Anda di halaman 1dari 16

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

Peningkatan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara

masyarakat dan pemerintah. Salah satu upayanya adalah melalui

penganekaragaman pangan, yakni suatu proses mengembangkan produk pangan

yang tidak tergantung hanya pada satu bahan pangan saja, tetapi juga

memanfaatkan berbagai macam bahan pangan (Fauzi, 2010).

Ubi kayu atau ketela pohon atau cassava sudah lama dikenal dan ditanam

oleh penduduk dunia. Hasil penelusuran para pakar botani dan pertanian

menunjukkan bahwa tanaman ubi kayu berasal dari kawasan benua amerika

beriklim tropis. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet,

memastikan sentrum (tempat asal) plasma nutfah tanaman ubi kayu adalah brasil

(Amerika selatan). Tanaman ubi kayu masuk masuk ke wilayah Indonesia kurang

lebih pada abad ke-18. Tepatnya pada tahun 1852, didatangkan plasma nutfah ubi

24 kayu dari Suriname untuk koleksikan di kebun Raya Bogor

(Rochmawatin, 2010).

Faktor lain penyebab menurunnya produksi ubikayu adalah teknik

budidaya petani yang kurang tepat seperti pemupukan yang tidak berimbang dan

pemilihan asal bahan stek yang sembarangan tanpa melihat pengaruh dari sistem

penanaman stek yang mereka lakukan terhadap pertumbuhan dan hasil ubikayu.

Usaha peningkatan produksi Produksi ubikayu dapat dilakukan dengan

konsentrasi pupuk hayati cair dan asal bahan stek. Penelitian ini bertujuan untuk
2

mengetahui konsentrasi pupuk hayati cair dan asal bahan stek terhadap

pertumbuhan stek tanaman ubi kayu (Sari, 2014).

Permintaan ubi kayu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik

untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun industri. Peran ubi kayu dalam

bidang industri akan terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya program

pemerintah untuk menggunakan sumber energi alternatif yang berasal dari hasil

pertanian (liquid biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol serta diversifikasi

pangan berbasis pangan lokal (Sundari, 2010)

Ubi kayu merupakan salah satu sumber pangan penting di Indonesia

bahkan dunia. Peningkatan produksi ubi kayu mempunyai peranan yang

sangatpenting dalam memenuhi kebutuhan pangan dunia yang semakin lama

semakin meningkat. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan produksi

sumber non beras, terutama ubi kayu, adalah ketersediaan bahan baku pangan ubi

kayu yang tidak kontinyu. Salah satu strategi mengatasi masalah tersebut yaitu

peningkatan produksi umbi ubi kayu dengan menggunakan teknologi modern

yang dapat menunjang ketersediaan dan kontinyuitas produksinya. (Fauzi, 2010).

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan paper ini adalah untuk dapat mengetahui analisis kadar

pati, karbohidrat dan kadar air umbi pada tanaman ubi kayu (Manihot esculenta).

Kegunaan Penulisan

Kegunaan penulisan paper ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat

memenuhi komponen penilaian di Laboratorium Analisis Pertumbuhn Tanaman

Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Medan dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.


3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Ubi Kayu (Manihot utilissima).

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) merupakan anggota dari famili

Euphorbiaceae. Tanaman ini berupa semak berkayu tahunan yang memproduksi

umbi akar. Daun berbentuk menjari dengan 5 sampai 9 lobus. Pada dasarnya

tanaman ini menyerbuk silang sehingga memiliki heterozigositas yang tinggi,

namun karena seringnya perbanyakan secara vegetatif menyebabakan

penyerbukan jarang terjadi di alam (Balagopalan et al., 1988).

Batang ubi kayu berbentuk panjang, kecil, dan lurus serta beruas-ruas.

Pada umumnya warna batang bervariasi antara merah kecoklatan hingga kelabu.

Setiap ruas mengandung mata tunas yang akan berkembang menjadi tunas baru

jika tunas apikal mengalami kerusakan atau masuk masa reproduktif. Mata tunas

yang berada dalam kondisi dorman akan tumbuh menjadi tunas dan tempat

munculnya akar adventif pada kondisi yang sesuai (Balagopalan et al., 1988).

Daun ubikayu tumbuh di sepanjang batang dengan tangkai yang panjang.

Daun ubikayu berwarna kehijauan dan tulang daun yang majemuk menjari dengan

anak daun berbentuk elips yang berujung runcing. Warna daun muda hijau

kekuningan atau hijau keunguan. Tangkai daun panjang dengan warna hijau,

merah, kuning, atau kombinasi dari ketiganya (Najiyati dan Danarti, 2002 dalam

Kurniani, 2009).

Menurut Rukmana (2002) dalam Kurniani (2009), batang tanaman

ubikayu berbentuk bulat diameter 2,5 – 4 cm, berkayu beruas – ruas dan panjang.

Ketinggiannya dapat mencapai 1 – 4 meter. Warna batang bervariasi tergantung

dar kulit luar, tetapi batang yang masih muda pada umumnya berwarna hijau dan
4

pada saat tua berubah keputih – putihan, kelabu, hijau kelabu atau coklat kelabu.

Empulur batang berwarna putih, lunak, dan strukturnya empuk seperti gabus.

Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang

dan tumbuh menyamping. Akar penyokong memberikan tambahan topangan

untuk tumbuh tegak dan membantu penyerapan hara. Akar akan membesar dan

membentuk umbi. Umbi pada ubikayu merupakan akar pohon yang membesar

dan memanjang, dengan rata – rata bergaris tengah 2- 3 cm dan panjang 50-80

cm, tergantung dari jenis ubikayu yang ditanam. bagian bawah daun tidak

berbulu. Umbi pada ubikayu berasal dari pembesaran sekunder akar adventif.

Bagian dalam ubikayu berwarna putih atau kekuning – kuningan. Umbi pada

ubikayu tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin (Purnomo

dan Purnamawati, 2007 dalam Savitri, 2014).

Menurut Najiati dan Danarti (2002) dalam Kurniani (2009), bunga pada

tanama ubikayu muncul pada ketiak percabangan. Bunga betina lebih dulu

muncul dan matang. Tanaman ubikayu bunganya berumah satu (monoecius) dan

proses penyerbukannya bersifat silang. Jika selama 24 jam bunga betina tidak

dibuahi, bunga akan layu dan gugur.

Syarat Tumbuh Ubi Kayu

Iklim

Ubi kayu dapat beradaptasi diberbagai kondisi iklim, terutama pada iklim

yang hangat dan lembab. Wilayah pengembangan ubi kayu berada pada 30º LU

dan 30º LS. Ubi kayu bisa tumbuh hingga di ketinggian 2,000 mdpl, namun akan

lebih menguntungkan jika ditanam di dataran rendah dengan curah hujan 750-
5

2,000 mm per tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan ada pada kisaran 18-30

ºC (Balagopalan et al., 1988).

Ubikayu tumbuh di daerah dengan curah hujan yang cukup. Biasanya

ditanam di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 0 – 1.500 meter

dari permukaan laut. Curah hujan yang dibbutuhkan ubikayu supaya dapat

tumbuh dengan baik adalah 500 – 5.000 mm/tahun (optimal 750 – 1.500

mm/tahun) dengan suhu antara 180 - 350 C (optimal 250 – 270 C) (Departemen

Pertanian, 1996). Tanah yang paling disukai untuk ubikayu adalah tanah yang

berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat, dan tidak terlalu poros serta kaya

akan bahan organik ( Purwono, 2009).

Tanah

Sebagian besar pertanaman ubi kayu terdapat di daerah dengan jenis tanah

Aluvial, Latosol, Podsolik dan sebagian kecil di daerah dengan jenis tanah

Mediteran, Grumusol, dan Andosol (Sundari, 2010). Tanah lempung atau

lempung berpasir dengan drainase yang baik dan bahan organik yang cukup

merupakan media terbaik untuk budidaya ubi kayu. Umbi akan terbentuk dengan

baik pada kondisi tanah yang gembur dengan pH 6-7.5. Tanah liat dan berbatu

akan membatasi perkembangan umbi sehingga menghasilkan produksi yang

rendah (Balagopalan et al., 1988).


6

ANALISIS PENGGANTIAN AIR DAN PENGGUNAAN NaHCO3 PADA


UBI KAYU (Manihot esculenta)TERHADAP KADAR SIANIDA

Kadar HCN pada Ubi Kayu

Kadar HCN tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 11.28 – 26.27

ppm. Kecenderungan perubahan kadar HCN tepung ubi kayu karena faktor yang

digunakan. Kadar HCN tepung ubi kayu dengan penggantian air rendaman lebih

rendah daripada kadar HCN tepung ubi kayu tanpa penggantian air rendaman. Hal

ini disebabkan oleh sifat HCN yang mudah larut dalam air. Di dalam proses

perendaman, air akan menyebabkan senyawa linamarin terhidrolisis dan

membentuk asam sianida yang larut dalam air. Ketika air rendaman diganti, HCN

yang larut dalam air tersebut akan ikut terbuang bersama dengan air, sehingga

rerata kadar HCN yang terukur lebih rendah. Sedangkan pada air rendaman yang

tidak diganti, rerata kadar HCN terukur lebih banyak karena HCN yang larut

dalam air tidak ikut terbuang bersama air (Mirna, 2011)

Selain itu Keberadaan mikroorganisme selama proses perendaman diduga

juga mempengaruhi kadar sianida pada bahan. Pada penelitian ini, diduga mikroba

yang tumbuh dan berkembang adalah golongan mikroba mesofil yang dapat

menghasilkan enzim linamarase (βglukosidase) sehingga mampu memecah

linamarin. Dengan adanya aktivitas enzim dalam pemecahan linamarin, maka

semakin banyak asam sianida yang dibebaskan sehingga jumlah sianida di dalam

bahan menjadi rendah. Selama proses hidrolisis yang dilakukan oleh β-

glukosidase pada glukosida sianogenik menghasilkan sebagian gula dan

hidroksinitril yang akan kembali terpisahkan atau secara enzimatis menjadi

sianida dan campuran karbonil (Abdul, 2007)


7

Semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang digunakan, maka kadar HCN

tepung ubi kayu cenderung semakin rendah. Hal ini dikarenakan perendaman

dalam larutan NaHCO3 akan menyebabkan perubahan suasana pada air

rendaman, suasana yang semula asam berubah menjadi alkalis. Kondisi alkali ini

disebabkan karena ion Na pada NaHCO3 bereaksi dengan komponen dinding sel

bahan seperti pektin, lemak, protein, sehingga dapat menyebabkan perubahan

permeabilitas pada dinding sel bahan (membesar) (Guritno, 1985)

Permeabilitas dinding sel yang berubah ini menyebabkan kulit ubi kayu

melunak, pengupasan atau pelunakan jaringan kulit pada bahan pangan seperti

buah dan umbi-umbian dengan menggunakan larutan alkali atau biasa disebut lye

peeling, dilakukan dengan konsentrasi larutan alkali 1 - 3%, dengan waktu dan

suhu tertentu [7]. Dengan semakin lunaknya jaringan kulit pada umbi, akan

semakin mempermudah proses pengeluaran linamarin dan lotaustralin dari dalam

umbi, dengan begitu akan semakin banyak linamarin dan lotaustralin yang akan

larut dalam air rendaman dan semakin mudah terdekomposisi oleh

mikroorganisme (Ande, 2011)

Derajat Keasaman

Derajat Keasaman (pH) tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara

5.90 – 8.83. Kecenderungan perubahan rerata derajat keasaman (pH) karena faktor

yang digunakan. Derajat keasaman (pH) tepung ubi kayu dengan penggantian air

rendaman cenderung lebih tinggi dibanding dengan derajat keasaman (pH) tepung

ubi kayu tanpa penggantian air rendaman (Prima, 2010)

Hal ini dikarenakan pada saat fermentasi spontan berlangsung, terbentuk

asam laktat, asam asetat, asam sianida, dan asam organik lain oleh bakteri asam
8

laktat, namun ketika penggantian air rendaman, asam - asam yang dibebaskan

pada saat proses fermentasi sebagian ikut terbuang bersama air rendaman,

sedangkan pada metode perendaman tanpa penggantian air rendaman asam –

asam yang terbebaskan tidak ikut terbuang, sehingga derajat keasaman (pH) yang

terukur lebih rendah. (Rizky, 2007)

Analisis kadar pati dilakukan dengan cara menentukan kadar gula yang

dinyatakan dengan glukosa dari filtrat yang diperoleh, dan nilai berat pati

diperoleh dari berat glukosa dikalikan dengan 0.90. Analisis kadar sianida

dilakukan dengan cara pembacaan absorbansi dengan menggunakan

spektrofotometri, kemudian dimasukkan nilai absorbansi yang ada pada

persamaan dan dihitung konsentrasinya. Analisis total asam dilakukan dengan

menggunakan metode titrasi dengan NaOH 0.10 N (Basuki, 2008)

Semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang digunakan, maka derajat

keasaman (pH) tepung ubi kayu cenderung semakin tinggi. Peningkatan ini

disebabkan karena NaHCO3 memiliki sifat buffer (penjaga pH). NaHCO3 dapat

digunakan sebagai pencuci untuk menghapus apapun yang berasam. Reaksi dari

NaHCO3 dan asam menghasilkan garam dan asam karbonat, yang mudah terurai

menjadi karbon dioksida dan air (Sari, 2014)

Kadar Air dan Kadar Pati

Kadar air tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 7.38 – 7.73%.

Kecenderungan perubahan kadar air karena faktor yang digunakan dapat dilihat.

kadar air tepung ubi kayu dengan penggantian air rendaman cenderung lebih

rendah dibanding dengan rerata kadar air tepung ubi kayu tanpa penggantian air

rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang digunakan pada


9

air rendaman, maka rerata kadar air tepung ubi kayu cenderung semakin rendah

(Trisno, 2013) (Larisu, 2010)

Rendahnya rerata kadar air tepung ubi kayu dikarenakan sebelum proses

penepungan, telah dilakukan pengeringan pada cabinet dryer dengan suhu 600C

selama 8 jam, sehingga penurunan kadar air pada tepung ubi kayu mulai terjadi

saat pengeringan sampai penepungan. Semakin lama waktu pemanasan maka

pemecahan komponen-komponen bahan semakin meningkat yang berakibat

jumlah air terikat yang terbebaskan semakin banyak [10]. Selain itu, ubi kayu juga

terlebih dahulu mengalami proses perendaman dengan menggunakan NaHCO3.

Pada saat perendaman tersebut, ubi kayu mengalami fermentasi yang terjadi

secara spontan oleh mikroba (Rachman, 2010)

Akibat dari adanya aktivitas mikroba ini maka banyak komponen-

komponen dalam bahan yang terpecah karena dimanfaatkan oleh mikroba untuk

metabolisme, sehingga semakin banyak jumlah air terikat yang terbebaskan. Hal

ini menyebabkan tekstur umbi menjadi lunak dan berpori sehingga menyebabkan

penguapan air selama proses pengeringan semakin mudah (Suprapti, 2005)

Semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang digunakan pada air rendaman,

maka kadar pati pada tepung ubi kayu cenderung semakin rendah. Semakin tinggi

konsentrasi NaHCO3 yang digunakan, maka suasana fermentasi akan semakin

alkalis, dan suasana alkalis ini akan membantu mikroorganisme bermetabolisme

selama proses fermentasi terjadi. Pada penelitian ini diduga mikroorganisme yang

tumbuh adalah bakteri asam laktat, kondisi optimal pertumbuhan bakteri asam

laktat adalah pada suhu 30 – 370C, pH 3 – 8. Semakin mendekati pH optimal,

maka aktivitas mikroorganisme akan semakin tinggi, sehingga kebutuhan energi


10

untuk mikroorganisme bermetabolisme juga akan semakin meningkat. Karbon

dan sumber energi untuk kebutuhan mikroorganisme dapat diperoleh dari

karbohidrat sederhana seperti glukosa (Risma, 2013)

Di antara polisakarida yang dapat dijadikan sebagai sumber karbon dan

energi untuk mikroorganisme pada ubi kayu terutama adalah pati. Mengingat

cukup tingginya pati dari ubi kayu, maka kondisi ini dapat merangsang

pertumbuhan mikroorganisme yang selanjutnya akan memanfaatkan pati dari ubi

kayu. Juga molekul-molekul organik yang komplek seperti polisakarida harus

dipecah dulu menjadi unit-unit yang lebih sederhana, sebelum digunakan

(Zulkufli, 2012)

Kadar Gula Reduksi dan Kekuningan (b+)

Kadar gula reduksi tepung ubi kayu dengan penggantian air rendaman

cenderung lebih rendah dibanding dengan kadar gula reduksi tepung ubi kayu

tanpa penggantian air rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi NaHCO3

yang digunakan pada air rendaman, maka kadar gula reduksi tepung ubi kayu

cenderung semakin tinggi. Kadar gula reduksi berkaitan dengan kadar pati dimana

semakin banyak pati yang terhidrolisis maka semakin banyak gula reduksi yang

terukur (Ashari, 2009)

Gula reduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat

mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan

fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus

aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa)

dan disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida),

termasuk sebagai gula reduksi. Umumnya gula reduksi yang dihasilkan


11

berhubungan erat dengan aktivitas enzim, yaitu semakin tinggi aktivitas enzim

maka semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan (Fauzi, 2010)

Kekuningan (b+) tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 4.83 –

8.33. Kekuningan (b+) tepung ubi kayu dengan penggantian air rendaman

cenderung lebih rendah dibanding dengan kekuningan (b+) tepung ubi kayu tanpa

penggantian air rendaman. Sedangkan, semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 yang

digunakan pada air rendaman, maka kekuningan (b+) tepung ubi kayu cenderung

semakin tinggi. Hal ini dikarenakan penggunaan NaHCO3 akan menyebabkan

terjadinya oksidasi antara keton dengan NaHCO3. Keton yang dihasilkan dari

sianohidrin yang terdekomposisi akan mengalami oksidasi dengan NaHCO3 dan

menghasilkan karboksilat, air dan karbondioksida. Akibat dari adanya oksidasi ini

menyebabkan fermentasi yang terjadi pada ubi kayu yang direndam bersifat aerob

(fermentasi dengan adanya oksigen). Dengan adanya oksigen akan menyebabkan

penurunan warna karena oksidasi leukoantosianin pada bahan (Sundari, 2010)

Analisis Penggantian Air dan Penggunaan NaHCO3 Pada Ubi Kayu


(Manihot esculenta) Terhadap kadar Sianida

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) adalah salah satu makanan pokok di

Indonesia setelah padi dan jagung. Ubi kayu mengandung glukosa sehingga pada

umumnya memiliki rasa yang manis, namun ada pula yang pahit. Ubi kayu pahit

merupakan salah satu ubi kayu yang masih jarang dimanfaatkan karena tidak

layak dikonsumsi. Ubi kayu baik yang manis maupun yang pahit juga

mengandung senyawa racun, yaitu sianida.

Jenis yang manis mengandung sianida < 50 ppm sehingga aman untuk

dikonsumsi, tetapi yang pahit mengandung sianida > 100 ppm dan tidak aman

untuk dikonsumsi dan biasanya dimanfaatkan sebagai gaplek atau tepung. Sianida
12

adalah senyawa kimia yang mengandung gugus CN dengan atom karbon terikat

rangkap tiga pada atom nitrogen. Sianida merupakan senyawa tidak berwarna,

sangat beracun dan mudah menguap pada suhu kamar 26oC. Secara spesifik,

sianida adalan anion CN- . Senyawa ini ada dalam bentuk gas, liquid dan solid,

setiap senyawa tersebut dapat melepaskan anion CNyang sangat beracun. Sianida

dapat terbentuk secara alami maupun dibuat oleh manusia dan memiliki sifat

racun yang sangat kuat dan bekerja dengan cepat. Kandungan senyawa sianida

pada suatu bahan pangan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu potensial

sianogenik, sianida bebas dan total sianida. Potensial sianogenik merupakan

senyawa yang berpotensi menghasilkan sianida, terbagi menjadi glukosida

sianogenik dan non-glukosida sianogenik.

Glukosida sianogenik merupakan senyawa yang berpotensi menghasilkan

sianida dan memiliki ikatan glukosidik misalnya linamarin dan lotaustralin yang

terdapat pada ubi kayu. Sedangkan non-glukosida sianogenik merupakan senyawa

yang tidak berikatan glukosidik tapi berpotensi menghasilkan sianida. Senyawa

ini dapat diukur dengan metode analisis tanpa adanya tahapan perlakuan secara

enzimatis maupun penambahan senyawa asam kuat. Pada ubi kayu biasanya

berupa senyawa sianohidrin hasil pemecahan dari linamarin. Sianida bebas

merupakan produk akhir dari pemecahan senyawa potensial sianida diatas,

biasanya disebut dengan asam sianida (HCN). Sedangkan total sianida merupakan

jumlah keseluruhan jenis sianida yang terkandung dalam suatu bahan baik itu

berupa potensial sianida maupun sianida bebasnya. Ubi kayu varietas Malang 4

mempunyai produktivitas dan kadar pati yang cukup tinggi, namun memiliki

kadar sianida yang tinggi pula.


13

Di dalam proses pembuatan tepung ubi kayu, kadar sianida harus

dikurangi sampai sekecil-kecilnya (kurang dari 40 ppm) agar layak dikonsumsi.

Potensi toksisitas pada ubi kayu disebabkan oleh dua senyawa prekursor HCN,

yaitu linamarin dan lotaustralin. Salah satu upaya untuk mengurangi kadar racun

glukosida sianogenik pada ubi kayu adalah dengan fermentasi. Selama fermentasi

akan terjadi pemecahan senyawa linamarin menjadi sianida bebas yang

disebabkan adanya akitivitas enzim linamarase dari umbi ubi kayu. Selama proses

hidrolisis yang dilakukan oleh enzim linamarase pada glukosida sianogenik

menghasilkan sebagian gula dan hidroksinitril yang akan kembali terpisahkan atau

secara enzimatis menjadi sianida dan campuran karbonil (ketosa dan aldosa) [3].

Proses ini disebut sianogenesis dimana terjadi ketika jaringan sianogenik pada

tanaman mengalami kerusakan.


14

KESIMPULAN

1. Kadar HCN tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 11.28 – 26.27

ppm

2. Derajat Keasaman (pH) tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara

5.90 – 8.83

3. Kadar air tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 7.38 – 7.73%

4. Kekuningan (b+) tepung ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 4.83 –

8.33

5. Kandungan senyawa sianida pada suatu bahan pangan dapat dibedakan

menjadi 3 jenis yaitu potensial sianogenik, sianida bebas dan total sianida
15

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, 2007. Penanaman Stek Ubikayu. Penelitian Bahan Pengembangan


Pertanian. Jakarta.
Ashari, 2009. Ketela Pohon (Manihot utilissima pohl). Kantor Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan Dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan Dan Teknologi. Jakarta.
Ande, 2011. Teknologi Budidaya Ubikayu Untuk Mencapai Produksi Optimal.
Badan Penelitian Bahan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Basuki, 2008. Teknologi Budidaya Ubikayu. Balai Besar Pengkajian Dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian. Lampung.
Fauzi, A.R. 2010. Induksi Multiplikasi Tunas Ubikayu (Manihot esculenta crantz)
var. Adira 2 Secara In Vitro. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Ghufronabdillah, 2014. Ubikayu (Budidaya Tanaman Semusim). Fakultas
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Guritno, B. 1985. Influence Of Planting Material On Plant Performance In
Cassava. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Larisu, A. M. 2010. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Sekolah Tinggi Penyuluhan
Pertanian Magelang. Jurusan Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta.
Mirna, 2011. Ubikayu (Manihot utilissima). Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Nurdjanah, S, dkk. 2007. Prediksi Kadar Pati Ubikayu (Manihot esculenta) Pada
Berbagai Umur panen Menggunakan Penetrometer. Fakultas Pertanian.
Universitas Lampung. Lampung.
Prima, 2010. Aplikasi BSA Pada Ubikayu. Sarana Tani Makmur. Surabaya.
Rachman, I.D. 2012. Studi Pembuatan “Tapioca Fermented Flour (TFF)” Dengan
Fermentasi Alami Dan Penambahan Inokulum. Fakultas Pertanian.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Risma, 2013. Ketela Pohon (Manihot ulissima). Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Rizky, 2007. Ubikayu (Manihot utilissima). Fakultas Pertanian. Universitas
Lampung. Lampung.
16

Rochmawatin, M. 2010. Pengaruh Konsentrasi Enzim Dan Lama Sakarifikasi


Pada Hidrolisis Enzimatis Terhadap Produksi Sirup Glukosa Dari Pati
Ubikayu (Manihot esculenta). Fakultas Sains Dan Teknologi. Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Sari, A.M. 2014. Pertumbuhan Tanaman Ubikayu (Manihot utilissima) Dari
Berbagai Asal Bahan Stek Sebagai Respon Dari Konsentrasi Pupuk Hayati
Cair. Fakultas Pertanian. Universitas Jember. Jember.
Sundari, T. 2010. Pengenalan Varietas Unggul Dan Teknik Budidaya Ubikayu.
Balai Penelitian Kacang-Kacangan Dan Umbi-Umbian. Malang.
Suprapti, 2005. Ubikayu (Manihot utilissima). Fakultas Pertanian. Universitas
Malikussaleh. Aceh.
Trisno, 2013. Ciri-Ci\ri Tanaman Singkong. Badan Penelitian Bahan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Yuliadi, E, dkk. 2011. Aplikasi Paclobutrazos Melalui Daun Tanaman Ubikayu
(Manihot esculenta crantz) Untuk Merangsang Pembungaan Dini Di
Dataran Rendah. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.
Zulkifli. 2012. Analisis Pendapatan Dan Nilai Tambah Pada Agroindustri Kripik
Ubikayu Di Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara.
Fakultas Pertanian. Universitas Malikussaleh. Aceh.

Anda mungkin juga menyukai