 0,15 b/b 0,20 b/b 0,25 b/b
T1 T1P1 T1P2 T1P3 T1P4
(90%+10%)
T2 T2P1 T2P2 T2P3 T2P4
(85%+15%)
T3 T3P1 T3P2 T3P3 T3P4
(80%+20%)

Keterangan :

1. Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,10%

(T1P1)

2. Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,15%

(T1P2)

3. Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,20%

(T1P3)

4. Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,25%

(T1P4)

5. Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP 0,10%

(T2P1)

6. Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP 0,15%

(T2P2)

7. Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP 0,20%

(T2P3)

8. Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP 0,25%

(T2P4)

32
9. Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,10%

(T3P1)

10. Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,15%

(T3P2)

11. Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,20%

(T3P3)

12. Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,25%

(T3P4)

13. Kontrol ( Mie Basah Komersial )

3.4 Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Dalam penelitian ini dilakuakan dengan terdapat 3 tahapan. Tahap ke-1 (pertama)

yaitu pembuatan tepung umbi suweg. Sedangkan tahap ke-2 (kedua) yaitu pembuatan

mie basah

3.4.1 Prosedur Pembuatan Tepung Umbi Suweg

Proses pembuatan tepung umbi suweg, yaitu dengan menyiapkan umbi suweg

yang sudah disortir dan dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan air mengalir yang

bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa tanah yang menempel, lalu mengupas kulit

umbi suweg dan mencuci kembali umbi suweg dengan air yang mengalir, kemudian

memotong umbi suweg menjadi ukuran yang lebih kecil dan tipis-tipis, lalu melakukan

perendaman dalam larutan Natium Metabisulfit sebanyak 3 gram/kg selama 10 jam,

setelah dilakukan perendaman dikeringkan menggunakan sinar matahari selama 2 hari,

umbi suweg yang telah kering dihaluskan dengan blender dan diayak dengan ukuran 80

mesh agar dapat tepung umbi suweg yang seragam.

33
3.4.2 Prosedur Pembuatan Mie Basah

Proses pembuatan mie Basah, yaitu dengan menyiapakan tepung terigu protein

tinggi dan tepung umbi suweg yang telah disesuaikan dengan perlakuan dengan

memasukkannya kedalam baskom, lalu ditambahkan garam sampai benar-benar

tercampur rata atau homogen, selanjutnya menambahkan Sodium Tripolyphosphate

sesuai dengan perlakuan, serta menambahkan telur dan air. Kemudian adonan diuleni

sampai kalis kurang lebih selama 15 menit dan diistirahatkan selama 15 menit. Setelah

adonan diistirahatkan, lalu adonan tersebut dibentuk lembaran dengan menggunakan

alat penggilingan mie, dan selanjutnya digiling membentuk untaian mie. Kemudian

setelah dilakukannya penggilingan, mie direbus selama 2 menit dalam air mendidih.

3.5 Parameter Pengamatan

3.5.1 Bahan Baku

Pengamatan yang dilakukan pada bahan baku pembuatan mie dalam penelitian

ini adalah analisa serat kasar.

3.5.2 Produk

Pengamatan yang dilakukan pada produk mie dalam penelitian ini adalah sifat

fisik mie yaitu elastisitas, daya putus, intensitas warna, dan pengamatan sifat kimia mie

yaitu kadar air, kadar abu, kadar serat dan kadar protein, sedangkan pengamatan

organoleptik yaitu rasa, aroma, kenampakan (warna) dan kesukaan.

34
3.6 Prosedur Analisa

3.6.1 Kadar Protein Metode Semi Mikro Kjedahl (AOAC, 1995)

1. Menimbang bahan 0,1 gram, dan memasukkan kedalam labu kjedhal

2. Menambahkan 2 ml H2SO4 pekat dan tambahkan 2 gram campuran Na2SO4 – HgO

(20:1) untuk katalisator

3. Kemudian di didihkan sampai jenuh (kurang lebih 5 jam) (pengerjaan harus

dilakukan didalam lemari asam)

4. Setelah dingin ditambahkan 25 ml aquades dan timbahkan 10 ml NaOH dan lakukan

destilasi, destilat ditampung dalam 15 ml asam borat.

5. Titrasi destilat yang diperoleh dengan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna

Kadar Protein= ml HCL x N HCl x 14,008 x 100% X 100%


Berat Sampel x 1000

Kadar Protein (%) = Kadar N total (%) x faktor (dengan nilai F= 6,25)

3.6.2 Kadar Air (AOAC, 2005)

1. Mengeringkan cawan porselin dalam oven pada suhu 102oC selama 30 menit.

2. Cawan tersebut diletakkan dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin

kemudian ditimbang hingga beratnya konstan (A).

3. Sampel ditimbang 1-2 g (B), kemudian dimasukkan kedalam cawan.

4. cawan tersebut dimasukkan kedalam oven dengan suhu 102-105 oC selama 24 jam.

Cawan tersebut kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya (C).

Kadar air ditentukan dengan rumus:

Kadar air = B – (C – A)
X 100%
B

35
Keterangan:

A = berat cawan kosong (gram)

B = berat sebelum dioven (gram)

C = berat cawan sampel setelah dioven (gram)

3.6.3 Kadar Abu (AOAC, 2005)

1. Masukkan cawan abu porselin yang kosong kedalam oven 30 menit.

2. cawan abu porselin dikeluarkan dan didinginkan untuk mengetahui bobot cawan

kosong (A).

3. Sampel ditimbang 2 gram dan dimasukkan kedalam cawan abu porselin (B).

4. Masukkan kedalam tanur bersuhu 550-600oC selama 5 jam atau sampai pengabuan

sempurna, sehingga diperoleh abu berwarna putih.

5. Setelah selesai, tanur dimatikan hingga suhu 25 oC kemudian cawan porselin

dikeluarkan dengan menggunakan penjepit dan masukkan kedalam desikator selama

30 menit (C) segera setelah dingin. Kadar abu dalam bahan pangan dapat dihitung

berdasarkan persamaan berikut:

Kadar Abu = B – (C - A) X 100%


B
Keterangan:

A = berat cawan kosong (gram)

B = berat sampel sebelum pengabuan (gram)

C = berat cawan berisi sampel setelah pengabuan (gram)

36
3.6.4 Kadar Serat (SNI-2891-1992)

1. Menimbang sampel 2-4 gram. Bebaskan lemaknya dengan cara ekstraksi

menggunakan soxlet atau dengan cara mengaduk, menuangkan sampel dalam

pelarut organik sebanyak 3 kali. Keringkan sampel dan masukkan kedalam

erlenmeyer 500 ml.

2. Menambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25%, kemudian didihkan selama 30 menit

menggunakan pendingin tegak.

3. Menambahkan 50 ml larutan NaOH 3,25% dan didihkan lagi selama 30 menit.

4. Dalam keadaan panas, saring dengan corong Bucher yang berisi kertas saring tak

berabu whatman 54,41 yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya.

5. Mencuci endapan yang terdapat pada kertas saring berturut-turut dengan H 2SO4

1,25% panas, air panas dan etanol 96%.

6. Mengangkat kertas saring beserta isinya, masukkan kedalam kotak timbang yang

telah diketahui beratnya, keringkan pada suhu 105oC, dinginkan san timbang sampai

bobot tetap.

7. Apabila kadar serat kasar lebih besar 1%, abukan kertas saring beserta isinya,

timbang sampaibobot tetap.

8. Kadar serat kasar dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kadar serat kasar < 1%

% serat kasar = W
X 100%
W1

Kadar serat >1%

% serat kasar = W - W1 X 100%


W2

37
Keterangan:

W = berat sampel (gram)

W1 = berat abu (gram)

W2 = berat endapan pada kertas saring (gram)

3.6.5 Kadar Amilosa dan Amilopektin (Yuan, 2007)

Pengukuran kadar amilosa dilakukan secara iodometri berdasarkan reaksi antara

amilosa dengan senyawa iod yang menghasilkan warna biru.

Persiapan larutan Iod

Sebanyak 2 gram larutan Kalium Iodida (KI) dilarutkan kedalam 50 ml air suling

dalam gelas piala 100 ml, kemudian 0,2 gram Iodin dimasukkan dan dikocok dengan

alat pengocok sampai larut. Larutan dipindahkan kedalam labu ukur 100 ml, kemudian

ditambahkan air sulingan sampai volume 100 ml, dikocok kembali sampai merata,

sehingga diperoleh larutan I-KI 2%.

Pembuatan kurva standar amilosa

Petama-tama dilakukan pembuatan kurva standar amilosa dengan menggunakan

amilosa murni sebnayak 40 mg yang dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian

ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 M. Campuran dipanaskan

dalam air mendidih (95oC) selama 10 menit kemudian dipindahkan kedalam labu takar

100 ml. Gel ditambahkan dengan aquades dan dikocok, kemudian ditepatkan hingga

100 ml dengan aquades.

Larutan diatas diambil kemudian dengan menggunakan pipet masing-masing

sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan diasamkan

dengan asam asetat 1 N sebanyak 0,2, 0,4, 0,6, 0,8 dan 1,0 ml. Kedalam masing-masing

38
labu takar ditambahkan 2 ml larutan iod 2% dan aquades sampai tanda tera. Larutan

digoyang-goyang secra manual hingga merata dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian

diukur serannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 620 nm,

dibuat kurva hubungan antara kadar amilosa dengan serapannya.

Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar amilosa contoh. Sebanyak mg sampel

ditempatkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan

9 ml NaOH 1 M. Campuran dipanaskan dalam air mendidih (95 oC) selama 10 menit

hingga terbentukgel dan selanjutnya seluruh gel dipindah kedalam labu takar 100 ml.

Gel ditambahkan dengan air dan dikocok, kemudian ditepatkan hingga 100 ml dengan

air. Sebanyak 5 ml larutan sampel dimasukkan kedalam labu takar 100 ml dan

ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N, 2 ml larutan iod 0,01 N (berangsur-angsur) serta

aquades sampai tanda tera dan dikocok. Sampel tersebut dipanaskan dengan penangas

air pada suhu 30oC selama 20 menit, lalu diukur serapannya dengan spektrofotometer

UV-Vis pada panjang gelombang 620 nm. Serapan yang diperoleh diplotkan pada kurva

standar untuk memperoleh konsntrasi amilosa contoh. Kadar amilosa dihitung

berdasarkan persamaan kurva standar amilosa.

Kadar Amilosa (%) = A x B x C X 100%


D

Keterangan:

A = konsentrasi amilosa sampel yang diperoleh dari kurva standar (mg/100ml)

B = faktor konversi

C = nilai konstanta sampel (100)

D = nilai konstanta- kadar air

Kadar Amilopektin = kadar pati (100%) – kadar amilosa

39
3.6.6 rendemen (Aksan, 2000)

Rendemen diukur dengan penimbangan berat produk dan dibandingkan dengan

berat bersih bahan.

Rumusnya adalah: Rendemen = Berat Produk X 100%


Berat Bahan

3.6.7 Intensitas Warna (Fabre et al.,1993)

Warna sampel ditentukan dengan alat Colour Reader, yang mengukur spektrum

sinar dengan cara merefreksikannya dan mengkonversinya ke set koordinat warna

seperti L, a, b. Koordinat-koordinat ini menunjukkan sistem tiga dimensi yang

mengandung semua warna. Nilai L mewakili Lightness yaitu 0 untuk warna hitam dan

100 untuk warna putih, axix a menunjukkan intensitas warna merah (+) adan hijau (-),

axix b menunjukkan intensitas warna kuning (+) atau biru (-).

3.6.8 Uji Organoleptik Mie Basah (Soekarto, 1985)

Bahwa uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui kesukaan konsumen terhadap

mie, meliputi rasa, aroma, warna(kenampakan), kesukaan dengan tingkat kesukaan,

yaitu suka, agak suka, tidak suka dan sangat tidak suka. Sebagai panelis yaitu orang

yang sudah mendapat pengetahuan dan praktek uji organoleptik dibutuhkan 30 orang

panelis. Yang dapat dikategorikan sebagai panelis yang agak terlatih. Penyajian

organoleptik, untuk rasa disajikan dalam bentuk matang, dibuat dalam bentuk hidangan

dalam bentuk mie dengan bumbu dalam jenis dan jumlah yang sama untuk masing-

masing perlakuan, sedangkan untuk warana, aroma dan tekstur disajikan dalam bentuk

mentah.

40
3.6.9 Penentuan Elongasi (Riki, et. al., 2013)

Sampel mie dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan

probe 0,3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus :

Elongasi (%)= Waktu Putus Sampel (s) x 0,3 cm/s X 100%


2 cm

3.6.10 Daya Putus (Chansri et al., 2005).

Pengujiandaya putusmie dilakukan dengan cara :Mie basah yang sudah direbus

diambil seuntai (misalkan5 cm). Diametermie diukurpada tiga tempat yang berbeda

kemudian dirata-ratakan. Sampel mie dipasang pada pemegang sampel (sampel holder)

untuk pengujian kekuatan tarik ataudaya regangputusmie. Alat yang digunakan pada

pengujian ini ialah Rheometer (Sun Rheometer 100) dan diset pada mode TRAC dengan

kecepatan tarik 19.9 mm/s. Hasil pengujian daya putus kemudian dicatat. Pengujian ini

diulang sebanyak 3 kali (diambil reratanya) untuk setiap perlakuan.

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam atau

Anova (Analysis of Variance) pada tingkat kepercayaan α = 0,05. Uji statistik lanjut

dengan menggunakan Uji T atau Kontras Ortogonal.

41
Umbi Suweg

Pengupasan

Pencucian Air Kotor

Pengirisan dengan
ketebalan 2 mm

Perendaman dalam larutan Natrium


metabisulfit 3000 ppm selama 10
jam

Pengeringan dengan
sinar matahari selama 2
hari

Penggilingan

Pengayakan 80
mesh
Analisa:

 Rendemen
Tepung Suweg
 Amilosa : Amilopektin

Gambar 3. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Suweg, telah dimodofikasi (Farida,

2005)

42
Tepung Terigu : tepung Umbi Suweg (Total
100g)

(90:10 ; 85:15 ; 80:20)

Garam 1g, telur


20g, air 28 ml, Pencampuran
STPP (0,10%,
0,15%, 0,20%,
Pengulenan sampai adonan
0,25%)
kalis (15 menit)

Diistirahatkan (15 menit)

Pembentukan adonan
menjadi lembaran

Pencetakan mie dengan


alat pencetak mie

Perebusan mie selama ±


2 menit
Analisa:

 Kadar Protein
Mie Basah  Kadar Air
 Kadar Abu
 Serat Kasar
 Elongasi
 Penentuan
intensitas warna
(L) (b+) (a+)
 Organoleptik

Gambar 4. Proses Pembuatan Mie Basah (Astawan, 2006)

43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Analisa Bahan Baku

Penelitian ini menggunakan bahan baku yang teridiri dari 3 macam yaitu tepung

suweg, tepung terigu dan STPP (sodium tripolyphosphate). Bahan baku tepung suweg

dilakukan analisa dengan tujuan untuk mengetahui kandungan kimia yang terdapat

dalam bahan tersebut sebelum dilakukannya pengolahan atau sebelum menjadi suatu

produk. Berikut hasil dari analisa kimia bahan baku pada tabel 8.

Tabel 8. Analisa Kimia Bahan Baku


Komponen Kimia Tepung terigu Tepung suweg
Analisa Literatur Analisa Literatur
Amilosa (%) - 28 4 24,29 24,50 1
Amilopektin(%) - 72 4 75,5 80,8 1
Rendemen (%) - 80,9 4 16,76 18,42 1
Kadar Air (%) - 13,5 2 6,57 9,40 3
Kadar Abu (%) - 0,67 2 3,32 4,70 3
Protein (%) - 13,7 2 3,91 5,10 3
Serat (%) - 1,92 2 - 6,39 3
Sumber : 1) Dawan (2010) ; 2)Depkes RI (1996) ; 3) Richana dan Sunarti (2009) ; 4) Sakai (1983)

Berdasarakan Tabel 8. Analisa kimia bahan baku terhadap kandungan amilosa

tepung terigu dan tepung suweg, dihasilkan kandungan amilosa tepung terigu lebih

tinggi yaitu 28% dibandingkan dengan kandungan amilosa tepung suweg sebesar 24%.

Adanya kadar amilosa pada suatu bahan baku dapat mempengaruhi tekstur dan kualitas

dari produk mie basah yang dihasilkan, semakin tinggi kandungan amilosa pada suatu

bahan pangan maka akan memperbaiki tekstur mie basah yang baik, hal itu dikarenakan

amilosa berperan pada saat proses gelatinisasi, retrogradasi dan lebih menentukan

karakteristik adonan atau pasta pati. Menurut Shandu dkk (2010) Tingginya jumlah

amilosa terlarut tersebut akan meningkatkan kekerasan mie karena amilosa terlarut akan

berikatan satu sama lain dengan matriks perngikat. Selain itu, amilosa juga akan

44
mengalami retrogradasi yang dapat mengikat kekerasan mie. Sedangkan rendahnya

kandungan amilosa pada bahan pangan akan menyebabkan tekstur suatu produk yang

dihasilkan kurang baik, lengket dan mempunyai tekstur yang lembek, hal itu

dikarenakan rendahnya kandungan amilosa menyebabkan kurang tercapainya proses

retrogradasi pati selama pembentukan gel sehingga menghasilkan struktur gel yang

lemah. Hal ini didukung oleh Rosa (2004) yang menyatakan bahwa semakin rendah

kandungan amilosa menyebabkan struktur gel yang terbentuk lemah, sehingga

menyebabkan padatan terlarut semakinbesar, akibatnya kelengketan semakin tinggi.

Karakteristik dan tekstur mie basah juga dapat dipengaruhi oleh kandungan

amilopektin pada suatu bahan pangan. Berdasarkan Tabel 8. Menunjukkan bahwa

kandungan amilopektin tepung terigu lebih rendah yaitu 72% dibandingkan kandungan

amilopektin tepung suweg yaitu 75,5%, kandungan amilopektin yang tinggi akan

menyebabkan tekstur yang kurang baik sehingga menyebabkan tekstur dan kekenyalan

mie menurun dan membentuk tekstur adonan yang lengket, hal itu dikarenakan molekul

alopektin membentuk daerah amorf atau kurang kompak sehingga lebih mudah

ditembus air, enzim, dan bahan kimia. Menurut Alam (2007) kadar amilopektin yang

terlalu tinggi akan menyebabkan adonan mie yang dibuat bersifat terlalu lengket. Hal ini

disebabkan amilopektin sulit mengalami retrogradasi untuk mempertahankan struktur

mie.

Rendemen adalah berat bahan setelah proses dibandingkan dengan berat bahan

sebelum proses. Berdasarkan Tabel 8. Menunjukkan bahwa tendemen tepung terigu

lebih tinggi yaitu 80,9% dibandingkan dengan rendemen yang terdapat dalam tepung

suweg lebih rendah yaitu 16,76%. Sedikitnya rendemen yang terdapat dalam tepung

45
suweg dikarenakan tepung suweg berasal dari bahan baku umbi suweg yang yang masih

segar kandungan air dalam umbi masih cukup banyak, sehingga selama proses

pengerinagan akan terjadi penguapan air yang besar sehingga total padatan berkurang

yang berdampak terhadap rendemen tepung yang dihasilkan. Menurut Pijito (2007)

pada proses pengeringan air pada umbi akan menguap sehingga rendemen yang

dihasilkan akan rendah dan menurun.

Air memiliki peran yang sangat penting dalam bahan pangan, pada produk

pangan segar, kadar air merupakan indikator tingkat kesegaran dan kualitas tekstur,

sedangkan pada produk pangan olahan. Kadar air merupakan banyaknya air yang

terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu

karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi

penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Berdasarka Tabel 8.

Menunjukkan bahwa kandungan kadar air pada tepung terigu lebih tinggi yaitu sebesar

13,5% sedangkan kadar air pada tepung suweg lebih rendah yaitu 6,57%, kadar air

tepung suweg yang rendah tersebut diduga dikarena proses selama pembuatan tepung

suweg telah mengalami pengeringan sehingga kandungan air dalam bahan teruapkan

cukup banyak. Selain itu, air dalam bahan pangan akan berfungsi sebagai pembantu

daya ikat dalam protein terhadap bahan yang bersifat hirofobik sehingga dibutuhkan

air yang cukup banyak. Menurut Gaman dan Sherington (1994) bahwa peningkatan

kadar protein selalu diikuti dengan peningkatan kadar air produk. Hal ini disebabkan

protein dalam bahan pangan berfungsi sebagai daya ikat air terhadap bahan dan besifat

hidofobik sehingga membutuhkan air yang besar.

46
Kadar abu merupakan komponen organik yang tertinggal setelah semua karbon

organik dibakar habis. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam

bahan. Kandungan mineral yang berasal dari bahan pangan seger dari tanaman sangat

dipengaruhi oleh kondisi mineral tanah tempat tumbuhnya. Berdasarkan Tabel 8.

Menunjukkan bahwa kadar abu tepung terigu lebih rendah yaitu sebesar 0,67%

sedangkan kadar abu tepung suweg lebih tinggi yaitu sebesar 3,32%. Kandungan kadar

abu yang besar sangat mempengaruhi warna produk mie basah yang dihasilkan,

semakin tinggi kadar abu dalam suatu bahan pangan maka warna pada mie basah

semakin gelap atau kecoklatan. Menurut Hou dan Kruk (1998) kadar abu dalam bahan

pangan seperti mie tidak boleh terlalu tinggi karena kadar abu dalam mie dapat

memberikan efek negatif terhadap warna.

Kandungan protein mempunyai peran yang penting untuk mengetahui tekstur

pada mie basah ataupun suatu produk pangan. Berdasarkan Tabel 8. Menunjukkan

bahwa kadar protein tepung terigu lebih tinggi yaitu 13,7% dibandingkan kadar protein

tepung suweg 3,91%, kandungan protein dalam mie basah sangat memberikan peranan

penting dalam pembentukan tekstur mie basah yang dihasilkan, sehingga semakin

banyak penambahan tepung suweg maka tekstur mie basah semakin berkurang, hal itu

dikarenakan penambahan tepung terigu yang semakin sedikit menyebabkan kandungan

protein dalam mie basah berkurang. Penambahan tepung terigu sebagai bahan substitusi

mie basah sangat diperlukan, dimana didalam tepung terigu terdapat protein gluten yang

dapat menyebabkan tekstur mie menjadi kenyal dan elastis. Gluten merupakan protein

yang tidak larut dalam air yang hanya terdapat dalam tepung terigu. Gluten mempunyai

peranan penting sehubungan dengan fungsi tepung terigu sebagai bahan dasar

47
pembuatan mie dan roti. Menurut Muchtadi (2010) gluten merupakan komponen tepung

terigu yang membentuk sifat kenyal atau elastis dan licin permukaannya.

Serat merupakan salah satu komponen penting makanan yang sebaiknya ada

dalam susunan diet sehari-hari. Serat telah diketahui mempunyai banyak manfaat bagi

tubuh terutama dalam mencegah berbagai penyakit. Serat adalah bagian dari tanaman

yang tidak dapat diserap oleh tubuh. Peranan serat dalam makanan adalah pada

kemampuannya mengikat air, selulosa dan pektin. Adanya serat membantu

mempercepat sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan untuk disekresikan keluar.

Berdasarkan tabel 8. Menunjukkan bahwa kadar serat tepung terigu lebih kecil yaitu

sebesar 1,92% dibandingkan kandungan serat pada tepung suweg yaitu sebesar 6,39%.

Hal itu dikarenakan suweg mempunyai kandungan serat yang tinggi dibandingkan

tepung terigu sehingga dimungkinkan tepung suweg dapat dimanfaatkan sebagai pangan

fungsional.

IV.2 Analisa Mie Basah

IV.2.1 Kadar Protein Mie Basah

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H,

O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno, 2002). Protein

adalah polipeptida yang memiliki berat molekul lebih dari 5.000 makromolekul ini

berbeda beda sifat fisiknya mulai dari enzim yang larut dalam air sampai keratin yang

tak larut seperti rambut dan tanduk. Protein memiliki beberapa fungsi bilogis

diantaranya katalis enzim, transport dan penyimpanan, fungsi mekanik, pergerakan,

pelindung, dan proses informasi (Ngili, 2013 ).

48
Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar

protein mie basah. Sebaran rata-rata nilai kadar protein mie basah dari perlakuan

proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan

konsentrasi STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 . Rata-rata Kadar Protein akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu
dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate)
Perlakuan Kadar Protein (%)
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 10,02 c
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 9,93 c
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 10,95 c
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 9,12 bc
dengan konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 8,57 bc
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 9,81 c
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 4,31 a
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 8,46 bc
dengan konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 8,02 bc
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 10,32 c
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 7,87 b
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 8,84 bc
dengan konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 8,41 a
Kontrol 10,41 b

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda
nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

49
Berdasarkan Tabel 9. menunjukkan bahwa nilai kadar protein mie basah dengan

perlakuan T2P3 (Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP

0,20%) memiliki nilai kadar air terendah yaitu sebesar 4,308 %, sedangkan perlakuan

T1P3 (Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,20%)

memiliki nilai nilai kadar air tertinggi yaitu sebesar 10,955%. Interaksi antara

penambahan tepung suweg dan penambahan konsentrasi STPP sangat berpengaruh

terhadap mie basah yang dihasilkan. Semakin banyak penambahan proporsi subtitusi

tepung suweg maka kadar protein semakin menurun, hal tersebut dikarenakan

kandungan gluten dalam tepung suweg yang rendah. Menurut Fennema (1985) tepung

suweg memiliki kandungan protein lebih rendah dari tepung terigu. Hal ini disebabkan

semakin berkurangnya kandungan gluten seiring dengan penurunan proporsi tepung

terigu. Sedangkan peran penambahan STPP berfungsi untuk memjaga dan

mempertahankan kandungan protein karena peran STPP berfungsi emulsifier yang

dapat menstabilkan pH dan berfungsi untuk menyatukan dua jenis bahan yang tidak

saling melarut. Menurut Suryani (2002) sodium tipoliphosfat merupakan emulsifier

yang dapat menstabilkan pH. Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua

jenis bahan yang tidak saling melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik

dan lipofilik sekaligus. Dimana gugus hidrofilik mampu berikatan dengan minyak atau

bahan lain yang bersifat non polar, sehingga daya ikat air dengan protein tinggi akibat

pH yang tinggi dan gugus hidrofilik dan lipofilik dalam emulsifier.

Namun, pada penelitian nilai kadar protein mie basah mengalami ketidak stabilan.

Hal ini dimungkinkan adanya pengaruh dari bahan baku selama proses

pertumbuhannya. Sebagaimana sesuai dengan pendapat Faridah (2005) karena ketika

50
fase dorman semua cadangan makanan dalam umbi disimpan dalam bentuk karbohidrat,

sehingga ketika ditepungkan akan menyebabkan tingginya persen karbohidrat dan

rendahnya protein . Selain itu ketika fase vegetative masih dimungkinkan masih banyak

terdapat enzim yang merupakan protein sehingga kadar proteinnya lebih tinggi dari fase

dorman. Pada tabel diatas menunjukkan kadar protein mie basah yang naik turun pada

setiap perlakuan, hal ini juga dapat disebabkan oleh proses pengolahan pada saat

perebusan yang tidak terkontrol yang menggunakan panas, dapat menyebabkan

denaturasi protein. Menurut Purnomo (2007) denaturasi terjadi dengan berbagai macam

perlakuan diantaranya dengan adanya perlakuan pemanasan yang dapat merusak ikatan

hidrogen. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan

menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga

mengacaukan ikatan molekul tersebut.

Jika produk mie basah suweg dibandingkan dengan rata-rata produk mie basah

komersial maka kadar protein sebesar 10,41%. Hal ini diduga karena pada mie basah

komersial menggunakan bahan baku tepung terigu yang lebih banyak, jika

dibandingkan dengan produk mie basah suweg. Dengan begitu, semakin banyak

penambahan tepung terigu maka semakin tinggi kandungan protein mie basah tersebut.

Protein mie basah yang diperoleh pada penelitian ini telah memenuhi syarat mutu mie

basah sesuai SNI 01-2987-1992 yaitu minimal 3%.

IV.2.2 Kadar Air Mie Basah

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat

memepengaruhi kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Berdasarkan hasil uji

51
ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung terigu dan tepung suweg

dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat diketahui terjadi adanya

interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar air mie basah. Sebaran rata-

rata nilai kadar air mie basah dari perlakuan proporsi penambahan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi STPP (sodium

tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 . Rata-rata Kadar Air akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu dan
Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate).

Perlakuan Kadar Air (%)


TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 40,28 ab
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 39,62 a
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 41,35 ab
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 42,42 b
dengan konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 39,10 a
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 43,25 b
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 43,80 b
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 41,14 ab
dengan konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 41,68 b
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 42,00 b
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 43,13 b
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 42,54 b
dengan konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 41,69 b
Kontrol 39,94 a
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

52
Berdasarkan Tabel 10. menunjukkan bahwa nilai kadar air mie basah dengan

perlakuan T2P1(Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP

0,10%) memiliki nilai kadar air terendah yaitu sebesar 39,101 %, sedangkan perlakuan

T2P3 (Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP 0,20%)

memiliki nilai nilai kadar air tertinggi yaitu sebesar 43,803%. Seharusnya semakin

sedikit substitusi penambahan tepung terigu maka semakin rendah nilai kadar air mie

basah, akan tetapi pada penelitian ini terjadi ketidak stabilan kenaikan kadar air . Hal

itu, dikarenakan pati dalam mie ketika mie direbus dalam air mendidih maka terjadi

proses gelatinisasi pati serta terjadinya penyerapan air yang berbeda. Menurut Prabowo

(2010) bahwa kemampuan daya serap air suatu pangan seperti tepung dapat berkurang

apabila kadar air tepung terlalu tinggi. Selain itu, peningkatan dan penuruan kadar air

juga dapat dipengaruhi oleh fisik ataupun kimia selama proses pengolahan dan

pengaruh dalam kandungan bahan baku. Menurut Faridah (2005) Kadar air ini sangat

dipengaruhi oleh proses pengeringan dan penepungan. Serta, Tepung suweg tidak

mempunyai kandungan gluten seperti yang ada dalam tepung terigu. Gluten dapat

terbentuk karena pencampuran tepung terigu dengan air pada saat proses pencampuran

bahan. Kandungan gluten yang rendah akan mengakibatkan daya ikat air menjadi lemah

sehingga pelepasan molekulair pada saat proses pengeringan semakin mudah. Selain itu,

penambahan konsentrasi STPP yang berbeda memberikan pengaruh terhadap nilai kadar

air yang dihasilkan. Hal tersebut disebakan sifat STPP yang besifat emulsifier mampu

berikatan dengan air atau bahan lain dan mampu berikatan dengan minyak. Menurut

Suryani (2002) peningkatan kadar air ini disebabkan karena natrium tripoliphosfate

merupakan penstabil memiliki kemapuan untuk menyatukan bahan yang tidak saling

53
melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik. Gugus hidrofilik

mampu berikatan dengan air atau bahan lain yang bersifat polar, sedangkan gugus

lipofilik mampu berikan dengan minyak atau bahan lain yang berfisat non polar. Diduga

peningkatan kadar air mie basah ini dipengaruhi oleh basah baku yang digunakan yaitu

tepung suweg, kondisi tanah dan iklim selama penanaman dapat mempengaruhi

kandungan air dalam bahan dan komposisi atau komponen mineral dalam bahan baku

tersebut. Menurut Faridah (2005) Kandungan mineral bahan segar asal tanaman sangat

dipengaruhi oleh kondisi mineral tanah tempat tumbuhnya.

Rata-rata perlakuan mie basah substitusi suweg jika dibandingkan dengan

kontrol memiliki kadar air yang lebih rendah, hal itu dapat disebabkan karena pada saat

perebusan tidak adanya kontrol penambahan air selama perebusan sehingga rasio air

dengan mie mengalami penyerapan air yang berbeda. Kadar air mie basah pada

penelitian ini lebih tinggi dari persyaratan menurut standart mutu SNI 01-2987-1992

yang menyatakan kadar air mie basah yaitu 20-35%, dengan tingginya kadar air mie

basah tersebut dapat mempengaruhi tingkat daya simpan mie basah yang semakin

rendah.

IV.2.3 Kadar Abu Mie Basah

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui tidak terjadi adanya interaksi secara nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar abu

mie basah. Namun, masing-masing perlakuan antara substitusi tepung terigu dan tepung

suweg dengan penambahan STPP berpengaruh nyatan terhadap kadar abu mie basah.

54
rata-rata nilai kadar abu mie basah dari perlakuan proporsi penambahan substitusi

tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi STPP (sodium

tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 . Rata-rata Kadar Abu Mie Basah

Perlakuan Kadar Abu (%)


Tepung Terigu : Tepung Suweg (%)
T1 90 : 10 0,94 a
T2 85 : 15 1,07 b
T3 80 : 20 1,10 b
Rata-rata Perlakuan 1,04 b
Kontrol 1,00 a
STPP (%)
P1 0,10 0,99 a
P2 0,15 1,03 ab
P3 0,20 1,05 b
P4 0,25 1,08 b
Rata-rata Perlakuan 1,04 b
Kontrol 1,00 a
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

Berdasarkan Tabel 11. menunjukkan bahwa penambahan substitusi tepung terigu

dan tepung suweg dengan proporsin yang berbeda berpengaruh sangat nyata nilai kadar

abu mie basah. Dari tiga proporsi subtitusi yang ditambahkan dalam mie basah memiliki

perbedaan nilai. Penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T1 (90:10)

menghasilkan kadar abu 0,94%, penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg

T2 (85: 15) menghasilkan kadar abu 1,07%, sedangkan penambahan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg T3 (80:20) menghasilkan kadar abu 1,10%, hal tersebut

membuktikan bahwa semakin banyak penambahan proposi substitusi yang ditambahkan

maka semakin meningkat nilai kadar abu mie basah. Hal itu disebabkan karena kadar

55
abu tepung suweg lebih besar yaitu 3,32 jika dibandingkan dengan kadar abu tepung

terigu yaitu 0,67. Besarnya kadar abu pada produk pangan bergantung pada besarnya

kandungan mineral bahan yang digunakan. Apabila kadar abu melebihi dari standart

mutu yang ada maka akan berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan. Semakin

tinggi kadar abu maka warna mie akan semakin gelap. Pendapat menurut Faridah

(2005) menyatakan bahwa Kandungan mineral bahan segar asal tanaman sangat

dipengaruhi oleh kondisi mineral tanah tempat tumbuhnya.

Berdasarkan Tabel 11. menunjukkan bahwa penambahan STPP yang berbeda

berpengaruh nyata nilai kadar abu mie basah. Dari empat konsentrasi STPP yang

ditambahkan dalam mie basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan konsentrasi STPP

P1 (0,10%) menghasilkan kadar abu 0,99%, penambahan STPP P2( 0,15%)

menghasilkan kadar abu 1,03%, P3 (0,20%) menghasilkan kadar abu 1,05%, sedangkan

konsentrasi penambahan P4 STPP(0,25%) menghasilkan kadar abu 1,08%. Dari hasil

Tabel 11. Membuktikan bahwa semakin banyak penambahan konsentrasi STPP yang

ditambahkan akan berpengaruh terhadap nilai kadar abu mie basah, hal tersebut

dikarenakan STPP memiliki sifat emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan

dua jenis bahan yang berbeda dan tidak saling larut. Menurut Suryani,et al (2002)

menyatakan bahwa sodium tripoliphosfat dapat menstabilkan pH dan emulsifier yang

memiliki kemapuan untuk meyatukan dua jenis bahan yang tidak saling larutdan

molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Dimana gugus lipofilik

mampu berikatan dengan bahan lain yang bersifat non polar.

Berdasarkan Tabel 11. Menunjukkan Rata-rata perlakuan mie basah substitusi

tepung suweg jika dibandingkan dengan kontrol maka memiliki kadar abu yang lebih

56
rendah sebesar 1,00. Hal itu dapat dikarenakan kadar abu tepung suweg lebih besar jika

dibandingkan kadar abu tepung terigu. Kadar abu mie basah pada penelitian ini masih

memenuhi persyaratan mutu mie basah sesuai SNI 01-2987-1992 yang menyebutkan

bahwa kadar abu mie basah maksimal 3%. Menurut Moss (2002) kadar abu tidak selalu

mewakili mineral dalam bahan pangan, disebabkan sebagian mineral rusak dan

menguap atau saling bereaksi satu dengan yang lain selama pengabuan pada suhu

tinggi.

IV.2.4 Kadar Serat Mie Basah

Serat adalah bagian dari tanaman yang tidak dapat diserap oleh tubuh, peran

serat dalam makanan adalah pada kemampuannya mengikat air, selulosa dan pektin.

Adanya serat memnbantu mempercepat sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan

untuk disekresikan keluar. Serat penting dalam mentukan penilaian kualitas bahan

makanan karena merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan. Serat

kasar adalah senyawa yang tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia atau

binatang. Didalam analisi penentuan serat kasar diperhitungkan banyaknya zat-zat yang

tidak larut dalam asam encer ataupun basa encer dengan kondisi tertentu.

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar

protein mie basah. Sebaran rata-rata nilai kadar serat mie basah dari perlakuan proporsi

penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi

STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 12

57
Tabel 12 . Rata-rata Kadar Serat akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu
dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate).
Perlakuan Kadar Serat (%)
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,88 b
konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,75 b
konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,60 a
konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 1,07 c
konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,10 c
konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,41 d
konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,55 d
konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,40 d
konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,81 e
konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,55 d
konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,79 e
konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,85 e
konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 1,31 b
Kontrol 0,75 a
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

Berdasarkan Tabel 12. menunjukkan bahwa nilai kadar serat mie basah dengan

perlakuan T1P3 (Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP

0,20%) memiliki nilai kadar air terendah yaitu sebesar 0,60 %, sedangkan perlakuan

T3P4 (Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,25%)

memiliki nilai nilai kadar air tertinggi yaitu sebesar 1,85 %. Kadar serat kasar mie basah

yang disubstitusikan dengan tepung suweg dan penambahan konsentrasi STPP, semakin

banyak penambahan tepung suweg dan STPP maka semakin besar kandungan serat mie

58
basah karena kandungan serat tepung terigu sebesar 1,92 sedangkan tepung suweg 6,39.

Menurut Faridah (2005) peningkatan kadar serat kasar dapat disebabkan karena kadar

serat tepung suweg lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar serat kasar tepung

terigu yaitu 0,430%. Selain itu, terjadinya penurunan serat pangan dapat disebabkan

terlarutnya komponen non serat seperti gula sederhana, asam-asam gula dan komponen

lainnya. Serat pangan mengandung gula seperti glukosa, galaktosa, xilosa, manosa,

arabinosa, rhamnosa dan fruktosa serta asam-asam gula seperti manuronat, galakturonat,

glukuronat dan asam 4-o- metilglukuronat. Menurut Anderson dan Clydesdale (2014)

pemasakan dengan panas dapat mempengaruhi kandungan serat pangan atau mengubah

distribusi serat antara fraksi larut air dengan fraksi tidak larut air.

Rata-rata perlakuan mie basah dengan subtitusi tepung suweg dan STPP

menyebabkan perbedaan kadar serat dengan kontrol, diketahui bahwa nilai kadar serat

kontrol lebih rendah yaitu sebesar 0,75% dibandingkan dengan kadar serat pada rata-

rata perlakuan mie basah substitusi tepung suweg dan STPP sebesar 1,3%. Perbedaan

tersebut akan memberikan hasil serat pada mie basah tersebut berbeda. Selain itu

kandungan serat tepung suweg dinilai lebih besar yaitu 6,39 dibandingkan serat tepung

terigu yaitu 1,92. Meskipun syarat mutu terhadap serat tidak ada. Namun, pada produk

mie basah ini mampu menjadi sebagai pangan fungsional.

4.2.5 Elongasi Mie Basah

Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mie yang

mengalami tarikan sebelum putus. elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Mie

dengan persen elongasai yang tinggi menunjukkan karakteristik mie yang tidak mudah

59
putus. Sifat ini penting karena konsumen tidak menginginkan mie yang hancur saat

dimasak atau putus ketika ditarik pada saat dikonsumsi. Berdasarkan hasil uji ANOVA

menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan

penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat diketahui tidak terjadi adanya

interaksi secara nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar abu mie basah. Namun, masing-

masing perlakuan antara substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan

STPP berpengaruh nyata terhadap kadar abu mie basah. rata-rata nilai elongasi mie

basah dari perlakuan proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg

dengan penambahan konsentrasi STPP (sodium tripolyphosphate).

Tabel 13 . Rata-rata Elongasi Mie Basah

Perlakuan Elongasi (%)


Tepung Terigu : Tepung Suweg (%)
T1 90 : 10 10,29 b
T2 85 : 15 7,57 a
T3 80 : 20 6,15 a
Rata-rata Perlakuan 8,00 a
Kontrol 14,27 b
STPP (%)
P1 0,10 10,44 b
P2 0,15 7,46 a
P3 0,20 6,88 a
P4 0,25 7,24 a
Rata-rata Perlakuan 8,00 a
Kontrol 14,27 b
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

Berdasarkan Tabel 13. menunjukkan bahwa penambahan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan proporsin yang berbeda berpengaruh sangat nyata nilai

kadar elongasi mie basah. Dari tiga proporsi subtitusi yang ditambahkan dalam mie

60
basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg

T1 (90:10) menghasilkan nilai elongasi 10,29%, penambahan substitusi tepung terigu

dan tepung suweg T2 (85: 15) menghasilkan nilai elongasi 7,57%, sedangkan

penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T3 (80:20) menghasilkan nilai

elongasi 6,15%, hal tersebut membuktikan bahwa semakin banyak penambahan proposi

substitusi yang ditambahkan maka semakin menurun tingkat elongasi mie basah.

Karena, elongasi pada mie basah dipengaruhi oleh kandungan protein yang terdapat

pada tepung terigu, sedangkan pada tepung suweg memiliki kandungan protein yang

sedikit dibandingkan kandungan protein pada tepung terigu. Menurut Ali dan Ayu

(2009) bahwa sifat mie yang kenyal diperoleh dari gluten tepung terigu, sehingga

dengan semakin banyaknya substitusi tepung yang rendah gluten akan menghasilkan

mie yang mudah putus. Sedangkan, menurut Aida (2012) berkurangnya gluten akan

mempengaruhi kekenyalan mie, kekenyalan pada mie basah dapat diukur dari elongasi.

Mutu mie basah ditentukan secara fisik dengan analisa elongasi untuk menentukan

kemampuan mie memanjang dari ukuran awal pada saat menerima perlakuan tarikan

dari luar. Menurut Muhandari dan Subarna (2009) nilai elongasi adalah pertambahan

panjang mie akibat gaya tarik. Perolehan nilai elongasi yang tinggi pada mie

menunjukkan bahwa karakteristik pada mie tersebut tidak mudah putus, hal itu

dikarenakan kuliatas mie yang tidak mudah putus adalah salah satu kualitas yang

diinginkan oleh konsumen. Nilai elongasi pada mie yang tinggi dapat disebbakan oleh

kuatnya ikatan pati pada umbi/bahan karena akibat banyaknya pati yang tergelatinisasi

yang akan membentuk struktur gel yang kenyal.

61
Berdasarkan Tabel 13. menunjukkan bahwa penambahan STPP yang berbeda

berpengaruh nyata nilai kadar Elongasi mie basah. Dari empat konsentrasi STPP yang

ditambahkan dalam mie basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan konsentrasi STPP

P1 (0,10%) menghasilkan nilai elongasi 10,44%0, penambahan STPP P2( 0,15%)

menghasilkan nilai elongasi 7,46%, P3 (0,20%) menghasilkan nilai elongasi 6,88%,

sedangkan konsentrasi penambahan P4 STPP(0,25%) menghasilkan elongasi 7,24%.

Menurut Suryani,et al (2002) menyatakan bahwa sodium tripoliphosfat dapat

menstabilkan pH dan emulsifier yang memiliki kemapuan untuk meyatukan dua jenis

bahan yang tidak saling larutdan molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik

sekaligus. Dimana gugus lipofilik mampu berikatan dengan bahan lain yang bersifat non

polar. Selain itu ,peran STPP juga berpengaruh terhadap nilai elongasi mie basah karena

STPP memiliki sifat mempengaruhi tekstur karena mampu menggelatinisasi pati-

protein. Hal tersebut sesuai, Menurut Hal tersebut sesuai menurut Widyaningsih dan

Murtini (2006) bahwa semakin banyak jumlah sodium tripoliphosfat maka semakin

meningkat nilai tekstur. Hal ini terjadi karena penggunaan Sodium tripoliphosfat pada

mie basah dimungkinkan karena sifat sodium tripoliphosfat dapat berperan pada proses

gelatinisasi pati-protein sehingga mempengaruhi tekstur mie menjadi lebih liat dan

kenyal.

Rata-rata perlakuan mie basah substitusi tepung suweg jika dibandingkan

dengan kontrol komersial lebih tinggi yaitu 14,27%. Secara fisik mie basah kontrol

komersial lebih kenyal dibandingkan dengan mie basah perlakuan. Hal tersebut dapat

diduga karena kandungan protein pada tepung terigu lebih tinggi dibandingkan dengan

protein tepung suweg. Menurut Ali dan Ayu (2009) bahwa sifat mie yang kenyal

62
diperoleh dari gluten tepung terigu, sehingga dengan semakin banyaknya substitusi

tepung yang rendah gluten akan menghasilkan mie basah yang mudah putus.

sedangkan rata-rata perlakuan mie basah penambahan STPP jika dibandingkan kontrol

komersial lebih tinggi yaitu 14,27%, STPP secara umum fungsi dari bentuk fosfat

dalam makanan adalah bereaksi kimia secara langsung dengan bahan makanan,

penstabil pH, pendispersi bahan makanan, penstabil emulsi.

4.2.6 Daya Putus Mie Basah

Daya putus (Tensile strength) merupakan nilai gaya diperlukan untuk memutus

untaian mie. Tensile strength cocok digunakan sebagai parametr kekuatan mie.

Semakin rendah nilai gaya (N) menunjukkan semakin mudah putus mie sehingga

menurunkan kualitas pada kie. Selain iitu peranan gluten juga menyebabkan mie

memiliki sifat elastisitas apabila terdapat tekanan yang berupa tarikan ataupun

regangan.

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap tekstur

(kekenyalan) mie basah. Sebaran rata-rata nilai tekstur mie basah dari perlakuan

proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan

konsentrasi STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 14.

63
Tabel 14 . Rata-rata Daya putus akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu
dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) .

Perlakuan Daya Putus(N)


TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,02 a
konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,02 ab
konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,02 ab
konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,03 b
konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 0,03 c
konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 0,04 d
konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 0,05 e
konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 0,06 f
konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 0,05 e
konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 0,07 g
konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 0,08 h
konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 0,10 i
konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 0,05 a
Kontrol 0,08 b
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

Berdasarkan Tabel 14. menunjukkan bahwa daya putus mie basah berpengaruh

sangat nyata pada perlakuan konsentrasi substitusi tepung terigu dan tepung suweg

dengan konsentrasi STPP. Nilai daya putus mie basah terendah terdapat pada perlakuan

T1P1 (Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,10%)

yaitu sebesar 0,018%, sedangkan nilai daya putus yang tertinggi terdapat pada

perlakuan T3P4 (Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP

64
0,25%) yaitu sebesar 0,103%. Maka semakin banyak penambahan tepung suweg dan

konsentrasi STPP nilai daya putus semakin tinggi sehingga tingkat daya putus mie

tersebut tidak mudah putus. Hal tersebut diduga peranan STPP memberikan pengaruh

pada mie basah selama proses gelatinisasi. Menurut Amalia (2011) kekenyalan dan

elastisitas pada mie basah dipengaruhi oleh adanya kandungan gluten dalam tepung

terigu. Selain itu, penambahan konsentrasi STPP akan mempengaruhi daya putus

terhadap mie basah. Hal itu dikarenakan STPP memiliki sifat dapat berperan pada

proses gelatinisasi serta bersifat sebagai emulsifier yaitu mampu menyatukan dua jenis

bahan yang berbeda atau tidak saling melarut. Penggunaan Sodium tripoliphosfat pada

mie basah dimungkinkan karena sifat sodium tripoliphosfat dapat berperan pada proses

gelatinisasi pati-protein sehingga mempengaruhi mie menjadi lebih liat dan kenyal.

Menurut Suryani (2002) sodium tripoliphosfat merupakan emulsifier yang dapat

menstabilkan pH. Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua jenis bahan

yang tidak saling melarut karena molekunya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik

sekaligus. Dimana gugus hidrofilik mampu berikatan dengan minyak atau bahan lain

yang bersifat non polar, sehingga daya ikat air dengan protein tinggi akibat pH yang

tinggi dan gugus hidrofilik dan lipofilik dalam emulsifier.

Rata-rata perlakuan perlakuan mie basah substitusi tepung suweg dan STPP jika

dibandingkan dengan kontrol memiliki daya putus yang lebih tingggi, hal ini

dikarenakan kadar protein pada tepung terigu yang lebih besar daripada kadar protein

tepung suweg, protein tepung terigu yaitu sebesar 13,7% sedangkan tepung suweg

hanya 3,91. Maka semakin tinggi kandungan protein pada suatu bahan maka semakin

tinggi daya putus mie basah.

65
4.2.7 Tingkat Kemerahan (a+)

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui tidak terjadi adanya interaksi secara sangat nyata maupun nyata (α= 0,05)

terhadap tingkat Kemerahan (a+) mie basah, dimasing-masing perlakuan antara proporsi

substitusi tepung terigu dan tepung suweg serta konsentrasi penambahan STPP jugs

tidsk berpengaruhterhadap tingkat kemerahan (a+) mie basah, hal itu dikarenakan mie

basah pada penelitian ini tidak memiliki tingkat warna kemerahan terhadap produk yang

didapatkan.

3.00

2.50

2.00

1.50

1.00

0.50

0.00
T1P1 T1P2 T1P3 T1P4 T2P1 T2P2 T2P4T2P3 T3P1 T3P2 T3P3 T3P4
Gambar 5. Histogram Tingkat Kemerahan (a+) Mie Basah akibat perlakuan substitusi
Tepung Suweg dan STPP

Hasil mie basah dalam penelitian ini memiliki warna kecoklatan karena bahan

dasar tepung yang digunakan yaitu tepung suweg berwarna kuning kecoklatan atau

66
kecoklatan. Selain itu, warna coklat pada tepung suweg mempunyai warna dominan

kecoklatan karena dalam proses pembuatan telah mengalami reaksi enzimatis dan

kimiawi. Meunurut . Ramalingam dkk (2010) dan Suja (2013) bahwa Warna coklat

pada tepung suweg ini diduga dipengaruhi kandungan fenol dalam umbi, dalam umbi

suweg mengandung senyawa fenol. Panja dan Adhikary (2016) membuktikan beberapa

kultivar umbi suweg mengandung total fenol tinggi yaitu 50,44 mg/100g. Fenol akan

menyebabkan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis. Enzim fenol oksidase akan bereaksi

dengan oksigen diudara yang akan mengubah fenol menjadi hidroksi quinon yang

berwarna coklat. Enzim ini akan kontak langsung dengan substratnya yaitu fenol ketika

proses pengupasan dan perajangan umbi (Muchtadi dkk., 2013). Disisi lain dimung-

kinkan terjadi reaksi maillard selama proses pembuatan tepung. Reaksi maillard ini

terjadi karena gugus reduksi gula reduksi bereaksi dengan gugus amin dari protein dan

dengan adanya panas selama pengeringan maupun penepungan sehingga menghasilkan

warna coklat. Hal ini bersesuaian dengan adanya kandungan gula reduksi dan protein

dalam tepung dan umbi suweg.

4.2.8 Tingkat Kecerahan Mie Basah (L)

Intensitas warna lightness (L) adalah tingkatan warna berdasarkan pencampuran

dengan unsur putih sebagai unsur warna yang memunculkan kesan warna terang atau

gelap. Nilai koreksi warna pada brightness/lightness berkisar antara 0 untuk warna

paling gelap dan 100 untuk warna paling terang (Hapsari,2011).

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

67
diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap kecerahan (L)

mie basah. Sebaran rata-rata nilai kecerahan mie basah dari perlakuan proporsi

penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi

STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 15

Tabel 15 . Rata-rata Tingkat Kecerahan (L) akibat Interaksi Perlakuan Substitusi


Tepung Terigu dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium
tripolyphosphate) STPP (sodium tripolyphosphate).
Perlakuan Kecerahan (L)
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 49,75 c
konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 50,25 cd
konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 47,55 bc
konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 50,10 cd
konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 46,90 b
konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 44,55 a
konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 48,65 b
konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 49,20 bc
konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 49,90 cd
konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 48,25 bc
konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 49,10 bc
konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 47,15 bc
konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 48,45 a
Kontrol 52,37 b
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

Berdasarkan Tabel 15. menunjukkan bahwa tingkat kecerahan (L) mie basah

dengan perlakuan T2P2 (Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan

konsentrasi STPP 0,15%) memiliki nilai ktingkat kecerahan terendah yaitu sebesar

68
44,6%, sedangkan perlakuan T1P4 (Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan

konsentrasi STPP 0,25%) memiliki nilai tingkat kecerahan tertinggi yaitu sebesar

50,1%. Tingkat kecerahan suatu produk mie basah suweg dapat dipengaruhi oleh bahan

baku tepung suweg yang digunakan, pengaruh iklim dan reaksi kimiawi dari bahan baku

tersebut sangat mempengaruhi hasil akhir terhadap tepung suweg yang dihasilkan. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Srivastava (2014) yaitu pengeringan juga akan

mempengaruhi warna tepung suweg. Pengeringan dengan sinar matahari akan terlihat

berbeda warnanya dengan pengeringan menggunakan oven. Pengeringan dengan sinar

matahari akan menghasilkan warna coklat krem karena teroksidasi oleh udara,

sedangkan pengeringan dengan menggunakan oven akan menghasilkan warna lebih

putih. Menurut Faridah (2005) warna tepung suweg dari fase dorman lebih cerah

dibandingkan fase vegetatif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena ukuran partikel

tepung suweg fase dorman lebih halus dibandingkan fase vegetatif. Ukuran partikel

yang semakin halus dinyatakan dengan nilai PSI yang semakin tinggi. Selain itu

dimungkinkan juga karena adanya browning pada tepung suweg oleh reaksi gula

reduksi dan asam amino. Gula reduksi akan menyebabkan browning non enzimatis

karena bereaksi dengan asam amino dari protein selama proses pengeringan.

4.2.9 Tingkat Kekuningan (b+)

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui tidak terjadi adanya interaksi secara sangat nyata maupun nyata (α= 0,05)

terhadap tingkat Kemerahan (b+) mie basah, dimasing-masing perlakuan antara

69
proporsi substitusi tepung terigu dan tepung suweg serta konsentrasi penambahan

STPP juga tidak berpengaruh terhadap tingkat kemerahan (b+) mie basah.

10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
TIP1 T1P2 T1P3 T1P4 T2P1 T2P2 T2P3 T2P4 T3P1 T3P2T3P3 T3P
4

hal itu dikarenakan mie basah pada penelitian ini tidak memiliki tingkat warna

kuning terhadap produk yang didapatkan. Hasil mie basah dalam penelitian ini memiliki

warna kecoklatan karena bahan dasar tepung yang digunakan yaitu tepung suweg

berwarna kuning kecoklatan atau kecoklatan. Selain itu, warna coklat pada tepung

suweg mempunyai warna dominan kecoklatan karena dalam proses pembuatan telah

mengalami reaksi enzimatis dan kimiawi. Meunurut . Ramalingam dkk (2010) dan Suja

(2013) bahwa Warna coklat pada tepung suweg ini diduga dipengaruhi kandungan

fenol dalam umbi, dalam umbi suweg mengandung senyawa fenol. Panja dan Adhikary

(2016) membuktikan beberapa kultivar umbi suweg mengandung total fenol tinggi yaitu

50,44 mg/100g. Fenol akan menyebabkan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis. Enzim

fenol oksidase akan bereaksi dengan oksigen diudara yang akan mengubah fenol

menjadi hidroksi quinon yang berwarna coklat. Enzim ini akan kontak langsung dengan

substratnya yaitu fenol ketika proses pengupasan dan perajangan umbi (Muchtadi dkk.,

2013). Disisi lain dimungkinkan terjadi reaksi maillard selama proses pembuatan

70
tepung. Reaksi maillard ini terjadi karena gugus reduksi gula reduksi bereaksi dengan

gugus amin dari protein dan dengan adanya panas selama pengeringan maupun

penepungan sehingga menghasilkan warna coklat. Hal ini bersesuaian dengan adanya

kandungan gula reduksi dan protein dalam tepung dan umbi suweg.

4.2.10 Organoleptik Mie Basah

4.2.10.1 Skor Rasa

Rasa merupakan faktor yang cukup penting dari suatu produk makanan selain

penmapakan dan warna. Umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa

saja,akan tetapi merupakan gabungan dari berbagai macam rasa yang terpadu sehingga

akan menimbulkan cita rasa makanan yang utuh dan padu.

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar

protein mie basah. Sebaran rata-rata nilai kadar protein mie basah dari perlakuan

proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan

konsentrasi STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 16.

71
Tabel 16 . Rata-rata Skor Rasa akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu dan
Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) STPP (sodium
tripolyphosphate).

Perlakuan Rasa
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,17 f
konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 2,90 ef
konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 2,83 e
konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 2,80 e
konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,30 d
konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,90 c
konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,13 cd
konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,87 c
konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,70 b
konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,73 bc
konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,40 ab
konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,33 a
konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 2,17 a
Kontrol 3,10 b
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

Keterangan :
1. Sangat berpasir 2. Berpasir 3. Agak berpasir 4. Tidak Berpasir

Berdasarkan Tabel 16. menunjukkan bahwa nilai rasa mie basah dengan

perlakuan T3P4 (Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP

0,25%) memiliki nilai rasa terendah yaitu sebesar 1,35%, sedangkan perlakuan TIPI

(Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,10%)

72
memiliki nilai nilai rasa tertinggi yaitu sebesar 3,12%. Semakin banyak penambahan

proporsi tepung suweg dan STPP maka akan menurunkan tingkat nilai rasa pada mie

basah. Rasa yang dihasilkan dari mie basah dengan perlakuan penambahan tepung

suweg dan STPP yang paling banyak tidak disukai panelis hal tersebut dikarenakan

meninggalkan sisa seperti berpasir didalam mulut. Hal itu dikarenakan umbi suweg

memiliki kandungan glukomanan sehingga dapat mempengaruhi tingkat kehalusan

tepung suweg yang didapat. Menurut Silmi (2016) semakin kasar dengan semakin

tingginya substitusi tepung suweg karena tepung suweg mengandung glukomanan yang

merupakan serat makanan yang memiliki ukuran granula lebih besar yaitu 5 μm

dibandingkan komponen lain. Penambahan STPP berfungsi untuk penstabil dan

emulsifier dalam bahan. Menurut Suryani (2002) sodium tipoliphosfat merupakan

emulsifier yang dapat menstabilkan pH. Emulsifier memiliki kemampuan untuk

menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling melarut karena molekulnya terdiri dari

gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Rata-rata perlakuan mie basah dengan

penambahan tepung suweg dan STPP menyebabkan perbedaan skor rasa dengan kontrol

pasaran, skor rasa kontrol pasaran lebih disukain dibandingkan dengan perlakuan,

dikarenakan penambahan substitusi tepung suweg yang terlalu banyak akan

mempengaruhi rasa, karena ciri khas dari umbi suweg mempunyai tekstur yang kasar.

Menurut Silmi (2016) semakin kasar dengan semakin tingginya substitusi tepung suweg

karena tepung suweg mengandung glukomanan yang merupakan serat makanan yang

memiliki ukuran granula lebih besar yaitu 5μm dibandingkan komponen lain

73
4.2.8.2 Skor Aroma

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui terjadi adanya interaksi secara nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar protein

mie basah. Sebaran rata-rata nilai kadar protein mie basah dari perlakuan proporsi

penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi

STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 . Rata-rata Skor Aroma akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu
dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate).

Perlakuan Aroma
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,67 d
konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,60 d
konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,13 c
konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,00 c
konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,53 b
konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,40 b
konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,33 d
konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,13 a
konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 2,00 a
konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 2,03 a
konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 2,03 a
konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,87 a
konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 2,56 a
Kontrol 3,33 b

74
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

1. sangat beraroma 2. beraroma 3. agak beraroma 4. tidak beraroma

Berdasarkan Tabel 17. menunjukkan bahwa nilai rasa mie basah dengan

perlakuan T3P4 (Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP

0,25%)memiliki nilai rasa terendah yaitu sebesar 1,53%, sedangkan perlakuan TIPI

(Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,10%)

memiliki nilai nilai rasa tertinggi yaitu sebesar 3,38%. Rata- rata nilai aroma mie basah

semakin menurun seiring dengan peningkatan penamabahan proporsi tepung suweg dan

konsentrasi STPP. Dapat disimpulkan bahwa skor aroma mie basah yang banyak

disukai oleh panelis yaitu mie basah dengan penambahan proporsi tepung suweg dan

konsentrasi STPP yang sedikit, penambahan tepung suweg yang banyak akan

memberikan aroma mie basah yang langu bau ciri khas dari suweg. Menurut Kruger

(1996) penambahan garam alkali juga dapat memeberikan karakter aroma dan flavor

yang khas, memeberikan warna kuning, serta tekstur yang kuat dan elastis pada adonan

mie. Sedangkan, penambahan proporsi tepung suweg memeberikan pengaruh yang

sangat nyata terhadap aroma mie basah yang dihasilkan. Menurut Winarno (1997)

aroma tepung suweg ini sangat berkaitan dengan banyaknya senyawa volatil yang

terdapat pada tepung. Proses pengeringan diduga memberikan kontribusi dalam faktor

aroma tepung.

4.2.8.3 Skor Warna

75
Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui terjadi adanya interaksi secara nyata (α= 0,05) terhadap nilai kenampakan

(warna) mie basah. Sebaran rata-rata nilai kenampakan (warna) mie basah dari

perlakuan proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan

penambahan konsentrasi STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 . Rata-rata Kenampakan(Warna) Mie Basah

Perlakuan
Kenampakan (%)
Tepung Terigu : Tepung Suweg (%)
T1 90 : 10 3,34 b
T2 85 : 15 2,98 b
T3 80 : 20 1,75 a

Rata-rata Perlakuan 2,69 a


Kontrol 3,57 b
STPP (%)

P1 0,10 2,18 a
P2 0,15 2,08 a
P3 0,20 1,93 a
P4 0,25 1,88 a
Rata-rata Perlakuan 2,69 a
Kontrol 3,57 b
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

1. sangat kecoklatan 2. Kecoklatan 3. Agak kecoklatan 4. Tidak kecoklatan

Warna mempunyai peran dan arti yang sangat penting pada komoditas pangan,

karena mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap komoditas tersebut. Walaupun

produk produk tersebut mempunyai nilai gizi yang tinggi, rasa enak dan tekstur baik,

namun jika warna kurang menarik maka produk tersebut kurang diminati. Berdasarkan

Tabel 18. menunjukkan bahwa penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg

76
dengan proporsin yang berbeda berpengaruh sangat nyata nilai kenampakan (warna)

mie basah. Dari tiga proporsi subtitusi yang ditambahkan dalam mie basah memiliki

perbedaan nilai. Penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T1 (90:10)

menghasilkan nilai kenampakan 3,34%, penambahan substitusi tepung terigu dan

tepung suweg T2 (85: 15) menghasilkan nilai kenampakan 2,98%, sedangkan

penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T3 (80:20) menghasilkan nilai

kenampakan 1,75%, Menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan proporsi

tepung suweg memberikan warna yang semakin cokelat. Warna cokelat pada mie basah

desebabkan karena tepung suweg yang digunakan dalam penelitian ini berwarna

kecokelatan akibat adanya reaksi pencokelatan,maillard dan reaksi enzimatis. Menurut

pendapat Ramalingan (2010) menyatakan bahwa disisi lain dimungkinkan terjadi reaksi

maillard selama proses pembuatan tepung. Reaksi maillard ini terjadi karena gugus

reduksi gula reduksi beraksi dengan gugus amin dari protein dan dengan adanya panas

selama pengeringan maupun penepungan sehingga mengahasilkan warna coklat.

Muchtadi (2013) membuktikan beberapa kultivar umbi suweg mengandung fenol tinggi

yaitu 50,44 mg/100g. Fenol akan menyebabkan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis.

Enzim fenol oksidase akan bereaksi dengan oksigen diudara yang akan mengubah fenol

menjadi hidroksi quinon yang berwarna coklat. Enzim ini akan kontak langsung dengan

subtratnya yaitu fenol ketika proses pengupasan dan perajangan umbi.

Berdasarkan Tabel 18. menunjukkan bahwa penambahan STPP yang berbeda

berpengaruh nyata nilai kenampakan mie basah. Dari empat konsentrasi STPP yang

ditambahkan dalam mie basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan konsentrasi STPP

P1 (0,10%) menghasilkan nilai kenampakan 2,18%, penambahan STPP P2( 0,15%)

77
menghasilkan kenampakan 2,08%, P3 (0,20%) menghasilkan nilai kenampakan 1,93%,

sedangkan konsentrasi penambahan P4 STPP(0,25%) menghasilkan kenampakan

1,88%,sedangkan STPP memberikan peran sebagai penstabil dan mampu berikatan

dengan bahan lain. Menurut Suryani (2002) bahwa sodium tripoliphosfat berfungsi

sebagai penstabil emulsi dan penstabil warna. Emulsifier memiliki kemampuan untuk

menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling melarut dan molekulnya terdiri dari

gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Dimana gugus lipofilik mampu berikatan

dengan bahan lain bersifat non polar.

4.2.8.4 Skor Kesukaan

Kesukaan secara keseluruhan merupakan salah satu aspek yang dinilai pada

pengujian tingkat kesukaan para panelis terhadap sifat sensori mie basah. Penilaian

terhadap kesukaan dimaksudkan untuk mengetahui seberapa pengaruh substitusi tepung

suweg dan konsentrasi STPP sehingga mie basah yang dihasilkan masih dapat diterima

oleh oleh panelis atau konsumen. Tingkat kesukaan dan penerimaan panelis terhadap

suatu produk mungkin tidak hanya dipengaruhi oleh satu produk, namun dapat

dipengaruhi oleh berbagai macam faktor sehingga menimbulkan penerimaan yang utuh.

Kesukaan panelis terhadap salah satu parameter tersebut dapat meningkatkan nilai

kesukaan untuk parameter kesukaan.

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat

diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) tingkat kesukaan mie

basah. Sebaran rata-rata tingkat kesukaan mie basah dari perlakuan proporsi

78
penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi

STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 . Rata-rata Kesukaan Mie Basah


Perlakuan
Kesukaan (%)
Tepung Terigu : Tepung Suweg (%)
T1 90 : 10 3,35 c
T2 85 : 15 2,98 b
T3 80 : 20 1,79 a
Rata-rata Perlakuan 2,71
Kontrol 2,87
STPP (%)
P1 0,10 2,93 b
P2 0,15 2,77 b
P3 0,20 2,60 ab
P4 0,25 2,52 a
Rata-rata Perlakuan 2,74 b
Kontrol 2,87 a
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.

1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Agak suka 4. Suka

Berdasarkan Tabel 18. menunjukkan bahwa penambahan substitusi tepung

terigu dan tepung suweg dengan proporsin yang berbeda berpengaruh sangat nyata nilai

kesukaan mie basah. Dari tiga proporsi subtitusi yang ditambahkan dalam mie basah

memiliki perbedaan nilai. Penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T1

(90:10) menghasilkan kesukaan 3,35%, penambahan substitusi tepung terigu dan

tepung suweg T2 (85: 15) menghasilkan kesukaan 2,98%, sedangkan penambahan

substitusi tepung terigu dan tepung suweg T3 (80:20) menghasilkan kesukaan 1,79%,

Berdasarkan Tabel 18. menunjukkan bahwa penambahan STPP yang berbeda

berpengaruh nyata nilai kenampakan mie basah. Dari empat konsentrasi STPP yang

79
ditambahkan dalam mie basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan konsentrasi STPP

P1 (0,10%) menghasilkan kesukaan 2,93 %, penambahan STPP P2( 0,15%)

menghasilkan kesukaan 2,77%, P3 (0,20%) menghasilkan nilai kenampakan 2,60%,

sedangkan konsentrasi penambahan P4 STPP(0,25%) menghasilkan kesukaan

2,52%,berdasarkan hasil Tabel 19. Menunjukkan bahwa berdasarkan uji hedonik panelis

tentang kesukaan, jika dibandingkan dengan kontrol pasaran mie yang didapat tidak

jauh berbeda dengan nilai kontrol, hal tersebut bahwa mie suweg ini diterima panelis,

namun dari segi warna kenampakan panelis lebih suka mie penambahan tepung suweg

yang sedikit.

IV.3 Penentuan Perlakuan Terbaik

Penentuan perlakuan yang paling baik dilakukan dengan menggunakan metode

indeks efektivitas (effectiveness index). Penentuan perlakuan terbaik berdasarkan

metode indeks efektivitas, yaitu dengan menentukan bobot untuk setiap parameter,

menentukan nilai efektivitas (NE) dan nilai produk (NP) yang selanjutnya nilai produk

pada setiap parameter dijumlah untuk mendapatkan perlakuan terbaik.

Berdasarkan Tabel 20. Menunjukkan bahwa perlakuan terbaik pertama adalah

perlakuan T1P1 (penambahan tepung terigu 90% dan tepung suweg 10% : konsentrasi

STPP 0,10%), sedangkan pada perlakuan terbaik kedua diperoleh dari perlakuan T1P2

(penambahan tepung terigu 90% dan tepung suweg 10% : konsentrasi STPP 0,15% ),

dan perlakuan terbaik ketiga diperoleh dari perlakuan T1P4 (penambahan tepung terigu

90% dan tepung suweg 10% : konsentrasi STPP 0,25% ) merupakan perlakuan yang

diharapkan dala penelitian ini dan layak untuk dikonsumsi karena dapat menghasilkan

80
beberapa manfaat yang baik dikonsumsi untuk penderita kolesterol serta dapat

mengurangi penggunaan tepung terigu dan hasil organoleptik dapat diterima panelis.

81
V. KESIMPULAN

V.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Terjadi interaksi antara perlakuan proporsi tepung suweg dan tepung suweg dengan

Konsentrasi penambahan STPP terhadap kadar protein, kadar air, kadar abu, serat

kasar, elongasi, daya putus, tinggkat kecerahan (L), rasa, aroma, kenampakan

(Warna), kesukaan.

2. Tepung terigu dan tepung suweg berpengaruh terhadap kadar protein, kadar air,

kadar abu, serat kasar, elongasi, daya putus, tinggkat kecerahan (L), rasa, aroma,

kenampakan (Warna), kesukaan.

3. Konsentrasi penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) berpengaruh terhadap

terhadap kadar protein, kadar air, kadar abu, serat kasar, elongasi, tekstur, tinggkat

kecerahan (L), rasa, aroma, kenampakan (Warna), kesukaan.

V.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian untuk mencari cara proses pembuatan tepung umbi

suweg yang baik dan penggilingan tepung suweg yang mempunyai standart kehalusan

yang baik sehingga mampu menghasilkan produk akhir yang memiliki kenampakan,

rasa,aroma dan kesukaan yang disukai panelis. Selain itu, produk ini mampu menjadi

produk olahan dari umbi suweg yang mampu mengurangi penggunaan tepung terigu

dan meningkatkan daya jual umbi suweg.

82
DAFTAR PUSTAKA

Ahsan. 2000. Daya Hipokolesterolemik Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus


campanulatus) pada Tikus Percobaan (Rattus norvegicus). Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Aida. 2012. Ubi kayu Substitusi bebrbagai tepung-tepungan. Food Review 3:18-22

Ali dan Ayu. 2009. Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Pati Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L.) pada Pembuatan Mie Kering. Laboratorium Pengolahan
Hasil Pertanian, Fakultas Pertania Universitas Riau, Pekanbaru.

Amalia. R. 2011. Kajian Karakteristik dan Organoleptik Snack Bars dengan


Bahan Dasar Tepung Tempe dan Buah Nangka Kering Sebagai Alternatif
AFGF (Casein Free Gluten Free). Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Andarwula2011. Uji Karakteristik Fisik, Kimia dan Organoleptik Pembuatan


Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B) sebagai Bahan
Pangan Alternatif. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis 3(1): 11-18.
Anggrarini. 2010. Pemanfaatan Tepung Iles-Iles Kuning (Amorphophallus
onchophyllus) sebagai Sumber Serat pada Pembuatan Cookies Berserat
Tinggi. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2007. Nilai / kandungan gizi pada mi instan Indomie, Supermi, Sarimi,
Kare, Pop Mie, Mie Sedap, dll. http://nurzanepastry. Blogspot.com. diakses
pada tanggal 3 Mret 2014

AOAC. 2005. Official of Analysis of Official Analytical Chemistry. AOAC inc.


Arlington. USA.36 p

Astawan. 2008. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta.

Aulia dan Widjanarko. 2014. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Kacang Hitam
dan Aplikasinya pada Brownies Panggang. Jurnal Mutu Pangan 2(1): 26-33.

Brandburny. 1988. Analysis of Complete Nutritional Profile of Amorphophallus


Campanulatus Tuber Cultivated in Howrah District of West Bengal, India.
Asian J Pharm Clin Res 7(3):25-29.

Catterwood. 2007. Physicochemical Properties of Selected Varieties of Elephant


Foot Yam (Amorphophallus paeoniifolius). International Journal of Home
Science 2(3): 353-357.
Chichester. 1975. 1997.Improvement Of Barrier Property Of Rice Starch-chitosan
Composite Film Incorporated with Lipids. Prince of Songkla University.

83
Clydesdale. 2014. Evaluation of Starch noodles made from three typical Chinese
sweet-potato starches. Journal of Food Science 67(9): 3342-3347.

Dewisari. 1992. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Pati Umbi Ganyong
(Canna edulis Kerr.) dan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) serta
Sifat Penerimaan Amilase terhadap Pati. Skripsi. FakultasTeknologi
Pertanian IPB. Bogor.

Direktorat Gizi Masyarakat. 1992. Komposisi nutrisi bahan pangan. Dep. Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.

De Garmo. E. Sullivan,W. Dan Canda. J. 1984. Engineering Economy. Milan


Publishing Company. New York.

Ernawati. 2010. Perkembangan Teknologi Pengolahan Mie. Jurnal Penelitian dan


Pengembangan Pascapanen Pertanian serta Pusat Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Agroindustri, BPPT. Jakarta.

Fabre. C.E.,a.l. Santerre, N.O. Loret, R. Baberian, A. Parailleux, G. Goma and P.J.
Blanc, 1993. Production and food Applications of The Red Pigments of
Monascus rubber. J.Food Sci. 58 (5):1099-1110.
Fadilah. N. 2004. Pengaruh Pengolahan Mie Instant terhadap Daya Cerna Pati
secara in vitro. Skripsi Fakultas Teknologi Pangan, IPB. Bogor.hlm 12-15

Fanemma. O. NR. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.

Faridah. Didah Nur. 2005. Sifat Fisikokimia Tepung Suweg (Amorphopallus


campanulatus B1.) dan Indeks Glikemiknya. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan. Volume 16 no. 3.

Ginting. 2011. Pengaruh Konsentrasi Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) dan Jenis
Tepung pada Pembuatan Mie Basah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner 2008.

Harahap. 2007. Teknologi Pengolahan Pati. Pusat Antar Universitas. Pangan dan
Gizi Universitas Gadjah Mada.

Irviani, L.I.dan F.C. Nisa.2014. Kualitas Mie Kering Tersubsitusi Mocaf. Jurnal
Pangan dan Agroindustri. Vol. 3 No 1 p.215-225. Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, FTP Universitas Brawijaya. Malang.

Judoadmijojo. 1985. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk


MieBasah. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Kasno. 2009. Agribisnis Tanaman Suweg. Gema Pertapa. Jakarta. 24 hal.

84
Kay.D. 1973. Root Crops. The Tropical Products Institute Foregn and Commonwealth
Office England.

Kriswidarti T. 1980. Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl. J.) kerabat bunga


bangkai yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Buletin Kebun Raya.
4(5):171-174.

Kruger, J.E and R.B. Matsuo. 1996. Pasta and Noodle Technology. American
Association of Cereal Chemist, Inc. Minnesota.

Kurniawati. A.D. 2010. Pengaruh Tingkat Pencucian dan Lama Kontak dengan
Etanol Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tepung Porang. Skripsi Universitas
Brawijaya. Malang.

Lingga. P. 2006. Bertanam Ubi-ubian. PT Penebar Swadaya. IKAPI, Jakarta.

Lukitaningsih. E., Rumiyati, I. Puspitasari, dan M. Christiana. 2012. Analysis of


Macronutriencontent, Glycemic Index and Calcium Oxalate Elimination In
Amorphophallus campanulatus (Roxb.). Jurnal Natural 12(2):1-8.
Mawarni, R.T. dan S.B. Widjanarko. 2015. Penepungan Metode Ball Mill Dengan
Pemurnian Kimia Terhadap Penurunan Oksalat Tepung Porang. Jurnal
Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No. 2 Hal. 571-581. Universitas Brawijaya.
Malang.

Messy. 2007. Physical Characteristics of Food Powder. Departement of Food Science


University of Massachusetts. USA.

Moss. 2002. Food Analysis : Theory and Practice. An Aspen Publication. Maryland.

Muchtadi, TR., Sugiyono, dan F. Ayustaningwarno. 2013. Ilmu Pengetahuan Bahan


Pangan. Alfabeta. Bandung. 44 hal.

Munarso dan Haryanto. 2012. Perkembangan Teknologi Pengolahan Mie. jurnal


Teknologi Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian.
Nio. O.K., 1992. Daftar Analisa Bahan Makanan. UI-Press, Jakarta.
Noonan S, Savage GP. 1999. Oxalate content of food and its effect on humans. Asia
Pacific journal of Clinical Nutrition. 8(1):64-74.

Nurzane. 2010. Pengetahuan Tentang Penggunaan Garam Patiseri.


http://nurzanepastry.blogspot.com.Diakses pada tanggal 3 Maret 2014.

Paul. 2009. Methods in Behavioral Research. Yogyakarta. Pustaka belajar.

85
Pitojo. S. 2007. Suweg. Yogyakarta : Kanisius. P :47

Prijatmoko. D. 2007. Indek Glisemik 1 jam Postprandial Bahan Makanan Pokok


Jenis Nasi, Jagung dan Kentang. C.D.K. 34(6):285-88.

Purnawijayanti. H.A. 2009. Mie Sehat. Yogyakarta : Kanisius

Purseglove, J.W. 1975. Tropical Crops. Vol.1. New York: Jhon Wiley and Sons.

Ramalingam, R., KH. Bindu, BB. Madhavi, AR. Nath, D. Banji. 2010. Phyto Chemical
and Anthelmintic Evaluation of Corm of Amorphophallus Campanulatus.
International Journal of Pharma and Bio Sciences 6(2):1-9.

Rasyad. H. Retnowati. Eddy S L. Purba. 2003. Peluang Bisnis Makanan Berbasis


Tepung. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2003.
Ratnawati, I. 2003. Pengkayaan Kandungan β-Karoten Mie Ubi Kayu dengan
Tepung Labu Kuning (Cucurbita maxima Dutchenes). Naskah Skripsi S-1.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Riki. D. M. Patrick Andreas. Bakti Jos dan Siswo Sumardiono. 2013. Modifikasi Ubi
Kayu Dengan Proses Fermentasi Menggunakan Starter Lactobacillus Casei
Untuk Produk Pangan. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 2(4):137-145.

Rimbawan dan Albiner Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penebar


Swadaya, Bogor

Risa. 2009. Almaendah’s blog Htm. Mengenal Bunga Bangkai (Amorphophallus)


dan Jenisnya. Diakses pada tanggal 24 Desember 2009.

Rizki. 2013. Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dan Tepung Jamur Tiram
(Pleurotus S P) Pada Pembuatan Mie Basah Terhadap Kadar Protein,
Kadar Serat dan Daya Terima. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Rosman. R. dan S. Rusli. 1991. Tanaman Iles-iles. LITTRO (edisi khusus) 7 (2): 7-26.

Safriani, N. 2013. Pemanfaatan Pasta Sukun (Artocarpus Altilis) Pada Pembuatan

Mie Kering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. 5 No. 2:

18-19.

Saneto. 1994. Membuat Mie Sehat Bergizi dan Bebas Pengawet. Penebar Swadaya.
Jakarta.

86
Sangketkit. 2006. Understanding Starches and their Role in Foods. Food
Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications 357-406.
Boca Raton, Florida (US): CRC Pres.

Saparinto. C dan Hidayati. D. 2006. Bahan tambahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius.

Silmi. 2016. Tanaman Porang : Pengenalan, Budidaya, dan Pemanfaatannya. Pusat


Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Slamet. 2010. Belajar & Faktor-faktor yang mempengaruhi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

SNI 01-3713-1992. StandarNasional Indonesia (SNI).EsKrim. Jakarta : Badan


Standarisasi Nasional.

Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertnian.
Pusat Pengembangan Teknologi Pangan, IPB, Bogor.

Srivastava. S., D. Verma, A. Srivastava, SS. Tiwari, B. Dixit, SRS dan AKS. Rawat.
2014. Phytochemical and Nutritional Evaluation of Amorphophallus
campanulatus (Roxb.) Blume Corm. J Nutr Food Sci 4(3): 274. doi:
10.4172/2155-9600.1000274.
Sunaryo. E., 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Supriyadi, Yuntawati. F, Ginanjar.I.K.N. 2016. Pengaruh Kualitas Produk dan


Brand Image Terhadap Keputusan Pembelian.Jurnal Bisnis dan Manajemen
Vol. 3 No 1, Januari 2016. Diakses 15 Juli 2016.

Suryani, A., I. Sailah dan E. Hambali, 2002. Teknologi Emulsi. IPB-Press, Bogor.

Sutanto. 2007.Analisa Data Kesehatan.Fakultas Kesehatan Masyarakat UI

Sutomo, B. 2008. Variasi Mie dan Pasta. PT.Kawan Pustaka. Jakarta.

Suyanti. 2008. Membuat Mie Sehat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Syarief, R dan A. Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.


Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Thomas R. 1997. The behavior-Based Safety Proces. Managing Involvement for an


Injury- Free Culture 2 Edition, John Wilery and Sons Inc. New Jersey.

Tjitrosoepomo, S.1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogjakarta: UGM


Press.

Utami, PU. 2008. Peningkatan Mutu Pati Ganyong (Canna edulis Ker) melalui
Perbaikan Proses Produksi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

87
Waspadji. S. 2007. Penatalaksanaan DM terpadu. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta

Widyaningsih. T. D. dan Murtini E. S. 2006. Alternatif Penggunaan Formalin pada


Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agrisarana.

Winarno. F. G. 1997. Ilmu Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Universitas.

88
Lampiran 1
Tabel ANNOVA Kadar Protein Mie Basah
F. F. Tabel
Sumber Keragaman DB JK KT Notasi
Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 24,61 12,31 13,14 ** 3,40 5,61
Perlakuan VS Kontrol 1 6,73 6,73 7,18 * 4,26 7,82
Perlakuan 11 97,94 8,90 9,51 ** 2,22 3,09
T 2 29,73 14,86 15,87 ** 3,40 5,61
P 3 18,03 6,01 6,42 ** 3,01 4,71
Txp 6 50,18 8,36 8,93 ** 2,51 3,66
Galat 24 22,48 0,94
Total 38 151,75
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 2
Tabel ANNOVA Kadar Air Mie Basah
F. Tabel
F.
Sumber Keragaman DB JK KT Notasi 0,0
Hitung 0,05
1
5,6
Kelompok 2 112,73 56,37 35,36 ** 3,40 1
Perlakuan VS 7,8
Kontrol 1 8,49 8,49 5,33 * 4,26 2
3,0
Perlakuan 11 71,12 6,47 4,06 ** 2,22 9
5,6
T 2 12,46 6,23 3,91 * 3,40 1
4,7
P 3 20,62 6,87 4,31 * 3,01 2
3,6
TxP 6 38,04 6,34 3,98 ** 2,51 7
Galat 24 38,26 1,59
Total 38 230,60
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 3
Tabel ANNOVA Kadar Abu Mie Basah
Sumber Keragaman DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,01 0,01 3,00 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS Kontrol 1 0,00 0,00 2,32 tn 4,26 7,82
Perlakuan 11 0,23 0,02 10,31 ** 2,22 3,09
T 2 0,18 0,09 44,03 ** 3,40 5,61

89
P 3 0,03 0,01 4,46 * 3,01 4,71
TxP 6 0,02 0,00 1,99 tn 2,51 3,66
Galat 24 0,05 0,00
Total 38 0,29

Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata


Lampiran 4
Tabel ANNOVA Kadar Serat Mie Basah
Sumber Keragaman DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,02 0,01 1,15 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 0,87 0,87 117,26 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 5,99 0,54 73,53 ** 2,22 3,09
T 2 5,15 2,57 347,55 ** 3,40 5,61
P 3 0,16 0,05 7,42 ** 3,01 4,71
TxP 6 0,68 0,11 15,24 ** 2,51 3,66
Galat 24 0,18 0,01
Total 38 7,05
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 5
Tabel ANNOVA Elongasi Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 20,94 10,47 2,44 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 96,49 96,49 22,51 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 195,79 17,80 4,15 ** 2,22 3,09
T 2 106,09 53,04 12,38 ** 3,40 5,61
p 3 54,67 18,22 4,25 * 3,01 4,71
Txp 6 35,03 5,84 1,36 tn 2,51 3,66
Galat 24 102,87 4,29
Total 38 416,09
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 6
Tabel ANNOVA Daya Putus Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,00 0,00 6,84 ** 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 0,00 0,00 150,10 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 0,02 0,00 148,75 ** 2,22 3,09
T 2 0,02 0,01 631,23 ** 3,40 5,61

90
p 3 0,00 0,00 71,37 ** 3,01 4,71
Txp 6 0,00 0,00 26,61 ** 2,51 3,66
Galat 24 0,00 0,00
Total 38 0,03
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 7
Tabel ANNOVA Warna a+ (Intensitas warna merah) Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung
0,05 0,01

Kelompok 2 0,04 0,02 0,30 tn 3,40 5,614

Perlakuan VS 1 7,66 7,66 114,23 ** 4,26 7,823


Kontrol

Perlakuan 11 1,60 0,15 2,16 tn 2,22 3,094

T 2 0,32 0,16 2,39 tn 3,40 5,614

p 3 0,33 0,11 1,62 tn 3,01 4,718

Txp 6 0,95 0,16 2,36 tn 2,51 3,667

Galat 24 1,61 0,07

Total 38 10,91

Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 8
Tabel ANNOVA Warna L (Kecerahan) Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 15,67 7,84 4,06 * 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 42,57 42,57 22,08 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 92,80 8,44 4,38 ** 2,22 3,09
T 2 26,57 13,29 6,89 ** 3,40 5,61
p 3 5,96 1,99 1,03 tn 3,01 4,71
Txp 6 60,27 10,04 5,21 ** 2,51 3,66
Galat 24 46,27 1,93
Total 38 197,31
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

91
Lampiran 9
Tabel ANNOVA Warna b+( intensitas warna kuning) Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notas F. Tabel
Keragaman Hitun i 0,05 0,01
g
Kelompok 2 0,56 0,2 0,82 NS 3,40 5,614
8
Perlakuan 1 1,55 1,5 4,56 * 4,26 7,823
VS Kontrol 5
Perlakuan 11 7,58 0,6 2,03 NS 2,22 3,094
9
T 2 2,13 1,0 3,14 NS 3,40 5,614
6
p 3 1,10 0,3 1,12 NS 3,01 4,718
7
Txp 6 4,35 0,7 2,22 NS 2,51 3,667
3
Galat 24 8,13 0,3
4
Total 38 17,8
1
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 10
Tabel ANNOVA Skor Rasa Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,01 0,01 0,30 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 2,40 2,40 100,68 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 12,75 1,16 48,61 ** 2,22 3,09
T 2 11,75 5,88 246,37 ** 3,40 5,61
p 3 0,53 0,18 7,47 ** 3,01 4,71
Txp 6 0,47 0,08 3,27 * 2,51 3,66
Galat 24 0,57 0,02
Total 38 15,74
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 11
Tabel ANNOVA Skor Aroma Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,02 0,01 0,39 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 1,62 1,62 51,88 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 13,31 1,21 38,68 ** 2,22 3,09

92
T 2 12,01 6,00 191,93 ** 3,40 5,61
p 3 0,67 0,22 7,11 ** 3,01 4,71
Txp 6 0,64 0,11 3,39 * 2,51 3,66
Galat 24 0,75 0,03
Total 38 15,71
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 12
Tabel ANNOVA Skor Warna (Kenampakan ) Mie Basah
Sumber Keragaman DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,45 0,22 3,77 * 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 2,15 2,15 36,16 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 17,64 1,60 26,96 ** 2,22 3,09
T 2 16,67 8,34 140,21 ** 3,40 5,61
p 3 0,64 0,21 3,58 * 3,01 4,71
Txp 6 0,32 0,05 0,91 tn 2,51 3,66
Galat 24 1,43 0,06
Total 38 21,66
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 13
Tabel ANNOVA Skor Kesukaan Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,17 0,09 2,63 NS 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 2,02 2,02 61,27 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 16,97 1,54 46,71 ** 2,22 3,09
T 2 15,96 7,98 241,62 ** 3,40 5,61
p 3 0,68 0,23 6,91 ** 3,01 4,71
Txp 6 0,33 0,05 1,64 NS 2,51 3,66
Galat 24 0,79 0,03
Total 38 19,96
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata

Lampiran 14
Tabel Hasil Uji De Garmo Perlakuan Terbaik
Sampel Kadar Kadar protein Elongasi Serat Warna Warna
Air Abu Kasar (L) (a+)
T1P1 0,022 0,000 0,074 0,086 0,020 0,088 0,063
TIP2 0,010 0,000 0,073 0,050 0,010 0,086 0,069

93
T1P3 0,041 0,013 0,086 0,033 0,000 0,096 0,036
T1P4 0,061 0,020 0,062 0,033 0,032 0,064
T2P1 0,000 0,049 0,055 0,045 0,034 0,000
T2P2 0,076 0,046 0,071 0,015 0,056 0,020
T2P3 0,086 0,056 0,000 0,019 0,066 0,055
T2P4 0,037 0,081 0,054 0,018 0,055 0,041
T3P1 0,047 0,039 0,048 0,025 0,083 0,066
T3P2 0,053 0,079 0,078 0,006 0,065 0,083
T3P3 0,074 0,084 0,046 0,000 0,082 0,083
T3P4 0,063 0,087 0,059 0,012 0,086 0,034

Lampiran 14
LEMBAR PENILAIAN ORGANOLEPTIK TERHADAP MIE BASAH
Lembar Uji Hedonik

94
Nama Panelis : Tanggal :
Pengujian :
Jenis Kelamin : L/P
Nama produk : Mie Basah
Produk mie basah ini merupakan mie basah menggunakan bahan baku tepung
umbi suweg sebagai substitusinya serta adanya penambahan sodium tripoliposphate.
Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna dan kesukaan
dari produk mie basah ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini :
Rasa : Aroma : Kenampakan (Warna) : Kesukaan :

1= sangat berpasir 1= sangat beraroma 1= sangat kecoklatan 1= sangat tidak suka

2= berpasir 2= beraroma 2= kecoklatan 2= tidak suka

3= agak berpasir 3= agak beraroma 3= agak kecolatan 3= agak suka

4= tidak
Kodeberpasir 4=Rasa 4=tidak kecoklatan
tidak beraroma Aroma Warna 4=Kesukaan
suka
T0P0
T1P1
T1P2
T1P3
T1P4
T2P1
T2P2
T2P3
T2P4
T3P1
T3P2
T3P3
T3P4

Saran/komentar :

Lampiran 15
Pembuatan Mie Basah

95
a.Tepung Terigu + tepung Suweg b. Menambahkan telur

c. Menambahkan Garam d. Menambahkan STPP

e.Menambahkan air f. Menguleni Adonan

96
g. Mengistirahatkan Adonan h. Mencetakan Mie Basah

i. Perebusan Mie

97
Lampiran 16

Analisa Fisik dan Kimia Mie Basah

a) Memanaskan Sampel dalam b) Mempreparasi Sampel untuk


Lemari Asam Analisa Protein

c) Menjepit Kedua Sisi Ujung d) Memasukkan Cawan Sampel


Mie untuk Uji Elongasi kedalam oven untuk Analisa
Kadar Air

e) Mengabukan Sampel kedalam f) Memanaskan Sampel untuk


Tanur Analisa Serat

98
g) Membaca Intensitas Warna h) Uji Organoleptik dari Panelis

99
Lampiran 17
Hasil Penelitian Mie Basah

T1P1 (Tepung terigu + tepung T1P2 (Tepung terigu + tepung


suweg (90%+10%)dengan suweg (90%+10%) dengan
konsentrasi STPP 0,10%) konsentrasi STPP 0,15%)

T1P3 (Tepung terigu + tepung T1P4 (Tepung terigu + tepung


suweg (90%+10%)dengan suweg (90%+10%)dengan
konsentrasi STPP 0,20%) konsentrasi STPP 0,25%)

T2P1 (Tepung terigu + tepung T2P2 (Tepung terigu + tepung


suweg (85%+10%)dengan suweg (85%+10%)dengan
konsentrasi STPP 0,10%) konsentrasi STPP 0,15%)

100
T2P3 (Tepung terigu + tepung T2P4 (Tepung terigu + tepung
suweg (85%+10%)dengan suweg (85%+10%)dengan
konsentrasi STPP 0,20%) konsentrasi STPP 0,25%)

T3P1 (Tepung terigu + tepung T3P2 (Tepung terigu + tepung


suweg (80%+10%)dengan suweg (80%+10%)dengan
konsentrasi STPP 0,10%) konsentrasi STPP 0,15%)

T3P3 (Tepung terigu + tepung T3P4 (Tepung terigu + tepung


suweg (80%+10%)dengan suweg (80%+10%)dengan
konsentrasi STPP 0,20%) konsentrasi STPP 0,25%)

101
Kontrol Pasaran

102
Lampiran 18

Bahan Baku

a. Umbi Suweg b. Tepung Suweg

c. Tepung Terigu d. STPP (sodium tripolyphosphate)

e. telur

103
104

Anda mungkin juga menyukai