Anda di halaman 1dari 14

Pendayagunaan Sagu Baruk

Sebagai Tanaman Konservasi Produksi Pangan


dan Pakan Ternak
Abner Lay
Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.

RINGKASAN
Sagu baruk dapat berperan sebagai tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman kehutanan,
tumbuh baik pada berbagai habitat, topografi lahan miring/curam dan musim kemarau panjang.
Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan
memberi manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan
ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian
lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan.
Kata Kunci: Sagu baruk, konservasi tanah dan air, tepung sagu, pakan, pupuk organik.

I. PENDAHULUAN
Kelimpahan sumber daya kehutanan Indonesia mengalami kemerosatan yang sangat cepat dan
sangat luas, sehingga saat ini, sulit untuk mengharapkan potensi ekonomi kehutanan sebagai
penyumbang devisa, ekspor serta lapangan pekerjaan. Penebangan hutan secara liar dan ilegal,
eksploitasi sumber daya kehutanan berlebihan, penyeludupan hasil dan produksi kehutanan yang
tidak terkendali menjadi penyebab utama rusaknya sumber daya, ekosistem, termasuk kerusakan
lingkungan. Sementara itu, masih membutuhkan sumbangan hasil produk hutan sebagai salah satu
komoditas ekspor unggulan, penciptaan lapangan kerja serta sumber pendapatan bagi penduduk di
sekitar hutan.
Pada masa mendatang, pengelolaan pembangunan sektor kehutanan sudah tidak dapat lagi
dipisahkan dengan pembangunan sektor lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya kehutanan
harus diarahkan agar tetap dapat ditingkatkan produksinya secara berkesinambungan dan selaras
dengan daya dukung alam yang lestari, yang dapat memberi kemakmuran dan kesempatan
seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengusahakan hutan secara lestari, sebagai sumber pangan
dan membantu mengatasi perubahan iklim global.
---------------------------------------------------Disampaikan pada Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan
Manado, 23-24 Oktober 2012.
Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.

93

Peningkatan produksi kehutanan diharapkan dapat dicapai dengan pengelolaan hutan alami
secara lestari, yang dibarengi dengan optimalisasi pengembangan hutan tanaman industri serta
pengembangan lahan hutan potensial untuk kombinasi budidaya komoditas pangan. Aren dapat
ditanam di lahan yang kurang subur atau bahkan lahan kritis, karena tanaman ini relatif tidak
membutuhkan air yang banyak, justru sebaliknya aren mampu menyimpan, mempertahankan
kondisi air tanah tepat tumbuhnya. Dengan sifat ini, aren dapat berfungsi sebagai tanaman
konservasi tanah dan air serta dapat menjadi tanaman reboisasi. Aren dapat ditanam dan
dikembangkan pada lahan-lahan yang justru tanaman pangan lainnya sulit tumbuh dengan baik.
Lahan-lahan potensial untuk pengembangan aren banyak terdapat di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan
Papua yang secara relatif bukan lumbung pangan nasional (Probowo, et al, 2009).
Sagu baruk (Arenga microcarpa Beccari) yang semarga dengan aren (Arenga pinnata ) dapat
dimanfaatkan sebagaI tanaman konservasi. Selain itu, sagu baruk dapat menghasilkan pangan
karbohidrat berupa tepung, yang dalam pengembangannya tidak bersaing dengan tanaman semusim
sebagai penghasil pangan. Sagu baruk tumbuh membentuk rumpun dengan perakaran memiliki
prorositas cukup tinggi yang dapat mencengkeram lapisan tanah, sehingga penghanyutan lapisan
tanah aliran air permukaan dapat diperkecil.
Sagu baruk merupakan tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan tanaman hutan. Di
Kabupaten Sangihe, sagu baruk merupakan tanaman penghasil pangan karbohidrat berupa tepung
sagu. Selain itu, hijauan tanaman berupa daun dan anakan dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak, kayu digunakan sebagai bahan bangunan dan sisa empulur sagu dimanfaatkan sebagai pupuk
organik.
Di Kepulauan Sangihe, sagu baruk diusahakan dalantuk pola tanam campuran, pohon siap
panen 105,5 pohon/Ha/tahun. Tanaman campuran dengan sagu baruk adalah tanaman cengkih,
kelapa, pala, pisang dan tanaman perkebunan lainnya, yang menempati areal dengan proporsi
sekitar 33-50 %. Usaha pengolahan tepung sagu baruk dilakukan secara perorangan oleh keluarga
pemilik dan penyawa lahan sagu, dengan pemilikan lahan petani berkisar 1,0-2,0 Ha,
48,5 %,
yang terdiri dari 44 % pemilik, pemilik sekaligus pengolah 48,5 % dan pengolah/penyewa 7,5 %.
Jumlah yang ditebang rata-rata 20 pohon/ bulan, dengan produksi. Produksi sagu yang yang dijual
rata-rata 450 kg/bulan. Konsumsi sagu dan beras pada daerah studi menunjukkan bahwa petani
mengkonsumsi beras sebesar 61 % beras dan 39 % sagu (Lay, et al, 1998).
Dilaporkan Miftahoracman (2009) bahwa sagu baruk sebagai tanaman penghasil karbohidrat
dapat menghasilkan tepung sebanyak 20-30 kg/batang. Apabila kebutuhan sagu/kapita/tahun setara
dengan beras yaitu 60 kg/kapita/ tahun, maka kebutuhan konsumsi sagu bagi penduduk Pulau
Sangihe 66,8 % dari konsumsi beras, sehingga sagu baruk memberi peran yang sangat besar bagi
ketahanan pangan bagi daerah Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, dan berpeluang
pengembangannya bagi daerah lain.

94

II.

KARAKTERISTIK TANAMAN SAGU BARUK

Habitat
Dilaporkan Mogea (1991) bahwa sagu baruk banyak dijumpai di Kepulauan Sangihe, Maluku,
Irian dan Papua New Guinea. Sagu baruk tumbuh baik pada ketinggian 0-700 m dpl, dengan
kemiringan lereng 40-60 %, curah hujan 2.500-4.000 mm. Di Pulau Sangihe Sulawesi utara, sagu
baruk umumnya tumbuh pada ketinggian 0-400 m dpl, tumbuh baik pada lahan kering dan pada
daerah dengan topografi lereng yang terjal, tumbuh dalam bentuk rumpun (Maliangkay dan Matana,
2005). Keadaan tegakan dan rumpun sagu baruk umur 6 tahun dan tanaman dewasa umur 10 tahun
yang siap panen tertera pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Sagu baruk umur 6 tahun Gambar 2. Sagu baruk dewasa siap panen
Sagu baruk tumbuh baik pada lahan kering bahkan pada lereng-lereng dimana tanaman
perkebunan lain sulit tumbuh. Di Kecamatan Manganitu Kabupaten Sangihe sagu baruk menyebar
mulai dari tepi pantai sampai ke pegunungan yang curam pada ketinggian 500 m dpl dengan
kemiringan lereng diatas 40. Sampai dengan tahun 2004, masalah erosi pada wilayah ini kecil sekali
karena kondisi populasi sagu baruk tetap dipertahankan secara alami (Miftahorachman, 2009).
Perkembangan anakan dan pohon
Pengamatan terhadap populasi sagu baruk di Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kapulauan
Sangihe Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa dari 9 plot dengan luas rata-rata areal 400 m
diperoleh sebaran keadaan tanaman sagu baruk sebagai berikut:
(a) Jumlah rumpun
: 11,16 rumpun (290 rumpun/Ha)
(b) Jumlah anakan
: 112,05 anakan
(c) Jumlah anakan yang berbatang
: 48,72 anakan
(d) Jumlah pohon siap panen
: 4,22 pohon
(e) Jumlah pohon lewat panen
: 0,05 pohon

95

Umur pohon sagu baruk layak panen berkisar 7-10 tahun, yang ditandai dengan tinggi pohon
yang beragam dari 7-12 m. Umur sagu baruk yang dikategorikan lewat panen adalah telah
terbentuknya bunga, menandakan sebagian kandungan pati telah disintesis menjadi energi untuk
pembentukan bunga dan biji. Penanganan panen sagu baruk di Kepulauan Sangihe dikategorikan
efisien, ditandai dengan tanaman yang lewat panen sangat kecil yakni 0,1 %.
Umumnya masyarakat melakukan panen sagu baruk berdasarkan tinggi pohon. Pengamatan
terhadap tinggi tanaman pada populasi sagu baruk dari 9 plot dengan luas rata-rata 400 m sebagai
berikut:
(a) Tinggi 1- 2 m
: 16,5 pohon
(b) Tinggi 3- 4 m
: 20,1 pohon
(c) Tinggi 5- 6 m
: 12,7 pohon
(d) Tinggi 7- 8 m
: 3,2 pohon
(e) Tinggi 9-10 m
: 0,9 pohon
(f) Tinggi 11-12 m
: 0,1 pohon
Umumnya penebangan untuk pengambilan tepung dari empulur batang dilakukan petani
sebelum sagu baruk berbunga, yakni pada ketinggian pohon lebih dari 7 m. Kondisi ini,
menyebabkan sulit memperoleh biji matang untuk perbanyakan tanaman. Penebangan yang
dilakukan setelah sagu baruk berbunga kurang efektif karena tepung yang dikandung pada empulur
telah dikonversi menjadi energi.
Pengamatan di Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa karakteristik tinggi
pohon, diameter batang dan komponen hasil sagu baruk yang meliputi berat batang, berat empulur,
berat sagu dan rendemen sagu cenderung seragam pada variasi ketinggian tempat tumbuh dari 200600 m dpl (Tabel 1)
Tabel 1. Karakteristik pohon dan komponen hasil sagu baruk pada variasi
ketinggian tempat tumbuh di Pulau Sangihe Sulawesi Utara
No.
1.

Uraian
Tinggi pohon (m)

200 m dpl
11,0

400 m dpl
9,7

600 dpl
11,0

Rata-rata
10,6

2.
3.

Diameter batang ( cm)


Berat batang (kg)

14,3
199,0

15,7
196,7

15,0
205,0

15,0
200,2

4.

Berat empulur (kg)

132,7

121,7

122,7

125,7

5.

Berat sagu basah (kg)

44,3

42,0

44,0

43,4

6.

Rendemen sagu (%)

33,4

34,5

35,9

34,6

Sumber: Marianus (2011)


III. KEUNGGULAN SAGU BARUK
Tanaman konservasi
Dalam pelaksanaan konservasi, perlu dipertimbangkan kondisi kesuburan tanah dan jenis
tanaman yang adaptif terhadap tempat tumbuh. Kondisi tanah yang menjadi prioritas adalah lahan
96

dengan kesuburan rendah antara lain tanah kritis, tanah marginal seperti tanah Posolik Merah
Kuning, Organosol dan Entisol. Jenis tanaman yang dapat tumbuh tanah marjinal adalah pohonpohon yang mampu tumbuh pada kondisi pada tanah marginal/kritis yang berpotensi untuk
perbaikan sumber daya tanah, pertumbuhan yang baik pada musim kekeringan, tajuk ringan, dan
tahan kebakaran (Purwanto dan Singoringo, 1999).
Pemanfaatan tanaman kayu, pada rehabilitas lahan dalam rangka konservasi seperti Akasia
(Acasia mearensii), pada umur tanaman 10-15 tahun, sangat menarik minal petani untuk melakukan
penebangan untuk dimanfaatkan kayunya, yang menyebabkan hutan terbuka. Selain itu, pohon
Acasia mudah terbakar pada musim kemarau.
Tanaman konservasi tidak membutuhkan
pemeliharaan yang intensif dan perbanyakan alami oleh tanaman itu sendiri, seperti pada sagu baruk
perbasnyakan melalui tunas dalam bentuk rumpun. Untuk optimal produksi tepung sagu aren,
penanganannya adalah penjarangan anakan, agar setiap rumpun tumbuh 4-5 tegakan sagu baruk,
dan pembersihan sekitar rumpun untuk memudahkan pengambilan hasil.
Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang dinamis dengan sub-ekologis dan subsistem pengelolaan. Sub sistem ekologis berkaiatan dengan sumber daya alam (lahan, hutan,
estetika alam, fauna), sedangkan sub-sistem pengelolaan berkaitan dengan masyarakat dan
pemanfaatan sumber daya alam.
Tujuan pengelolaan daerah aliran sungai adalah mencapai keseimbangan dalam pemanfaatan
dan pelestarian sumberdaya alam berupa vegetasi, tanah dan air. Sasaran adalah meningkatkan
produksi, mutu dan keteraturan pengendalian air, mengurangi bahaya erosi, banjir, kekeringan, dan
meningkatkan kulitas lingkungan, sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam
dan sekitar hutan (Pratiwi, 1999).
Pada pelaksanaan konservasi, perlu dipertimbangkan kondisi kesuburan tanah dan jenis
tanaman yang adaptif terhadap tempat tumbuh. Kondisi tanah yang menjadi prioritas adalah lahan
dengan kesuburan rendah antara lain tanah kritis, ,tanah marginal seperti tanah Podsolik merah
kuning, Organosol dan Entisol. Sedangkan jenis yang adapting dengan tanah marjinal adalah pohonpohon yang mampu tumbuh pada kondisi pada tanah marginal/kritis yang berpotensi untuk
perbaikan sumber daya tanah, pertumbuhan yang baik pada musim kekeringan, tajuk ringan, dan
tahan kebakaran (Purwanto dan Singoringo, 1999).
Bertambahnya luas kawasan hutan kritis di Indonesia, berpeluang terjadinya erosi dan
bencana alam, terutama di daerah aliran sungai. Sagu baruk dapat dijadikan tanaman konservasi.
Pola pemungutan hasil relatif sedikit dengan penebangan yang selektif yakni yang layak tebang,
sehingga penebangannya kurang mempengaruhi terbukanya lahan konservasi.
Berdasarkan karakteristik tanaman dan kesesuai tumbuh pada tanah marginal/kritis, sagu
baruk dapat digunakan sebagai tanaman konservasi. Pendayagunaan tanaman ini sebagai tanaman
konservasi tidak membutuhkan pemeliharaan intensif dan perbanyakan oleh tanaman itu sendiri
dalam bentuk berkembangnya tunas berupa rumpun sagu baruk. Untuk optimal produksi dilakukan
penjarangan anakan, agar setiap rumpun tumbuh 5-6 batang pohon, dan pembersihan sekitar
rumpun untuk memudahkan pengambilan hasil.

97

Sagu baruk adalah tipe tanaman keras yang tumbuh membentuk rumpun dengan perakaran
memiliki prorositas cukup tinggi yang dapat mencengkeram lapisan tanah, sehingga penghanyutan
lapisan tanah permukaan dapat ditekan dan aliran permukaan dapat diperkecil. Sagu baruk
memmiliki keistimewaan yakni dapat tumbuh dengan baik pada lahan terjal dengan kemiringan
mencapai 70. Sagu baruk mempunyai kemampuan untuk menahan air hujan, antara blain dapat
dilihat di lapang bahwa mata air yang muncul berada sekitar pohon sagu baruk, dan dapat
menwahan air dalam waktu yang cukup lama yang ditandai dengan pada musim kemarau panjang,
serta rendahnya erosi sekitar lahan yang ditumbuhi sagu baruk. Tanaman ini resisten terhadap
perubahan iklim, yang ditandai pada musim kemarau panjang, di mana tanaman lain sulit tumbuh,
namun sagu baruk tetap tumbuh normal dan berproduksi Dengan kondisi ini, sagu baruk mampu
menutup tanah dengan cukup cepat, sehingga mampu mengurangi dampak dari bahaya erosi
(Marianus, 2011).
Sagu baruk memiliki keistimewaan, yaitu dapat tumbuh dengan baik pada lahan kering bahkan
pada lereng-lereng dimana tanaman perkebunan lain sulit tumbuh dan berkembang. Di Kecamatan
Manganitu Kabupaten Sangihe sagu baruk menyebar mulai dari tepi pantai sampai ke wilayah
pegunungan yang curam pada ketinggian 500 m dpl dengan kemiringan lereng diatas 40 %. Sampai
dengan tahun 2004 masalah erosi kecil sekali karena kondisi populasi sagu baruk tetap
dipertahankan secara alami (Miftahorachman, 2009).
Pada pemulihan lahan kritis bekas pertambangan batubara pada Perusahaan PT Kaltim Prima
Coal di Sanggata Kalimantan Timur luas 1 Ha, yang dilaksanakan pada tahun 2010-2011, ternyata
pertumbuhan anakan sagu baruk selama satu tahun dengan penampakan pertumbuhan vegetatif
yang baik (Mashud, 2012). Pada daerah bekas letusan gunung api seperti di sekitar Gunung Merapi
Yogyakarta, yang sekarang gundul dan hanya sebagian ditumbuhi rerumputan dan semak-semak,
mudah lonsor dan banjir (hanyutan lahar dingin) pada musim penghujan. Areal lereng Gunung
Merapi yang merupakan tanah vulkanis, sangat efektif dibudidayakan sagu baruk, baik untuk
tanaman reboisasi maupun sebagai sumber bahan pangan masyarakat. Tanah di Gunung Merapi
sebagai tanah vulkanis yang subur di banding dengan tanah di Pulau Sangihe Besar.
Budidaya sagu baruk memungkinkan dikembangkan pada daerah yang sering mengalami masa
paceklik pangan seperti di Pulau Rote, Pulau Sabu Kabupaten Rotendau NTT dan wilayah rawan
banjir dan kekeringan antara lain DAS Bengawan Solo, Kabupaten Gunung Kidul dan Gunung Merapi
Yogyakarta, wilayah perbukitan yang kritis di Jawa Barat, Banten, Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera
dll.
Produksi pangan
Proses pengolahan tepung sagu dari sagu baruk di Pulau Sangihe, dimulai dari pemarutan
sampai ekstraksi sagu basah, dengan 2 orang tenaga kerja yang berkerja selama 8 jam kerja, dengan
pemarut mekanis daya 3,5 Hp dapat mengolah sebanyak 720 kg empulur/ hari, menghasilkan sagu
basah 216-237 kg sagu basah (Widardo dan Tumbel, 1998).
Dalam upaya meningkatakan efisiensi pengolahan sagu baruk untuk menghasilkan tepung sagu
basah, dapat menggunakan alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu (Gambar 3), yang

98

digunakan pada sagu rumbia (Metroxylon sp) kapasitas olah 190 kg empulur/jam atau 1.520 kg/hari
(Lay, 2002) yang setara dengan 12 pohon sagu baruk/hari.
Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu, terdiri dari tiga komponen utama, yakni unit
pemarut, unit ekstrasi dan unit pengendap yang dirancang terpadu dalam satu sistem proses, yang
menggunakan motor penggerak dengan daya 10 Hp. Pada penggunaan alat ini, tidak dilakukan
pengupasan kulit batang, hanya batang sagu baruk dipotong sepanjang 1 m dan dibelah menjadi
empat bagian untuk memudahkan pemarutan empulur sagu. Proses pemarutan empulur sagu,
ekstraksi hancuran empulur dan pengendapan berlangsung simultan. Pada penggunaan alat ini, perlu
diperhatikan kontinuitas aliran air ekstraksi dari sumbernya, dengan debit air berkisar 4-5 L/kg
hancuran empulur.
Penggunaan alat pemarut mekanis untuk proses ekstraksi membutuhkan air lebih sekit (4-5
L/kg. Empulur), sedangkan ekstraksi manual membutuhkan air ekstraksi sebanyak 20-22 L/ kg.
hancuran empulur. Pengolahan tepung sagu secara mekanis kurang praktis dilakukan secara
perorangan, karena kapasitasnya cukup tinggi, sehingga membutuhkan cukup banyak bahan baku.
Untuk efektifnya proses pengolahan, sebaiknya pengunaan alat pengolahan sagu mekanis sistem
terpadu dalam bentuk usaha kelompok tani/gabungan kelompok tani atau UKM.

Gambar 3. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu

Pengolahan tepung sagu baruk dengan menggunakan alat pengolahan sistem terpadu (Lay,
1998), dengan cara pengolahan sebagai berikut:
(a) Penebangan tegakan sagu dan pemotongan gelondongan batang sagu dengan ukuran panjang
80-100 cm (disesuaikan dengan penggunaan kulit batang sebagai bahan bangunan), tanpa
dilakukan npengupasan kulit batang.
(b) Batang sagu dibelah menjadi empat bagian, agar memudahkan dalam proses pemarutan.
Pemarutan menggunakan sistem pemegangan, yang dilakukan pemaruant empulur sagu baruk
pada arah sejajar dengan gerigi pemarut, proses pemarutan selesai, jika empulur seluruhnya
telah terparut, ditandai ketebalan kulit batang berkisar 1,00-1,25 cm.
(c) Bersamaan dengan proses pemarutan, air ektraksi dialirkan ke unit pengolahan, agar air
ekstraksi dapat membantu menahan hancuran empulur dan mengalirkan ke unit ekstraksi, air

99

yang diperlukan sekitar 4-5 L/kg empulur sagu, jika kapasitas pengolahan sebesar 190 kg
empulur/jam diperlukan air sebanyak 760-950 L/jam atau debit air 12,7-15,8 L/menit, air
ekstraksi mengalir secara kontinu selama proses pengolahan berlangsung.
(d) Pada proses ekstraksi, suspensi sagu (cairan yang mengandung sagu) akan terpisah dengan
serat, ampas kasar dan ampas halus secara mekanis di dalam ekstraktor dan saringan getar,
selanjutnya suspensi sagu mengalir ke unit pengendap dan sagu akan mengendap pada unit
pengendap.
(e) Proses pencucian sagu, dilakukan setelah selesai satu periode proses atau satu hari pengolahan.
Pati sagu yang telah mengendap dipermukaanya terdapat sisa air proses, air proses dialirkan
keluar, kemudian dimasukan air proses ke dalam bak pengendap dan dilakukan pengadukan pati
sagu basah dengan air proses secara manual untuk mengeluarkan asam-asam dan zat warna dari
pati sagu.
(f) Pati sagu diendapkan selama 30 menit, apabila endapan pati sagu sagu telah menjadi padat, air
sisa proses yang ditambahkan sebelumnya dikeluarkan dengan hati-hati agar pati sagu tidak
terikut pada pengaliran air sisa proses.
(g) Pada pengeluaran sisa air proses, yang tertinggal adalah pati sagu basah. Pati sagu basah
dikeluarkan dari bak pengendap, dan dimasukan ke dalam wadah penampung, yang dapat
dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan atau diolah menjadi tepung sagu.
Tepung sagu baruk yang dihasilkan berwarna putih agak kelabu, jika akan diolah menjadi
sowan dan produk industri lainnya, perlu dilakukan pemutihan. Pemutihan adalah menghilangkan
warna-warna yang ada pada bahan karena pigmen-pigmen alam ata zat lain, sehingga diperoleh
bahan yang lebih putih. Untuk proses pemutihan dapat mengunakan Kalium Bromat 30 ppm dan
Asam Askorbat 100 ppm. Peningkatan derajat putih dengan menggunakan Kalium bromat dan Asam
Askorbat, ditinjau dari segi biaya produksi adalah ekonomis. Mutu tepung sagu baruk yang
menggunakan pemutih kalium Bromat, Asam Askorbat dan tanpa pemutihan, memenuhi syarat
mutu sesuai Standar Nasional Indonesia (Tabel 2).
Tabel 2. Analisis mutu tepung sagu baruk
No.

Parameter

Kalium Bromat
30 ppm
12,24

Asam Askorbat
100 ppm
13,02

Tanpa
Pemutih
12,54

1.

Kadar air (%)

2.
3.

Kadar abu (%)


Serat kasar (%)

0,26
0,18

0,31
0,19

0,32
0,18

4.

Derajat asam (ml NaOH


1 n/100 g

2,02

2,58

2,96

5.

Kadar pati (%)

88,00

84,00

82,00

6.

Derajat putih

88,50

89,50

77,50

7.

Jamur

Negatif

Negatif

Negatif

8.

Kehalusan (80 mesh)

Lolos ayakan

Lolos ayakan

Lolos ayakan

9.

Logam berbahaya

Negatif

Negatif

Negatif

Sumber: Widardo dan Tumbel (1998)

100

Produksi pakan ternak


Daun anakan pohon sagu baruk sangat disukai sapi sebagai hijauan pakan ternak. Pada
pengolahan tepung sagu baruk, diperoleh hasil sampng berupa ampas pati sagu. Ampas pati sagu
sagu baruk sama dengan dengan ampas pati aren, dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang
dicampur konsentrat.
Ampas pati aren (APA) mengandung 85,8 % bahan kering, protein kasar 2,63 %, serat kasar
15,9 % dan lemak 0,5 %. Ampas dalam bentuk ampas halus dapat digunakan sebagai pakan ternak
sapi dengan komposisi 80 % konsentrat dan 20 % APA. Pengujian pada Sapi Onggole di Bogor,
menunjukkan bahwa pemberian pakan yang terdiri dari 80 % konsentrat dan 20 % APA pada sapi
dengan bobot 190,9 kg selama 10 minggu, memberikan pertambahan bobot hidup harian rata-rata
0,675 kg/ekor/hari dengan efisiensi pakan 14,08 %, dibanding pemberian 100 % konsentrat adalah
tidak berbeda nyata terhadap pertambahan bobot hidup harian dan efisiensi pakan. Pemberian
pakan dengan proporsi 70 % konsentrat dan 30 % APA tidak efisien, ditandai pertambahan bobot
hidup harian rata-rata 0,490 kg/ekor/hari dan efisiensi pakan 10,3 %, (Umiyasih, et al, 2008).
Produksi pupuk organik
Daun sagu baruk yang komposisi kimia diduga menyerupai daun kelapa, dapat dimanfaatakan
sebagai pupuk organik. Kotoran hewan seperti sapi yang umum telah digunakan sebagai bahan baku
pupuk organik karena nutrisi yang dikandungnya. Kotoran sapi padat mengandung 0,4 % Nitrogen;
0,2 % Fosfor; 0,1 % Kalium dan air 85 % (Yuliarti, 2009).
Sapi dewasa memproduksi kotoran rata-rata 6 kg/hari dalam bentuk agak cair dengan kadar air
85 %, jika dikeringkan menjadi 30 %, produksi kotoran =
6 kg x (100-85 +30) % = 2,7 kg kg
kotoran kering/hari. Apabila dalam satu Ha dipelihara 4 ekor, maka produksi kotoran sapi kering
(kadar air 30 %) sebanyak 4 x 2,7 kg x 365 = 3.942 kg/Ha/tahun.
Formulasi pupuk organik limbah sagu baruk adalah 50 % daun sagu kering + ampas sagu baruk
dan 50 % kotoran hewan (kotoran ayam, sapi dll), larutan EM4 1,6 L; gula pasir 1 kg dan air 400 L
untuk satu ton bahan organik. Selama ini, daun sagu baruk hasil penebangan pohon sagu, dikumpul
dan dibakar, dengan telah ditemukan alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa yang terdiri dari
unit pencacah (Gambar 4), penghancur bahan organik (Gambar 5), ayakan bahan organik sistem
sentrifugal (Gambar 6) dan bak fermentasi (Gambar 7).

Gambar 4. Alat pencacah daun

Gambar 5. Alat penghancur bahan organik

101

Gambar 6. Alat ayakan bahan organik


sistem sentrifugal

Gambar 7. Bak fermentasi pupuk organik


suhu terkontrol

Pengolahan pupuk organik dilakukan dengan cara mencampurkan bahan organik (hancuran
daun sagu baruk dan hancuran kotoran ternak) dan bahan tambahan (EM4, gula dan air) dicampur
sampai merata dan dimasukan ke dalam bak fermentasi, kemudian ditutup plastik untuk
difermentasi. Proses fermentasi pupuk organik limbah sagu baruk membutuhkan waktu 9 hari.
Penggunaan alat pengolahan pupuk organik limbah sagu baruk, mensyaratkan penggunakan bahan
olah dalam bentuk kering. Proses pencampuran adonan pupuk dilakukan secara manual karena belum
tersedia alat pencampur mekanis.
Pengolahan pupuk organik limbah sagu baruk dapat menggunakan metode pengolahan pupuk
organik limbah kelapa, yakni:
(1) Penyiapan bahan olah: Pencacahan daun dan tangkai daun sagu baruk kering, penghancuran
hasil pencacahan, pengeringan dan pengayakan kotoran ternak, pengeringan kotoran sapi yang
tidak lolos ayakan sentrifugal, ayakan ampas sagu dengan saringan sentrifugal.
(2) Penyiapan larutan fermentasi: Ditimbang gula putih dilarutkan dalam air,
ditambahkan ke dalam larutan gula, diaduk hingga merata.

larutan EM4

(3) Pencampuran bahan baku: Serbuk daun/pelepah daun, serbuk ampas sagu dan serbuk kotoran
sapi, dengan komposisi 3:2:5. Bahan baku dicampur sampai merata, baik dilakukan secara
manual maupun mekanis.
(4) Proses fermentasi: Larutan gula + EM4 di tuangkan ke dalam campuran bahan baku pupuk
organik secara merata dan ditambahkan air 50-60 %, diaduk sampai merata, dimasukkan ke
dalam wadah fermentasi. Pengamatan suhu fermentasi dengan memasang thermo-koppel pada
bak fermentasi, untuk mengukur suhu fermentasi dan suhu udara luar (suhu kontrol).
(5) Proses fermentasi pupuk organik limbah kelapa berlangsung selama 9 hari, suhu fermentasi
berkisar 30-45 C, sedangkan suhu ruang 29-31 C, setelah fermentasi dihasilkan pupuk organik
limbah kelapa. Proses fermentasi pupuk organik ini tidak memerlukan pembalikan bahan olah
selama proses fermentasi.

102

(6) Penggunaan pupuk organik dari limbah sagu baruk dapat menggunakan cara penggunaan pupuk
organik limbah kelapa, yakni 2-3 ton/Ha atau setara 10 kali takaran pupuk anorganik NPK (Lay,
2012).
Produksi kayu
Pada pengolahan tepung sagu baruk, khusus pada proses pemisahan empulur dari batang sagu
baruk akan diperoleh kayu sagu baruk yang merupakan bagian kulit batang, kekerasannya
menyerupai kulit batang aren. Kayu sagu baruk dapat digunakan sebagai kayu bakar dan bahan
perkakas rumah. Produksi kayu dari satu batang pohon diperkirakan sebanyak 0,1 m. Tegakan sagu
baruk yang dapat ditebang 105 pohon/Ha/tahun, akan dihasilkan sebanyak 10,5 m/Ha/tahun, suatu
jumlah sangat berarti sebagai kayu bakar dan bahan bangunan.
IV. BUDIDAYA SAGU BARUK
Perbanyakan dan penanaman
Sagu baruk dalam perkembangbiakannya lebih banyak melalui anakan dan membentuk
rumpun. Pada kondisi tidak terpelihara, anakan akan berkembang dengan cepat, dan yang tumbuh
menjadi tanaman dewasa dan memiliki struktur batang hanya sedikit. Pertumbuhan anakan rata-rata
3-6 anakan/rumpun/bulan atau ketambahan anakan sebanyak 750 anakan/ha/bulan (Barri, et al,
2001).
Perbanyakan tanaman sagu baruk dapat dilakukan melalui biji dan tunas/anakan.
Perbanyakan melalui biji agak sulit dilaksanakan karena penebangan tegakan sagu baruk umumnya
dilakukan sebelum terbentuk buah atau sebelum buah matang, sehingga pilihan terbaik
perbanyakannya dengan tunas.
Tunas sagu baruk terdiri dari dua jenis yakni tunas batang dan tunas akar, kedua jenis tunas ini
dapat ditanam langsung dilapang yang lahannya sudah diolah, namun untuk mendapatkan hasil yang
baik tunas atau anakan disemai terlebih dahulu, dan dipindahkan ke lapang setelah tunas
membentuk akar. Anakan sagu baruk dengan jumlah daun 4-5 helai adalah ukuran yang layak untuk
bibit. Tunas batang dan tunas akar yang disemai selama 6 bulan tumbuh menjadi bibit masingmasing tunas batang 90 % dan tunas akar 75 %. Tunas batang tumbuh lebih baik dari tunas akar,
dikarenakan pada tunas batang berada pada fase pertumbuhan optimal karena mendapat suplai
makanan dari akumulasi pati dari batang.
Tunas batang dan tunas akar dipisahkan dari pohon induk dengan hati-hati dan disemai selama
4 bulan, setelah berdaun 4-5 helai bibit sudah dapat dipindahkan di kebun, yang sebelumnya terlebih
dahulu dibuat lubang penanaman dengan ukuran 40x40x40 cm, jarak tanam 9x9 m. Penanaman
dilakukan pada musim penghujan, untuk mengurangi bibit yang mati. Apabila bibit sudah tumbuh
normal, pekerjaan selanjutnya adalah pembersihan sekitar pertanaman dengan radius 1 m, yang
dilakukan setiap tiga bulan (Maliangkay, 2010).
Pemeliharaan tanaman
Pada saat tanaman berumur 4 tahun, perlu dilakukan penjarangan anakan (tunas batang dan
tunas akar). Untuk optimal pertumbuhannya, penjarangan anakan dilakukan secara kontinu tiap tiga
bulan bersamaan dengan pembersihan kebun terutama areal sekitar pertanaman sagu baruk, dan

103

dibiarkan tumbuh sagu baruk sebanyak 5-6 tegakan. Pada penjarangan anakan, hijauan anakan sagu
baruk dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi. Penjarangan dilakukan sampai tegakan sagu baruk
siap tebang.
Pada saat tanaman muda umur 1-4 tahun dapat diusahakan tanaman semusim diantara sagu
baruk seperti jagung dan kacang-kacangan, sehingga areal kebun dapat dimanfaatakan dengan baik,
dapat pula ditanamai tanaman penghijauan seperti lamtoro dan lamtoro gung untuk menghasilkan
hijauan pakan ternak. Setelah umur 5 tahun atau lebih penanaman tanaman semusim diantara sagu
baruk dan tanaman penghijauan tidak efektif, karena mahkota daun sagu baruk dan tanaman
penghijauan sudah melebar dan menutup areal.
Pola tanam sagu baruk sebaiknya dilakukan secara polikultur atau tanaman campuran sagu
baruk dengan tanaman perkebunan dan sagu baruk dengan tanaman kehutanan. Sagu baruk
ditanam diantara kelapa dan tanaman kayu dengan jarak menyesuaikan jarak tanam kelapa yakni 9x9
m dan 10x10 m, jarak tanam dengan tanaman kehutanan 9x9 m, agar tanaman perkebunan,
kehutanan dan sagu baruk memperoleh sinar matahari yang cukup.
Pada pengusahaan sagu baruk dan tanaman penghijauan sebaiknya dilakukan pemeliharaan
ternak sapi karena tersedia cukup banyak hijauan pakan ternak, yang berasal dari penjarangan
anakan dan pemangkasan daun dewasa. Dipeliharannya sapi pada areal sagu baruk akan diperoleh
kotoran sapi. Kotoran sapi, ampas sagu dan daun kering dapat diolah menjadi pupuk organik.
Panen
Sagu baruk dengan tinggi pohon (diukur dari pangkal batang sampai dengan pangkal daun
terakhir) minimal 7 m sudah dapat dipanen atau ditebang. Umumnya panen sagu baruk atau
penebangan dilakukan pada tinggi pohon berkisar 8-12 m. Perencanaan penebangan tidak mutlak
tergantung pada saat panen yang tepat, melainkan dapat digunakan indikasi tinggi pohon, sebagai
bahan pertimbangan dalam perencanaan eksploitasi, terutama pada pengolahan tepung sagu baruk
skala menengah (Lay, et al, 1998).
V. PENUTUP
Sagu baruk mempunyai kemampuan tumbuh pada berbagai lahan kritis, daerah berlereng yang
cukup curam, dan mampu tumbuh normal pada musim kemarau panjang, walaupun tanpa budidaya
yang intensif dapat tumbuh dan berproduksi.
Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan
memberi manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan
ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian
lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan.

104

DAFTAR PUSTAKA
Barri, N. L., D. Allorerung., A. Ilat., dan J. Mawikere. 2001. Survey keragaan tanaman dan ekosistem
habitat sagu baruk di Kabupaten Sangihe Talaud. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman
Kelapa dan Palma Lain, Manado.
Lay, A., D. Allorerung., Amrizal dan N.L. Barri. 1998. Pengolahan sagu berkelanjutan. Prosiding
Seminar Regional Kelapa dan Palma. Manado, 25-26 Februari 1998, hal 217-230.
Lay, A. 2002. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu. Paten. No. ID 0 0000 367 S.
Lay, A. 2012. Perancangan teknik proses produksi pupuk organik dari limbah kelapa kapasitas 2
ton/hari untuk peningkatan nilai tambah. Laporan Akhir Penelitian Koordinatif TA. 2011. Balai
Besar Mekanisasai Pertanian, Serpong.
Maliangkay, R.B. dan Y. R. Matana, 2005. Budidaya dan pemanfaatan sagu baruk. Buletin Palma;
29:.73-79.
Maliangkay, R.B. 2010. Pengaruh asal anakan terhadap pertumbuhan bibit sagu baruk. Buletin
Palma; (38):95-99.
Mashud, N. 2012. Pengembangan komoditas sagu di sekitar wilayah operasional PT Kaltim Prima
Coal di Sangatta Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma
Manado, Tahun 2012.
Marianus. 2011. Tanaman sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan lokal di
Kabupaten Kepulauan Sangihe. Laporan Penelitian Pascasarjana Fakultas Pertanian Brawijaya,
Malang.
Miftahorachman. 2009. Potensi sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan. Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor; 15 (3):14-16.
Mogea, J.P. 1991. Revisi Marga Arenga (palmae). Disertasi Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Indonesia. Jakarta.
Prabowo, S., H. Djojohadikusumo, R. Pambudy, E. S. Thohari, Frans BMD., R. Purnama dan W.
Purnama. 2009. Membangun kembali Indonesia Raya; Haluan baru menuju kemakmuran.
Institut Garuda Nusantara (Pusat Studi Strategis Indonesia). Jakarta, hal. 70-72; 170-171.
Pratiwi. 1999. Pengelolaan daerah aliran sungai untuk menunjang konservasi tanah, air dan
keragaman hayati. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor; 56-63.
Purwanto, I. dan H.H. Siringoringo, 1999. Upaya pelestarian potensi kesuburan tanah hutan.
Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor; 56-63
Umiyasih, U., D. Pamungkas., A. Rasyid., Y.N. Anggraeny., D. M. Dikman dan I.W. Mathius. 2008.
Pengaruh level penggunaan ampas pati aren (Arenga pinnata Merr) dalam ransum terhadap
pertumbuhan sapi peranakan ongole. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 11-12 November 2008, hal. 186-191.

105

Widardo, S.H. dan N. Tumbel. 1998. Prospek pengembangan pengolahan sagu baruk. Prosiding
Seminar Regional Hasil Penelitian Kelapa dan Palma. Manado, 25-26 Pebruari 1998, hal. 206116.
Yuliarti, N. 2009. 1001 Cara menghasilkan pupuk organik. Lyli Publisher. Yogyakarta,
hal. 9.

106

Anda mungkin juga menyukai