Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MATA KULIAH KEHARAAN TANAMAN

MANAJEMEN HARA TERPADU DI LAHAN GAMBUT

Dosen Pengampu: Nasih Widya Yowono, S.P., M.P.

Disusun Oleh :

Hani Aprilia 14515 Faizatul Muyasaroh 14746

Hanifah Luthfi A. 14516 Libinza Junias M. 14753

Nanda Afida I. 14522 Maharani Astin B. 14754

Lukma Mayasari 14616 Nadiya Febriana 14757

Sidqi Mubaroq 14764

DEPARTEMEN TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
I. PENDAHULUAN
II. ISI

A. Gambaran Umum Lahan Gambut


Gambut merupakan lahan basah dan merupakan ekosistem yang fragile.
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya
penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan
vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena
lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik
di lantai hutan yang basah/tergenang tersebut (Najiyati et al., 2005).
Ekosistem hutan rawa gambut ditandai dengan adanya kubah gambut di
bagian tengah dan mendatar/rata di bagian pinggir serta digenangi air berwarna
coklat kehitaman seperti teh atau kopi sehingga sering disebut ekosistem air
hitam. Kubah gambut (peat dome) diawali oleh pembentukan gambut topogen di
lapisan bawah lalu diikuti oleh pembentukan gambut ombrogen di atasnya. Dalam
pembentukan gambut ombrogen, vegetasi bergantian tumbuh mulai dari pionir,
sekunder, klimaks, mati dan tertimbun di situ, sehingga lama-kelamaan timbunan
bahan organik gambut semakin tebal. Situasi ini mengarahkan keadaan
lingkungan ekosistem gambut semakinekstrim asam, miskin hara dan anaerob.
Pada kubah gambut, pasokan hara semata-mata hanya datang dari air hujan, tidak
ada lagi pasokan hara dari air tanah maupun sungai. Kondisi tersebut
menyebabkan semakin sedikitnya jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi dan
tumbuh di atasnya (Soewandita, 2018).
B. Teknologi Pengelolaan Lahan
Menurut Suriadikarta et al. (1999), Teknologi pengelolaan lahan di rawa
pasang surut meliputi pengolahan tanah, ameliorasi dan pemupukan.
1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk penyiapan lahan diperlukan untuk memperbaiki
kondisi lahan agar menjadi seragam dan rata melalui penggemburan atau
pelumpuran dan perataan tanah, juga untuk mempercepat proses pencucian bahan
beracun dan pencampuran bahan ameliorasi dan pupuk dengan tanah. Pengolahan
tanah yang secara konsisten memberikan hasil baik dari segi fisik lahan maupun
hasil tanaman adalah pengolahan tanah dengan bajak singkal diikuti dengan rotari
memakai traktor tangan. Pada tanah mineral yang keras dan berbongkah atau pada
lahan bergambut sebaiknya tanah diolah sampai gembur atau melumpur dengan
mencampurkan lapisan gambut dan tanah mineral dibawahnya. Pengolahan tanah
ini diperlukan untuk lahan gambut atau lahan rawa pasang surut yang di
sawahkan. Bila lahan sudah rata dan bersih dari bekas akar-akar kayu maka
penanaman berikutnya dapat dilakukan dengan pengolahan tanah minimum
(minimum/ zero tillage). Hal ini akan sangat mengurangi biaya produksi yang
dikeluarkan oleh petani.
2. Ameliorasi dan Pemupukan
Pemberian bahan ameliorasi dan pupukan memegang peranan penting dalam
rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan pasang surut, mengingat
kondisi lahannya yang masam dengan tingkat kesuburan tanah alami rendah.
Berbagai macam bahan ameliorasi dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
lahan, antara lain: dolomit, abu sekam, atau abu gergajian, tanah mineral, abu
volkan dan lumpur laut. Abu sekam dan abu gergajian, dan limbah tanaman
mempuyai keunggulan dengan yang lain karena harganya relatif murah dan
tersedia setempat. Untuk mengatasi asam-asam organik yang meracun pada tanah
gambut yang disawahkan telah banyak dilakukan penelitian oleh para peneliti
bidang kesuburan tanah seperti penggunaan tanah mineral berkadar besi tinggi
dan terak baja. Penggunaan kation besi tiga (Fe3+) dan zeolit serta penggunaan
dolomit dan Rock Phosfate. Penggunaan lumpur laut dan kapur, untuk tanah
gambut lahan kering yang ditanami tanaman kedelai. Hasil penelitian di
laboratorium menunjukkan bahwa bahan amelioran yang baru untuk tanah gambut
yaitu abu terbang mempunyai harapan untuk digunakan karena dapat
meningkatkan pH, P, kadar basa-basa (K, Na, Ca, Mg), dan kejenuhan basa
meningkat, namun masih perlu diuji di lapangan.
C. Budidaya Yang Cocok di Lahan Gambut
Menurut Masganti (2013) bahwa lahan gambut merupakan kontributor penting
dalam penyediaan bahan pangan. Padi, jagung dan kedelai (Pajale) merupakan
jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di lahan gambut (Masganti et al.,
2015). Tanaman Pajale, terutama padi merupakan jenis tanaman yang telah lama
dibudidayakan petani di lahan gambut. Salah satu kunci utama dalam budidaya
Pajale di lahan gambut adalah pengelolaan air, terutama berkaitan dengan
pengaturan tinggi permukaan air tanah (Masganti et al., 2015).
Budidaya Pajale di lahan gambut memerlukan kedalaman air 20-50 cm dari
permukaan tanah. Pengaturan tersebut bertujuan agar perakaran tanaman
berkembang dengan baik, dan tidak menyebabkan genangan (kecuali untuk
tanaman padi yang pada fase tertentu memerlukan genangan), sehingga suplai
oksigen tercukupi. Pengelolaan air tidak hanya memberikan jaminan ketersedia-an
air untuk kebutuhan tanaman, tetapi juga harus menjaga kondisi aerasi yang baik
bagi mikroorganisme, mengendalikan reaksi kimia tanah dan perkembangan
perakaran tanaman.
Komoditas Pajale biasa ditanam secara monokultur dan tumpangsari dengan
tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan kelapa. Selain ketiga komoditas
diatas, ubikayu dan ubijalar juga banyak dibudidayakan di lahan gambut
(Masganti et al., 2015). Kedua komoditas ini berkembang karena umumnya
tanaman ini tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik, terutama berkaitan
dengan hara dan serangan organisme pengganggu tanaman. Tanaman ini tidak
memerlukan perawatan yang intensif.
Tanaman hortikultura dapat ditanam di lahan gambut. Pertimbangan
membudidayakan tanaman hortikultura di lahan gambut adalah untuk
memunculkan sentra-sentra penghasil tanaman hortikultura. Sebagai contoh,
Kelurahan Kelampangan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah menjadi
pemasok sayuran bagi masyarakat Kota Palangkaraya (Masganti & Yuliani, 2009).
Kawasan lain yang juga menjadi sentra tanaman hortikultura di Palangkaraya
adalah Kelurahan Kereng Bengkirai. Contoh lainnya tanaman lidah buaya
dikembangkan secara baik oleh etnik Tiongkok di Kalimantan Barat (Masganti,
2013).
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan lapangan diketahui bahwa jenis
tanaman hortikultura buah-buahan yang berkembang di lahan gambut diantaranya
nenas, pisang, pepaya, semangka, melon, sedangkan jenis sayuran meliputi tomat,
pare, mentimun, cabai, kangkung dan bayam (Masganti et al., 2015). Selain
ditanam secara monokultur, tanaman hortikultura juga dibudidayakan secara
tumpangsari dengan tanaman perkebunan, bahkan dengan tanaman pangan untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan mengurangi risiko kegagalan.
Varietas tanaman yang ditanam di lahan gambut sebaiknya tanaman yang
adaptif untuk mengurang input sarana produksi yang dibutuhkan sehingga terjadi
efisiensi biaya. Terdapat dua pendekatan dalam mengusahakan tanaman di lahan
gambut, yaitu: 1) pendekatan pada kondisi drainase alami. Pada kondisi drainase
alami tanaman yang adaftif adalah padi jenis lokal, dan sagu dari spesies rawa
gambut yaitu Metroxylon sago, 2) pendekatan pada kondisi drinase buatan. Pada
kondisi ini ada dua pendekatan yaitu, kedalaman muka air tanah (40 –60 cm)
tanaman yang baik untuk kondisi sepeti ini adalah:padi, sayuran, buah-buahan,
dan rumput sebagai pakan ternak, dan pada kedalaman air tanah > 60 cm –100 cm
adalah: kelapa sawit, kelapa, dan karet yang diusahakan dalam bentuk
perkebunan, dan Accasia crasicarpa yang diusahakan dalam Hutan Tanaman
Industri (Suriadikarta, 2012).
Pemilihan komoditas yang mampu beradaptasi baik dilahan gambut sangat
penting untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang tinggi. Pemilihan
komoditas disesuaikan dengan daya adaptasi tanaman, nilai ekonomi, kemampuan
modal, keterampilan, dan skala usaha. Jenis tanaman sayuran (selada, kucai,
kangkung, bayam, cabai, tomat, terong, dan paria) dan buah-buahan (pepaya,
nanas, semangka, melon) adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
beradaptasi sangat baik di lahan gambut. Sebagai contoh petani sayuran di daerah
Siantan Kalimantan Barat sukses mengembangkan tanaman sayuran dengan
tingkat keuntungan yang tinggi. Seorang petani dengan lahan 0,5 ha bisa panen
kucai 200 kg per hari terus-menerus dan dijual dengan harga Rp3.000 – Rp
8.000kg-1. Untuk skala luas, pemilihan komoditas perkebunan seperti kelapa
sawit sangat menguntungkan karena pasarnya yang besar dan produk turunannya
sangat beragam. Pengembangan untuk tanaman pangan lebih banyak ditujukan
untuk keamanan pangan seperti jagung untuk gambut yang kering dan padi untuk
gambut dangkal dan basah (Subiksa et. al., 2011).
Gambar 1. Tanaman sayuran (kiri) dan buah-buahan (kanan) tumbuh baik di lahan
gambut

Gambar 2. Kelapa sawit (kiri) dan Akasia (kanan) di lahan gambut Riau

D. Pengelolaan Air dan Drainase


Menurut Soewandita (2018), Pengelolaan air di lahan gambut bertujuan untuk
mengatur pemanfaatan sumber daya air secara optimal sehingga didapatkan
hasil/produktivitas lahan yang maksimal, serta sekaligus mempertahankan
kelestarian sumber daya lahan tersebut. Salah satu teknikpengelolaan air di lahan
gambut dapat dilakukan dengan membuat parit/saluran, dengan tujuan:
• Mengendalikan keberadaan air tanah di lahan gambut sesuai dengan
kebutuhan tanaman yang akan dibudidayakan. Artinya: gambut tidak menjadi
kering di musim kemarau, tapi juga tidak tergenang di musim hujan. Hal demikian
dapat dicapai dengan membuat pintu air yang dapat mengatur tinggi muka air
tanah gambut sekaligus menahan air yang keluar dari lahan.
• Mencuci asam-asam organik dan anorganik serta senyawa lainnya yang
bersifat racun terhadap tanaman dan memasukan (suplai) air segar untuk
memberikan oksigen.
Salah satu faktor kunci keberhasilan pengembangan pertanian di lahan gambut,
selain meningkatkan kesuburannya adalah mengendalikan tinggi muka air di
dalamnya sehingga gambut tetap basah tapi tidak tergenang dimusim hujan dan
tidak kering di musim kemarau. Pengendalian muka air pada budidaya sawit di
lahan gambut dipertahankan pada kisaran muka air tanah sekitar 60–80 cm dari
permukaan tanah. Pengaturan tinggi muka air yang tepat juga dimaksudkan agar
proses pencucian bahan beracun berjalan dengan lancar sehingga tercipta media
tumbuh yang baik bagi tanaman.
Tata air makro yang dibawah tanggung jawab Kementerian PU, mulai dari
saluran primer, sekunder dan tersier sangat mempengaruhi kondisi tanah di lahan
pertanian. Pembuatan saluran yang terlalu dalam dan lebar akan mempercepat
proses drainase dan pada musim kemarau air tanah cukup dalam sehingga
menyebabkan tanah akan menjadi kering. Keadaan ini akan sangat berbahaya
untuk tanah gambut dan tanah Sulfat Masam. Pada tanah gambut penurunan
permukaan air tanah secara berlebihan (overdrain) akan menyebabkan gambut
mengering tak balik atau mati dan penurunan permukaan tanah gambut
(subsidence) terlalu cepat. Pada tanah sulfat masam akan menyebabkan terjadinya
oksidasi pirit dan pada saat hujan datang terjadi proses pemasaman sehingga dapat
meracuni tanaman dan biota lainnya. Oleh karena itu dalam pembuatan saluran
harus betul-betul memperhatikan kondisi fisiografi, topografi dan hidrologi di
kawasan pasang surut tersebut.
E. Kondisi Hara di Lahan Gambut
Sifat kimia yang penting terhadap dinamika lahan gambut adalah:
ketersedian unsur hara yang rendah/miskin hara dan kandungan asam-asam
organik yang tinggi yang dapat meracuni tanaman. Gambut mempunyai reaksi
yang sangat masam, Kapasitas Tukar Kation (KTK) sangat tinggi, tetapi
kejenuhan basa sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan terhambatnya
ketersediaan hara terutama basa-basa K, Ca, Mg, dan unsur mikro seperti Cu, Zn,
Mn, dan Fe bagi tanaman. Unsur mikro tersebut terikat dalam bentuk khelat dan
asam-asam organik yang meracun itu terutama asam fenolat. Asam fenolat
tersebut merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin yang dominan
dalam kayu-kayuan. Selain masalah sifat fisik dan kimia juga masalah biologi
yaitu terjadinya kehilangan unsur C dan N akibat mineralisasi C dan N-organik.
Pada lingkungan gambut yang reduktif, laju dekomposisi gambut sangat lambat
dan banyak dihasilkan asam organik beracun, kadar CH4, dan CO2. CH4 dan
CO2 merupakan gas utama yang menetukan efek rumah kaca atau pemanasan
global, oleh sebab itu lahangambut yang merupakan tempat akumulasi karbon
harus dikelola dengan baik supaya tidak menjadi penyebab pemanasan global.
Stabilitas gambut sangat dipengaruhi oleh tiga proses yaitu: 1) reduksi dan
oksidasi, 2) pengeringan dan pembasahan, dan 3) dekomposisi atau degradasi
lignin. Untuk menilai stabilitas gambut biasanya digunakan kriteria yaitu
rekalsitran, interaksi, dan aksesibilitas. Yang dimaksud dengan rekalsitan ialah
sifat inheren gambut, seperti: komposisi kimia, gugus fungsi COOH, fenolat-OH,
kemasaman tanah, dan pembentukan asam organik. Interaksi adalah
penggabungan molekul organik dengan kation-kation polivalen (Fe, Cu, Zn, dan
Mn), sedangkan aksesibilitas adalah lokasi dimana bahan gambut terbentuk
(Suriadikarta et al., 1999)
1. Ketersediaan Hara Makro
Ketersediaan N, P, K, Ca, dan Mg dalam tanah gambut umumnya rendah,
meskipun pada umumnya kandungan N, P, K total tinggi (Wong et al., 1986 cit.
Mutalib et al., 1991). Sebagian besar N, P, K total dalam gambut berada dalam
bentuk organik (Stevenson, 1986 cit, Andriesse 1988). Kandungan nitrogen (N)
total tanah gambut tropis di beberapa daerah di Indonesia tergolong rendah yang
berkisar antara 0,3 dan 2,1% (Dohong, 1999), sedangkan di Pangkoh 0,75%
(Maas et al., 1997), di Malaysia 0,9-1,7% (Ahmad-Shah et al., 1992), dan di
Brunei 0,3-2,2% (Jali, 1999). Perbedaan tersebut terkait sifat N di lahan gambut
yang memiliki keragaman tinggi dan dipengaruhi oleh proses translokasi maupun
emisi. Dari kisaran tersebut, N-mineral yang tersedia bagi tumbuhan kurang dari
1%. Tanah gambut mempunyai kemampuan menjerap pupuk P nisbi rendah (Maas
et al., 1993 cit. Suryanto, 1994), karena tanah gambut banyak mengandung gugus
fungsional yang reaktif baik gugus fungsional dengan berat molekul rendah
seperti asam sitrat, oksalat dan malat maupun gugus fungsional dengan berat
molekul tinggi berupa asam humat dan fulvat. Gugus tersebut mempunyai muatan
negatif, sehingga diperlukan jembatan kation agar unsur P dapat bertahan dalam
kompleks pertukaran. Ketersediaan K pada tanah gambut berbeda tergantung
tingkat dekomposisi gambut. Pada gambut saprik yang telah direklamasi terjadi
penurunan kadar K tersedia antara 38-50% pada kondisi tergenang, sedangkan
pada gambut alamiah (fibrik) penurunan kadar K tersedia dalam tanah sebesar
34% (Supriyo, 2006). Hal tersebut diduga berkaitan dengan kandungan abu
gambut saprik yang lebih besar dibandingkan dengan gambut fibrik. Kadar abu
gambut menunjukkan kandungan mineral yang tidak terbakar sebagai sumber K.
Disamping itu, pembukaan, drainase serta kebakaran lahan menambah sumber K.
Kejenuhan basa (Ca, Mg, K, Na) dalam tanah gambut tergolong rendah antara 5-
10%, padahal secara umum kejenuhan basa yang baik agar tanaman dapat
menyerap basabasa dengan mudah adalah sekitar 30% (Soepardi dan Surowinoto,
1982). Hal ini disebabkan lahan gambut Indonesia terbentuk di atas tanah miskin
hara dan atau hanya mendapatkan hara dari air hujan (ombrogen). Kejenuhan basa
tanah gambut di Kalimantan Tengah rata-rata lebih kecil dari 10% (Dohong, 1999
cit. Sitorus et al., 1999 cit. Masganti, 2003). Meskipun lahan gambut memiliki
kapasitas pertukaran kation (KPK) yang sangat tinggi (90-200 me%/gr), namun
kejenuhan basa (KB) sangat rendah, yang berakibat terhadap rendahnya
ketersediaan hara terutama K, Ca, dan Mg.
2. Ketersediaan Hara Mikro
Selain hara makro, lahan gambut juga kahat unsur mikro seperti Cu, Zn, Fe,
Mn, B, dan Mo. Kadar unsur Cu, Bo, dan Zn di lahan gambut umumnya sangat
rendah dan seringkali terjadi defisiensi (Wong et al., 1986 cit. Mutalib et al.,
1991). Pembentukan senyawa organik-metalik menyebabkan unsur mikro tidak
atau kurang tersedia (Suryanto, 1994 cit. Spark et al., 1997 cit. Dohong, 1999).
Keberadaan asam-asam karboksilat dan fenolat dalam gambut berfungsi sebagai
pengikat logam, dimana urutan pengikatannya adalah Cu > Pb > Zn > Ni > Co >
Mn > (Saragih, 1996 cit. Dohong, 1999). Tingginya kadar asam fenolat
menyebabkan tanah gambut kahat Cu (Sabiham et al., 1997). Ketersediaan hara
Cu dan Zn yang rendah pada tanah gambut juga dapat disebabkan pH yang
rendah. Pemberian hara mikro Cu pada tanah gambut menurunkan gabah hampa
dan meningkatkan hasil padi (Ambak et al., 2000).
F. Status Hara Di Lahan Gambut

Secara alami status hara tanah gambut tergolong rendah, baik hara makro maupun
mikro. Kandungan unsur hara gambut sangat ditentukan oleh lingkungan
pembentukannya. Gambut yang terbentuk dekat pantai pada umumnya gambut
topogen yang lebih subur, dibandingkan gambut pedalaman yang umumnya
tergolong ombrogen. Tingkat kesuburan tanah gambut tergantung pada beberapa
faktor (Andriesse, 1974).
a. ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi
b. komposisi tanaman penyusunan gambut;dan
c. tanah mineral yang berada dibawah lapisan tanah gambut
Polak (1949) menggolongkan gambut kedalam tiga tingkat kesuburan yang
didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O, dan kadar abunya, yaitu: (1)
gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut mesotrofik
dengan tingkat kesuburan yang sedang; dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat
kesuburan yang rendah.
Tabel 1. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut
Tingkat Kandungan ( % bobot kering gambut)
P2O5 CaO K2O Abu
Kesuburan
Eutrofik > 0,25 > 4,0 > 0,10 > 0,25
Mesotrofik 0,20-0,25 1-4,0 0,10 0,20 – 0,25
Oligotrofik 0,05-0,20 0,25-1 0,03-0,1 0,05 – 0,20

Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama


gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin unsur hara,
digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik (Radjaguguk, 1997). Sedangkan pada
gambut pantai pada umumnya tergolong gambut topogen dengan status eutrofik
yang kaya akan basa-basa,karena adanya sumbangan Ca, Mg, dan K dari air
pasang surut. Beberapa sifat kimia tanah gambut lain yang berpengaruh terhadap
dinamika hara dan penyediaan hara bagi tanaman yaitu: kemasaman tanah,
kapasitas tukar kation dan basa-basa dapat ditukar, fosfor, unsur mikro, komposisi
kimia dan asam fenolat gambut.

Nitrogen
Ketersediaan N bagi tanaman pada tanah gambut umumnya rendah, walaupun
analisis N total umumnya relatif tinggi karena berasal dari N-organik.
Perbandingan kandungan C dan N tanah gambut relatif tinggi, umumnya berkisar
20-45 dan meningkat dengan semakin meningkatnya kedalaman (Radjagukguk,
1997). Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan N tanaman yang optimum
diperlukan pemupukan N.
Fosfor
Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk P-
organik, yang selanjutnya akan mengalami proses mineralisasi menjadi P-
anorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam
bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Di dalam
tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya,
sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya didalam tanah
menempati lebih dari setengah P-organik atau kira-kira seperempat total P tanah.
Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam
yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian, garam ini
sukar didegradasi oleh mikroorganisme (Stevenson, 1984).
Unsur mikro
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi
ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Unsur mikro juga diikat kuat oleh
ligan organik membentuk khelat sehingga mengakibatkan unsur mikro menjadi
tidak tersedia bagi tanaman. Gejala defisiensi unsur mikro sering tampak jelas
pada gambut ombrogen seperti tanaman padi dan kacang tanah yang steril.
Menurut Driessen (1978) kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan
bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga
kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi
pencampuran dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut
tersebut. Tanah gambut mengerap Cu cukup kuat, sehingga hara Cu tidak tersedia
bagi tanaman, menyebabkan gejala gabah hampa pada tanaman padi. Kandungan
unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah
mineral atau menambahkan pupuk mikro.
G. Pengelolaan Nutrisi Di Lahan Gambut
Ketersediaan N, P, K, Ca, dan Mg dalam tanah gambut umumnya rendah,
meskipun pada umumnya kandungan N, P, K total tinggi (Mutalib et al., 1991).
Sebagian besar N, P, K total dalam gambut berada dalam bentuk organik
(Stevenson and Fitch, 1986; Andriesse 1988). Tanaman menyerap unsur hara
dalam bentuk anorganik sehingga N, P, dan K yang ada di gambut tidak dapat
terserap oleh tanaman.
Selain hara makro, lahan gambut juga kahat unsur mikro seperti Cu, Zn, Fe,
Mn, B, dan Mo. Kadar unsur Cu, Bo, dan Zn di lahan gambut umumnya sangat
rendah dan seringkali terjadi defisiensi (Mutalib et al., 1991). Pembentukan
senyawa organik-metalik menyebabkan unsur mikro tidak atau kurang tersedia
(Spark et al., 1997). Keberadaan asam-asam karboksilat dan fenolat dalam
gambut berfungsi sebagai pengikat logam (Saragih, 1996 cit. Dariah et al., 2014).
Tingginya kadar asam fenolat menyebabkan tanah gambut kahat Cu (Sabiham et
al., 1997). Ketersediaan hara Cu dan Zn yang rendah pada tanah gambut juga
dapat disebabkan pH yang rendah.
Lahan gambut dapat diperbaiki melalui pemberian amelioran. Amelioran atau
pembenah tanah merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk
memperbaiki lingkungan akar bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian amelioran
dimaksudkan sebagai sumber hara, mengurangi kemasaman tanah dan sebagai
sumber pengikat atau penjerap kation-kation yang tercuci ke daerah lain akibat
pengaturan tata air. Bahan amelioran terdiri atas: tanah mineral, gulma tanaman
pertanian, pupuk kandang (pukan) ayam, kapur dolomit, dan purun tikus
(Eleocharis dulcis) yang merupakan jenis rumput spesifik di lahan rawa pasang
surut (Maftu’ah et al., 2013). Selain itu, amelioran yang digunakan dapat berupa
berbagai jenis kapur, lumpur, pupuk kompos maupun abu.
Pemberian amelioran berupa pupuk kandang dan pupuk kompos kurang
mampu meningkatkan tingkat kemasaman tanah, oleh karena itu dalam
pengaplikasiannya dikombinasikan dengan beberapa jenis kapur seperti dolomit
untuk meningkatkan tingkat kemasaman tanah. Pemberian pukan ayam yang
dikombinasikan dengan dolomit lebih efektif dalam meningkatkan pH tanah
gambut. Penambahan dolomit dalam bahan amelioran dapat menurunkan tingkat
kemasaman tanah, memperbaiki imbangan unsur hara sehingga unsur hara dapat
diserap oleh tanaman (Brown et al., 2007). Tingkat kemasamaan tanah yang ideal
bagi ketersediaan hara di lahan gambut ialah 5,5 (Lucas & Davis cit Setiadi B,
1995 cit. Najiyati et al., 2005). Pengapuran juga dapat menyumbangkan ion Ca 2+
sehingga akan terbentuk kompleksasi dengan asam humat (Maftu’ah et al., 2013).
Penambahan kapur dengan dosis berlebih dapat memacu dekomposisi lignin dari
bahan gambut yang menghasilkan asam fenolat, humat dan fulvat yang bersifat
asam (Maas, 1997).
Pemberian amelioran berupa lumpur dapat meningkatkan tingkat kemasaman
tanah, dimana kandungan kation-kation basa seperti Na2+ dalam lumpur laut
cukup baik digunakan untuk meningkatkan kemasaman tanah (Najiyati et al.,
2005). Dalam penelitian Anshari (2003) cit Najiyati et al. (2005) menjelaskan
bahwa penggunaan lumpur sebanyak 15-20 ton/ha dapat memperbaiki status hara
tanah terutama sifat kimia dan sifat fisika. Akan tetapi dalam penambahan lumpur
perlu diperhatian asal lumpur yang digunakan, dimana lumpur yang baik untuk
amelioran ialah lumpur yang tidak tercemar logam berat seperti timbal (Pb),
merkuri (Hg), dll.
Pemberian amelioran berupa tanah mineral dapat memperbaiki sifat fisika dan
kimia gambut, terutama tekstur tanah. Tanah mineral mengandung unsur perekat
berupa lempung dan memiliki unsur hara yang lebih lengkap. Tanah yang gunakan
sebagai amelioran seperti Oxisol (Sabiham et al., 1995 cit. Najiyati et al., 2005).
Tanah yang digunakan sebagai amelioran harus memiliki syarat sebagai berikut:
memiliki pH yang tinggi, kandungan kation basa seperti Ca, Mg, Na dan K ckup
banyak, dan memiliki tekstur lempungan.
Pemberian amelioran berupa abu vulkanik maupun abu pembakaran. Abu
memiliki kandaungan unsur hara yang cukup lengkap baik itu unsur hara makro
maupun unsur hara mikro, memiliki pH yang tinggi berkisar antara 8,5 sampai
10, tidak mudah tercuci, dan mengandung kation basa seperti Ca, Mg, Na dan K
yang cukup tinggi. Selain itu abu memiliki kandungan silika tersedia yang banyak
sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Soegiman, 1982 cit.
Najiyati et al., 2005). Kombinasi antara abu pembakaran dan pupuk kandang
dengan perbandingan 4:1 sering digunakan petani di lahan gambut Kaliantan
Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Sedangkan abu vulkanik
diaplikasikan pada lahan gambut dengan dosis 7 – 10 ton/ha.
Pemberian amelioran dapat memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah gambut
yang terdegradasi. Perbaikan sifat kimia melalui perbaikan status ketersediaan
hara dan peningkatan pH tanah. Perbaikan sifat fisik salah satunya melalui
penurunan porositas total dan peningkatan kerapatan bongkah di lahan gambut
dapat berdampak terhadap serapan unsur hara terutama P (Utami, 2010 cit.
Maftu’ah et al., 2013). Peningkatan pH tanah juga mempengaruhi serapan P oleh
akar tanaman. Serapan P akan terganggu pada kondisi masam karena P tidak
mobil. Kondisi masam juga menyebabkan pertumbuhan dan fungsi akar
terganggu.
Penambahan nutrient dapat dilakukan dengan pemberian pupuk dan
penambahan Azolla. Pemberian pupuk ini lebih baik yang bersifat slow release.
Pupuk slow release akan mengurangi pencucian kandungan hara oleh air hujan
sehingga pemberian pupuk akan lebih efektif. Kandungan unsur hara makro dan
mikro yang terdapat dalam azolla merupakan nutrisi yang sangat penting bagi
semua mahluk hidup termasuk tumbuh-tumbuhan. Azolla dapat dimanfaatkan
sebagai sumber alternatif penganti pupuk-pupuk pertanian yang mengandung
bahan kimia sintetis.
Azolla dapat digunakan sebagai pupuk organik karena mengandung unsur hara
N (5%), P (1,59%), K (5,97%), Ca (1,70%), Mg (0,66%), Mn (2,944 %), dan Fe
(0,59%), yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, bunga dan buah serta
menjadi substrat yang baik untuk mikroorganisme tanah (Hasbi, 2005 cit.
Setiawan dan Armaini, 2017). Pemberian Azolla dapat berupa trichoazolla.
Kandungan pupuk kompos trichoazolla yaitu N (2,156%), P (0,071%), K
(2,366%), Mg (0,089%), Ca (0,85%), Mn (0,12%), Fe (0,30%) (Setiawan dan
Armaini, 2017). Berdasarkan komposisi kimia tersebut, bila digunakan untuk
pupuk dapat mempertahankan kesuburan tanah. Unsur-unsur tersebut sangat
dibutuhkan dalam proses pertumbuhan tanaman. Unsur N dibutuhkan dalam fase
vegetatif untuk pembentukan protein dalam proses metabolisme, diantaranya
adalah pembelahan sel yang akan mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman.
Penambahan unsur Ca dan Mg dapat meningkatkan pH tanah. Dengan
meningkatnya pH, unsur hara akan tersedia bagi tanaman. Unsur Mg merupakan
unsur penyusun klorofil dengan tercukupinya kebutuhan Mg pada tanaman maka
akan semakin baik proses pembentukan klorofil, sehingga proses fotosintesis
menjadi baik, dan hasilnya berupa fotosintat dapat digunakan untuk proses
pertumbuhan tanaman. Setiap hektar lahan memerlukan azolla sejumlah 20 ton
dalam keadaan kering yang telah siap dijadikan kompos trichoazolla (Setiawan
dan Armaini, 2017). Bila kompos trichoazolla diberikan secara rutin setiap musim
tanam, maka suatu saat tanah itu tidak memerlukan penambahan pupuk kimia.
Menurut Sarief (1985), ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Manajemen hara terpadu di lahan gambut

 Internal
Kekuatan/Strength : Air melimpah, KPK tinggi, tidak semua hama mampu
hidup di gambut, mampu menahan air cukup besar

Kelemahan/Weakness : Kemasaman tinggi, ketebalan dan kematangan gambut,


subsiden, kesuburan tanah yang rendah

 Eksternal
Peluang/Opportunity : Luasan lahan melimpah, belum banyak yang
dimanfaatkan

Ancaman/Threat : Hidrofobik jika dilakukan drainase yang tidak tepat dan


berlebihan, kebakaran hutan
III. PENUTUP

Sebagian besar N, P, K total dalam gambut berada dalam bentuk organik,


sedangkan tanaman menyerap unsur hara dalam bentuk anorganik sehingga N, P,
dan K yang ada di gambut tidak dapat terserap oleh tanaman. Lahan gambut
dapat diperbaiki melalui pemberian amelioran. Amelioran atau pembenah tanah
merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk memperbaiki
lingkungan akar bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian amelioran dimaksudkan
sebagai sumber hara, mengurangi kemasaman tanah dan sebagai sumber pengikat
atau penjerap kation-kation yang tercuci ke daerah lain akibat pengaturan tata air.
Bahan amelioran terdiri atas: tanah mineral, gulma tanaman pertanian, pupuk
kandang (pukan) ayam, kapur dolomit, dan purun tikus (Eleocharis dulcis) yang
merupakan jenis rumput spesifik di lahan rawa pasang. Selain itu, amelioran yang
digunakan dapat berupa berbagai jenis kapur, lumpur, pupuk kompos maupun abu.
DAFTAR PUSTAKA

Adriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soil. Soil
Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water
Development Division. FAO, Rome.
Ahmad-Shah, A., M. Radzi-Abbas, and A.S. Mohd-Jamil. 1992. Characteristics of
tropical peat under a secondary forest and an oil palm plantation in
Selangor, Malaysia. Pp. 256-269. In: Proocedings of the9th International
Peat Congress. Uppsala, Sweden. Volume 1.

Ambak, K. and L. Melling. 2000. Management practices for sustainable


cultivation ofcrop plants on tropical peatlands. p. 119. In Proc. of The
International Symposium on Tropical Peatlands, 22-23 November 1999.
Bogor-Indonesia.

Andriesse, J.P. 1974. Tropical Peats in South East Asia.Dept. of Agric. Res.Of the
Royal Trop. Inst. Comm. Amsterdam 63 p.
Brown, T.T., R.T. Koening, D.R. Huggins, J.B. Harsh, R.E. Rossi. 2007. Lime
effect on soil acidity, crop yield, and aluminium chemistry in direct-seeded
cropping system. Soil Sci. Soc. Am. J. 72 : 634-640.
D. A. Suriadikarta, 2012. Teknologi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
Balai penelitian tanah, 197-212
Dariah, A., E. Maftuah, dan Maswar. 2014. Karakteristik lahan gambut.
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/juknis/panduan%
20gambut%20terdegradasi/03ai_karakteristik.pdf. Diakses pada tanggal 30
Mei 2019 pukul 20.48 WIB.
Dohong, S. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan
dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi
Tinggi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 171 halaman.

Driessen, P.M. 1978. Peat soils.pp. 763-779. In: IRRI. Soil and rice.IRRI. Los
Banos. Philippines.
Maas, A. 1997. Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. J. Alami 2 : 12-16.
Maftu’ah, E., A. Maas, A. Syukur, dan B. H. Purwanto. 2013. Efektivitas
amelioran pada lahan gambut terdegradasi untuk meningkatkan
pertumbuhan dan serapan NPK tanaman jagung manis (Zea mays L. var.
saccharata). J. Agron. Indonesia 41(1): 16 – 23.
Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam
Gambut Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. 350 hal.
Masganti & N. Yuliani. 2009. Arah dan strategi pemanfaatan lahan gambut di
Kota Palangkaraya. Jurnal Agripura 4:558-571.
Masganti. 2013. Teknologi inovatif pengelolaan lahan suboptimal gambut dan
sulfat masam untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Jurnal
Pengembangan Inovasi Pertanian 6:187-197.
Masganti, M. Alwi, & Nurhayati. 2015. Pengelolaan air untuk budidaya pertanian
di lahan gambut: kasus Riau. Jurnal Sumberdaya Lahan 5:62-87.
Masganti, Nurhayati, R. Yusuf, & H. Widyanto. 2015. Teknologi ramah
lingkungan dalam budidaya kelapa sawit di lahan gambut terdegradasi.
Jurnal Sumberdaya Lahan 9:99-108.
Mutalib, A.A, J.S. Lim, M.H. Wong, and L. Koonvai. 1991. Characterization,
distribution and utilization of peat in Malaysia. In Proc. International
Symposium on Tropical Peatland. Serawak, Malaysia.
Najiyati, S., L. Muslihat, dan I. N. N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan
Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok ( South Priangan, Java ). Investigation into the
Composition of anEutrophic Topogenous bog. Cont. Gen. Agr. Res.Sta.
No. 8, Bogor, Indonesia.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and
problems for sustainability.pp. 45-54. In J.O. Rieley and S.E. Page
(Eds.).Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland.
Proceedings of the International Symposium on Biodiversity,
Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and
Peatlands, Palangkaraya, Central Kalimantan 4-8 September 1999. Samara
Publishing Ltd. Cardigan. UK.
Sabiham, S., T.B. Prasetyo, and S. Dohong. 1997. Phenolic acid in Indonesian
peat. In Rieley and Page (Eds). Biodiversity and Sustainability of Tropical
Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd, Cardigan, UK.
Sarief, 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana, Bandung.
Setiawan, H. dan Armaini. 2017. Aplikasi kompos Trichoazolla pada tanah
gambut dan ultisol terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di main nursery. JOM Faperta 4(2) : 1-15.
Soepardi, G. dan S. Surowinoto. 1982. Pemanfaatan Tanah Gambut Pedalaman,
Kasus Bereng Bengkel. Disajikan pada Sem. Lahan Pertanian se
Kalimantan di Palangkaraya, 11-14 Nopember 1982. 28 hal.
Soewandita, H. 2018. Kajian pengelolaan tata air dan produktivitas sawit di lahan
gambut (Studi Kasus : Lahan Gambut Perkebunan Sawit PT Jalin Vaneo
di Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat). Jurnal Sains &
Teknologi Modifikasi Cuaca 19: 41 – 50.
Subiksa I.G.M., W Hartatik, dan F Agus, 2011. Pengelolaan lahan gambut secara
berkelanjutan, Balai penelitian tanah
Supriyo, A. 2006. Dampak Penggenangan, Pengatusan dan Amelioran Terhadap
Sifat Kimia dan Hasil Padi Sawah (Studi Kasus Pangkoh, Kalimantan
Tengah). Disertasi. Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.
Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Desmiyati. Z., Suwarno, M. Januwati,
dan Anang H.K. 1999. Kesiapan Teknologi dan Kendala Pengembangan
Usahatani Lahan Rawa. Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional
Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa.
Jakarta, 23-26 Nopember 1999.
Spark, K.M., J.D. Wells, and B.B. Johnson. 1997. The interaction of humic acid
with heavy metals. J. Soil Res 35(1):89-101.
Stevenson, F.J. and A. Fitch. 1986. Reactions with organic matter. In: J.F.
Loneragan, A.D. Robson, and R.D. Graham (Eds.). Copper in Soil and
Plants. Academic Press, Sydney.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry.Genesis, Composition, and
Reactions.John Wiley and Sons.Inc. New York. 443 p.

Anda mungkin juga menyukai