Disusun Oleh :
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
YOGYAKARTA
2019
I. PENDAHULUAN
II. ISI
Gambar 2. Kelapa sawit (kiri) dan Akasia (kanan) di lahan gambut Riau
Secara alami status hara tanah gambut tergolong rendah, baik hara makro maupun
mikro. Kandungan unsur hara gambut sangat ditentukan oleh lingkungan
pembentukannya. Gambut yang terbentuk dekat pantai pada umumnya gambut
topogen yang lebih subur, dibandingkan gambut pedalaman yang umumnya
tergolong ombrogen. Tingkat kesuburan tanah gambut tergantung pada beberapa
faktor (Andriesse, 1974).
a. ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi
b. komposisi tanaman penyusunan gambut;dan
c. tanah mineral yang berada dibawah lapisan tanah gambut
Polak (1949) menggolongkan gambut kedalam tiga tingkat kesuburan yang
didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O, dan kadar abunya, yaitu: (1)
gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut mesotrofik
dengan tingkat kesuburan yang sedang; dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat
kesuburan yang rendah.
Tabel 1. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut
Tingkat Kandungan ( % bobot kering gambut)
P2O5 CaO K2O Abu
Kesuburan
Eutrofik > 0,25 > 4,0 > 0,10 > 0,25
Mesotrofik 0,20-0,25 1-4,0 0,10 0,20 – 0,25
Oligotrofik 0,05-0,20 0,25-1 0,03-0,1 0,05 – 0,20
Nitrogen
Ketersediaan N bagi tanaman pada tanah gambut umumnya rendah, walaupun
analisis N total umumnya relatif tinggi karena berasal dari N-organik.
Perbandingan kandungan C dan N tanah gambut relatif tinggi, umumnya berkisar
20-45 dan meningkat dengan semakin meningkatnya kedalaman (Radjagukguk,
1997). Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan N tanaman yang optimum
diperlukan pemupukan N.
Fosfor
Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk P-
organik, yang selanjutnya akan mengalami proses mineralisasi menjadi P-
anorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam
bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Di dalam
tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya,
sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya didalam tanah
menempati lebih dari setengah P-organik atau kira-kira seperempat total P tanah.
Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam
yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian, garam ini
sukar didegradasi oleh mikroorganisme (Stevenson, 1984).
Unsur mikro
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi
ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Unsur mikro juga diikat kuat oleh
ligan organik membentuk khelat sehingga mengakibatkan unsur mikro menjadi
tidak tersedia bagi tanaman. Gejala defisiensi unsur mikro sering tampak jelas
pada gambut ombrogen seperti tanaman padi dan kacang tanah yang steril.
Menurut Driessen (1978) kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan
bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga
kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi
pencampuran dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut
tersebut. Tanah gambut mengerap Cu cukup kuat, sehingga hara Cu tidak tersedia
bagi tanaman, menyebabkan gejala gabah hampa pada tanaman padi. Kandungan
unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah
mineral atau menambahkan pupuk mikro.
G. Pengelolaan Nutrisi Di Lahan Gambut
Ketersediaan N, P, K, Ca, dan Mg dalam tanah gambut umumnya rendah,
meskipun pada umumnya kandungan N, P, K total tinggi (Mutalib et al., 1991).
Sebagian besar N, P, K total dalam gambut berada dalam bentuk organik
(Stevenson and Fitch, 1986; Andriesse 1988). Tanaman menyerap unsur hara
dalam bentuk anorganik sehingga N, P, dan K yang ada di gambut tidak dapat
terserap oleh tanaman.
Selain hara makro, lahan gambut juga kahat unsur mikro seperti Cu, Zn, Fe,
Mn, B, dan Mo. Kadar unsur Cu, Bo, dan Zn di lahan gambut umumnya sangat
rendah dan seringkali terjadi defisiensi (Mutalib et al., 1991). Pembentukan
senyawa organik-metalik menyebabkan unsur mikro tidak atau kurang tersedia
(Spark et al., 1997). Keberadaan asam-asam karboksilat dan fenolat dalam
gambut berfungsi sebagai pengikat logam (Saragih, 1996 cit. Dariah et al., 2014).
Tingginya kadar asam fenolat menyebabkan tanah gambut kahat Cu (Sabiham et
al., 1997). Ketersediaan hara Cu dan Zn yang rendah pada tanah gambut juga
dapat disebabkan pH yang rendah.
Lahan gambut dapat diperbaiki melalui pemberian amelioran. Amelioran atau
pembenah tanah merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk
memperbaiki lingkungan akar bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian amelioran
dimaksudkan sebagai sumber hara, mengurangi kemasaman tanah dan sebagai
sumber pengikat atau penjerap kation-kation yang tercuci ke daerah lain akibat
pengaturan tata air. Bahan amelioran terdiri atas: tanah mineral, gulma tanaman
pertanian, pupuk kandang (pukan) ayam, kapur dolomit, dan purun tikus
(Eleocharis dulcis) yang merupakan jenis rumput spesifik di lahan rawa pasang
surut (Maftu’ah et al., 2013). Selain itu, amelioran yang digunakan dapat berupa
berbagai jenis kapur, lumpur, pupuk kompos maupun abu.
Pemberian amelioran berupa pupuk kandang dan pupuk kompos kurang
mampu meningkatkan tingkat kemasaman tanah, oleh karena itu dalam
pengaplikasiannya dikombinasikan dengan beberapa jenis kapur seperti dolomit
untuk meningkatkan tingkat kemasaman tanah. Pemberian pukan ayam yang
dikombinasikan dengan dolomit lebih efektif dalam meningkatkan pH tanah
gambut. Penambahan dolomit dalam bahan amelioran dapat menurunkan tingkat
kemasaman tanah, memperbaiki imbangan unsur hara sehingga unsur hara dapat
diserap oleh tanaman (Brown et al., 2007). Tingkat kemasamaan tanah yang ideal
bagi ketersediaan hara di lahan gambut ialah 5,5 (Lucas & Davis cit Setiadi B,
1995 cit. Najiyati et al., 2005). Pengapuran juga dapat menyumbangkan ion Ca 2+
sehingga akan terbentuk kompleksasi dengan asam humat (Maftu’ah et al., 2013).
Penambahan kapur dengan dosis berlebih dapat memacu dekomposisi lignin dari
bahan gambut yang menghasilkan asam fenolat, humat dan fulvat yang bersifat
asam (Maas, 1997).
Pemberian amelioran berupa lumpur dapat meningkatkan tingkat kemasaman
tanah, dimana kandungan kation-kation basa seperti Na2+ dalam lumpur laut
cukup baik digunakan untuk meningkatkan kemasaman tanah (Najiyati et al.,
2005). Dalam penelitian Anshari (2003) cit Najiyati et al. (2005) menjelaskan
bahwa penggunaan lumpur sebanyak 15-20 ton/ha dapat memperbaiki status hara
tanah terutama sifat kimia dan sifat fisika. Akan tetapi dalam penambahan lumpur
perlu diperhatian asal lumpur yang digunakan, dimana lumpur yang baik untuk
amelioran ialah lumpur yang tidak tercemar logam berat seperti timbal (Pb),
merkuri (Hg), dll.
Pemberian amelioran berupa tanah mineral dapat memperbaiki sifat fisika dan
kimia gambut, terutama tekstur tanah. Tanah mineral mengandung unsur perekat
berupa lempung dan memiliki unsur hara yang lebih lengkap. Tanah yang gunakan
sebagai amelioran seperti Oxisol (Sabiham et al., 1995 cit. Najiyati et al., 2005).
Tanah yang digunakan sebagai amelioran harus memiliki syarat sebagai berikut:
memiliki pH yang tinggi, kandungan kation basa seperti Ca, Mg, Na dan K ckup
banyak, dan memiliki tekstur lempungan.
Pemberian amelioran berupa abu vulkanik maupun abu pembakaran. Abu
memiliki kandaungan unsur hara yang cukup lengkap baik itu unsur hara makro
maupun unsur hara mikro, memiliki pH yang tinggi berkisar antara 8,5 sampai
10, tidak mudah tercuci, dan mengandung kation basa seperti Ca, Mg, Na dan K
yang cukup tinggi. Selain itu abu memiliki kandungan silika tersedia yang banyak
sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Soegiman, 1982 cit.
Najiyati et al., 2005). Kombinasi antara abu pembakaran dan pupuk kandang
dengan perbandingan 4:1 sering digunakan petani di lahan gambut Kaliantan
Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Sedangkan abu vulkanik
diaplikasikan pada lahan gambut dengan dosis 7 – 10 ton/ha.
Pemberian amelioran dapat memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah gambut
yang terdegradasi. Perbaikan sifat kimia melalui perbaikan status ketersediaan
hara dan peningkatan pH tanah. Perbaikan sifat fisik salah satunya melalui
penurunan porositas total dan peningkatan kerapatan bongkah di lahan gambut
dapat berdampak terhadap serapan unsur hara terutama P (Utami, 2010 cit.
Maftu’ah et al., 2013). Peningkatan pH tanah juga mempengaruhi serapan P oleh
akar tanaman. Serapan P akan terganggu pada kondisi masam karena P tidak
mobil. Kondisi masam juga menyebabkan pertumbuhan dan fungsi akar
terganggu.
Penambahan nutrient dapat dilakukan dengan pemberian pupuk dan
penambahan Azolla. Pemberian pupuk ini lebih baik yang bersifat slow release.
Pupuk slow release akan mengurangi pencucian kandungan hara oleh air hujan
sehingga pemberian pupuk akan lebih efektif. Kandungan unsur hara makro dan
mikro yang terdapat dalam azolla merupakan nutrisi yang sangat penting bagi
semua mahluk hidup termasuk tumbuh-tumbuhan. Azolla dapat dimanfaatkan
sebagai sumber alternatif penganti pupuk-pupuk pertanian yang mengandung
bahan kimia sintetis.
Azolla dapat digunakan sebagai pupuk organik karena mengandung unsur hara
N (5%), P (1,59%), K (5,97%), Ca (1,70%), Mg (0,66%), Mn (2,944 %), dan Fe
(0,59%), yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, bunga dan buah serta
menjadi substrat yang baik untuk mikroorganisme tanah (Hasbi, 2005 cit.
Setiawan dan Armaini, 2017). Pemberian Azolla dapat berupa trichoazolla.
Kandungan pupuk kompos trichoazolla yaitu N (2,156%), P (0,071%), K
(2,366%), Mg (0,089%), Ca (0,85%), Mn (0,12%), Fe (0,30%) (Setiawan dan
Armaini, 2017). Berdasarkan komposisi kimia tersebut, bila digunakan untuk
pupuk dapat mempertahankan kesuburan tanah. Unsur-unsur tersebut sangat
dibutuhkan dalam proses pertumbuhan tanaman. Unsur N dibutuhkan dalam fase
vegetatif untuk pembentukan protein dalam proses metabolisme, diantaranya
adalah pembelahan sel yang akan mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman.
Penambahan unsur Ca dan Mg dapat meningkatkan pH tanah. Dengan
meningkatnya pH, unsur hara akan tersedia bagi tanaman. Unsur Mg merupakan
unsur penyusun klorofil dengan tercukupinya kebutuhan Mg pada tanaman maka
akan semakin baik proses pembentukan klorofil, sehingga proses fotosintesis
menjadi baik, dan hasilnya berupa fotosintat dapat digunakan untuk proses
pertumbuhan tanaman. Setiap hektar lahan memerlukan azolla sejumlah 20 ton
dalam keadaan kering yang telah siap dijadikan kompos trichoazolla (Setiawan
dan Armaini, 2017). Bila kompos trichoazolla diberikan secara rutin setiap musim
tanam, maka suatu saat tanah itu tidak memerlukan penambahan pupuk kimia.
Menurut Sarief (1985), ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Manajemen hara terpadu di lahan gambut
Internal
Kekuatan/Strength : Air melimpah, KPK tinggi, tidak semua hama mampu
hidup di gambut, mampu menahan air cukup besar
Eksternal
Peluang/Opportunity : Luasan lahan melimpah, belum banyak yang
dimanfaatkan
Adriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soil. Soil
Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water
Development Division. FAO, Rome.
Ahmad-Shah, A., M. Radzi-Abbas, and A.S. Mohd-Jamil. 1992. Characteristics of
tropical peat under a secondary forest and an oil palm plantation in
Selangor, Malaysia. Pp. 256-269. In: Proocedings of the9th International
Peat Congress. Uppsala, Sweden. Volume 1.
Andriesse, J.P. 1974. Tropical Peats in South East Asia.Dept. of Agric. Res.Of the
Royal Trop. Inst. Comm. Amsterdam 63 p.
Brown, T.T., R.T. Koening, D.R. Huggins, J.B. Harsh, R.E. Rossi. 2007. Lime
effect on soil acidity, crop yield, and aluminium chemistry in direct-seeded
cropping system. Soil Sci. Soc. Am. J. 72 : 634-640.
D. A. Suriadikarta, 2012. Teknologi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
Balai penelitian tanah, 197-212
Dariah, A., E. Maftuah, dan Maswar. 2014. Karakteristik lahan gambut.
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/juknis/panduan%
20gambut%20terdegradasi/03ai_karakteristik.pdf. Diakses pada tanggal 30
Mei 2019 pukul 20.48 WIB.
Dohong, S. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan
dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi
Tinggi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 171 halaman.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils.pp. 763-779. In: IRRI. Soil and rice.IRRI. Los
Banos. Philippines.
Maas, A. 1997. Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. J. Alami 2 : 12-16.
Maftu’ah, E., A. Maas, A. Syukur, dan B. H. Purwanto. 2013. Efektivitas
amelioran pada lahan gambut terdegradasi untuk meningkatkan
pertumbuhan dan serapan NPK tanaman jagung manis (Zea mays L. var.
saccharata). J. Agron. Indonesia 41(1): 16 – 23.
Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam
Gambut Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. 350 hal.
Masganti & N. Yuliani. 2009. Arah dan strategi pemanfaatan lahan gambut di
Kota Palangkaraya. Jurnal Agripura 4:558-571.
Masganti. 2013. Teknologi inovatif pengelolaan lahan suboptimal gambut dan
sulfat masam untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Jurnal
Pengembangan Inovasi Pertanian 6:187-197.
Masganti, M. Alwi, & Nurhayati. 2015. Pengelolaan air untuk budidaya pertanian
di lahan gambut: kasus Riau. Jurnal Sumberdaya Lahan 5:62-87.
Masganti, Nurhayati, R. Yusuf, & H. Widyanto. 2015. Teknologi ramah
lingkungan dalam budidaya kelapa sawit di lahan gambut terdegradasi.
Jurnal Sumberdaya Lahan 9:99-108.
Mutalib, A.A, J.S. Lim, M.H. Wong, and L. Koonvai. 1991. Characterization,
distribution and utilization of peat in Malaysia. In Proc. International
Symposium on Tropical Peatland. Serawak, Malaysia.
Najiyati, S., L. Muslihat, dan I. N. N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan
Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok ( South Priangan, Java ). Investigation into the
Composition of anEutrophic Topogenous bog. Cont. Gen. Agr. Res.Sta.
No. 8, Bogor, Indonesia.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and
problems for sustainability.pp. 45-54. In J.O. Rieley and S.E. Page
(Eds.).Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland.
Proceedings of the International Symposium on Biodiversity,
Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and
Peatlands, Palangkaraya, Central Kalimantan 4-8 September 1999. Samara
Publishing Ltd. Cardigan. UK.
Sabiham, S., T.B. Prasetyo, and S. Dohong. 1997. Phenolic acid in Indonesian
peat. In Rieley and Page (Eds). Biodiversity and Sustainability of Tropical
Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd, Cardigan, UK.
Sarief, 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana, Bandung.
Setiawan, H. dan Armaini. 2017. Aplikasi kompos Trichoazolla pada tanah
gambut dan ultisol terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di main nursery. JOM Faperta 4(2) : 1-15.
Soepardi, G. dan S. Surowinoto. 1982. Pemanfaatan Tanah Gambut Pedalaman,
Kasus Bereng Bengkel. Disajikan pada Sem. Lahan Pertanian se
Kalimantan di Palangkaraya, 11-14 Nopember 1982. 28 hal.
Soewandita, H. 2018. Kajian pengelolaan tata air dan produktivitas sawit di lahan
gambut (Studi Kasus : Lahan Gambut Perkebunan Sawit PT Jalin Vaneo
di Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat). Jurnal Sains &
Teknologi Modifikasi Cuaca 19: 41 – 50.
Subiksa I.G.M., W Hartatik, dan F Agus, 2011. Pengelolaan lahan gambut secara
berkelanjutan, Balai penelitian tanah
Supriyo, A. 2006. Dampak Penggenangan, Pengatusan dan Amelioran Terhadap
Sifat Kimia dan Hasil Padi Sawah (Studi Kasus Pangkoh, Kalimantan
Tengah). Disertasi. Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.
Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Desmiyati. Z., Suwarno, M. Januwati,
dan Anang H.K. 1999. Kesiapan Teknologi dan Kendala Pengembangan
Usahatani Lahan Rawa. Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional
Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa.
Jakarta, 23-26 Nopember 1999.
Spark, K.M., J.D. Wells, and B.B. Johnson. 1997. The interaction of humic acid
with heavy metals. J. Soil Res 35(1):89-101.
Stevenson, F.J. and A. Fitch. 1986. Reactions with organic matter. In: J.F.
Loneragan, A.D. Robson, and R.D. Graham (Eds.). Copper in Soil and
Plants. Academic Press, Sydney.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry.Genesis, Composition, and
Reactions.John Wiley and Sons.Inc. New York. 443 p.