Oleh :
Silvia Avrilza Mutiara
NIM. A1D021187
A. Latar Belakang
Buah pepaya merupakan salah satu jenis buah yang dikenal dan digemari
oleh masyarakat luas. Buah ini berasal dari Meksiko bagian selatan hingga
Amerika Tengah. Manfaat buah pepaya cukup banyak, antara lain memperlancar
pencernakan, mencegah katarak, menurunkan radang, mendukung fungsi jantung,
hingga meningkatkan daya tahan tubuh. Di Indonesia, tanaman pepaya umumnya
tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu sampai 1.000
m diatas permukaan laut. Secara umum tanaman pepaya dapat tumbuh di berbagai
jenis tanah. Namun, tanah yang banyak mengandung bahan organik, berdrainase
dan aerasi baik, dan memiliki nilai pH 6,5-7 merupakan kondisi tanah yang sesuai
untuk tanaman pepaya (Firmansyah & Pribadi, 2019).
Tanaman pepaya memiliki kemampuan adaptasi cukup baik dari berbagai
jenis tanah. Beberapa jenis tanah seperti tanah mineral lahan kering maupun
pasang surut yang memiliki jenis tanah gambut dan tanah sulfat masam juga
mampu mendukung tanaman pepaya tumbuh dan berproduksi baik (Sunyoto et
al., 2013). Kemampuan tanaman pepaya untuk hidup di lahan kering memiliki
dampak terhadap pemenuhan kebutuhan pamgan masyarakat. Pengembangan
pertanian tanaman pangan di lahan kering merupakan salah satu solusi untuk
mendukung produksi pangan nasional. Kondisi degradasi sumberdaya,
kemiskinan dan keamanan pangan banyak ditemukan pada ekosistem lahan kering
dan tadah hujan (Aminah, 2015).
Pada kegiatan magang yang telah dilaksanakan, kegiatan budidaya tanaman
pepaya pada lahan kering. Lahan ini berlokasikan di Desa Kramat, Kecamatan
Kembaran, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kegiatan budidaya dilakukan
dari mulai pengolahan lahan hingga panen. Terdapat tahapan-tahapan serta
kendala saat proses budidaya tanaman pepaya.
B. Tujuan
B. Penanaman
Upaya konservasi tanah dan air, melalui metode mekanis (mengolah tanah,
gundukan, teras dan tanggul sesuai kontur), metode hara (menanam tanaman yang
dapat menutupi tanah secara kontinyu, pola rotasi tanaman, sistem tanam
wanatani, menggunakan sisa tanaman sebagai mulsa dan bahan organik) dan
pemanfaatan pestisida (Hadiyanti et al., 2021). Menurut Negara et al., (2023),
salah satu proses pengairan dapat dilakukan dengan pengairan tetes adalah untuk
mensuplai air dan hara kepada tanaman dalam frekuensi tinggi dan volume rendah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kesuburan dan konsumtifnya. Sedangkan
pengairan tetes dicirikan oleh sifat-sifat berikut ini; air dialirkan dengan kecepatan
rendah pada periode waktu yang lama, dengan interval yang tinggi, air diberikan
pada sekitar atau di dalam mintakat perakaran tanaman (root zone) melalui system
pemberian bertekanan rendah. Selain itu, suatu pengairan tetes ideal adalah
pengairan dimana semua emitternya mampu memberikan volume air dalam
jumlah yang sama pada pengairan tertentu sehingga setiap akar menerima jumlah
air sama pada periode pengairan.
Sistem pola tanam yang berturut-turut digunakan untuk dapat mengurangi
penguapan dan memperbaiki kelempaban tanah yang di akibatkan adanya
penambahan bahan organik, mengurangi pertumbuhan gulma dan resiko
kebakaran pada musim kemarau akibat terjadinya naungan pohon, perakaran yang
dalam dapat memperbaiki siklus hara dalam peranannya sebagai penyimpan dan
pengambil hara, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembapan tanah,
serta memberikan naungan partial (Pitaloka, 2016).
Penggunaan mulsa juga dapat menjadi solusi untuk menekan penguapan di
lahan kering untuk tanaman pepaya. Pemulsaan berfungsi untuk menekan
fluktuasi temperatur tanah dan menjaga kelembaban tanah sehingga dapat
mengurangi jumlah pemberian air. Penggunaan mulsa organik memberikan
dampak postif bagi pertumbuhan tanaman karena dapat menstabilkan suhu,
menjaga kelembaban dan mempertahankan ketersediaan air tanah. Pemberian
mulsa organik bertujuan untuk menghambat pertumbuhan gulma, menambah
bahan organik tanah, mengurangi penguapan tanah sehingga temperatur dan
kelembapan tanah tetap terjaga sehingga menciptakan kondisi yang sesuai bagi
pertumbuhan tanaman (Hartono et al., 2018).
Gambar 5. Penyiraman Gambar 6. Penyiangan
Asngad, A. 2013. Inovasi pupuk organik kotoran ayam dan eceng gondok
dikombinasi dengan bioteknologi mikoriza bentuk granul. Indonesian Journal
of Mathematics and Natural Sciences, 36(1).
Azwir. 2013. Kajian Cara Persiapan Lahan dalam USAhatani Jagung di Lahan
Kering Inceptisol. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian Vol, 16(2): 85-91.
Febriawan, G., Hadi, S., & Wijayanti, F. N. (2018). Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi risiko produksi usahatani pepaya di Kecamatan Ledokombo
Kabupaten Jember. Jurnal Agribest, 2(2), 79-91.
Firmansyah, M. A., & Pribadi, T. 2020. Adaptasi Tiga Varietas Pepaya (Merah
Delima, Jupe, Madu) Di Lahan Kering Dataran Rendah. Agritech: Jurnal
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 21(2): 109-117.
Hartatik, W., Husnain, & Widowati, L. 2015. Peranan Pupuk Organik dalam
Peningkatan Produktivitas Tanah dan Tanaman. Jurnal Sumberdaya Lahan,
9(2): 107–120.
Hartono, S., Pembengo, W., & Rahim, Y. 2018. Pengaruh Jenis Mulsa Organik
dan Sistem Tanam Jajar Legowo Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Nilam (Pogostemon cablin Benth). JATT, 7(3): 327-334.
Hasman, E., Naswir, N., & Irwan, A. (2015). Rancang bangun mesin pembuat
pupuk organik granular Tipe Screw. Jurnal teknologi pertanian
andalas, 19(2), 25-28.
Rahayu, N. C. 2023. Alur Proses Produksi Sayur Organik Pada Cv. Reja Mayur.
Jurnal Agro Indragiri, 9(2): 58-65.
Simanjuntak, A., Lahay, R. R., & Purba, E. 2013. Respon Pertumbuhan dan
Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Terhadap Pemberian Pupuk
NPK dan Kompos Kulit Buah Kopi. Jurnal Online Agroekoteknologi, 1(3):
362–373.
Utami, R. D., Widodo, W. D., & Suketi, K 2013. Respon Pertumbuhan Bibit
Pepaya pada Delapan Jenis Komposisi Media Tanam. In Prosiding Seminar
Ilmiah PerhortI, 80-88.
Yunisara, T. 2018. Panen Dan Penanganan Pasca Panen Jagung Manis. Makalah.