PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumatera, Jawa, NTT, NTB, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, dengan rincian sawah
beririgasi 2.209.200 ha, sawah lebak 615.201 ha dan pasang surut 333.324 ha (Departemen
Pertanian, 2004). Perkiraan panen di seluruh Indonesia sekitar 12,8 juta ha dengan
produksi padi 64,4 juta ton dan produktivitas 4,99 ton ha-1 (BPS, 2009).
Saat ini lahan persawahan di Sumatera Selatan seluas 752.150 ha, terdiri atas lahan
sawah beririgasi 399.521 ha atau sekitar 55 %, lahan sawah pasang surut dan lebak
113.655 ha atau 15 %, sedangkan sisanya 236.974 atau 30 % adalah lahan sawah yang
Budidaya padi sawah saat ini secara umum masih menggunakan sistem
rapat (25 cm x 25 cm). Jumlah bibit yang dibutuhkan tidak hanya ditentukan jarak tanam
tetapi juga ditentukan oleh jumlah bibit per lubang tanam. Pada waktu pemindahan bibit
ke lahan, bibit dicabut dan bagian atas dipotong, dengan menanam 6-8 bibit per lubang
sehingga membutuhkan benih dalam jumlah banyak (30-40 kg per hektar). Penggunaan
bibit yang tua (umur 20-30 hari) pada saat pemindahan dan sudah mempunyai banyak akar
akan mengakibatkan bibit mengalami stress (cekaman) dan kerusakan akar (Anas et al.,
2010; Mutakin, 2010; Uphoff et al., 2008). Jarak tanam yang rapat akan menyebabkan
jumlah anakan produktif rendah (20-50 anakan per rumpun) yang akan menyebabkan
Upaya untuk meningkatkan produksi padi saat ini dapat dicapai dengan
prinsip dasar, yaitu : (1) bibit muda, berusia kurang dari 12 hari setelah semai, (2) ditanam
satu bibit per lubang, (3) penanaman harus segera mungkin, 15-30 menit setelah diambil
dari pesemaian dan harus hati-hati agar akar tidak putus, ditanam dangkal dengan akar
horizontal berbentuk huruf L, (4) pemberian air macak-macak, (5) sedapat mungkin
menggunakan pupuk organik (pupuk kompos dan pupuk kandang) (Mutakin, 2010;Sato
dan Uphoff, 2008). Budidaya padi S.R.I ini telah dikembangkan di 44 negara termasuk
Indonesia. Budidaya S.R.I mempunyai keunggulan antara lain: (1) semua varietas benih
dapat digunakan, (2) dapat meningkatkan produksi padi (3) pengurangan dalam
pemakaian benih sampai 80–90% dan kebutuhan air berkurang sampai 25-50 %, (4) biaya
produksi turun 10-25 %, (5) pendapatan petani meningkat (Uphoff dan Fernandez, 2003).
Produktivitas padi S.R.I telah diuji coba di beberapa Negara yaitu Bangladesh,
Cuba, Madagaskar, Pilipina, Kamboja, India, Myanmar, Siera Leone, Cina, Indonesia,
Nepal, Sri lanka dengan produktivitas 4,8-12,4 ton ha -1 dibandingkan dengan non S.R.I
yang hanya 2,0-10,9 ton ha-1 (Air, 2007). Kemudian S.R.I evaluasinya dilakukan di 8
pemerintah, sektor swasta dan lembaga donor menunjukkan bahwa metode S.R.I
memberikan hasil yang sama. Budidaya S.R.I meningkatkan hasil padi sebesar 52 %
dibandingkan dengan budidaya konvensional (Uphoff, 2007 dalam Anas dan Uphoff,
2009).
Di Indonesia gagasan S.R.I telah juga diuji coba dan diterapkan di beberapa
kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, serta
Papua yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
(Anugrah et al., 2008). Budidaya dengan teknologi S.R.I di beberapa tempat di Indonesia
3
telah terbukti dapat meningkatkan hasil padi lebih dari 50 %. Badan Penelitian dan
budidaya S.R.I, mencapai hasil 6,3 – 6,8 ton ha -1 pada lokasi persawahan di Sukamandi di
musim kemarau dan 9,5 ton ha-1 di musin hujan tahun 1999–2000. Petani yang
menggunakan budidaya S.R.I pada musim hujan di tahun yang sama memperoleh hasil 7,3
- 8,5 ton ha-1 setara dengan dua kali rata-rata produksi Nasional (Uphoff et al., 2002).
Budidaya padi yang dikenal para petani saat ini masih secara konvensional oleh karena itu
budidaya S.R.I perlu sosialisasi, bimbingan dan petunjuk secara terpadu agar bisa
diterapkan petani.
Aplikasi metode S.R.I pada saat ini untuk lahan lebak masih sedikit. Di Sumatera
Selatan, penelitian diuji coba oleh perusahaan swasta dengan metode demplot di daerah
pasang surut (Teluk Betung, Pulau Rimau) dan lahan beririgasi (Embawang Muara Enim)
dan penelitian ini masih menekankan aspek aplikasi sistem untuk produksi hasilnya bisa
m,encapai 7 ton per hektar. Penelitian Husny (2010) budidaya SRI pada lahan Lebak dapat
mencapai produksi rata-rata 5,34 ton per hektar dengan jarak tanam 25 x 25 cm dengan
beberapa varietas lain pada sawah lebak terhadap produksi maka diadakan penelitian ini.
B. Rumusan masalah
Apakah budidaya padi S.R.I pada sawah lebak produksinya dipengaruhi oleh varietas 2)
Bagaimana hasil dan produksi padi pada sawah lebak metode SRI apakah lebih unggul
C. Tujuan Penelitian
Mengethui dan mengukur pengaruh berbagai va rietas padi pada budidaya padi S.R.I dan
2. Mengkaji dan membandingkan hasil dan produksi padi pada sawah lebak dengan
D. Hipotesis
1. Diduga budidaya S.R.I pada sawah lebak untuk semua varietas produksinya paling
tinggi dibandingkan dengan konvensional
2. Varietas ciherang lebih dibandingkan dengan varietas lainnya.
5
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus
menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah,
bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah yang menggambarkan jenis
penggunaan tanah seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian, dan
sebagainya (Harjowigeno dan Rayes, 2001). Tanah sawah mempunyai ciri tersendiri bila
dibandingkan dengan pengelolaan tanah untuk budidaya tanaman lain. Hal yang membuat
penghancuran agregat tanah menjadi lumpur yang sama rata, yang dilakukan dengan
menggunakan kekuatan mekanis terhadap tanah pada kadar kelengasan tinggi (Sanchez,
1993).
Menurut Situmorang dan Sudadi (2001), cara pengelolaan tanah sawah yang khas
yaitu adanya kondisi tergenang pada sebagian besar periode pertanaman mengakibatkan
terjadinya proses genesis dan terbentuknya morfologi, sifat fisik, kimia, biologi, dan
mikrobiologi yang berbeda dengan tanah-tanah lain yang digunakan untuk tanaman lahan
kering. Profil tanah yang tergenang tidak seluruhnya tereduksi, zona oksidasi dijumpai
pada lapisan tipis di permukaan dan pada rhizosfer. Oksidasi pada rhizosfer disebabkan
karena kemampuan tanaman padi mensuplai oksigen oleh aerenkima ke daerah perakaran
(Yoshida, 1981).
dapat menyebabkan perubahan sifat tanah (morfologi, fisik, kimia, dan biologi) sehingga
berbeda dengan sifat tanah asalnya (Sanchez, 1993). Perubahan sifat kimia dan
elektrokimia yang penting pada tanah sawah adalah (1) kehilangan oksigen, (2) reduksi
6
atau penurunan potensial redoks (Eh), (3) peningkatan pH tanah masam dan penurunan pH
tanah alkalin, (4) peningkatan daya hantar listrik (DHL), (5) reduksi dari Fe (III) ke Fe (II)
dan Mn (IV) ke Mn (II), (6) reduksi dari NO3- dan NO2- ke N2 dan N2O, (7) reduksi SO4=
ke S= , (8) peningkatan sumber dan ketersediaan N, (9) peningkatan ketersediaan P, Si, dan
Mo, (10) pengaruh konsentrasi Zn dan Cu larut dalam air, (11) pembentukan CO 2, CH4,
dan hasil-hasil dekomposisi bahan organik dan H2S (De Datta, 1981).
Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara
2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai
curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang
mempunyai curah hujan bulanan < 200 mm). Bahan induk tanah rawa lebak umumnya
berupa endapan aluvial sungai, endapan marin, atau gambut. Berdasarkan ketinggian
tempat rawa lebak dibagi menjadi : (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak
dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggi banyak ditemukan di Sumatera dan Jawa,
sedangkan rawa lebak dataran rendah sebagian besar tersebar di Kalimantan. Berdasarkan
ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dibagi menjadi: (1) Lebak dangkal,
pemindahan bibit ke lapangan dengan dicabut sehingga banyak tanaman yang stress.
Anakan yang dihasilkan jumlahnya rendah sehingga mengakibatkan hasil produksi per
hektarnya rendah.
S.R.I Menurut Sutaryat (2008) S.R.I diartikan salah satu upaya budi daya padi seksama
dengan pengelolaan perakaran, yang berbeda pada pengelolaan tanah, tanaman dan air
dengan mengutamakan berjalannya aliran energi dan siklus nutrisi untuk memperkuat
pertanian yang secara menyeluruh dan terpadu dengan mengoptimalkan kesehatan dan
produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat
yang cukup berkualitas dan berkelanjutan. Penggunaan pupuk kimia untuk tanaman padi
selain harganya mahal juga berdampak buruk bagi kesuburan lahan yang diolah.
Penggunaan pupuk, pestisida (kimia) terbukti sangat tergantung dari bahan gas, dengan
S.R.I beda pola ini hanya menggunakan kompos organik, sehingga gas dapat dihemat.
Metode ini telah menjadi solusi dari bercocok tanam yang hemat air dengan produktivitas
yang melimpah ruah namun ramah dengan lingkungan. Lebih dari 6,5 miliar penduduk
bumi saat ini membutuhkan pangan seperti padi, bila pertanian berkembang berarti petani
global sejalan dengan tuanya usia bumi maka banyak terjadi bencana alam seperti antara
lain kebakaran hutan, iklim tidak menentu. Pola S.R.I ini dapat mencegah kerusakan
Uji coba budidaya S.R.I oleh petani di beberapa daerah misalnya di Ciamis, Garut,
Tasik memberikan hasil berturut-turut mulai dari 9,4 ton ha -1, 11,2 ton ha-1 dan bahkan
terakhir ada yang mencapai 12,5 ton ha-1, tentunya pada luasan yang masih sangat terbatas
(Sutaryat, 2008 ). Kelebihan pada budidaya S.R.I adalah hemat benih, biaya tanam lebih
rendah, intensitas panen dan padi yang dihasilkan lebih banyak. Kelebihan lain dari
penggunaan budidaya padi S.R.I adalah hemat air. Menurut Hasan (2007) penanaman padi
dengan budidaya S.R.I tak perlu menggenangi sawah dengan air. Pemberian airnya
dilakukan secara berkala dengan tinggi air maksimal 0,5 cm dan pada periode tertentu
tanah dibiarkan kering hingga pecah–pecah dan dapat menghemat pemakaian air hingga
50 persen.
8
Program intensifikasi dan ekstensifikasi merupakan upaya yang paling baik dengan
perbandingan 70 % dan 30 % dan cara ini luas lahan yang diperlukan adalah 448.718 ha
tahun-1 dan perluasan ini adalah mencapai 230.769 ha untuk padi ladang atau 115.385 ha
nyata. Metode ini terbukti telah berhasil meningkatkan produktivitas padi sebesar 50
%, bahkan di beberapa tempat dapat mencapai 100 %. Uji coba pola S.R.I pertama di
Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau tahun 1999 dengan hasil 6,2 ton ha -1 dan
musim hujan dengan nilai rata-rata 8,2 ton ha-1. Metode ini telah menjadi solusi dari
bercocok tanam yang hemat air dengan padi yang banyak disukai petani adalah IR-64
CH4 rendah dan tahan terhadap hama dan penyakit utama (wereng coklat biotipe 2 dan 3).
Varietas tersebut antara lain Ciherang, Cisantana, Tukad Balian dan, Way Apo Buru.
Varietas padi yang banyak disukai oleh petani adalah IR-64 dibandingkan dengan
varietas lain dengan alasan hasil lebih tinggi 82,5 %, umur genja 65,8 % disukai oleh
pedagang 52,2 %, harganya stabil dan tinggi 55 %, tahan terhadap hama dan penyakit
43,3%, mutu gabahnya baik 41,7 % dan rasa nasinya enak 18,3 %. Kemudian varietas IR-
64 ditanam petani 29,4 % dan Ciherang 1,8 %. (Ruskandar et al., 2005). Teknologi
Revolusi hijau mengutamakan penanaman varietas unggul berdaya hasil tinggi yang
9
mutu berasnya disukai konsumen. Sehingga lahan sawah didominasi varietas unggul
kemudian menyusul Cibogo, IR-64, Membramo dan varietas yang lain. Varietas ini
banyak disukai petani karena jumlah anakan, panjang malai, jumlah bulir, bentuk bulir
dan sifat-sifat lainnya sesuai dengan selera petani (Pikukuh et al., 2008).
Varietas padi yang banyak ditanam dilahan lebak sumatera Selatan adalah
varietas Ciherang dan Mekongga dengan hasil rata-rata 6 ton per hektar , sedangkan
Ciliwung dengan hasil rata-rata 4.8 ton per ha (Bambang, S ,dkk. 2010)
10
Tingkat 1 provinsi Sumatera Selatan di Palembnag dan tanah diambil dari lokasi rawah
lebak (Desa Sako Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin) . Penelitian dimulai bulan
(a) Bahan untuk penanaman (bibit padi Varietas Ciliwung, Mekongga dan Ciherang
dari Balai Besar Tanaman Padi Palembnag, pot ukuran 20 galon untuk media tanah
mineral yang diambil di lokasi lahan rawah lebak. Pupuk Urea , SP-36 dan KCl air untuk
menggenangi menggunakan air rawah, wadah tempat persemaian, drum penampungan air
dan pengendalian hama (sengkuit, insectisida , plastik lembaran dan jaring nilon ukuran
C. Cara Kerja
a. Persiapan Tanah
Tanah diambil dari lokasi persawahan yaitu tanah asal sawah lebak di Desa
Sako Kecamatan Rambutan. Tanah dari suatu lokasi yang diambil adalah tanah mineral.
11
Tanah ditimbang sebanyak 100 kg kering angin masukkan dalam ember plastik ukuran
percobaan.
bak pesemaian. Setelah berumur 25 hari, bibit yang telah tumbuh ditransplantasikan
ke pot percobaan. Saat pemindahan tanaman ke pot dilakukan pemotongan bagian atas
tanaman. Sistem pengairannya tergenang secara kontinyu dengan ketinggian air 5 cm.
Pemupukan dilakukan menggunakan pupuk anorganik yaitu: 200 kg Urea ha -1, 150 kg
SP36 ha-1 dan 100 kg KCl ha -1 seluruhnya diberikan pada saat tanam sedangkan
Benih dipilah terlebih dahulu dengan larutan garam konsentrasi tidak ditentukan
hanya saja sebagai indikator konsentrasi garam adalah apabila dimasukkan telor bebek
kedalam larutan garam, telur bebek mengapung. Benih yang dipakai adalah benih yang
tenggelam dalam larutan tersebut. Benih disemai pada media semai (50 % kompos dan
direndam hingga tumbuh tunas di masing-masing bulir. Bibit yang ditanam pada bak
percobaan masing-masing satu bibit berumur 7 hari setelah semai yang ditanam pada
Proses pengaturan air dan penyiangan dalam metode S.R.I dilakukan sebagai berikut :
1). Ketika padi mencapai umur 8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air
2). Sesudah padi mencapai umur 10 HST air kembali digenangkan dengan
ketinggian 2 cm
3). Pada umur 18 HST dilakukan penyiangan dan air dibiarkan dalam
keadaan macak-macak
4). Pada umur 20 HST pot kembali digenangi untuk memudahkan penyiangan
tahap kedua.
5). Selanjutnya setelah padi berbunga, pot diairi kembali setinggi 2 cm dan
kondisi ini dipertahankan sampai padi masak susu 20 hari sebelum panen
6). Kemudian air kembali dibuat macak-macak sampai saat panen tiba. Pupuk
Sistem Budidaya pertanian yang terdiri dari perlakuan yaitu Budidaya padi S.R.I
(S) yang terdiri dari 3 perlakuan varietas padi terdiri dari Varietas Ciliwung
(V1), Varietas Mekongga (V2) dan Varietas Ciherang (V3). Yang terdiri dari 3
E Peubah Agronomi: Peubah agronomi tanaman yang diamati meliputi, komponen hasil
(jumlah anakan produktif rumpun-1, berat gabah rumpun-1, bobot 1000 butir), produksi
empat tanaman contoh dari setiap percobaan. Kemudian untuk produksi berdasarkan
hasil panen hasil masing sampel di pot di konversikan dalam ton per hektar.
13
F. Analisis Data
pengaruh perlakuan, dan dilanjutkan dengan uji BNT untuk mengetahui perbedaan antara
perlakuan.
Waktu pengamatan
Peubah (minggu setelah pindah tanam)
2 4 6 8 10 12 Panen
1. Tinggi tanaman X x x
2. Jumlah anakan produktif x
per rumpun
3 Bobot 1000 butir - - - x
4 Berat gabah per rumpun
5 Jumlah anakan produktif X
per rumpun
6 Produksi ton per ha X
14
terhadap tinggi tanaman 4, 18 dan 12 MST. Kemudian terhadap komponen produksi padi
(Bobot 1000 biji, Berat gabah rumpun -1, anakan produktif rumpun-1 dan hasil gabah hektar
perterjadi interaksi yang nyata antara budidaya padi dengan beberapa varietas .pada lahan
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata * berbeda nyata ** berbeda sangat nyata
B. Hasil
Komponen hasil (bobot 1000 biji , berat gabah rumpun -1, jumlah anakan produktif
rumpun-1, Hasil gabah hektar -1) menunjukkan bahwa budidaya padi dan Variertas sawah
produktif 22,38 %, berat gabah per rumpun 19,47 %, ,berat gabah per hektar 30,21 %,
bobot 1000 butir 6,98 % dan komponen hasil rata-rata untuk 3 varietas 22,38 % . Jumlah
anakan, berat gabah, jumlah gabah dan bobot 1000 biji pada 3 varietas padi tanah sawah
lebak pada uji BNT 5 %. Menunjukkan bahwa varietas Cihaerang berat gabah per hektar
, dan bobot 1000 biji berbeda nyata terhadap varietas Ciliwung dan Mekonnga. Kemudian
jumlah anakan produktif pe rumpun , berat gabah per rumpun, berat gabah per hektar dan
bobot 1000 butir berbeda tidak nyata dengan varietas Ciherang pada uji BNT 5 %.
Tabel 2. Pengaruh utama sistem budidaya pertanian dan 3 varietas padi sawah
lebak terhadap komponen hasil dan produksi padi Penelitian Rumah kaca
Sistem
Budidaya Padi
Konvensional 16,13 a 93,19 a 2321,39 a 20,13 a
S.R.I 20,78 b 133,08 b 3326,39 b 21,64 a
Kenaikan 22,38 % 29,97 % 30,21 % 6,98 % rata2
=22,21 %
BNT 0,05 2,449 7,778 17,38 2,812
Keterangan: angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 0,05 uji BNT
system penanaman dimana ketiga varietas padi Ciliwung, Mekongga dan Ciherang yang
ditanam metode SRI untuk jumlah anakan produktif pada Tabel 2 menunjukkan adanya
16
peningkatan sebesar 22,38 %, berat gabah per rumpun 29,97%, berat gabah per hektar
C. Pembahasan
Hal ini disebabkan karena SRI menggunakan bibit muda dan cocok untuk diterapkan
untuk semua varietas padi, pemindahan dari persemaian kelahan umur 7 hari setelah
tanaman sebanyak satu bibit. Sedangkan metode konversional bibit umur 25 hari setelah
tanam bibit satu rumpun sebanyak 5 bibit. Pada waktu pemindahan akar dicabut banyak
pertumbuhan awalnya agak lambat karena masih ingin memulihkan akarnya yang banyak
putus. Sedangkan system SRI pertumbuhannya cepat menghasilkan anakan yang lebih
banyak. Secara keseluruhan komponen hasil dari metode SRI lebih tinggi dibandingkan
dengan konvensional. Hasil penelitian Husny (2010) dan (Uphooff, 2007 dalam Anas
dan Uphooff 2009) menyatakan bahwa Budidaya SRI dapat meningkatkan hasil 32 %
konvensional adalah 27,44 % sedangkan pada penelitian dapat meningkat hasil produksi
sebesar 30,21 % sedang terhadap semua komponen hasil rata-rata dapat meningkat
hasil 22,21 %. Hal disebabkan karena pH tanah lebak yang digunakan mendekat
netral (6,5, - 6,9 dengan sifat fisik, dan tekstur yang lebih baik, sehingga pertumbuhan
anakan poduktif lebih tinggi di bandingkan dengan konvensional. Pada Tabel 1 hasil uji
lanjutan memperlihatkan bahwa semua komponen hasil pada budidaya S.R.I semuanya
17
gabah per rumpun. Komponen hasil jumlah anakan per rumpun merupakan komponen
yang sangat penting untuk menduga hasil dan produksi, yang dihasilkan dari kegiatan
budidaya padi sawah baik pada penelitian lingkup rumah kaca maupun skala penelitian
lapang. Pada Tabel 1 terlihat bahwa jumlah anakan pada budidaya S.R.I menghasilkan
jumlah anakan lebih banyak dibandingkan dengan sistem konvensional. Hal ini
disebabkan karena pada S.R.I menggunakan bibit muda umur 7 hari dan ditanam satu
bibit perlubang tanam dengan kedalaman dua sentimeter dengan posisi akar horizontal (L)
keadaan ini akan mempengaruhi tanaman dalam pembentukan akar. Pada waktu
pemindahan tanaman muda ke dalam pot tanaman bibit mudah dicabut dan akar tidak
banyak mengalami kerusakan dan bibit muda tidak mengalami cekaman sehingga hasil
asimilat dan energi banyak digunakan untuk pertumbuhan. Sehingga pada priode
berikutnya pembentukan akar lebih banyak dan meningkat terus sehingga pertumbuhan
dan jumlah anakan akan diperbanyak, akibatnya menghasilkan bobot lebih berat dan
semakin pesat hingga menjelang panen. Pada sistem konvensional bibit dipindahkan umur
25 hari dengan 5 bibit per lubang tanam dan kedalaman pembenaman 5 cm. Bibit yang
dipindahkan dalam keadaan sudah tua pada saat pemindahan ke pot di cabut, banyak akar
yang rusak dan terputus, menyebabkan bibit mengalami cekaman. Sehingga energi yang
memperbaiki akar yang rusak dan berakibat pertumbuhan pada priode berikutnya akan
lambat. Masdar et al. (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa anakan produktif
nyata dipengaruhi oleh umur bibit. Bibit umur 7 dan 14 hari menghasilkan anakan lebih
banyak dibandingkan umur 21 hari. Pada sistem budidaya S.R.I mempunyai berat kering
akar 66 % lebih berat dibandingkan dengan konvensional. Juga budidaya S.R.I jumlah
18
klorofil dalam daun bendera dan daun ke empat meningkat menjelang panen dan hasil
2007) antara tanaman maupun dalam cahaya matahari, karena penelitian di Rumah Kaca
hanya ditanam satu tanaman per pot yang berarti hanya ada satu rumpun tanaman per pot.
Keadaan ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan produksi
penelitian di lapangan.
19
A. Kesimpulan:
Dari hasil penelitian yang dilakukan di rumah kaca dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Varietas Ciherang lebih baik hasilnya dibandingkan dengan Ciliwung dan mekongga
anakan produktif per rumpun 22,38 persen, berat gabah per rumpun 29,97 persen,
berat gabah per hektar 30,21 persen dan bobot 1000 butir 6,98 persen
B. SARAN
Pada penelitian ini dapat disarankan perlu adanya penelitian lanjutan pada musim
berbeda dengan perlakuan yang sama. Pada penelitian lanjutan perlu dicobakan dengan
beberapa varietas lainnya untuk bebera jenis tanah sawah pasang surut dan beririgasi
apakah sawah pasang surut, sawah beririgasi. Perlu dicoba menerapkan S.R.I yang
menggunakan pupuk kompos dan mikroorganisme lokal pada lahan pasang surut dan