PENDAHULUAN
sebagai makanan pokok. Namun, saat ini mie merupakan pilihan makan pokok setelah
nasi, Menurut Munarso dan Haryanto (2012), konsumsi mie di Indonesia semakin
meningkat, pada tahun 1995 mencapai 3554,5 juta perbungkus yang 3 setara dengan
265,838 ton. Sedangkan pada tahun berikutnya konsumsi meningkat hingga 25% dan
pada awal tahun 2000 hingga sekarang konsumsi mie terus meningkat mencapai 15%
per tahun, dimana bahan baku untuk membuat mie yaitu tepung terigu. Di sisi lain
tingkat produksi gandum dalam negri belum mampu mencukupi kebutuhan tepung
terigu, yang mengakibatkan impor tepung terigu selalu mengalami peningkatan dan
makin membebani devisi negara (Safriani, 2013). Menurut data BPS (2015) impor
tepung terigu Indonesia pada tahun 2015 telah mencapai 7,4 juta ton. Salah satu cara
untuk mengurangi angka impor tepung terigu adalah mensubstitusikan tepung terigu
digemari, suweg merupakan bahan makanan yang mempunyain indeks glikemik yang
rendah, sehingga aman dikonsumsi bagi penderita diabetes. Tepung suweg tidak dapat
diaplikasikan secara optimal sebagai bahan pengganti tepung terigu, dikarenakan tepung
suweg memiliki sifat fungsional yang kurang baik. Oleh karena itu diperlukan teknik
modifikasi tepung suweg dalam pemanfaatan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat
yang lebih luas. Umbi suweg memiliki nilai IG yaitu sebesar 36, dengan beban glikemik
10 sehingga digolongkan sebagai pangan dengan indeks glikemik rendah, yang lebih
1
dianjurkan dalam mengatur diet dan penderita diabetes (Utami, 2008). Pada tepung
suweg mengandung tinggi glukomanan (serat larut air) dan rendah kalori sehingga
memiliki manfaat menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah dan
mengolah umbi suweg menjadi tepung, sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan
menjadi produk pangan khususnya yang berbahan dasar tepung terigu. Salah satu cara
produk makanan mie basah. Mie basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung
terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan yang
digunakan dalam industri pangan karena memiliki beberapa sifat kimia dan fungsi yang
menguntungkan. Sifat-sifat fosfat yang utama adalah (1) sebagai buffer dan pengontrol
pH; (2) dapat menginaktifasi ion logam yang biasanya merusak sistem pangan dengan
membentuk endapan seperti kation kalsium, magnesium, tembaga dan besi; (3)
berperilaku sebagai polivalensi dan polielektrolit. Fosfat juga berperan dalam hal nutrisi
melalui pembentukan kompleks yang stabil dengan kalsium, besi dan magnesium yang
memungkinkan nutrient tersebut terserap dinding usus dapat digunakan oleh tubuh..
alternatif lain sebagai bahan pangan sumber karbohidrat, dengan menggunakan tepung
hasil olahan umbi suweg ini diharapkan akan mengurangi penggunakan pada tepung
2
terigu dan suweg menjadi bahan pangan yang mempunyai dayaguna baik dan
mempunyai manfaat lebih bagi kesehatan tubuh. Pengembangan produk ini akan
memanfaatkan suweg sebagai bahan baku dalam pembuatan mie basah dengan
1.2 Tujuan
1.3 Hipotesis
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia. Pada jaman penjajahan jepang, umbi suweg berperan sebagai sumber
cadangan pangan bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat yang terkendala
untuk menyediakan beras atau bahan pangan karbohidrat lainnya. Umbi suweg
termasuk umbi batang, merupakan perubahan bentuk dari batang yang berfungsi sebagai
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Arales
Famili : Arceae
diawali dengan munculnya semacam kuncup bunga dari dalam tanah pada musim hujan.
Suweg dapat tumbuh baik hingga elevasi 2.500 m diatas permukaan laut dengan curah
4
Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B) merupakan jenis umbi yang
mulai bertunas di awal musim kemarau dan dapat dipanen pada akhir tahun di musim
kemarau. Tanaman suweg adalah tanaman liar dan tumbuh baik di tempat – tempat yang
lembab dan terlindungi dari sinar matahari. Suweg dapat tumbuh pada tanah dengan pH
agak masam hingga netral dan toleran penaungan hingga 60%. Suweg dapat tumbuh
subur di dataran rendah sampai 800m di atas permukaan laut. Kisaran suhu ideal
1000-1500mm/tahun.
anakan yang tersebar di permukaan umbi. Risa (2009) menambahkan, tanah yang cocok
adalah campuran antara tanah humus, lempung, dan pasir. Tanaman umbi suweg akan
menghasilkan umbi siap panen ketika memasuki umur 18 bulan. Menurut Lingga
(2006), pertumbuhan umbi suweg diawali dengan munculnya kuncup bunga dari dalam
tanah pada awal musim hujan. Tanaman ini memiliki kelebihan yaitu dapat tumbuh
dihutan dan dapat hidup di dalam naungan tanaman hutan yang tinggi, tanpa dipelihara
dan perawatan secara kontinyu serta relatif tahan terhadap penyakit. Menurut
Kriswidarti (2002), tanaman umbi suweg terdiri dari dua jenis, yaitu Amorphophallus
Jenis umbi suweg varietas sylvestris merupakan umbi suweg dengan batang tanaman
yang kasar dan berwarna agak gelap, dan batang 20 serta umbinya yang menimbulkan
rasa sangat gatal. Jenis umbi ini masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan
masih merupakan tanaman liar. Umbi suweg varietas hortensis memiliki ciri-ciri batang
tanaman yang halus dan berwarna hijau dengan bintik-bintik putih disekitar batang,
5
batang dan umbinya tidak menimbulkan rasa gatal yang berlebihan. Jenis umbi suweg
Suweg adalah salah satu jenis marga Amorphophallus yang termasuk kedalam
suku talas-talasan (Araceae). Suweg berasal dari daerah Asia tropik dan Afrika
Pasifik (Kriswidarti, 1980). Di Indonesia sebagian kecil saja penduduk yang mengenal
dan menanam suweg. Tanaman suweg umumnya tumbuh liar di hutan, dan belum ada
potensi besar sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi (Lingga et al., 2003).
berbatang besar, berwarna agak gelap, umbinya sangat gatal dan varietas hortensis yang
berbatang lebih halus dan umbinya tidak begitu gatal (Kriswidarti, 1980).
merupakan tumbuhan liar (Rosman dan Rusli, 1991). Hal lain yang juga membedakan
kedua varietas tersebut adalah halus kasarnya bintil-bintil pada tangkai daun yang
berwarna belang-belang. Bintil pada varietas cylvestris jika diraba terasa lebih kasar dan
tajam (Lingga et al., 1991). Suweg mempunyai bentuk umbi setengah bulat dengan
6
diameter antara 10-25 cm. Umbi ini mengandung kristal oksalat yang menyebabkan rasa
gatal bila dimakan. Menurut Rosman et al., (1994) dari 100g umbi suweg
Untuk menghilangkan rasa gatal dapat dilakukan perendaman. Perendaman umbi yang
paling baik adalah dengan menggunakan air bersih dengan lama perendaman 12 jam
Kulit umbi suweg berwarna coklat tua dengan daging umbi yang berwarna
jingga kusam sampai kemerah-merahan dan. memiliki ukuran yang dapat mencapai
diameter 40 cm, dengan bentuk umbi bundar pipih, diameter tinggi umbi bisa mencapai
30 cm, dan memiliki bobot kurang lebih 5 kg. Umbi suweg memiliki kandungan air
umbi cukup tinggi, yakni antara 65 sampai 70%, sementara kandungan patinya di bawah
30%. Umbi suweg dapat mengeluarkan bunga apabila pertumbuhan vegetatifnya telah
mencapai titik optimum dan kandungan pati pada umbi telah penuh. Menurut Kasno
maupun vegetatif. Pada setiap kurun waktu empat tahun tanaman ini menghasilkan
bunga yang kemudian menjadi buah dan biji. Satu tongkol buah dapat menghasilkan
250 butir biji yang dapat digunakan sebagai bibit dengan cara disemaikan terlebih
dahulu.
Cita rasa suweg netral sehingga mudah dipadupadakan dengan beragam bahan
sebagai bahan baku kue tradisional dan modern. Suweg sangat potensial sebagai bahan
7
Menurut Faridah (2005), komposisi utama suweg adalah karbohidrat sekitar 80-
85%. Kandungan serat, vitamin A dan B juga tinggi. Kandungan zat gizi pada umbi
Serat terdapat pada berbagai tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan yang secara
fisis terdapat dua bentuk yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat akan
membentuk lapisan pada saluran pencernaan yang akan menghambat proses pencernaan
dan absorbsi. Serat dapat terdiri atas selulosa, lignin, pentosan, asam uronat dan lain -
lain yang dapat dianalisis. Ada sebagian serat yang mempunyai hubungan dengan
indeks glikemik yang rendah seperti leguminosa, guar dan tragacantha (Waspadji,2007).
Serat larut dan tidak larut mempunyai manfaat berbeda tetapi keduanya bekerja
saling melengkapi. Di dalam lambung, serat yang larut air akan menimbulkan rasa
kenyang dan menyebabkan makanan tinggal lebih lama. Serat tidak larut air, selain
menimbulkan rasa kenyang, juga bermanfaat menjaga kesehatan usus besar, serta
mencegah timbulnya tumor dan kanker. Di dalam saluran pencernaan, serat akan
mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan bersama
tinja. Semakin tinggi konsumsi serat, akan semakin banyak asam empedu dan lemak
8
yang dikeluarkan oleh tubuh. Hal tersebut secara otomatis akan mengurangi kadar
kolesterol. Selain untuk mengendalikan kolesterol, serat juga sangat berguna mencegah
kadar gula darah. Pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan cepat memiliki
Indeks Glikemik tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan
lambat memiliki Indeks Glikemik rendah. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Prijatmoko (2007), indeks glikemik adalah sebagai respon glukosa darah terhadap
makanan yang mengandung karbohidrat dalam takaran dan waktu tertentu. Karbohidrat
dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki Indeks Glikemik
tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan karbohidrat ini cepat dan tinggi.
Respon gula darah terhadap jenis pangan karbohidrat ini cepat dan tinggi. Dengan kata
lain, glukosa dan aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya karbohidrat yang
glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan
Makanan yang sedikit atau tidak mengandung karbohidrat, seperti daging, keju,
dan gajih memiliki indeks glikemik mendekati nol. Semakin sedikit makanan
mengandung pati atau gula yang mudah dicerna, semakin kecil indeks glikemiknya.
9
Serat juga membantu memperlambat masuknya gula ke dalam aliran darah (Wylio,
2011).
pertama, pangan dengan Indeks Glikemik rendah adalah pangan yang memiliki rentang
IG < 55. Kategori kedua, pangan dengan Indeks Glikemik sedang adalah pangan yang
berada pada rentang IG 55-70. Kategori ketiga, pangan dengan Indeks Glikemik tinggi
karbohidrat berubah menjadi gula darah. Indeks Glikemik tidak memberikan informasi
Indeks glikemik (IG) adalah efek konsumsi bahan pangan dalam menaikkan
kadar gula darah. IG <55 tergolong rendah, 55-70 sedang dan >70 tinggi.
10
2.1.1.2 Asam Oksalat
Asam oksalat adalah asam dikarboksilat yang hanya terdiri atas dua atom karbon
pada masing-masing molekul, dimana dalam keadaan murni berupa senyawa kristal,
larut dalam air (8 persen pada 10 °C) dan larut dalam alkohol. Asam oksalat membentuk
garam netral dengan logam alkali (Na dan K), yang larut dalam air (5-25 persen), juga
dapat berikatan dengan ion logam dan membentuk endapan tak larut, seperti kalsium
oksalat. Kandungan oksalat dalam tanaman sekitar 5-80 persen (berat/bahan) dan 90
persen dari total oksalat tanaman berada dalam bentuk garam oksalat. Kristal kalsium
kalsium dalam jaringan, melindungi dari hewan herbivora dan sebagai detoksifikasi
logam (Anggaraini, 2010). Oksalat larut air berada dalam bentuk asam oksalat, sodium
oksalat dam kalium oksalat, sedangkan oksalat yang tidak larut air berada dalam bentuk
2010).
mengandung bahan aktif yang dapat menyebabkan gatal dan menyebabkan iritasi pada
bibir, mulut, dan kerongkongan. Penyebab rasa gatal pada rongga mulut dan kulit
tersebut disebabkan oleh senyawa yang terdapat pada permukaan kristal kalsium oksalat
jenis rafida yang berfungsi sebagai pembawa, sedangkan senyawa yang menyebabkan
iritasi tersebut adalah jenis protein dengan bobot molekul 26 KDa (Paul et al., 2009
dalam Anggraini, 2010). Jenis oksalat lain yang terdapat dalam umbi Araceae adalah
oksalat larut air. Oksalat larut air yang ada dalam bahan pangan tersebut jika masuk ke
dalam tubuh manusia, maka dapat menghambat bioavailibilitas kalsium dalam tubuh
11
karena akan membentuk kompleks yang tidak dapat dicerna. Kompleks ini akan
mengendap di dalam ginjal dan membentuk batu ginjal (Noonan dan Savage, 2009
dalam Anggraini, 2010). Oleh sebab itu, kedua jenis oksalat, baik oksalat larut air
maupun yang tidak larut air memberikan efek yang tidak baik bagi tubuh jika berada
dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Untuk itu perlu dilakukan proses penurunan kadar
oksalat untuk mengurangi efek negatif tersebut. Menurut Sangketkit et al. (2006)
melakukan proses penurunan kadar oksalat pada umbi Yam New Zealand (Oxalis
tuberosa Mol.) dengan beberapa cara pemasakan konvensional, yaitu dengan perebusan,
pada umbi yang direbus dan dikukus, namun terjadi kenaikan kandungan oksalat pada
umbi yang dipanggang. Hasil yang sama juga terjadi pada proses penurunan kadar
oksalat berbagai jenis varietas umbi talas oleh Catterwood et al. (2007). Hasilnya
oksalat dari 1714 ppm menjadi 506 ppm, sedangkan proses pemanggangan
mengurangi kandungan oksalat karena dengan proses perebusan, maka akan melarutkan
berbagai jenis oksalat larut air ke dalam air perebusan tersebut. Menurut Dewisari
nyata terhadap kadar kalsium, asam oksalat, dan kalsium oksalat. Proses perendaman
menyebabkan kenaikan kalsium 9,86 sampai 19,21 persen, tetapi menurunkan kadar
asam oksalat dan kalsium oksalat 34,67 sampai 62,89 persen. Penurunan ini semakin
besar setelah dilanjutkan dengan proses pemasakan baik dengan pengukusan maupun
dengan perebusan. Pada pengukusan kadar asam oksalat dan kalsium oksalat turun
12
sebesar 22,1 sampai 63,41 persen, sedangkan pada perebusan 38,30 sampai 89,42
persen. Pada pengukusan kadar kalsium turur sebesar 10,81 sampai 11,65 persen dan
pada perebusan turur 28,45 sampai 32,30 persen. Konsumsi oksalat per hari yang
dizinkan di inggris adalah sebesar 70-150 mg (Noonan dan Savage, 1999). Sedangkan
untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal, American Dietetic Association Nutrition
Care Manual merekomendasikan agar mengkonsumsi oksalat kurang dari 40-50 mg per
Tepung Suweg adalah salah satu alternatif pilihan sebagai pangan fungsional,
karena memiliki nilai indeks glikemik (IG) rendah. Sumber pangan karbohidrat yang
memiliki IG rendah bermanfaat untuk menekan peningkatan kadar gula darah dan juga
mengurangi kadar kolesterol serum darah yang artinya umbi ini sangat cocok untuk
dikonsumsi oleh penderita diabetes. Menurut Faridah (2005), kandungan suweg paling
banyak adalah karbohidrat sekitar 80-85%. Menurut Kasno (2008) Tepung suweg
memiliki daya simpan yang lebih tahan lama dan dapat dijadikan bahan baku
pembuatan pangan maupun non pangan. Pembuatan tepung umbi suweg dilakukan
dengan cara memanen bahan baku umbi suweg yang telah memasuki fase siap panen.
Selanjutnya umbi suweg dicuci untuk menghilangkan kotoran dan tanah yang
menempel. Umbi dapat dikeringkan dengan dua cara yaitu, dioven dengan suhu 50 oC
selama 18 jam atau dijemur sampai kering dan dilanjutkan dengan proses penggilingan
dan pengayakan.
13
Menurut Pitijo (2007), tepung suweg memiliki warna putih keabu-abuan atau
kecokelatan. Warna kecoklatan yang dihasilkan terjadi karna adanya reaksi browning
pada saat pengupasan umbi sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna putih.
Sedangkan untuk sifat kimia dari tepung umbi suweg adalah memiliki aroma yang
spesifik dan tidak seperti tepung terigu yang memiliki banyak gluten. Kandungan serat
pada tepung umbi suweg menghasilkan tepung umbi suweg dengan daya cerna pati
yang rendah yaitu 61,75 Menurut Fadilah (2004), daya cerna pati dari umbi suweg
secara in vitro cukup rendah yaitu 61,75% bila dibandingkan dengan tepung singkong
sebesar 75,25%. Rendahnya daya cerna pati disebabkan oleh tingginya kandungan serat
pangan dalam tepung suweg yaitu sebesar 13,71%. Menurut penelitian Faridah (2005),
keunggulan dari tepung umbi suweg adalah memiliki kandungan protein dan serat yang
cukup besar dibandingkan dengan tepung umbi lainnya .Faridah (2005) menambahkan
bahwa terdapat hubungan erat antara konsumsi serat terhadap pertahanan tubuh akibat
berbagai penyakit. Konsumsi serat dalam bahan baku makanan yang mengandung serat
tinggi dapat memberikan pertahanan bagi tubuh terhadap timbulnya berbagai penyakit
seperti kanker usus besar, kolesterol, dan kencing manis.Proses pembuatan tepung
yang telah dicabut kemudian dibersihkan, dikupas, dan dicuci dengan air bersih.
Selanjutnya umbi suweg diiris tipis-tipis dan dikeringkan dengan cabinet dryer pada
suhu 50 ˚C selama 18 jam atau mengunakan sinar matahari selama dua hari. Kemudian
dilakukan penggilingan dan diayak menggunakan ayakan berukuran 80 mesh maka akan
14
Menurut Pitojo (2007), sifat fisika tepung suweg antara lain halus, berwarna
putih keabu-abuan atau kecoklatan. Warna tepung suweg kurang putih dibandingkan
dengan tepung terigu, tepung tapioka atau tepung sukun. Tepung suweg berwarna
pengupasan umbi sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna putih. Sifat kimia
tepung suweg memiliki aroma spesifik. Tepung suweg tidak seperti tepung terigu yang
memiliki banyak gluten. Namun demikian tepung suweg dapat dimanfaatkan sebagai
substitusi dengan tepung terigu atau tepung yang lain untuk membuat aneka makanan.
Pemisahan kalsium oksalat pada tepung porang dapat dilakukan secara fisik dan khemis.
Mawarni dan Widjanarko (2015) menghasilkan tepung porang dengan kadar kalsium
oksalat sebesar 0,89% dan derajat putih 69,95% menggunakan metode penepungan ball
penepungan stamp mill dan pencucian etanol diperoleh tepung porang dengan kadar
dapat mencegah reaksi pencoklatan non enzimatis karena gugus sulfit pada Natrium
metabisulfit berikatan dengan gugus karbonil pada gula yang terkandung dalam tepung
15
pembentuk warna coklat) sehingga warna yang dihasilkan pada tepung suweg menjadi
lebih baik yang meliputi kecerahan dan tingkat kekuningan yang lebih tinggi. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Slamet (2010) bahwa tepung yang
metabisulfit memiliki warna yang lebih baik (cerah). Hal ini dikarenakan sulfit dapat
menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat memblokir
reaksi pembentukan senyawa hidroksil metal furfural dari D-glukosa penyebab warna
coklat. Fenemma (1996) menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh fungsi sulfit
yang dapat menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat
Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K- sulfit, bisulfit dan
metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tidak
terdisosiasi dan terutama terbentuk pada Ph dibawah 3. Selain sebagai pengawet, sulfit
dapat berinteraksi dengan gugus karboksil. Hasil reaksi itu akan bmengikat melanoid
sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi
Natium metabisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air, sedikit
larut dalam alkohol, dan berbau khas seperti sulfur dioksida, mempunyai rasa asan dan
asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan
Amerika Serikat telah ditetapkan oleh Food Drug Administration, yaitu antara 2000-
16
3000 ppm. Jumlah penyerapan dan penahanan (residu) SO2 dalam bahan yang
dikeringkan dipengaruhi oleh antara lain : varietas, pemasakan dan ukuran bahan,
konsentrasi SO2 yang dihunakan, waktu sulfuring, suhu, kecepatan aliran udara dan
Saneto, 1994).
rumus Na5P3O10. STPP berbentuk bubuk atau granula berwarna putih dan tidak berbau.
Kelarutan STPP dalam air sebesar 14,50 g per 100 ml pada suhu 25oC (larutan 1%).
STPP banyak digunakan dalam industri pangan karena memiliki beberapa sifat kimia
dan fungsi yang menguntungkan. Sifat-sifat fosfat yang utama adalah (1) sebagai buffer
dan pengontrol pH; (2) dapat menginaktifasi ion logam yang biasanya merusak sistem
pangan dengan membentuk endapan seperti kation kalsium, magnesium, tembaga dan
besi; (3) berperilaku sebagai polivalensi dan polielektrolit. Fosfat juga berperan dalam
hal nutrisi melalui pembentukan kompleks yang stabil dengan kalsium, besi dan
17
STPP merupakan senyawa anorganik dengan rumus Na5P3O10. STPP adalah
salah satu garam fosfat yang bersifat basa yang berasal dari reaksi anorganik.
Karakteristik STPP adalah berupa butiran serbuk berwarna putih, higroskopis, bersifat
mudah larut di dalam air. STPP dapat bereaksi dengan pati, ikatan antara pati dengan
fosfat diester atau ikatan silang antar gugus hidroksil (OH), akan menyebabkan ikatan
pati menjadi kuat, tahan terhadap pemanasan, dan asam (Rizki,2013). Penggunaan pada
pati modifikasi, jumlah residu phosphor pada pati tidak lebih dari 0,4% (kecuali pada
pati gandum dan kentang sebesar 0,5%) (Food and Drug Administration, 2012 dalam
Amin. 2013). Rumus struktur sodium tripolyphosphat dapat dilihat pada Gambar 3.
STPP (Sodium Tripolyphosphate) digunakan sebagai bahan pengikat air agar air
dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat
penggunaan boraks pada makanan. STPP mempunyai tekstur kecil-kecil halus seperti
garam, STPP bereaksi dengan pati. Ikatan antara pati dengan fosfat diester atau ikatan
silang antar gugus hidroksil (OH), akan menyebabkan ikatan pati menjadi kuat, tahan
granula, dan meningkatkan stabilitas adonan. STPP dapat menyerap, mengikat dan
18
menahan air, meningkatkan Water Holding Capacity (WHC), dan keempukan (Thomas,
1997).
yaitu 0,25%. Kadar air diperoleh 72,23%, kadar protein 0,74%, kadar abu 2,53%, dan
nilai organoleptik untuk atribut rasa dan tekstur berpengaruh sangat nyata, sedangkan
nilai atribut warna berbeda nyata dengan adanya penambahan sodium tripolyphosphate.
Penggunaan polifosfat dalam pengolahan makanan adalah pada dosis 0,3%-0,5% dari
activity) bahan dan terjadinya pengikatan kation logam yang bersifat esensial bagi
pertumbuhan bakteri (Yuanita, 1997). Selain itu, STPP juga berfungsi sebagai untuk
pada jenis makanan yang mengandung pati. Penggunaan STPP banyak digunakan untuk
bahan tambahan pada makanan yang aman sebagai pengganti boraks dan tidak merubah
fungsi boraks pada kerupuk karak, selain itu pengguanaan STPP juga banyak
digunakan dalam pembuatan bakso dan juga meningkatkan masa simpan daging ayam
Jumlah penggunaan STPP yang diizinkan adalah 3 g untuk setiap kilogram daging 0,3%
19
2.4 Mie
Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk
khas mi (SNI, 1996).Mi merupakan salah satu jenis masakan yang sangat populer di
Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara. Menurut catatan sejarah, mi dibuat
pertama kali di daratan Cina sekitar 2000 tahun yang lalu pada masa pemerintahan
Dinasti Han. Dari Cina, mi berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan, dan
berubah menjadi pasta di Eropa, seperti yang dikenal saat ini (Suyanti, 2008).
Mie telah lama digunakan dalam kuliner Indonesia. Hal ini tampak dalam
seperti aneka soto, mi juhi Betawi, mi celor Palembang, dan lain-lain. Dewasa ini,
penggunaan mi dalam menu makan sehari-hari orang Indonesia sangat mudah ditemui,
baik yang menggunakan mi basah, mi kering, maupun mi instan. Hal ini menunjukkan
bahwa mi telah menjadi bagian dari kebudayaan kuliner Indonesia. Sifat mi yang
rasanya netral dan praktis memudahkan penggunaannya untuk diolah menjadi aneka
Nilai gizi kandungan mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena
selain karbohidrat terdapat sedikit protein yang disebut glutein. Mutu atau resep yang
digunakan oleh pabrik sangat banyak sehingga nilai gizinyapun sangat bervariasi
(Judoadmijojo,1985).
20
Tabel 4. Kandungan Gizi dalam Mie
Zat Gizi Mie Basah Mie Kering
Energi (kal) 86,00 337,00
Protein (g) 0,60 7,90
Lemak (g) 3,30 11,80
Karbohidrat (g) 14,00 50,00
Kalsium (mg) 14,00 49,00
Fosfor (mg) 13,00 47,00
Besi (mg) 0,80 2,80
Vitamin A (SI) 0,00 0,00
Vitamin B1 (mg) 0,00 0,01
Vitamin C (mg) 0,00 0,00
Air (mg) 80,00 28,60
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes (1992)
pengganti nasi. Produk mie ini berbahan dasar tepung terigu yang berasal dari tanaman
gandum. Menurut Irviani dan nisa (2014), pada tahun 2012 impor gandum telah
menembus angka 6,3 juta ton. Upaya pelaksanaan diversifikasi pangan agar tidak
tergantung kepada tepung terigu. Mi basah adalah mi yang dijual dalam keadaan basah.
Tekstur mi yang basah disebabkan karena air perebusan. Jadi setelah dibentuk atau
dicetak dengan cetakan, mi direbus, didinginkan, dikemas, dan dipasarkan. Contoh dari
Mie basah merupakan jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap
pemotongan dan sebelum dipasarkan. Biasanya mie basah dipasarkan dalam keadaan
segar. Mie basah di Indonesia dikenal sebagai mie kuning atau mie bakso. Mie basah
memiliki cita rasa yang khas dan penyajiannya dapat dicampurkan dengan makanan lain
sehingga mie basah banyak disukai orang. Komposisi gizi mie basah per 100 gram
bahan yaitu energi 86 kal, air 80 g, karbohidrat 14 g, lemak 3,3 g dan protein 0,6 g.
21
Selain kelebihan yang ada pada mie basah, juga terdapat kekurangan yakni daya
simpannya relatif singkat yaitu 40 jam pada suhu kamar karena kadar air mie basah
dapat mencapai 52%. Penyipanan mie basah pada suhu kamar selama 40 jam
Kandungan air mi basah sekitar 52% sehingga cepat rusak dan hanya bertahan 40 jam
(Sutomo, 2008). Menurut SNI 01-2987 (1992), mie basah adalah produk pangan yang
terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan
tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Mutu mie
722/Menkes/per/IX/885.3
Formalin Tidak boleh ad
6 Cemaran Mikroba
6.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks. 1,0 × 106
6.2 E. Coli APM/g Maks. 10
6.3 Kapang Koloni/g Maks. 1,0 × 104
7 Cemaran Logam
7.1 Timbal (Pb) Maks. 1,0
7.2 Tembaga (Cu) 10,0
7.3 Seng (Zn) Maks. 10,0
22
7.4 Raksa (Hg) Maks. 0,05
8 Arsen (As) Mg/kg Maks. 0,05
Sumber: SNI 01-2987 (1992)
2.5 Bahan-bahan Pembantu dan Bahan Tambahan Mie Basah
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu diperoleh
dari gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu diantara serealia
lainnya adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan mie menyebabkan mie
yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Mutu
terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8-
12%, kadar abu 0,025-0,60% dan glutein basah 24-36% (Astawan, 2008). Tepung
gandum merupakan produk serealia yang mengandung protein yang tinggi. Protein
merupakan komponen yang tertinggi bila dibandingkan dengan komponen yang lain
pada gandum. Gandum keras yang ditanam di musim dingin mengandung 14% protein
(Kent, 1975).
23
Bila ingin mendapatkan mutu mie yang lebih baik dapat menggunakan terigu jenis
hard flour dengan kadar gluten yang lebih tinggi. Namun, harga mie yang dihasilkan
akan mejadi lebih mahal (Widyaningsih dan Murtini, 2006).Menurut Astawan (2008)
berdasarkan kandungan glutein (protein), tepung terigu yang beredar dipasaran dapat
Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%.
Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mie berkualitas tinggi.
Medium hard flour. terigu ini mengandung protein sebesar 9,5-11%. Tepung ini
banyak digunakan untuk pembuatan roti, mie dan macam-macam kue, serta
biscuit.
Soft flour. terigu ini mengandung protein sebesar 7-8,5%. Penggunaannya cocok
Dalam prakteknya, tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan mie terdiri
dari campuran dua jenis terigu hard flour dan medium hard flour. Pencampuran
yang dikehendaki sehingga akan menghasilkan tekstur, konsistensi dan rasa yang
2.5.2 Telur
menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak muda terputus-putus. Putih telur
berfungsi untuk mencegah kekeruhan saos mie waktu pemasakan. Penggunaan putih
telur harus secukupnya saja karena pemakaian yang berlebihan akan menurunkan
kemampuan menyerap air (daya dehidrasi) waktu direbus (Astawan, 2008). Kuning
24
telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur terdapat lechitin. Selain
sebagai pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung dan untuk
mengembangkan adonan. Penambahan kuning telur juga akan memberikan warna yang
Membuat mie sebenarnya sangat mudah, cepat, praktis dengan bahan yang
sederhana. Ditambahkan kuning telur juga lebih baik, namun airnya harus dikurangi.
Karena kuning telur kadar airnya sekitar 50 ml. maka air yang akan digunakan
Telur dalam pembuatan produk olahan pangan mie dapat berfungsi membentuk
warna dan flavor yang khas pada mie, memperbaiki cita rasa dan kesegaran mie,
membantu pembentukan adonan yang kalis, meningkatkan nilai gizi serta kelembutan
produk. Telur berfungsi memunculkan warna khas kuning khas mie pada umumnya.
pada proses pembuatan mie telur juga berfungsi sebagai sumber protein dan air pada
pembuatan adonan mie. Albumin pada telur menyebabkan peningkatan kadar air pada
mie. Namun dalam penggunaannya telur juga tidak boleh terlalu berlebih, hal ini dapat
menyebabkan adonan menjadi lembek, dan susah kalis. Selain itu juga telur berfungsi
tekstur pada mie (Winarno, 1994). Telur ayam berfungsi sebagai penambah rasa dan
nutrisi, serta menambah kualitas gluten pada adonan mi. Mi yang menggunakan telur
rasanya lebih gurih yang terkandung pada mi dan lebih elastik dan kenyal. Pemakaian
minimal telur adalah 3 % sampai 10% dari berat tepung. Contoh : 5% dari 25 kg tepung
2.5.3 Garam
25
Garam dapur selain untuk memberi rasa, juga memperkuat tekstur mie,
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie, serta untuk mengikat air. Garam dapur
akan menghambat aktivitas enzim amylase sehingga mie tidak bersifat lengket dan tidak
Garam alkali yang biasa digunakan adalah Na2CO3 (sodium carbonat) dan K2CO3
(potassium carbonat). Fungsi garam di sini adalah memberikan rasa dan kekuatan
gluten pada mi. Pemakaiannya 0,2% sampai 3% dari berat tepung. Contoh : 0,2% dari
ditambahkan 2-3% garam ke dalam adonan mie. Jumlah ini merupakan control terhadap
α-amilase jika aktivitas rendah (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Garam merupakan
bahan tambahan yang ditambahkan dalam jumlah sedikit pada bahan makanan. Namun
Garam dalam pembuatan mie dapat berfungsi memberi rasa agar tidak hambar,
yang dikembangkan dengan ragi, memperkuat keliatan gluten (daya regang) dalam
adonan dan membantu mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak dikehendaki, dan
dapat meningkatkan daya penyerapan air dari tepung, serta mengatur warna pada
produk mie (Andarwulan, 2011). Penambahan garam yang terlalu berlebih akan
menyebabkan kemampuan gluten dalam menahan gas tidak optimal, namun sebaliknya
penggunaan garam yang terlalu sedikit maka akan mengurangi volume adonan karena
26
gluten tidak mempunyai daya regang yang cukup. Penambahan konsentrasi garam yang
ideal pada pembuatan mie adalah 3% dari berat tepung yang digunakan (Nurzane,
2010).
2.5.4 Air
Air berfungsi sebagai media rekasi antara gluten dengan karbohidrat, larutan
garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH
6-9. Makin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorpsi
air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang
memenuhi persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau,
dan tidak berasa (Astawan, 2008). Jumlah air yang ditambahkan pada umumnya sekitar
23-38% dari campuran bahan yang akan digunakan. Jika lebih dari 38% adonan akan
menjadi sangat lengket dan jika kurang 28% adonan akan menjadi sangat rapuh
sehingga sulit dicetak (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Kepentingan air pada
pembuatan mie adalah untuk media reaksi antara glutein dengan karbohidrat, larutan
Air merupakan bahan yang sangat penting dan besar perananan nya bagi produk
pangan membutuhkan elastisitas dan daya kembang yang baik. Air dalam pembuatan
konsistensi dan karakteristik adonan, menentukan mutu produk yang dihasilkan dan
berfungsi sebagai pelarut bahan-bahan seperti garam dan telur sehingga bahan tersebut
menyebar rata keseluruh bagian tepung. penggunaan air yang tepat yaitu 20% dari berat
bahan baku tepung yang digunakan (Astawan, 1999). Penentuan kadar air optimum
untuk adonan dilakukan dengan cara melihat konsistensi adonan secara visual selama
27
proses pengadukan. Jika penggunaan air terlalu banyak, adonan akan menjadi lengket
karena sifat gluten dan garam yang membentuk matriks struktur adonan yang lengket,
disebabkan jumlah air berlebih. Penambahan air yang terlalu sedikit, sebaliknya produk
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mie basah adalah tepung terigu,
air, garam, bahan pengembang, zat warna, bumbu dan telur. Tepung terigu berfungsi
untuk membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Funsi air yaitu sebagai
media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat
kenyal gluten. Garam berperan dalam memberikan rasa, memperkuat tekstur mie,
meningkatkan fleksibel dan elastisitas mie serta mengikat air. Putih telur digunakan
untuk mencegah penyerapan minyak. Proses pembuatan mie basah diawali dengan
penimbangan bahan-bahan yaitu tepung terigu, garam, dan soda abu sesuai dengan
formula. Semua bahan kering dicampur rata, lalu adonan ditambahkan air sedikit demi
sedikit diadoni atau diuleni sampai terbentuk adonan yang kalis (tidak lengket
ditangan). Proses selanjutnya adalah membentuk adonan menjadi lembaran mie dengan
alat pembuat mie, lembaran adonan mie dipotong memanjang selebar 1-2 mm dan
28
dan pembentukan gluten. Pengistirahatan adonan mie yang lama dari gandum keras
2003).
terjadi pemecahan lapisan tipis air dan tepung. Makin lama, semua bagian tepung
teraliri air dan menjadi gumpalan-gumpalan adonan. Air akan menyebabkan serat-serat
gluten mengembang karena gluten menyerap air. Dengan pemanasan, serat-serat gluten
akan ditarik, disusun bersilang dan membungkus pati sehingga adonan menjadi lunak,
29
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pisau, timbangan digital merk
camry, kompor, blender merk Philips, baskom, nampan plastik, slicer kayu, sendok,
ayakan, gilingan mie merk weston UTICON (C10), saringan, sarung tangan karet,
Alat yang digunakan untuk menganalisa adalah timbangan analitik merk ohanus
(410 g), desikator, oven merk WTC BINDER (E 53), cawan porselin, tabung kjeldahl,
lemari asam, destilator, buret, labu lemak, sokhlet, corong kaca, mortar martil, kertas
saring, tanur listrik merk Furnace (48010), tabung reaksi, Colour Reader merk Konica
Minolta, Texture Analyzer merk SHIMADZU (EZ-SX 500 N), bola hisap karet, beker
glass, gelas ukur, pipet volume, spatula besi, tabung erlenmeyer, aluminium foil, kapas.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi suweg diperoleh dari
pasar wage Tulungagung, tepung terigu protein tinggi diperoleh dari supermarket,
30
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk penelitian adalah: Sodium
aquades (teknis), asam borat, HCl 0,02%, NaOH, H2SO4 pekat, Na2SO4 4%, HgO
(20:1), Na2S2O3, etanol 96% yang diperoleh dari Laboraturium Ilmu dan Teknologi
Metode penelitian dilakukan dengan pembuatan mie basah dengan subtitusi tepung
umbi suweg dan penambahan sodium tripoliposphate terhadap sifat fisikokimia mie
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial dan terdiri dari 2
faktor. Faktor I yaitu konsentrasi kombinasi tepung suweg dan tepung terigu dengan 3
P1 : 0,10 (b/b)
P2 : 0,15 (b/b)
P3 : 0,20 (b/b)
P4 : 0,25 (b/b)
31
Tabel 7. Matriks Kombinasi Perlakuan Rancangan Percobaan
Konsentrasi Sodium Tripolyphosphate
C2 (tepung Suweg)
P1 P2 P3 P4
C1(Tepung Terigu) 0,10 b/b 0,15 b/b 0,20 b/b 0,25 b/b
T1 T1P1 T1P2 T1P3 T1P4
(90%+10%)
T2 T2P1 T2P2 T2P3 T2P4
(85%+15%)
T3 T3P1 T3P2 T3P3 T3P4
(80%+20%)
Keterangan :
(T1P1)
(T1P2)
(T1P3)
(T1P4)
(T2P1)
(T2P2)
(T2P3)
(T2P4)
32
9. Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,10%
(T3P1)
10. Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,15%
(T3P2)
11. Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,20%
(T3P3)
12. Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,25%
(T3P4)
Dalam penelitian ini dilakuakan dengan terdapat 3 tahapan. Tahap ke-1 (pertama)
yaitu pembuatan tepung umbi suweg. Sedangkan tahap ke-2 (kedua) yaitu pembuatan
mie basah
Proses pembuatan tepung umbi suweg, yaitu dengan menyiapkan umbi suweg
yang sudah disortir dan dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan air mengalir yang
bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa tanah yang menempel, lalu mengupas kulit
umbi suweg dan mencuci kembali umbi suweg dengan air yang mengalir, kemudian
memotong umbi suweg menjadi ukuran yang lebih kecil dan tipis-tipis, lalu melakukan
umbi suweg yang telah kering dihaluskan dengan blender dan diayak dengan ukuran 80
33
3.4.2 Prosedur Pembuatan Mie Basah
Proses pembuatan mie Basah, yaitu dengan menyiapakan tepung terigu protein
tinggi dan tepung umbi suweg yang telah disesuaikan dengan perlakuan dengan
sesuai dengan perlakuan, serta menambahkan telur dan air. Kemudian adonan diuleni
sampai kalis kurang lebih selama 15 menit dan diistirahatkan selama 15 menit. Setelah
alat penggilingan mie, dan selanjutnya digiling membentuk untaian mie. Kemudian
setelah dilakukannya penggilingan, mie direbus selama 2 menit dalam air mendidih.
Pengamatan yang dilakukan pada bahan baku pembuatan mie dalam penelitian
3.5.2 Produk
Pengamatan yang dilakukan pada produk mie dalam penelitian ini adalah sifat
fisik mie yaitu elastisitas, daya putus, intensitas warna, dan pengamatan sifat kimia mie
yaitu kadar air, kadar abu, kadar serat dan kadar protein, sedangkan pengamatan
34
3.6 Prosedur Analisa
5. Titrasi destilat yang diperoleh dengan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna
Kadar Protein (%) = Kadar N total (%) x faktor (dengan nilai F= 6,25)
1. Mengeringkan cawan porselin dalam oven pada suhu 102oC selama 30 menit.
2. Cawan tersebut diletakkan dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin
4. cawan tersebut dimasukkan kedalam oven dengan suhu 102-105 oC selama 24 jam.
Cawan tersebut kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya (C).
Kadar air = B – (C – A)
X 100%
B
35
Keterangan:
2. cawan abu porselin dikeluarkan dan didinginkan untuk mengetahui bobot cawan
kosong (A).
3. Sampel ditimbang 2 gram dan dimasukkan kedalam cawan abu porselin (B).
4. Masukkan kedalam tanur bersuhu 550-600oC selama 5 jam atau sampai pengabuan
30 menit (C) segera setelah dingin. Kadar abu dalam bahan pangan dapat dihitung
36
3.6.4 Kadar Serat (SNI-2891-1992)
4. Dalam keadaan panas, saring dengan corong Bucher yang berisi kertas saring tak
5. Mencuci endapan yang terdapat pada kertas saring berturut-turut dengan H 2SO4
6. Mengangkat kertas saring beserta isinya, masukkan kedalam kotak timbang yang
telah diketahui beratnya, keringkan pada suhu 105oC, dinginkan san timbang sampai
bobot tetap.
7. Apabila kadar serat kasar lebih besar 1%, abukan kertas saring beserta isinya,
8. Kadar serat kasar dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
% serat kasar = W
X 100%
W1
37
Keterangan:
Sebanyak 2 gram larutan Kalium Iodida (KI) dilarutkan kedalam 50 ml air suling
dalam gelas piala 100 ml, kemudian 0,2 gram Iodin dimasukkan dan dikocok dengan
alat pengocok sampai larut. Larutan dipindahkan kedalam labu ukur 100 ml, kemudian
ditambahkan air sulingan sampai volume 100 ml, dikocok kembali sampai merata,
dalam air mendidih (95oC) selama 10 menit kemudian dipindahkan kedalam labu takar
100 ml. Gel ditambahkan dengan aquades dan dikocok, kemudian ditepatkan hingga
sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan diasamkan
dengan asam asetat 1 N sebanyak 0,2, 0,4, 0,6, 0,8 dan 1,0 ml. Kedalam masing-masing
38
labu takar ditambahkan 2 ml larutan iod 2% dan aquades sampai tanda tera. Larutan
digoyang-goyang secra manual hingga merata dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian
diukur serannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 620 nm,
ditempatkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan
9 ml NaOH 1 M. Campuran dipanaskan dalam air mendidih (95 oC) selama 10 menit
hingga terbentukgel dan selanjutnya seluruh gel dipindah kedalam labu takar 100 ml.
Gel ditambahkan dengan air dan dikocok, kemudian ditepatkan hingga 100 ml dengan
air. Sebanyak 5 ml larutan sampel dimasukkan kedalam labu takar 100 ml dan
aquades sampai tanda tera dan dikocok. Sampel tersebut dipanaskan dengan penangas
air pada suhu 30oC selama 20 menit, lalu diukur serapannya dengan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 620 nm. Serapan yang diperoleh diplotkan pada kurva
Keterangan:
B = faktor konversi
39
3.6.6 rendemen (Aksan, 2000)
Warna sampel ditentukan dengan alat Colour Reader, yang mengukur spektrum
mengandung semua warna. Nilai L mewakili Lightness yaitu 0 untuk warna hitam dan
100 untuk warna putih, axix a menunjukkan intensitas warna merah (+) adan hijau (-),
yaitu suka, agak suka, tidak suka dan sangat tidak suka. Sebagai panelis yaitu orang
yang sudah mendapat pengetahuan dan praktek uji organoleptik dibutuhkan 30 orang
panelis. Yang dapat dikategorikan sebagai panelis yang agak terlatih. Penyajian
organoleptik, untuk rasa disajikan dalam bentuk matang, dibuat dalam bentuk hidangan
dalam bentuk mie dengan bumbu dalam jenis dan jumlah yang sama untuk masing-
masing perlakuan, sedangkan untuk warana, aroma dan tekstur disajikan dalam bentuk
mentah.
40
3.6.9 Penentuan Elongasi (Riki, et. al., 2013)
Sampel mie dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan
Pengujiandaya putusmie dilakukan dengan cara :Mie basah yang sudah direbus
diambil seuntai (misalkan5 cm). Diametermie diukurpada tiga tempat yang berbeda
kemudian dirata-ratakan. Sampel mie dipasang pada pemegang sampel (sampel holder)
untuk pengujian kekuatan tarik ataudaya regangputusmie. Alat yang digunakan pada
pengujian ini ialah Rheometer (Sun Rheometer 100) dan diset pada mode TRAC dengan
kecepatan tarik 19.9 mm/s. Hasil pengujian daya putus kemudian dicatat. Pengujian ini
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam atau
Anova (Analysis of Variance) pada tingkat kepercayaan α = 0,05. Uji statistik lanjut
41
Umbi Suweg
Pengupasan
Pengirisan dengan
ketebalan 2 mm
Pengeringan dengan
sinar matahari selama 2
hari
Penggilingan
Pengayakan 80
mesh
Analisa:
Rendemen
Tepung Suweg
Amilosa : Amilopektin
Gambar 3. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Suweg, telah dimodofikasi (Farida,
2005)
42
Tepung Terigu : tepung Umbi Suweg (Total
100g)
Pembentukan adonan
menjadi lembaran
Kadar Protein
Mie Basah Kadar Air
Kadar Abu
Serat Kasar
Elongasi
Penentuan
intensitas warna
(L) (b+) (a+)
Organoleptik
43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan bahan baku yang teridiri dari 3 macam yaitu tepung
suweg, tepung terigu dan STPP (sodium tripolyphosphate). Bahan baku tepung suweg
dilakukan analisa dengan tujuan untuk mengetahui kandungan kimia yang terdapat
dalam bahan tersebut sebelum dilakukannya pengolahan atau sebelum menjadi suatu
produk. Berikut hasil dari analisa kimia bahan baku pada tabel 8.
tepung terigu dan tepung suweg, dihasilkan kandungan amilosa tepung terigu lebih
tinggi yaitu 28% dibandingkan dengan kandungan amilosa tepung suweg sebesar 24%.
Adanya kadar amilosa pada suatu bahan baku dapat mempengaruhi tekstur dan kualitas
dari produk mie basah yang dihasilkan, semakin tinggi kandungan amilosa pada suatu
bahan pangan maka akan memperbaiki tekstur mie basah yang baik, hal itu dikarenakan
amilosa berperan pada saat proses gelatinisasi, retrogradasi dan lebih menentukan
karakteristik adonan atau pasta pati. Menurut Shandu dkk (2010) Tingginya jumlah
amilosa terlarut tersebut akan meningkatkan kekerasan mie karena amilosa terlarut akan
berikatan satu sama lain dengan matriks perngikat. Selain itu, amilosa juga akan
44
mengalami retrogradasi yang dapat mengikat kekerasan mie. Sedangkan rendahnya
kandungan amilosa pada bahan pangan akan menyebabkan tekstur suatu produk yang
dihasilkan kurang baik, lengket dan mempunyai tekstur yang lembek, hal itu
retrogradasi pati selama pembentukan gel sehingga menghasilkan struktur gel yang
lemah. Hal ini didukung oleh Rosa (2004) yang menyatakan bahwa semakin rendah
Karakteristik dan tekstur mie basah juga dapat dipengaruhi oleh kandungan
kandungan amilopektin tepung terigu lebih rendah yaitu 72% dibandingkan kandungan
amilopektin tepung suweg yaitu 75,5%, kandungan amilopektin yang tinggi akan
menyebabkan tekstur yang kurang baik sehingga menyebabkan tekstur dan kekenyalan
mie menurun dan membentuk tekstur adonan yang lengket, hal itu dikarenakan molekul
alopektin membentuk daerah amorf atau kurang kompak sehingga lebih mudah
ditembus air, enzim, dan bahan kimia. Menurut Alam (2007) kadar amilopektin yang
terlalu tinggi akan menyebabkan adonan mie yang dibuat bersifat terlalu lengket. Hal ini
mie.
Rendemen adalah berat bahan setelah proses dibandingkan dengan berat bahan
lebih tinggi yaitu 80,9% dibandingkan dengan rendemen yang terdapat dalam tepung
suweg lebih rendah yaitu 16,76%. Sedikitnya rendemen yang terdapat dalam tepung
45
suweg dikarenakan tepung suweg berasal dari bahan baku umbi suweg yang yang masih
segar kandungan air dalam umbi masih cukup banyak, sehingga selama proses
pengerinagan akan terjadi penguapan air yang besar sehingga total padatan berkurang
yang berdampak terhadap rendemen tepung yang dihasilkan. Menurut Pijito (2007)
pada proses pengeringan air pada umbi akan menguap sehingga rendemen yang
Air memiliki peran yang sangat penting dalam bahan pangan, pada produk
pangan segar, kadar air merupakan indikator tingkat kesegaran dan kualitas tekstur,
sedangkan pada produk pangan olahan. Kadar air merupakan banyaknya air yang
terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu
karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi
penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Berdasarka Tabel 8.
Menunjukkan bahwa kandungan kadar air pada tepung terigu lebih tinggi yaitu sebesar
13,5% sedangkan kadar air pada tepung suweg lebih rendah yaitu 6,57%, kadar air
tepung suweg yang rendah tersebut diduga dikarena proses selama pembuatan tepung
suweg telah mengalami pengeringan sehingga kandungan air dalam bahan teruapkan
cukup banyak. Selain itu, air dalam bahan pangan akan berfungsi sebagai pembantu
daya ikat dalam protein terhadap bahan yang bersifat hirofobik sehingga dibutuhkan
air yang cukup banyak. Menurut Gaman dan Sherington (1994) bahwa peningkatan
kadar protein selalu diikuti dengan peningkatan kadar air produk. Hal ini disebabkan
protein dalam bahan pangan berfungsi sebagai daya ikat air terhadap bahan dan besifat
46
Kadar abu merupakan komponen organik yang tertinggal setelah semua karbon
organik dibakar habis. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam
bahan. Kandungan mineral yang berasal dari bahan pangan seger dari tanaman sangat
Menunjukkan bahwa kadar abu tepung terigu lebih rendah yaitu sebesar 0,67%
sedangkan kadar abu tepung suweg lebih tinggi yaitu sebesar 3,32%. Kandungan kadar
abu yang besar sangat mempengaruhi warna produk mie basah yang dihasilkan,
semakin tinggi kadar abu dalam suatu bahan pangan maka warna pada mie basah
semakin gelap atau kecoklatan. Menurut Hou dan Kruk (1998) kadar abu dalam bahan
pangan seperti mie tidak boleh terlalu tinggi karena kadar abu dalam mie dapat
pada mie basah ataupun suatu produk pangan. Berdasarkan Tabel 8. Menunjukkan
bahwa kadar protein tepung terigu lebih tinggi yaitu 13,7% dibandingkan kadar protein
tepung suweg 3,91%, kandungan protein dalam mie basah sangat memberikan peranan
penting dalam pembentukan tekstur mie basah yang dihasilkan, sehingga semakin
banyak penambahan tepung suweg maka tekstur mie basah semakin berkurang, hal itu
protein dalam mie basah berkurang. Penambahan tepung terigu sebagai bahan substitusi
mie basah sangat diperlukan, dimana didalam tepung terigu terdapat protein gluten yang
dapat menyebabkan tekstur mie menjadi kenyal dan elastis. Gluten merupakan protein
yang tidak larut dalam air yang hanya terdapat dalam tepung terigu. Gluten mempunyai
peranan penting sehubungan dengan fungsi tepung terigu sebagai bahan dasar
47
pembuatan mie dan roti. Menurut Muchtadi (2010) gluten merupakan komponen tepung
terigu yang membentuk sifat kenyal atau elastis dan licin permukaannya.
Serat merupakan salah satu komponen penting makanan yang sebaiknya ada
dalam susunan diet sehari-hari. Serat telah diketahui mempunyai banyak manfaat bagi
tubuh terutama dalam mencegah berbagai penyakit. Serat adalah bagian dari tanaman
yang tidak dapat diserap oleh tubuh. Peranan serat dalam makanan adalah pada
Berdasarkan tabel 8. Menunjukkan bahwa kadar serat tepung terigu lebih kecil yaitu
sebesar 1,92% dibandingkan kandungan serat pada tepung suweg yaitu sebesar 6,39%.
Hal itu dikarenakan suweg mempunyai kandungan serat yang tinggi dibandingkan
tepung terigu sehingga dimungkinkan tepung suweg dapat dimanfaatkan sebagai pangan
fungsional.
O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno, 2002). Protein
adalah polipeptida yang memiliki berat molekul lebih dari 5.000 makromolekul ini
berbeda beda sifat fisiknya mulai dari enzim yang larut dalam air sampai keratin yang
tak larut seperti rambut dan tanduk. Protein memiliki beberapa fungsi bilogis
48
Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar
protein mie basah. Sebaran rata-rata nilai kadar protein mie basah dari perlakuan
proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan
Tabel 9 . Rata-rata Kadar Protein akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu
dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate)
Perlakuan Kadar Protein (%)
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 10,02 c
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 9,93 c
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 10,95 c
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) 9,12 bc
dengan konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 8,57 bc
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 9,81 c
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 4,31 a
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) 8,46 bc
dengan konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 8,02 bc
dengan konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 10,32 c
dengan konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 7,87 b
dengan konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) 8,84 bc
dengan konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 8,41 a
Kontrol 10,41 b
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda
nyata menurut Uji Duncan α = 5%.
49
Berdasarkan Tabel 9. menunjukkan bahwa nilai kadar protein mie basah dengan
perlakuan T2P3 (Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP
0,20%) memiliki nilai kadar air terendah yaitu sebesar 4,308 %, sedangkan perlakuan
T1P3 (Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,20%)
memiliki nilai nilai kadar air tertinggi yaitu sebesar 10,955%. Interaksi antara
terhadap mie basah yang dihasilkan. Semakin banyak penambahan proporsi subtitusi
tepung suweg maka kadar protein semakin menurun, hal tersebut dikarenakan
kandungan gluten dalam tepung suweg yang rendah. Menurut Fennema (1985) tepung
suweg memiliki kandungan protein lebih rendah dari tepung terigu. Hal ini disebabkan
dapat menstabilkan pH dan berfungsi untuk menyatukan dua jenis bahan yang tidak
yang dapat menstabilkan pH. Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua
jenis bahan yang tidak saling melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik
dan lipofilik sekaligus. Dimana gugus hidrofilik mampu berikatan dengan minyak atau
bahan lain yang bersifat non polar, sehingga daya ikat air dengan protein tinggi akibat
Namun, pada penelitian nilai kadar protein mie basah mengalami ketidak stabilan.
Hal ini dimungkinkan adanya pengaruh dari bahan baku selama proses
50
fase dorman semua cadangan makanan dalam umbi disimpan dalam bentuk karbohidrat,
rendahnya protein . Selain itu ketika fase vegetative masih dimungkinkan masih banyak
terdapat enzim yang merupakan protein sehingga kadar proteinnya lebih tinggi dari fase
dorman. Pada tabel diatas menunjukkan kadar protein mie basah yang naik turun pada
setiap perlakuan, hal ini juga dapat disebabkan oleh proses pengolahan pada saat
denaturasi protein. Menurut Purnomo (2007) denaturasi terjadi dengan berbagai macam
perlakuan diantaranya dengan adanya perlakuan pemanasan yang dapat merusak ikatan
hidrogen. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan
menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga
Jika produk mie basah suweg dibandingkan dengan rata-rata produk mie basah
komersial maka kadar protein sebesar 10,41%. Hal ini diduga karena pada mie basah
komersial menggunakan bahan baku tepung terigu yang lebih banyak, jika
dibandingkan dengan produk mie basah suweg. Dengan begitu, semakin banyak
penambahan tepung terigu maka semakin tinggi kandungan protein mie basah tersebut.
Protein mie basah yang diperoleh pada penelitian ini telah memenuhi syarat mutu mie
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
memepengaruhi kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Berdasarkan hasil uji
51
ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung terigu dan tepung suweg
interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar air mie basah. Sebaran rata-
rata nilai kadar air mie basah dari perlakuan proporsi penambahan substitusi tepung
Tabel 10 . Rata-rata Kadar Air akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu dan
Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate).
52
Berdasarkan Tabel 10. menunjukkan bahwa nilai kadar air mie basah dengan
0,10%) memiliki nilai kadar air terendah yaitu sebesar 39,101 %, sedangkan perlakuan
T2P3 (Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan konsentrasi STPP 0,20%)
memiliki nilai nilai kadar air tertinggi yaitu sebesar 43,803%. Seharusnya semakin
sedikit substitusi penambahan tepung terigu maka semakin rendah nilai kadar air mie
basah, akan tetapi pada penelitian ini terjadi ketidak stabilan kenaikan kadar air . Hal
itu, dikarenakan pati dalam mie ketika mie direbus dalam air mendidih maka terjadi
proses gelatinisasi pati serta terjadinya penyerapan air yang berbeda. Menurut Prabowo
(2010) bahwa kemampuan daya serap air suatu pangan seperti tepung dapat berkurang
apabila kadar air tepung terlalu tinggi. Selain itu, peningkatan dan penuruan kadar air
juga dapat dipengaruhi oleh fisik ataupun kimia selama proses pengolahan dan
pengaruh dalam kandungan bahan baku. Menurut Faridah (2005) Kadar air ini sangat
dipengaruhi oleh proses pengeringan dan penepungan. Serta, Tepung suweg tidak
mempunyai kandungan gluten seperti yang ada dalam tepung terigu. Gluten dapat
terbentuk karena pencampuran tepung terigu dengan air pada saat proses pencampuran
bahan. Kandungan gluten yang rendah akan mengakibatkan daya ikat air menjadi lemah
sehingga pelepasan molekulair pada saat proses pengeringan semakin mudah. Selain itu,
penambahan konsentrasi STPP yang berbeda memberikan pengaruh terhadap nilai kadar
air yang dihasilkan. Hal tersebut disebakan sifat STPP yang besifat emulsifier mampu
berikatan dengan air atau bahan lain dan mampu berikatan dengan minyak. Menurut
Suryani (2002) peningkatan kadar air ini disebabkan karena natrium tripoliphosfate
merupakan penstabil memiliki kemapuan untuk menyatukan bahan yang tidak saling
53
melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik. Gugus hidrofilik
mampu berikatan dengan air atau bahan lain yang bersifat polar, sedangkan gugus
lipofilik mampu berikan dengan minyak atau bahan lain yang berfisat non polar. Diduga
peningkatan kadar air mie basah ini dipengaruhi oleh basah baku yang digunakan yaitu
tepung suweg, kondisi tanah dan iklim selama penanaman dapat mempengaruhi
kandungan air dalam bahan dan komposisi atau komponen mineral dalam bahan baku
tersebut. Menurut Faridah (2005) Kandungan mineral bahan segar asal tanaman sangat
kontrol memiliki kadar air yang lebih rendah, hal itu dapat disebabkan karena pada saat
perebusan tidak adanya kontrol penambahan air selama perebusan sehingga rasio air
dengan mie mengalami penyerapan air yang berbeda. Kadar air mie basah pada
penelitian ini lebih tinggi dari persyaratan menurut standart mutu SNI 01-2987-1992
yang menyatakan kadar air mie basah yaitu 20-35%, dengan tingginya kadar air mie
basah tersebut dapat mempengaruhi tingkat daya simpan mie basah yang semakin
rendah.
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui tidak terjadi adanya interaksi secara nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar abu
mie basah. Namun, masing-masing perlakuan antara substitusi tepung terigu dan tepung
suweg dengan penambahan STPP berpengaruh nyatan terhadap kadar abu mie basah.
54
rata-rata nilai kadar abu mie basah dari perlakuan proporsi penambahan substitusi
tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi STPP (sodium
dan tepung suweg dengan proporsin yang berbeda berpengaruh sangat nyata nilai kadar
abu mie basah. Dari tiga proporsi subtitusi yang ditambahkan dalam mie basah memiliki
perbedaan nilai. Penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T1 (90:10)
menghasilkan kadar abu 0,94%, penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg
T2 (85: 15) menghasilkan kadar abu 1,07%, sedangkan penambahan substitusi tepung
terigu dan tepung suweg T3 (80:20) menghasilkan kadar abu 1,10%, hal tersebut
maka semakin meningkat nilai kadar abu mie basah. Hal itu disebabkan karena kadar
55
abu tepung suweg lebih besar yaitu 3,32 jika dibandingkan dengan kadar abu tepung
terigu yaitu 0,67. Besarnya kadar abu pada produk pangan bergantung pada besarnya
kandungan mineral bahan yang digunakan. Apabila kadar abu melebihi dari standart
mutu yang ada maka akan berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan. Semakin
tinggi kadar abu maka warna mie akan semakin gelap. Pendapat menurut Faridah
(2005) menyatakan bahwa Kandungan mineral bahan segar asal tanaman sangat
berpengaruh nyata nilai kadar abu mie basah. Dari empat konsentrasi STPP yang
ditambahkan dalam mie basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan konsentrasi STPP
menghasilkan kadar abu 1,03%, P3 (0,20%) menghasilkan kadar abu 1,05%, sedangkan
Tabel 11. Membuktikan bahwa semakin banyak penambahan konsentrasi STPP yang
ditambahkan akan berpengaruh terhadap nilai kadar abu mie basah, hal tersebut
dua jenis bahan yang berbeda dan tidak saling larut. Menurut Suryani,et al (2002)
memiliki kemapuan untuk meyatukan dua jenis bahan yang tidak saling larutdan
molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Dimana gugus lipofilik
tepung suweg jika dibandingkan dengan kontrol maka memiliki kadar abu yang lebih
56
rendah sebesar 1,00. Hal itu dapat dikarenakan kadar abu tepung suweg lebih besar jika
dibandingkan kadar abu tepung terigu. Kadar abu mie basah pada penelitian ini masih
memenuhi persyaratan mutu mie basah sesuai SNI 01-2987-1992 yang menyebutkan
bahwa kadar abu mie basah maksimal 3%. Menurut Moss (2002) kadar abu tidak selalu
mewakili mineral dalam bahan pangan, disebabkan sebagian mineral rusak dan
menguap atau saling bereaksi satu dengan yang lain selama pengabuan pada suhu
tinggi.
Serat adalah bagian dari tanaman yang tidak dapat diserap oleh tubuh, peran
serat dalam makanan adalah pada kemampuannya mengikat air, selulosa dan pektin.
untuk disekresikan keluar. Serat penting dalam mentukan penilaian kualitas bahan
makanan karena merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan. Serat
kasar adalah senyawa yang tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia atau
binatang. Didalam analisi penentuan serat kasar diperhitungkan banyaknya zat-zat yang
tidak larut dalam asam encer ataupun basa encer dengan kondisi tertentu.
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar
protein mie basah. Sebaran rata-rata nilai kadar serat mie basah dari perlakuan proporsi
penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi
57
Tabel 12 . Rata-rata Kadar Serat akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu
dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate).
Perlakuan Kadar Serat (%)
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,88 b
konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,75 b
konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 0,60 a
konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 1,07 c
konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,10 c
konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,41 d
konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,55 d
konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,40 d
konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,81 e
konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,55 d
konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,79 e
konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,85 e
konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 1,31 b
Kontrol 0,75 a
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.
Berdasarkan Tabel 12. menunjukkan bahwa nilai kadar serat mie basah dengan
perlakuan T1P3 (Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP
0,20%) memiliki nilai kadar air terendah yaitu sebesar 0,60 %, sedangkan perlakuan
T3P4 (Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP 0,25%)
memiliki nilai nilai kadar air tertinggi yaitu sebesar 1,85 %. Kadar serat kasar mie basah
yang disubstitusikan dengan tepung suweg dan penambahan konsentrasi STPP, semakin
banyak penambahan tepung suweg dan STPP maka semakin besar kandungan serat mie
58
basah karena kandungan serat tepung terigu sebesar 1,92 sedangkan tepung suweg 6,39.
Menurut Faridah (2005) peningkatan kadar serat kasar dapat disebabkan karena kadar
serat tepung suweg lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar serat kasar tepung
terigu yaitu 0,430%. Selain itu, terjadinya penurunan serat pangan dapat disebabkan
terlarutnya komponen non serat seperti gula sederhana, asam-asam gula dan komponen
lainnya. Serat pangan mengandung gula seperti glukosa, galaktosa, xilosa, manosa,
arabinosa, rhamnosa dan fruktosa serta asam-asam gula seperti manuronat, galakturonat,
glukuronat dan asam 4-o- metilglukuronat. Menurut Anderson dan Clydesdale (2014)
pemasakan dengan panas dapat mempengaruhi kandungan serat pangan atau mengubah
distribusi serat antara fraksi larut air dengan fraksi tidak larut air.
Rata-rata perlakuan mie basah dengan subtitusi tepung suweg dan STPP
menyebabkan perbedaan kadar serat dengan kontrol, diketahui bahwa nilai kadar serat
kontrol lebih rendah yaitu sebesar 0,75% dibandingkan dengan kadar serat pada rata-
rata perlakuan mie basah substitusi tepung suweg dan STPP sebesar 1,3%. Perbedaan
tersebut akan memberikan hasil serat pada mie basah tersebut berbeda. Selain itu
kandungan serat tepung suweg dinilai lebih besar yaitu 6,39 dibandingkan serat tepung
terigu yaitu 1,92. Meskipun syarat mutu terhadap serat tidak ada. Namun, pada produk
mengalami tarikan sebelum putus. elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Mie
dengan persen elongasai yang tinggi menunjukkan karakteristik mie yang tidak mudah
59
putus. Sifat ini penting karena konsumen tidak menginginkan mie yang hancur saat
dimasak atau putus ketika ditarik pada saat dikonsumsi. Berdasarkan hasil uji ANOVA
menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan
interaksi secara nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar abu mie basah. Namun, masing-
masing perlakuan antara substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan
STPP berpengaruh nyata terhadap kadar abu mie basah. rata-rata nilai elongasi mie
basah dari perlakuan proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg
terigu dan tepung suweg dengan proporsin yang berbeda berpengaruh sangat nyata nilai
kadar elongasi mie basah. Dari tiga proporsi subtitusi yang ditambahkan dalam mie
60
basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg
dan tepung suweg T2 (85: 15) menghasilkan nilai elongasi 7,57%, sedangkan
penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T3 (80:20) menghasilkan nilai
elongasi 6,15%, hal tersebut membuktikan bahwa semakin banyak penambahan proposi
substitusi yang ditambahkan maka semakin menurun tingkat elongasi mie basah.
Karena, elongasi pada mie basah dipengaruhi oleh kandungan protein yang terdapat
pada tepung terigu, sedangkan pada tepung suweg memiliki kandungan protein yang
sedikit dibandingkan kandungan protein pada tepung terigu. Menurut Ali dan Ayu
(2009) bahwa sifat mie yang kenyal diperoleh dari gluten tepung terigu, sehingga
dengan semakin banyaknya substitusi tepung yang rendah gluten akan menghasilkan
mie yang mudah putus. Sedangkan, menurut Aida (2012) berkurangnya gluten akan
mempengaruhi kekenyalan mie, kekenyalan pada mie basah dapat diukur dari elongasi.
Mutu mie basah ditentukan secara fisik dengan analisa elongasi untuk menentukan
kemampuan mie memanjang dari ukuran awal pada saat menerima perlakuan tarikan
dari luar. Menurut Muhandari dan Subarna (2009) nilai elongasi adalah pertambahan
panjang mie akibat gaya tarik. Perolehan nilai elongasi yang tinggi pada mie
menunjukkan bahwa karakteristik pada mie tersebut tidak mudah putus, hal itu
dikarenakan kuliatas mie yang tidak mudah putus adalah salah satu kualitas yang
diinginkan oleh konsumen. Nilai elongasi pada mie yang tinggi dapat disebbakan oleh
kuatnya ikatan pati pada umbi/bahan karena akibat banyaknya pati yang tergelatinisasi
61
Berdasarkan Tabel 13. menunjukkan bahwa penambahan STPP yang berbeda
berpengaruh nyata nilai kadar Elongasi mie basah. Dari empat konsentrasi STPP yang
ditambahkan dalam mie basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan konsentrasi STPP
menstabilkan pH dan emulsifier yang memiliki kemapuan untuk meyatukan dua jenis
bahan yang tidak saling larutdan molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik
sekaligus. Dimana gugus lipofilik mampu berikatan dengan bahan lain yang bersifat non
polar. Selain itu ,peran STPP juga berpengaruh terhadap nilai elongasi mie basah karena
protein. Hal tersebut sesuai, Menurut Hal tersebut sesuai menurut Widyaningsih dan
Murtini (2006) bahwa semakin banyak jumlah sodium tripoliphosfat maka semakin
meningkat nilai tekstur. Hal ini terjadi karena penggunaan Sodium tripoliphosfat pada
mie basah dimungkinkan karena sifat sodium tripoliphosfat dapat berperan pada proses
gelatinisasi pati-protein sehingga mempengaruhi tekstur mie menjadi lebih liat dan
kenyal.
dengan kontrol komersial lebih tinggi yaitu 14,27%. Secara fisik mie basah kontrol
komersial lebih kenyal dibandingkan dengan mie basah perlakuan. Hal tersebut dapat
diduga karena kandungan protein pada tepung terigu lebih tinggi dibandingkan dengan
protein tepung suweg. Menurut Ali dan Ayu (2009) bahwa sifat mie yang kenyal
62
diperoleh dari gluten tepung terigu, sehingga dengan semakin banyaknya substitusi
tepung yang rendah gluten akan menghasilkan mie basah yang mudah putus.
sedangkan rata-rata perlakuan mie basah penambahan STPP jika dibandingkan kontrol
komersial lebih tinggi yaitu 14,27%, STPP secara umum fungsi dari bentuk fosfat
dalam makanan adalah bereaksi kimia secara langsung dengan bahan makanan,
Daya putus (Tensile strength) merupakan nilai gaya diperlukan untuk memutus
untaian mie. Tensile strength cocok digunakan sebagai parametr kekuatan mie.
Semakin rendah nilai gaya (N) menunjukkan semakin mudah putus mie sehingga
menurunkan kualitas pada kie. Selain iitu peranan gluten juga menyebabkan mie
memiliki sifat elastisitas apabila terdapat tekanan yang berupa tarikan ataupun
regangan.
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap tekstur
(kekenyalan) mie basah. Sebaran rata-rata nilai tekstur mie basah dari perlakuan
proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan
63
Tabel 14 . Rata-rata Daya putus akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu
dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) .
Berdasarkan Tabel 14. menunjukkan bahwa daya putus mie basah berpengaruh
sangat nyata pada perlakuan konsentrasi substitusi tepung terigu dan tepung suweg
dengan konsentrasi STPP. Nilai daya putus mie basah terendah terdapat pada perlakuan
T1P1 (Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan konsentrasi STPP 0,10%)
yaitu sebesar 0,018%, sedangkan nilai daya putus yang tertinggi terdapat pada
perlakuan T3P4 (Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP
64
0,25%) yaitu sebesar 0,103%. Maka semakin banyak penambahan tepung suweg dan
konsentrasi STPP nilai daya putus semakin tinggi sehingga tingkat daya putus mie
tersebut tidak mudah putus. Hal tersebut diduga peranan STPP memberikan pengaruh
pada mie basah selama proses gelatinisasi. Menurut Amalia (2011) kekenyalan dan
elastisitas pada mie basah dipengaruhi oleh adanya kandungan gluten dalam tepung
terigu. Selain itu, penambahan konsentrasi STPP akan mempengaruhi daya putus
terhadap mie basah. Hal itu dikarenakan STPP memiliki sifat dapat berperan pada
proses gelatinisasi serta bersifat sebagai emulsifier yaitu mampu menyatukan dua jenis
bahan yang berbeda atau tidak saling melarut. Penggunaan Sodium tripoliphosfat pada
mie basah dimungkinkan karena sifat sodium tripoliphosfat dapat berperan pada proses
gelatinisasi pati-protein sehingga mempengaruhi mie menjadi lebih liat dan kenyal.
menstabilkan pH. Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua jenis bahan
yang tidak saling melarut karena molekunya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik
sekaligus. Dimana gugus hidrofilik mampu berikatan dengan minyak atau bahan lain
yang bersifat non polar, sehingga daya ikat air dengan protein tinggi akibat pH yang
Rata-rata perlakuan perlakuan mie basah substitusi tepung suweg dan STPP jika
dibandingkan dengan kontrol memiliki daya putus yang lebih tingggi, hal ini
dikarenakan kadar protein pada tepung terigu yang lebih besar daripada kadar protein
tepung suweg, protein tepung terigu yaitu sebesar 13,7% sedangkan tepung suweg
hanya 3,91. Maka semakin tinggi kandungan protein pada suatu bahan maka semakin
65
4.2.7 Tingkat Kemerahan (a+)
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui tidak terjadi adanya interaksi secara sangat nyata maupun nyata (α= 0,05)
terhadap tingkat Kemerahan (a+) mie basah, dimasing-masing perlakuan antara proporsi
substitusi tepung terigu dan tepung suweg serta konsentrasi penambahan STPP jugs
tidsk berpengaruhterhadap tingkat kemerahan (a+) mie basah, hal itu dikarenakan mie
basah pada penelitian ini tidak memiliki tingkat warna kemerahan terhadap produk yang
didapatkan.
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
T1P1 T1P2 T1P3 T1P4 T2P1 T2P2 T2P4T2P3 T3P1 T3P2 T3P3 T3P4
Gambar 5. Histogram Tingkat Kemerahan (a+) Mie Basah akibat perlakuan substitusi
Tepung Suweg dan STPP
Hasil mie basah dalam penelitian ini memiliki warna kecoklatan karena bahan
dasar tepung yang digunakan yaitu tepung suweg berwarna kuning kecoklatan atau
66
kecoklatan. Selain itu, warna coklat pada tepung suweg mempunyai warna dominan
kecoklatan karena dalam proses pembuatan telah mengalami reaksi enzimatis dan
kimiawi. Meunurut . Ramalingam dkk (2010) dan Suja (2013) bahwa Warna coklat
pada tepung suweg ini diduga dipengaruhi kandungan fenol dalam umbi, dalam umbi
suweg mengandung senyawa fenol. Panja dan Adhikary (2016) membuktikan beberapa
kultivar umbi suweg mengandung total fenol tinggi yaitu 50,44 mg/100g. Fenol akan
menyebabkan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis. Enzim fenol oksidase akan bereaksi
dengan oksigen diudara yang akan mengubah fenol menjadi hidroksi quinon yang
berwarna coklat. Enzim ini akan kontak langsung dengan substratnya yaitu fenol ketika
proses pengupasan dan perajangan umbi (Muchtadi dkk., 2013). Disisi lain dimung-
kinkan terjadi reaksi maillard selama proses pembuatan tepung. Reaksi maillard ini
terjadi karena gugus reduksi gula reduksi bereaksi dengan gugus amin dari protein dan
warna coklat. Hal ini bersesuaian dengan adanya kandungan gula reduksi dan protein
dengan unsur putih sebagai unsur warna yang memunculkan kesan warna terang atau
gelap. Nilai koreksi warna pada brightness/lightness berkisar antara 0 untuk warna
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
67
diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap kecerahan (L)
mie basah. Sebaran rata-rata nilai kecerahan mie basah dari perlakuan proporsi
penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi
Berdasarkan Tabel 15. menunjukkan bahwa tingkat kecerahan (L) mie basah
konsentrasi STPP 0,15%) memiliki nilai ktingkat kecerahan terendah yaitu sebesar
68
44,6%, sedangkan perlakuan T1P4 (Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan
konsentrasi STPP 0,25%) memiliki nilai tingkat kecerahan tertinggi yaitu sebesar
50,1%. Tingkat kecerahan suatu produk mie basah suweg dapat dipengaruhi oleh bahan
baku tepung suweg yang digunakan, pengaruh iklim dan reaksi kimiawi dari bahan baku
tersebut sangat mempengaruhi hasil akhir terhadap tepung suweg yang dihasilkan. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Srivastava (2014) yaitu pengeringan juga akan
mempengaruhi warna tepung suweg. Pengeringan dengan sinar matahari akan terlihat
matahari akan menghasilkan warna coklat krem karena teroksidasi oleh udara,
putih. Menurut Faridah (2005) warna tepung suweg dari fase dorman lebih cerah
dibandingkan fase vegetatif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena ukuran partikel
tepung suweg fase dorman lebih halus dibandingkan fase vegetatif. Ukuran partikel
yang semakin halus dinyatakan dengan nilai PSI yang semakin tinggi. Selain itu
dimungkinkan juga karena adanya browning pada tepung suweg oleh reaksi gula
reduksi dan asam amino. Gula reduksi akan menyebabkan browning non enzimatis
karena bereaksi dengan asam amino dari protein selama proses pengeringan.
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui tidak terjadi adanya interaksi secara sangat nyata maupun nyata (α= 0,05)
69
proporsi substitusi tepung terigu dan tepung suweg serta konsentrasi penambahan
STPP juga tidak berpengaruh terhadap tingkat kemerahan (b+) mie basah.
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
TIP1 T1P2 T1P3 T1P4 T2P1 T2P2 T2P3 T2P4 T3P1 T3P2T3P3 T3P
4
hal itu dikarenakan mie basah pada penelitian ini tidak memiliki tingkat warna
kuning terhadap produk yang didapatkan. Hasil mie basah dalam penelitian ini memiliki
warna kecoklatan karena bahan dasar tepung yang digunakan yaitu tepung suweg
berwarna kuning kecoklatan atau kecoklatan. Selain itu, warna coklat pada tepung
suweg mempunyai warna dominan kecoklatan karena dalam proses pembuatan telah
mengalami reaksi enzimatis dan kimiawi. Meunurut . Ramalingam dkk (2010) dan Suja
(2013) bahwa Warna coklat pada tepung suweg ini diduga dipengaruhi kandungan
fenol dalam umbi, dalam umbi suweg mengandung senyawa fenol. Panja dan Adhikary
(2016) membuktikan beberapa kultivar umbi suweg mengandung total fenol tinggi yaitu
50,44 mg/100g. Fenol akan menyebabkan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis. Enzim
fenol oksidase akan bereaksi dengan oksigen diudara yang akan mengubah fenol
menjadi hidroksi quinon yang berwarna coklat. Enzim ini akan kontak langsung dengan
substratnya yaitu fenol ketika proses pengupasan dan perajangan umbi (Muchtadi dkk.,
2013). Disisi lain dimungkinkan terjadi reaksi maillard selama proses pembuatan
70
tepung. Reaksi maillard ini terjadi karena gugus reduksi gula reduksi bereaksi dengan
gugus amin dari protein dan dengan adanya panas selama pengeringan maupun
penepungan sehingga menghasilkan warna coklat. Hal ini bersesuaian dengan adanya
kandungan gula reduksi dan protein dalam tepung dan umbi suweg.
Rasa merupakan faktor yang cukup penting dari suatu produk makanan selain
penmapakan dan warna. Umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa
saja,akan tetapi merupakan gabungan dari berbagai macam rasa yang terpadu sehingga
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar
protein mie basah. Sebaran rata-rata nilai kadar protein mie basah dari perlakuan
proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan
71
Tabel 16 . Rata-rata Skor Rasa akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu dan
Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) STPP (sodium
tripolyphosphate).
Perlakuan Rasa
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,17 f
konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 2,90 ef
konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 2,83 e
konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 2,80 e
konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,30 d
konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,90 c
konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,13 cd
konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 1,87 c
konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,70 b
konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,73 bc
konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,40 ab
konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,33 a
konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 2,17 a
Kontrol 3,10 b
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.
Keterangan :
1. Sangat berpasir 2. Berpasir 3. Agak berpasir 4. Tidak Berpasir
Berdasarkan Tabel 16. menunjukkan bahwa nilai rasa mie basah dengan
perlakuan T3P4 (Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP
0,25%) memiliki nilai rasa terendah yaitu sebesar 1,35%, sedangkan perlakuan TIPI
72
memiliki nilai nilai rasa tertinggi yaitu sebesar 3,12%. Semakin banyak penambahan
proporsi tepung suweg dan STPP maka akan menurunkan tingkat nilai rasa pada mie
basah. Rasa yang dihasilkan dari mie basah dengan perlakuan penambahan tepung
suweg dan STPP yang paling banyak tidak disukai panelis hal tersebut dikarenakan
meninggalkan sisa seperti berpasir didalam mulut. Hal itu dikarenakan umbi suweg
tepung suweg yang didapat. Menurut Silmi (2016) semakin kasar dengan semakin
tingginya substitusi tepung suweg karena tepung suweg mengandung glukomanan yang
merupakan serat makanan yang memiliki ukuran granula lebih besar yaitu 5 μm
menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling melarut karena molekulnya terdiri dari
gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Rata-rata perlakuan mie basah dengan
penambahan tepung suweg dan STPP menyebabkan perbedaan skor rasa dengan kontrol
pasaran, skor rasa kontrol pasaran lebih disukain dibandingkan dengan perlakuan,
mempengaruhi rasa, karena ciri khas dari umbi suweg mempunyai tekstur yang kasar.
Menurut Silmi (2016) semakin kasar dengan semakin tingginya substitusi tepung suweg
karena tepung suweg mengandung glukomanan yang merupakan serat makanan yang
memiliki ukuran granula lebih besar yaitu 5μm dibandingkan komponen lain
73
4.2.8.2 Skor Aroma
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui terjadi adanya interaksi secara nyata (α= 0,05) terhadap nilai kadar protein
mie basah. Sebaran rata-rata nilai kadar protein mie basah dari perlakuan proporsi
penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi
Tabel 17 . Rata-rata Skor Aroma akibat Interaksi Perlakuan Substitusi Tepung Terigu
dan Tepung Suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate).
Perlakuan Aroma
TIPI Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,67 d
konsentrasi STPP 0,10%
T1P2 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,60 d
konsentrasi STPP 0,15%
T1P3 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,13 c
konsentrasi STPP 0,20%
T1P4 Tepung terigu + tepung suweg (90%+10%) dengan 3,00 c
konsentrasi STPP 0,25%
T2P1 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,53 b
konsentrasi STPP 0,10%
T2P2 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,40 b
konsentrasi STPP 0,15%
T2P3 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,33 d
konsentrasi STPP 0,20%
T2P4 Tepung terigu + tepung suweg (85%+15%) dengan 2,13 a
konsentrasi STPP 0,25%
T3P1 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 2,00 a
konsentrasi STPP 0,10%
T3P2 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 2,03 a
konsentrasi STPP 0,15%
T3P3 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 2,03 a
konsentrasi STPP 0,20%
T3P4 Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan 1,87 a
konsentrasi STPP 0,25%
Rata-rata Perlakuan 2,56 a
Kontrol 3,33 b
74
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.
Berdasarkan Tabel 17. menunjukkan bahwa nilai rasa mie basah dengan
perlakuan T3P4 (Tepung terigu + tepung suweg (80%+20%) dengan konsentrasi STPP
0,25%)memiliki nilai rasa terendah yaitu sebesar 1,53%, sedangkan perlakuan TIPI
memiliki nilai nilai rasa tertinggi yaitu sebesar 3,38%. Rata- rata nilai aroma mie basah
semakin menurun seiring dengan peningkatan penamabahan proporsi tepung suweg dan
konsentrasi STPP. Dapat disimpulkan bahwa skor aroma mie basah yang banyak
disukai oleh panelis yaitu mie basah dengan penambahan proporsi tepung suweg dan
konsentrasi STPP yang sedikit, penambahan tepung suweg yang banyak akan
memberikan aroma mie basah yang langu bau ciri khas dari suweg. Menurut Kruger
(1996) penambahan garam alkali juga dapat memeberikan karakter aroma dan flavor
yang khas, memeberikan warna kuning, serta tekstur yang kuat dan elastis pada adonan
sangat nyata terhadap aroma mie basah yang dihasilkan. Menurut Winarno (1997)
aroma tepung suweg ini sangat berkaitan dengan banyaknya senyawa volatil yang
terdapat pada tepung. Proses pengeringan diduga memberikan kontribusi dalam faktor
aroma tepung.
75
Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui terjadi adanya interaksi secara nyata (α= 0,05) terhadap nilai kenampakan
(warna) mie basah. Sebaran rata-rata nilai kenampakan (warna) mie basah dari
perlakuan proporsi penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan
penambahan konsentrasi STPP (sodium tripolyphosphate) dapat dilihat pada Tabel 18.
Perlakuan
Kenampakan (%)
Tepung Terigu : Tepung Suweg (%)
T1 90 : 10 3,34 b
T2 85 : 15 2,98 b
T3 80 : 20 1,75 a
P1 0,10 2,18 a
P2 0,15 2,08 a
P3 0,20 1,93 a
P4 0,25 1,88 a
Rata-rata Perlakuan 2,69 a
Kontrol 3,57 b
Keterangan : Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut Uji Duncan α = 5%.
Warna mempunyai peran dan arti yang sangat penting pada komoditas pangan,
produk produk tersebut mempunyai nilai gizi yang tinggi, rasa enak dan tekstur baik,
namun jika warna kurang menarik maka produk tersebut kurang diminati. Berdasarkan
Tabel 18. menunjukkan bahwa penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg
76
dengan proporsin yang berbeda berpengaruh sangat nyata nilai kenampakan (warna)
mie basah. Dari tiga proporsi subtitusi yang ditambahkan dalam mie basah memiliki
perbedaan nilai. Penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T1 (90:10)
penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T3 (80:20) menghasilkan nilai
tepung suweg memberikan warna yang semakin cokelat. Warna cokelat pada mie basah
desebabkan karena tepung suweg yang digunakan dalam penelitian ini berwarna
pendapat Ramalingan (2010) menyatakan bahwa disisi lain dimungkinkan terjadi reaksi
maillard selama proses pembuatan tepung. Reaksi maillard ini terjadi karena gugus
reduksi gula reduksi beraksi dengan gugus amin dari protein dan dengan adanya panas
Muchtadi (2013) membuktikan beberapa kultivar umbi suweg mengandung fenol tinggi
yaitu 50,44 mg/100g. Fenol akan menyebabkan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis.
Enzim fenol oksidase akan bereaksi dengan oksigen diudara yang akan mengubah fenol
menjadi hidroksi quinon yang berwarna coklat. Enzim ini akan kontak langsung dengan
berpengaruh nyata nilai kenampakan mie basah. Dari empat konsentrasi STPP yang
ditambahkan dalam mie basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan konsentrasi STPP
77
menghasilkan kenampakan 2,08%, P3 (0,20%) menghasilkan nilai kenampakan 1,93%,
dengan bahan lain. Menurut Suryani (2002) bahwa sodium tripoliphosfat berfungsi
sebagai penstabil emulsi dan penstabil warna. Emulsifier memiliki kemampuan untuk
menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling melarut dan molekulnya terdiri dari
gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Dimana gugus lipofilik mampu berikatan
Kesukaan secara keseluruhan merupakan salah satu aspek yang dinilai pada
pengujian tingkat kesukaan para panelis terhadap sifat sensori mie basah. Penilaian
suweg dan konsentrasi STPP sehingga mie basah yang dihasilkan masih dapat diterima
oleh oleh panelis atau konsumen. Tingkat kesukaan dan penerimaan panelis terhadap
suatu produk mungkin tidak hanya dipengaruhi oleh satu produk, namun dapat
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor sehingga menimbulkan penerimaan yang utuh.
Kesukaan panelis terhadap salah satu parameter tersebut dapat meningkatkan nilai
terigu dan tepung suweg dengan penambahan STPP (sodium tripolyphosphate) dapat
diketahui terjadi adanya interaksi secara sangat nyata (α= 0,05) tingkat kesukaan mie
basah. Sebaran rata-rata tingkat kesukaan mie basah dari perlakuan proporsi
78
penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg dengan penambahan konsentrasi
terigu dan tepung suweg dengan proporsin yang berbeda berpengaruh sangat nyata nilai
kesukaan mie basah. Dari tiga proporsi subtitusi yang ditambahkan dalam mie basah
memiliki perbedaan nilai. Penambahan substitusi tepung terigu dan tepung suweg T1
substitusi tepung terigu dan tepung suweg T3 (80:20) menghasilkan kesukaan 1,79%,
berpengaruh nyata nilai kenampakan mie basah. Dari empat konsentrasi STPP yang
79
ditambahkan dalam mie basah memiliki perbedaan nilai. Penambahan konsentrasi STPP
2,52%,berdasarkan hasil Tabel 19. Menunjukkan bahwa berdasarkan uji hedonik panelis
tentang kesukaan, jika dibandingkan dengan kontrol pasaran mie yang didapat tidak
jauh berbeda dengan nilai kontrol, hal tersebut bahwa mie suweg ini diterima panelis,
namun dari segi warna kenampakan panelis lebih suka mie penambahan tepung suweg
yang sedikit.
metode indeks efektivitas, yaitu dengan menentukan bobot untuk setiap parameter,
menentukan nilai efektivitas (NE) dan nilai produk (NP) yang selanjutnya nilai produk
perlakuan T1P1 (penambahan tepung terigu 90% dan tepung suweg 10% : konsentrasi
STPP 0,10%), sedangkan pada perlakuan terbaik kedua diperoleh dari perlakuan T1P2
(penambahan tepung terigu 90% dan tepung suweg 10% : konsentrasi STPP 0,15% ),
dan perlakuan terbaik ketiga diperoleh dari perlakuan T1P4 (penambahan tepung terigu
90% dan tepung suweg 10% : konsentrasi STPP 0,25% ) merupakan perlakuan yang
diharapkan dala penelitian ini dan layak untuk dikonsumsi karena dapat menghasilkan
80
beberapa manfaat yang baik dikonsumsi untuk penderita kolesterol serta dapat
mengurangi penggunaan tepung terigu dan hasil organoleptik dapat diterima panelis.
81
V. KESIMPULAN
V.1 Kesimpulan
1. Terjadi interaksi antara perlakuan proporsi tepung suweg dan tepung suweg dengan
Konsentrasi penambahan STPP terhadap kadar protein, kadar air, kadar abu, serat
kasar, elongasi, daya putus, tinggkat kecerahan (L), rasa, aroma, kenampakan
(Warna), kesukaan.
2. Tepung terigu dan tepung suweg berpengaruh terhadap kadar protein, kadar air,
kadar abu, serat kasar, elongasi, daya putus, tinggkat kecerahan (L), rasa, aroma,
terhadap kadar protein, kadar air, kadar abu, serat kasar, elongasi, tekstur, tinggkat
V.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian untuk mencari cara proses pembuatan tepung umbi
suweg yang baik dan penggilingan tepung suweg yang mempunyai standart kehalusan
yang baik sehingga mampu menghasilkan produk akhir yang memiliki kenampakan,
rasa,aroma dan kesukaan yang disukai panelis. Selain itu, produk ini mampu menjadi
produk olahan dari umbi suweg yang mampu mengurangi penggunaan tepung terigu
82
DAFTAR PUSTAKA
Aida. 2012. Ubi kayu Substitusi bebrbagai tepung-tepungan. Food Review 3:18-22
Ali dan Ayu. 2009. Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Pati Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L.) pada Pembuatan Mie Kering. Laboratorium Pengolahan
Hasil Pertanian, Fakultas Pertania Universitas Riau, Pekanbaru.
Aulia dan Widjanarko. 2014. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Kacang Hitam
dan Aplikasinya pada Brownies Panggang. Jurnal Mutu Pangan 2(1): 26-33.
83
Clydesdale. 2014. Evaluation of Starch noodles made from three typical Chinese
sweet-potato starches. Journal of Food Science 67(9): 3342-3347.
Dewisari. 1992. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Pati Umbi Ganyong
(Canna edulis Kerr.) dan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) serta
Sifat Penerimaan Amilase terhadap Pati. Skripsi. FakultasTeknologi
Pertanian IPB. Bogor.
Direktorat Gizi Masyarakat. 1992. Komposisi nutrisi bahan pangan. Dep. Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Fabre. C.E.,a.l. Santerre, N.O. Loret, R. Baberian, A. Parailleux, G. Goma and P.J.
Blanc, 1993. Production and food Applications of The Red Pigments of
Monascus rubber. J.Food Sci. 58 (5):1099-1110.
Fadilah. N. 2004. Pengaruh Pengolahan Mie Instant terhadap Daya Cerna Pati
secara in vitro. Skripsi Fakultas Teknologi Pangan, IPB. Bogor.hlm 12-15
Ginting. 2011. Pengaruh Konsentrasi Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) dan Jenis
Tepung pada Pembuatan Mie Basah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner 2008.
Harahap. 2007. Teknologi Pengolahan Pati. Pusat Antar Universitas. Pangan dan
Gizi Universitas Gadjah Mada.
Irviani, L.I.dan F.C. Nisa.2014. Kualitas Mie Kering Tersubsitusi Mocaf. Jurnal
Pangan dan Agroindustri. Vol. 3 No 1 p.215-225. Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, FTP Universitas Brawijaya. Malang.
84
Kay.D. 1973. Root Crops. The Tropical Products Institute Foregn and Commonwealth
Office England.
Kruger, J.E and R.B. Matsuo. 1996. Pasta and Noodle Technology. American
Association of Cereal Chemist, Inc. Minnesota.
Kurniawati. A.D. 2010. Pengaruh Tingkat Pencucian dan Lama Kontak dengan
Etanol Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tepung Porang. Skripsi Universitas
Brawijaya. Malang.
Moss. 2002. Food Analysis : Theory and Practice. An Aspen Publication. Maryland.
85
Pitojo. S. 2007. Suweg. Yogyakarta : Kanisius. P :47
Purseglove, J.W. 1975. Tropical Crops. Vol.1. New York: Jhon Wiley and Sons.
Ramalingam, R., KH. Bindu, BB. Madhavi, AR. Nath, D. Banji. 2010. Phyto Chemical
and Anthelmintic Evaluation of Corm of Amorphophallus Campanulatus.
International Journal of Pharma and Bio Sciences 6(2):1-9.
Riki. D. M. Patrick Andreas. Bakti Jos dan Siswo Sumardiono. 2013. Modifikasi Ubi
Kayu Dengan Proses Fermentasi Menggunakan Starter Lactobacillus Casei
Untuk Produk Pangan. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 2(4):137-145.
Rizki. 2013. Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dan Tepung Jamur Tiram
(Pleurotus S P) Pada Pembuatan Mie Basah Terhadap Kadar Protein,
Kadar Serat dan Daya Terima. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Rosman. R. dan S. Rusli. 1991. Tanaman Iles-iles. LITTRO (edisi khusus) 7 (2): 7-26.
Mie Kering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. 5 No. 2:
18-19.
Saneto. 1994. Membuat Mie Sehat Bergizi dan Bebas Pengawet. Penebar Swadaya.
Jakarta.
86
Sangketkit. 2006. Understanding Starches and their Role in Foods. Food
Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications 357-406.
Boca Raton, Florida (US): CRC Pres.
Slamet. 2010. Belajar & Faktor-faktor yang mempengaruhi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertnian.
Pusat Pengembangan Teknologi Pangan, IPB, Bogor.
Srivastava. S., D. Verma, A. Srivastava, SS. Tiwari, B. Dixit, SRS dan AKS. Rawat.
2014. Phytochemical and Nutritional Evaluation of Amorphophallus
campanulatus (Roxb.) Blume Corm. J Nutr Food Sci 4(3): 274. doi:
10.4172/2155-9600.1000274.
Sunaryo. E., 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Suryani, A., I. Sailah dan E. Hambali, 2002. Teknologi Emulsi. IPB-Press, Bogor.
Utami, PU. 2008. Peningkatan Mutu Pati Ganyong (Canna edulis Ker) melalui
Perbaikan Proses Produksi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
87
Waspadji. S. 2007. Penatalaksanaan DM terpadu. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta
Winarno. F. G. 1997. Ilmu Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Universitas.
88
Lampiran 1
Tabel ANNOVA Kadar Protein Mie Basah
F. F. Tabel
Sumber Keragaman DB JK KT Notasi
Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 24,61 12,31 13,14 ** 3,40 5,61
Perlakuan VS Kontrol 1 6,73 6,73 7,18 * 4,26 7,82
Perlakuan 11 97,94 8,90 9,51 ** 2,22 3,09
T 2 29,73 14,86 15,87 ** 3,40 5,61
P 3 18,03 6,01 6,42 ** 3,01 4,71
Txp 6 50,18 8,36 8,93 ** 2,51 3,66
Galat 24 22,48 0,94
Total 38 151,75
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 2
Tabel ANNOVA Kadar Air Mie Basah
F. Tabel
F.
Sumber Keragaman DB JK KT Notasi 0,0
Hitung 0,05
1
5,6
Kelompok 2 112,73 56,37 35,36 ** 3,40 1
Perlakuan VS 7,8
Kontrol 1 8,49 8,49 5,33 * 4,26 2
3,0
Perlakuan 11 71,12 6,47 4,06 ** 2,22 9
5,6
T 2 12,46 6,23 3,91 * 3,40 1
4,7
P 3 20,62 6,87 4,31 * 3,01 2
3,6
TxP 6 38,04 6,34 3,98 ** 2,51 7
Galat 24 38,26 1,59
Total 38 230,60
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 3
Tabel ANNOVA Kadar Abu Mie Basah
Sumber Keragaman DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,01 0,01 3,00 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS Kontrol 1 0,00 0,00 2,32 tn 4,26 7,82
Perlakuan 11 0,23 0,02 10,31 ** 2,22 3,09
T 2 0,18 0,09 44,03 ** 3,40 5,61
89
P 3 0,03 0,01 4,46 * 3,01 4,71
TxP 6 0,02 0,00 1,99 tn 2,51 3,66
Galat 24 0,05 0,00
Total 38 0,29
Lampiran 5
Tabel ANNOVA Elongasi Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 20,94 10,47 2,44 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 96,49 96,49 22,51 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 195,79 17,80 4,15 ** 2,22 3,09
T 2 106,09 53,04 12,38 ** 3,40 5,61
p 3 54,67 18,22 4,25 * 3,01 4,71
Txp 6 35,03 5,84 1,36 tn 2,51 3,66
Galat 24 102,87 4,29
Total 38 416,09
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 6
Tabel ANNOVA Daya Putus Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,00 0,00 6,84 ** 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 0,00 0,00 150,10 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 0,02 0,00 148,75 ** 2,22 3,09
T 2 0,02 0,01 631,23 ** 3,40 5,61
90
p 3 0,00 0,00 71,37 ** 3,01 4,71
Txp 6 0,00 0,00 26,61 ** 2,51 3,66
Galat 24 0,00 0,00
Total 38 0,03
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 7
Tabel ANNOVA Warna a+ (Intensitas warna merah) Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung
0,05 0,01
Total 38 10,91
Lampiran 8
Tabel ANNOVA Warna L (Kecerahan) Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 15,67 7,84 4,06 * 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 42,57 42,57 22,08 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 92,80 8,44 4,38 ** 2,22 3,09
T 2 26,57 13,29 6,89 ** 3,40 5,61
p 3 5,96 1,99 1,03 tn 3,01 4,71
Txp 6 60,27 10,04 5,21 ** 2,51 3,66
Galat 24 46,27 1,93
Total 38 197,31
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
91
Lampiran 9
Tabel ANNOVA Warna b+( intensitas warna kuning) Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notas F. Tabel
Keragaman Hitun i 0,05 0,01
g
Kelompok 2 0,56 0,2 0,82 NS 3,40 5,614
8
Perlakuan 1 1,55 1,5 4,56 * 4,26 7,823
VS Kontrol 5
Perlakuan 11 7,58 0,6 2,03 NS 2,22 3,094
9
T 2 2,13 1,0 3,14 NS 3,40 5,614
6
p 3 1,10 0,3 1,12 NS 3,01 4,718
7
Txp 6 4,35 0,7 2,22 NS 2,51 3,667
3
Galat 24 8,13 0,3
4
Total 38 17,8
1
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 10
Tabel ANNOVA Skor Rasa Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,01 0,01 0,30 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 2,40 2,40 100,68 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 12,75 1,16 48,61 ** 2,22 3,09
T 2 11,75 5,88 246,37 ** 3,40 5,61
p 3 0,53 0,18 7,47 ** 3,01 4,71
Txp 6 0,47 0,08 3,27 * 2,51 3,66
Galat 24 0,57 0,02
Total 38 15,74
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 11
Tabel ANNOVA Skor Aroma Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,02 0,01 0,39 tn 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 1,62 1,62 51,88 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 13,31 1,21 38,68 ** 2,22 3,09
92
T 2 12,01 6,00 191,93 ** 3,40 5,61
p 3 0,67 0,22 7,11 ** 3,01 4,71
Txp 6 0,64 0,11 3,39 * 2,51 3,66
Galat 24 0,75 0,03
Total 38 15,71
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 12
Tabel ANNOVA Skor Warna (Kenampakan ) Mie Basah
Sumber Keragaman DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,45 0,22 3,77 * 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 2,15 2,15 36,16 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 17,64 1,60 26,96 ** 2,22 3,09
T 2 16,67 8,34 140,21 ** 3,40 5,61
p 3 0,64 0,21 3,58 * 3,01 4,71
Txp 6 0,32 0,05 0,91 tn 2,51 3,66
Galat 24 1,43 0,06
Total 38 21,66
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 13
Tabel ANNOVA Skor Kesukaan Mie Basah
Sumber DB JK KT F. Notasi F. Tabel
Keragaman Hitung 0,05 0,01
Kelompok 2 0,17 0,09 2,63 NS 3,40 5,61
Perlakuan VS 1 2,02 2,02 61,27 ** 4,26 7,82
Kontrol
Perlakuan 11 16,97 1,54 46,71 ** 2,22 3,09
T 2 15,96 7,98 241,62 ** 3,40 5,61
p 3 0,68 0,23 6,91 ** 3,01 4,71
Txp 6 0,33 0,05 1,64 NS 2,51 3,66
Galat 24 0,79 0,03
Total 38 19,96
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Lampiran 14
Tabel Hasil Uji De Garmo Perlakuan Terbaik
Sampel Kadar Kadar protein Elongasi Serat Warna Warna
Air Abu Kasar (L) (a+)
T1P1 0,022 0,000 0,074 0,086 0,020 0,088 0,063
TIP2 0,010 0,000 0,073 0,050 0,010 0,086 0,069
93
T1P3 0,041 0,013 0,086 0,033 0,000 0,096 0,036
T1P4 0,061 0,020 0,062 0,033 0,032 0,064
T2P1 0,000 0,049 0,055 0,045 0,034 0,000
T2P2 0,076 0,046 0,071 0,015 0,056 0,020
T2P3 0,086 0,056 0,000 0,019 0,066 0,055
T2P4 0,037 0,081 0,054 0,018 0,055 0,041
T3P1 0,047 0,039 0,048 0,025 0,083 0,066
T3P2 0,053 0,079 0,078 0,006 0,065 0,083
T3P3 0,074 0,084 0,046 0,000 0,082 0,083
T3P4 0,063 0,087 0,059 0,012 0,086 0,034
Lampiran 14
LEMBAR PENILAIAN ORGANOLEPTIK TERHADAP MIE BASAH
Lembar Uji Hedonik
94
Nama Panelis : Tanggal :
Pengujian :
Jenis Kelamin : L/P
Nama produk : Mie Basah
Produk mie basah ini merupakan mie basah menggunakan bahan baku tepung
umbi suweg sebagai substitusinya serta adanya penambahan sodium tripoliposphate.
Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna dan kesukaan
dari produk mie basah ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini :
Rasa : Aroma : Kenampakan (Warna) : Kesukaan :
4= tidak
Kodeberpasir 4=Rasa 4=tidak kecoklatan
tidak beraroma Aroma Warna 4=Kesukaan
suka
T0P0
T1P1
T1P2
T1P3
T1P4
T2P1
T2P2
T2P3
T2P4
T3P1
T3P2
T3P3
T3P4
Saran/komentar :
Lampiran 15
Pembuatan Mie Basah
95
a.Tepung Terigu + tepung Suweg b. Menambahkan telur
96
g. Mengistirahatkan Adonan h. Mencetakan Mie Basah
i. Perebusan Mie
97
Lampiran 16
98
g) Membaca Intensitas Warna h) Uji Organoleptik dari Panelis
99
Lampiran 17
Hasil Penelitian Mie Basah
100
T2P3 (Tepung terigu + tepung T2P4 (Tepung terigu + tepung
suweg (85%+10%)dengan suweg (85%+10%)dengan
konsentrasi STPP 0,20%) konsentrasi STPP 0,25%)
101
Kontrol Pasaran
102
Lampiran 18
Bahan Baku
e. telur
103
104