Anda di halaman 1dari 19

BAB 1.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luas lahan sawah di Indonesia sebesar 7.748.348 ha yang tersebar di Pulau

Sumatera, Jawa, NTT, NTB, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, dengan rincian sawah

beririgasi 2.209.200 ha, sawah lebak 615.201 ha dan pasang surut 333.324 ha (Departemen

Pertanian, 2004). Perkiraan panen di seluruh Indonesia sekitar 12,8 juta ha dengan

produksi padi 64,4 juta ton dan produktivitas 4,99 ton ha-1 (BPS, 2009).

Saat ini lahan persawahan di Sumatera Selatan seluas 752.150 ha, terdiri atas lahan

sawah beririgasi 399.521 ha atau sekitar 55 %, lahan sawah pasang surut dan lebak

113.655 ha atau 15 %, sedangkan sisanya 236.974 atau 30 % adalah lahan sawah yang

belum pernah ditanami (Republik Indonesia, 2010).

Budidaya padi sawah saat ini secara umum masih menggunakan sistem

konvensional. Budidaya padi konvensional umumnya menggunakan jarak tanam yang

rapat (25 cm x 25 cm). Jumlah bibit yang dibutuhkan tidak hanya ditentukan jarak tanam

tetapi juga ditentukan oleh jumlah bibit per lubang tanam. Pada waktu pemindahan bibit

ke lahan, bibit dicabut dan bagian atas dipotong, dengan menanam 6-8 bibit per lubang

sehingga membutuhkan benih dalam jumlah banyak (30-40 kg per hektar). Penggunaan

bibit yang tua (umur 20-30 hari) pada saat pemindahan dan sudah mempunyai banyak akar

akan mengakibatkan bibit mengalami stress (cekaman) dan kerusakan akar (Anas et al.,

2010; Mutakin, 2010; Uphoff et al., 2008). Jarak tanam yang rapat akan menyebabkan

jumlah anakan produktif rendah (20-50 anakan per rumpun) yang akan menyebabkan

produksi juga rendah (Simarmata, 2008)


2

Upaya untuk meningkatkan produksi padi saat ini dapat dicapai dengan

menerapkan budidaya padi System of Rice Intensification (S.R.I) yang mempunyai 5

prinsip dasar, yaitu : (1) bibit muda, berusia kurang dari 12 hari setelah semai, (2) ditanam

satu bibit per lubang, (3) penanaman harus segera mungkin, 15-30 menit setelah diambil

dari pesemaian dan harus hati-hati agar akar tidak putus, ditanam dangkal dengan akar

horizontal berbentuk huruf L, (4) pemberian air macak-macak, (5) sedapat mungkin

menggunakan pupuk organik (pupuk kompos dan pupuk kandang) (Mutakin, 2010;Sato

dan Uphoff, 2008). Budidaya padi S.R.I ini telah dikembangkan di 44 negara termasuk

Indonesia. Budidaya S.R.I mempunyai keunggulan antara lain: (1) semua varietas benih

dapat digunakan, (2) dapat meningkatkan produksi padi (3) pengurangan dalam

pemakaian benih sampai 80–90% dan kebutuhan air berkurang sampai 25-50 %, (4) biaya

produksi turun 10-25 %, (5) pendapatan petani meningkat (Uphoff dan Fernandez, 2003).

Produktivitas padi S.R.I telah diuji coba di beberapa Negara yaitu Bangladesh,

Cuba, Madagaskar, Pilipina, Kamboja, India, Myanmar, Siera Leone, Cina, Indonesia,

Nepal, Sri lanka dengan produktivitas 4,8-12,4 ton ha -1 dibandingkan dengan non S.R.I

yang hanya 2,0-10,9 ton ha-1 (Air, 2007). Kemudian S.R.I evaluasinya dilakukan di 8

negara oleh Universitas, pusat penelitian pertanian Internasional, LSM, lembaga

pemerintah, sektor swasta dan lembaga donor menunjukkan bahwa metode S.R.I

memberikan hasil yang sama. Budidaya S.R.I meningkatkan hasil padi sebesar 52 %

dibandingkan dengan budidaya konvensional (Uphoff, 2007 dalam Anas dan Uphoff,

2009).

Di Indonesia gagasan S.R.I telah juga diuji coba dan diterapkan di beberapa

kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, serta

Papua yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

(Anugrah et al., 2008). Budidaya dengan teknologi S.R.I di beberapa tempat di Indonesia
3

telah terbukti dapat meningkatkan hasil padi lebih dari 50 %. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian adalah institusi pertama di Indonesia yang melakukan penelitian

budidaya S.R.I, mencapai hasil 6,3 – 6,8 ton ha -1 pada lokasi persawahan di Sukamandi di

musim kemarau dan 9,5 ton ha-1 di musin hujan tahun 1999–2000. Petani yang

menggunakan budidaya S.R.I pada musim hujan di tahun yang sama memperoleh hasil 7,3

- 8,5 ton ha-1 setara dengan dua kali rata-rata produksi Nasional (Uphoff et al., 2002).

Budidaya padi yang dikenal para petani saat ini masih secara konvensional oleh karena itu

budidaya S.R.I perlu sosialisasi, bimbingan dan petunjuk secara terpadu agar bisa

diterapkan petani.

Aplikasi metode S.R.I pada saat ini untuk lahan lebak masih sedikit. Di Sumatera

Selatan, penelitian diuji coba oleh perusahaan swasta dengan metode demplot di daerah

pasang surut (Teluk Betung, Pulau Rimau) dan lahan beririgasi (Embawang Muara Enim)

dan penelitian ini masih menekankan aspek aplikasi sistem untuk produksi hasilnya bisa

m,encapai 7 ton per hektar. Penelitian Husny (2010) budidaya SRI pada lahan Lebak dapat

mencapai produksi rata-rata 5,34 ton per hektar dengan jarak tanam 25 x 25 cm dengan

menggunakan varietas ciherang. Untuk melihat berapa besar pengaruhnya terhadap

beberapa varietas lain pada sawah lebak terhadap produksi maka diadakan penelitian ini.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1)

Apakah budidaya padi S.R.I pada sawah lebak produksinya dipengaruhi oleh varietas 2)

Bagaimana hasil dan produksi padi pada sawah lebak metode SRI apakah lebih unggul

dibandingkan dengan metode konvensional..


4

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

Mengethui dan mengukur pengaruh berbagai va rietas padi pada budidaya padi S.R.I dan

konvensioinal pada sawah lebak.

2. Mengkaji dan membandingkan hasil dan produksi padi pada sawah lebak dengan

berbagai varietas i dengan budidaya S.R.I dan konvensional.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :

1. Diduga budidaya S.R.I pada sawah lebak untuk semua varietas produksinya paling
tinggi dibandingkan dengan konvensional
2. Varietas ciherang lebih dibandingkan dengan varietas lainnya.
5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik tanah yang disawahkan

Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus

menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah,

bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah yang menggambarkan jenis

penggunaan tanah seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian, dan

sebagainya (Harjowigeno dan Rayes, 2001). Tanah sawah mempunyai ciri tersendiri bila

dibandingkan dengan pengelolaan tanah untuk budidaya tanaman lain. Hal yang membuat

tanah sawah berbeda pengelolaannya adalah karena tanah tersebut mengalami

penggenangan dan pelumpuran. Proses pelumpuran dapat didefinisikan sebagai

penghancuran agregat tanah menjadi lumpur yang sama rata, yang dilakukan dengan

menggunakan kekuatan mekanis terhadap tanah pada kadar kelengasan tinggi (Sanchez,

1993).

Menurut Situmorang dan Sudadi (2001), cara pengelolaan tanah sawah yang khas

yaitu adanya kondisi tergenang pada sebagian besar periode pertanaman mengakibatkan

terjadinya proses genesis dan terbentuknya morfologi, sifat fisik, kimia, biologi, dan

mikrobiologi yang berbeda dengan tanah-tanah lain yang digunakan untuk tanaman lahan

kering. Profil tanah yang tergenang tidak seluruhnya tereduksi, zona oksidasi dijumpai

pada lapisan tipis di permukaan dan pada rhizosfer. Oksidasi pada rhizosfer disebabkan

karena kemampuan tanaman padi mensuplai oksigen oleh aerenkima ke daerah perakaran

(Yoshida, 1981).

Pengaruh penggenangan dan pengelolaan tanah sawah dalam keadaan tergenang

dapat menyebabkan perubahan sifat tanah (morfologi, fisik, kimia, dan biologi) sehingga

berbeda dengan sifat tanah asalnya (Sanchez, 1993). Perubahan sifat kimia dan

elektrokimia yang penting pada tanah sawah adalah (1) kehilangan oksigen, (2) reduksi
6

atau penurunan potensial redoks (Eh), (3) peningkatan pH tanah masam dan penurunan pH

tanah alkalin, (4) peningkatan daya hantar listrik (DHL), (5) reduksi dari Fe (III) ke Fe (II)

dan Mn (IV) ke Mn (II), (6) reduksi dari NO3- dan NO2- ke N2 dan N2O, (7) reduksi SO4=

ke S= , (8) peningkatan sumber dan ketersediaan N, (9) peningkatan ketersediaan P, Si, dan

Mo, (10) pengaruh konsentrasi Zn dan Cu larut dalam air, (11) pembentukan CO 2, CH4,

dan hasil-hasil dekomposisi bahan organik dan H2S (De Datta, 1981).

Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara

2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai

curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang

mempunyai curah hujan bulanan < 200 mm). Bahan induk tanah rawa lebak umumnya

berupa endapan aluvial sungai, endapan marin, atau gambut. Berdasarkan ketinggian

tempat rawa lebak dibagi menjadi : (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak

dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggi banyak ditemukan di Sumatera dan Jawa,

sedangkan rawa lebak dataran rendah sebagian besar tersebar di Kalimantan. Berdasarkan

ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dibagi menjadi: (1) Lebak dangkal,

(2) Lebak tengahan, (3) Lebak dalam (Noor, 2004).

Metode konvensional membutuhkan benih yang lebih banyak. Pada saat

pemindahan bibit ke lapangan dengan dicabut sehingga banyak tanaman yang stress.

Anakan yang dihasilkan jumlahnya rendah sehingga mengakibatkan hasil produksi per

hektarnya rendah.

Akhir-akhir ini pemerintah mulai menggalakkan penanaman padi dengan metode

S.R.I Menurut Sutaryat (2008) S.R.I diartikan salah satu upaya budi daya padi seksama

dengan pengelolaan perakaran, yang berbeda pada pengelolaan tanah, tanaman dan air

dengan mengutamakan berjalannya aliran energi dan siklus nutrisi untuk memperkuat

suatu kesatuan agroekosistem. Budidaya metode S.R.I merupakan sistem produksi


7

pertanian yang secara menyeluruh dan terpadu dengan mengoptimalkan kesehatan dan

produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat

yang cukup berkualitas dan berkelanjutan. Penggunaan pupuk kimia untuk tanaman padi

selain harganya mahal juga berdampak buruk bagi kesuburan lahan yang diolah.

Penggunaan pupuk, pestisida (kimia) terbukti sangat tergantung dari bahan gas, dengan

S.R.I beda pola ini hanya menggunakan kompos organik, sehingga gas dapat dihemat.

Metode ini telah menjadi solusi dari bercocok tanam yang hemat air dengan produktivitas

yang melimpah ruah namun ramah dengan lingkungan. Lebih dari 6,5 miliar penduduk

bumi saat ini membutuhkan pangan seperti padi, bila pertanian berkembang berarti petani

ikut berkontribusi sebagai pahlawan penyelamat umat. Kemudian akibat pemanasan

global sejalan dengan tuanya usia bumi maka banyak terjadi bencana alam seperti antara

lain kebakaran hutan, iklim tidak menentu. Pola S.R.I ini dapat mencegah kerusakan

lingkungan dan mengurangi terjadinya bencana alam.

Untuk mencapai target ini ketersediaan air di waduk-waduk utama di Indonesia

saat ini dalam kondisi waspada dan kering.

Uji coba budidaya S.R.I oleh petani di beberapa daerah misalnya di Ciamis, Garut,

Tasik memberikan hasil berturut-turut mulai dari 9,4 ton ha -1, 11,2 ton ha-1 dan bahkan

terakhir ada yang mencapai 12,5 ton ha-1, tentunya pada luasan yang masih sangat terbatas

(Sutaryat, 2008 ). Kelebihan pada budidaya S.R.I adalah hemat benih, biaya tanam lebih

rendah, intensitas panen dan padi yang dihasilkan lebih banyak. Kelebihan lain dari

penggunaan budidaya padi S.R.I adalah hemat air. Menurut Hasan (2007) penanaman padi

dengan budidaya S.R.I tak perlu menggenangi sawah dengan air. Pemberian airnya

dilakukan secara berkala dengan tinggi air maksimal 0,5 cm dan pada periode tertentu

tanah dibiarkan kering hingga pecah–pecah dan dapat menghemat pemakaian air hingga

50 persen.
8

Program intensifikasi dan ekstensifikasi merupakan upaya yang paling baik dengan

perbandingan 70 % dan 30 % dan cara ini luas lahan yang diperlukan adalah 448.718 ha

tahun-1 dan perluasan ini adalah mencapai 230.769 ha untuk padi ladang atau 115.385 ha

untuk padi sawah ( Muchtadi, 2009).

Menanam padi dengan budidaya S.R.I dapat meningkatkan produktivitas secara

nyata. Metode ini terbukti telah berhasil meningkatkan produktivitas padi sebesar 50

%, bahkan di beberapa tempat dapat mencapai 100 %. Uji coba pola S.R.I pertama di

Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di

Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau tahun 1999 dengan hasil 6,2 ton ha -1 dan

musim hujan dengan nilai rata-rata 8,2 ton ha-1. Metode ini telah menjadi solusi dari

bercocok tanam yang hemat air dengan padi yang banyak disukai petani adalah IR-64

dibandingkan produktivitas yang melimpah ruah namun ramah dengan lingkungan.

Budidaya S.R.I ini ternyata dapat mencegah kerusakan lingkungan.

Berdasarkan penelitian Suryana (2008) ada beberapa varietas yang menghasilkan

CH4 rendah dan tahan terhadap hama dan penyakit utama (wereng coklat biotipe 2 dan 3).

Varietas tersebut antara lain Ciherang, Cisantana, Tukad Balian dan, Way Apo Buru.

B. Budidaya dan hasil padi dengan metode Konvensional dan S.R.I

Varietas padi yang banyak disukai oleh petani adalah IR-64 dibandingkan dengan

varietas lain dengan alasan hasil lebih tinggi 82,5 %, umur genja 65,8 % disukai oleh

pedagang 52,2 %, harganya stabil dan tinggi 55 %, tahan terhadap hama dan penyakit

43,3%, mutu gabahnya baik 41,7 % dan rasa nasinya enak 18,3 %. Kemudian varietas IR-

64 ditanam petani 29,4 % dan Ciherang 1,8 %. (Ruskandar et al., 2005). Teknologi

Revolusi hijau mengutamakan penanaman varietas unggul berdaya hasil tinggi yang
9

mutu berasnya disukai konsumen. Sehingga lahan sawah didominasi varietas unggul

nasional populer, seperti IR-64, Ciherang dan IR-42 (Sumarno, 2007).

Varietas Ciherang mendominasi areal pertanaman padi sawah di Jawa Timur,

kemudian menyusul Cibogo, IR-64, Membramo dan varietas yang lain. Varietas ini

banyak disukai petani karena jumlah anakan, panjang malai, jumlah bulir, bentuk bulir

dan sifat-sifat lainnya sesuai dengan selera petani (Pikukuh et al., 2008).

Varietas padi yang banyak ditanam dilahan lebak sumatera Selatan adalah

varietas Ciherang dan Mekongga dengan hasil rata-rata 6 ton per hektar , sedangkan

Ciliwung dengan hasil rata-rata 4.8 ton per ha (Bambang, S ,dkk. 2010)
10

BAB III. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Sertifikiasi

Tingkat 1 provinsi Sumatera Selatan di Palembnag dan tanah diambil dari lokasi rawah

lebak (Desa Sako Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin) . Penelitian dimulai bulan

April sampai Oktober 2017.

B. Bahan dan alat

1. Percobaan Rumah Kaca

Bahan-bahan yang digunakan adalah :

(a) Bahan untuk penanaman (bibit padi Varietas Ciliwung, Mekongga dan Ciherang

dari Balai Besar Tanaman Padi Palembnag, pot ukuran 20 galon untuk media tanah

mineral yang diambil di lokasi lahan rawah lebak. Pupuk Urea , SP-36 dan KCl air untuk

menggenangi menggunakan air rawah, wadah tempat persemaian, drum penampungan air

dan pengendalian hama (sengkuit, insectisida , plastik lembaran dan jaring nilon ukuran

lebar satu meter).

Alat yang digunakan terdiri dari :

(a) Alat untuk penanaman (sengkuit kecil, wadah persemaian),

(b) Pot dari ember plastic 20 galon

C. Cara Kerja

1. Percobaan rumah kaca

a. Persiapan Tanah

Tanah diambil dari lokasi persawahan yaitu tanah asal sawah lebak di Desa

Sako Kecamatan Rambutan. Tanah dari suatu lokasi yang diambil adalah tanah mineral.
11

Tanah ditimbang sebanyak 100 kg kering angin masukkan dalam ember plastik ukuran

20 galon. Untuk percobaan rumah kaca ini dipersiapkan sebanyak 18 satuan

percobaan.

b. Penanaman konvensional di Pot

Penanaman ini dilakukan dengan penyemaian benih terlebih dahulu langsung di

bak pesemaian. Setelah berumur 25 hari, bibit yang telah tumbuh ditransplantasikan

ke pot percobaan. Saat pemindahan tanaman ke pot dilakukan pemotongan bagian atas

tanaman. Sistem pengairannya tergenang secara kontinyu dengan ketinggian air 5 cm.

Pemupukan dilakukan menggunakan pupuk anorganik yaitu: 200 kg Urea ha -1, 150 kg

SP36 ha-1 dan 100 kg KCl ha -1 seluruhnya diberikan pada saat tanam sedangkan

Urea dan KCl diaplikasikan saat tanam dan 5 MST.

c. Penanaman Metode S.R.I anorganik di Pot

Benih dipilah terlebih dahulu dengan larutan garam konsentrasi tidak ditentukan

hanya saja sebagai indikator konsentrasi garam adalah apabila dimasukkan telor bebek

kedalam larutan garam, telur bebek mengapung. Benih yang dipakai adalah benih yang

tenggelam dalam larutan tersebut. Benih disemai pada media semai (50 % kompos dan

50 % tanah) secara volumetri 1 : 1. Sebelum ditebar di nampan benih terlebih dahulu

direndam hingga tumbuh tunas di masing-masing bulir. Bibit yang ditanam pada bak

percobaan masing-masing satu bibit berumur 7 hari setelah semai yang ditanam pada

kedalaman 2 cm dengan posisi akar horizontal (L)

Proses pengaturan air dan penyiangan dalam metode S.R.I dilakukan sebagai berikut :

1). Ketika padi mencapai umur 8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air

dalam pot adalah macak-macak


12

2). Sesudah padi mencapai umur 10 HST air kembali digenangkan dengan

ketinggian 2 cm

3). Pada umur 18 HST dilakukan penyiangan dan air dibiarkan dalam

keadaan macak-macak

4). Pada umur 20 HST pot kembali digenangi untuk memudahkan penyiangan

tahap kedua.

5). Selanjutnya setelah padi berbunga, pot diairi kembali setinggi 2 cm dan

kondisi ini dipertahankan sampai padi masak susu 20 hari sebelum panen

6). Kemudian air kembali dibuat macak-macak sampai saat panen tiba. Pupuk

untuk masing-masing pot perlakuan sama dengan metode konvensional.

D. Metode Percobaan Rumah Kaca

Percobaan Rumah Kaca disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) .

Sistem Budidaya pertanian yang terdiri dari perlakuan yaitu Budidaya padi S.R.I

(S) yang terdiri dari 3 perlakuan varietas padi terdiri dari Varietas Ciliwung

(V1), Varietas Mekongga (V2) dan Varietas Ciherang (V3). Yang terdiri dari 3

ulangan yang terdiri atas 18 unit percobaan

E Peubah Agronomi: Peubah agronomi tanaman yang diamati meliputi, komponen hasil

(jumlah anakan produktif rumpun-1, berat gabah rumpun-1, bobot 1000 butir), produksi

ton ha-1. Masing-masing pot 4 sampel pengamatan.

Pengamatan komponen hasil yang dilakukan yakni berdasarkan rata-rata dari

empat tanaman contoh dari setiap percobaan. Kemudian untuk produksi berdasarkan

hasil panen hasil masing sampel di pot di konversikan dalam ton per hektar.
13

F. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis ragam untuk mengetahui

pengaruh perlakuan, dan dilanjutkan dengan uji BNT untuk mengetahui perbedaan antara

perlakuan.

Tabel 1. Pengamatan dan Agihan Waktu Pengamatan

Waktu pengamatan
Peubah (minggu setelah pindah tanam)
2 4 6 8 10 12 Panen
1. Tinggi tanaman X x x
2. Jumlah anakan produktif x
per rumpun
3 Bobot 1000 butir - - - x
4 Berat gabah per rumpun
5 Jumlah anakan produktif X
per rumpun
6 Produksi ton per ha X
14

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Rumah Kaca

Budidaya tanaman padi maupun varietas interaksinya berpengaruh tidak nyata

terhadap tinggi tanaman 4, 18 dan 12 MST. Kemudian terhadap komponen produksi padi

(Bobot 1000 biji, Berat gabah rumpun -1, anakan produktif rumpun-1 dan hasil gabah hektar

perterjadi interaksi yang nyata antara budidaya padi dengan beberapa varietas .pada lahan

lebak (Tabel 1).

Tabel 1. Rekapitulasi hasil sidik Ragam data Percobaan Rumah Kaca

No Peubah System Varietas SxV KK(%)


Tanam Padi (V)
(S)

1 Tinggi Tanaman 4 MST * tn tn 7,48


2 Tinggi Tanaman 8 MST * tn tn 5,10
3 Tinggi Tanaman 12 MST * tn tn 4,26
4 Bobot 1000 biji * * * 5,20
5 Berat gabah rumpun-1 * * * 7,58
6 Anakan produktif rumpun-1 * * T* 5,13
7 Hasil gabah ha-1 ** * * 7,57

Keterangan: tn= tidak berbeda nyata * berbeda nyata ** berbeda sangat nyata

B. Hasil

1. Komponen hasil dan produksi

Komponen hasil (bobot 1000 biji , berat gabah rumpun -1, jumlah anakan produktif

rumpun-1, Hasil gabah hektar -1) menunjukkan bahwa budidaya padi dan Variertas sawah

masing-masing interaksinya berpengaruh nyata terhadap semua komponen hasil..


15

Pada Tabel 2 Budidaya padi S.R.I dapat meningkatkan jumlah anakan

produktif 22,38 %, berat gabah per rumpun 19,47 %, ,berat gabah per hektar 30,21 %,

bobot 1000 butir 6,98 % dan komponen hasil rata-rata untuk 3 varietas 22,38 % . Jumlah

anakan, berat gabah, jumlah gabah dan bobot 1000 biji pada 3 varietas padi tanah sawah

lebak pada uji BNT 5 %. Menunjukkan bahwa varietas Cihaerang berat gabah per hektar

, dan bobot 1000 biji berbeda nyata terhadap varietas Ciliwung dan Mekonnga. Kemudian

jumlah anakan produktif pe rumpun , berat gabah per rumpun, berat gabah per hektar dan

bobot 1000 butir berbeda tidak nyata dengan varietas Ciherang pada uji BNT 5 %.

Tabel 2. Pengaruh utama sistem budidaya pertanian dan 3 varietas padi sawah
lebak terhadap komponen hasil dan produksi padi Penelitian Rumah kaca

Anakan Berat gabah Berat gabah Bobot 1000


Perlakuan produktif per rumpun per Biji (g)
per rumpun (g/rpn) hektar(kg)
(btg/rpn)
Varietas
padi Sawah:
Ciliwung 17,83 a 104,88 a 2621,92 a 20,17 a
Mekongga 18,17 a 107,33 a 2683,33 b 20,55 a
Ciherang 19,37 b 127,19 b 3166,43 c 21,95 a
BNT 0,05 2,449 22,176 25,87 2,812

Sistem
Budidaya Padi
Konvensional 16,13 a 93,19 a 2321,39 a 20,13 a
S.R.I 20,78 b 133,08 b 3326,39 b 21,64 a
Kenaikan 22,38 % 29,97 % 30,21 % 6,98 % rata2
=22,21 %
BNT 0,05 2,449 7,778 17,38 2,812
Keterangan: angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 0,05 uji BNT

2. .System Budidaya Konvensional dan SRI

Produksi padi memperlihatkan adanya peningkatan hasil panen dari kedua

system penanaman dimana ketiga varietas padi Ciliwung, Mekongga dan Ciherang yang

ditanam metode SRI untuk jumlah anakan produktif pada Tabel 2 menunjukkan adanya
16

peningkatan sebesar 22,38 %, berat gabah per rumpun 29,97%, berat gabah per hektar

30,21% dan bobot 1000 biji 6,98%.

C. Pembahasan

Metode SRI menghasilkan produksi lebih tingg dibandingkan dengan konvensioali

Hal ini disebabkan karena SRI menggunakan bibit muda dan cocok untuk diterapkan

untuk semua varietas padi, pemindahan dari persemaian kelahan umur 7 hari setelah

tanaman sebanyak satu bibit. Sedangkan metode konversional bibit umur 25 hari setelah

tanam bibit satu rumpun sebanyak 5 bibit. Pada waktu pemindahan akar dicabut banyak

yang putus. Tanaman menjadi stress, Akibatnya tanaman metode konvensional

pertumbuhan awalnya agak lambat karena masih ingin memulihkan akarnya yang banyak

putus. Sedangkan system SRI pertumbuhannya cepat menghasilkan anakan yang lebih

banyak. Secara keseluruhan komponen hasil dari metode SRI lebih tinggi dibandingkan

dengan konvensional. Hasil penelitian Husny (2010) dan (Uphooff, 2007 dalam Anas

dan Uphooff 2009) menyatakan bahwa Budidaya SRI dapat meningkatkan hasil 32 %

dan 52% dibandingkan dengan system konvensional. Ardi (2009), menyatakan

peningkatan hasil produksi pada budidaya S.R.I dibandingkan dengan budidaya

konvensional adalah 27,44 % sedangkan pada penelitian dapat meningkat hasil produksi

sebesar 30,21 % sedang terhadap semua komponen hasil rata-rata dapat meningkat

hasil 22,21 %. Hal disebabkan karena pH tanah lebak yang digunakan mendekat

netral (6,5, - 6,9 dengan sifat fisik, dan tekstur yang lebih baik, sehingga pertumbuhan

tanaman lebih baik.

Kusumawardhany (2009) menyatakan bahwa S.R.I menghasilkan perentase

anakan poduktif lebih tinggi di bandingkan dengan konvensional. Pada Tabel 1 hasil uji

lanjutan memperlihatkan bahwa semua komponen hasil pada budidaya S.R.I semuanya
17

mengalami peningkatan dibandingkan dengan konvensional. Begitu juga mengenai hasil

gabah per rumpun. Komponen hasil jumlah anakan per rumpun merupakan komponen

yang sangat penting untuk menduga hasil dan produksi, yang dihasilkan dari kegiatan

budidaya padi sawah baik pada penelitian lingkup rumah kaca maupun skala penelitian

lapang. Pada Tabel 1 terlihat bahwa jumlah anakan pada budidaya S.R.I menghasilkan

jumlah anakan lebih banyak dibandingkan dengan sistem konvensional. Hal ini

disebabkan karena pada S.R.I menggunakan bibit muda umur 7 hari dan ditanam satu

bibit perlubang tanam dengan kedalaman dua sentimeter dengan posisi akar horizontal (L)

keadaan ini akan mempengaruhi tanaman dalam pembentukan akar. Pada waktu

pemindahan tanaman muda ke dalam pot tanaman bibit mudah dicabut dan akar tidak

banyak mengalami kerusakan dan bibit muda tidak mengalami cekaman sehingga hasil

asimilat dan energi banyak digunakan untuk pertumbuhan. Sehingga pada priode

berikutnya pembentukan akar lebih banyak dan meningkat terus sehingga pertumbuhan

dan jumlah anakan akan diperbanyak, akibatnya menghasilkan bobot lebih berat dan

apabila dibandingkan dengan secara konvensional pertumbuhan dan jumlah anakan

semakin pesat hingga menjelang panen. Pada sistem konvensional bibit dipindahkan umur

25 hari dengan 5 bibit per lubang tanam dan kedalaman pembenaman 5 cm. Bibit yang

dipindahkan dalam keadaan sudah tua pada saat pemindahan ke pot di cabut, banyak akar

yang rusak dan terputus, menyebabkan bibit mengalami cekaman. Sehingga energi yang

tadinya digunakan untuk pertumbuhan digunakan untuk memulihkan akar dan

memperbaiki akar yang rusak dan berakibat pertumbuhan pada priode berikutnya akan

lambat. Masdar et al. (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa anakan produktif

nyata dipengaruhi oleh umur bibit. Bibit umur 7 dan 14 hari menghasilkan anakan lebih

banyak dibandingkan umur 21 hari. Pada sistem budidaya S.R.I mempunyai berat kering

akar 66 % lebih berat dibandingkan dengan konvensional. Juga budidaya S.R.I jumlah
18

klorofil dalam daun bendera dan daun ke empat meningkat menjelang panen dan hasil

gabah lebih tinggi 49 % dibandingkan dengan budidaya konvensional (Thakur et al.,

2007) antara tanaman maupun dalam cahaya matahari, karena penelitian di Rumah Kaca

hanya ditanam satu tanaman per pot yang berarti hanya ada satu rumpun tanaman per pot.

Keadaan ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan produksi

penelitian di lapangan.
19

V. KESIMPULAN DAN SARAN .

A. Kesimpulan:

Dari hasil penelitian yang dilakukan di rumah kaca dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Varietas Ciherang lebih baik hasilnya dibandingkan dengan Ciliwung dan mekongga

ditanam di sawah lebak

2. Budidaya S.R.I pada Rumah Kaca dapat meningkatkan hasil produksi di

bandinghkan dengan konvensaional sebesar (7-30%) dengan perincian junmlah

anakan produktif per rumpun 22,38 persen, berat gabah per rumpun 29,97 persen,

berat gabah per hektar 30,21 persen dan bobot 1000 butir 6,98 persen

B. SARAN

Pada penelitian ini dapat disarankan perlu adanya penelitian lanjutan pada musim

berbeda dengan perlakuan yang sama. Pada penelitian lanjutan perlu dicobakan dengan

beberapa varietas lainnya untuk bebera jenis tanah sawah pasang surut dan beririgasi

apakah sawah pasang surut, sawah beririgasi. Perlu dicoba menerapkan S.R.I yang

menggunakan pupuk kompos dan mikroorganisme lokal pada lahan pasang surut dan

beririgasi dalam pengelolaannya perlu memperhatikan pengedalian sumber air agar

tanaman tidak mengalami kelebihan dan kekurangan

Anda mungkin juga menyukai