Anda di halaman 1dari 122

PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropa Curcas) PADA BERBAGAI

ORDER TANAH DI PULAU LOMBOK


Novrizal1 dan Suwardji2
Mahasiswa dan Staf Pengajar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Mataram, Jalan Majapahit No. 62 Mataram 83125; Telp. 0370-628143
1

ABSTRAK
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) sampai saat ini masih belum dibudidayakan secara khusus oleh
masyaraka di Pulau Lombokt. Masyarakat umumnya menjadikan tanaman jarak pagar hanya sebagai pagar pembatas
lahan. Potensi pengembangan tanaman jarak pagar sangat besar bila dibudidayakan di lahan yang ideal untuk
pertumbuhannya. Disamping menghasilkan minyak yang dapat diolah menjadi bahan bakar, seluruh bagian tanamannya
juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan obat-obatan. Pada saat ini belum ada kajian untuk menilai kesesuaian
tanaman Jarak Pagar pada berbagai ordo tanah yang ada di Pulau Lombok. Informasi semacam ini sangat penting untuk
mengetahui kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok untuk prospek pengembangan
tanaman ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperiment yang dilakukan di rumah kaca.
Ordo tanah yang digunakan yaitu ordo tanah Vertisol diambildari daerah Batujai, ordo tanah Entisol diambil ari daerah
Mataram, ordo tanah Alfisol diambil dari daerah Masbagik, dan ordo tanah Inceptisol diambil dari daerah Kuripan.
Parameter tanah yang diukur meliputi sifat fisik dan kima tana, sedangkan parameter tanaman yang diukur meliputi
wakktu kecambah, tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun. Hasil penelitian menunjukkan ordo
tanah vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 29.36 persen, tekstur tanahnya liat berpasir, memiliki pH
netral (6,69), nilai C-Organik rendah (1,38%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,004%),pada ordo tanah Inceptisol
memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34.09 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak
masam (6,26), nilai C-Organik rendah (1,13%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,009%), pada ordo tanah Entisol
memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.18 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak
masam (6,12), nilai C-Organik rendah (1,33%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0051%), pada ordo tanah Alfisol
memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.89 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak
masam (6,25), nilai C-Organik rendah (1,4%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0059%). Dari hasil pengukuran
tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang ordo tanah Alfisol menunjukan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik
dan diikuti oleh ordo tanah Entisol, ordo tanah Inceptisol dan ordo Vertisol. Dalam hal ini ordo tanah Alfisol dan Entisol
merupakan ordo tanah yang paling sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar di Pulau Lombok.
Kata kunci : Jarakpagar (Jatropha curcas), ordo tanah di Pulau Lombok, pengembangan tanaman jarak pagar

PENDAHULUAN
Terjadinya krisis energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti oleh meningkatnya
harga BBM dunia telah berdampak langsung pada rakyat Indonesia. Meningkatnya harga BBM yang
ditetapkan oleh pemerintah pada bulan Oktober tahun 2005 merupakan kenaikan harga BBM yang paling
tinggi yaitu sebesar 108% (Pambudy, 2006). Harga BBM yang sangat tinggi menyebabkan inflasi dan
membuat rakyat Indonesia akan semakin menderita. Terkait hal tersebut sudah saatnya sektor pertanian di
Indonesia berfokus pada pengembangan tanaman yang dapat diproses menjadi bahan bakar alternatif
pengganti BBM yang berasal dari minyak bumi.
Salah satu tanaman yang memiliki potensi besar sebagai sumber bahan bakar alternatif adalah
tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Tanaman ini memiliki potensi yang sangat menjanjikan, disamping
kandungan minyaknya yang mencapai 30 50%, hampir seluruh bagian tanamannya juga dapat
dimanfaatkan, diantaranya sebagai insektisida, pupuk, sampai kemungkinan memiliki bahan anti kanker
(Pambudy, 2006). Tanaman Jarak Pagar mulai berbunga setelah berumur 3 4 bulan dan pembentukan buah
mulai pada umur 4 5 bulan. Secara agronomis, tanaman ini dapat beradaptasi pada lahan maupun
agroklimat di Indonesia, bahkan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering dengan tingkat curah hujan
antara 300 1300 mm pertahun maupun pada lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah (Irfan, 2005).
Salah satu daerah yang mempunyai lahan kritis yang sangat luas di Indonesia adalah daerah Nusa
Tenggara Barat, dengan luas total lahan kritisnya mencapai 524.000 hektar yang tersebar di Pulau Lombok
dan Pulau Sumbawa. Khusus di Pulau Lombok lahan kritis tersebar di Lombok Barat (92.925,409 ha)
Lombok Tengah (92.225,794 ha), dan Lombok Timur (87.958,754 ha) (Suwardji dan Priyono, 2003).
Berdasarkan data dari peta tanah tinjau NTB (BAPPEDA, 1988) Pulau Lombok juga memiliki
empat ordo tanah yang paling dominan yaitu Entisol, Vertisol, Inceptisol, dan Alfisol. Untuk
mengembangkan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran perlu dinilai tingkat kecocokkan tanah yang ada.

23

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan tanaman Jarak Pagar pada berbagai order
tanah di Pulau Lombok yang sampai saat ini belum pernah dilakukan.
Setiap ordo tanah memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda, Pulau Lombok memiliki
empat ordo tanah yang paling dominan yaitu: Ordo Entisol, Ordo Vertisol, Ordo Alfisol, dan Ordo Inceptisol.
Tingkat kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok belum pernah diketahui.
Hal ini penting untuk program pengembangan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran di Pulau Lombok.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai tingkat kecocokan ordo tanah yang ada di Pulau
Lombok untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Manfaat dari program penelitian ini
adalah (1), Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara menanam tanaman
Jarak Pagar (Jatropha curcas) yang baik, (2) Dapat berguna bagi masyarakat dan instansi yang terkait dalam
mengembangkan dan membudidayakan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) pada berbagai ordo tanah
yang ada di Pulau Lombok.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai bulan Juni 2007 di Laboratorium Fisika dan
Konservasi Tanah, laboratorium Kimia dan Biologi Tanah, dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas
Mataram. Metode yang digunakan pada program penelitian ini adalah metode eksperiment yang meliputi
pengambilan contoh tanah dan percobaan penanaman tanaman jarak pagar di rumah kaca. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah rancanagan acak lengkap (RAL), dengan empat perlakuan yaitu: 1) Ordo
Inceptisol, 2) Ordo Entisol, 3) Ordo Vertisol, dan 4) Ordo Alfisol. Masing-masing perlakuan diulang
sebanyak lima kali, semua pot percobaan akan diletakkan secara acak dan mendapatkan kondisi yang
seragam.
Pengambilan contoh tanah. Dalam penelitian ini contoh tanah yang diambil antara lain; (1) Contoh
tanah agregat utuh yang digunakan untuk analisis struktur tanah, dan (2) Contoh tanah terusik yang
digunakan untuk analisis tekstur, kadar lengas kering angin, kadar lengas kapasitas lapang, pH tanah, Corganik, dan N-total tanah. Pengambilan contoh tanah agregat utuh dan contoh tanah terusik diambil pada
empat lokasi ordo tanah yang tersebar di Pulau Lombok antara lain: Ordo Vertisol diambil didaerah Batujai,
Ordo Alfisol diambil didaerah Masbagik, Ordo Inceptisol diambil di daerah Kuripan, dan Ordo Entisol
diambil di daerah Mataram pada kedalaman 0 20 cm, diambil secara acak sistematis dan contoh tanah
terusik dari masing-masing daerah dikompositkan. Selanjutnya contoh tanah dimasukkan kedalam kantong
plastik, diberi label, dan dipersiapkan untuk keperluan analisis sifat fisika dan kimia tanah.
Persiapan contoh tanah. Contoh tanah yang telah diambil kemudian dikering anginkan selama 1 2 minggu.
Selanjutnya di ayak menggunakan ayakan 0,5 mm untuk analisis fisika, kimia tanah, dan untuk penanaman
menggunakan ayakan 2 mm.
Percobaan Rumah Kaca meliputi persiapan Media Tanam. Masing-masing contoh ordo tanah yang
telah diayak menggunakan ayakan 2 mm sebanyak 7 kg akan dimasukkan kedalam pot-pot percobaan yang
berukuran 8 kg. Masing-masing pot pecobaan diulang sebanyak lima kali, kemudian disiram hingga
mencapai kadar lengas kapasitas lapang. Persiapan Benih. Benih jarak pagar yang digunakan dipilih dari biji
yang telah cukup tua yaitu dari buah yang telah masak, biasanya berwarna hitam dan diperoleh dari Dinas
Perkebunan Provinsi NTB. Sebelum ditanam, benih direndam dulu dalam air selama satu malam. Selain
bertujuan untuk meningkatkan kadar air benih agar cepat berkecambah, perendaman juga bertujuan untuk
mengadakan seleksi benih. Sebelum ditanam, benih juga dicelupkan kedalam larutan insektisida 2 cc per satu
liter air. Pencelupan dilakukan setelah benih direndam dalam air, tujuannya untuk mencegah serangan
serangga tanah, seperti rayap atau semut sewaktu benih berada di dalam tanah (Sujatmaka, 1992).
Penanaman. Penanaman dilakukan dengan cara benih dimasukkan kedalam lubang tanam. Setiap
lubang diisi dengan 3 5 benih. Hal ini bertujuan untuk menjaga kalau diantara benih ada yang tidak bisa
berkecambah. Penyiraman. Penyiraman dilakukan secara rutin yaitu pada pagi atau sore hari, dan untuk
mengetahui jumlah air yang harus ditambahkan maka dibuat pot sebagai control untuk masing-masing ordo
tanah. Tujuannya untuk mempertahankan keadaan kadar lengas pada kondisi sekitar kapasitas lapang.
Penjarangan. Penjarangan dilakukan pada umur delapan hari setelah tanam (HST). Tujuan dari penjarangan
ini adalah untuk menyeleksi tanaman sehingga mendapatkan tanaman yang seragam. Penyiangan.
Penyiangan dilakukan untuk membersihkan tanaman pengganggu yang tumbuh disekitar tanaman utama
dengan cara manual yaitu mencabut dengan tangan.
Parameter tanah, Parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas tanah meliputi parameter
sifat fisik dan kimia tanah yaitu kadar lengas (kering angin, kapasitas lapang), tekstur tanah, struktur tanah

24

(bj tanah, bv tanah), pH tanah, C-organik, dan N-total tanah. Parameter tanaman, waktu Kecambah (hari).
Pengamatan dilakukan pada waktu biji mulai di tanam sampai dengan 7 HST. Tinggi Tanaman (cm).
Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HST sampai dengan tanaman berumur 93 hari setelah
tanam (hst) dengan menggunakan penggaris dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi tanaman.
Jumlah Daun (helai). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HST sampai dengan tanaman
berumur 93 HST dengan cara menghitung jumlah daun yang terdapat pada setiap tanaman. Diameter Batang
(cm). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HSTsampai dengan tanaman berumur 93 HST
dengan mengunakan jangka sorong.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A.

Pengambilana Contoh Tanah


Beberapa ordo tanah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tanah yang digunakan untuk penelitian


No

Ordo Tanah

Lokasi

Penggunaan Lahan

1.
2.
3.
4.

Vertisol
Inceptisol
Alfisol
Entisol

Batujai/Praya Barat/Loteng
Kuripan/Lobar
Masbagik/Lotim
Mataram/Kodya Mataram

Kebun
Tegalan
Tegalan
Kebun

B.

Sifat Fisik dan Kimia Berbagai Ordo Tanah

Kadar Lengas Tanah


Kadar lengas tanah menunjukkan jumlah kandungan air didalam tanah. Berdasarkan analisis di
Laboratorium didapatkan hasil kadar lengas yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis kadar lengas kapasitas lapang
No

Ordo Tanah

Kadar Lengas Kapsitas Lapang (%)

1.
2.
3.
4.

Vertisol
Inceptisol
Alfisol
Entisol

29.36
34.09
35.89
35.18

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada ordo tanah Vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang
sebesar 29,36%, untuk tanah Inceptisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34,09% pada tanah
Alfisol memiliki kadar lengas kapasistas lapang sebesar 35,89%, dan pada tanah Entisol memiliki kadar
lengas kapasitas lapang sebesar 35,18%. Pada keadaan ini menunjukkan bahwa pengikatan antara partikelpartikel tanah cukup kuat yang menyebabkan tingginya kadar lengas kapasitas lapang pada ke-empat ordo
tanah tersebut. Secara berurutan kadar lengas kapasitas lapang tertinggi pada ordo tanah Alfisol diikuti oleh
ordo tanah Entisol, Inceptisol dan Vertisol. Tingginya kadar lengas kapasitas lapang pada berbagai ordo
tanah di atas dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman Jarak pagar yang diketahui tidak terlalu
membutuhkan air (Jones dan Miller (1992) dalam Prastiwi dkk., 2006).
Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif halus kasarnya fraksi tanah, karena terdiri dari
berbagi ukuran butir-butir tanah maka dibedakan menjadi tanah bertekstur pasir, debu, dan liat. Hasil analisis
tekstur tanah disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis tekstur tanah
No

Ordo Tanah

1.
2.
3.
4.

Vertisol
Entisol
Inceptisol
Alfisol

Pasir (%)
57
66,5
63
69,5

Debu (%)
5
6,5
1,2
2,5

Liat (%)
38
27
25
28

Harkat
Liat Berpasir
Lempung Liat Berpasir
Lempung Liat Berpasir
Lempung Liat Berpasir

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tanah Vertisol memiliki persen pasir yang lebih dominan yaitu
sebesar 57% dan diikuti oleh persen liat sebesar 38% dan 5% untuk debu, dari jumlah persen pasir, debu dan

25

liat tanah Vertisol yang digunakan memiliki kelas tekstur liat berpasir (Suwardji dkk., 2006). Seperti
dijelaskan juga oleh Yasin (2004), tanah Vertisol memiliki kadar liat yang tinggi ( > 35%). Pada tanah
Entisol memiliki 66,5% fraksi pasir, 6,5% fraksi debu dan 27% fraksi liat sehingga menurut Suwardji
(2006), menyatakan tanah ini termasuk dalam kelas lempung liat berpasir yang hampir sama dengan lempung
berliat hanya sedikit lebih kasar karena dominan fraksi pasir. Pada tanah dengan dominan pasir memiliki
ruang pori makro yang lebih banyak dibandingkan pori mikro sehingga jumlah air yang diikat lebih sedikit,
hal ini disebabkan oleh daya ikat antar partikel tanah lemah. Pada tanah Inceptisol memiliki 65% fraksi pasir,
1,2% fraksi debu dan 25% fraksi liat, menurut Suwardji, (2006), tanah ini termasuk dalam kelas tekstur
lempung liat berpasir. bila dibandingkan dengan tanah Entisol tanah Inceptisol telah memiliki horizon meski
masih lemah. Sedangkan pada tanah Alfisol memiliki 69,5% fraksi pasir, 2,5% fraksi debu dan 28% fraksi
pasir, tanah ini tergolong dalam kelas tekstur lempung liat berpasir. Dari ke-empat ordo tanah diatas Alfisol
memiliki kandungan fraksi pasir yang lebih tinggi. Perbedaan jumlah kandungan fraksi pasir, debu dan liat
dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan pada tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Hal ini sesuai
dengan pernyataan Prastiwi dkk., 2006 bahwa untuk pertumbuhan tanaman Jarak Pagar yang terbaik dapat
dijumpai pada tanah-tanah yang ringan atau pada tanah yang mengandung pasir antara 60-90%. Menurut
Okabe dan Somabhi 1989 dalam Prastiwi dkk., 2006 tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada tanah yang
bertekstur lempung berpasir dapat memberikan hasil tertinggi dari pada tanah yang bertekstur lainnya.
Kemasaman (pH) Tanah
Reaksi tanah menunjukkan tingkat keasaman atau kealkalinitas tanah. Berdasarkan analisis pH tanah
didapatkan hasil yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis pH tanah
No

Ordo Tanah

pH H2O

Harkat

1.
Vertisol
6,69
Netral
2.
Entisol
6,12
Agak Masam
3.
Inceptisol
6,26
Agak Masam
4.
Alfisol
6,25
Agak Masam
Keterangan : Agak Masam = pH 5.6 6.5 ; Netral pH 6.5 7.5; Agak Alkalis = pH 7.6 8.5; dan Alkalis = pH > 8.5
(Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

C-Organik
Karbon (C) merupakan unsur utama penyusun bahan organik, sehingga jumlah karbon merupakan
gambaran kandungan bahan organik dalam tanah. Hasil analisis C-Organik disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis C- Organik Tanah
No

Ordo Tanah

1.
Vertisol
2.
Entisol
3.
Inceptisol
4.
Alfisol
Keterangan : C = Karbon

C- Organik (%)

Harkat

1.38
1.33
1.13
1.4

Rendah
Rendah
Rendah
Rendah

N total
Jumlah N total didalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman khususnya pada fase
vegetatif. Sumber N total di dalam tanah dapat berasal dari bahan organik sehingga tanaman yang diusahakan
dilokasi pengambilan contoh tanah juga dapat mempengaruhi jumlah N total. Hasil analisis N total tanah
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisis N total tanah
No

Ordo Tanah

N total (%)

Harkat

1.
2.
3.
4.

Vertisol
Entisol
Inceptisol
Alfisol

0.004
0.0051
0.009
0.0059

Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah

26

C.

Pertumbuhan Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas)

Waktu Kecambah (Hari)

Waktu Kecambah
7.2
7
6.8
6.6

Vertisol

6.4
6.2

Inceptisol
Entisol

6
5.8

Afisol

5.6
5.4
Vertisol

Inceptisol

Entisol

Afisol

Ordo Tanah

Gambar 1. Hasil Pegukuran Waktu Kecambah Tanaman Jarak Pagar (Jatropha Curcas) Pada Berbagai Ordo
Tanah di Pulau Lombok.

Berdasarkan grafik di atas waktu kecambah untuk tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Vertisol
rata-rata selama enam hari setelah tanam, hal ini juga terjadi pada ordo tanah Inceptisol dan pada tanah
Alfisol. Sedangkan pada ordo tanah Entisol waktu berkecambah rata-rata lebih lambat yaitu pada hari ketujuh setelah tanam. Dilihat dari hasil diatas maka untuk pembibitan tanaman Jarak Pagar cocok dilakukan
pada ordo tanah Vertisol Incepisol, dan alfisol.

Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi Tanaman Jarak Pagar


90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol

9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam
Gambar 2. Hasil Pengukuran Tinggi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order Tanah di
Pulau Lombok (cm).
Tabel 7. Hasil Sidik Ragam Pengukuran Tinggi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (cm).
No
1
2
3
4

Ordo
Tanah
Vertisol
Entisol
Inceptisol
Alfisol
BNT 5 %

Hari Setelah Tanam (HST)


39

45

51

57

34,8 a
38 a
29,7 b
34,8 a
3,63

41,8 a
45,8 a
34,8 b
43,4 a
3,70

45,7 b
53 a
42,6 b
51,8 a
4,66

50,6 b
56 a
47,8 b
60,2 a
4,99

63
54,6 bc
58,4 b
51,4 c
67,2 a
5,65

69

75

81

87

58,4 b
61,8 b
58,6 b
72,2 a
7,51

63,4 b
64,4 b
64,6 b
75,2 a
7,54

66 b
65,8 b
68,8 b
77,8 a
7,13

67,8 b
67 b
71,6 b
79 a
7,25

93
70,8 b
68,8 b
75,8 ab
79,8 a
7,24

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.

Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam pengukuran tinggi tanaman Jarak Pagar di atas, pada awal
pertumbuhan yaitu pada umur 9 33 hari setelah tanam tinggi tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada keempat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Setelah umur tanaman mencapai 39 dan 45 hari

27

setelah tanam tinggi tanaman pada ordo tanah Entisol, Alfisol dan Vertisol berbeda nyata dengan ordo tanah
Inceptisol yang secara statistik tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Alfisol dan
Vertisol lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman Jarak pagar yang ditanam pada ordo tanah Inceptisol.
Pada umur tanaman 51 dan 57 hari setelah tanam tinggi tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Alfisol dan
Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol yang secara statistik tinggi tanaman Jarak
Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol lebih tinggi dari pada tanaman Jarak Pagar yang
ditanam pada ordo tanah Vertisol dan Inceptisol.. Pada umur tanaman 63 hari setelah tanam ke-empat ordo
tanah menunjukan tinggi tanaman yang berbeda nyata, yang secara statistik ordo tanah Alfisol lebih tinggi
dan diikuti berturut-turut oleh tanaman yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Vertisol dan Inceptisol. Pada
umur tanaman 69, 75 81 dan 87 hari setelah tanam ketinggian tanaman pada ordo tanah Alfisol berbada nyata
dengan ordo Inceptisol, Entisol dan Vertisol. Pada umur tanaman 93 hari setelah tanam ketinggian tanaman
Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Entisol,
namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam
menunjukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada tinggi tanaman Jarak Pagar.
Jumlah Daun

Jumlah Daun (Helai)

70
60
50

Vertisol

40

Inceptisol

30

Entisol
Afisol

20
10
0
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam

Gambar 3. Hasil Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order
Tanah di Pulau Lombok
Tabel 8. Hasil Sidik Ragam Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (Helai).
No

Ordo Tanah

Hari Setelah Tanam (HST)


15

33

39

45

51

57

63

1
2
3
4

Vertisol
4a
15,4 ab
22,4 a
27,6 a
32,2 ab
36,2 b
40,2 b
Entisol
3,26 ab
16,4 a
23 a
30,6 a
36 a
40,4 ab
43,2 b
Inceptisol
3,2 b
10,6 b
12,4 b
15,6 b
22 b
29,4 b
34,8 b
Alfisol
4a
13 ab
19,4 a
26,6 a
39,2 a
50 a
54,8 a
BNT 5 %
0,47
3,96
5,84
8,73
10,27
11,2
11,55
Keterangan : Anggka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.

Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam perhitungan jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada umur
9 hari setelah tanam, tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan
perbedaan yang nyata. Setelah umur 15 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah
Vertisol dan Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan
ordo tanah Entisol. Pada umur 21 27 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada ke-empat
ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada umur tanaman 33 hari setelah tanam jumlah daun
tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol,
namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan ordo tanah Alfisol. Pada umur tanaman 39
dan 45 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Vertisol,
dan Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 hari setelah tanam jumlah
daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata dengan ordo
tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol. Pada umur 57 hari setelah
tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol, dan

28

ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur
tanaman 63 93 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol
berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, Vertisol, dan Entisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam
menujukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada jumlah daun tanaman Jarak
Pagar.
Diameter Batang
Tabel 9. Hasil Sidik Ragam Pengukuran Diameter Batang Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (Helai).
No
1
2
3
4

Hari Setelah Tanam (HST)

Ordo
Tanah

33

39

45

Vertisol
Entisol
Inceptisol
Alfisol
BNT 5 %

1.03 a
1.07 a
0.88 b
1.07 a
0.11

1.28 a
1.32 a
1.08 b
1.33 a
0.12

1.44 a
1.49 a
1.27 b
1.53 a
0.16

51
1.63 ab
1.74 a
1.46 b
1.81 a
0.18

57
1.77 ab
1.9 ab
1.67 b
1.99 a
0.19

63
1.9 bc
2.1 ab
1.8 c
2.22 a
0.2

69
2.1 b
2.25 ab
1.97 b
2.4 a
0.24

75

81

2.26 b
2.42 ab
2.25 b
2.6 a
0.24

2.4 b
2.6 ab
2.4 b
2.8 a
0.22

87
2.53 b
2.74 ab
2.55 b
2.92 a
0.22

93
2.65 b
2.87 b
2.68 b
3.1 a
0.19

Keterangan : Anggka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.

Diameter Batang (cm)

3.50
3.00
2.50

Vertisol

2.00

Inceptisol

1.50

Entisol

1.00

Afisol

0.50
0.00
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93
Hari Setelah Tanam

Gambar 4. Hasil Pengukuran Diameter Batang Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order
Tanah di Pulau Lombok

Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam pengukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar pada
awal pertumbuhan yaitu pada umur 9 27 hari setelah tanam diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di
tanam pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada umur 33, 39 dan 45 hari
setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol, Entisol,
dan Vertisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 hari setelah tanam ukuran
diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata
dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol. Pada umur
tanaman 57 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah
Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah
Entisol dan Vertisol. Pada umur tanaman 63 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar
yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol, namun tidak
terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur tanaman 69, 75, 81, dan 87 hari setelah tanam
ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan
ordo tanah Vertisol dan Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur
tanaman 93 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah
Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, Entisol, dan Vertisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik
ragam menujukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada ukuran diameter batang
tanaman Jarak Pagar.
D.

Hubungan Karakteristik Tanah dengan Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jarak Pagar

Tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman. Sifat dan karakteristik dari tanah sangat menentukan
baik atau tidaknya pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar. Menurut Prihandana, (2006) menyatakan
bahwa tanaman Jarak Pagar dapat tumbuh pada lahan marjinal yang miskin hara, namun mempunyai
drainase dan airase yang baik. Produksi optimal akan diperoleh pada lahan yang subur, dan untuk

29

pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak pagar terbaik pada tanah yang mengandung pasir 60 90 persen.
Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah, ordo tanah Alfisol menunjukan jumlah kandungan fraksi pasir yang
lebih tinggi yaitu sebesar 69.5 %. Ketersediaan air tidak terlalu memberikan pengaruh yang berarti bagi
pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar, Tapi jumlah dari kandungan fraksi pasir pada tiap-tiap ordo
tanah dapat menentukan tinggkat kecepatan pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar. Berdasarkan hasil
pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun, dan diameter batang tanaman Jarak Pagar, ordo tanah Alfisol ratarata menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan ordo tanah Inceptisol, Entisol, dan
Vertisol. Dilihat dari sifat ordo Vertisol yang dapat menyimpan air dalam jumlah yang lebih besar bila
dibandingkan dengan ordo tanah Alfisol, Entisol dan ordo tanah Inceptisol maka ordo tanah Vertisol sesuai
untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar yang termasuk dalam golongan klas kesesuaian S-2 (sesuai) yang
hanya memiliki hambatan ketersediaan air yang besar akibat pengikatan antar partikel tanah yang kuat,
sedang untuk ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol sangat sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak
pagar karena tidak terdapat hambatan dalam pengembangan tanaman jarak Pagar. Namun ordo tanah Vertisol
dapat termasuk dalam golongan klas kesesuaian lahan S-1 (sangat sesuai) apabila hambatan ketersedian air
dapat diatasi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil pengukuran tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun tanaman Jarak
Pagar, ordo tanah Alfisol menunjukan hasil yang lebih baik dari tiga ordo lainnya yaitu ordo tanah Entisol,
Inceptisol dan Vertisol. Tanaman Jarak Pagar sesuai ditanam pada ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol
karena tidak memiliki faktor pembatas untuk pengembngan tanaman Jarak Pagar dibandingkan pada ordo
tanah Vertisol yang memiliki faktor pembatas berupa ketersediaan air yang cukup besar. Tanaman Jarak
Pagar tumbuh dengan baik pada ordo tanah yang banyak mengandung fraksi pasir, dari hasil analisis tanah
ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol memiliki kandungan pasir lebih banyak bila dibandingkan dengan
ordo tanah Vertisol. Dari pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan di sarankan kepada instansi dan petani
di Pulau Lombok untuk mengembangkan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) secara besar-basaran pada
ordo tanah Alfisol, selanjutnya diikuti oleh ordo tanah entisol, dan Inceptisol.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), (1989). Peta Tanah Tinjau Pulau Lombok.
BAPPEDA Propinsi NTB.
Hardjowigeno. S., (2003). Ilmu Tanah. Akademi Presindo. Jakarta
Irfan, (2005). Budidaya Tanaman Jarak (Jatropha curcas) Sebagai Sumber Bahan Alternatif Biofuel.
http;//www.iptek.net.id/ind/img/050260504/005 jarak pagar.1.jpg
Pambudy.M.N., (2006). Bahan Bakar Alternatif, Tarik Investor Kompas:21(3).34 h.
Prastiwi. N., Siti. S., Zaenal. M., Irmia. N., Djoko. P., Hadi. S., (2006). Budidaya Jarak Pagar Sebagai Bahan
Baku Bahan Bakar Nabati (Biodisel). Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Sujatmaka, (1992). Prospek Pasar dan Budidaya Jarak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suwardji, dan Joko.P., (2003) Inventarisasi Luas Lahan Kritis Propinsi Nusa Tenggarara Barat. Mataram.
Yasin, (2004). Pengantar Klasifikasi Tanah. Bahan Ajar MK Klasifikasi Tanah. Fakultas Pertanian. Unram.
Mataram.

30

POTENSI PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA PADA


BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK
Muhammad Sarjan
Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian UniversitasMataram
Jl. Pendidikan Mataram-Lombok-NTB

ABSTRAK
Hama merupakan salah satu masalah yang penting diperhatikan dalam usaha produksi tanaman secara umum
karena hama mampu menurunkan produksi secara signifikan baik kualitatif maupun kuantitatif. Demikian juga halnya
pada tanaman sayuran yang sebagaian besar produknya dikonsumsi dalam keadaan segar, masih mengandalkan
insektisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama. Penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan masalah yang
sangat perlu dipertimbangkan terutama dampak residu terhadap lingkungan, kesehatan manusia dan terhadap mahluk
hidup lainnya serta satwa-satwa liar. Oleh karena itu harus dicari cara alternatif yang lebih aman dalam pengendalian
hama antara lain dengan mengusahakan budidaya pertanioan organik yang pada prinsipnya menminimalkan input
produksi seperti pupuk dan pestisida dari senyawa kimia sintetis. Salah satu komponen dalam budidaya organik adalah
pemanfaatan pestisida non-kimiawi sintetis baik berupa insektisida hayati maupun nabati untuk mengendaliklan hama.
Sementara ini sudah banyak dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama daeri
berbagai spesies dengan hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha
pengembangan sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan
mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan dipaparkan
bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem budidaya sayuran organik.
Kata kunci: Insektisida nabati, sayuran organik

PENDAHULUAN
Penggunaan pestisida di lingkungan pertanian menjadi masalah yang sangat dilematis, terutama
pada tanaman sayuran yang sampai sat ini masih menggunakan insektisida kimia sintetis secara intensif. Di
satu pihak dengan digunakannya pestisida maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme penggangu
tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti
berkembangnya ras hama yang resisten terhadap insektisida, resurjensi hama, munculnya hama sekunder,
terbunuhnya musuh alami hama dan hewan bukan sasaran lainnya, serta terjadinya pencemaran lingkungan
(Prijono, 1994). Sedangkan di lain pihak tanpa pengunaan pestisida akan sulit menekan kehilangan hasil yang
diakibatkan OPT (Kardinan, 2001).
Untuk mengatasi masalah tersebut dan menciptakan tanaman holtikultura terutama sayuran yang
ramah lingkungan untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi maka penerapan usaha tani berbasis
organik (pertanian organik) merupakan keharusan (Anonim,2004). Saat ini petani menerapkan budidaya
sayuran organik sebagai respon terhadap semakin perlunya kesehatan konsumen dan produsen, dan juga
sebagai upaya untuk membuat pertanian yang berwawasan lingkungan (Riza dan Tahjadi, 2001).
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi menyebabkan
bertambahnya permintaan sayuran, dan jenis sayurannya pun semakin bervariasi. Oleh karena itu diperlukan
upaya peningkatan produksi tanaman sayuran antara lain dengan cara mengembangkan pertanian organik
yang diharapkan dapat menghasilkan produk pertanian yang mampu bersaing di pasaran, karena pertanian
organik selain mempunyai biaya produksi rendah, juga hasil panen umumnya mengandung residu bahan
kimia yang relatif rendah, sehingga hasilnya digemari oleh masyarakat. Saat ini banyak konsumen yang
menuntut kualitas produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi, sehingga pengembangan pertanian organik
ke depan mempunyai prospek yang bagus, jika dikelola dengan baik, dan menerapkan prinsip-prinsip
pertanian berkelanjutan (Sustainable Agricultural Development) (Anonim, 2004).
Beberapa tindakan pengendalian yang dapat digunakan untuk mecegah serangan hama pada
tanaman sayuran antara lain dengan teknik bercocok tanam (rotasi tanaman, sanitasi), penggunaan varietas
yang tahan, pengendalian hayati dengan memanfaatkan predator dan parasitoid, pengendalian dengan
menggunakan pestisida botani dari ekstrak tumbuhan serta pengendalian secara kimia dengan menggunakan
insektisida. Budidaya sayuran organik dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada berupa pestisida
hayati dan botani serta pengunaan pupuk organik diharapkan dapat menekan populasi dan intensitas serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT) pada ekosistem sayuran organik. Sementara ini sudah banyak
dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama daeri berbagai spesies dengan

31

hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha pengembangan
sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan
mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan
dipaparkan bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem
budidaya sayuran organik.

POTENSI TUMBUHAN TROPIS SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI


Sebagai daerah trofis, Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak
jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk
pengendalian hama. Dewasa ini penelitian tentang famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida
botani dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan. Dilaporkan bahwa lebih dari 1500 jenis tumbuhan dapat
berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge & Ahmed, 1988). Di Filipina, tidak kurang dari 100 jenis
tumbuhan telah diketahui mengandung bahan aktif insektisida (Rejesus, 1987). Laporan dari berbagai
propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat
BPTP & Ditjenbun, 1994). Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan
penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah
Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al., 1993; Isman, 1995), namun
hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh
banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai
sumber insektisida botani sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat.
Anggota Meliaceae yang paling banyak diteliti adalah nimba/mimba (Azadirachta indica A. Juss)
dengan bahan aktif utama azadirachtin (limonoid). Tanaman ini tersebar di daratan India. Di Indonesia
tanaman ini banyak ditemukan di sekitar Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur). Ekstrak biji tanaman
mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Senyawa aktif dari tanaman ini memiliki aktivitas
insektisida, antifeedant dan penghambat perkembangan (Scmutterer & Singh 1995) serta berpengaruh
terhadap reproduksi berbagai serangga (Schmutterer & Rembold 1995). Sediaan insektisida komersial
dengan formulasi dasar ekstrak nimba (neem) telah dipasarkan di Amerika Serikat dan India (Wood et al.
1995, Parmer 1995). Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat
sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida maupun rodentisida.
Selain tanaman di atas, Aglaia sp. (Meliaceae) merupakan salah satu tanaman yang akhir-akhir ini
banyak diteliti aktivitasnya. Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia
Tenggara, Australia bagian utara dan kepulauan di Samudra Pasifik. Di Indonesia tumbuhan dapat ditemui
tumbuh di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Philipina, Sulawesi, Bali dan Flores. Janpraset et al. (1993)
berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae) (culan,
pacar cina) sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan
benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya, yaitu
desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida juga telah diisolasi
dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia (Wu et al., 1997), ranting A.
duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta daun A. harmsiana. Tiga jenis tanaman yang
disebutkan terakhir tumbuh dengan baik di Kebun Raya Bogor. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia
selain dapat bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat
perkembangan.
Beberapa spesies tanaman famili Annonaceae ternyata cukup berpotensi untuk dimanfaatkan
sebagai insektisida nabati. Jenis-jenis tanaman famili Annonaceae yang disebutkan di atas umum dijumpai di
Indonesia. Ekstrak biji tanaman srikaya (Annona squamosa) dan nona seberang (A. glabra) mempunyai
aktivitas insektisida yang tinggi terhadap Crocidolomia binotalis (Basana & Prijono, 1994; Prijono et al.,
1995). Sementara itu Budiman (1994) melaporkan ekstrak biji tanaman A. reticulata, A. montana, A.
deliciosa dan Polyalthia littoralis efektif terhadap serangga gudang Callosobruchus chinensis. Senyawa aktif
utama dalam A. sqoamosa dan A. glabra adalah squamosin dan asimisin yang termasuk golongan asetogenin
(Mitsui et al., 1991). Di samping itu mungkin masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang belum dilaporkan
berpotensi sebagai pestisida nabati yang perlu dieksplorasi dan diujicoba.

32

HASIL UJI COBA DAN IMPLEMENTASI INSEKTISIDA NABATI PADA BUDIDAYA SAYURAN
ORGANIK
Penggunaan pestisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama mempunyai dampak negatif
terhadap komponen ekosistem lainnya seperti terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta
pencemaran lingkungan karena residu yang ditinggalkan. Alternatif lain untuk pengendalian hama yaitu
dengan memanfaatkan senyawa beracun yang terdapat pada tumbuhan yang dikenal dengan insektisida
nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme pengganggu, mempunyai kelompok metabolit
sekunder yang mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti alkoloid, terpenoid dan fenolik (Anonim,
1994).
Efektivitas suatu bahan-bahan alami yang digunakan sebagai insektisida nabati sangat tergantung
dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu jenis tumbuhan yang sama tetapi berasal dari daerah yang
berbeda akan menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau sifat racunnya
tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tumbuhan tersebut (Grainge and Ahmed 1987
cit Wasiati 2003). Menurut Sarjan dan Astam (1997), penggunaan insektisida non kimiawi sintetis nimba
(Azadirachta indica) dan Bt memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai agen pengendali hama ulat kubis
Plutella xylostella yang dalam prakteknya hampir sama dengan insektisida kimia Sumithion 50 EC mampu
menekan intensitas serangan sekitar 80%.
Di Indonesia terdapat berbagai jenis tumbuhan dan tanaman yang berpotensi sebagai pestisida yang
aman bagi lingkungan. Namun sampai saat ini pemanfaatan belum dilakukan secara maksimal dan di bawah
ini hasil penelitian yang telah dilakukan pada budidaya sayuran organik Saat ini setidaknya terdapat lebih
dari 2,000 jenis tanaman yang telah dikenal memiliki kemampuan sebagai pestisida. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) di Bogor memiliki koleksi puluhan jenis tanaman yang dapat dipakai
sebagai insektisida. Penelitian tentang tanaman-tanaman beracun botani di Indonesia dimulai sejak
didirikannya Pusat Ilmu Pengetahuan Botani oleh Belanda pada tahun 1888. Sementara itu, penelitian
tentang pemanfaatan tanaman tuba (Derris sp.), bunga krisan liar (Pyrethrum), dan bengkuang sebagai
pestisida botani dimulai sejak tahun 1950 an di Bogor (Novizan, 2002).
Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensi insektisida nabati adalah Meliaceae,
Annonaceae, Asteraceae, dan Rutaceae (Arnoson et al., 1993 ; Isman, 1995 dalam Sarjan 2005). Potensi
insektisida nabati yang berasal dari famili Meliaceae terutama ekstrak biji memiliki aktifitas penghambat
makan dan penghambat perkembangan yang kuat terhadap serangga, seperti nimba memiliki senyawa
azadirachtin yang bersifat racun perut. Selain dari famuli Meliaceae, tanaman dari famili Annonaceae yang
potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber insektisida nabati adalah srikaya. Senyawa aktif utama yang
terkandung dalam srikaya adalah squamosin yang termasuk senyawa asetogenin, yang memiliki efek kontak
cukup baik terhadap serangga (Djoko, 1994).
Seperti dilaporkan oleh Sarjan (2004) menyakan bahwa penggunaan insektisida non kimia sintetis
dari nimba, dan srikaya mempunyai kemampuan untuk menekan populasi Spodoptera litura F. dan
melestarikan populasi musuh alami berupa predator pada tanaman kedelai. Selain mampu menekan populasi
S. litura, insektisida non kimia sintetis nimba memiliki potensi yang cukup tinggi yaitu mampu menekan
intensitas serangan yang hampir sama dengan insektisida kimia. Sedangkan insektisida non kimia sintetis dari
srikaya memiliki kemampuan yang paling rendah dalam mengendalikan hama ulat kubis Plutella xylostella
(Sarjan dan Wiresyamsi, 1997).
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana keberadaan hama pengisap daun, Thrips
parvispinus dan Myzus persicae pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa rata- rata populasi Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada tanaman tomat yang
diperlakukan secara konvensional yaitu 137,59 ekor/tanaman untuk nimfa, dan 41,01 ekor/tanaman untuk
imago dibandingkan dengan kondisi organik berturut-turut sebesar 74,89% dan 23,05%. Sedangkan intensitas
serangan kedua hama pengisap daun tersebut tidak berbeda antara tanaman tomat yang dibudidayakan secara
organik dibandingkan dengan konvensional. Tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik berproduksi
lebih tinggi yaitu 125 kw/ha dari pada tanaman secara konvensional sebesar 120 kw/ ha.

33

Tabel 1. Uji Statistik T-Test Untuk Populasi dan Intensitas Serangan Hama Pengisap Daun Tomat yang
Diperlakukan Secara Konvensional dan Organik.
Uraian

Organik

Konvensional

Populasi Hama (ekor/ 8tanaman)


Imago Myzus persicae
0,65
Imago Thrips parvispinus
23,05
Nimfa Thrips parvispinus
74,89
Intensitas serangan (%/8 tanaman)
Myzus persicae
0,05
Thrips parvispinus
3,01
Sumber : Data Primer diolah

F. hitung

F. tabel

t.hitung

t. tabel

ket

0,53
41,01
1376,59

2,086815
2,694896
2,636344

1,860811
1,860811
1,860811

0,67818
2,408404
2,27959

2,006646
2,010635
2,010635

NS
S
S

0,04
3,69

1,3682203
1,060862

1,860611
1,860811

0,6760154
1,747459

2,001717
2,001717

NS
NS

Besarnya populasi dan intensitas serangan serta pola fluktuasi hama Myzus persicae pada kondisi
organik dan konvensional hampir sama pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dan
konvensional. Rata- rata populasi dan intensitas serangan Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada
tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional dibandingkan dengan kondisi organik.
Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangan pada kedua kondisi tanaman tomat yang
dibudidayakan secara konvensional dan organik adalah sama yaitu mulai meningkat sejak tanaman berumur
22 hari setelah tanam dan mencapai puncaknya pada umur tanaman antara 32 dan 37 hari setelah tanam
untuk Thrips parvispinus dan 42 hari setelah tanam untuk Myzus persicae. Perlakuan secara organik dapat
menghasilkan tomat lebih tinggi dari pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional yaitu 125
kw/ ha untuk organik dan 120 kw/ ha untuk konvensional.

intensitas serangan

3,5

populasi

3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
7

12

17

22

27

32

37

42

47

52

0,14%
0,12%
0,10%
0,08%
0,06%
0,04%
0,02%
0,00%
7

12

17

27

32

37

42

47

52

umur tanaman

umur tanaman
konvensional

22

konvensional

organik

organik

Gambar 1. Fluktuasi populasi imago (A) dan Intensitas Serangan (B) Myzus persicae yang menyerang tanaman
tomat pada dua sistem budidaya yang berbeda.

Sementara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasi dan intensitas
serangan hama Thrips parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara organik maupun
secara konvensional . Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan juga hampir
sama yaitu menncapai puncakya pada saat tanaman berumur 87 97 hari. Namun berdasarkan hasil yang
dicapai menunjukkan bahwa produksi cabe pada kondisi organik lebih tinggi dibandingkan dengan
konvensional yaitu , tanaman cabai merah yang dibudidayakan secara organik mampu menghasilkan buah
dua kali lipat dibandingkan dengan hasil budidaya secara konvensional, sehinga budidaya cabai merah secara
organik mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.
Tabel 2. Data hasil analisis rata-rata populasi dan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai
merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik.
No.

Analisis

1
F hitung
2
F tabel
3
T hitung
4
T tabel
Keterangan

Pengamatan
Populasi

Intensitas Serangan

1,617566
1,860811
1,347937
2,001716
NS

1,386460
1,860812
1,618329
2,001716
NS

34

populasi

15
10
5
0
7

17

27

37

47

57

67

77

87

97

umur tanaman
konvensional

organik

int ensitas serangan

Gambar 2. Perkembangan populasi hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara
konvensional dan organik.

5.00%
4.00%
3.00%
2.00%
1.00%
0.00%
7

17

27

37

47

57

67

77

87

97

umur tanaman
konvensional

Gambar 3.

organik

Perkembangan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang
diperlakukan secara konvensional dan organik.

Perkembangan populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang
sama, dimana hama ini akan mencapai puncaknya pada saat fase tanaman mengahsilkan tunas-tunas muda
dan menurun pada saat bagian tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan
insektisida (baik kimiawi sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun
demikian terlihat bahwa hasil cabe merah yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada
konvensional. Oleh karena itu budidaya cabae merah secara organik mempunyai prospek untuk
dikembangkan baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama pengisdap daun, maupun untuk tujuan
peningkatan produksi.
Pada tanaman kubis, untuk mengetahui fluktuasi intensitas serangan ulat S. litura pada kondisi yang
berbeda yaitu pada sisitem budidaya organik dan konvensional telah dilakukan penelitian yang menunjukan
bahwa tidak terdapat berbedaan intensitas serangan ulat S. litura pada tanaman kubis yang dibudidayakan
secara organik dan konvensional dengan pola fluktuasi yang berbeda. Intensitas serangan S. litura mencapai
puncaknya pada umur tanaman 27 hari setelah tanam pada kondisi organik , sedangkan pada kondisi
konvensinal pada 42 hari setelah tanam.
Tabel 3. Uji statistik t-test intensitas serangan ulat Spodoptera litura pada tanaman kubis yang diperlakukan
secara organik.dan konvensional
Parameter
Intensitas serangan

Organik

Konvensional

F. hitung

F. tabel

t. hitung

t. tabel

ket

2,561

2,900

2,207

3,179

- 0,642

2,101

NS

Sumber : Data Primer Diolah

35

Intensitas serangan (%)

Rata-rata intensitas serangan hama Spodoptera litura tidak berbeda pada tanaman kubis yang
dibudidayakan secara organik maupun konvensional . Pola fluktuasi intensitas serangan hama Spodoptera
litura cendrung berbeda pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik maupun
konvensional.Intensitas serangan hama Spodoptera litura mencapai puncaknya lebih awal pada tanaman
kubis yang dibudidayakan secara organik yaitu pada umur tanaman 35 hari, sedangkan pada kondisi
konvensional pada saat tanaman berumur 56 hari setelah tanam.
30
25
20
15
10
5
0
1

10

Pengamatan ke-

Keterangan :
: Konvensional
: Organik
Gambar 4. Perkembangan Intensitas Hama S. litura pada Tanaman Kubis yang dibudidayakan
Konvensional dan Organik dari Pengamatan ke-1 -ke-10.

secara

PENUTUP
Produksi pestisida nabati secara masal untuk keperluan komersial masih menghadapi beberapa
kendala, diantaranya ketersediaan jumlah bahan baku yang tidak mencukupi. Rendahnya kandungan
metobolik sekunder dalam tanaman, sehingga diperlukan pasokan bahan baku yang sangat besar. Jika untuk
keperluan sendiri, kebutuhan bahan baku cukup melimpah dan sangat murah. Oleh karena itu perlu
menggalakkan dan mengembangkan teknik ekstraksi sederhana yang dapat dilakukan oleh petani untuk
mengendalikan hama secara individu dan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
sosialisasi baik melalui penyuluhan maupun pelatihan dan demplot sebagai upaya untuk menyebarkan
informasi tentang potensi suatu bahan ekstrak tumbuhan sebagai pestisida nabati. Demikian juga dari pihak
pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengarah kepada pemanfaatan pestisida nabati untuk
keperluan pengendalian hama, terutama pada sistem pertanian organik. Dari beberapa laporan menyatakan
bahwa sebenarnya efektivitas pestisida nabati tidak kalah dibandingkan pestisida kimia sintetis, namun
karena petani masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia sebagai cara yang ampuh dengan alasan
antara lain mudah didapat, cepat bekerja membunuh hama sasaran serta relatif murah (subsidi), maka
pemanfaatan insektisida nabati masih sangat terbatas.
Berdasarkan hasil penelitian pada sayuran organik (Cabe, tomat dan kubis) dapat disimpulkan
bahwa rata-rata populasi dan intensitas serangan hama hama penting pada tanaman tersebut relatif sama
pada tanaman yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. Demikian juga dengan perkembangan
populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang sama, dimana hama ini akan
mencapai puncaknya pada saat fase tanaman menghasilkan tunas-tunas muda dan menurun pada saat bagian
tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan insektisida (baik kimiawi
sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun demikian terlihat bahwa
hasil cabe merah maupun tomat yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada konvensional. Oleh
karena itu budidaya cabae merah ,tomat dan kubis secara organik mempunyai prospek untuk dikembangkan
baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama maupun untuk tujuan peningkatan produksi.

36

Dengan mengetahui pola perkembangan hama pada tanaman, maka hasil penelitian ini diharapkan
akan berguna untuk kegiatan monitoring hama dalam rangka penerapan pengelolaan hama secara terpadu.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pedoman dalam upaya pengelolaan hama
sayuran organik ( cabe, tomat dan kubis), terutama program monitoring untuk menentukan saat yang tepat
dalam pengendalian hama.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Buku Pedoman Non Kimia. Departemen Pertanian. Jakarta. 13 h.
Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene, C. Hasbun, P. Sanchez, L. Poveda, L. San Roman,
M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P. Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides in
Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of Action. p. 107-151. In K.R. Downum, J.T. Romeo,
H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press.
Basana, I.R., D. Prijono. 1994. Insecticidal Activity of Aqueous Extracts of Four Species of Annona
(Annonaceae) against Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera:
Pyralidae). Bul. HPT. 7:50-60.
Kardinan, A. dan Ruhnayat, A., 2003. Mimba Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.
7-9 h.
Kardinan,A., 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. 2 h.
Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Parnata, A.S., 2004. Pupuk Organik Cair Aplikasi dan Manfaatnya. Agromedia Pustaka. Jakarta. 62 h.
Prijono, D., dan Hasan E., 1993. Pengaruh Ekstrak Nimba Terhadap Perkembangan dan Mortalitas
Croccidolonia binotalis. Proseding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida
Nabati. Bogor 1 2 Desember 1993.
________1994. Pedoman Praktikum Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Riza,V. dan Tahjadi, 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia. Jakarta. 63 h.
Sarjan, M., 2004a. Pengelolaan Hama Terpadu Dalam Perspektif Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Era
Galobalisasi. Orasi Ilmiah Dies Natalis UNRAM. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
_______, 2004b. Potensi Insektisida Non Kimia Sintetik Dalam Konservasi Predator Ulat Grayak
(Spodoptera litura F.) Pada Tanaman Kedelai. Agroteksos. Majalah Ilmiah Pertanian (Agronomi,
dan Sosial Ekonomi) Volume 13 No 4. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
________, dan Astam Wiresyamsi, 1997. Laporan Penelitian Potensi Insektisida Non Kimiawi Sintetis
Sebagai Pengendali Ulat Kubis Plutella xylostella. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
________, 2006a. Intensitas Serangan Ulat Spodoptera litura pada Tanaman Kubis yang Dibudidayakan
Secara Organik dan Konvensional ( Jurnal HAPETE, Vol 3:1. April 2006)
________, 2006 b. Pengelolaan hama Pengisap daun Thrips parvispinus Karny Pada Tanaman cabe Yang
dibudidayakan Secara Organik dan Konvensional (Jurnal Penenltian Universitas Mataram, Edisi A:
Sains dan Teknologi. Vol 2:10. Agustus 2006)
________, 2007. Perkembangan ulat grayak (Spodoptera litura Hbn) pada tanaman tomat yang
dibudidayakan secara organik dan konvensional. (Jurnal PARTNER Politeknik Pertanian Kupang
NTT tahun 14.No periode januari 2007)

37

IDENTIFIKASI PENERAPAN TEKNOLOGI JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN


DI PROPINSI SULAWESI SELATAN
Bahtiar dan A. Tenrirawe
Balitsereal Maros Sulawesi Selatan

ABSTRACT
Identification to maize production systems on rainfed lowland in South Sulawesi. The study aimed to explore
the potency of rainfed lowland and its utilization, and maize production systems on it land. In relation with that purpose,
a survey was conducted to farmers and other information sources related to maize development. Data and information
were collected through individual and group interview based on questionaire prepared. In two regencies surveyed,
rainfed lowland availabeled was large enough but was not utilized maximally yet, due to many factors. On regions were
maize areas not developed (Pangkep), maize production could be increased through extensification. Technology applied
in maize production systems in these regencies were still modestly, even though technology information such as hybrid
seeds had been known. Technology production needed to be disseminated to increase maize production including openpollinate maize varieties, high quality seeds, land preparation, plantation, irrigation, fertilizer and fertilization, pest
control, and harvesting. Besides it, post harvest technologies and marketing channels also need to be informed. In these
region production inputs were difficult to obtain and their prices were expensive. On region where maize areas
developed (Takalar), maize production could be increased through increase planting intensity, cropping pattern
adjustment, besides extensification. Maize production technology applied in these region were quite advance but
improvement were still needed. Fertilizers applied were excessive, irrigation not efficient, and cropping pattern needed
to be adjusted. In several places, high quality open-pollinated seed were required. Production inputs were availabled but
their prices were still expensive.
Key Words : Identification, rainfed lowland, maize production systems.

PENDAHULUAN
Indonesia pada masa datang dihadapkan kepada masalah persediaan jagung, seiring dengan
meningkatnya permintaan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun bahan baku pakan ternak dan industri
pengolahan makanan (Damardjati et al., 2005). Hal ini tampak pada peningkatan jumlah impor jagung dalam
kurun waktu 1997-2001 yang mencapai 0,96 juta ton dan diperkirakan meningkat menjadi 1,80 juta ton pada
tahun 2005 (Subandi dan Hermanto, 2002).
Selama sepuluh tahun terakhir komoditas jagung memperlihatkan peningkatan produksi yang lebih
tinggi dibanding dengan produksi tanaman pangan lainnya. Dari sudut pandang agribisnis kecenderungan
tersebut menunjukkan tanaman jagung memberikan pendapatan memadai kepada semua yang terkait dalam
pengembangan jagung, khususnya petani sebagai produsen.
Program penciptaan teknologi budidaya jagung hendaknya mengacu kepada kebutuhan pengguna
atau user oriented (Badan Litbang Pertanian, 1994). Dalam hubungan dengan arahan tersebut Balitsereal
memerlukan informasi dasar tentang sistem produksi jagung, oleh karena itu, mulai tahun anggaran 2005
dilakukan studi tentang karakterisasi sistem produksi pada berbagai tipe lahan potensil untuk jagung
(Balitsereal, 2004). Salah satu tipe lahan yang sangat sesuai untuk pertanaman jagung adalah lahan sawah
tadah hujan. Pada tahun 1991 luas pertanaman jagung di Indonesia mencapai 3,0 juta hektar dan sekitar 10%
luas areal tersebut berada pada lahan sawah tadah hujan (Sudjana dan Setiyono, 1993). Jika kisaran tersebut
digunakan untuk melihat luas panen pertanaman jagung pada tahun 2004 yang sudah mencapai 3,3 juta
hektar (Deptan, 2004) maka terdapat sekitar 300 ribu hektar pertanaman jagung pada lahan sawah tadah
hujan. Angka tersebut dinilai masih sangat kecil jika dibandingkan dengan luas lahan tersedia.
Potensi
lahan sawah tadah hujan di Indonesia mencapai 2,15 juta ha, dan 1,37 juta ha (63,73 %) diantaranya berada
di luar pulau Jawa. Dari jumlah tersebut, 244.902 ha (17,85 %) berada di Provinsi Sulawesi Selatan (BPS,
2003). Pada lahan sawah tadah hujan, jagung dapat ditanam sebelum dan sesudah padi. Jagung kedua lebih
sering berhasil walaupun tidak jarang mengalami ancaman kekeringan (Subandi dan Manwan, 1990).

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi jagung pada lahan sawah
tadah hujan dan faktor-faktro yang mempengaruhinya dalam rangka pengembangan jagung dimasa datang.

38

METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan survei. Survei pada tingkat petani
dilakukan secara intensif dengan berpedoman kepada kata-kata kunci yang telah disiapkan sebelumnya. Di
laksanakan pada 2 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Takalar dan Pangkep. Kabupaten Takalar
mewakili daerah sentra produksi yang sudah maju penerapan teknologi budidayanya, sedang Kabupaten
Pangkep mewakili daerah yang potensil lahannya tetapi belum berkembang perjagungannya. Secara rinci
lokasi yang dipilih pada setiap kabupaten dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Lokasi Penelitian Identifikasi Penerapan Teknologi Jagung, Sulsel, 2005
Kabupaten

Kecamatan

Desa

Takalar
Pangkep

Galessong Utara
Mandalle
Sigeri
Labakkang

Parasangan Beru
Coppotompong
Manggalung
Parenreng

Penentuan Responden
Dalam penelitian ini terdapat dua kelompok responden, yaitu: (1) Petani yang telah menanam jagung.
Penentuannya dilakukan secara purposif sampling pada setiap kabupaten. Untuk mendapatkan responden
yang representatif, dilakukan kordinasi dengan Petugas Lapangan dan Pemerintah Desa, (2) Tokoh
masyarakat yang terdiri atas aparat desa, tokoh-tokoh adat, ketua-ketua kelompok tani, pedagang saprodi dan
pedagang hasil pertanian, Petugas Pertanian Lapangan (PPL), dan staf Dinas Pertanian Kabupaten setempat.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data disesuaikan dengan jenis responden. Untuk petani jagung, metode yang
digunakan adalah wawancara perorangan untuk menggali cara petani menanam jagung mulai dari persiapan
lahan, penanaman, pemeliharaan sampai kepada panen dan prosesing, serta alokasi hasil. Selain itu,
pemilikan asset dan modal yang digunakan juga digali jumlah dan sumbernya. Wawancara menggunakan
daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mewawancarai petani yang menananm jagung.
Wawancara dilakukan baik di rumah petani, di lahan usahatani petani ataupun di pos ronda. Untuk
menghindari informasi yang bias, wawancara diusahakan sedemikian rupa agar petani dalam keadaan siap
memberikan informasi yang diperlukan.
Untuk responden tokoh masyarakat, pengumpulan data dilakukan dengan diskusi kelompok guna
mendapatkan informasi umum seperti, varietas jagung yang beredar, ketersediaan saprodi terutama pupuk
dan benih, insektisida dan herbisida, harga hasil jagung, dan tanggapan petani terhadap tanaman jagung
dalam meningkatkan pendapatannya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah hambatan dan tantangannya
untuk pengembangan jagung ke depan.
Selain data primer tersebut, juga dilakukan pengumpulan data sekunder melalui kegiatan studi
literatur ke dinas-dinas pemerintah terkait untuk mendapatkan gambaran umum mengenai perkembangan dan
rencana pengembangan jagung.
Analisisa Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan dua model yaitu, untuk data kuantitatif
analisisnya diarahkan kepada biaya dan pendapatan usahatani, sedang data kualitatif dianalisa secara
deskriptif dengan penekanan kepada budidaya tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

a.

Potensi dan pemanfaatan lahan sawah tadah hujan

Potensi lahan sawah tadah hujan di wilayah penelitian cukup luas, namum belum seluruhnya
dimanfaatkan untuk pertanaman jagung karena berbagai faktor, antara lain: animo masyarakat yang rendah
terhadap jagung. Misalnya di Pangkep petani masih trauma dengan pengalaman pahit menanam jagung
kuning yang tidak ada pasarnya. Padahal sesungguhnya secara fisik teknis jagung lebih menguntungkan

39

dibanding dengan padi musim gadu. Oleh karena itu, petani di Pangkep masih lebih tertarik menanam
kacang tanah setelah padi rendengan.
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah tadah hujan hanya dimanfaatkan
satu kali padi setahun (Tabel 2). Hal ini memberi gambaran bahwa lahan tersebut mempunyai peluang untuk
penanaman jagung setelah padi.
Tabel 2. Potensi dan pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di wilayah penelitian.
Kabupaten

Luas penanaman padi (ha)

Potensi lahan sawah tadah


hujan (ha)1)

Takalar
Pangkep
Sulsel
Sumber : BPS tahun 2003.

Ditanami 1 kali

Ditanami 2 kali

6.682
5.794
209.545

1.675
1.199
35.357

8.357
6.993
244.902

b. Potensi dan ketersediaan tenaga kerja pertanian


Data sumberdaya manusia menunjukkan bahwa penduduk yang berprofesi sebagai petani telah
mengenal cara bercocok tanam jagung dengan tingkat penerapan teknologi budidaya yang sangat beragam,
mulai dari yang membudidayakan seadanya/sampingan sampai kepada yang maju. Diantaranya bahkan ada
yang menjadikan jagung sebagai komoditi utamanya pada lahan sawah tadah hujan menggerser padi. Jumlah
penduduk yang berprofesi sebagai petani rata-rata di atas 50% dari jumlah penduduk yang mempunyai
pekerjaan tetap, kecuali di Kabupaten Gowa yang hanya 44,7% (Tabel 3).
Tabel 3. Potensi sumberdaya manusia di wilayah penelitian.
Kabupaten

Jumlah
penduduk (org)

Jumlah usia
produktif (org)

Yang sudah
bekerja (org)

Jumlah petani
(org)

Persentase petani
(%)

241.973
279.887

129.249
191.698

106.571
92.161

56.074
52.963

52,6
57,5

Takalar
Pangkep

Sumber: BPS (2004) Kabupaten Takalar dan Pangkep

c.

Perkembangan komoditas jagung

Perkembangan komoditas jagung lebih menonjol di kabupaten sentra produksi yang telah
mengadopsi penggunaan benih jagung hibrida (Kabupaten Takalar). Tingkat produksi yang dicapai selama
lima tahun menunjukkan angka yang lebih besar dibanding dengan pada daerah yang belum maju (Kabupaten
Pangkep). Pada tahun 2003-2004, tingkat produksi di Takalar, 83.850 ton, sedang produksi yang dicapai di
Kabupaten Pangkep masih sangat rendah, yaitu: hanya 704 ton. Penyebabnya adalah tingkat produktivitas
yang lebih tinggi pada daerah maju, yaitu 4,9-5,3 t/ha, sementara pada daerah belum maju hanya 3,2-3,4 t/ha
(Tabel 4).
Tabel 4. Perkembangan luas pertanaman jagung di wilayah penelitian.
Kabupaten
Takalar

Tahun
99/00

00/01

01/02

02/03

03/04

: Luas tanam (ha)


6.483
6.457
4.920
5.547
15.916
Produksi (t)
32.079
32.214
24.095
27.325
83.580
Produktivitas (t/ha)
4,95
4,99
5,06
4,93
5,25
Pangkep : Luas tanam (ha)
707
310
229
227
210
Produksi (t)
2.436
1.006
762
757
704
Produktivitas (t/ha)
3,45
3,25
3,33
3,33
3,35
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Takalar (tahun 2000-2004) dan Pangkep adalah tahun 1999 - 2003.

Pertumbuhan
(%)
43,87
48,62
1,53
-22,66
-22,65
-0,68

Lima tahun yang lalu jagung pernah dikembangkan secara luas di Kabupaten Pangkep dan mampu
menghasilkan biji kering yang memadai, namun tidak dapat diserap oleh pasar sehingga petani trauma dan
tidak lagi tertarik menanam jagung. Hal tersebut nampak dalam perubahan pertanaman dari tahun 1999 ke
tahun 2000 drastis menurun, yaitu lebih dari 50% akibat pengalaman buruk tersebut. Kondisi itu
menyebabkan pertumbuhan produksi minus yang rata-rata selama tahun 1999 sampai 2003 adalah menurun
sebesar 23%.

40

d. Ketersediaan Sarana Produksi


Kesan petani terhadap ketersediaan sarana produksi dapat dilihat dari banyak faktor antara lain:
sumber, ketersediaan, kemudahan mendapatkan, dan keterjangkauan harga.
Petani di Takalar yang
menggunakan benih hibrida menyatakan bahwa ketersediaan dan kualitas benih yang ditanam baik, mudah
didapatkan; tetapi harganya yang terasa mahal, yaitu berada pada kisaran Rp.23.000-Rp.32.000/kg tergantung
jenis dan cara bayar. Pioneer lebih mahal dibanding dengan BISI dan di bayar tunai lebih murah dibanding
dengan yarnen (Tabel 5).
Petani dikabupaten Pangkep masih menggunakan jagung komposit, selain merasakan kualitas
jelek, juga memperolehnya sulit karena tidak diketahui dimana sumbernya. Biasanya benih varietas
komposit berasal dari petugas pertanian (PPL), yang kualitasnya jelek dan tersedianya terlambat, sehingga
menambah kesan jelek terhadap citra varietas jagung komposit. Fakta ini perlu menjadi perhatian khusus
kalau ingin berusaha mengembangkan varietas komposit di tingkat petani. Upaya yang sangat mungkin
dilakukan adalah bekerjasama dengan Dinas Pertanian memperbanyak penangkaran.
Tabel 5. Ketersediaan sarana produksi jagung di wilayah penelitian, 2005
Ketersediaan sarana produksi pada tingkat petani

Uraian
Takalar- Persentase petani (%)
- Sumber
- Ketrsediaan
- Jumlah Kebutuhan (kg,l/ha)
- Kemudahan Memperoleh
- Harga (Rp/kg, l)
- Cara Pembayaran
Pangkep
- Persentase petani (%)
- Sumber
- Ketrsediaan
- Jumlah Kebutuhan(kg,l/ha)
- Kemudahan Memperoleh
- Harga (Rp/kg,l)
- Cara Pembayaran

Benih

Herbisida

Urea

SP36
28,6
Kios
Tersedia
50
Mudah
1.800
Tunai

100,0
Kios
Tersedia
15,8
Mudah
23.000
Tunai

50,0
Kios
Tersedia
1,5
Mudah
45.000
Tunia

100,0
Kios
Tersedia
290,00
Mudah
1.200
Tunai

100
PPL
Sulit
20,6
Sulit
7.000
Tunai

100
Pasar
Tersedia
1,0
Mudah
45.000
Tunai

100
Kios
Tersedia
228
Mudah
1.200
Tunai

KCl
5,0
Kios
Tersedia
36,0
Mudah
2.000
Tunai

0,0
-

0
-

ZA
0
0
-

Sarana produksi lainnya seperti pupuk dan herbisida dinilai petani sudah tersedia cukup baik, karena
pada tingkat kelompokpun sudah ada yang melayani kebutuhan petani, sehingga petani merasakan selalu
tersedia, mudah memperolehnya, dan kualitasnya baik, hanya saja harganya terasa mahal. Jika dibayar tunai
harga urea misalnya hanya Rp.55.000-65.000/sak, sedang kalau dibayar setelah panen (yarnen) harganya
meningkat mencapai Rp.70.000-Rp.80.000/sak.
2.

Identitas Responden

Identitas petani perlu diketahui dalam hubungannya dengan penerapan inovasi teknologi. Faktorfaktor demografi yang banyak menentukan adalah umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman, dan
ketersediaan tenaga keluarga. Semua faktor demografi tersebut di wilayah penelitian mendukung penerapan
teknologi. Umur petani masih dalam batasan usia produktif yang biasanya sangat respon dengan inovasi
baru, pendidikan rata-rata tammat SD, bahkan beberapa diantaranya telah melanjutkan ke SLTP (Tabel 6).
Tabel 6. Identitas Petani Responden di Wilayah Penelitian, 2005
Uraian Identitas Responden
Umur (thn)
Pendidikan (thn)
Pekerjaan pokok
Pengalaman bertani jagung (thn)
Jumlah anggora keluarga (org)
Jumlah yang aktif membantu (org)
Sumber: Data primer setelah diolah, 2005

Kabupaten
Takalar
40,6
7,1
Tani
14,9
3,6
1,5

Pangkep
44,6
6,8
Tani
6,3
3,7
1,7

41

3.

Penerapan Teknologi Budidaya Tanaman Jagung

a.

Kabupaten Takalar

Luas lahan sawah tadah hujan di Takalar mencapai 7.395 ha. Lahan yang banyak dimanfaatkan
untuk pertanaman jagung adalah di Kecamatan Galessong Utara. Pemanfaatannya cukup intensif, yaitu
mencapai Indeks Pertanaman (IP) 300% dengan penanaman padi yang diikuti jagung dua kali dalam setahun
(Gambar 1).
C.hujan (mm/bln)

H.Hujan (hari/bln)

500

20
C.hujan

400

15

H.hujan
300

10
200
5

100
0

0
Nop

Des

Jan

Peb

Mar

Apr

Mei

Padi

Jun

Jagung

Jul

Ags

Sep

Okt

Jagung II/
Jagung
Manis

Gambar 1. Pola curah hujan, hari hujan selama 11 tahun (1994-2004) dan pola tanam pada lahan sawah tadah
hujan di Kecamatan Galesong Utara, 2005

Teknologi yang diterapkan dalam budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan adalah
menggunakan benih jagung hibrida, menggunakan pupuk urea yang banyak, memanfaatkan air tanah dengan
pompa jika tanaman jagung memerlukan irigasi, menggunakan herbisida dalam persiapan lahan (Tabel 7).
Tabel 7. Keragaan penerapan Teknologi Budidaya Jagung pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Kecamatan
Galesong Utara, Takalar, 2005
Uraian
Periode Tanam
Pengolahan
Varietas
Jarak tanam
Pemupukan
Penyiangan
Pengairan
Pengendalian
hama/penyakit
Panen dan
prosessing

Jagung hibrida
April Desember
Traktor 2 kali, sewa Rp.700.000/ha
Bisi-2, P21, P11, P7
70cmx20cm, 1biji/lubang atau
70cmx40cm, 2 biji/lubang
2 kali pada umur 10 hst 200 kg urea/ha, pada
umur 30-35 hst 300 kg urea, ditugal
Cangkul atau herbisda Gramoxon jika rumput
banyak
Curah hujan dan dibantu pompa dari sumur
bor, kedalaman 4-6m
Belalang, dikendalikan dengan Regent

Jagung Manis
Juni Oktober
Herbisida Gramoxone 1,5 l/ha
Jagung manis
60cm x 40 cm, 3 biji/lubang
1 kali pada umur 10 hst dengan
urea saja 200 kg/ha ditugal
Manual cangkul 1 kali pada
umur 30 hst
Diairi 2 kali saja sudah dapat dipanen
Belalang, serangan ringan, dibiarkan

Tebang, kupas klobot, angkut kerumah


Petik dan jual ke penjual jagung rebus atau ke
(Rp.2000/karung pupuk), pipil, jemur 2 hari,
pasar terdekat
jual
Produksi
4-5 t/ha biji kering
300.000 500.000 tongkol/ha
Harga jual
Rp.1.100/kg ditempat petani oleh pedagang
Terjual 80 % dari hasil dengan harga 250-300/
desa. Rp.1.200/kg jika diantar.
tongkol, sisanya untuk keluarga
Sumber: Hasil wawancara dengan petani di Desa Parasangan Beru, Takalar, 2005.

42

b. Kabupaten Pangkep
Untuk merespon permintaan pasar terhadap jagung yang terus meningkat, pemerintah Kabupaten
Pangkep dalam tahun 2006, memprogramkan pengembangan jagung seluas 5000 hektar yang tersebar pada 9
kecamatan, tetapi paling luas adalah di Kecamatan Sigeri dan Mandalle yaitu masing-masing 500 dan 825
ha (Diperta Pangkep 2004).
Preferensi petani terhadap pengembangan jagung ke depan agak beragam tergantung dari
pengalaman mereka. Petani yang ikut dalam penanaman jagung komposit tahun 2004 yang lalu terkesan
jelek karena dua alasan pokok yaitu : (1) benih terlambat datang dan daya tumbuhnyapun rendah (45%)
sehingga banyak petani menanam dua kali dan itu pun kurang berhasil, (2) kesulitan air menjelang
pembungaan (bulan Agustus), karena pada saat itu hujan sudah minim sementara air saluran irigasi juga
sudah terbatas, bahkan sebagian petani mengatakan air sungai ketika itu kadar garamnya sudah tinggi akibat
air permukaan di laut naik dan mengalir masuk ke tambak-tambak nelayan. Meskipun demikian, sebagian
besar petani masih sangat optimis dapat mengembangkan jagung setelah padi asal saja dipenuhi tiga syarat
yaitu: tersedia benih yang baik, ada sumber air untuk mengairi saat pembungaan, dan ada jaminan pasar.
Pola pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di Pangkep adalah penanaman padi rendengan pada
bulan Nopember dan tanam palawija pada bulan Mei/Juni Gambar 2.

C.hujan

800

20

C.hujan (mm/bln)

H.hujan
600

15

400

10

200

0
Nop

Des

Jan

Peb

Mar

Padi Rendengan

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

H.Hujan (hari/bln)

25

1000

Okt

Jagung

Gambar 2. Rata-rata curah hujan, hari hujan selama 11 tahun (1994-2004) dan pola tanam pada lahan sawah
tadah hujan di Kecamatan Mandalle, 2005

Beberapa permasalahan penanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan setelah padi rendengan
antara lain: (1) Curah hujan sering berlangsung lama sehingga di bulan Juni pun masih sering ada hujan lebat
dan banjir terutama pada sawah-sawah yang tidak baik pembuangannya seperti di Desa Manggalung, (2)
Penanaman yang tertunda sampai akhir Juni dikhawatirkan mengalami kekeringan pada periode pembungaan
di bulan September, (3) Pemilik lahan enggan mengijinkan lahannya ditanami jagung karena batang jagung
sulit dibersihkan dan membahayakan bagi buruh tanam pada penanaman padi berikutnya, sementara buruh
tanam sangat terbatas di daerah ini, (4) Penanaman jagung yang tidak serempak pada satu kawasan/hamparan
menjadi ancaman terhadap ternak sapi yang pada priode tersebut sapi masih dilepas liar pada lahan sawah
tadah hujan.
Teknologi budidaya jagung yang diterapkan pada lahan sawah tadah hujan tersebut dinilai cukup
memadai terutama dalam persiapan lahan yang telah memperhitungkan faktor efisiensi, sedang
pemupukannya dan penggunaan varietas masih perlu diperbaiki (Tabel 8).

43

Tabel 8. Keragaan penerapan teknologi budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Mandalle,
Pangkep, 2005
Uraian
Periode Tanam
Penyiapan lahan

Keterangan
Mei/Juni - Agustus/September
TOT Basmillang diberikan 1 hari sebelum tanam, atau Round Up diaplikasikan minggu
sebelum tanam atau olah sempurna dengan bajak atau traktor
Varietas
Lokal, Lamuru tahun 2004, dulu ada jagung kuning (Bisma)
Perlakuan benih
Ada sebagian kecil petani yang merendam dengan karbon batrei 1 batrei/2 kg benih untuk
menghindari semut. Penggunaan Saromil/Ridomil belum umum dilakukan
Jarak tanam
75-100 cmx 25-30cm, 1-2 biji/lubang dilakukan oleh anggota keluarga.
Pemupukan
Hanya menggunakan Urea dan ZA dengan dosis 2 sak urea dan 1 sak ZA/ha. Alasan
menggunakan ZA adalah cepat kelihatan pengaruhnya. Diantaranya ada yang sudah
mencoba pupuk tersebut dilarutkan kemudian disiramkan ke pangkal tanaman pada umur
10-15 hari.
Penyiangan
Manual dengan cangkul atau herbisda Gramoxone jika rumput banyak. Menggunakan
handsprayer yang dilengkapi dengan pembatas di nonselnya
Pengairan
Mengandalkan curah hujan, sebagian petani tetap memanfaatkan pompa dari sumur bor,
kedalamannya 4-6 m
Pengendalian hama
Belum ada hama yang berat serangannya. Hama yang sering muncul adalah penggerek
tongkol yang nampak gejala serangannya pada rambut tongkol.
Panen dan prosessing
Kupas klobot, petik, angkut kerumah, pipil dengan alat tradisionil (pisau atau lempengan
besi, tancapan paku/besi pada kayu) dilakukan oleh anggota keluarga.
Produksi
0 - 3 t/ha biji kering.
Harga jual
Rp.700/kg, Harga yang diinginkan petani Rp.1.500/kg.
Sumber : Hasil wawancara kelompok dengan petani di Coppo Tompong, Parenreng, dan Manggalung, Kecamatan
Mandalle, Pangkep, 2005

Berdasarkan fakta tersebut, perlu upaya pembuatan drainase yang baik untuk mempercepat
penanaman jagung, dan teknologi pengolahan tanah untuk lahan sawah yang dapat menghancurkan
bongkahan tungkul akar jagung, atau perlu diperkenalkan sistem penanaman padi secara tabela, serta
perlunya dibangun kesepakatan untuk penanganan ternak dengan memanfaatkan teknologi integrasi tanaman
pangan dan ternak.
Produksi jagung pada periode pertanaman tersebut sangat baik kualitasnya karena panen
berlangsung pada saat musim kemarau, sehingga petani memungkinkan mendapatkan harga yang lebih baik.
Apalagi dalam periode tersebut tidak ada pasokan jagung dari sentra produksi bagian selatan Sulawesi
Selatan. Oleh karena itu, Kabupaten Pangkep mempunyai peluang yang sangat besar untuk dijadikan sentra
produksi benih jagung komposit mendukung Celebes Corn Belt yang permintaannya besar dan
berkesinambungan.

KESIMPULAN
1. Perluasan areal tanam tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan masih terbuka luas di Kabupaten
Pangkep. Sedang di Takalar, perluasan areal tanam dapat ditempuh dengan mengatur pola tanam dari
padi-padi-jagung menjadi padi jagung jagung. Hal ini sangat memungkinkan karena telah terbukti
jagung dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding padi gadu yang sering kekeringan pada
akhir pertumbuhannya.
2. Ketersediaan sarana produksi berupa benih, pupuk dan herbisida dinilai cukup baik, terutama di wilayah
yang sudah maju, sedang di wilayah yang belum maju ketersediaan masih perlu terus diupayakan agar
dapat dengan mudah terakses petani
3. Keragaman penerapan teknologi budiaya jagung sangat nampak terutama di daerah yang belum maju
perjagungannya (Pangkep)
4. Teknologi yang diperlukan petani pada daerah belum maju adalah penangkaran untuk penyediaan benih
komposit, sedang pada daerah maju adalah penentuan dosis pemupukan yang efisien dan penyiapan lahan
termasuk sistem drainase untuk menetapkan pola tanam yang tepat.

44

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian., 1994. Renstra Badan Litbang Pertanian Tahun 2005-2009.
Balitsereal. 2004. Rencana Strategis Balai Penelitian Tanaman Serealia 2005-2009 (Belum dipublikasikan).
BPS. 2003. Luas lahan menurut penggunaannya di Indonesia. Survei Pertanian. Badan Pusat StatistikJakarta
BPS Kabupaten Pangkep. 2004. Kabupaten Pangkep dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Pangkep, Pangkep
BPS Kabupaten Takalar, 2004. Kabupaten Takalar dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar.
Takalar.
Damardjati, Subandi. I.K.Kariasa, Zubachtirodin, dan Sania Saenong, 2005. Prospek dan arah pengembangan
agribisnis jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta,
51 halaman.
Deptan, 2004. Statistik Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta
Dinas Pertanian Kabupaten Pangkep, 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Pangkep.
Pangkajene Kepulauan.
Dinas Pertanian Kabupaten Takalar, 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Takalar, Takalar.
Subandi dan Hermanto. 2002. Inovasi Teknologi Jagung. Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional.
Puslitbangtan. Bogor.
Subandi dan I.Manwan, 1990. Penelitian dan teknologi peningkatan produksi jagung di Indonesia. Laporan
Khusus. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor, 67 halaman.
Sudjana dan R. Setiyono, 1993. Jagung untuk lahan sawah tadah hujan. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan.
Buku 4. Jagung, Sorgum, Ubikayu, dan Ubi Jalar. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan
II, Jakarta/Bogor 23-25 Agustus, 2003, Bogor. Hal. 1023-1031.

45

PREFERENSI PANELIS PRODUK SIROP BUAH ANGGUR SELAMA PENYIMPANAN


Wayan Trisnawati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Jln. By Pass Ngurah Rai Pesanggran Denpasar
Tlp. (0361) 720498

ABSTRAK
Pertumbuhan tanaman anggur di Indonesia sangat sesuai karena kondisi agroekologi yang cocok, lahan yang
tersedia sangat luas dan memiliki varietas anggur yang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di lingkungan tropis.
Buah anggur merupakan salah satu jenis buah yang mudah rusak. Salah satu pemanfaatan buah anggur Bali selain
dikonsumsi segar sebagai buah meja, dapat diolah menjadi produk olahan, salah satunya berupa sirop anggur. Sirop
adalah cairan berkadar gula tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui preferensi panelis produk sirop anggur
selama penyimpanan. Penelitian dilakukan pada kelompok Wanita Tani Sawitra Harapan Kita di Desa Sanggalangit,
Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng dengan anggota 20 orang. Untuk mengetahui preferensi panelis selama
penyimpanan dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik skala hedonik menggunakan 15 orang panelis. Perlakuan
teridiri dari penyimpanan bulan ke-0, 1, 2, dan 3 dengan panelis sebagai ulangan (15 ulangan). Analisa kimia dilakukan
terhadap vitamin C, pH, total gula, total asam, dan TSS yang bertujuan untuk mengetahui mutu sirop anggur selama
penyimpanan. Data organoleptik dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam dan bila terjadi perbedaan
dilanjutkan dengan uji BNT 5%. Setelah dilakukan analisa data diperoleh bahwa berdasarkan sifat sensorik berbeda nyata
terhadap warna, flavor, rasa manis dan penerimaan secara keseluruhan sedangkan terhadap rasa dimulut tidak berbeda
nyata. Selama 3 bulan penyimpanan produk sirop anggur terjadi penururnan penerimaan panelis dan penurunan mutu
produk berdasarkan kandungan vitamin C, pH, total gula, total asam dan TSS. Penilaian berdasarkan sifat sensorik (uji
organoleptik) sesuai dengan hasil penilaian secara obyektif (analisa kimia) dimana terjadi penurunan mutu produk sirop
anggur selama 3 (tiga) bulan penyimpanan
Kata Kunci : Sirop anggur, preferensi panelis dan penyimpanan

PENDAHULUAN
Tingginya pendapatan dan kesadaran akan pentingnya gizi, maka peluang pemasaran buah-buahan
baik dalam bentuk segar maupun olahan semakin terbuka lebar. Selain itu dampak permintaan buah-buahan
dari luar negeri juga semakin meningkat, dan ada kecenderungan bahwa konsumen luar negeri semakin
menyukai buah-buahan tropis.
Semakin meningkatnya permintaan dan akan adanya pasar bebas, maka peran pasca panen menjadi
sangat penting. Penanganan pasca panen yang baik akan menghasilkan buah bermutu prima sampai di tangan
konsumen, sehingga dapat mendukung keberhasilan persaingan perdagangan buah-buahan.
Pertumbuhan tanaman anggur di Indonesia sangat sesuai karena kondisi agroekologi yang cocok,
lahan yang tersedia sangat luas dan memiliki varietas anggur yang dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik di lingkungan tropis.
Pertumbuhan tanaman anggur sangat tergantung pada faktor iklim yaitu ketinggian tempat (elevasi)
yang berkaitan dengan suhu, kelembaban udara, curah hujan dan sinar matahari. Kondisi pertanaman yang
sangat cocok untuk pembudidayaan adalah dataran rendah beriklim kering pada ketinggian 0-300 meter
diatas permukaan laut (m dpl) dengan suhu 25C-31C, kelembaban udara 40%-80%, intensitas sinar
matahari 50%-80%, memupnyai 3-4 bulan kering dan curah hujan 800 mm/tahun (Rukmana 2005). Kondisi
iklim seperti ini sangat cocok dengan kondisi iklim di Desa Patas Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng
yang merupakan daerah dataran rendah beriklim kering.
Buah-buahan merupakan salah satu sumber makanan berserat yang dianjurkan untuk dikonsumsi,
minimal 300-400 g per hari. Saat ini hampir semua orang menggemari buah anggur karena rasanya enak,
manis, segar, disamping mengandung gizi tinggi terutama vitamin C dan vitamin A. Mengkonsumsi buah
anggur sangat baik untuk memperbaiki sistem kardiovaskuler, (melindungi pembuluh darah arteri), menjaga
kerja ginjal kandung kencing dan menenangkan sistem syaraf (Rukmana, 2005).
Buah anggur Bali selain dikonsumsi segar sebagai buah meja, dapat diolah menjadi produk olahan.
Buah anggur merupakan salah satu jenis buah yang mudah rusak, untuk mengatasinya dapat dilakukan
dengan mengolah menjadi, antara lain juice, jam, kismis, dan lain-lain. Salah satu jenis produk olahan anggur
adalah berupa sirop anggur. Pengolahan ini dapat dilakukan dengan proses sederhana sehingga bisa
dilakukan pada kelompoktani yang merupakan sentra anggur.

46

Sirop adalah cairan berkadar gula tinggi. Untuk rasa dan flavor, gula sirop dilarutkan dengan sari
buah, atau larutan gula ditambah dengan sari buah. Sirop anggur dapat disimpan lama tanpa penambahan
bahan pengawet dan tanpa proses sterilisasi dalam pengemasannya karena tingginya kadar gula (67,5%) dan
rendahnya pH( <4) (Anonim. 1995).
Bahan tambahan lain yang dipakai untuk memberikan cita rasa pada produk diantaranya adalah gula
pasir, asam sitrat, natrium benzoat dan natrium bisulfit. Penambahan gula berfungsi untuk memperbaiki cita
rasa sekaligus sebagai bahan pengawet alami dengan tujuan menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai
bahan pengawet, penggunaan gula pasir minimal 3%. Penggunaan bahan pemanis dalam minuman ringan
adalah untuk memberikan nilai kalori terhadap minuman tersebut. Disamping itu bahan pemanis juga
berfungsi dalam memberikan bentuk dan rasa pada mutu minuman yang dihasilkan (Hidayat dan Agustin,
2005).
Asam sitrat merupakan senyawa intermedier dari asam organik yang berbentuk kristal atau serbuk
putih. Sifat asam sitrat adalah mudah larut dalam air, spritus, etanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, jika
dipanaskan akan meleleh kemudian terurai selanjutnya terbakar sampai menjadi arang (Hidayat dan Agustin,
2005). Pemberian asam sitrat pada minuman bertujuan untuk memberikan rasa asam, memodifikasi manisnya
gula, berlaku sebagai pengawet dan dapat mempercepat inversi gula dalam minuman. Penggunaan
maksimum pada minuman adalah sebesar 3 gram/liter sari buah.
Penambahan bahan pengawet berfungsi untuk memperpanjang umur simpan suatu makanan, dengan
jalan menghambat pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu sering pula disebut sebagai senyawa antimikroba.
Asam benzoat seringkali digunakan sebagai antimikroba dalam makanan seperti sari buah, minuman ringan
dan lain-lain. Garam sodium dari asam benzoat lebih sering digunakan karena bersifat lebih larut air
daripada bentuk asamnya. Asam benzoat sering dikombinasikan dengan asam sorbat dan ditambahkan dalam
jumlah sekitar 0,05-0,1% berat bahan (Anonim, 2002).
Penilaian mutu suatu komoditi/produk, umumnya ditentukan dari hasil penilaian dengan
menggunakan indera, karena dapat dengan cepat dan mudah serta langsung dilakasanakan. Kadang-kadang
hasilnya bisa melebihi ketelitian suatu alat, dimana hasil penilaian ini dapat menggambarkan mutu produk
secara subyektif (Anonim. 1991).
Produk pangan mempunyai atribut mutu yang terdiri dari obyektif (dikaitkan dengan instrumen
fisik/peralatan) dan subyektif yang diukur dengan respon/kesan/tanggapan manusia. Salah satunya adalah
sifat organoleptik
skala hedonik, disini diharapkan panelisnya dapat mewakili konsumen untuk
menggambarkan sifat mutu suatu produk yang berkaitan dengan sifat manusiawi, rohani dan kejiwaan yang
mencicipi. Pengukuran sifat hedonik ini merupakan kelompok mutu organik yang nyata, apakah produk
tersebut disenangi atau tidak disenangi (Anonim. 1991).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui preferensi panelis produk sirop anggur selama
penyimpanan.

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilakukan pada kelompok Wanita Tani Sawitra Harapan Kita di Desa Sanggalangit,
Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng dengan anggota 20 orang.
Pengolahan produk dilakukan pada kelompoktani dan analisa kimia, uji organoleptik dilakukan di
Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil, Universitas Udayana.
Bahan lain yang dipakai dalam pengkajian adalah buah anggur Bali apkir, gula pasir, asam sitrat dan
pengental (CMC). Kemasan menggunakan botol kaca volume 600 ml
Penyimpanan dilakukan selama 3 bulan. Untuk mengetahui preferensi panelis selama penyimpanan
dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan
penerimaan secara keseluruhan menggunakan skala hedonik dengan skor 1 sampai 5. Perlakuan terdiri dari
penyimpanan bulan ke-0, 1, 2, dan 3. Sedangkan yang dianggap sebagai ulangan adalah panelis (terdiri dari
15 panelis).
Analisa kimia dilakukan terhadap vitamin C, pH, total gula, total asam, dan TSS yang bertujuan
untuk mengetahui mutu sirop anggur selama penyimpanan.
Data organoleptik yang terkumpul dianalisa menggunakan analisa sidik ragam dan bila terjadi
perbedaan dilanjutkan dengan uji BNT 5%.

47

Proses Pengolahan
1.
2.
3.

4.
5.

6.

Pilih buah anggur yang masak, lalu dicuci bersih


buah anggur dibelah dua, bijinya dibuang daging buahnya di hancurkan menjadi bubur buah, disaring
sehingga diperoleh sari buah anggur
Sari buah dipanaskan dan bersamaan dengan pemanasan ini ditambahkan gula, asam sitrat dan pengental
(CMC). Untuk 1 liter sari buah ditambahkan 800 gr gula pasir, 2 gr asam sitrat, 1 % bahan pengental/
CMC dari volume yang dibuat)
Campuran ini dipanaskan sampai suhu 90C selama 15 menit
Pembotolan : botol yang akan dipakai dipasteurisasi dengan dipanaskan dalam air mendidih. Sirup
dimasukkan kedalam botol yang masih panas, kemudian botol langsung ditutup. Selanjutnya botol
tertutup tadi direbus kembali. dalam air mendidih pada suhu 100C selama 30 menit
Penyimpanan sirup dapat dilakukan pada suhu kamar

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan analisa statistik, preferensi panelis terhadap produk sirop anggur selama penyimpanan
berbeda nyata terhadap warna, flavor, rasa manis dan penerimaan secara keseluruhan (Tabel 1).
Penyimpanan bulan ke-0 penerimaan panelis secara keseluruhan sangat menyukai produk sirop
dengan skor berkisar 4.00. Dengan semakin lama masa simpan produk preferensi panelis semakin menurun,
baik terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan.
Tabel 1. Preferensi Panelis Produk Sirop Buah Anggur Selama Penyimpanan
Penyimpanan
(bulan ke-)

Warna

0
4,00a
1
3,47a
2
3,07ab
3
2,53b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf
uji DMRT 5%

Flavor

Rasa Manis

Rasa Dimulut

Penerimaan
Keseluruhan

3,67a
4,00a
3,87a
4,07a
2,93a
3,27b
3,33a
3,27b
2,73b
3,60ab
3,53a
3,67ab
2,67b
2,93b
3,20a
2,87b
sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

Preferensi panelis terhadap warna produk sirop menunjukkan penurunan mulai bulan ke-1 dengan
skor 3.47 (antara suka sampai biasa/netral). Penurunan penerimaan panelis secara nyata kelihatan pada bulan
ke-3 dengan skor 2.53 (antara biasa sampai tidak suka). Penurunan penerimaan panelis terhadap warna
produk sirop disebabkan karena terjadinya pengendapan produk sehingga warna produk sedikit pudar/lebih
bening dibandingkan dengan warna produk pada awal penyimpanan.
Perubahan flavor mulai berbeda nyata pada bulan ke-2, terjadi penurunan preferensi panelis dengan
skor 2.73 (antara biasa/netral sampai tidak suka). Terjadinya penurunan flavor sirop anggur selama
penyimpanan disebabkan karena terjadinya penguraian gula menjadi asam sehingga keasaman produk
meningkat dimana akan mempengaruhi cita rasa produk menjadi lebih menyengat.
Prefernsi panelis terhadap rasa manis produk selama penyimpanan juga menurun. Perbedaan yang
nyata mulai terlihat pada penyimpanan bulan ke-1 yang terus menurun sampai penyimpanan bulan ke-3
dengan skor 2.93.
Secara keseluruhan, preferensi panelis terhadap produk sirop anggur mulai kelihatan berbeda pada
penyimpanan bulan ke-1 dan pada bulan ke-3 penerimaan panelis dengan skor 2.87 (antara biasa/netral
sampai tidak suka).
Tabel 2. Analisa Kimia Produk Sirop Buah Anggur Selama Penyimpanan
Penyimpanan
(bulan ke-)
0
1
2
3

Vitamin C
(mg/100 gr)
9,72
5,82
2,19
1,46

pH
3,10
3,59
3,52
3,74

Total Gula
(%b/v)
15,64
14,39
14,06
12,81

Total Asam
(%b/V)
1,00
1,17
1,12
0,04

TSS
(% brix)
19,00
20,30
18,80
18,60

Sumber : data hasil analisa laboratorium

48

Analisa kimia terhadap produk sirop anggur dipakai sebagai gambaran dari evaluasi subyektif
sehingga kita bisa mengetahui mutu prodok melalui penerimaan panelis dengan mutu produk berdasarkan
hasil analisa kimia.
Hasil analisa produk sirop anggur selama 3 (tiga) bulan penyimpanan terhadap kandungan vitamin
C menurun. Hal ini disebabkan karena sifat dari vitamin C yang mudah teroksidasi baik oleh perlakuan panas
maupun perlakuan lainnya (Winarno, 1984).
Kadar gula total sangat dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, dimana kadar gula total cenderung
menurun selama penyimpanan. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan total gula menjadi asam atau
alkohol. Selama penyimpanan terjadi perubahan glukosa menjadi asam, yang akan berpengaruh pada
penurunan kadar gula total.
pH adalah salah satu indikator yang penting dalam prinsip pengawetan bahan pangan. Hal ini
dikarenakan pH berkaitan dengan ketahanan hidup mikroba. Dengan semakin rendahnya pH, maka bahan
pangan dapat lebih awet karena mikroba pembusuk tidak dapat hidup. Selama penyimpanan pH cenderung
menurun kemudian meningkat pada penyimpanan bulan ke-3. Hal ini mungkin disebabkan karena penguraian
glukosa menjadi asam (Barlina, et al. 2004).
Hasil tertinggi total asam terdapat pada penyimpanan bulan ke-1, hal ini disebabkan komponenkomponen yang ada dalam bahan telah terdegradasi menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Sedangkan pada bulan berikutnya terjadi penurunan total asam, hal ini disebabkan asam-asam yang
dihasilkan bila diurai lebih lanjut akan menjadi senyawa volatil (Dwidjoseputro, 1985).
Produk sirop memiliki kandungan vitamin C, kadar gula total dan TSS yang cukup tinggi, ini
disebabkan karena produk sirop merupakan minuman ringan berupa larutan kental sehingga bisa disimpan
lama tanpa penambahan bahan pengawet dan tanpa proses sterilisasi dalam pengemasannya dengan pH <4.
Peningkatan TSS dgn makin lama penyimpanan disebabkan karena komponen-komponen yang
komplek seperti protein dan karbohidrat terurai menjadi persenyawaan yang lebih sederhana, sehingga terjadi
kenaikan total padatan terlarut. Senyawa-senyawa sederhana ini mudah larut dalam air. Penyimpanan pada
bulan ke-2 yotal padatan terlarut mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena kemungkinan senyawasenyawa yang telah terdegradasi ini sebagian telah diuraikan lagi menjadi senyawa volatil. (Dwidjoseputro,
1985).
Penilaian berdasarkan sifat sensorik (uji organoleptik) sesuai dengan hasil penilaian secara obyektif
(analisa kimia) dimana terjadi penurunan mutu produk sirop anggur selama 3 (tiga) bulan penyimpanan.

KESIMPULAN
1. Sifat sensorik produk sirop anggur selama penyimpanan berbeda nyata terhadap atribut warna, flavor,
rasa manis dan penerimaan secara keseluruhan. Sedangkan terhadap rasa dimulut tidak berpengaruh
2. Selama 3 (tiga) bulan penyimpanan, terjadi penurunan penerimaan panelis terhadap warna, flavor, rasa
manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan
3. Hasil analisa secara obyektif (analisa kimia) selama penyimpanan menunjukkan penurunan mutu produk
dilihat dari kandungan vitamin C, pH, total gula, total asam dan TSS
4. Penilaian berdasarkan sifat sensorik (uji organoleptik) sesuai dengan hasil penilaian secara obyektif
(analisa kimia) dimana terjadi penurunan mutu produk sirop anggur selama 3 (tiga) bulan penyimpanan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. Sifat Sensorik Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Universotas Gajah Mada.
Anonim. 1995. Standar Nasional Indonesia. Dewan Standarisasi Nasional-DSN.
Anonim. 2002. Bahan Tambahan Makanan: Fungsi dan Penggunaannya Dalam Makanan. Medikasari Institut
Pertanian Bogor December 2002. Diakses dari http://tumoutou.net/medikasari.htm, tgl 23 agustus
2006.

49

Barlina, R; Steivie Karouw; Juni Towaha dan Ronald Hutapea. 2004. Pengaruh Perbandingan Air Kelapa dan
Penambahan Daging Kelapa Muda Serta Lama Penyimpanan Terhadap Serbuk Minuman Kelapa.
Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Menado.
Dwidjoseputro, D. 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan. Malang Fardiaz, S. 1990.
Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjutan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Hidayat. N dan Wike Agustin Prima Dania. 2005. Minuman Berkarbonasi dari Buah Segar. Trubus
Agrisarana.2005.
Rukmana Rahmat. H. 2005. Anggur Budidaya dan Penanganan Pasca Panen. Kanisius.
Winarno, 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia. Jakarta.

50

KAJIAN SUMBER KHITOSAN SEBAGAI BAHAN PELAPIS, PENGARUHNYA TERHADAP


MASA SIMPAN DAN KARAKTERISTIK BUAH MANGGA SELAMA PENYIMPANAN
(Study of chitosan sources as a coating agent on characteristics and self-life of mango during storage )
Jayaputra, dan Nurrachman
Program Studi Hortikultura, Fak. Pertanian. Universitas Mataram

ABSTRACT
The aim of the research was to study (1) the effect appliction of chitosan on physico-chemistry mango
characteristics, and (2) self-life of mango. The experiment was conducted in Laboratory on September October 2005.
Factorial experiment was arranged in Completely Randomized Design and consisted of two factors, 2 sources of
chitosan, shrimp and crab-shell and 4 levels of chitosan, i.e 0.5%, 1%, 1.5% and 2% (w/v); each treatment was
replicated 3 times. Data were analyzed by SAS for window release 6.12. The result showed that there is no interaction
between sources and levels of chitosan on mango characteristic during storage. Source of chitosan have no effect on total
sugar, titratable acid, weight loss, firmness, and colours, where as, Levels of chitosan have signifantly difference on total
sugar, titratable acid, firmness and colours. Self-life of mango is 15 days for levels of chitosan 0.5%; 1% and 2.0%,
where as 20 days for 1.5% (w/v).
Key Words : Chitosan, mango, concentration, self-life, physico-chemistry

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Nusa Tenggara Barat, mangga merupakan salah satu produk hortikukltura yang mempunyai
prospek cukup baik. Pada umumnya mangga dipasarkan dalam suasana suhu ruang. Cara pemasaran ini akan
berpengaruh terhadap kecepatan kemunduran kualitas buah dan masa simpan, dan lebih lanjut berpengaruh
terhadap ketersediaan dan pemasaran buah.
Buah setelah dipanen masih melakukan proses metabolisme menggunakan cadangan makanan yang
terdapat dalam buah. Berkurangnya cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah
terpisah dari pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan mempercepat senesen (
Wills et al. 1998; Kays 1991). Metode yang digunakan untuk menghambat proses metabolisme pada buah
dapat diatasi dengan penyimpanan atmosfer terkendali (Kader 1985; Stow 1995; Siddiqui et al. 1996).
Metode ini memerlukan biaya yang tinggi (Knee 1993). Metode lain yang lebih praktis adalah dengan meniru
mekanisme atmosfer termodifikasi yaitu dengan penggunaan bahan pelapis (coating) (Kays 1991; Baldwin
1994), misalnya dengan penggunaan chitosan.
Chitosan, polisakarida yang berasal dari limbah kulit udang-udangan (Crustaceae), kepiting dan
rajungan (Crab). Chitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis buah-buahan misalnya pada
tomat (El-Ghaouth et al. 1992a) dan leci (Zhang dan Quantrick 1997). Sifat lain chitosan adalah dapat
menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi chitin yang
merupakan penyusun dinding sel fungi, sehingga ada kemungkinan dapat digunakan sebagai fungisida
(Baldwin 1994; Nisperos-Carriedo 1994; El-Ghaouth et al. 1992a ).
Berdasarkan uraian di atas maka telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan khitosan
dari berbagai sumber sebagai pelapis edibel terhadap umur simpan dan karakteristik kimia buah mangga
selama penyimpanan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mempelajari pengaruh penggunaan pelapis edibel khitosan
terhadap karakteristik kimia buah mangga selama penyimpanan, (2) Mempelajari penggunaan pelapis
edibel khitosan terhadap umur simpan buah mangga.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan percobaan di
Laboratorium. Pelaksanaan percobaan mulai September sam pai Oktober 2005 di Laboratorium Teknologi
Hasil Pertanian, Laboratorium/Studio Gambar Hortikultura Fakultas Pertanian dan Laboratorium Analitik

51

Universitas Mataram. Percobaan dirancang secara faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu Sumber
Chitosan dan Konsentrasi Chitosan. Sumber Chitosan terdiri dari dua taraf, yaitu sumber dari Udang dan
sumber dari Rajungan); dan Konsentrasi Chitosan terdiri dari tiga taraf, yaitu :Pelapisan 0,5% (b/v),
Pelapisan 1% (b/v), Pelapisan 1,5% (b/v), dan Pelapisan 2% (b/v). Dari dua faktor di atas maka terdapat 2 x 4
= 8 kombinasi atau perlakuan. Masing-masing perlakuan di ulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit
percobaan.
Peubah yang diamati adalah susut bobot, kenampakan dan perubahan fisik buah, total gula dan total
asam serta uji organoleptik yang diamati setiap 5 hari sekali setelah penyimpanan. Semua data yang
diperoleh dianalisis dengan Generalized Linear Model menggunakan program Statistical Analysis Sistem
(SAS) for Windows Release 6.12. Jika terdapat hasil yang signifikan selanjutnya dilakukan uji lanjutan Uji
Beda Nyata Jujur (BNJ) pada tarap nyata 5%., sedangkan untuk uji interaksi antar perlakuan digunakan uji
Least Square Mean.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Secara umum dari hasil pengamatan dan analisis keragaman (Anova 5%) menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh nyata jenis bahan khitosan maupun konsentrasi, namun keduanya (jenis bahan dan
konsentrasi khitosan) tidak menunjukkan adanya interaksi yang nyata.
Susut Bobot Buah mangga
Pengaruh bahan khitosan dan konsentrasi khitosan terhadap Susut Bobot buah mangga arumanis
selama penyimpanan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Susut Bobot (%) Buah Mangga Arumanis Selama Penyimpanan
Perlakuan
Khitosan udang
Khitosan rajungan
BNJ 5%
Konsentrasi 0,5 %
Konsentrasi 1,0 %
Konsentrasi 1,5 %
Konsentrasi 2,0 %

5 HSP
9,6
6,1
10,3
9,45
4,6
7,05
-

Susut Bobot (%) pada


10 HSP
15 HSP
9,6
10,36
6,61
5,41
10,31
10,53
9,45
5,14
4,6
8,95
7,05
3,7
-

20 HSP
0,72
0,47
*
*
2,38
*
-

BNJ 5%
Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan
*
: Tidak ada data (buah telah rusak decaying)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%

Tabel di atas juga menunjukkan bahwa konsentrasi 0,5%, 1,0% dan konsentrasi 2,0% hanya mampu
mempertahankan kesegaran buah mangga hingga hari ke 15. Sedangkan konsentrasi 1,5% dapat
mempertahankan kesegaran hingga hari ke 20.
Susut bobot buah mangga cenderung meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu
penyimpanan. Peningkatan susut bobot buah mangga ini disebabkan oleh adanya penguapan dan perubahanperubahan yang terjadi di dalam buah mangga yang dipacu oleh adanya proses respirasi yang terjadi selama
penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardi dan Yuniarti (1986), yang menyatakan bahwa
penyusutan atau pengurangan berat bahan terus berlangsung selama penyimpanan sebagai akibat dari adanya
proses respirasi.
Fenomena yang dapat terlihat jelas adalah bahwa bahan khitosan maupun konsentrasi 1,5% mampu
mempertahankan kesegaran buah hingga hari ke-20, hal ini diduga karena bahan pelapis khitosan dapat
menutup seluruh permukaan buah mangga dengan sempurna sehingga O 2 yang akan masuk ke dalam buah
dapat dihambat dan menyebabkan terhambatnya proses respirasi, sedangkan konsentrasi 0,5%; 1,0%, dan
2,0% hanya sampai 15 hari. Hal ini disebabkan oleh lapisan pelapis sangat tipis sehingga buah mangga masih
dapat melakukan proses respirasi atau buah mangga tersebut kurang memiliki lapisan yang berfungsi
menghambat masuknya oksigen yang mengakibatkan terjadinya penguraian molekul kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana.
Perlakuan dengan khitosan 1,5% mampu menekan susut bobot buah mangga selama penyimpanan.
Hal ini diduga karena adanya penghambatan penguapan air yang disebabkan oleh adanya lapisan yang
menutup pori-pori buah. Pada konsentrasi ini diduga kekentalan larutan pelapis cukup baik dalam pelapisan

52

atau penutupan permukaan buah. Hal ini didukung oleh pendapat Hofman (1997) dan Hagenmeier (1995)
menyatakan bahwa kehilangan berat disebabkan oleh proses biologis yang terus berlangsung yaitu proses
respirasi secara sempurna sehingga gula reduksi terombak menjadi CO 2 dan H2O yang mudah menguap.
Kadar Gula Reduksi Buah Mangga
Tabel 2. Kadar Gula Reduksi (%) Buah Mangga Arumanis Selama Penyimpanan
Kadar Gula Reduksi (%) pada

Perlakuan
Khitosan udang
Khitosan rajungan
BNJ 5%
Konsentrasi 0,5 %
Konsentrasi 1,0 %
Konsentrasi 1,5 %
Konsentrasi 2,0 %

5 HSP

10 HSP

15 HSP

20 HSP

19.13
17.17
17.6
17.17
23.08
13.5
-

30.65
24.57
22.5 b
27.75 ab
36.55 a
23.65 ab
13.69

34.5
31.83
28.1 ab
32.65 ab
40.55 a
21.37 b
18.96

12.96
3.6
*
*
33.13
*
-

BNJ 5%
Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan
*
: Tidak ada data (buah telah rusak - decaying)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%

Terdapat pengaruh nyata konsentrasi khitosan terhadap kadar gula reduksi buah mangga (Tabel 2).
Data Tabel 2 juga menginformasikan bahwa terdapat suatu pola perubahan kadar gula reduksi buah mangga,
yaitu terjadi peningkatan dari hari ke 5 hingga 15 untuk kadar gula reduksi pada konsentrasi khitosan 0,5% 1,5%. Sedangkan peningkatan kadar gula reduksi pada tingkat konsentrasi khitosan terjadi di hari ke-10
penyimpanan. Setelah terjadi peningkatan, pada masing-masing hari yang telah disebutkan tersebut,
penurunan kadar gula reduksi terjadi.
Peningkatan kadar gula reduksi dari hari ke-5 hingga hari ke-15 HSP diduga karena proses hodrolisa
pati menjadi gula-gula sedehana (glukosa dan fruktosa) dengan bantuan enzim-enzim yaitu enzim amilase,
fosforilase, dan invertase yang terdapat di dalam buah berjalaan lancar. Namun setelah hari ke-15 HSP,
bahan atau substrat respirasi yang berupa pati sudah mulai berkurang sehingga sebagai akibatnya kecepatan
respirasi berkurang. Selain dari pada itu gula yang telah ada juga kemudian digunakan bagi proses
metabolisme. Wills (1998) dan Baldwin (1994) menjelaskan bahwa dalam proses pematangan selama
penyimpanan buah, zat pati seluruhnya dihidrolisa menjadi sukrosa yang kemudian berubah menjadi gulagula reduksi sebagai substrat dalam respirasi. Penurunan kadar gula reduksi buah mangga yang terjadi diduga
karena laju respirasi lanjutan yang merupakan pemecahan gula reduksi menjadi asam piruvat dan selanjutnya
menghasilkan CO2 dan H2O.
Dengan demikian, jelaslah bahwa semakin lama penyimpanan maka kadar gula reduksi buah
mangga semakin meningkat sampai kadar tertentu dan selanjutnyaakan menurun kembali. Hal ini didukung
oleh pendapat Kays (1991) dan Will at al., (19989), bahwa kecenderungan yang umum terjadi pada buah
selama penyimpanan adalah terjadi kenaikan kandungan gula yang kemudian disusul dengan penurunan.
Perubahan kadar gula reduksi tersebut mengikuti pola klimakterik yang merupakan pola respirasi buah
mangga seperti yang dijelaskan oleh Baldwin et al. (1999), bahwa pada buah yang tergolong klimakterik,
respirasinya meningkat dari hari ke-0 sampai hari ke-5 dan mencapai puncaknya pada hari ke-5 dan ke-9,
setelah itu menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun.
Pada buah mangga yang dicelupkan dalam larutan khitosan 0,5% diperoleh kadar gula reduksi
terendah. Hal ini diduga bahwa pelapisan dengan khitosan 0,5% sudah mampu menghambat proses respirasi
karena pori-pori buah tertutup lapisan khitosan, namun belum mampu menutup keseluruhan pori-pori buah
secara sempurna sehingga pengaruh yang terlihat hanya sedikit. Sementara total kadar gula reduksi pada
buah mangga yang dicelupkan pada larutan khitosan 1,5% memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada 0,5% ;
1,0% dan 2,0%. Hal ini diduga karena pada pencelupan buah mangga dalam larutan khitosan 1,5% hampir
semua pori-pori buah mangga dapat tertutup lapisan khitosan sehingga dimungkinkan terjadinya respirasi
anaerobik dan CO2 yang dihasilkan pada proses respirasi tersebut terhambat keluar karena pori-pori buah
tertutup lapisan khitosan.
Penurunan kadar gula reduksi juga disebabkan karena pada hari ke-15 terjadi kenaikan intensitas
kerusakan yang diduga disebabkan oleh aktivitas mikroba. Hal ini terjadi pada buah mangga yang dilapisi
dengan khitosan yang berbahan udang dan dapat dilihat pada kenampakan buah mangga pada hari ke-15
penyimpanan yang disebabkan oleh tipisnya kandungan khitin sehingga dapat ditembus oleh mikroba (data
tidak ditampilkan).

53

Total Asam Buah Mangga


Tabel 3. Total Asam (ml NaOH/g) Buah Mangga Arumanis Selama Penyimpanan
Total Asam (ml NaOH/g) pada

Perlakuan
Khitosan udang
Khitosan rajungan
BNJ 5%
Konsentrasi 0,5 %
Konsentrasi 1,0 %
Konsentrasi 1,5 %
Konsentrasi 2,0 %

5 HSP

10 HSP

15 HSP

20 HSP

9.95
12.85
3.55 b
6.15 b
17.5 a
18.4 a
8.4

7.28
5.45
2.50 b
2.67 b
12.15 a
8.15 ab
6.6

4.78
3.07
1.7 b
1.96 b
8.15 a
3.19 b
4.8

1.26
0.96
*
*
4.46
*
-

BNJ 5%
Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan
*
: Tidak ada data (buah telah rusak - decaying)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%

Terdapat fenomena total asam buah mangga yang semakin menurun sejak dari hari ke 10 sampai
hari ke 20 setelah penyimpanan. Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa pada hari ke 5 HSP sudah terlihat adanya
pengaruh nyata konsentrasi khitosan. Sedangkan jenis bahan khitosan yang digunakan tidak berpengaruh
nyata. Begitu juga pada 10 dan 15 HSP, ada pengaruh nyata konsentrasi khitosan namun tidak pada jenis
bahan khitosan yang digunakan.
Penurunan total asam tersebut diduga sebagai akibat penggunaan asam-asam organik sebagai bagian
dari seluruh jumlah total asam yang terdapat di dalam buah sebagai substrat sumber energi dalam proses
respirasi. Akibat dari penggunaan asam-asam organik tersebut maka jumlah asam organik akan menurun
yang menyebabkan nilai total asam juga akan menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat hofman et al. (1997)
dan Baldwin (1999) menyatakan bahwa secara keseluruhan pada buah klimakterik jumlah asam organik akan
menurun secara cepat selama penyimpanan, terjadi peningkatan laju respirasi yang membutuhkan banyak
energi sehingga terjadilah penggunaan asam-asam organik yang tersedia di dalam buah sebagai substrat
sumber energi.
Perbedaan hasil total asam dari berbagai konsentrasi berarti bahwa pencelupan buah dalam larutan
khitosan mampu menghambat penurunan total asam buah mangga, yang diduga bahwa penggunaan larutan
khitosan mampu menghambat metabolisme dalam buah sehingga perubahan kadar asam lebih lambat. Hal ini
juga diduga karena terjadi sintesa asam-asam organik dari gula-gula yang terbentuk selama penyimpanan
buah mangga, hal ini diduga juga berkaitan dengan penggunaan asam-asam organik sebagai sumber energi
cadangan yang lain terutama gula-gula sederhana sehingga akan mengurangi jumlah total asam.
Hasil penelitian Suhardi dan Yuniarti (1996) menyatakan bahwa kadar total asam buah apel
mengalami penurunan selama penyimpanan. Penurunan tersebut disebabkan karena asam malat yang
merupakan kandungan asam organik utama pada buah apel bersama-sama dengan gula yang digunakan
sebagai substrat utama untuk respirasi, sehingga pada proses pematangan dalam penyimpanan kandungan
asam menurun. Penurunan total asam tersebut terjadi bersama-sama dengan penurunan kadar pati dan
meningkatnya kadar gula reduksi.
Tingkat Kekerasan Buah Mangga
Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa tingkat kekerasan buah mangga terus berkurang seiring
dengan lamanya waktu penyimpanan yang menandakan semakin masaknya buah atau buah tersebut sedang
menuju kepada telah tercapainya waktu senesen pada buah mangga tersebut. Berkurangnya kekerasan
ditunjukkan oleh angka skala penetrimeter (Tabel 4). Perubahan tingkat kekerasan ini diduga dipengaruhi
oleh turgor sel yang selalu berubah sejalan dengan terjadinya pemasakan buah. Oleh Kays (1991) dinyatakan
bahwa perubahan tekanan turgor sel diakibatkan oleh perubahan komponen penyusun dinding sel yang terdiri
dari pektin yang merupakan penyusun utama, sellulosa dan sedikit hemiselulosa. Komposisi sebagai
penyusun dinding sel.

54

Tabel 4. Tingkat Kekerasan (kg/cm2) Buah Mangga Arumanis Selama Penyimpanan


Tingkat Kekerasan (Kg/cm2) pada

Perlakuan
Khitosan udang
Khitosan rajungan
BNJ 5%
Konsentrasi 0,5 %
Konsentrasi 1,0 %
Konsentrasi 1,5 %
Konsentrasi 2,0 %

5 HSP

10 HSP

15 HSP

20 HSP

4.13
4.07
3.87
4.38
3.8
4.33
-

3.25 a
2.4 b
0.684
2.15 ab
2.25 b
2.85 ab
3.75 a
1.3

1.58
1.4
1.57
1.32
1.73
1.33
-

0.22
0.23
*
*
0.9
*
-

BNJ 5%
Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan
*
: Tidak ada data (buah telah rusak - decaying)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa perubahan tingkat kekerasan sangat nyata terlihat pada hari ke-10
penyimpanan pada bahan khitosan dan konsentrasi yang digunakan. Hal tersebut membuktikan bahwa
semakin tinggi konsentrasi, maka semakin lama tingkat kekerasan tersebut dapat dipertahankan. Hal ini
disebabkan oleh semakin tebalnya lapisan yang menutup pori-pori buah untuk mengurangi proses respirasi
dan transpirasi yang terjadi di dalam buah. Transpirasi pada buah menyebabkan ikatan sel menjadi longgar
dan ruang udara menjadi besar seperti mengkeriput, keadaan sel yang demikian menyebabkan perubahan
volume ruang udara, tekanan turgor dan kekerasan buah (Suhardjo, 1992). Buah, dalam proses pematangan
mengalami penurunan tingkat kekerasan yang disebabkan oleh perkembangan jaringan sel dan perubahan
komposisi dinding sel buah selama proses pematangan dan proses respirasi.
Pelunakan buah berhubungan dengan degradasi pektin pada dinding sel dan lamela tengan menjadi
fraksi-fraksi dengan berat molekul rendah, sehingga larut dalam air. Pelunakan buah disebabkan oleh proses
respirasi yang terjadi selama penyimpanan buah yang menyebabkan perubahan-perubahan seperti perubahan
substansi pektin dari yang tidak larut menjadi larut, perombakan pati menjadi gula-gula sederhana sehingga
keterikatan antar sel menjadi berkurang dan tekstur buah menjadi lunak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Apandi (1984), yang menyatakan bahwa perubahan tekstur buah
disebabkan karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dinding sel, menurunnya kandungan pati karena
terhidrolisa menjadi gula-gula sederhana.
Perubahan Warna Buah Mangga
Pada semua tingkat konsentrasi, nilai tingkat perubahan warna buah mangga cendrung meningkat
dari hari ke 5 sampai hari ke 15 penyimpanan. Tabel 5 menunjukkan bahwa pada hari ke 5 sudah ada
pengaruh nyata pada konsentrasi khitosan namun tidak pada jenis bahan khitosan yang digunakan. Pada hari
ke 10 tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata baik pada jenis bahan khitosan maupun pada konsentrasi
khitosan yang digunakan. Namun pada hari ke 15 kembali terlihat adanya pengaruh yang nyata pada
konsentrasi khitosan yang digunakan.
Tabel 5. Perubahan Warna Kulit (%) Buah Mangga Arumanis (dari warna hijau ke warna kuning) Selama
Penyimpanan
Perubahan Warna Kulit Buah (%) pada

Perlakuan
Khitosan udang
Khitosan rajungan
BNJ 5%
Konsentrasi 0,5 %
Konsentrasi 1,0 %
Konsentrasi 1,5 %
Konsentrasi 2,0 %

5 HSP

10 HSP

15 HSP

20 HSP

0.83
3.33
0b
0b
8.33 a
0b
3.53

15.23
21
12
14.89
25
20.58
-

31.42
39.42
25 b
30.25 ab
48.35 a
38.1 ab
15.45

17.5
22.5
*
*
80
*
-

BNJ 5%
Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan
*
: Tidak ada data (buah telah rusak - decaying)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%

Untuk kebanyakan buah, tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau. Kandungan
klorofil buah yang sedang masak lambat laun berkurang, pada umumnya sejumlah zat warna hijau tetap

55

terdapat dalam buah, terutama dalam jaringan bagian-bagian dalam buah. Beberapa penulis melaporkan
adanya kegiatan klorofilase maksimum pada buah pisang dan apel pada waktu klimakterik. Oleh karena itu
mereka menyimpulkan bahwa mungkin klorofilase bertanggung jawab atas penguraian klorofil.
Dari hasil pengamatan dapat dilihat perubahan warna terjadi setelah hari ke-5 penyimpanan. Hal ini
dikarenakan pada buah mangga selama tahap-tahap pematangan terjadi sintesis karotenoid secara drastis.
Dinyatakan oleh Pantastico (1989) bahwa -karoten pada buah mangga yang matang terdiri dari kira-kira 16
hidrokarbon dan oksikarotenoid yang berbeda. Khususnya -karoten yang cukup besar dalam buah.
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat adanya perubahan warna atau tepatnya perubahan warna hijau pada
buah pada hari ke-10 penyimpanan. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan di dalam jaringan kulit buah
khususnya unsur-unsur pigmen. Tetapi kerusakan pada kulit buah tersebut tidak berpengaruh pada daging
buah. Perubahan warna selama penyimpanan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada lampiran.
Rasa Buah Mangga
Selain perubahan-perubahan yang terjadi di atas, selama penyimpanan buah juga akan mengalami
perubahan dari segi rasa. Uji organoleptik terhadap rasa buah pada setiap perlakuan dilakukan saat buah
dalam satu ulangan sudah mengalami perubahan warna, tekstur dan kelayakan ekonomi telah mencapai 50%.
Perubahan warna yang dimaksud adalah terjadinya degradasi atau perubahan warna dari hijau ke jingga,
sedangkan tekstur ditandai dengan pelunakan buah. Kelayakan ekonomi buah yang diuji disesuaikan dengan
selera konsumen di pasar (layak jual dan layak konsumsi).
Tabel 6. Persentase Tingkat Kesukaan Terhadap Rasa Buah Mangga Arumanis
Skore

Perlakuan
Konsentrasi 0,5% khitosan udang
Konsentrasi 0,5% khitosan rajungan
Konsentrasi 1,0% khitosan udang
Konsentrasi 1,0% khitosan rajungan
Konsentrasi 1,5% khitosan udang
Konsentrasi 1,5% khitosan rajungan
Konsentrasi 2,0% khitosan udang
Konsentrasi 2,0% khitosan rajungan
Keterangan :
1. Sangat enak
3. Cukup Enak
2. Enak
4. Tidak Enak

13,33
20
26,67
20
20
20
20
26,67

33,33
26,67
26,67
26,67
40
46,67
26,67
26,66

26,67
33,33
20
40
33,33
33,33
33,33
20

26,67
20
26,67
13,33
6,67
0
20
26,67

Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa perlakuan khitosan rajungan dan udang dengan konsentrasi
1,5% memberikan nilai rasa pada skor 1-3 (sangat enak - cukup enak) masing-masing 93,33% dan 100%
lebih tinggi dari pada perlakuan lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan analisis hasil penelitian serta pembahasan yang terbatas pada ruang lingkup
penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.

Sumber bahan dan tingkat konsentrasi khitosan tidak terdapat interaksi nyata terhadap komponen kimia
maupun fisik buah mangga Arumanis selama penyimpanan.

2.

Bahan khitosan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, kecuali pada tingkat
kekerasan, sedangkan tingkat konsentrasi 0.5% ; 1.0% ; 1.5% ; dan 2.0% berpengaruh nyata pada nyata
pada total gula reduksi, total asam, perubahan tingkat kekerasan dan perubahan warna pada buah
mangga.

3.

Masa simpan buah mangga dapat mencapai 20 hari pada konsentrasi chitosan 1,5%, sedangkan pada
perlakuan lainnya hanya mampu bertahan selama 15 hari.

Saran
Penggunaan khitosan dengan konsentrasi 1,5% dapat disarankan digunakan untuk memperpanjang
umur simpan buah mangga arumanis.

56

DAFTAR PUSTAKA
Baldwin EA. 1994. Edible coatings for fresh fruits and vegetables: past, present and future. Dalam : Krochta
JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, editors. Edibles coatings and films to improve food
quality. Lancaster. Technomic Pub. CO. Inc.
Baldwin EA, Nisperos-Carriedo M, Shaw PE, Burns JK. 1995. Effect of coating and prolong storage
condition on fresh orange flavor volatiles, degree brix, and ascorbic acid levels. J. Agric. Food.
Chem : 43 : 1321-1331
Baldwin EA, Burns JK, Kazokas W, Brecht JK, Hagenmaier RD, Bender RJ, Pesis. 1999. Effect of two
edible coatings with different permeability characteristics on mango (Mangifera indica L) ripening
during storage. Postharvest Biol. Technol. 17 : 215-226.
El-Ghaouth A, Ponnampalan R, Castaigne F, Arul J. 1992a. Chitosan coating to extend storagelife of
tomatoes. HortScience 27 : 1016-1018
El-Ghaouth A, Arul J, Asselin A. 1992b.Potential uses of chitosan in postharvest preservation of fruits and
vegetables Dalam Brine CJ, Sandford PA, Zikakis JP. Advances in chitin and chitosan. London New
York. Elsevier Applied Science.
Hagenmaier RD, Baker, RA. 1995. Layered coatings to control weight loss and preserve gloss of citrus fruit.
HortScience 30 :296-298.
Hofman PJ, Smith LG, Joyce DC, Johnson GI.1997. Bagging of mango (Mangifera indica cv Keitt) fruit
influence fruit quality and mineral composition. Postharvest Biol. And Technol. 12 :285-292.
Kader A A. 1985. Modified atmospheres and Low-pressure Syestems during Transport and Storage p 58-64.
In : A. A. Kader (ed.). postharvest technology of horticultural crops. Univ. Calif., Oakland, Calif.
Kader A A, Ben-Yehoshua S. 2000. Effecs of superatnospheric oxygen levels on postharvest physiology and
quality of fresh fruits and vegetables. Postharvest Biol. And Technol. 20: 1-13
Kays S. 1991. Postharvest physiology of perishable plant product. New York. AVI Book
Knee M. 1993. Pome fruit. Dalam Seymour GB, Taylor JE, Tucker GA, editors. Biochemistry of fruit
ripening.. London. Chapman & Hall.
Nisperos-Carriedo MO. 1994. Edible coating and film based on polysaccharides Di dalam: Krochta JM,
Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, editors. Edibles coatings and films to improve food quality.
Lancaster. Technomic Pub. CO. Inc.
Siddiqui S, Brackmann A, Streif J, Bangerth F. 1996. Controlled atmosphere storage of apples: cell wall
composition and fruit softening. J. of Hort. Sci. 71: 613-620.
Stow J. 1995. The effect of storage atmosphere on the keeping quality of Idared apples. J. of Hort. Sci. 70
:587-595.
Suhardjo. 1985. Pengaruh umur petik dan penyimpanan suhu ruang terhadap sifat-sifat buah apel Malang
(Malus sylvestris L). kultivar Rome Beauty (Tesis). Program Pascasarjana. IPB.
Suhardi, Yuniarti. 1996. Penggunaan poliester sukrosa untuk memperpanjang daya simpan buah apel kultivar
Rome Beauty. J. Hort 6(3) :303-308
Wills R, McGlasson B, Graham D, Joyce D. 1998. Postharvest, an introduction to the physiology and
handling of fruits, vegetables and ornamentals. 4th ed. UNSW Press.
Zhang D, Quantrick PC. 1997. Effect of chitosan coating on enzymatic browning and decay during
posharvest storage of lichi (Lichi chinensis) fruit. Postharvest Biol. Technol. 12 : 195-202.

57

PENGEMBANGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA SISTEM BUDIDAYA


BAWANG MERAH
(Kajian pengendalian Spodoptera exigua Hubn. melalui pengelolaan habitat )
Tarmizi1), Siti Rasminah, Yogi Sugito dan Gatot Mudjiono2)
1)
Fakultas Pertanin UNRAM
2)
Fakultas Pertanian UNIBRAW

ABSTRAK
Bawang merah merupakan salah satu komoditi potensial untuk agribisnis industrial pedesaan di NTB,
meskipun luas areal tanam dari tahun ketahun cendrung menurun disebabkan seriusnya kendala biologi yang berdampak
pada tingginya biaya produksi. Hal ini kemudian membentuk karakter agroekosistem konvensional (convensional
agroecosystem) dimana dalam mempertahankan produksi rata-rata tinggi sangat tergantung pada chemotechnologi serta
alterntif manipulasi sistem yang memungkinkan untuk mencegah penurunan hasil. Inovasi teknologi budidaya tanaman
yang kondusif akan memberi dampak positif terhadap keberlanjutan industrial pedesaan , baik dari aspek ekologi dan
ekonomi maupun budaya. Ketidak sesuaian teknologi yang ditawarkan acapkali justru menimbulkan masalah baru yang
lebih rumit. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah tersusunnya Standar Prosedur Operasional (SOP) budidaya
bawang merah yang berbasis ekologi (karakteristik agroekosistem Pulau Lombok) guna menunjang program pertanian
berkelanjutan. Target khusus yang ingin dicapai adalah meningkatnya komunitas fauna pada areal budidaya bawang
merah secara alami untuk menstimulasi fungsi pengendali hayati. Metode yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut
yaitu menerapkan budidaya Bawang merah dengan pengelolaan input energi internal melalui penerapan PHT. Penelitian
ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok , petak percobaan terbagi dalam set-set petak perlakuan. Perlakuan terdiri
dari dua faktor, yaitu faktor tipe Pola Tanam (Pt) , terdiri dari: Pt-1 ( Padi Padi Bawang merah monokultur), Pt-2 (
Padi Legum Bawang Merah polikultur ); faktor tipe Teknologi Budidaya (Tb) terdiri dari:Tb-1 (Aplikasi Konsep
PHT), Tb-2 (Cara Konvensional). Penelitian menggunakan metode eksplorasi , yaitu dengan mengadakan pengamatan
pada pertanaman bawang merah di petak-petak percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pola tanam PadiLegum-Bawang, memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi dengan intensitas gangguan Hama S. exigua Hubn. yang
lebih rendah. Keberadan predator generalis secara konsisten di dua musim tanam adalah dari kelompok Coleoptera,
Arachnida , Odonata dan Orthoptera..
Kata kunci : Bawang merah, agribisnis, industrial pedesaan, karakteristik agroekosistem

PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan salah satu komoditi penting sayuran dataran rendah, yang memiliki
peranan yang berarti dalam turut meningkatkan kesejahteraan petani di berbagai daerah di Indonesia.
Bawang merah dengan multifungsinya yakni sebagai rempah seperti bumbu masak, bahan ramuan obat
tradisional, sebagai sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral-mineral penting bagi kesehatan
tubuh, telah menempatkan posisinya sebagai komoditi strategis.
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu sentra produksi untuk wilayah Indonesia bagian timur,
dengan luas areal mencapai 9986 ha yang tersebar di hampir seluruh kabupaten (Dinas Pertanian Nusa
Tenggara Barat, SP. II A. 2004). Adanya berbagai faktor penghambat maka produksi rata-rata baru mencapai
3,71-5 ton/ha , masih tergolong rendah dibanding dengan potensi produksi antara 7,4 -10,9 ton/ha umbi
kering .
Hama Spodopera exigua Hubn, masih merupakan organisme pengganggu yang menimbulkan
kerugian pada petani bawang di Pulau Lombok. Terjadi peningkatan luas serangan dari 792,05 ha tahun
2002 menjadi 1034,45 ha tahun 2004 dan turun menjadi 536,15 ha tahun 2005, dengan tingkat serangan
mencapai 65%. Dalam keadaan khusus, pada sistem pengendalian yang kurang intensif kerugian bisa
melampaui 65% bahkan gagal panen. Untuk mengatasi masalah tersebut oleh petani dilakukan pengendalian
yang lebih banyak mengandalkan cara kimiawi (insektisida) karena adanya kepastian hasil dan efektif.
Meskipun pada kenyataannya tidak mampu menyelesaikan permasalahan seperti yang diharapkan.
Rendahnya produksi bawang merah dan berkesinambungannya gangguan hama S. exigua Hubn di
Pulau Lombok diduga sebagai pengaruh penerapan teknologi budidaya yang tidak mampu lagi memberi
lingkungan fisik , kimia dan biotik yang kondusif bagi pertumbuhan optimal bawang merah, sebagai akibat
tingginya suplai agrochemikal dari luar usahatani yang telah menimbulkan instabilitas dalam ekosistem
budidaya. Teknologi ini telah membentuk agroekosistem konvesianal (convensional agroekosystem) dimana
dalam mempertahankan produksi rata-rata tinggi sangat tergantung dari masukan chemotechnologi serta

58

alternatif manipulasi sistem yang memungkinkan untuk mencegah penurunan hasil dalam satuan waktu dan
luas, seperti budidaya tunggal (monokultur) telah menjadi pilihan sebagian besar petani.
Ketidak bijakan dalam penerapan teknologi ini, telah menimbulkan masalah lingkungan yang lebih
rumit, kontaminasi terhadap tanaman pokok itu sendiri, penurunan keseimbangan biologi agroekosistem
karena terjadinya resistensi, resurgensi dan terbunuhnya organisme non target. Tidak terkecuali pada
kawasan sentra produksi bawang merah.
Chemotechnologi dan monokultur yang diterapkan, secara konsepsual tidak memihak pada azasazas ekologi yang berkelanjutan atau berada di luar pemahaman makna ekosistem yang berbasis pada
keragaman, interaksi dan saling ketergantungan. Keragaman adalah fungsi kesetabilan, maka diperlukan
inventarisasi teknologi pertanian alternatif yang mampu mempertahankan dan menjamin keanekaragaman
serta meningkatkan produksi dengan dampak lingkungan seminimal mungkin, mampu mengkonservasi dan
mempertahankan produktivitas lahan. Altieri dan Nichols (2004) mengemukakan bahwa derajat management
ekosistem dan praktek budidaya akan berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman pengendali alami dan
kelimpahan serangga hama, yang memiliki arti dalam meningkatkan kesetabilan dan keberlanjutan
ekosistem.
Kunci untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan adalah mengubah sistem pertanian
konvensional yang memiliki ketergantungan kuat pada masukan energi dari luar usahatani, menuju ke sistem
pertanian yang mampu mengembangkan dan mengkonservasi bekerjanya komponen-komponen ekosistem
baik fisik maupun biotik.
Swift and Anderson (1993) mengemukakan bahwa keragaman merupakan prinsip lingkungan yang
dapat diterapkan dalam kerangka perlindungan tanaman. Dalam suatu ekosistem alami, fungsi pengaturan
yang terjadi merupakan produk keragaman.
Hasil penelitian berbasis agroekosistem menunjukkan bahwa keragaman dapat digunakan untuk
memperbaiki pengendalian hama dan penyakit (Altieri and Letourneau, 1984; Andow, 1991; Rich, 1983
dalam Sutanto 2002). Disamping itu Magurran (1988) mengemukakan beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peluang yang besar untuk menstabilkan komunitas serangga dalam suatu
agroekosistem dengan cara merancang komposisi tanaman yang mendukung populasi musuh alami.
Asumsi dasar adanya gangguan hama adalah tidak harmonisnya hubungan faktor serangga, inang
dan lingkungan, dan hama menjadi wabah hanya pada tingkat populasi dimana faktor biotik dan abiotik tidak
mampu menghalangi perkembangannya. Perubahan salah satu faktor akan memberi makna terhadap faktor
lain dan berkontribusi pada derajat gangguan hama (Price, 1975; Schowalter 1996 dan Mudjiono, 1996).
Hubungan timbal balik antar berbagai komponen biotik dan abiotik yang terjadi di dalam
agroekosistem, seharusnya merupakan landasan utama untuk menyusun strategi pengendalian gangguan
hama dan penyakit dalam praktek budidaya (Brown, 1985; Altieri dan Letoumeau, 1982 dalam Sutanto,
2002). Adanya gangguan hama sesungguhnya merupakan ekspresi tidak terjadinya hubungan yang harmonis
antara satu atau lebih faktor yang ada dalam agroekosistem itu, dan penanganan secara parsial atau cara
tunggal justru akan memperlemah komponen yang lain.

BAHAN DAN METODE


Bahan yang digunakan adalah Bawang merah varietas Ampenan, cabe rawit, kedelai varietas Wilis,
padi Ciherang baru (IR64), pupuk organik (siap pakai) dan anorganik ZA, TSP dan KCL (untuk petak kontrol
cara konvensional), dan jerami padi untuk mulsa, alkohol dan larutan deterjen 0,1% yang ditambahkan
gliserin (untuk pengawetan spesimen terkoleksi).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok, petak percobaan terbagi dalam set-set
petak perlakuan. Perlakuan terdiri dari dua faktor.
1.

Faktor tipe pola tanam (Pt), terdiri dari:


Pt- 1 : Padi Padi Bawang Merah
Pt-2 : Padi Legum Bawang Merah

2.

Faktor tipe teknologi budidaya dan pengendalian (Tb), terdiri dari:


Tb-1 : Aplikasi Konsep PHT
Tb-2 : Cara Konvensional

59

Penelitian menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan pada


pertanaman bawang merah di petak-petak percobaan. Masing-masing percobaan di ulang 5 (lima) kali. Paket
PHT meliputi pengolahan tanah minimum, penggunaan pupuk organik dan pengendalian alami dalam
pengelolaan hama, sedangkan cara konvensional adalah adaptasi cara petani (penggunaan pupuk anorganik
dan pestisida untuk pengelolaan hama).
Pengamatan terhadap keragaan komunitas fauna (Arthropoda parasitoid dan predator) dilakukan
satu minggu setelah tanam, dengan interval waktu 5 hari. Pengambilan sampel menggunakan metode nisbi.
Untuk metode nisbi alat perangkap (trapping) dilatakkan secara menyebar pada titik-titik dan perpotongan
garis diagonal pada setiap petak perlakuan.
Pelaksanaan Penelitian
1.

Penelitian tahap pertama.

Penelitian dilakukan pada musim tanam padi periode Oktober januari 2006. Petak perlakuan
masing-masing berukuran 10 m x 10 m, diolah sebanyak satu kali dan secara bersamaan diberikan pupuk
organik dosis 4 ton per hektar berkadar N total 1,19% (N-organik 0,92%, N-NH4 0,21%, N-NO3 0,06%),
P2O5 3,45%, K2O 0,90%, C/N ratio 15:1, C organik 14,63% dan kadar air 19,86%. Sedangkan pada cara
konvensional sebelum tanam diberikan pupuk urea 1/3 (satu pertiga) dari dosis 245 kg per hektar. 1/3 dosis
diberikan satu minggu setelah tanam dan 1/3 satu bulan setelah tanam. Pupuk TSP dengan SP-36 75 kg per
hektar diberikan bersamaan dengan saat pemberian urea awal.
2.

Penelitian tahap kedua

Penelitian dilakukan pada musim tanam padi periode Februari-Mei 2007. Pengelolaan habitat pada
penelitian tahap 2 merupakan lanjutan dari pengelolaan habitat pada penelitian tahap 1 dengan penambahan
pola tanam legum (kacang hijau) yang di tanam dengan jarak 40cm x 15cm. Konsep PHT diterapkan dengan
format yang sama seperti pada penelitian tahap pertama. Pada petak percobaan legum cara konvensional
kacang hijau ditanam dengan jarak 40 cm x 15 cm, pupuk urea dosis 50 kg per hektar dan pupuk TSP dengan
SP-36 dosis 75 kg per hektar diberikan secara bersamaan pada saat tanam.
3.

Penelitian tahap ketiga

Penelitian dilakukan pada musim tanam palawija periode Juni-September 2007. Tanah diolah satu
kali kemudian di petak dengan ukuran 10 m x 10 m. Dalam setiap petak selanjutnya dibuat guludan dengan
ukuran 1,25 m x 10 m. Tanaman percobaan ditata dalam polikultur antara Bawang merah varietas Ampenan
dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm sebanyak satu bibit perlubang. Di antara bawang pada jarak 40 cm di
tanam satu pohon cabe rawit dalam satu baris dengan jarak tanam 40 cm. Pada sisi guludan (melingkar
mengikuti bentuk guludan) ditanam kedelai sebanyak 2 benih perlubang. Tanaman cabe dan kedelai di tanam
1 bulan lebih awal dari tanaman bawang, hal ini dimaksudkan untuk memberi efek trapping dan repellent
terhadap musuh alami dan hama S. exigua Hubn. di awal pertumbuhan bawang merah mengingat kepekaan
bawang merah terhadap gangguan S. exigua Hubn.

60

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Keanekaragaman Komunitas Fauna di Petak PHT Berbasis LEISA.
No.
1.

Kelas
Arachnida

Bangsa
Araneae

Acari

Suku

Status/Fungsi

Linyphidae
Oxyopidae
Salticidae
Tetranychidae
Trombiculidae

Predator
Predator
Predator
Predator
Predator (tungau)

2.

Diplopoda

Glomerida
Polydesmida
Spirobolida

Glomeridae
Polydesmidae
Spirobolidae

Scavenger
Scavenger
Scavenger (Kaki seribu)

3.

Hexapoda

Collembola

Hypogasturidae
Isotomidae
Onychiuridae
Sminthuridae
Carabidae
Cicindelidae
Coccinellidae
Lampyridae
Agromyzidae
Asilidae
Culcidae
Drosophilidae
Muscidae
Tachinidae
Carcinophoridae
Glomeridae
Aleyrodidae
Aphididae
Cicadellidae
Flatidae
Formicinae
Ichneumonidae
Myrmicinae
Spesidae
Trichogramatidae
Reduviidae
Pentatomidae
Coreidae
Alydidae
Rhopalidae
Noctuidae
Pyralidae
Spingidae
Cordullidae
Cyrtacanthacridinae
Gryllinae
Gryllotalpidae
Nemobinae
Oedopodinae
Tridactylidae
Merothripidae
Phlaeothripidae
Thripidae

Scavenger
Scavenger
Scavenger
Scavenger
Predator (Kmb. tanah)
Predator (Kmb. Macan)
Predator (Kmb. Kubah)
Predator (kunang-kunang)
Hama
Predator
Predator (nyamuk)
Scavenger (lalat buah)
Scavenger (Ll. rumah)
Parasitoid
Predator (cocopet)
Scavenger
Hama (hama putih)
Hama
Hama
Hama
Predator (Semut Hitam)
Parasitoid
Predator (Semut merah)
Predator
Parasitoid
Hama
Hama
Hama
Hama
Hama
Hama (serangga noctural)
Hama
Polinator
Pemangsa
Hama
Hama
Predator (capung)
Hama (belalang hijau)
Hama (jangkrik)
Hama (gangsir)
Hama (jangkrik tanah)
Hama (belalang coklat)
Hama (jangkrik kecil)
Scavenger
Hama dan predator
Thrips tabaci (hama pada
bawang merah)

Coleoptera

Diptera

Dermaptera
Glomerida
Homoptera

Hymenoptera

Hemiptera

Lepidoptera

Odonata
Orthoptera

Thysnoptera

61

Tabel 2. Keanekaragaman Komunitas Fauna di Petak Konvensional Sampai pada Minggu ke Empat Penelitian
Tahap 3.
No.

Kelas

Bangsa

Suku

Status/Fungsi

1.

Arachnida

Araneae

Linyphidae
Oxyopidae
Salticidae

Predator
Predator
Predator

2.

Diplopoda

Glomerida
Polydesmida

Glomeridae
Polydesmidae

Scavenger
Scavenger

3.

Hexapoda

Coleoptera

Carabidae
Cicindelidae
Coccinellidae
Agromyzidae
Asilidae
Culcidae
Drosophilidae
Muscidae
Tachinidae
Aleyrodidae
Aphididae
Cicadellidae
Flatidae
Formicinae
Ichneumonidae
Myrmicinae
Spesidae
Trichogramatidae

Predator (Kmb. tanah)


Predator (Kmb. Macan)
Predator (Kmb. Kubah)
Hama
Predator
Predator (nyamuk)
Scavenger (lalat buah)
Scavenger (Ll. rumah)
Parasitoid
Hama (hama putih)
Hama
Hama
Hama
Predator (Semut Hitam)
Parasitoid
Predator (Semut merah)
Predator
Prasitoid

Reduviidae
Pentatomidae
Coreidae
Noctuidae
Pyralidae

Pemangsa
Hama
Hama
Hama (serangga noctural)
Hama

Cordullidae
Cyrtacanthacridinae
Gryllinae
Nemobinae
Oedopodinae
Phlaeothripidae
Thripidae

Predator (capung)
Hama (belalang hijau)
Hama (jangkrik)
Hama (jangkrik tanah)
Hama (belalang coklat)
Thrips tabaci (hama pada
bawang merah)

Diptera

Homoptera

Hymenoptera

Hemiptera

Lepidoptera

Odonata
Orthoptera

Thysnoptera

Pada petak PHT terdapat 46 suku sedangkan pada petak konvensional 32 suku dengan Tingkat
kerusakan rata-rata pada petak PHT 12,27 % dan pada petak konvensional 23,43% . Penerapan tatatanam
polikultur pada cara PHT mampu menghadirkan keanekaragaman komunitas fauna dengan keragaman jenis
musuh alami yang lebih tinggi, terkait dengan itu Altieri dan Nichols (2004) memberi gambaran tentang
pengaruh managemen ekosistem terhadap keanekaragaman pengendali alami dan kelimpahan serangga hama.
praktek budidaya secara konvensional seperti pengolahan tanah yang intensif, monokultur , penggunaan
pupuk kimia dan pestisida akan menurunkan keanekaragaman pengendali alami dan peningkatan populasi
penyebab hama dan penyakit. Sebaliknya dengan pengelolaan habitat melalui diversivikasi seperti policultur,
rotasi tanaman, pemulsaan dan penanaman pagar tanaman diikuti oleh managemen pupuk organik yang baik
serta pengolahan tanah minimum dan praktis (mengikuti konsep LEISA), mampu meningkatkan
keanekaragaman spesies pengendali alami dan menurunkan kepadatan populasi hama dan penyakit.
LEISA adalah suatu konsep budidaya yang berhajat meminimasi masukan energi agrokemikal dari
luar usahatani, tetapi lebih banyak memanfaatkan kekuatan alam dalam proses budidaya, dengan
memanfaatkan secara maksimal cahaya, air dan bahan organik baik yang berasal dari tumbuhan maupun
hewan yang telah mati (Sutanto, 2002).
POLIKULTUR dengan mengkombinasikan beberapa komoditi mamiliki potensi menciptakan
keragaman fauna dengan jaring makanan yang lebih komplek, termasuk menstimulasi kehadiram pengendali
hayati (Alltieri dan Nicholls , 2004). Oleh karena itu untuk menuju sistem pengendalian hama berkelanjutan
kedua konsep tersebut di atas dapat dirancang menjadi suatu pola pengelolaan serangg hama. Kemudian

62

Singh (2004) secara teknis memperkenalkan istilah Farmscaping untuk pengelolaan usahatani yang bertujuan
meningkatkan dan mengatur keanekaragaman atau biodiversity guna memelihara keberadaan organisme
yang menguntungkan , melalui pengaturan tanaman yang memiliki polen yang menarik serangga,
penggunaan penutup tanah, pengaturan tanaman pelindung, menjaga kesuburan tanah dan reservoir air.
Farmscaping memeliki cara pandang baru terhadap lahan pertanian sebagai habitat alam dan bahwa lahan itu
adalah suatu organisme, dimana di dalamnya terjadi interaksi berbagai faktor termasuk antar berbagai jenis
tanaman. Berkurangnya keragaman tanaman dapat mempengaruhi usahatani dalam berbagai tingkat, seperti
pergeseran inang serangga dari tumbuhan ke tanaman pertanian, hilangnya serangga dan burung predator
karena kurangnya habitat. Oleh karena itu bagaimana menarik perhatian dan memelihara musuh alami dalam
praktek usahatani merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan habitat. Aldo Leopod dalam Singh
(2004) mengemukakan sesuatu adalah benar ketika dia memelihara integritas , stabilitas dan keindahan dari
mahluk hidup.

KESIMPULAN
1. Pengaturan pola dan tatatanam mampu membangun kenekaragaman komunitas fauna dan menstimulasi
bekerjanya pengendalian alami.
2.

Pola tanam padi-Legum dan penerapan konsep PHT berbasis LEISA dapat menjaga eksistensi musuh
alami generalis potensial terutama dari bangsa Coleoptera, Arachnida , Odonata dan Orthoptera.

3. Eksistensi musuh alami generalis dari musim kemusim berpengaruh positif terhadap tingkat gangguan
hama utama bawang merah Spodoptera exigua Hubn.

DAFTAR PUSTAKA
Abd- El Moity, H. And M.N. Shatla. 1981. Biological Control of White Rot Disease of Onion (Sclerotium
cepivorum) by Trichoderma harzianum . Phytophathologiche Zeitschrift 100 p
Altieri, A.A. and C.I. Nicholls. 2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems, Food Products
Press. New York. 236 p.
Azis, A., A.A. Nawangsih, A. Anwar. 2000. Pelestarian Keragaman Hayati. Makalah Palsafah Sain. IPB.
Bogor. 10 p
Binns, M.R., J.P. Nyrop, and W. Van Der Werf. 2000. Sampling and Monitoring in Crop Protection, The
Theoritical Basis for Development Practical Decision Guaides. CABI Publishing. 279 p
Bosch, R.V.D, P.S. Messenger . 1973. Biological Control. Intext Educational Publishers. 180 p
Brown, J.F. A. Kerr, F.D., Morgan and I.H. Parbery. 1980. Plant Protection. Press etching Pty Ltd. Brisbane.
Dent, D.R, and M.P. Walton. 1997. Method in Ecological and Agricultural Entomology, UK at University
Press, Cambrige. 387 p.
Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1983. Pedoman
Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Jakarta. 186 p
Haryaksono, S. 1989. Periode kritis bawang merah (Allium ascalonicum) . Karena adanya persaingan dengan
gulma dan pemberian pupuk kandang. Tesis S-2 UGM. 80 p
Magurran. A. E. 1988. Ecological diversity and Its Measurement. Inceton University Press, Princeton, New
jersey. 179 P.
Mujiono, G. 1996. Ekologi serangga. Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 132 p
__________ 1998. Hubungan Timbal Balik Serangga-Tumbuhan. Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. 93p
Pedigo, L.P., M. R. Zeiss. 1996. Analyses in Insect Ecology and Management. Iowa State University
Press/Ames. 168 p
Plank, J.E. Van Der. 1975. Principles of Plant Infection. Akademic Press New York. P 1-107.
Price, P.W. 1975. Insect Ecology. John Wiley & Sons, New York,London, Sydney, Toronto.511 p
Schowalter, T.D. 2000. Insectt Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press. San Diego. 483 P.

63

Singh, Av. 2004. Farmscaping, Farming With Nature in Mind. The Canadian Organic Grower. www.cog.ca.
P. 56-57
Srimuliani, B. Supeno dan Tarmizi. 2003. Identifikasi Parasitoid Telur Hama S. exigua Hubn. pada Sentra
Produksi Bawang Merah Lombok Timur. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 61p.
Tarmizi, G. Mudjiono dan M. Santoso. 1996. Penggunaan Kelompok Telur Sebagai Dasar Penilaian Ambang
Ekonomi Hama S. exigua Hubn. (Lep:Noctuidae) pada Tanaman Bawang Merah (Allium
ascalonicum L.). Tesis Magister . Unibraw. Malang. 91p.
Tarmizi, A.Wirasyamsi dan R. Iswati. (2000). Studi Beberapa Cultivar Cabe Sebagai Insect Repellent
Terhadap Hama S. exigua Hubn. di Sentra Produksi Bawang Merah Lombok. Fak.Pertanian
Universitas Mataram. 52p.
Untung, K., Sudomo,M. 1997. Pengelolaan Serangga Secara Berkelanjutan. Simposium Entomologi,
Bandung. 13p
Wilson, E.O. , F.M. Peter. 1999. Biodiversity. National Academy Press. Wasington D.C. 521 p.

64

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KEDELAI MELALUI PENDEKATAN PENGELOLAAN


TANAMAN TERPADU (PTT) DI KECAMATAN KEMPO, KABUPATEN DOMPU
Muji Rahayu, Lalu Wirajaswadi dan Awaluddin Hipi
BPTP Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi pengahasil kedelai di luar Jawa yang cukup
potensial sebagai pemasok kebutuhan kedelai nasional, dimana 6.75% dari produksi nasional merupakan sumbangan
daerah ini. Hal ini ditunjukkan oleh data produksi tahun 2001, produksi kedelai nasional mencapai 2.759.585 ton,
diantaranya 186.195 ton adalah sumbangan daerah NTB. Salah satu daerah penyumbang produksi tersebut adalah
Kabupaten Dompu. Pada perkembangan lima tahun terakhir produktivitas kedele di Kabupaten Dompu mengalami
penurunan, rata-rata produksi sebesar 0,96 t/ha jauh lebih rendah dibanding rata-rata produktivitas nasional yang berkisar
1,23 ton/ha. Peluang peningkatan produktivitas sangat memungkinkan karena petani belum menggunakan varietas
unggul dan penerapan teknik budidaya yang kurang intensip. Pengkajian peningkatan produktivitas kedelai melalui
pendekatan tanaman terpadu (PTT) dengan komponen teknologi utama berupa pengenalan 4 varietas unggulan nasional
(Kaba, Ijen, Burangrang dan Anjasmoro) dan 1 kontrol varietas Wilis. Keragaan keempat varietas kedele tersebut dapat
menambah pengetahuan petani tentang alternatif pilihan varietas unggul kedele. Diantara keempat varietas unggul yang
diintroduksikan maka varietas Anjasmoro merupakan varietas yang paling disukai dari pengamatan hasil preferens petani
baik pada penampilan tanaman di lapangan, produktivitas yang dicapai dan kualitas hasil biji. Produktivitas tertinggi
adalah Anjasmoro mencapai 1,57 t/ha, Ijen (1,49 t/ha), Burangrang (1,32 t/ha), Kaba (1,30 t/ha) dan Wilis (1,26 t/ha).
Kata kunci : kedele, varietas, PTT, produksi, preferensi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan pertanian dalam era globalisasi saat ini telah mengalami banyak perubahan dimana
pembangunan yang selama ini terkesan berdiri sendiri, selanjutnya lebih mencerminkan keterkaitan yang erat
dengan sektor lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut salah satu strategi dasar yang ditempuh dalam
pembangunan pertanian adalah penerapan pendekatan sistem agribisnis dengan memanfaatkan secara optimal
sumber daya pertanian dalam suatu kawasan ekosistem. Dengan strategi tersebut, keterkaitan dan
keterpaduan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian diharapkan dapat menghasilkan produk-produk
pertanian dan agroindustri yang berdaya saing tinggi baik di pasar domestik maupun internasional
(Sudaryanto, et al., 2002)
Salah produk pertanian yang dapat dikembangkan untuk orientasi agribisnis adalah komoditas
kedelai. Kedelai mempunyai peranan penting bagi tubuh manusia , yaitu : sebagai sumber protein, vitamin
dan mineral yang dapat dikonsumsi langsung atau dibuat produk turunannya misalnya sebagai bahan baku
susu, kecap, taoco dan sebagainya.
Menurut Silitonga, Santoso dan Indiarti (1996), penduduk Indonesia pada umumnya masih hidup
di bawah standar gizi yang kecukupan. Standar gizi yang diperlukan penduduk Indonesia setiap hari
sebesar 2100 kalori/orang, dengan konsumsi protein 46 gram, tetapi kenyataannya konsumsi kalori ratarata baru mencapai 1700 gram dan konsumsi protein berkisar 37 gram 39 gram.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, maka kebutuhan kedelai
nasional menunjukkan peningkatan yang pesat melebihi produksi yang dapat dicapai sehingga sebagian
kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi dari impor, untuk tahun 1994 misalnya impor kedelai mencapai
649 ribu ton dengan nilai US 224 juta (Anonim, 1991; Suparto dalam Yusuf dan Muchson, 1999) dan
diperkirakan pada tahun 2 018 (akhir PJPT II) impor kedelai akan mencapai 5 849 ribu ton (Sadikin dan
Hamidi, 1999).
Dalam upaya untuk mengurangi beban impor dan mengantipasi permintaan yang terus meningkat
dimasa mendatang, pemerintah telah mencanangkan untuk memperluas pengembangan kedelai dengan
memanfaatkan lahan berpotensi, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Dari 12 juta hektar areal panen kedelai
setiap tahunnya 56% diantaranya terdapat di pulau Jawa dan sekitar 69% dibudidayakan di lahan sawah,
namun demikian luas lahan baku sawah di Pulau Jawa tiap tahun terus menurun akibat perubahan fungsi
penggunaan di luar pertanian (Agustin dan Hutabarat, 1998; Adnyana, Darman, Irsal L., Makarin, Jauhari,
Setyono, A. Rahim, dan Mardiharini, 1996).

65

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu propinsi penghasil kedelai di luar Jawa yang
cukup potensial sebagai pemasok kebutuhan kedelai nasional, dimana 6.75% dari produksi nasional
merupakan sumbangan daerah ini. Hal ini ditunjukkan oleh data produksi tahun 2001, produksi kedelai
nasional mencapai 2.759.585 ton, diantaranya 186.195 ton adalah sumbangan daerah NTB (Badan Pusat
Statistik, 2002).
Pada perkembangan lima tahun terakhir produktivitas kedele di NTB mencapai 0,96 t/ha jauh lebih
rendah dibanding rata-rata produktivitas nasional yang berkisar 1,23 ton/ha. Peluang peningkatan
produktivitas sangat memungkinkan karena petani belum menggunakan varietas unggul dan penerapan
teknik budidaya yang kurang tepat dan sebagian besar belum menerapkan pendekatan produksi melalui PTT
(pengelolaan tanaman terpadu) pada kedelai.
Proses produksi kedelai melalui pendekatan pengelolaan sumberdaya dan tanaman terpadu (PTT)
yang didalamnya memadukan sejumlah komponen teknologi dan aspek produksi yang bersinergis sesuai
kondisis setempat diyakini mampu meningkatkan produktivitas tanaman secara efisien yang pada akhirnya
dapat meningkatkan pendapatan petani.
PTT (Pengelolaan Tabaman Terpadu) pada Kedelai
Pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) atau ICM (Integrated Crop Management) telah
mendapat perhatian besar di berbagai negara khususnya pada negara penghasil padi (Asia). Selama ini
pendekatan PTT lebih banyak dikenal pada tanaman padi, padahal konsep PTT sudah siap dikembangkan
untuk peningkatan beberapa komoditas selain padi antara lain palawija (kedelai, kacang tanah, dll), sayuran
(cabe, bawang merah dll).
Pendekatan PTT pada kedelai mengacu pada upaya untuk mempertahankan atau bahkan
meningkatkan produktivitas kedelai secara berkelanjutan dengan memperhatikan sumber daya (tanaman,
lahan, air, mikroorganisme dan OPT) secara terpadu. Pengelolaan yang diterapkan mempertimbangkan
hibungan sinergisme dan komplementer antar komponen.
Ada beberapa komponen teknologi yang dianjurkan dalam PTT Kedelai, dimana petani mempunyai
keleluasaan untuk menguji dan menerapkannya sesuai dengan kemampuan mereka. Oleh karenanya PTT
menekankan pada partisipatori yang menempatkan pengalaman, keinginan dan kemampuan petani dalam
menerapkan teknologi. Karena itu, komponen yang diterapkan dapat berbeda antara satu lokasi dengan
lokasi lainnya.
Berdasarkan konsep pedekatan PTT kedelai yang menempatkan partisipatori dari pelaku usahatani,
maka perlu diujicobakan pada sentra kedelai di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu dengan harapan
masyarakat lebih mudah mengadopsinya dan produktivitas kedelai dapat ditingkatkan.

METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di lahan petani pada agroekosistem lahan sawah, di Kecamatan Kempo
Kabupaten Dompu. Skala pengkajian seluas 5 ha dengan melibatkan +15 petani dalam satu hamparan.
Waktu pelaksanaan adalah pada MK II dimulai bulan Juli sampai September 2006.
Parameter meliputi keragaan tanaman, input dan output (ekonomi) serta respon dari berbagai
segmen dan pelaku agribisnis. Data-data dikumpulkan melalui wawancara langsung dilapangan dan
pencatatan harian petani (FRK). Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis pendapatan dan
deskriptip.
Komponen teknologi yang dianjurkan dimulai dari teknologi produksi, panen dan pasca panen.
Teknologi tersebut berasal dari berbagai lembaga penelitian dan teknologi kearifan lokal (indigenous
technology) yang sudah terbukti unggul untuk wilayah Dompu. Untuk menjaring participatory dan
indigenous technology yang diterapkan maka pada awal kegiatan dilaksanakan PRA. Komponen teknologi
usahatani kedele yang dicobakan tertera pada Tabel 1.

66

Tabel 1. Komponen Teknologi Usahatani Kedelai di Cobakan


No

Komponen Teknologi

Persiapan lahan

Penggunaan benih

3
4

Perlakuan Benih
Pemupukan

Penanaman

Pemberian mulsa

Pengendalian OPT

Panen dan pasca panen

Uraian teknologi
Jerami dibabat serendah mungkin
Tanah tidak diolah
Saluran drainase setiap 5 6 m dan keliling petakan, dengan kedalaman 20 cm
dan lebar 25 cm
Terdapat 4 pilihan varietas yaitu : Ijen, Kaba, Anjasmoro dan Burangrang
Bersertifikat dengan daya tumbuh > 85 %
Kebutuhan benih 40 kg/ha
Menggunakan Furadan 20 gr/kg benih
Urea 25 kg dan SP 36 50 kg/ha
Pupuk dicampur lalu disebar merata sebelum tanam
Saat memupuk tanah cukup lembab
Penanaman dilakukan selesai pemupukan
Jarak tanam 40 x 15 cm menggunakan tali tanam
Agar populasi tidak berkurang saluran drainase terletak pada jarak tanam
antar baris
Mulsa jerami merata setebal 5 cm
Sekaligus menutup lubang tanam
Penggunaan pestisida dan fungisida dilakukan jika diperlukan. Pengendalian
dilakukan dengan cara mekanik dan sanitasi lingkungan yang diprioritaskan
Panen dilakukan setelah sebagian daun berwarna kuning dan rontok
Panen dilakukan dengan cara mencabut tanaman dengan seluruh akar
Pengeringan menggunakan panas matahari beralas terpal
Dan perontokkan menggunakan cara manual dengan cara dipukul-pukul
menggunakan sebilah kayu seperti yang biasa dilakukan oleh petani di
Kecamatan Kempo

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keragaan Morfologi Varietas Kedele yang Digelar
Keragaan tanaman pada ke empat varietas unggul kedele dan 1 varietas kontrol yang digelar
menunjukkan penampilan yang berbeda sesuai dengan karakteristik dari VUB itu sendiri. Hasil keragaan
morfologi tanaman per varietas sebagai berkut :
Varietas : Anjasmoro
Keragaan Hasil Varietas Anjasmoro
Tinggi (cm)
Jumlah cabang/tan
Jumlah polong/tan
Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x
2,5 m2 (ton/ha)
Respon minat petani untuk mengembangkan
Sumber: Data Primer Diolah
Karakteristik Varietas Anjasmoro
Tinggi (cm)
Jumlah cabang/tan
Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x
2,5 m2 (ton/ha)
Sumber: Balitkabi, 2000

:
:
:
:

64,45
3,60
56,80
1,57

Sangat baik

:
:
:

64 - 68
2,9 4,6
2,03 - 225

67

Varietas : Ijen
Keragaan Hasil Varietas Ijen
Tinggi (cm)
Jumlah cabang/tan
Jumlah polong/tan
Ukuran biji
Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5
x 2,5 m (ton/ha)
Respon minat petani untuk mengembangkan
Sumber : Data Primer Diolah
Karakteristik Varietas Ijen
Tinggi (cm)
Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5
x 2,5 m (ton/ha)
Sumber : Balitkabi, 2000

:
:
:
:
:

56,30
3,10
53,80
Besar
1,49

Baik

:
:

51
2,15 2,49

:
:
:
:

56,10
3,20
52,80
1,30

:
:

Sedang
Kurang

:
:

64
2,13

:
:
:
:

62,10
1,80
49,10
1,32

:
:

Sedang bergaris
Kurang -Baik

Varietas : Kaba
Keragaan Hasil Varietas Kaba
Tinggi (cm)
Jumlah cabang/tan
Jumlah polong/tan
Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5
x 2,5 m (ton/ha)
Ukuran biji
Respon minat petani untuk mengembangkan
Sumber : Data Primer Diolah
Karakteristik Varietas Kaba
Tinggi (cm)
Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5
x 2,5 m (ton/ha)
Sumber : Balitkabi, 2000
Varietas : Burangrang
Karakteristik Varietas Burangrang
Tinggi (cm)
Jumlah cabang/tan
Jumlah polong/tan
Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5
x 2,5 m (ton/ha)
Ukuran biji
Respon minat petani untuk mengembangkan
Sumber : Data Primer Diolah

68

Varietas : Wilis
Karakteristik Varietas Wilis
Tinggi (cm)
Jumlah cabang/tan
Jumlah polong/tan
Ukuran biji
Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5
x 2,5 m (ton/ha)
Respon minat petani untuk mengembangkan
Sumber : Data Primer Diolah

:
:
:
:
:

58,20
3,80
58,20
Sedang
1,26

Baik

Respon Petani Terhadap Teknologi yang Digelar


Respon petani kooperator dan petani kedelai di luar kegiatan gelar (non-kooperator) terhadap
komponen-komponen teknologi yang digelar sangat beragam seperti Tabel 2.
Tabel 2. Respon Petani Kooperator dan Non-Kooperator Terhadap Paket Teknologi Usahatani Kedelai, di
Kempo, Tahun 2006
Petani Kooperator
Komponen Teknologi

SB

Petani Non-Kooperator
KB

SB

KB

------------------------------------------------( % )----------------------------------------------Penngunaan benih berlabel


20
50
Pembuatan saluran drainase
100
0
Menanan secara tugal dan
50
40
menggunakan jarak tanam tertentu
Penggunaan mulsa jerami
80
20
Pemupukan
60
20
Pengendalian OPT
60
20
Penyiangan 1 kali
70
30
Sumber
: Data Primer Diolah
Keterangan : SB = sangat baik; B= baik; KB = kurang baik

30
0
10

10
0
0

40
80
40

50
20
60

0
20
20
0

0
0
0
0

80
25
20
20

20
75
80
80

Tabel 2 menunjukkan, bahwa respon paket teknologi usahatani kedelai tidak dapat diterima secara
utuh meskipun petani dapat melihat dan belajar langsung dari pengalaman selama pelaksanaan gelar.
Beberapa komponen yang diprediksi dapat diadopsi dengan baik pasca kegiatan gelar adalah pada
komponen pembuatan saluran drainase dan pemberian mulsa jerami. Hal itu disebabkan kedua komponen
tersebut tidak mengeluarkan biaya kecuali tenaga kerja yang biasanya dilakukan sendiri.
Hasil respon pada petani non-kooperator diperkirakan respon tersebut agak lamban dibanding
petani kooperaor. Keadaan yang sama terhadap respon teknologi yang kemungkinan besar dapat diadopsi
pada musim tanam berikutnya adalah pembuatan saluran drainase dan pemberian mulsa jerami. Hal itu
menunjukkan bahwa petani (khususnya) petani kedelai sangat hati-hati di dalam menginvestasikan
modalnya untuk memperbaiki cara budidaya kedelai.
Respon Petani dan Berbagai Pelaku Agribisnis Kedelai Terhadap Varietas yang Digelar.
Respon pelaku agribisnis kedelai (petani kedelai, pedagang kedelai, penangkar benih) serta
konsumen akhir ibu rumah tangga mempunyai preferen yang berbeda-beda. Varietas Anjasmoro yang
mempunyai produksi tinggi dengan penampilan ukuran biji yang besar dan warna menarik merupakan
varietas yang dominan dipilih pada semua jenis responden. Sedangkan varietas Burangrang meskipun
menunjukkan hasil yang cukup bagus tetapi karena penampilan kualitas biji yang mempunyai karakteristis

69

biji bergaris-garis seperti biji dalam keadaan pecah merupakan alasan utama beberapa jenis responden tidak
menyukai varietas tersebut (Tabel 3).
Preverensi responden terhadap varietas yang digelar tertera pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Preferensi responden terhadap varietas yang digelar beserta alasan pemilihan di Kecamatan Kempo,
Kabupaten Dompu, MK II 2006.
Responden
Petani
kooperator

Prosentase Varietas yang dipilih dan alasan pemilihan varietas


Anjasmoro

70% (Ukuran biji


besar, laju
pertumbuhan
cepat, tanaman
tinggi dan
banyak cabang,
produksi tinggi)
Petani Non30% (Ukuran biji
Kooperator
besar, laju
pertumbuhan
cepat, tanaman
tinggi dan
banyak cabang,
produksi tinggi)
Penangkar
30% (Ukuran biji
benih
besar, laju
pertumbuhan
cepat, tanaman
tinggi dan
banyak cabang,
produksi tinggi)
Pedagang
50%
(ukuran biji besar
dengan warna
coklat
kekuningan
mulus)
Konsumen
50%
ibu Rumah
(Ukuran biji
Tangga
besar dan warna
menarik)
Aparat Desa
50%
dan
(Ukuran biji
Kecamatan
besar dan warna
setempat
menarik)
Penyuluh
30%
Lapangan
(Alasan produksi
tinggi dan cocok
dikembangkan)
Sumber : Data Primer Diolah

Ijen
20%
(Alasan : tahan
kelebihan air dan
sangat cocok
ditanam pada
musim hujan,
produksi tinggi)
20% (Ukuran biji
besar, laju
pertumbuhan
cepat, tanaman
tinggi dan
banyak cabang,
produksi tinggi)
30% (Ukuran biji
besar, laju
pertumbuhan
cepat, tanaman
tinggi dan
banyak cabang,
produksi tinggi)
20%
(ukuran biji besar
dengan warna
coklat
kekuningan
mulus)
50%
(Ukuran biji
besar dan warna
menarik)
50%
(Ukuran biji
besar dan warna
menarik)
30%
(Alasan produksi
tinggi dan cocok
dikembangkan)

Kaba

Burangrang

Wilis

10%
(Alasan : benih
mudah didapat,
produksi masih
cukup tinggi)

50%
(Alasan : benih
mudah didapat,
produksi masih
cukup tinggi)

10%
(penampilan
tanaman cukup
bagus, produksi
tinggi dan tahan
rebah)

20%
(ukuran biji
sedang dengan
warna coklat
kekuningan
mulus)
0

30%
(Alasan : benih
mudah didapat,
produksi masih
cukup tinggi,
banyak dicari
petani)
10%
(Sudah biasa
menjual)

20%
(Alasan produksi
tinggi dan cocok
dikembangkan)

20%
(Alasan produksi
tinggi dan cocok
dikembangkan)

Dari hasil analisis preferensi pada segmen responden yang berbeda ternyata memberikan respon
yang hampi sama, yaitu hampir tidak disukai. Hal itu disebabkan kedua varietas tersebut mempunyai ukuran
biji kecil, warna pucat (tidak cerah) bahkan pada varietas Burangrang warna kulit menunjukkan ada garis
seperti keadaan biji dalam keadaan pecah.
Analisa Finansial Usahatani Kedelai
Analisa finansial usahatani kedelai meliputi biaya produksi, penggunaan tenaga kerja dan
penerimaan hasil. Pada umumnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kedelai di Kecamatan Kempo
berupa benih dan herbisida, sedangkan tenaga kerja menggunakan tenaga kerja dalam keluarga untuk
kegiatan pembersihan lahan, pembuatan saluran drainase, sebar benih, pengendalian hama-penyakit, panen
dan prosesing hasil panen. Hal itu sedikit berbeda dengan pengeluaran yang dikeluarkan pada usahatani
dengan input teknologi yang digelarkan. Perbedaan tenaga kerja terletak pada penyebaran mulsa, penugalan,

70

dan penyiangan. Analisa usahatani pada petani peserta gelar (kooperator) dan petani di luar gelar teknologi
(non kooperator) ditampilkan pada Tabel 4 dan 5 berikut.
Tabel 4. Penggunaan Tenaga Kerja Petani Kooperator dan Non-Kooperator per Hektar pada Gelar Usahatani
Kedelai di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Tahun 2006.
Petani Non- Kooperator

Petani Kooperator

Jenis Kegiatan

Tenaga DK
(OH)

Tenaga LK
(OH)

Tenaga DK
(OH)

Babat jerami dan


Penyemprotan dengan herbisida
Penyebaran jerami sebagai mulsa
Pembuatan saluran
Penanaman
Pemupukan
Penyemprotan/pengendalian hama
penyakit
Penyiangan
Panen
Prosesing hasil panen
Total

6
2
0
4
1
0
2

0
0
0
0
0
0
0

6
2
2
4
4
2
0

0
0
0
0
4
0
0

0
5
8
28

0
0
0

8
10
20
58

0
0
0
4

Tenaga LK
(OH)

Tabel 4 terlihat bahwa pada petani kooperator terdapat selisih penggunaan tenaga kerja sebesar 30
HOK (Tenaga keja dalam keluarga) dan 4 HOK (Tenaga kerja luar keluarga), dengan demikian artinya jika
petani lebih rajin (ulet) karena penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih banyak, maka kenaikan
produktivitas kedelai terjadi secara signifikan (Tabel 5).
Tabel 5. Analisa Finansial Usahatani Kedelai Petani Kooperator dan Non-Kooperator per Hektar pada Gelar
Usahatani Kedelai di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Tahun 2006.
Jenis Kegiatan
Biaya Produksi
1. Sarana Produksi
Benih kedelai
Pupuk Urea
Pupuk SP36
Pupuk KCl
2. Tenaga Kerja
Total biaya produksi
Hasil produksi
Pendapatan
B C Ratio

Petani Non- Kooperator

Petani Kooperator

Fisik

Nilai (Rp)

Fisik

50000

500.000

28 OH

420.000
920.000
2.380.000
1.460.000
1,58

35
25 kg
50 kg
25 kg
62 OH

680 kg

1160 kg

Nilai (Rp)

350.000
30.000
90.000
40.000
930.000
1.440.000
4.060.000
2.620.000
1,82

Tabel 5 menunjukkan bahwa dengan perbaikan manajemen produksi yang berupa perbaikan
teknologi budidaya maka terdapat kenaikan produksi sebesar 70,58 % dari 680 kg menjadi 1.160 kg/ha atau
kenaikan pendapatan sebesar Rp. 1.160.000,-/ha/musim (jika tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan)
dan kenaikan pendapatan sebesar Rp. 2.030.000,- /ha/musim (jika tenaga kerja dalam keluarga tidak
diperhitungkan).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Pengkajian peningkatan produktifitas kedelai melalui pendekatan PTT di Desa Kempo, Kecamatan
Kempo, Kabupaten Dompu, merupakan tempat pembelajaran dan hasilnya dapat dipergunakan sebagai
alternatif keputusan didalam menentukan pengembangan kedelai di wilayah tersebut.
Beberapa informasi yang dihasikan bahwa paket teknologi yang digelar mampu memperlihatkan
hasil yang lebih tinggi, yaitu pada eksisting petani non-kooperator rata-rata produkstivitas dicapai 0,68 t/ha,
sedangkan dari kegiatan gelar produktivitas tertinggi dicapai varietas Anjasmoro (1,57 t/ha), disusul Ijen
(1,49 t/ha), Burangrang (1,32 t/ha), Kaba (1,30 t/ha) dan Wilis (1,26 t/ha).

71

Respon preverensi dari berbagai kalangan responden terhadap varietas yang digelar terpilih
varietas Anjasmoro, sedangkan respon terhadap paket teknologi tidak dapat diperoleh secara utuh tetapi per
komponen teknologi. Komponen teknologi yang banyak diminati dan diprediksi dapat diadopsi dengan cepat
adalah penggunaan mulsa jerami dan pembuatan saluran drainase. Sedangkan komponen introduksi varietas
yang digelar mendapat respon yang sangat beragam.
Saran
Dari proses pelaksanaan dan keluaran yang dihasilkan pada pengkajian Kedelai di Kecamatan
Dompu tersebut, maka dapat di sarankan beberapa hal yang dapat dipergunakan sebagai implikasi kebijakan
untuk pengembangan kedelai dan peningkatan produksi kedelai di Kabupaten Dompu khususnya Kecamatan
Kempo sebagai berikut :
a.

Varietas Anjasmoro yang banyak diminati beberapa jenis responden hendaknya merupakan prioritas
dominan pada tanaman kedelai yang diusahakan oleh BBI setempat.

b.

Sebagai alternatif penyediaan benih setiap saat maka pengadaan benih menggunakan strategi antar
musim maupun antar lapang mengingat pengembangan kedelai dilaksanakan pada semua musim di
Dompu (yaitu pada musim hujan pada lahan tadah hujan dan pada MK I maupun MK II pada lahan
berpengairan teknis). Dengan pola ini maka akan tersedia benih sepanjang musim penanaman.

c.

Untuk membantu penyebaran varietas kedelai petani kooperator yang terampil dalam budidaya kedelai
dapat dibina sebagai calon penangkar kedelai.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1991. Penyediaan Benih Kedelai. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. Direktorat Bina
Penyuluhan Tanaman Pangan Jakarta, 61p
Badan Pusat Statistik, 2002. NTB dalam Angka. BPS Prov NTB.
Balitkabi, 2003. Perkembangan dan Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918 2002.
Manwan, Sumarno, B. Sayaka, 1997. Sistem Usaha Tani Kedelai dalam Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB
Press. h. 151-230.
Saifuddin, AM. dalam Hidayati dan Yusuf, M., 1999. Efisiensi Pemasaran Produk Ubikayu di Kabupaten
Lombok Barat. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian UNRAM. 60p
Saragih, Bungaran. 1997. Tantangan dan Strategi Pengembangan Agribisnis. Dalam, Jurnal Agribisnis
1(1,2). Pusat Agribisnis, Universitas Jember.
Silitonga, Crisman, Budi Santoso dan Novi Indiarti, 1996. Peranan Kedelai Dalam Perekonomian Nasion
dalam Ekonomi Kedelai Di Indonesia. IPB Pres. p 34.
Suparto dalam Yusuf, M dan Muchson, 2000. Studi Agribisnis Kedelai di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara
Barat. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Mataram. Mataram.
Sudaryanto,Tahlim, I. Wayan Rusastra, Erizal Jamal, dan Amiruddin Syam. 2002. Pengembangan Teknologi
Pertanian Berbasis Agribisnis. Dalam Proseding Seminar nasional Pengembangan Teknologi
Pertanian, Mataram 30 31 Oktober 2002.
Yusuf, M dan Muchson, 1999. Studi Agribisnis Kedelai di Kabupaten Bima, NTB. Laporan Penelitian
Fakultas Pertanian UNRAM Mataram.

72

PENGARUH FERMENTASI BIJI KAKAO TERHADAP MUTU PRODUK OLAHAN SETENGAH


JADI COKELAT
Dian Adi A. Elisabeth , Suharyanto, dan Rubiyo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

ABSTRAK
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama yang diandalkan di Provinsi Bali. Untuk
meningkatkan nilai tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan petani kakao di Bali, dilakukan beberapa strategi
penelitian pasca panen, salah satunya pengembangan produk sekunder atau setengah jadi kakao, seperti pasta, lemak, dan
bubuk cokelat.. Penelitian dilaksanakan di Subak Abian Pucaksari, Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat,
Kabupaten Tabanan pada bulan Januari-Desember 2006 dengan melibatkan 20 orang petani kooperator, masing-masing
dengan luasan lahan 0,5 ha. Perlakuan yang digunakan adalah waktu fermentasi biji kakao, yang terdiri dari 3 tingkat,
yaitu tanpa fermentasi, fermentasi tidak sempurna (4 hari), dan fermentasi sempurna (5 hari). Variabel yang diamati
adalah mutu kimia produk setengah jadi cokelat, meliputi : kadar air dan kadar lemak; serta pH untuk bubuk cokelat.
Hasil analisis mutu kimia yang didapat kemudian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, dilanjutkan dengan uji
Duncan jika hasil berbeda nyata. Uji organoleptik dilakukan terhadap produk pasta dan bubuk cokelat dengan uji
rangking menggunakan 15 orang panelis semi terlatih; juga dilakukan penghitungan rendemen hasil. Proses pengolahan
biji kakao menjadi produk olahan setengah jadi cokelat dengan volume 100 kg biji kakao kering dapat menghasilkan 78,0
kg pasta cokelat atau 47,7 kg bubuk cokelat dan 24,5 kg lemak cokelat. Proses fermentasi sangat berpengaruh terhadap
mutu kimia dan organoleptik produk olahan setengah jadi cokelat. Hasil analisis mutu kimia pasta, lemak, dan bubuk
cokelat yang dibuat dari biji kakao yang difermentasi sempurna menunjukkan kadar lemak produk lebih tinggi
dibandingkan produk olahan dari biji kakao yang tidak difermentasi dan yang difermentasi kurang sempurna. Secara
keseluruhan, panelis memberikan rangking tertinggi untuk atribut mutu organoleptik pasta dan bubuk cokelat dari biji
yang difermentasi sempurna.
Kata kunci : biji kakao, fermentasi, mutu, produk setengah jadi cokelat

PENDAHULUAN
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama yang diandalkan di Provinsi Bali.
Perkembangan kakao cukup pesat, dimana menurut data Bali Membangun 2004, luas areal penanaman kakao
pada tahun 2000 mencapai 6.564 ha dengan produksi 4.424.367 ton dan berkembang menjadi 8.764 ha pada
tahun 2004 dengan produksi mencapai 6.123.869 ton (Anonimb, 2004). Hampir keseluruhan areal
perkebunan kakao adalah perkebunan rakyat. Areal penanaman kakao di Provinsi Bali, terutama berada di
Kabupaten Jembrana dan Tabanan.
Namun, perkembangan produksi kakao di Indonesia, termasuk di Provinsi Bali seringkali tidak
diikuti dengan perbaikan mutu biji kakao. Biji kakao dari perkebunan rakyat cenderung masih bermutu
rendah. Rendahnya mutu biji kakao, terutama disebabkan oleh cara pengolahan yang kurang baik, seperti biji
kakao tidak difermentasi atau proses fermentasi yang kurang baik.
Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao. Proses ini tidak hanya bertujuan
untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan biji, namun terutama juga untuk memperbaiki dan
membentuk citarasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji
(Widyotomo, dkk, 2004). Fermentasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti fermentasi
tumpukan, fermentasi dalam keranjang, dan fermentasi dalam kotak. Pemilihan metodenya tergantung pada
kemudahan penerapan dan memperoleh wadah fermentasi, serta ketersediaan tenaga kerja.
Fermentasi yang sempurna menentukan citarasa biji kakao dan produk olahannya, termasuk juga
karena buah yang masak dan sehat serta pengeringan yang baik. Fermentasi sempurna yang dimaksud adalah
fermentasi selama 5 hari sesuai dengan penelitian Sime-Cadbury. Jika fermentasi yang dilakukan kurang atau
tidak sempurna, selain citarasa khas cokelat tidak terbentuk, juga seringkali dihasilkan citarasa ikutan yang
tidak dikehendaki, seperti rasa masam, pahit, kelat, sangit, dan rasa tanah (Atmawinata, O, dkk, 1998).
Untuk meningkatkan nilai tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan petani kakao di Bali,
dilakukan beberapa strategi penelitian pasca panen. Tahap pertama adalah penelitian untuk menyiapkan
sarana dan teknologi pengolahan produk primer secara kolektif (kelompok) sehingga dihasilkan peningkatan
mutu biji kakao; dan tahap kedua adalah penelitian lanjutan untuk mengembangkan produk sekunder kakao
sehingga dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi petani. Produk olahan dari biji kakao yang bisa
dihasilkan antara lain pasta, lemak, dan bubuk cokelat. Produk ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku
pada industri makanan, farmasi, dan kosmetika.

73

Pasta cokelat atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa
tahapan proses sehingga biji kakao yang semula padat menjadi bentuk cair atau semicair. Pasta cokelat dapat
diproses lebih lanjut menjadi lemak dan bubuk cokelat yang merupakan bahan baku pembuatan produk
makanan dan minuman cokelat .
Lemak cokelat atau cocoa fat atau cocoa butter merupakan lemak nabati alami yang mempunyai
sifat unik, yaitu tetap cair pada suhu di bawah titik bekunya. Lemak cokelat dikeluarkan dari pasta cokelat
dengan cara dikempa atau dipres. Pasta kakao dimasukkan ke dalam alat kempa hidrolis yang memiliki
dinding silinder yang diberi lubang-lubang sebagai penyaring. Cairan lemak akan keluar melewati lubanglubang tersebut, sedangkan bungkil cokelat sebagai hasil sampingnya akan tertahan di dalam silinder.
Lemak cokelat mempunyai warna putih kekuningan dan berbau khas cokelat. Lemak cokelat
mempunyai tingkat kekerasan yang berbeda pada suhu kamar, tergantung asal dan tempat tumbuh
tanamannya. Lemak cokelat dari Indonesia, khususnya Sulawesi memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi bila
dibandingkan lemak cokelat dari Afrika Barat; dan sifat ini sangat disukai oleh pabrik makanan cokelat
karena produk menjadi tidak mudah meleleh saat didistribusikan ke konsumen (Mulato, et al., 2002).
Bubuk cokelat atau cocoa powder diperoleh melalui proses penghalusan bungkil (cocoa cake) hasil
pengempaan. Untuk memperoleh ukuran yang seragam, setelah penghalusan perlu dilakukan pengayakan.
Bubuk cokelat relatif sulit dihaluskan dibandingkan bubuk/tepung dari biji-bijian lain karena adanya
kandungan lemak. Lemak yang tersisa di dalam bubuk mudah meleleh akibat panas gesekan pada saat
dihaluskan sehingga menyebabkan komponen alat penghalus bekerja tidak optimal. Pada suhu yang lebih
rendah dari 34C, lemak menjadi tidak stabil menyebabkan bubuk menggumpal dan membentuk bongkahan
(lump) (Mulato et al., 2002).
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh fermentasi biji kakao terhadap produk pasta,
lemak, dan bubuk cokelat yang merupakan produk olahan setengah jadi cokelat.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Subak Abian Pucaksari, Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg
Barat, Kabupaten Tabanan pada bulan Juli-Oktober 2006 dengan melibatkan 20 orang petani kooperator,
masing-masing dengan luasan lahan 0,5 ha.
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian adalah waktu fermentasi biji kakao, yang terdiri dari 3
tingkat, yaitu tanpa fermentasi, fermentasi tidak sempurna (4 hari), dan fermentasi sempurna (5 hari). Biji
kakao kering yang diperoleh kemudian diolah lebih lanjut menjadi produk setengah jadi cokelat, yaitu pasta,
lemak, dan bubuk cokelat. Tahapan pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi cokelat dapat dilihat
pada Gambar 1.
Variabel yang diamati adalah mutu kimia produk setengah jadi cokelat, meliputi : kadar air dan
kadar lemak; serta pH untuk bubuk cokelat. Hasil analisis mutu kimia yang didapat kemudian dianalisis
menggunakan analisis sidik ragam, dilanjutkan dengan uji Duncan jika hasil berbeda nyata. Uji organoleptik
dilakukan terhadap produk pasta dan bubuk cokelat dengan uji rangking menggunakan 15 orang panelis semi
terlatih sebagai ulangan. Analisis dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian UNUD. Dari
setiap tahapan pada Gambar 1 juga dilakukan penghitungan rendemen hasil.

74

Biji kakao

Penyortiran

Penyangraian

Pemisahan kulit

Kulit biji

Daging biji (Nib)

Pemastaan

Pasta Cokelat

Pengempaan/Pengepresan

Lemak Cokelat

Bungkil Cokelat

Bubuk Cokelat
Gambar 1. Tahapan Pengolahan Biji Kakao Menjadi Produk Setengah Jadi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rendemen Hasil Produk Olahan Setengah Jadi Cokelat
Dalam pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi cokelat terjadi penyusutan bobot pada
setiap tahapan sehingga didapatkan rendemen hasil dari masing-masing produk pasta, lemak, dan bubuk.
Rendemen hasil olahan biji kakao menjadi produk setengah jadi untuk setiap tahapan proses dapat dilihat
pada Gambar 2.
Biji kakao kering yang dipergunakan untuk pengolahan produk setengah jadi cokelat sekitar 10 kg.
Penyangraian dilakukan selama sekitar 30-60 menit dengan suhu sangrai 120-140C. Dari 10,13 kg biji kakao
kering yang disangrai, diperoleh 9,77 kg biji kakao sangrai. Biji kakao sangrai kemudian dipisahkan antara
bagian daging biji (nib) dengan kulitnya menggunakan mesin pengupas kulit (desheller). Pecahan-pecahan
nib yang diperoleh sebanyak 7,83 kg (sekitar 77,33% dari berat biji kakao kering) dan bagian ini yang akan
digunakan untuk proses pengolahan produk cokelat selanjutnya; Menurut Mulato, S., dkk (2004), kadar kulit
ari yang dapat memenuhi spesifikasi mutu biji kakao sebagai bahan baku produk cokelat adalah 12-13%; atau
dengan kata lain, kadar nib yang memenuhi spesifikasi adalah 87-88%.
Sebagai bahan baku makanan/minuman cokelat, pecahan nib harus dihancurkan sampai ukuran
tertentu menjadi cairan kental yang disebut pasta. Pasta cokelat yang dapat dihasilkan dari 7,83 kg nib adalah
sebanyak 7,80 kg (sekitar 77,00% dari berat biji kakao kering). Dari pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut
untuk mengeluarkan lemak cokelat, yaitu dengan cara pengempaan atau pengepresan dengan hasil samping
berupa bungkil cokelat yang dapat diolah lebih lanjut menjadi bubuk cokelat.

75

Biji kakao kering


(W = 10,13 kg)

Penyangraian
(W = 9,77 kg)

Kulit biji

Pemisahan kulit

Daging biji/Nib
(W = 7,83 kg)

Pemastaan

Pasta Cokelat
(W = 7,80 kg)

Pengempaan

Lemak cokelat
(V = 3,06 L ~ W = 2,45 kg)

Bungkil
(W = 5,00 kg)

Bubuk cokelat
( W = 4,77 kg)
Gambar 2. Rendemen Hasil Olahan Biji Kakao Menjadi Produk Setengah Jadi (Kapasitas 10 Kg Biji Kakao
Kering)

Dari 7,80 kg pasta cokelat dapat dihasilkan lemak cokelat sebanyak 3,06 liter atau 2,45 kg (sekitar
24,21% dari berat biji kakao kering atau 31,44% dari berat pasta) dan 5,00 kg bungkil cokelat. Dari proses
penghalusan dan pengayakan bungkil, didapatkan bubuk cokelat halus sebanyak 4,77 kg (sekitar 47,05% dari
berat biji kakao kering atau 61,11% dari berat pasta.
Rendemen lemak yang diperoleh dari proses pengempaan sangat dipengaruhi oleh suhu pasta, kadar
air pasta, kadar protein pasta, ukuran partikel pasta, tekanan kempa, dan lama waktu pengempaan (Mulato et
al., 2002). Umumnya, dengan keadaan yang ideal, lemak cokelat yang bisa didapatkan dari proses
pengempaan adalah 475-525 ml per kg pasta cokelat yang dipres atau sekitar 48% dari berat pasta dengan
hasil samping (52%) berupa bungkil.
Proporsi rendemen hasil olahan kakao menjadi produk setengah jadi seperti disebut di atas tidak
selalu tetap dan akan berubah sekiranya ada perubahan pada spesifikasi biji kakao, seperti kadar air, kadar
lemak, dan kadar kulit biji kakao sebagai bahan baku produk (Mulato et al., 2004).
Pasta Cokelat
Hasil analisis mutu kimia pasta cokelat dapat dilihat pada Tabel 1

76

Tabel 1. Analisis Mutu Kimia Pasta Cokelat


Parameter/Pasta Cokelat

Non Fermentasi

Fermentasi Tidak Sempurna

Fermentasi Sempurna

Kadar lemak (%)


52,77 a
54,84 b
57,87 c
Kadar air (%)
1,35 a
3,19 c
1,57 b
Ket. : Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji sidik ragam ( = 0,05).

Kadar lemak pasta cokelat yang dibuat, baik yang dibuat dari biji fermentasi dan non fermentasi
sangat tinggi, yaitu 52,77%-57,87%bb (Tabel 1). Sebagian besar lemak cokelat tersusun dari lemak jenuh
(60%), terutama asam lemak stearat. Sepertiga lemak cokelat termasuk kelompok asam lemak oleat yang
dikenal memiliki efek positif bagi kesehatan jantung.
Tabel 2. Analisis Mutu Organoleptik Pasta Cokelat (Uji Rangking)
Atribut mutu/Pasta Cokelat
Warna
Aroma
Rasa pahit (bitterness)

Non Fermentasi

Fermentasi Tidak Sempurna

FermentasiSempurna

3
2
2

2
3
3

1
1
1

Secara keseluruhan, hasil uji rangking produk pasta cokelat menunjukkan bahwa panelis paling
menyukai pasta yang dibuat dari biji yang difermentasi sempurna, baik dari segi warna, aroma, dan rasa pahit
(Tabel 2). Panelis menilai bahwa pasta cokelat dari biji yang difermentasi sempurna berwarna cokelat bata,
dengan aroma khas cokelat dan rasa pahit yang juga khas cokelat. Misnawi (2005) menyatakan bahwa,
fermentasi merupakan tahapan pengolahan yang sangat penting untuk menjamin terbentuknya citarasa
cokelat yang baik. Praktek fermentasi yang salah dapat menyebabkan kerusakan citarasa yang tidak dapat
diperbaiki dengan modifikasi pengolahan selanjutnya; demikian juga jika fermentasi biji tidak dilakukan,
aroma khas cokelat tidak akan muncul dan biji kakao memiliki rasa sepat dan pahit yang berlebihan.
Lemak Cokelat
Hasil lemak cokelat yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh kondisi pasta cokelat sebagai bahan
baku kempa, seperti kadar lemak minimal 40-45%, kadar air 4%, dengan ukuran partikel pasta kurang dari 75
mm (Anonima, undated). Berdasarkan Tabel 1 mengenai hasil analisis kimia pasta cokelat, dimana kadar
lemak pasta adalah sekitar 52-57% dan kadar air 1-3%, sehingga didapatkan produk lemak cokelat dengan
kandungan kimia seperti terlihat pada Tabel 3.
Meskipun kandungan lemak pada produk lemak cokelat sangat tinggi (97-99%), namun lemak
cokelat relatif tidak mudah tengik karena kadar air produk lemak cokelat yang sangat rendah, yaitu 0,050,13% dan juga adanya kandungan polifenol dalam cokelat (6%) yang berfungsi sebagai antioksidan alami
pencegah ketengikan (Khomsan, 2002).
Tabel 3. Analisis Mutu Kimia Lemak Cokelat
Parameter/Lemak Cokelat

Non Fermentasi

Fermentasi Tidak Sempurna

Fermentasi Sempurna

Kadar lemak (%)


97,86 a
98,11 a
99,87 a
Kadar air (%)
0,05 a
0,09 b
0,13 c
Ket. : Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji sidik ragam ( = 0,05)

Bubuk Cokelat
Proses fermentasi dapat menurunkan kadar bahan bukan lemak, sehingga secara relatif kadar lemak
akan meningkat (Yusianto et al., 1997). Hal ini juga tampak pada bubuk cokelat yang dibuat dimana kadar
lemak semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil analisis mutu kimia bubuk
cokelat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Mutu Kimia Bubuk Cokelat
Parameter/Bubuk Cokelat

Non Fermentasi

Fermentasi Tidak Sempurna

Fermentasi Sempurna

Kadar lemak (%)


27,95 a
30,93 b
37,78 c
Kadar air (%)
7,94 b
4,66 a
4,38 a
pH
6,30 c
5,85 b
5,35 a
Ket. : Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji sidik ragam ( = 0,05)

77

Hasil analisis kadar lemak dalam bubuk cokelat yang berkisar 27-37%bb masih relatif tinggi untuk
standar bubuk cokelat, karena umumnya kadar lemak dalam bubuk cokelat berkisar 10-22% (Mulato, et al.,
2004). Kadar lemak bubuk cokelat yang masih relatif tinggi mungkin disebabkan oleh beberapa hal, seperti
suhu pada saat pengempaan yang kurang dari 35C dan tekanan kempa yang kurang kuat (karena proses
kempa dilakukan secara manual) sehingga lemak di dalam pasta pada saat dikempa tidak sepenuhnya terpisah
dan masih terikat dalam bungkil cokelat.
Kadar air yang dipersyaratkan untuk bubuk cokelat adalah maksimal 7%bb. Kadar air bubuk cokelat
yang didapatkan adalah sekitar 4%bb untuk bubuk cokelat yang difermentasi; sementara untuk bubuk cokelat
non fermentasi, kadar air masih di atas 7%bb (Tabel 4) dan kemungkinan hal ini lebih disebabkan oleh
kondisi penyimpanan yang kurang tepat sehingga produk menyerap uap air dari luar. Menurut Winarno
(1997), kestabilan optimum bahan makanan dapat tercapai jika kadar air bahan berkisar 3-7%, karena pada
keadaan tersebut bahan makanan tidak mudah terserang oleh ketengikan (oksidasi) dan lebih tahan terhadap
serangan mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan khamir.
Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa pH bubuk cokelat yang dibuat dari biji yang difermentasi
adalah 5,35-5,85; sementara pH bubuk cokelat non fermentasi adalah 6,30 (Tabel 4). Perbedaan nilai pH
bubuk mengakibatkan perbedaan warna dan kegunaannya. Bubuk cokelat dari biji yang difermentasi
termasuk bubuk natural yang berwarna cenderung lebih terang daripada bubuk cokelat dari biji non
fermentasi. Bubuk cokelat natural cocok digunakan dalam industri roti; sementara bubuk dengan pH di atas
6,0 biasanya digunakan untuk pembuatan minuman, puding, dan es krim (Anonimc, 2005).
Tabel 5. Analisis Mutu Organoleptik Bubuk Cokelat (Uji Rangking)
Atribut mutu/Bubuk Cokelat
Warna
Aroma
Rasa pahit (bitterness)
Tekstur

Non Fermentasi

Fermentasi Tidak Sempurna

FermentasiSempurna

3
3
3
2

2
2
2
3

1
1
1
1

Secara keseluruhan, hasil uji rangking menunjukkan bahwa panelis paling menyukai bubuk cokelat
yang dibuat dari biji dengan fermentasi sempurna, baik dari segi warna, aroma, rasa pahit, dan tekstur (Tabel
5). Panelis menilai bahwa bubuk cokelat yang dibuat dari biji kakao dengan fermentasi sempurna memiliki
warna bubuk cokelat bata, dengan aroma khas cokelat dan rasa pahit yang khas cokelat, serta tekstur bubuk
yang halus.

KESIMPULAN
1.

Proses pengolahan biji kakao menjadi produk olahan setengah jadi cokelat dengan volume 100 kg biji
kakao kering dapat menghasilkan 78,0 kg pasta cokelat atau 47,7 kg bubuk cokelat dan 24,5 kg lemak
cokelat.

2.

Proses fermentasi sangat berpengaruh terhadap mutu kimia dan organoleptik produk olahan setengah jadi
cokelat. Hasil analisis mutu kimia menunjukkan bahwa pasta, lemak, dan bubuk cokelat yang dibuat dari
biji kakao yang difermentasi sempurna memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan produk
olahan dari biji kakao yang tidak difermentasi dan yang difermentasi kurang sempurna. Secara
keseluruhan, panelis juga memberikan rangking tertinggi untuk atribut mutu organoleptik pasta dan
bubuk cokelat dari biji yang difermentasi sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
Anonima. (undated). SOP Produk Olahan Kakao. Diakses melalui http://agribisnis.deptan.go.id.
Anonimb. 2004. Data Bali Membangun 2004. Pemprov Bali. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
Denpasar.
Anonimc. 2005. Biskuit Halal Banyak Ragamnya. Diakses melalui Republika Online, 1 April 2005.
Atmawinata, O., Sri Mulato, S. Widyotomo, dan Yusianto. 1998. Teknik Pra Pengolahan Biji Kakao Segar
Secara Mekanis untuk Mempersingkat Waktu Fermentasi dan Menurunkan Kemasaman Biji. Pelita
Perkebunan, Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao, Volume 14, Nomor 1, April 1998.
Khomsan, A. 2002. Cokelat Baik untuk Jantung dan Suasana Hati. Diakses melalui
http://kolom.pacific.net.id/ind, 1 Mei 2002.

78

Misnawi. 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat. Warta Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao. Vol. 21 (3). Oktober 2005, Jember.
Mulato, S, S. Widyotomo, dan Handaka. 2002. Disain Teknologi Pengolahan Pasta, Lemak, dan Bubuk
Cokelat untuk Kelompok Tani. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Litbang
Pertanian, Departemen Pertanian. Diakses melalui http://pustaka.bogor.net.
Mulato, S., S. Widyotomo, Misnawi, Sahali, dan E. Suharyanto. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk
Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kakao, Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Widyotomo, S, Sri Mulato, dan Handaka. 2004. Mengenal Lebih Dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao.
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 26 No. 2, 2004.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yusianto, H. Winarno, dan T. Wahyuni. 1997. Mutu dan Pola Citarasa Beberapa Klon Kakao Lindak. Pelita
Perkebunan 1997, 13 (3), hal. 171-187.

79

INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN KAKAO DI LABORATORIUM AGRIBISNIS


PRIMA TANI KABUPATEN LOMBOK BARAT
Sudarto, I. Made Wisnu W. dan Irianto Basuki
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK
Desa Genggelang merupakan desa terpilih untuk kegiatan laboratorium agribisnis Prima Tani 2007-2009
dengan agroekosistem lahan kering dataran rendah iklim basah mamiliki ketinggian tempat berkisar antara 5 sampai
dengan lebih kurang 550 m dpl dengan topografi miring dan bergelombang. Perencanaan dan implementasi Prima Tani
(Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Teknologi Inovasi Pertanian) memerlukan dukungan data dan
informasi yang akurat dan lengkap, data dan informasi tersebut dikumpulkan melalui survey lapangan dengan metode
Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA merupakan cara belajar dari dan dengan masyarakat untuk menemukan,
menganalisis dan mengevaluasi kendala dan peluang untuk mengetahui dan memutuskan dengan tepat waktu programprogram atau pelaksanaan kegiatan. Dalam pelaksanaan PRA melibatkan peran serta masyarakat setempat seperti tokoh
masyarakat, ketua kelompok tani, pedagang, aparat desa, PPL, kepala desa serta instansi terkait di Pemda dan peran
BPTP NTB sebagai fasilitator. Hasil PRA diperoleh beberapa tanaman terpilih berturut-turut kakao, kopi, jambu mete
dan ternak kambing serta permasalahannya. Masalah yang dihadapi oleh petani terhadap tanaman kakao adalah
rendahnya produksi, harga biji kakao per kilo gram rendah, dan serangan hama penggerek buah kakao (PBK)
Conoppomorpha cramerella (Snell.) dan penyakit busuk buah Phytophthora palmivora (Butl.). Inovasi teknologi yang
dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut antara lain denga rehabilitasi tanaman yaitu dengan cara sambung
samping terhadap tanaman kakao yang tidak produktif, tumbuh kerdil/kurang sehat, pemangkasan produksi dan
pengendaliah hama/penyakit.
Kata kunci : Prima tani, agribisnis, kakao

PENDAHULUAN
Perkembangan kakao di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir cukup luas, sampai pada tahun
1996 luas areal kakao mencapai 605.944 ha khususnya terjadi di perkebunan rakyat (Dirjen Perkebunan,
1997). Produksi kakao Indonesia diperkirakan mencapai 317.729 ton, kakao rakyat menyumbang 283.516 ton
atau sekitar 75 % dari produksi nasional. Nusa Tenggara Barat dengan total areal perkebunan kakao seluas
3.394,47 ha produksinya mencapai 170,62 ton dan kabupaten Lombok Barat dengan luas areal 2.295,47 ha
produksi yang dihasilkan mencapai 148,09 ton (BPS, 2005). Sedangkan di Desa Genggelang yang
merupakan lokasi kegiatan Laboratorium Agribisnis Prima Tani kabupaten Lombok Barat, luas perkebunan
kakao 957 ha dengan tingkat produktivitas hanya 7,5 kwintal/ha/tahun biji kering (Anonim, 2005;
BPS,2005). Produksi tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan bahan tanaman klon-klon unggul
yang dapat mencapai produksi di atas satu ton, seperti ICS 60 (1.500 kg/ha), hibrida (2.000 kg/ha) dan lainlain (Anonim, 2003).
Asal mula pertanaman kakao adalah merupakan proyek dari Dinas Perkebunan Tk. I propinsi Nusa
Tenggara Barat dan bahan tanam benih hibrida F 1, sehingga tanaman yang ada banyak dijumpai tidak
seragam. Menurut Sri Winarsih dan Adi Prawoto (1998) perbanyakan tanaman kakao dengan biji secara
fisiologis tidak menjamin keseragaman, produktivitas, dan mutu biji kakao. Selain itu pengelolaan tanaman
kakao oleh petani juga sangat sederhana dari awal tanam sampai tanaman kakao menghasilkan, tanaman
tidak dilakukan pemangkasan bentuk sehingga terlihat pertumbuhan tanaman cukup tinggi yaitu melebihi 5
meter, kanopi banyak yang saling bersinggungan sehingga kondisi kebun cukup lembab.
Salah satu aktivitas Departemen Pertanian yang diinisiasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima
Tani). Aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pertanian berkelanjutan dan
melestarikan lingkungan. Berdasarkan prinsip, ciri dan tujuan Prima Tani tersebut maka berbagai inovasi
teknologi yang telah dihasilkan oleh BPTP maupun Balit selanjutnya dapat mendukung, memperkuat
penyebarluasan teknologi ditingkat petani untuk mengoptimalisasikan pengembangan agroindustri pedesaan
dan sistem usahatani intensifikasi dan diversifikasi. Sasarannya adalah agar mampu meningkatkan nilai
tambah produk dan pendapatan petani yang layak.
Bertitik tolak dari kondisi riil di atas maka usaha yang dapat dilakukan untuk memperoleh
keseragaman, produktivitas dan mutu biji kakao adalah melalui inovasi teknologi budidaya pada tanaman
yang produktivitasnya rendah dapat direhabilitasi menjadi tanaman klonal yang produktivitasnya tinggi
melalui teknik sambung-samping, pemangkasan, pengendalihan hama dan penyakit.

80

METODE
Kegiatan dilakukan di Desa Genggelang Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat yang
merupakan desa terpilih untuk kegiatan laboratorium agribisnis Prima Tani dengan zona agroekosistem lahan
kering dataran rendah iklim basah. Perencanaan dan implementasi Prima Tani (Program Rintisan dan
Akselerasi Pemasyarakatan Teknologi Inovasi Pertanian) memerlukan dukungan data, informasi yang akurat
dan lengkap. Inventarisasi potensi sumberdaya meliputi : biofisik dan eksisting teknologi di lokasi kegiatan.
Data dan informasi tersebut dikumpulkan melalui survey lapangan dengan metode Participatory Rural
Appraisal/PRA (Bambang Irawan, dkk., 2005). PRA merupakan cara belajar dari dan dengan masyarakat
untuk menemukan, menganalisis dan mengevaluasi kendala dan peluang untuk mengetahui dan memutuskan
dengan tepat waktu program-program atau pelaksanaan kegiatan. PRA dilaksanakan dengan teknik
wawancara langsung dengan kelompok (focus discussion group) yang terdiri dari kelompok tani, tokoh
masyarakat, PPL, aparat desa, kepala desa, kadus, tokoh agama, pedagang, dan instansi terkait di Pemda dan
peran BPTP NTB sebagai fasilitator. Dalam pelaksanaan PRA diperoleh tanaman terpilih berturut-turut
antara lain kakao, kopi, jambu mete, kacang tanah dan ternak kambing serta ranking masalahnya. Masalah
yang diperoleh pada tanaman kakao antara lain produksi rendah, serangan hama dan penyakit serta harga
yang rendah.

HASIL DAN PEMBASAHAN


A. Gambaran Wilayah
Desa Genggelang dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah, tengah dan atas. Dusun-dusun
yang terletak di bagian bawah atau di Utara yaitu: Sankukun, Sembaro, Karang Jurang, Kerakas, Kerurak.
Dusun yang terletak di bagian Tengah yaitu: Gangga, Kerta Raharja, Gitak Demung, Penjor dan dusun yang
terlatek di bagian atas yaitu: Monggal Atas, Monggal Bawah dan Paok Rempek. Dusun bagian bawah berada
pada ketinggian antara 5 200 m dpl, usaha tani yang diusahakan tanaman pangan; bagian tengah berada
pada ketinggian antara 200 300 m dpl dan bagian atas berada pada ketinggian > 300 m dpl. Dusun yang
berada pada elevasi yang cukup tinggi adalah Desa Monggal Atas ( 550 m dpl) usaha tani yang diusahakan
bagian tengah dan atas adalah tanaman perkebunan termasuk diantaranya tanaman kakao. Topografi miring
dan bergelombang.
Jumlah penduduk Desa Genggelang pada tahun 2005 sebanyak 10.394 jiwa yang terdiri dari 2.410
kepala keluarga. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin, yaitu terdiri dari laki-laki 5.129 jiwa dan
perempuan 5.265 jiwa. Jumlah petani tanaman perkebunan 2.682 jiwa yang melibatkan 1.109 kepala
keluarga atau 45,12% KK dan yang bermata pencaharian dari pertanian tanaman pangan sebanyak 1.524 jiwa
yang melibatkan 630 rumah tangga atau 25,63% KK (Anonim, 2005).
Berdasarkan hasil analisis data seri hujan periode 1993-2006 di lokasi Prima Tani Desa Genggelang
Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat menunjukkan rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara 7
407 mm/bulan, curah hujan tahunan sebanyak 1409 mm/tahun, jumlah hari hujan antara 0 11 hari per
bulan, dan jumlah hari hujan tahunan sebanyak 48 hari (Anonim, 2007).
HARI HUJAN DI DESA GENGGELANG

CURAH HUJAN DI DESA GENGGELANG

350
300
250
200
150
100
50
0

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

(hari/bulan)

400

HARI HUJAN (hari/bulan)

CURAH HUJAN (mm/bulan)

450

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

BULAN

BULAN

Gambar 1. Distribusi Hujan dan Hari Hujan Bulanan di Desa Genggelang

81

Kondisi hujan mengindikasikan bahwa lokasi Prima Tani tergolong ke dalam zona agroklimat D-4
(Oldeman, 1980) dan tipe hujan E dengan puncak periode basah pada bulan Februari dan puncak periode
kering pada bulan September. Kelembaban udara relatif berkisar 81% sepanjang tahun, dengan capaian nilai
maksimum bulan Desember dan minimum terjadi bulan Mei dan suhu rerata tahunan berkisar 25,8 C.
B. Eksisting teknologi tanaman kakao
Usahatani dominan yang diusahakan penduduk Desa Genggelang adalah usahatani tanaman
perkebunan tahunan. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan dan biasanya ditanam dalam bentuk kebun,
antara lain: kakao, kopi, kelapa, mangga, cengkeh, pisang dan durian. Secara umum teknologi yang
diterapkan petani dalam budidya tanaman tersebut masih sangat sederhana.
Umur tanaman kakao yang terdapat di Desa Genggelang sangat bervariasi yaitu berkisar antara 1015 tahun dan bahkan pada beberapa kebun petani ada tanaman yang masih muda, berumur sekitar 2 tahun.
Jenis tanaman kakao yang diusahakan adalah kakao rakyat atau biasa dikenal dengan kakao lindak (bulk
cacao). Jarak tanam yang digunakan bervariasi yaitu antara 2,5 X 3 meter.
Kegiatan usahatani kakao yang dikerjakan petani saat ini terbatas hanya pada kegiatan
pemeliharaan. Setiap tahun petani melakukan kegiatan pemangkasan, baik pemangkasan berat maupun
ringan. Pemangkasan biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan Juli sampai dengan akhir bulan
Agustus. Pemangkasan dilakukan dengan cara memotong cabang-cabang yang overlap dan cabang/ranting
yang tidak produktif atau ranting-ranting yang mati. Sebagian besar kegiatan ini dilakukan oleh orang lakilaki. Tujuan dilakukan pemangkasan, salah satunya, adalah untuk mengurangi kelembaban kebun. Dengan
berkurangnya kelembaban pada kebun diharapkan dapat mengurangi perkembangan hama Cacao moth sp.
atau yang biasa dikenal dengan hama penggerek buah kakao (PBK).
Hama penggerek buah kakao biasanya mulai menyerang pada bulan Januari sampai dengan bulan
Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut tanaman sudah mulai berbuah. Petani dalam mengendalikan hama
tersebut sudah menerapkan sistem kondomisasi pada buah kako yang masih muda yaitu dengan cara
membungkus buah kakao dengan plastik. Tujuan dari komdomisasi ini adalah agar hama penggerek buah
kakao tidak dapat menggerek buah dan larvanya tidak dapat masuk kedalam buah kakao.
Tidak seluruh kebun milik petani dibuatkan rorak disekitar barisan tanaman kakao. Terlihat daundaun kakao yang rontok hanya dibersihkan bersamaan waktu kegiatan penyiangan. Daun-daun rontok yang
mengering dan sisa-sisa tanaman hasil penyiangan oleh petani dikumpulkan pada suatu tempat untuk
kemudian dibakar. Kegiatan penyiangan biasanya dilakukan pada awal musim penghujan yaitu pada bulan
Nopember-Desember setiap tahunnya. Penyiangan tersebut kebanyakan dilakukan oleh laki-laki dan sedikit
tenaga perempuan.
Pemupukan dilaksanakan setelah kegiatan penyiangan selesai dilakukan dengan cara membuat parit
disekitar tanaman kemudian pupuk ditaburkan secara merata dan parit ditutup kembali dengan tanah, ada
sebagian kecil petani yang melakukan pemupukan dengan kotoran sapi dan hal ini biasanya dilkakukan bagi
mereka yang memiliki ternak sapi. Ternak sapi, kebanyakan oleh petani kalau siang hari ditambatkan pada
tanaman kakao dan hal ini secara tidak langsung akan menambah bahan organik disekitar tanaman kakao,
cuma sayangnya penambatan ternak sapi tersebut tidak dilakukan berpindah-pindah pada setiap tanaman
sehingga hanya tanaman yang dipergunakan untuk tambatan ternak yang mendapat bahan organik.
Pembuatan rorak hanya sebagian kecil petani yang melaksanakannya.
Tanaman kakao mulai berbunga pada pertengahan bulan Oktober sampai dengan bulan Nopember
dan terjadi pembuahan pada bulan Desember. Sistem berbunga dari tanaman adalah sifatnya epigaes yaitu
bunga dan buah menempel pada batang dan cabang-cabangnya, sehingga kegiatan kondomisasi pada buah
kakao adalah tindakan yang paling efektif untuk mengendalikan hama penggerek buah kakao, selain caracara pengendalian yang lainnya. Karena bersifat epigaes, sehingga banyak kita temui buah-buah kakao sangat
rendah posisinya dan dekat sekali dengan permukaan tanah.
Musim panen puncaknya (panen raya) pada bulan Maret sampai dengan bulan April. Panen raya
dilakukan setiap minggu sekali dan panen biasa dilakukan 2 minggu sekali sepanjang hari setiap tahun. Hasil
panen kakao langsung dilakukan pemecahan buah dan biji-biji tersebut dilakukan pemeraman dengan air
semalam kemudian dilakukan penjemuran. Ada sebagian petani yang setelah melakukan pemecahan buah
kakao langsung menjualnya dan ada pula yang melakukan penjemuran selama satu hari. Produksi yang
dihasilkan rata-rata 700 kg/ha biji kering, harga biji kakao yang baru dikeluarkan dari kulit buah dan dijemur
selama satu sebesar Rp. 3000,-sampai dengan Rp. 5000,- per kilogram. Petani dalam menjual biji kakao tidak
dilakukan secara kelompok dan pedagang pengumpul (pengejos) mendatangi rumah-rumah petani.

82

C. Inovasi Teknologi Budidaya Kakao


Untuk meningkatkan produktivitas kakao, inovasi teknologi budidaya yang dapat dilakukan anatara
lain : pemangkasan produksi, rehabilitasi kakao menjadi tanaman klonal, pengendalian hama dan penyakit.
1.

Pemangkasan Produksi,

Kunci dari pangkas pemeliharaan adalah mempertahankan tanaman tetap sehat dan produksi tinggi,
dilakukan pada tanaman menghasilkan (TM). Tujuannya untuk mempertahankan kerangka yang sudah
terbentuk. Cabang yang dipangkas cabang sakit, cabang balik, cabang terlindung atau cabang yang
melindungi, cabang yang masuk jauh kedalam tajuk tanaman disebelahnya. Frekuensi pangkasan 6-8 kali
pertahun. Tunas air dibuang 2-4 minggu sekali.
-

Potong ranting/cabang
Sangat ternaungi, masuk jauh ketajuk tetangga, cabang yang menggantung, dan cabang yang sakit/patah,
dan tunas-tunas air harus selalu dihilangkan.

Petik buah-buah yang sakit dan dibenamkan.

Dilakukan dengan sering dengan intensitas ringan (misal 2 bulan sekali).

Pangkas produksi dilakukan lebih berat dari pada pangkas pemeliharaan.

Diutamakan topping 3-4 meter.

Memicu flush, pembungaan dan pertumbuhan buah.

Jadwal pemangkasan tanaman kakao


Jan

Peb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agt

Sep

Okt

Nop

Des

Produksi
Pemeliharaan
Wiwilan

2.

Rehabilitasi Kakao Menjadi Tanaman Klonal,

Dalam rehabilitasi tanaman kakao menjadi tanaman klonal salah satunya dapat dilakukan dengan
cara sambung-samping. Teknik sambung-samping hanya dilakukan pada tanaman kakao yang tidak produktif
lagi dengan bahan entres klon-klon unggul.
Sambung-samping
-

Merupakan metode rehabilitasi tanaman yang masih sehat tetapi perlu direhabilitasi karena berbagai
alasan.

Dilaksanakan pada musim hujan, saat tanaman tumbuh aktif.

Dilakukan pada batang bawah yang sehat, tumbuh aktif ditandai dengan kulit batang mudah dibuka.

Disiapkan batang atas (entres) klon-klon unggul anjuran yang jelas identitasnya.

Bahan entres berupa cabang plagiotrop berwarna hijau atau hijau kecoklatan yang daunnya telah menua,
dengan diameter 0,75 1,50 cm.

Pelaksanaan Sambung Samping


a.

Batang Bawah
-

Pada ketinggian 45 60 cm dari permukaan tanah, kulit batang ditoreh vertikal sepanjang 5 cm,
jarak antar torehan 1 2 cm atau sama dengan diameter entres yang akan disisipkan. Tebalnya
sayatan sampai mencapai kambium.

Di ujung atas torehan dipotong miring ke bawah sampai mencapai kambium, selanjutnya kulit
diungkit apakah kulit mudah dibuka. Membukanya lidah kulit nanti bersamaan dengan saat
menyisipkan entres.

Sambung samping dapat dilakukan lebih dari satu tempat pada setiap pohon.

83

b.

c.

d.

3.

Entres
-

Entres disiapkan dengan cara memotongnya sepanjang 10 12 cm dengan 3 5 mata tunas.

Pangkal entres disayat miring sehingga diperoleh bentuk permukaan sayatan runcing seperti baji.
Panjang sayatan 3 4 cm.

Untuk memperoleh tingkat keberhasilan tinggi, entres yang digunakan harus dalam keadaan segar.

Penutupan Entres dan Pengikatan


-

Entres perlahan-lahan disisipkan pada batang bawah. Sisi sayatan yang berbentuk seperti baji
dletakkan menghadap batang bawah kemudian lidah kulit ditutupkan kembali.

Entres dikerodong dengan kantong plastik dengan ukuran 18 x 8 cm kemudian diikat kuat dengan
tali rafia. Pengiakatan harus cukup ertak sehingga air hujan tidak masuk ke luka sayatan.

Dapat juga entres ditutp dengan lembaran plastik kemudian diikat erat.

Lembar plastik ini minimum setengah keliling linkaran batang bawah.

Kunci keberhasilan sambung samping antara lain terletak pada sejauh mana entres terhindar dari
dehidrasi dan luka sayatan terhindar dari air hujan.

Setelah 3 4 minggu dlakukan pengamatan, apabila entres tampak segar berarti sambungan jadi,
sebaliknya jika entres kering atau busuk maka gagal.

Pada sambungan yang gagal, dapat dilakukan sambung ulang pada sisi yang berlawanan.

Setelah panjang tunas 2 cm maka kantong plastik penutup entres dibuka dengan cara merobeknya
tanpa melepas tali pengikatnya. Apabila digunakan lembaran plastik sebagai penutup, tali penutup
entrs dilepas sedangkan tali yang mengikat bertautan tetap dipertahankan. Setelah tiga bulan dan
entres sudah melekat erat, maka tali pengikat yang bertautan bisa dilepas.

Perawatan Tunas Baru


-

Secara teratur tunas-tunas air yang tumbuh dari batang bawah dibersihkan.

Tunas-tunas baru yang tumbuh diikatkan pada batang bawah agar tumbuh vertikal.

Tajuk batang bawah yan menutup tunas baru dipotong (disiwing).

Engendalian hama dan penyakit, dilakukan dengan penyemprotan pestisida secara teratur. Hama
yang sering menyerang adalah Helopeltis spp, kutu putih, dan berbagai ulat pemakan daun. Penyakit
yang sering menyerang adalah Colletotrichum sp.

Pangkasan bentuk tunas baru dilakukan dengan memotong ujung tunas primer ini pada jarak 60 cm
dan memelihara 3 cabang sekunder. Pangkasan selanjutnya dengan memotong ujung-ujung cabang
sekunder pada batas 30 cm dari tempat percabangan. Batang bawah baru dipotong total pada saat
tunas baru sudah kuat dan mulai berbuah, yaitu ada umur 1,5 2 tahun pada jarak 20 50 cm diatas
pertautan.

Perawatan rutin tetap dilakukan sesuai baku teknis seperti wiwilan, pemupukan, pengaturan pohon
penaung dan pengendalian hama/penyakit.

Pengendalian Hama dan Penyakit,

Hama yang dijumpai dan sering menyerang tanaman kakao di Desa Genggelang adalah adalah hama
penggerek buah kakao (PBK) Conoppomorpha cramerella (Snell.) dan penyakit busuk buah Phytophthora
palmivora (Butl.).
Pengendalian hama PBK dapat dilakukan dengan cara pemangkasan bentuk, membatasi tinggi tajuk tanaman
maksimum 4 m untuk mempermudah pengendalian dan panen. Penyelubungan buah berukuran 8 10 cm
dengan kantong plastik. Secara biologi dengan menggunakan semut hitam. Untuk meningkatkan populasi
semut hitam, perlu membuat sarang dari lipatan daun kelapa atau daun kakao dan diletakkan di atas jorket.
Pengendalian penyakit busuk buah dapat dilakukan secara terpadu : sanitasi kebun yaitu memetik semua
buah busuk kemudian membenam di dalam tanah sedalam 30 cm, kultur teknis yaitu dengan pengaturan
pohon pelindung dan pemangkasan tanaman kakao sehingga kelembaban di dalam kebun turun serta
penanaman klon tahan seperti DRC 16, Sca 6, Sca 12, ICS 6 dan lain-lain (Anonim, 2003).

84

KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
-

Desa Genggelang secaga geografis dibagi menjadi 3 bagian yaitu Dusun bagian bawah berada pada
ketinggian antara 5 200 m dpl, usaha tani yang diusahakan tanaman pangan; bagian tengah berada
pada ketinggian antara 200 300 m dpl dan bagian atas berada pada ketinggian > 300 m dpl. Dusun yang
berada pada elevasi yang cukup tinggi adalah Desa Monggal Atas ( 550 m dpl) usaha tani yang
diusahakan bagian tengah dan atas adalah tanaman perkebunan termasuk diantaranya tanaman kakao.
Topografi miring dan bergelombang.

Berdasarkan hasil PRA diperoleh hasil tanaman terpilih kakao, kopi, jambu mete, kelapa dan ternak
kambing. Masalah yang timbul pada tanaman kakao produksi rendah, sharga rendah dan serangan hama
penggerek buah kakao (PBK) Conoppomorpha cramerella (Snell.) dan penyakit busuk buah
Phytophthora palmivora (Butl.).

Berdasarkan hasil analisis data seri hujan periode 1993-2006 di lokasi Prima Tani Desa Genggelang
Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat menunjukkan rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara
7 407 mm/bulan, curah hujan tahunan sebanyak 1409 mm/tahun, jumlah hari hujan antara 0 11 hari
per bulan, dan jumlah hari hujan tahunan sebanyak 48 hari.

Untuk meningkatkan produktivitas kakao, inovasi teknologi budidaya yang dapat dilakukan anatara lain :
pemangkasan produksi, rehabilitasi kakao menjadi tanaman klonal, pengendalian hama dan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman Kakao (Theobroma cacao L). Pusat penelitian Kopi dan
Kakao. Jember.
Anonim. 2005. Programa Penyuluhan Kecamatan Gangga. Dinas Pertanian dan Peternakan Lombok Barat.
Nusa Tenggara Barat.
Anonim. 2005. Monografi Desa Genggelang Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat. Pemerintah
Daerah Kabupaten Lombok Barat. NTB.
Anonim. 2007. Laporan Sementara Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan Untuk Mendukung Prima Tani di
Desa Genggelang Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat. Nusa Tenggara Barat. Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Bogor.
BPS. 2005. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB. Mataram.
BPS. 2005. Kecamatan Gangga Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB. Mataram.
Bambang Irawan, Agung Hendriadi, Zaenal Mahmud, Tri Pranadji, B. Susilo S. dan Sudjadi. 2005. Panduan
Penyusunan Rancang Bangun Laboratorium Agribisnis. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan (1997). Statistik Perkebunan Indonesia 1995-1997: Kakao. Direktorat
Jenderal Perkebunan. Jakarta. 58 p.
Sri Winarsih dan A. Adi Prawoto. 1998. Pedoman Teknis Sambung-Samping Kakao. Warta Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao. Volume 14 (1), Pebruari 1998. Jember. p: 90-96.
Oldeman,R.L., Irsal Las, and Muladi. 1980. The Agroclimate Maps Of Kalimatan, Maluku, Irian jaya, and
Bali West and East Nusa Tenggara Contrib. No. 60. Centr. Res. Inst. Agrcr. Bogor.

85

PENGARUH PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN PISANG ( Musa


paradisiaca ) DI LAHAN KERING
B.Tri Ratna Erawati1, Awaludin Hipi.1, Agus Sutanto2
1) Peneliti pada BPTP NTB
2) Peneliti pada Balai Penelitian Buah, Solok

ABSTRAK
Pisang merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi yang baik pada kondisi kekurangan air, sehingga
pisang banyak ditanam petani di lokasi lahan kering. Tetapi dalam pengembangan pisang tersebut petani belum
menerapkan teknik budidaya yang baik dan benar, terutama mengenai pemupukan. Petani umumnya belum melakuan
pemupukan secara berimbang, sehingga produktivitas dan kualitas pisang masih relatif rendah. Untuk itu dilakukan
pengujian mengenai beberapa paket pemupukan dengan tujuan untuk mengetahui paket pemupukan terbaik dan efisien
ditingkat petani, seingga produktivitas dan kualitas pisang dapat ditingkatkan. Pengkajian dilakukan di lahan kering
milik petani di Desa Labuan Pandan, Kecamatan Sambelia Lombok Timur, pada bulan Januari Juni 2007. Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok, dengan 5 perlakuan yang diulang 12 kali. Jenis pisang yang
digunakan adalah pisang susu dengan jarak tanam 3 m x 3.5 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman pisang
membutuhkan tambahan unsur hara dari pupuk organik maupun an organik dalam pertumbuhan vegetatifnya. Perlakuan
paket pemupukan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) merupakan pemupukan terbaik dan
efisien dibanding dangan perlakuan lainnya. Kemudian disusul oleh paket pemupukan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl
100 g/pohon/aplikasi). Pemberian pupuk Urea yang tidak dibarengi dengan pemberian pupuk kandang hasilnya kurang
baik jika dibandingkan dengan pupuk ZA.
Kata kunci : pemupukan, pisang, lahan kering

PENDAHULUAN
Pisang merupakan salah satu komoditas buah unggulan di Indonesia. Luas dan Produksi Pisang
selalu menempati posisi pertama. Produksi pisang sebagian besar di panen dari pertanaman kebun rakyat.
Selain itu pisang mengandung vitamin dan mineral esensial yangsangat bermanfaat bagi kesehatan. Oleh
sebab itu maka pengembangan pisang perlu mendapat perhatian yang lebih seius.
Nusa Tenggara Barat (NTB) beberapa tahun terakhir melakukan pengembangan pisang khususnya
di lahan kering karena potensi lahan kering NTB cukup luas dan belum dikelola secara optimal. Pisang
merupakan tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik terhadap kekurangan air.
Usahatani pisang cukup menguntungkan dan dapat memberikan pendapatan petani secara kontinyu
setiap bulannya. Seiring dengan itu peluang pemasaran pisang juga terbuka luas baik untuk pasar lokal
maupun pasar luar daerah (khususnya Bali) dengan harga jual yang cukup tinggi dan stabil pada jenis-jenis
pisang komerial. Hal ini yang mendorong petani kuhusnya di Kabupaten Lombok Timur untuk banyak
mengembangkan tanaman pisang.
Namun disayangkan pengembangan pisang yang dilakukan oleh petani tersebut belum diikuti
dengan penanganan budidaya tanaman pisang yang tepat dan benar. Hal ini yang menyebabakan
produktivitas dan produksi pisang di NTB masih relatif rendah. Petani masih melakukan usahatani pisang
sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan ekonomi terutama mengenai pemupukan. Pemberian
pupuk ditingkat petani masih sangat bervariasi dan belum menggunakan pemupukan yang seimbang yaitu
penggunaan pupuk organik dan an organik. Pemupukan yang berimbang mampu memberikan pertubuhan
tanaman menjadi lebih baik, tahan terhadap kerebahan, tahan terhadap hama dan penyakit, dan mampu
meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil. Pengunaan pupuk organik dapat memberikan tambahan baha
organic, hara, memperbaiki sifat fisik tanah, serta mengembalikan hara yang teangkut hasil anen. Selain itu
juga dapat mencegah kehilangan air dalam anah dan laju infiltrasi air (Soemarno, 1993).

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dilahan petani di Desa Labuan Pandan Kecamatan Sambelia Kabupaten
Lombok Timur, pada bulan Januari Juni 2007. Tipologi lokasi penelitian adalah lahan kering. Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan yang diulang 12 kali, dan
masing-masing perlakuan menggunakan 10 tanaman sampel. Perlakuan terdiri dari beberapa paket
pemupukan yaitu : O = tanpa menggunan pupuk (kontrol), A = Pupuk kompos (20 kg/pohon) /aplikasi, B =

86

Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi, C = ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100
g/pohon/aplikasi, dan D = Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi. Perlakuan diatur pada
lahan petani, berdasarkan rancangan percobaan yang telah ditentukan.
Bahan yang digunakan adalah bibit (dalam polybag) yang sudah dikembangkan dari bonggol. Jenis
pisang yang digunakan adalah pisang susu. Penanaman dilakukan secara bersamaan, setiap lubang ditanami
satu tanaman, dengan jarak tanam 3 m x 3,5 m. Pemupukan dilakukan sesuai dengan paket pada setiap
perlakuan. Untuk perlakuan yang memiliki kompos A dan D, kompos diberikan 2 minggu sebelum tanam.
Sedangkan untuk pemupukan an organik di berikan 2 minggu setelah penanaman.
Pengamatan dilakukan setiap satu bulan, dimulai dari satu bulan setelah aplikasi pemupukan an
organic. Peubah yang diamati adalah pertambahan tinggi tanaman (bulan pertama, bulan kedua dan bulan
ketiga), pertambahan diameter batang (bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga), dan jumlah anakan
yang keluar (bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga). Data hasil pengamatan dianalisia dengan analisis
varian pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Penambahan Tinggi Tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada penambahan
tinggi tanaman antara perlakuan paket pemupukan pada pengamatan pertama. Tetapi berbeda halnya dengan
pertumbuhan tanaman pada pengamatan kedua. Pengaruh pemupukan terlihat pada penambahan tinggi
tanaman pada semua paket pemupukan yang dicobakan. Dimana perlakuan O(kontrol) memiliki penambahan
tinggi tanaman terendah dan berbeda dengan semua paket pemupukan yang lainnya. Perlakuan A (Kompos
20 kg/pohon/aplikasi) memiliki penambahan tinggi tanaman lebih baik dibandingkan dengan O (pada p =
0,01) tetapi perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) memberikan penambahan
tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan A (pada p = 0,01). Dimana perlakuan B (Urea 250 g + SP36
100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) menunjukkan perbedaan penambahan tinggi tanaman secara nyata
dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D(Urea 200 g + SP36 150 g
+ kompos 10 kg/pohon/aplikasi ) (pada p = 0,02), tetapi pada perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl
100 g/phn/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) tidak menunjukkan
perbedaan penambahan tinggi tanaman secara nyata pada bulan kedua. Paket pemupukan pada perlakukan
C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/
pohon/aplikasi) memberikan tambahan tinggi tanaman terbaik dan berbeda nyata dengan perlakuan paket
pemupukan lainnya.
Tabel 1. Rataan Pertambahan Tinggi Tanaman Pisang Setiap Pengamatan pada Beberapa Perlakuan Paket
Pemupukan, Sambelia, 2007
Pertambahan tinggi tanaman (cm)
Pengamatan ke
1
2
3
O : (Kontrol)
24,83 a
47,30 a
24,70 a
A : (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi)
25,08 a
50,60 b
29,00 b
B : (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi)
25,58 a
54,70 c
38,60 c
C : (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g /pohon/aplikasi)
27,08 a
66,10 d
41,90 c
D : (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi)
25,75 a
68,60 d
40,70 c
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Duncan pada taraf 5 % (berlaku untuk tabel-tabel berikutnya)
Perlakuan

Pada pengamatan ketiga, pengaruh paket pemupukan sangat nyata terhadap penambahan tinggi
tanaman. Pada bulan ketiga, perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) mampu
menigkatkan penambahan tinggi tanaman yang cukup tinggi yang tidak berbeda dengan penambahan tinggi
tanaman pada perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D tetapi berbeda
dengan penamabahan tinggi tanaman pada perlakuan A (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) dan O (Kontrol).
Walaupun secara statistik perlakuan B(Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) tidak berbeda
dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g
+ kompos 10 kg/pohon/aplikasi), tetapi ada kecendrungan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100
g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) lebih baik dari perlakuan

87

B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi). Hasil rataan penambahan tinggi tanaman pisang
pada beberapa perlakuan paket pemupukan dapat dilihat pada Tabel 1.
Diameter Batang
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemupukan berpengaruh nyata terhadap besarnya diameter
batang tanaman pisang pada pengamatan pertama. Hal ini ditunjukkan dengan diameter batang pada
perlakuan O (kontrol) yang memiliki penambahan diameter batang paling rendah dan berbeda nyata (p = <
0,001) dengan perlakuan pada paket pemupukan lainnya. Pada perlakuan A (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi),
B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi), C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/
pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) tidak terjadi perbedaan
penambahan diameter batang.
Pada pengamatan kedua untuk diamter batang, terjadi perbedaan penambahan diameter batang yang
cukup nyata pada beberapa paket pemupukan yang diuji. Terlihat bahwa penambahan diameter batang pada
perlakuan O (kontrol ) paling kecil dan berbeda nyata dengan perlakuan pada paket pemupukan lainnya (p =
0,006). Jika dilihat dari besarnya penambahan diameter batang maka perlakuan A (Kompos 20 kg/
pohon/aplikasi lebih baik dari perlakuan O (kontrol ), tetapi perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl
150 g/pohon/aplikasi) lebih baik dari pada perlakuan A. Penambahan diameter batang pada perlakuan B
(Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi) berbeda nyata dengan perlakuan C (ZA 200 g +
SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi),
tetapi perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g +
kompos 10 kg /pohon/aplikasi) tidak memiliki perbedaan yang nyata pada penambahan diameter batang.
Perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g +
kompos 10 kg/pohon/aplikasi) memiliki penambahan diameter batang terbesar dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
Tabel 2. Rataan Pertambahan Diameter Batang Pisang Setiap Pengamatan pada Beberapa Perlakuan Paket
Pemupukan, Sambelia, 2007
Perlakuan
O : (Kontrol)
A : (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi)
B : (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi)
C : (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi)
D : (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi )

Pertambahan diameter batang


Pengamatan ke
1
2
1,03 a
3,24 a
1,17 b
3,39 b
1,25 b
3,82 c
1,18 b
4,52 d
1,19 b
4,72 d

(cm)
3
2,23 a
2,26 a
2,62 b
2,87 b
2,99 b

Pengamatan pada ketiga untuk penambahan besarnya diameter batang diperoleh hasil bahwa
perlakuan O (kontrol ) dan A (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) tidak berbeda. Ini menunjukan bahwa
pemberian kompos saja belum cukup untuk meningkatkan penambahan diameter batang selama pertumbuhan
tanaman. Perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) pada pengamata bulan ketiga
terlihat tidak memiliki perbedaan penambahan besarnya diameter batang dengan perlakuan C (ZA 200 g +
SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D(Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi).
Dimana C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g +
kompos 10 kg/pohon/aplikasi) tidak memiliki perbedaan pada penamabahan diameter batang. Hasil rataan
penambahan diameter batang pada beberapa perlakuan paket pemupukan dapat dilihat pada Tabel 2.
Jumlah Daun
Hasil penelitian pada pengamata pertama menunjukkan bahwa pemupukan berpengaruh terhadap
jumlah daun. Dimana perlakuan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi)
memperlihatkan penambahan jumlah daun paling besar dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Untuk pengamatan kedua semua perlakuan tidak mengalami pertambahan jumlah daun yang sama,
artinya tidak terjadi perbedaan dalam penambahan jumlah daun. Ini menunjukan bahwa unsur hara yang
diberikan kedalam tanah dalam bentuk pupuk an organik mulai dapat diserap tanaman dengan baik.

88

Tabel 3. Rataan pertambahan jumlah daun di setiap pengamatan pada beberapa perlakuan paket pemupukan,
Sambelia, 2007
Perlakuan
O : (Kontrol)
A : (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi)
B : (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi)
C : (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g /pohon/aplikasi)
D : (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi)

Pertambahan Jumlah daun (helai)


Pengamatan ke
1
2
3
4,08 a
4,42 a
4,42 a
3,67 a
4,17 a
4,42 a
4,00 a
4,50 a
4,92 b
3,83 a
4,25 a
4,92 b
4,83 b
4,83 a
4,92 b

Pada pengamatan ketiga terjadi perbedaan penambahan jumlah daun pada perlakuan pemupukan
yang dicoba. Terlihat bahwa ada perbedaan penambahan jumlah daun antara paket pemupukan (perlakuan
B,C,D) dengan perlakuan A (kompos ) dan O (kontrol). Dimana antara perlakuan A (kompos ) dan O
(kontrol) tidak terjadi perbedaan penamabahan jumlah daun. Begitu juga halnya dengan perlakuan paket
pemupukan (perlakuan B,C dan D) tidak terjadi perbedaan penambahan jumlah daun. Untuk mengetahui
rerata pertambahan jumlah daun setiap pengamatan disajikan pada Tabel 3.
Jumlah Anakan
Data pada Tabel 4. menunjukkan bahwa paket pemupukan pada perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200
g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi)
berpengaruh terhadap jumlah anakan yang tumbuh. Dimana perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100
g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) berbeda dengan
perlakuan lainnya, pada pengamatan bulan kedua.
Untuk pengamatan bulan ketiga, terlihat bahwa paket pemupukan pada perlakuan B (Urea 250 g +
SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) menunjukan perbedan dengan perlakuan O (Kontrol) dan A
(Kompos 20 kg/pohon/aplikasi), tetapi tidak berbeda dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl
100 g/ pohon/aplikasi) dan D(Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi).. Walaupun
demikian ada kecendrungan paket pemupukan pada perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100
g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi). lebih baik dibandingkan
dengan yang lainnya.
Tabel 4. Rataan Jumlah Anakan Pisang yang Tumbuh Setiap Pengamatan pada Beberapa Perlakuan Paket
Pemupukan, Sambelia, 2007

Perlakuan
O : (Kontrol)
A : (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi)
B : (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi)
C : (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g /pohon/aplikasi)
D : (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi).

Pengamatan jumlah anakan yang tumbuh


(anakan)
Pengamatan ke
1
2
3
0,00 a
0,00 a
0,00 a
0,00 a
0,00 a
0,00 a
0,00 a
0,00 a
0,17 b
0,00 a
0,25 b
0,58 b
0,00 a
0,50 b
0,75 b

Pembahasan
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kontrol memberikan pertumbuhan vegtatif
tanaman yang paling rendah dari beberpa peuah yang diamati, ini menunjukkan bahwa tanaman pisang tetap
membutuhkan tambahan unsur hara makro maupun mikro dalam proses pertumbuhan vegetatifnya.
Pemberian kompos saja sejumlah 20 kg/pohon/aplikasi belum cukup untuk mendukung petumbuhan vegetatif
tanaman pisang. Disamping itu juga pupuk kompos tidak segera dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pelepasan
unsur hara dari pupuk kompos berlangsung secara bertahap dan lama (Limin, 1992) sehingga, seperti yang
ditunjukan oleh oleh hasil penelitian, memerlukan waktu 1 2 bulan untuk dapat diserap oleh tanaman
pisang.
Paket pemupukan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) yang ada pupuk ZA-nya
(Ammonium sulfat = (NH4)2SO4) cendrung lebih baik dibandingkan dengan paket pemupukan B (Urea 250
g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi) yang ada pupuk Urea-nya. Terlihat bahwa unsur nitrogen dan
belerang yang ada pada pupuk ZA sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman pisang. Pemberian
nitrogen pada pertumbuhan awal akan memacu pertumbuhan vegetatif tanaman (Supriyono, 1976 dalam
Annisa, 1992). Unsur belerang memiliki pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan tanaman pisang karena

89

belerang merupakan unsur essensial bagi pertumbuhan tanaman yang sangat diperlukan untuk berbagai reaksi
dalam sel hidup, terutama sebagai penyusun dari asam amino metionin dan sistein (Soepardi, 1983).
Pemberian nitrogen dalam bentuk pupuk ZA pada pisang lebih baik dibanding bentuk Urea. Ini sama seperti
pemberian pupuk ZA pada padi sawah di Sulawesi Selatan dapat meningkatkan hasil lebih banyak jika
dibadingkan dengan pemberian pupuk nitrogen dalam bentuk urea demikian juga pada pertanaman tebu
(Dalal dan Prasad, 1975).
Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan sebaiknya dikombinasikan antara pupuk organik dan an
organik, seperti pada perlakuan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi). Pada
penelitian terlihat bahwa perlakuan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi)
umumnya tidak berbeda dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g /pohon/aplikasi) pada
beberapa peubah yang diamati. Ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik berpengaruh baik
terhadap kerja bahan an organik. Pada paket pemupukan di perlakuan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos
10 kg/pohon/aplikasi) tidak terdapat pupuk KCl tetapi terdapat pupuk kompos (organik), karena bahan
organik mempunyai peranan penting dalam menentukan ketersediaan kalium dalam tanah (Soemarno, 1993).
Selain itu juga pupuk kompos merupakan pupuk organik yang dapat memberikan tambahan bahan organik,
hara, memperbaiki sifat fisik tanah, serta mengembalikan hara yang terangkut hasil panen. Disamping itu
juga dapat mencegah kehilangan air dalam tanah dan laju infiltrasi air.

KESIMPULAN
1.

Paket pemupukan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36
150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) menunjukkan pertumbuhan vegetatif tanaman pisang terbaik
pada beberapa peubah yang diamati dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Paket pemupukan D (Urea
200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) lebih efisien untuk diterapkan ditingkat petani.

2.

Pengaruh unsur nitrogen pada pupuk ZA lebih baik dibandingkan dengan bentuk Urea untuk
pertumbuhan vegetatif tanaman pisang.

3.

Untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman pisang perlu dipadukan antara penggunaan pupuk
organik dan an organik.

DAFTAR PUSTAKA
Annisa, 1992. Pengaruh Pemberian Pupuk NPK terhadap Pertumbuhan Mangga Gadung yang disambung
Pada Lima varietas Batang Bawah Mangga (Mangifera indica L.). Fakultas Pertanian Unibraw
Malang.
Dalal, R. C dan Martoyo. 1986. Kajian Sorgum Manis (Sorghum vulgare L.)Bahan Baku Potencial Pabrik
Gula. Prosiding Pertemuan Teknis Tengah tahunan II. Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula
Pasuruan.
Limin, S.H. 1992. Respon Jagung Manis (Zea Mays Saccharata Surt) Terhadap pemberian Kotoran Ayam,
Posfat dan Dolomit Pada tanah gambut Pedalaman. Mineral dan Kapur dengan Gambut
Pedalaman.Dalam Proseding Kongres II HGI. Jakarta, 14-15 Januari 1993. Jakarta
Soemarno, 1993. Kalium tanah dan Pengelolaannya. Jur.Tanah, Fak. Pertanian Unibraw. Malang.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri tanah. IPB Bogor.

90

MODEL PENERAPAN BIOTEKNOLOGI DALAM PENGELOLAAN KETAHANAN


INSEKTISIDA HAYATI, Bacillus thuringiensis toksin
M. Sarjan
Staf Pengajar Fakultas Pertanian- Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan
Universitas Mataram

ABSTRAK
Pengunaan Bacillus thuringiensis (Bt) secara intensif ternyata telah mengakibatkan terjadinya ketahanan hama
walaupun masih berupa kasus yang terjadi di tingkat laboratorium maupun di tingkat lapangan. Untuk mengantisipasi
masalah tersebut telah banyak dialakukan kajian-kajian tentang mekanisme ketahanan hama terhadap Bt baik dari aspek
genetika, fisiologi maupun molekuler. Dalam kaitan tersebut dalam peper ini akan ditunjukkan alternatif model
ketahanan Bt melalui pendekatan immunology dengan menggunakan berbagai lectin sebagai bahan analisis, karena
adanya kesamaan karakatristik molekuler antara Bt-toxin dengan lectin terutama Helix pomatia lectin (HPL) yang
diisolasi dari sebangsa bekicot. Dalam model ini dijelaskan bahwa resistensi serangga terhadap Bt disebabkan oleh
meningkatnya jumlah protein koagulasi, yang berinteraksi dengan molekul oligomeric toxin seperti oligomeric
lectin.
Kata kunci : bioteknologi, insektisida hayati, Bacillus thuringiensis

PENDAHULUAN
Penggunaan pestisida kimia secara intensif dalam pengendalian hama serangga yang dapat
merusak produksi pertanian dan lingkungan. Terdapat banyak bukti bahwa dalam beberapa dekade telah
munculnya banyak kasus resistensi serangga terhadap beberapa jenis insektisida kimia. Hal ini terjadi secara
global termasuk di Indonesia seperti pada tanaman pangan, sayuran dan bahkan tanaman perkebaunan.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut muncul cara alternative yang lebih aman , efisien dan efektif yaitu
dengan memanfaatkan biopestisida seperti Baicillus thuringiensis (Bt), suatu bakteri yang disiolasi dari
tanah. Namun penggunaan biopestisida Bt ini secara luas dan intensif ternyata juga mendatangkan dampak
negatif terutama terjadinya resistensi beberapa jenis hama seperti hama ulat kubis (Plutella xylostella)
(Tang et al, 1996; 1997) dan hama penggerek buah kapas (Tabassnik et al, 2000). Ketahanan juga terjadi
pada beberapa jenis hama di tingkat laboratorium seperti hama pengerek kapas lainnya , Heliothis virescens
(Gahan et al, 2001). Kurangnya pengetahuan tentang cara kerja (mode of action) dari Bt-toxin merupakan
salah satu kendala dalam upaya pengembangan strategi pengelolaan resistensi serangga termasuk bagaimana
mekanisme resistensi serangga terhadap Bt.
Kajian-kajian tentang mekanisme ketahanan serangga terhadap Bt telah banyak dilakukan , baik dari
aspek genetika, fisiologi maupun aspek molekuler, namun sampai sekarang belum menjawab tantangan
bagaimana menghindari terjadinya ketahanan atau bagaimana pengelolaan ketahanan hama terhadap Bt
tersebut.
Sistem Imun Serangga
Keberadaan serangga di alam selalu mendominasi organisme baik jenis dan jumlahnya. Hal tersebut
tak lepas dari kemampuan serangga untuk mempertahankan diri terhadap serangan dari luar baik yang
bersifat biologis maupun non biologis dengan reaksi kekebalan yang sangat sederhana.(Gupta, 1991)
Secara umum reaksi kekebalan serangga terdiri atas dua macam yaitu yang bersifat seluler maupun
humoral. Reaksi seluler terutama melibatkan sel darah serangga atau hemocytes yang merupakan reaksi
adesive hemocytes terhadap mikrobia atau parasit ( McKenzie, 1992; Strand, 1994). Pada reaksi tersebut
terjadi perubahan-perubahan secara morpologi, tingkah laku dan jenis sel yang terlibat selama terjadinya
infeksi yang secara luas telah diteliti menggunakan teknik mikroskopik, lectin dan monoclonal antibodi
markers (Theopold, 1995; Theopold et al, 1996). Hemocyte mempagositosis bakteri, memperangkap
mikrobia dalam nodul dan kapsulasi (Vinson and Hegazi, 1998). Hemocytes juga terlibat dalam reaksi imun
lainnya seperti koagulasi hemolim (Brehelin, 1979; Gregoire, 1974).
Sedangkan reaksi imun yang bersifat humoral secara prinsip terdiri atas sejumlah antibactericidal
protein dan peptida dalam hemolim. Beberapa penemuan mengungkapkan bahwa reaksi kekebalan
ditingkatkan oleh infeksi bakteri dengan cara meproduksi molekul antibakteria dimana secara fungsional
belum difahami secara lengkap (Shiotsuki and Kato, 1999). Hasil penelitian terkini dengan menggunakan
hemolim serangga telah mendeteksi keberadaan berbagai protein yang terbentuk sebagai respon terhadap

91

elisitor yang dapat di kategorikan sebagai inducible bacreial proteins dan inducible nonbactericidal
proteins.
Mekanisme Ketahanan Serangga Secara Molekuler
Secara umum, terdapat lebih dari satu protein pengikat Bt-toksin di dalam usus serangga dan sejauh
ini protein-protein yang mengikat Bt-toksin pada serangga ordo lepidoptera adalah protein dengan berat
molekul 120 kDa dan 220 kDa yang merupakan bagian integral dari fraksi brush border membrane vesicle
(BBMV) (Martinez-Ramirez et al, 1994; Knight et al, 1994; Sangadala et al, 1994). Namun potein yang
diekastrak pada kondisi denaturasi secara langsung dari usus serangga, protein pengikat Bt-toksin tambahan
terisolasi. Sebagai contoh pada hama ulat kubis (Plutella xylostella), protein berukuran 85 kDa dijumpai
sebagai protein utama yang dideteksi dengan Bt-toksin antibodi dan Helix pomatia Lectin (HPL) (Gambar
1). Hal ini berarti bahwa pada kondisi denaturasi (SDS-PAGE dan Western blots), Bt toxin dan HPL secara
dominan mengikat p85.

85 kDa

Gambar 1.

Bt-toxin CryIAc mengikat glycoprotein serangga lepidoptera. Western blot yang mengandung
ekstrak protein dari larva instar empat diprob dengan 1) preserum antibodi dengan menggunakan
antibodi sekunder peroxidase-conjugated, 2) Peroxidase-conjugated HPL, 3) antibodi anti-CryIAc
menggunakan antibodi sekunder peroxidase-conjugated.

A
M

B
GC

PM

GC

PM

P 85

Gambar 2.

Pengecatan Coomassie (A) dan HPL (B) dari berbagai jaringan larva DBM. HPL hanya
mendeteksi p85 dan protein-protein dari usus dengan ukuran lebih tinggi (G), gut content (GC)
and peritrophic memberane (PM).

Fakta menunjukkan bahwa p85 tidak ditemukan pada BBMV yang berarti glycoprotein ini
kemungkinan hilang selama proses fraksinasi BBMV. Dengan demikian protein tersebut keberadaannya
bukan pada BBMV, tapi pada cairan usus serangga yang dibedah secara langsung. Pada pengecatan
coomassie, p85 kelihatannya sangat samar dibandingkan dengan pada 3 protein lainnya dengan ukuran
masing-masing 78, 80 dan 82 kDa yang sangat kuat pada pengecatan tersebut yang diduga sebagai
arylphorin, phenoloxidase (PO) dan apolipophorin II (Gambar 2A). Dengan pengecatan HPL, p85 merupakan
glycoprotein yang dominan( Gambar 2B), dimana p85 tersebut dapat terdeteksi pada beberapa jaringan DBM
seperti usus, lemak tubuh, hemolymph dan isi usus (Gambar 3). Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa

92

p85 kemungkinan diproduksi di dalam lemak tubuh dan dilepaskan ke cairan usus. (Gambar 2A). Dari
pengamatan tersebut juga menunjukkan bahwa p85 terdapat pada peritrophic membrane dalam jumlah sedikit
(Gambar 2 B), yang berarti berasosiasi tetapi bukan merupakan bagian struktur peritrophic membrane.
Untuk menganalisis kemungkinan fungsi p85 sebagi protein pengikat toksin, dilakukan pengujian
pada larva DBM resisten dan peka. Pada strain yang resisten HPL mengikat p85 lebih kuat dibandingkan
dengan yang strain yang peka (Gambar 4). Kemungkinan penjelasannya adalah bahwa jumlah p85 meningkat
pada cairan usus serangga resisten . Temuan terakhir mengidentifikasikan bahwa glycoprotein yang terlibat
dalam koagulasi memiliki kesamaan yang bervariasi (Li et al, 2002). Sebagai contoh kelompok protein yang
menginduksi reaksi imun larva membentuk komplek yang tidak terlarut (non-soluble complexes), sementara
protein dari larva yang tidak terinduksi tetap dalam bentuk terlarut (D.Li, unpubl. data). Dari keberadaan p85
tersebut yang terdapat dalam hemolymph , salah satu kemungkinan peranan protein ini adalah
keterlibatannya dalam reaksi koagulasi.
L

GC

Fb

Car

Hem

p85

Gambar .3.

Western blot ekstrak protein dari individu jaringan larva DBM yang berbeda yang dicat dengan
HPL. P85 glycoprotein dapat terdeteksi pada berbagai jaringan seperti larvae (L), Gut (G), Gut
Content (GC), Fat body (FB), Carcases (Car) and Hemolymph (Hem).

P85

Gambar 4.

Western blot total ekstrak protein dari individu larva DBM resisten (R) dan susceptible (S) yang
dicat dengan peroxidase-conjugated HPL, menunjukkan p85 tercat lebih kuat dibvandingkan
dengan p85 pada serangga susceptible

Dengan menggunakan pendekatan imunologi Sarjan (2002) telah melakukan penelitian


mekanisme ketahanan serangga lepidoptera terhadap Bacillus thuringiensis-endotoxin. Dengan menganalisis
ekstrak usus serangga uji, ditemukan bahwa protein utama yang mengikat Cry IAc dari Bt-toxin adalah p85
yang merupakan glyucoprotein yang terlarut yang kemungkinan berperanan dalam kogulasi glicoprotein
hemolim (Sarjan , 2003 in prep). Lokasi p85 yang merupakan protein yang berhubungan dengan sistem
kekebalan serangga terdapat di cairan usus serangga . dimana terjadi perubahan p85 baik secara kualitatif

93

maupun kuantitatif pada serangga yang tahan terhadap Bt-toxin (Sarjan, 2002). Model mekanisme ketahanan
serangga terhadap Bt-toxin yang dikemukakan oleh Sarjan (2002) adalah sebagai berikut (Gambar 5):

Gambar 5.

Model Ketahanan Seangga terhadap Bt, memperlihatkan keberadaan p85 pada dua tingkatan
yaitu pada serangga yang berstatus tahan dan peka. Model ini menunjukkan bahwa peningkatan
Bt-toxin pada usus serangga yang menyebabkan toksisitas pada tingkat p85 yang rendah, tetapi
akan memblok Bt-toxin pada tingkat p85 yang tinggi. Bila toxin meningkat terus, maka p85 yang
merupakan protein koagulasi akan berkurang sehingga menyebabkan molekul toxin dapat
mencapai sel usus yang menyebabkan serangga menjadi peka kembali.

KESIMPULAN
Jumlah p85 meningkat pada larva dari strain resisten, yang mungkin akan menyebabkan
peningkatan reaksi menyebabkan agregasi lipophorin ke dalam komplek koagulasi yang terlarut. Keadaan
dapat menyebabkan absennya p85 pada peparasi serangga resisten.

DAFTAR PUSTAKA
Gahan, L. J., Gould, F., and Heckel, D. G. (2001). Identification of a gene associated with Bt-resistance in
Heliothis virescens. Science 293, 857-860.
Gang Ma,. Sarjan, M., Preston, C, Asgari, S and Otto Schmidt, 2005. Mechanisms of inducible resistance
against Bacillus thuringiensis endotoxins in invertebrates . Insect Science (2005) 12, 319
Gang Ma, Harry Roberts, Muhammad Sarjan, Nicki Featherstone, Jelle Lahnstein, Ray Akhurst, Otto
Schmidt, 2005. Is the mature endotoxin Cry IAc from Bacillus thuringiensis inactivated by a
coagulation reaction ion the gut lumen of resistant Helicoperva armigera larvae?. Insect
Biochem.Mol.Biol. 35:729-739, 2005.
Griffitts, J. S., Whitacre, J. L., Stevens, D. E., and Aroian, R. V. (2001). Bt toxin resistance from loss of a
putative carbohydrate-modifying enzyme. Science 293, 860-864.
Gupta, A. P. (1991). Insect immunocytes and other hemocytes: roles in humoral and cellular immunity. In A.
P. Gupta (Ed.), Immunology of Immunology of Insects and other Arthropods, (pp. 19-118). Boca
Raton, Florida: CRC Press.

94

Hallett, R.H., Zilahi-Balogh, R., Engerilli, N.P.D and Borden, J.H. (1993). Development of a Pest
management System for Diamonback Moth, Plutella xylostella .L (lepidoptera: Yponomeutidae) in
a Third World Country-Considerations for Sustainability. In Pest Control and Sustainable
Agriculture. CSIRO. Entomology. Canberra.Australia
Harwood, R.R., 1990. A History of Sustainable Agriculture in Sustainable Agricultural Systems. Eddited by
Edwards, C.A, Rattan, L, Patrick, M, Robert, H.M and Gar House.
Li, D., Scherfer, C., Korayem, A. M., Zhao, Z., Schmidt, O., and Theopold, O. (2002). Insect hemolymph
clotting: evidence for interaction between the coagulation system and the prophenoloxidaseactivating cascade. Insect Biochemistry and Molecular Biology.
Luna, J.M and Garfield, J.H., 1990. Pest Management in Sustainable Agricutural System in Sustainable
Agricultural Systems. Eddited by Edwards, C.A, Rattan, L, Patrick, M, Robert, H.M and Gar House.
Martinez-Ramirez, A.C., Gonzales-Nebauser S., Escriche, B., and Real, M. D. (1994). Legand blot
identification of a Manduca sexta midgut binding protein spesific to three Bacillus thuringiensis cry
IA-type ICPs. Biochem. Res.Commun 201, 782-787
McKenzie, A. N. J. and Preston, T. M. (1992) Functional studies on Calliphora vomitoria haemocytes
subpopulations defined by lectin staining and density centrifugation. Dev. Comp. Immunol. 16, 1930.
Rachman, M; Sassan, A; Sarjan, M and Schmidt, O.,2004. Induction and Transmission of Bacillus
thuringiensis tolerance in the flour moth Ephestia kuehniella ( Jurnal PNAS, Vol 101 No.9, 2004).
Rajakurendran, V., 1993. Use of Bt on Vegetable Crops In Australia Second Bacillus thuringiensis. Meeting
Canbera ( Abs). 21 23 September 1993.
Rasahan, C.A., 1996. Kebijakan Pembangunan Pertanian di Indonesia menjelang pasar bebas. Makalah
workshop Tindak lanjut pengembangan PHT di Bandung, 3-7 Nov. 1996 17 h.
Richard Glatz, Harry L.S. Roberts, Dongmei Li, Muhammad Sarjan, Ulrich H. Theopoldc, Sassan Asgari,
Otto Schmidt,2004. Lectin-induced haemocyte inactivation in insects ( Jurnal of Insect
Physiology, Vol 50.No 10, October 2004)
Sangadala , S., Walters, F. S., English, L. H., and Adang, M. J. (1994). Amixture of Manduca sexta
aminopeptidase and phosphatase enhances Bacillus thuringiensis insecticidal cry I A(c) toxin
binding and **Rb-K- efflux in vitro. J. Biol. Chem. 269, 10088- 10092.Wallingford, UK. 604 p.
Sarjan, M., 1995. The Use of Bacillus thuringiensis to control Spodeptera exigua Hbn on onion. Laporan
Penelitian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 17h
Sarjan, M., 2002. Resistance against endotoxin from Bacillus thuringiensis in lepidopteran insects (Ph.D
thesis, 2002)
Sarjan, M., 2003a. Immune Reactions in the Bacillus thuringiensis Resistant Insect (Agroteksos, Vol. 13.
No. 3. October 2003)
Sarjan, M.,2003b. Glycosilation status of Glycoproteins and Location of the Immune realated Proteins in the
Gut of caterpillar( Jurnal Lemlit Universitas Mataram, Oktober 2003
Sarjan, M., 2004. The potency of non-chemical syntetic insecticides in conserving predator of army worm
(Spodoptera litura F.) on soybean crop (Agroteksos, Vol. 13. No. 4. January 2004)
Schmidt, O; Fabri, M; Sarjan, M; Theopold, U. 2005. Mode of action of antimicrobial proteina, poreforming toxins and biologically active peptides ( Hyphothesis). Review ISJ, 2: 82-90. 2005.
O Schmidt, M Rahman, G Ma, U Theopold, Y Sun, M Sarjan, M Fabbri, H Roberts, 2005. Mode of action
of antimicrobial protein, pore-forming toxins and biologically active peptides ( Hyphothesis).
Review ISJ, 2: 82-90. 2005.
Strand, M. R. (1994) Microplitis demolitor polydnavirus infects and expresses in specific morphotypes of
Pseudoplusia includens haemocytes. J. Gen. Virol. 75, 3007-3020.
Schnept, E; Crickmore, N; Van Rie, J; Lereclus, D; Baum, J; Feitelson, J; Zeigler, D.R and Dean, D.H
(1998). Bacillus thuringiensis and Its Pesticidal Crystal Proteins. Microbiol and Mol Biol Rev,
62:3:775-806

95

Tabashnik, B.E., Cushing, N.L., Finson, N., and Johnson, M.W. (1990). Field development of resistance to
Bacilus thuringiensis in diamondback moth (Lepidoptera: Plutellidae). J.Econ.Entomol. 83:16711676.
Tabashnik, B. E., Liu, Y. B., Malvar, T., Heckel, D. G., Masson, L., Ballester, V., Granero, F., Mensua, J. L.,
and Ferre, J. (1997). Global variation in the genetic and biochemical basis of diamondback moth
resistance to Bacillus thuringiensis Proc. Natl. Acad. Sci.U.S.A. 94, 12780- 12785.
Tang, J. D., S. Gilboa, R. T. Roush and A. M. Shelton. (1997) Inheritance, stability, and fitness of resistance
to Bacillus thuringiensis in a field colony of Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae) from
Florida. Journal of Economic Entomology 90:732-741.
Theopold, U., Samakovlis, C., Tempst, P., Dillon, N., Axelsson, B., Schmidt, O. and Hultmark, D. (1996).
Helix pomatia Lectin, an Inducer of Drosophila Immune Response, Binds to Hemomucin, a Novel
Surface Mucin. J. Biol. Chem 271, 12708-12715.
Vinson, S. B. and Hegazi, E. M. (1998) A possible mechanism for the physiologicalsuppression of
conspecific eggs and larvae following superparasitism by solitary endoparasitoids. J. Insect Physiol.
44, 703-712.

96

PENINGKATAN KUALITAS HASIL BUAH MANGGIS MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN


PEMELIHARAAN KEBUN (PELABURAN BUBUR CALIFORNIA) DAN PENGGUNAAN ALAT
PETIKDI KECAMATAN LINGSAR, KABUPATEN LOMBOK BARAT
Muji Rahayu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK
Manggis adalah salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia untuk kelompok buah-buahan. Sebagai
komoditas ekspor maka persyaratan mutu harus dijaga agar buah yang diekspor dapat diterima oleh konsumen. Rata-rata
prosentase volume buah manggis dari Pulau Lombok yang masuk dalam kategori ekspor berkisar 25% 30%. Masalah
rendahnya mutu buah tersebut disebabkan oleh berbagai hal diantaranya adalah penanganan panen dan pasca panen yang kurang
tepat serta pemeliharaan tanaman yang kurang intensif. Pengkajian untuk tujuan peningkatan mutu buah kualitas ekspor di laksanakan
oleh BPTP NTB pada sentra produksi manggis di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Teknologi yang
diterapkan dalam penanganan perawatan tanaman adalah pelaburan tanaman dengan Bubur California (BC) untuk mengurangi infeksi
adanya penyakit Diplodia sp pada manggis dan untuk membantu proses recovery tanaman diimbangi dengan pemupukan NKP 1,5
kg/pohon. Teknologi penanganan panen melalui introduksi alat petik khusus manggis. Pengamatan pengaruh pelaburan BC dilakukan
selama 1 tahun sedangkan pengaruh terhadap produktifitas dan mutu buah dilakukan selama 2 tahun. Diharapkan dari teknologi
tersebut tanaman manggis yang terkena penyakit Diplodia sp akan sehat kembali sehingga menghasilkan mutu buah yang lebih baik
(ukuran buah lebih besar) serta kemulusan kulit buah dan keutuhan sepal manggis, sehingga rata-rata volume mutu buah manggis
kualitas ekspor dapat ditingkatkan.
Kata kunci: manggis, mutu buah, bubur California dan alat petik manggis

PENDAHULUAN
Manggis (Garcinia mangostana, L) yang berasal dari Propinsi NTB, khususnya Pulau Lombok
memiliki keunggulan komparatif dan telah masuk pasar internasional. Pasar manggis Internasional asal
Indonesia (termasuk dari Pulau Lombok) tidak akan stagnasi karena musim panen manggis Indonesia
berbeda dengan musim panen manggis di Thailand yang menjadi saingan utamanya dalam perdagangan
manggis dunia, hal tersebut tampak pada volume eksport ke dua negara tersebut dalam setiap bulannya
(Grafik 1).
Monthly Mangosteen exports (tons)

Thailand Mangosteen Exports by Month


(2006)

2,500.00

7000
2006

6000

1,500.00

2005
2004

5000

1,000.00

2003

Tons

Tons

2,000.00

1999

500.00

4000
3000
2000
1000

0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sept Oct Nov Dec
Month

10

11

12

Month

Sumber, Statistik Perdagangan Luar Negeri, www.bps.go.id


Gambar 1. Volume Ekspor Manggis Indonesia dan Thailand Th.2006

Volume ekspor manggis dari Pulau Lombok (khususnya Kabupaten Lombok Barat) ke mancanegara
melalui eksportir di Pulau Bali mencapai 4-5 ton/hari/ siklus musim manggis, padahal peluang ekspor
manggis tidak terbatas (Wijaya, 2003; komunikasi pribadi). Luasan pertanaman manggis di daerah ini
diperkirakan baru mencapai 20% dari total luasan 39.892 ha lahan potensial (Wisnu, I.M; 2001) seperti
yang disajikan pada Gambar 2. Bersadarkan hasil sensus sentra produksi manggis di Kabupaten Lombok
Barat adalah di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, dengan jumlah tanaman 23.984 pohon.
Sebagai komoditas ekspor, maka persyaratan mutu harus dijaga agar buah yang diekspor dapat
diterima oleh konsumen. Selama ini produksi manggis sebagian besar di Indonesia dan di Pulau Lombok
adalah produk dari kebun campuran dengan rata-rata prosentase yang memenuhi ekspor masih cukup rendah.
Prosentase buah manggis kualitas ekspor hasil kebun rakyat di NTB berkisar 25% - 30% dan sisanya (BS)
dijual sangat murah (Rahayu, et.al, 2005)

97

Gambar 2. Peta Pewilayahan Komoditas Manggis Kabupaten Lombok Barat, Skala 1:50.000

Beberapa kendala yang menyebabkan rendahnya kualitas ekspor adalah tidak dilakukan pencegahan
terhadap penyakit tanaman dan penanganan panen dan pasca panen kurang tepat.
Untuk tujuan peningkatan mutu buah manggis kualitas ekspor maka dilakukan perbaikan teknologi
petani di dalam memelihara kebun manggisnya yaitu melalui pembersihan tanaman dengan bubur California
dan penanganan panen dan cara panen inovasi teknologi alat petik dan hanling yang lebih baik.

METODOLOGI
Percobaan dilakukan pada sentra produksi manggis di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar,
Kabupaten Lombok Barat. Percobaan merupakan bagian kegiatan dari pengkajian Agribisnis Manggis yang
dilaksanakan dari Th. 2003 Th. 2006. Pohon uji yang dipergunakan dipilih dari tanaman yang seragam
dengan umur sekitar 20 tahun yang ditanam dari biji. Jumlah pohon uji sebanyak 140 tanaman (100 tanaman
untuk keragaan alat petik) dan 20 tanaman terkena penyakit Diplodia yang dikendalikan dengan BC dan 20
tanaman manggis yang terkena Diplodia tidak dikendalikan (Kontrol). Pengkajian terdiri dari 2 unit
percobaan (pengendalian penyakit menggunakan bubur california dan pemetikan menggunakan alat petik
introduksi). Percobaan 1 (Tanaman yang dirawat dengan BC dan tanaman yang dirawat dngan teknologi
petani (kontrol)). Percobaan 2 (penggunaan alat petik cara petani dan petik introduksi). Pelaburan BC
dilakukan sebelum musim hujan dan pada akhir musim hujan dengan cara menyaputkan BC dengan kuas
pada batang utama dan cabang utama setinggi 1 m diatas permukaan tanah, kemudian untuk mengimbangi
dan menyempurnakan hasil tanaman manggis dipupuk dengan NPK 1,5 kg/tanaman pada awal musim hujan.
Data dikumpulkan melalui observasi terhadap 20 tanaman yang diaplikasi dengan Bubur California dan 20
tanaman yang tidak diaplikasi dengan Bubur California (kontrol). Pengamatan dilakukan empat kali selama
1 tahun, yaitu pada saat 3; 6; 9 dan 12 bulan setelah aplikasi BC. Pengamatan terhadap gejala serangan
Diplodia sp dilakukan terhadap gejala serangan yang dijumpai pada cabang dan ranting. Perhitungan
serangan penyakit menggunakan sistem skoring.
Sedangkan parameter terhadap kualitas buah dilakukan selama 2 tahun setelah 4 kali aplikasi BC
yaitu terhadap keragaan tanaman, produktifitas tanaman dan kualitas buah manggis, % buah manggis
kualitas ekspor. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan Uji-T pada taraf 5%.
Perhitungan serangan penyakit menggunakan sistem skoring.
Skor serangan Diplodia sp pada tanaman manggis
Skor
0
1
2
3
4
5
6
7
8

Kriteria skor
Batang
Sehat
Sehat
Sehat
< 25%
< 25%
25 50%
25 50%
> 50%
> 50%

Cabang primer
Sehat
Sehat
Sehat
< 50%
50 100%
< 50%
50 - 100%
< 50%
50 100%

Cabang sekunder
Sehat
< 50%
> 50%
< 50%
50 100%
< 50%
50 100%
< 50%
50 100%

98

Intensitas serangan (%) ditentukan menurut rumus sebagai berikut:

nxv
x100%
ZxN

I
I
n
v
N
Z

=
=
=
=
=

Intensitas serangan (%)


Jumlah batang/cabang yang terserang pada kategori tertentu
Skor kategori serangan tertentu
Jumlah batang/cabang yang diamati per tanaman
Nilai kategori tertinggi

Selain pengamatan terhadap intensitas serangan Diplodia sp, data penunjang yang dikumpulkan
adalah jumlah tunas per cabang, panjang tunas, jumlah daun per tunas dan jumlah buah. Data tersebut
dikumpulkan untuk mengetahui pengaruh pemberian Bubur California terhadap penyembuhan tanaman.
Untuk data respon petani terhadap keragaan alat petik manggis introduksi data diambil dari 30
petani manggis. Data dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Pelaburan Bubur California (BC) pada Tanaman Manggis

Aplikasi Bubur California (BC) dilakukan dua kali yaitu pada waktu sebelum musim hujan dan
akhir hujan pada saat tanaman manggis belum berbunga hal itu untuk menghindari efek BC terhadap
gugurnya buah. Penggunaan BC pada fase generatif sebaiknya dihindari karena efek dari bahan bakunya (Cl)
dapat memicu gugurnya buah (Supriyanti, A., 2000).
Tiga bulan setelah aplikasi petani telah merasakan pertumbuhan tanamannya menjadi semakin baik
(penyembuhan luka akibat penyakit, hilangnya ganggang dan pertumbuhan tunas semakin banyak) yang
ditandai dengan semua petani (100%) menjawab tanamannya semakin baik setelah dilabur BC. Hal ini
menunjukkan bahwa harapan bahwa teknologi BC akan diadopsi petani semakin tinggi.
Pengamatan sebelum perlakuan yang dilakukan pelaburan dengan bubur California menunjukkan
bahwa intensitas seranga Diplodia sp berkisar antara 18% - 30%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa
intensitas serangan Diplodia sp dalam kategori cukup berat, karena akan sangat fatal pada tanaman yang
sudah terserang tetapi tidak ada upaya pengendalian. Dari Gambar 3 di bawah ini menunjukkan bahwa
persentase serangan penyakit pada pohon manggis yang dilabur dengan bubur California cenderung tetap
sementara pada tanaman kontrol cenderung meningkat. Hal ini memberi petunjuk bahwa infeksi penyakit
yang ditandai dengan adanya massa spora aktif masih ada, terutama massa spora yang berada pada pangkal
batang. Bahkan infeksi penyakit berkembang cukup pesat pada musim kemarau (pengamatan 6 bulan setelah
aplikasi). Kendatipun demikian masih perlu penambahan input lain terutama pupuk untuk mempercepat
proses penyembuhan.

Prosentase serangan (%)

Kondisi serangan Diplodia sp


35
30
25
20
15
10
5
0

BC
Kontrol

12

Waktu pengamatan (Bulan setelah aplikasi BC)

Gambar 3. Intensitas Serangan Penyakit pada Tanaman Manggis yang Dilabur BC vs Kontrol

99

Pengaruh perlakuan terhadap prosentase dari jumlah ranting yang ditumbuhi daun baru pada
tanaman manggis menunjukkan bahwa beda nyata. Hal ini mungkin disebabkan akar tanaman manggis
sudah terlalu banyak yang terinfeksi penyakit dan kambium manggis sudah banyak yang rusak sehingga
mengganggu transportasi unsur hara. Sehingga pemulihan kesehatan melalui pelaburan BC terindikasi
dengan semakin banyaknya tunas-tunas baru. Pada Gambar 4 terlihat bahwa saat tumbuhnya tunas baru
antara tanaman yang diperlakukan dengan BC dan Control tidak ada perbedaan. Perbedaan yang significan
terjadi pada prosentase rata-rata jumlah ranking yang ditumbuhi tunas baru.

Prosentase Ranting
yang Ditumbuhi Daun
Baru (%)

Daun Baru pada Tanaman Manggis Selama Satu


Tahun
80
60
BC

40

Kontrol

20
0
1

10 11 12

Bulan

Gambar 4. Daun baru (Tunas Baru) yang Terbentuk Estela Aplkasi BC

Pulihnya tanaman manggis dari infeksi penyakit Diplodia sp yang dikendalikan dengan pelaburan
BC dan diimbangi dengan pemupukan mendorong tumbuhnya tunas baru dan munculnya bunga dan buah
secara signifikan dibanding pada tanaman yang tidak dikendalikan. Selain produktivitas maka kualitas buah
(rata-rata ukuran buah) juga terjadi perbedaan dibanding kontrol (Tabel 1). Hal tersebut diduga dengan
pulihnya tanaman maka proses penyerapan hara oleh tanaman berjalan lancar sehingga berakibat pada proses
fotosntesis dan metabolisme yang lancar pula, dengan demikian juga mempengaruhi pada buah yang
dihasilkan.
Tabel 1. Rata-rata produktifitas tanaman dan diameter buah manggis pada tanaman yang terserang Diplodia sp
yang dikendalikan dengan BC dan Kontrol pada 2 tahun setelah aplikasi di Batu Mekar, Kecamatan
Lingsar Th. 2006.
Perlakuan

Produktifitas (kg/tanaman)

Diameter buah (cm)

Pelaburan BC

96,4 a

6,9 a

Kontrol

42,6 b

5,2 b

Keterangan : angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan ada benda nyata pada
Uji T-5%.

2.

Penggunaan Alat Petik Manggis

Alat petik manggis yang dicobakan pada saat panen menunjukkan keragaan hasil yang sangat
signifikan dibanding alat petik manggis yang biasa digunakan oleh petani. Beberapa indikasi dari
pengaruhnya terhadap kenaikan mutu buah kualitas ekspor diantaranya ditunjukkan oleh kenaikan presentase
buah yang kulitnya mulus (tidak lecet) dan sepal buah utuh (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata mutu buah manggis yang dihasilkan dari alat petik introduksi dan alat petik milik petani di
Batu Mekar, Kecamatan Lingsar Th. 2006.
Perlakuan

Kemulusan kulit buah


manggis (tidak lecet), (%)

Keutuhan sepal buah manggis


(%)

Alat petik introduksi

92,4 a

88,8 a

Alat petik milik petani

42,6 b

54,2 b

Keterangan : angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan ada benda nyata pada
Uji T-5%.

100

Meskipun secara kuantitatif penggunaan alat tersebut mampu mengeliminir kerusakan buah akibat
penggunaan alat petik cara petani, tetapi penggunaan alat tersebut belum dapat diadopsi oleh petani akibat
volume terlalu berat dan alasan lainnya (Tabel 3).
Hasil wawancara dengan petani manggis dilaksanakan satu bulan setelah pelaksanaan, Th. 2005
No
1

Uraian
Kesukaan terhadap bentuk alat petik introduksi
- Suka
- Tidak suka dengan alasan terlalu berat
Rencana petani untuk mengadopsi
- Melanjutkan dengan alat petik inroduksi
- Melanjutkan, tetapi alat petik introduksi harus dimodifikasi terutama
jangan terlalu berat
Ketrampilan petani dalam 1 jam kerja
- Alat petik introduksi (buah/jam)
- Alat petik petani (buah/jam)

Presentase (%)
40,60
59,40
6,9
93.1

90
160

KESIMPULAN
1.

Pelaburan bubur California pada batang manggis yang terinfeksi penyakit Diplodia sp dapat mengurangi
laju infeksi serangan pada pengamatan selama satu tahun.

2.

Pelaburan tanaman yang terkena Diplodia sp yang diimbangi dengan pemupukan NPK 1,5 kg.ph dapat
meningkatkan produktifitas dan kualitas buah yang dihasilkan pada 2 tahun setelah aplikasi.

3.

Alat petik manggis introduksi dapat menaikkan mutu buah kualitas ekspor yang ditunjukkan buah
dengan kulit mulus dan keutuhan sepal dengan prosentase lebih tinggi dibanding alat petik cara petani.

DAFTAR PUSATAKA
Rahayu, M., Sujudi, Tri Ratna, 2005. Laporan Tahunan Agribisnis Manggis. BPTP NTB, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Pertanian, Departemen Pertanian.
Statistik Perdagangan Ekspor, Statistik Indonesia. www.bps.go.id
Suprianto, A. 2000. Makalah BPTP Jawa Timur, Materi Penyuluhan Penggunaan Bubur California untuk
Pengendalian Penyakit Diplodia pada Manggis.
Wisnu Wiyasa, I., 2001. Laporan Tahunan Pewilayah Komoditas. BPTP NTB, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Pertanian, Departemen Pertanian

101

KARAKTER PERTUMBUHAN DAN POTENSI HASIL JAGUNG BERSARI BEBAS PADA


AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR
1)

Awaludin Hipi1), R. Neny Iriany2) dan B. Tri Ratna Erawati1)


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat dan 2)Balitsereal Maros

ABSTRAK
Swasembada jagung tahun 2007 mengisyaratkan bahwa terdapat peluang untuk peningkatan produksi melalui
peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) jagung merupakan salah satu
komoditas unggulan, dimana potensi lahan yang tersedia selain dilahan kering, juga di lahan sawah setelah padi. Tercatat
bahwa luas panen jagung pada tahun 2003 seluas 39.380 ha dengan produktivitas 2,45 t/ha yang masih rendah dibanding
produktivitas nasional 3,46 t/ha. Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang memegang peranan
penting dalam peningkatan produksi. Namun keterbatasan modal petani dalam mengakses benih varietas unggul terutama
varietas hibrida menjadi pembatas utama dalam memperoleh produktivitas yang tinggi. Kendala tersebut dapat diatasi
dengan menyediakan benih dari varietas unggul di tingkat lapang, sehingga akses benih oleh petani dapat berjalan lancar.
Jagung bersari bebas dapat diperbanyak oleh penangkar di lapangan Untuk itu diperlukan pengujian populasi jagung
bersari bebas sebelum dilepas menjadi varietas unggul. Kajian dilakukan di Dusun Gegerung Desa Pringgabaya Lombok
Timur pada MK. 2005. Lokasi penelitian adalah lahan sawah dengan irigasi terbatas (2 3 minggu sekali pengairan).
Tujuan pengkajian adalah mendapatkan beberapa populasi jagung bersari bebas yang adaptif dan berpotensi hasil tinggi
yang dapat disarankan untuk di lepas. Sebanyak 14 populasi jagung bersari bebas dan dua varietas pembanding (Lamuru
dan Sukmaraga) yang diuji, menggunakan RAK dengan 3 ulangan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa terdapat 6
populasi yang produktivitasnya lebih tinggi dari varietas pembanding yaitu MS3(S1)C1 (7,6 t/ha), MS.J1(RRS)C6 (6,86
t/ha), MS.J2(RRS)C5 (6,17 t/ha), BK(HS)C1 (6,05 t/ha), SATP-1(S2)C6 (5,89 t/ha), dan MS.J2(RRS)C6 (5,67 t/ha)
pipilan kering. Populasi yang berpotensi hasil tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik menjadi alternatif untuk
dikembangkan di NTB setelah melalui pelepasan varietas.
Kata kunci : jagung, bersari bebas, potensi hasil, NTB

LATAR BELAKANG
Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan provinsi Nusa Tenggara Barat, karena disadari
bahwa peranan jagung kedepan semakin strategis baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai
komoditas agribisnis. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan jagung nasional, peluang agribisnis jagung
masih terbuka melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Pada tahun 2003, produksi jagung nasional
tidak cukup memenuhi kebutuhan, sehingga masih diperlukan impor sebesar 1,354 juta ton dan pada tahun
2004 menurun menjadi 900 ribu ton (Dirjen Tanaman Pangan, 2005). Jumlah import diperkirakan akan
meningkat hingga tahun 2010 yang nilainya akan mencapai 2,2 juta ton (Kasryno, 2002). Kondisi tersebut
memberikan peluang untuk meningkatkan produktivitas salah satu diantaranya adalah melalui introduksi
varietas unggul baru.
Luas panen jagung di NTB pada tahun 2005 adalah 39.380 ha dengan produktivitas rata-rata sebesar
2,45 t/ha, sedang di Lombok Timur luas panen jagung 12.623 ha dengan produktivitas 2,46 t/ha (Dinas
Pertanian Prov. NTB, 2006). Produktivitas tersebut masih lebih rendah dibanding produktivitas rarata-rata
nasional pada tahun yang sama sebesar 3,1 t/ha (Dirjen Tanaman Pangan , 2005). Dalam upaya untuk
memenuhi keberlanjutan suplay, sangat dibutuhkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan
produksi serta layak untuk dikomersilkan. Hasil penelitian Balitsereal dengan mengintroduksi varietas unggul
baru dan jenis hibrida maupun bersari bebas dengan pendekatan PTT menunjukkan bahwa produktivitas
jagung dapat mencapai 7 - 9 t/ha (Saenong dan Subandi, 2002), sementara hasil kajian di lahan kering di
Sambelia dengan introduksi varietas bersari bebas Lamuru, potensi hasil yang dicapai 5,45 - 6,25 t/ha (Hipi,
et al, 2006).
Kehadiran varietas jagung unggul introduksi, baik bersari bebas ataupun hibrida telah berkontribusi
secara nyata terhadap peningkatan produktivitas ataupun produksi jagung nasional. Namun demikian,
distribusi dari varietas-varietas introduksi tersebut berjalan lambat, dimana pada tahun 1997 pangsa varietas
introduksi terhadap penyebaran benih baru mencapai 44% (CIMMYT, 1994).
Namun demikian, kondisi lingkungan untuk pertanaman jagung sangat bervariasi dari waktu ke
waktu dan beragam pada berbagai lokasi, sedang varietas hibrida sangat peka terhadap lingkungan
tumbuhnya. Selain itu kendala pengambangan varietas jagung hibrida adalah ketersediaan benih yang masih
terbatas terutama hingga pelosok pedesaan dan harganya yang relatif mahal. Untuk itu menjadi

102

pertimbangan untuk mengembangkan jagung bersari bebas yang benihnya mudah dapat dibuat oleh petani
dan penangkar dengan perlakuan seleksi yang baik.
Soemartono (1995) mengatakan bahwa untuk memperbaiki atau mengembangkan genotipe tanaman
agar tahan terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dapat dilakukan dengan introduksi tanaman
budidaya baru atau mengembangkan varietas tahan.
Varietas-varietas bersari bebas yang dikembangkan, banyak berasal dari varietas introduksi maupun
varietas lokal yang masih bertahan di masyarakat petani. Varietas introduksi sebelum dikembangkan, harus
mengalami evaluasi potensi hasilnya dibandingkan dengan varietas yang ada.
Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui karakter pertumbuhan dan potensi hasil dari beberapa
populasi jagung bersari bebas di NTB. Diharapkan dari kajian ini dapat di temukan beberapa populasi
jagung bersari bebas yang dapat beradaptasi dengan baik dan berpotensi hasil tinggi yang dapat dirilis
sebagai varietas unggul baru.

BAHAN DAN METODA


Kajian dilaksanakan di Dusun Gegerung Desa Pringgabaya kecamatan Pringgabaya Kabupaten
Lombok Timur pada MK I. 2005. Lokasi penelitian adalah lahan sawah dengan irigasi terbatas (2 3
minggu sekali pengairan).
Pengujian menggunakan rancangan acak kelompok, dimana jenis jagung yang diuji sebagai
perlakuan dan diulang masing-masing 3 kali. Terdapat 14 populasi jagung bersari bebas yang diuji dan 2
varietas (Lamuru dan Sukmaraga) sebagai pembanding. Setiap populasi ditanam empat baris pada petakan
dengan panjang 5 meter.
Penanaman dengan jarak tanam 75 x 25 cm, 2 biji per lubang tanam. Pada umur 2 minggu setelah
tumbuh (MST) dilakukan penjarangan menjadi 1 tanaman/rumpun, jika ada lubang yang kosong/tidak
tumbuh maka rumpun sebelahnya tidak perlu dijarangkan.
Tanaman diberi pupuk 138 kg N, 36 kg P2O5 dan 30 kg K2O. Pemupukan dasar dilakukan pada saat
jagung berumur 7 HST dengan menggunakan pupuk 1/3 bagian N serta seluruh pupuk P 2O5 dan K2O, ditugal
pada jarak 5 cm disamping tanaman. Pemupukan susulan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan
setelah tanam (BST) dengan menggunakan 2/3 bagian N dengan cara ditugal disamping tanaman pada jarak
10 15 cm. Sumber pupuk berasal dari Urea, SP-36 dan KCl. Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu
pada saat tanaman berumur 2 MST dan 4 MST sekaligus untuk pembumbunan. Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan dengan memberikan carbofuran pada saat bersamaan tanam. Pengairan berasal dari irigasi
terbatas dengan pola giliran air 2-3 minggu sekali. Panen dilakukan pada saat masak fisiologis dimana
kelobot jagung berwarna kuning kecoklatan.
Peubah agronomis yang diamati adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur berbunga jantan
dan betina, jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, aspek tanaman, dan aspek tongkol dan
produktivitas. Aspek tanaman dan tongkol diberi skor 1-5; dimana skor 1 = sangat baik; 3 = sedang dan skor
5 = sangat jelek.
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan One Way Anova, dan dilanjutkan dengan uji
LSD 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1 menyajikan rata-rata penilaian tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah tanaman
tumbuh, dan jumlah tanaman setelah penjarangan. Dari semua populasi dan varietas jagung yang diuji
mempunyai tinggi tanaman berkisar antara 223 - 249,33 cm, dan letak tongkol berkisar antara 94 - 125,33
cm. Hasil analisis terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tinggi tanaman antar
galur/varietas jagung yang diuji, dimana tanaman tertinggi dicapai pada populasi MS.J1(RRS)C6 yaitu
237,65 cm yang berbeda nyata dengan populasi lainnya yang diuji, demikian pula untuk tinggi letak tongkol
tertinggi dicapai pada populasi MS.J2(RRS)C5 yaitu 125,33 cm. Tinggi tanaman, erat kaitannya dengan
tampilan keseragaman dan produksi biomas, sedang tinggi letak tongkol selain untuk keseragaman, juga
untuk memperhitungkan kemudahan pada saat panen sehingga tenaga kerja anak-anak juga dapat
dimanfaatkan.

103

Tabel 1. Rata-rata jumlah tanaman tumbuh, jumlah tanaman setelah penjarangan, tinggi tanaman dan tinggi
letak tongkol pada pengujian jagung bersari bebas. Pringgabaya. 2005
Entry Populasi
SUKMARAGA
MS.J1(RRS)C6
MS.J2(RRS)C5
LAMURU
MS3(S1)C1
BK(S1)C1
BK(HS)C1
MS1(S1)C2
MS.K1(RRS)C5
SATP-1(S2)C7
MS.J2(RRS)C6
SATP-2(S2)C6
SATP-1(S2)C6
BK(S1)C2
MS.J1(RRS)C5
MS.K2(RRS)C5
F prob
CV (%)
LSD 5 %
Sumber : Data primer

Jlh tan tumbuh


171,33
160,67
134,33
169,33
177,33
91,33
108,00
179,00
161,00
98,33
158,00
175,00
177,67
94,00
163,33
169,00
< 0,001
4,4
10,96

Jlh tan setelah


penjarangan
50,00
49,67
49,67
50,00
50,00
48,00
46,33
50,00
50,00
48,00
49,67
50,00
50,00
44,00
50,00
50,00
0,015
3,13
3,8

Tinggi tan (cm)


246,00
249,33
245,67
246,67
240,33
237,33
242,67
202,67
205,00
244,00
230,67
229,33
223,00
235,00
230,00
228,67
< 0,001
4,8
18,61

Tinggi letak tongkol


(cm)
118,00
120,33
125,33
122,00
122,67
117,33
119,67
99,33
94,00
120,33
114,00
114,33
110,67
112,00
106,33
109,00
0,021
8,5
16,21

Kisaran umur berbunga jantan dan betina dari galur hibrida yang diuji masing-masing 54 - 58 hari
dan 55 - 59 hari. Umur berbunga tergolong normal dengan ASI (Anthesis Silking Interval) terpaut 1 - 2 hari,
sehingga sangat memungkinkan sinkronisasi pembungaan. Dengan demikian pengisian tongkol dapat terjadi
dengan sempurna.
Analisis terhadap produktivitas menunjukkan bahwa populasi MS3(S1)C1 memberikan hasil yang
lebih tinggi (7,6 t/ha) dibanding populasi lainnya dan varietas pembanding. Dari rata-rata hasil yang
diperoleh di lokasi pengujian menunjukkan bahwa terdapat beberapa populasi yang berpotensi hasil tinggi
dan dapat dikembangkan di NTB MS3(S1)C1 (7,6 t/ha), MS.J1(RRS)C6 (6,86 t/ha), MS.J2(RRS)C5 (6,17
t/ha), BK(HS)C1 (6,05 t/ha), SATP-1(S2)C6 (5,89 t/ha), dan MS.J2(RRS)C6 (5,67 t/ha) pipilan kering.
Subandi et.al. (1985) menyatakan bahwa adanya interaksi genotip lingkungan akan mempengaruhi
kemajuan seleksi, ada genotip yang baik di suatu lingkungan tetapi kurang baik di lingkungan yang lain.
Tabel 2. Rata-rata produktivitas, jumlah tanaman, jumlah tongkol saat panen, aspek tanaman, dan aspek
tongkol pada pengujian jagung bersari bebas. Pringgabaya. 2005
Entry Populasi
SUKMARAGA
MS.J1(RRS)C6
MS.J2(RRS)C5
LAMURU
MS3(S1)C1
BK(S1)C1
BK(HS)C1
MS1(S1)C2
MS.K1(RRS)C5
SATP-1(S2)C7
MS.J2(RRS)C6
SATP-2(S2)C6
SATP-1(S2)C6
BK(S1)C2
MS.J1(RRS)C5
MS.K2(RRS)C5
F prob
CV (%)
LSD 5 %
Sumber : Data primer

Prod (t/ha)
5,562
6,862
6,169
5,375
7,589
4,939
6,050
4,991
4,673
4,245
5,665
4,438
5,884
4,293
5,397
5,334
0,019
18,7
1,70

Jl tan panen
36,33
39,33
37,00
36,33
41,67
37,67
40,67
36,67
42,00
33,67
43,67
35,67
42,00
33,33
40,67
41,33
0,064
10,3
6,67

Jl tkl panen
37,00
41,33
37,33
36,67
44,00
39,67
41,67
39,33
45,33
34,33
44,67
36,67
43,33
35,00
42,00
43,00
0,041
10,6
7,11

Aspek tan
2,33
2,00
1,67
2,00
2,00
2,33
2,33
2,67
2,33
2,00
2,33
2,67
2,00
1,67
2,67
2,00
0,569
26,8
0,98

Aspek tkl
2,33
1,00
1,33
2,33
1,33
2,00
1,67
2,33
2,33
2,00
2,33
1,67
1,33
2,67
2,67
2,33
0,037
31,3
1,03

104

Rata-rata jumlah tanaman panen per plot berkisar 33-42 tanaman atau kurang lebih 96% dari jumlah
tanaman (Tabel 2). Dari jumlah tanaman panen tersebut dihasilkan tongkol panen yang berkisar 35-44,67;
hal ini berarti bahwa terdapat beberapa tanaman yang dapat menghasilkan 2 tongkol (prolifik).
Penilaian terhadap aspek tongkol menunjukkan bahwa rata-rata dari jenis jagung yang diuji
tergolong baik (skor 1-2) yang ditandai dengan panjang dan lingkar tongkol yang relatif seragam dan
kerusakan akibat hama dan penyakit hampir tidak ditemukan. Sedangkan penilaian terhadap aspek kelobot
secara visual menunjukkan bahwa semua galur yang diuji tergolong mempunyai kelobot yang dapat menutup
rapat dengan baik. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi jagung tersebut sangat baik untuk disimpan
dalam bentuk tongkol berkelobot hingga waktu tertentu karena kemungkinan infestasi hama bubuk relatif
kecil.
Hasil pengamatan visual terhadap serangan penyakit di dua lokasi pengujian, didapatkan 2 jenis
penyakit yang teridentifikasi yaitu karat daun (Pucinia sp) dan hawar daun (Helminthosporium
maydis)dengan intensitas serangan tergolong rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari 14 populasi jagung bersari bebas yang diuji, populasi MS3(S1)C1 dapat mencapai productivitas
tertinggi yaitu 7,6 t/ha pipilan kering dibanding populasi dan varietas jagung bersari bebas yang diuji
lanilla..
Terdapat 6 populasi yang produktivitasnya lebih tinggi dari varietas pembanding yaitu MS3(S1)C1,
MS.J1(RRS)C6, MS.J2(RRS)C5, BK(HS)C1, SATP-1(S2)C6, dan MS.J2(RRS)C6. Populasi jagung
tersebut berpotensi dikembangkan di NTB, dan berpotensi untuk diusulkan untuk dilepas menjadi
varietas.
Untuk melihat konsistensi hasil dari jagung yang diuji, perlu kajian lebih lanjut agar populasi jagung
bersari bebas yang berpotensi hasil tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik dapat di lepas menjadi
varietas unggul baru.

DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2004. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama Kantor Perwakilan Biro Pusat Statistik Propinsi
NTB dengan Kantor Bappeda TK.I. NTB.
Dinas Pertanian Provinsi NTB. 2006. Program Pengembangan Agribisnis Jagung di Provinsi NTB Melalui
Program 1 Juta Ton Jagung (Prosta Tanjung) dalam Mendukung Gerbang E-mas Bangun Desa. 28
Juni 2006. Bahan Presentasi.
CIMMYT. 1994. World Maize Facts and Trends. Maize Seed Industries. Emerging Roles of the Publics and
Private Sectors.
Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2005. Program Kebijakan dan Pengembangan Agribisnis Jagung.
Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya jagung nasional. Makasar 29 30 September
2005.
Hipi,.A, dan B. Tri Ratna Erawati. 2006. Kajian Teknologi Budidaya Jagung di Lahan Kering Beriklim
Kering Di Kabupaten Lombok Timur. makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Bali Tanggal
13 Nopember 2006
Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia selama Empat dekakde yang lalu
dan Implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung.
Di Bogor, 24 Juni 2002. Badan Libang Pertanian.
Saenong S., dan Subandi. 2002. Konsep PTT pada Tanaman Jagung. Makalah disampaikan pada pembinaan
Teknis dan Manajemen PTT Palawija di Balitkabi. Malang 21 22 Desember 2002.
Soemartono.1995. Cekaman lingkungan, tantangan pemuliaan tanaman masa depan. Prosiding Simposium
Pemuliaan Tanaman III, Jember. 1-12.
Subandi, 1985. Perkembangan jagung hibrida di Indonesia. Buletin Penelitian Balittan Bogor, hal.1-12.

105

PELAPISAN CHITOSAN MEMPENGARUHI SIFAT FISIKO KIMIA


BUAH APEL (Malus sylvestris L.)
Nurrachman
PS. Hortikultura, Faperta UNRAM

ABSTRACT
The experiment, conducted in Laboratory, evaluated physico-chemistry characteristics of three cultivar apple
(Manalagi, Rome Beauty, and Anna) as affected by level of chitosan coating (control, 0.5%; 1% and 1.5%
weight/volume), each treatment was replicated three times and arranged in completely randomised design. The research
was conducted in laboratory. The result showed that chitosan coating 1,5% had better performance than others treatments
to slow down of weight loss, firmness, total soluble solids, titratable acidity, and it could also prolong storage life of
fruits. The differences occurred among cultivars as reflected by variables observed.
Key words : Physico-chemistry, Apple, postharvest, coating, chitosan, storge-life

PENDAHULUAN
Buah apel (Malus sylvestris L.) dikonsumsi dalam bentuk segar dan hanya sedikit dikonsumsi dalam
bentuk olahan misalnya juice (Verheij dan Coronel 1992). Meskipun buah ini tersedia sepanjang waktu,
tetapi sering terjadi kerusakan pada penanganan pascapanen selama proses pengangkutan dan
penyimpanannya. Menurut Kays (1991), kehilangan hasil pasca panen apel di negara maju sebesar 14%, dan
persentase kehilangan terbesar terjadi di tingkat pengecer.
Tingkat kerusakan buah dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan luar buah yang terjadi melalui
lentisel yang tersebar di permukaaan buah (Baldwin 1994; Hoffman et al. 1997). Difusi gas tersebut secara
alami dihambat dengan lapisan lilin yang terdapat di permukaan buah (Kays 1991; Debeaufort dan Voilley
1994;Baldwin et al. 1999), tetapi lapisan lilin tersebut dapat berkurang atau hilang akibat pencucian yang
dilakukan pada saat penanganan pasca panen. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menambah atau
menggantikan pelapis yang telah berkurang dengan menambah bahan pelapis.
Salah satu pelapis yang mulai dikembangkan adalah chitosan, polisakarida yang berasal dari limbah
pengolahan udang (Crustaceae). Limbah padat pengolahan yang terdiri atas kulit, kaki dan kepala, dapat
mencapai hingga 40% dari total produksi udang dan hanya sedikit yang dimanfaatkan, misalnya menjadi
bahan campuran pembuatan terasi atau campuran makanan ternak. Pengolahan limbah menjadi chitosan
dapat meningkatkan nilai ekonomi dan pemanfaatannya, misalnya dalam bidang industri, makanan dan
sekarang dikembangkan dalam bidang pertanian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa chitosan
mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis pada benih dan buah-buahan misalnya pada tomat (ElGhaouth et al. 1992a) dan leci (Zhang dan Quantrick 1997). Sifat lain chitosan adalah dapat menginduksi
enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi chitin yang merupakan
penyusun dinding sel fungi (Baldwin 1994; Nisperos-Carriedo 1994; El-Ghaouth et al. 1992b).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan dan Bangunan Fakultas Teknologi Pertanian,
Laboratorium Gizi Masyarakat Pusat Antar Universitas, dan Laboratorium Pusat Studi Pemuliaan Tanaman
Departemen Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor yaitu
varietas apel : Rome Beauty, Anna dan Manalagi; dan pelapis chitosan, kontrol, 0,5%; 1% dan 1,5%
bobot/volume (b/v); setiap perlakuan diulang tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik
ragam (anova), jika terdapat hasil yang berbeda nyata dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS.
Buah apel diambil dari perkebunan milik petani di Desa Punten Kota Batu, Jawa Timur. Contoh
buah yang akan digunakan adalah yang berumur 120-140 hari setelah bunga mekar (Suhardjo 1985).
Selanjutnya buah apel dibawa ke Bogor dengan mempergunakan bus yang berpendingin. Pembuatan
Chitosan berdasarkan (Suptijah et al. (1992) dan Rilda (1995) yang telah dimodifikasi; Pembuatan Larutan

106

Chitosan (El-Ghaouth et al. 1992a) : Pelapisan Buah Apel cara pencelupan (dipping) selama 30 detik;
Penyimpanan dilakukan di ruangan (28 2C) dan wadah tersebut diletakkan secara acak.
Pengamatan
Parameter yang diamati adalah, kelunakan buah, susut bobot, padatan terlarut total, asam total dan
uji organoleptik; dan diamati mulai hari ke 0, 3, 6, 9, 12, 15 Hari Setelah Perlakuan (HSP). Kelunakan
Kelunakan buah diukur dengan menggunakan penetrometer elektrik Stanhope Seta Bobot beban yang
digunakan adalah 102 gram dan waktu pengukuran 5 detik. Susut Bobot dengan menimbang buah apel yang
sama pada setiap hari pengamatan; Padatan Terlarut Total (Apriyantono et al. 1989); Asam Total (AOAC,
2000 ); uji Organoleptik (Suhardjo, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Secara umum, pelapis chitosan dengan konsentrasi 1,5% (b/v), memberikan hasil yang lebih baik
dalam menghambat terjadinya proses perubahan sifat fisikokimia buah secara keseluruhan, meskipun ada
beberapa pengamatan antar perlakuan chitosan tidak berbeda nyata.
Kelunakan Buah
Nilai kelunakan pada varietas Rome Beauty, Anna dan Manalagi pada pengamatan pertama berturut
turut adalah 1,1; 1,3; dan 1,1 mm/102 g/5 detik; sedangkan nilai pada pengamatan keenam (15 HSP) untuk
varietas Rome Beauty dan Manalagi, serta pengamatan keempat (9 HSP) pada varietas Anna berturut-turut
adalah adalah 2,9; 2,8 dan 2,4 mm/102 g/5detik. Kelunakan pada faktor varietas menunjukkan beda nyata
pada pengamatan hari ke 0, 3, 6 dan 9 setelah penyimpanan. Pelapisan chitosan tidak menunjukkan pengaruh
nyata pada kelunakan buah, kecuali pada pengamatan hari ke 9 setelah penyimpanan.Terjadi peningkatan
kelunakan buah dari 1,1-1,2 mm/102g/5 detik pada pengamatan awal menjadi 2,8-2,9 mm/102g/5 detik pada
pengamatan terakhir. Penggunaan chitosan 1% dan 1,5% cenderung dapat menghambat laju kelunakan buah.

3,5

3,5

3,0

3,0

mm/102 gr/5 det

mm/102 gr/5 det

Kelunakan pada varietas Anna lebih tinggi dibandingkan dengan Rome Beauty dan Manalagi.
Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan sifat yang spesifik dari varietas tersebut. Varietas yang
berbeda menunjukkan respon yang berbeda pula terhadap lingkungan sekitarnya, misalnya difusi oksigen ke
dalam buah, sehingga perombakan cadangan makanan dan perubahan dinding sel berbeda pula.

2,5
2,0
1,5
1,0

2,0
1,5
1,0
0,5

0,5

0,0

0,0

Rome Beauty

9
HSP
Anna

12

15

Manalagi

Gambar 1. Kelunakan buah apel selama penyimpanan

2,5

12

15

HSP
Kontrol

Chitosan 0,5%

Chitosan 1%

Chitosan 1,5%

Gambar 2. Pengaruh pelapis chitosan pada


kelunakan buah

: Standar error

Pelapis chitosan 1,5% mampu menghambat peningkatan kelunakan lebih kecil bila dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh El-Ghaouth et al. (1992a; 1992b) yang
menyatakan bahwa pelapis chitosan mampu menghambat peningkatan kelunakan buah tomat.
Susut Bobot
Peningkatan susut bobot antar varietas berbeda nyata pada pengamatan hari ke 6, 9 dan 12 HSP,
sedangkan pada perlakuan chitosan berbeda nyata pada semua pengamatan. Interaksi varietas apel dengan
pelapis chitosan menunjukkan beda nyata pada pengamatan ke 3, 6 dan 9 HSP. Susut bobot pada varietas

107

Rome Beauty, Anna, dan Manalagi pada pengamatan pertama adalah 1,1%; sedangkan pada pengamatan hari
ke 15 pada varietas Rome Beauty dan Manalagi dan hari ke 9 pada varietas Anna berturut turut adalah 5,5%;
5,2%. dan 3,6% Peningkatan susut bobot terendah ditunjukkan oleh apel varietas Manalagi dibandingkan
dengan varietas Rome Beauty dan Anna. Hal ini disebabkan penggunaan substrat seperti asam organik dan
karbohidrat lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedua varietas lainnya. Hal ini sejalan dengan perubahan
nilai padatan terlarut total dan asam total pada varietas Anna yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan
dengan varietas Rome Beauty dan Manalagi. Zhang dan Bunn (2000) menunjukkan adanya perbedaan difusi
gas pada daging dan kulit buah apel.

6,0

7,0

5,0

6,0

% Susut Bobot

% Susut Bobot

Kemampuan pelapis chitosan dalam menghambat kenaikan susut bobot sudah terlihat pada
pengamatan ke 3 HSP, kemampuan pelapis chitosan ini tidak berbanding lurus dengan konsentrasi chitosan.
Hal ini ditunjukkan dengan tidak stabilnya peningkatan susut bobot sampai pengamatan hari ke 9 HSP.
Namun demikian, pada pengamatan ke 12 dan 15 HSP pelapis chitosan 1,5% mampu menghambat laju
peningkatan susut bobot tersebut, kemungkinan hal ini disebabkan transpirasi dan respirasi sudah menurun.
Nisperos-Carriedo et al. (1990) menyatakan bahwa pelapis dari karbohidrat dapat menjerap uap air. Oleh
karena itu, penghambatan transpirasi dari dalam ke luar buah tergantung pada tinggi rendahnya konsentrasi
pelapis chitosan yang dipergunakan.

4,0
3,0
2,0

4,0
3,0
2,0
1,0

1,0

0,0

0,0

HSP

Rome Beauty

9
Anna

12

15
Manalagi

Gambar 3. Susut bobot buah apel selama penyimpanan

5,0

6
9
HSP

Kontrol
Chitosan 1%

12

15

Chitosan 0,5%
Chitosan 1,5%

Gambar 4. Pengaruh pelapis chitosan terhadap


susut bobot buah

: Standar error

Padatan Terlarut Total


Nilai PTT meningkat dengan semakin masaknya buah, pada pengamatan hari pertama nilai PTT
pada varietas Rome Beauty, Anna dan Manalagi berturut-turut adalah 11,0; 11,2 dan 11,1 Brix; dan pada
akhir pengamatan meningkat menjadi 14,2; 14,4; dan 14,2 Brix. Pada awal pengamatan nilai kandungan
PTT pada kontrol, chitosan 0,5%; dan 1% yaitu 11,1 Brix, sedangkan pada chitosan 1,5% adalah 11,3 Brix.
Pada pengamatan hari ke 15 HSP nilai PTT berturut-turut adalah 14,6; 14,1; 14,2; dan 13,7 Brix. Suhardi
dan Yuniarti (1996) melaporkan bahwa varietas Rome Beauty dan Anna mempunyai nilai PTT yang berbeda.
Knee (1993) menyatakan bahwa peningkatan gula bebas terjadi pada saat mencapai puncak klimakterik. Pada
varietas Rome Beauty dan Manalagi kenaikan PTT cukup stabil, disebabkan perombakan pati menjadi gula
dan penggunaan gula selama respirasi tidak terlalu tinggi.

108

15,0

14,0

14,0

13,0

13,0

0 Brix

Brix
0

15,0

12,0

12,0

11,0

11,0

10,0

10,0

12

HSP
Anna

Rome Beauty

15

HSP

Kontrol
Chitosan 1%

Manalagi

Gambar 5. Padatan terlarut total buah apel selama


penyimpanan

: Standar error

12

15

Chitosan 0,5%
Chitosan 1,5%

Gambar 6. Pengaruh pelapis chitosan terhadap


Padatan terlarut total

Kandungan PTT buah pada perlakuan pelapis chitosan berbeda nyata pada pengamatan hari ke 9
dan 15. Hal ini mengindikasikan bahwa pelapis dengan konsentrasi tersebut dapat menghambat respirasi
buah dengan jalan menghambat difusi O2 ke dalam buah. Zhang dan Quantrick (1997) menyatakan bahwa
penggunaan chitosan dapat menurunkan konsentrasi oksigen internal buah. Berkurangnya oksigen yang
masuk ke dalam buah menyebabkan terhambatnya proses respirasi, akibatnya penggunaan substrat seperti
gula lebih rendah, dan menyebabkan penggunaan hasil perubahan pati menjadi lebih sedikit
Asam Total

0,6

0,5

0,5

0,4

% Total asam

%Total asam

Asam total pada masing-masing varietas dan faktor pelapisan chitosan terus menurun selama
penyimpanan. Nilai asam total pada pengamatan pertama pada varietas Rome Beauty, Anna dan Manalagi
berturut-turut adalah : 0,43; 0,44 dan 0,25 mg/100g sedangkan pada akhir pengamatan adalah 0,30; 0,38.dan
0,14 mg/100g. Asam total antar varietas berbeda nyata pada pengamatan hari ke 0 sampai hari ke15 setelah
penyimpanan. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suhardjo (1985) dan Suhardi dan Yuniarti
(1996), yang menunjukkan adanya perbedaan kadar asam total dimana pada varietas Anna dan Rome
Beauty total asam relatif sama, sedangkan varietas Manalagi mempunyai kadar asam total yang lebih rendah.
Kays (1991) menyatakan bahwa selama penyimpanan kadar asam organik total dalam buah mengalami
penurunan. Penurunan tersebut tergantung pada jenis asam organik, tipe jaringan, varietas dan kondisi
penyimpanan.

0,4
0,3
0,2

0,3
0,2
0,1

0,1
0,0

0,0

Rome Beauty

9
HSP
Anna

12

15
Manalagi

Gambar 7. Asam total buah selama penyimpanan

HSP
kontrol
Chitosan 1%

12

15

Chitosan 0,5%
Chitosan 1,5%

Gambar 8. Pengaruh pelapis chitosan terhadap asam


total

: Standar error

109

Nilai asam total pengamatan pertama pada kontrol, pelapis chitosan 0,5%, 1% dan 1,5% berturutturut adalah 0,38; 0,37; 0,36 dan 0,38 mg/100g. Nilai ini terus menurun hingga pada pengamatan terakhir
menjadi 0,21; 0,20; 0,22 dan 0,27 mg/100g. Pada perlakuan chitosan beda nyata terjadi pada hari ke 6
sampai 15 setelah penyimpanan. Pelapis chitosan mampu menghambat penurunan nilai asam total, meskipun
pada pelapis chitosan 0,5% tidak menunjukkan perbedaan dengan kontrol. Suhardjo (1985) menyatakan
kandungan asam malat menurun diduga dipergunakan sebagai salah satu sumber energi pada proses respirasi
disamping karbohidrat.
Organoleptik
Pengukuran kualitas dapat dilakukan dengan menggunakan indra manusia misalnya dengan
pengecap maupun secara visual. Uji ini merupakan sebagian analisis terhadap penilaian konsumen terhadap
buah apel. Pengujian yang dilakukan adalah uji penampakan, rasa dan kelunakan buah.
Penampakan/Performance
Buah apel yang dilapisi chitosan terutama dengan chitosan 1,5% lebih mengkilat dibandingkan
dengan kontrol. Setiasih (1999) menyatakan bahwa pelapis yang berasal dari polisakarida mempunyai
penampakan yang menarik dan tidak lengket.
Penampakan juga dipengaruhi oleh adanya pengkeriputan sel terutama kulit buah sebagai akibat
transpirasi. Pelapis chitosan dapat menyerap uap air. Kemampuan ini meningkat dengan makin tingginya
konsentrasi, sehingga mengakibatkan transpirasi yang direpresentasikan oleh susut bobot lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol. Kehilangan air yang cukup tinggi menyebabkan terjadinya pengkerutan sel
buah dan berdampak pada pengkerutan kulit buah, sehingga akan mempengaruhi penampakan buah.
Suhardjo (1992) menunjukkan adanya sel yang mengkeriput sebagai akibat transpirasi yang cukup tinggi.

4
3,8
Skor

Skor

4,2
4,2
4
3,8
3,6
3,4
3,2
3
2,8
2,6

3,6
3,4
3,2
3
2,8

12

2,6

15

HSP
Kontrol
Chitosan 1%

Tingkat kesukaan panelis terhadap


penampakan buah apel varietas Rome
Beauty

Chitosan 0,5%
Chitosan 1,5%

Gambar 10. Tingkat kesukaan panelis Terhadap


penampakan buah apel varietas
Anna

4,2
4
3,8
3,6
3,4
3,2
3
2,8
2,6

Skor

Gambar 9.

3
HSP
Kontrol
Chitosan 1 %

Chitosan 0,5%
Chitosan 1,5%

6
HSP

Kontrol
Chitosan 1%

12

15

Chitosan 0,5%
Chitosan 1,5%

Gambar 11. Tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan buah apel varietas Manalagi

110

Rasa buah

4,2
4

4,2
4
3,8
3,6
3,4
3,2
3
2,8
2,6

skor

Skor

Gambar 12 dan 13, menunjukkan bahwa penilaian panelis pada awal pengamatan terhadap rasa
buah buah pada masing-masing varietas skor terlihat meningkat pada varietas Anna dan Rome Beauty. Skor
tertinggi pada varietas Rome Beauty dengan pelapis chitosan 1% dan 1,5% terjadi pada hari ke 9 HSP,
sedangkan pada varietas Anna pada hari ke 6 HSP. Hal ini berhubungan dengan peningkatan nilai PTT
sehingga mempengaruhi penilaian panelis pada keasaman buah. Menurunnya asam organik dan
meningkatnya gula sederhana akibat perombakan pati dalam buah mengakibatkan nisbah gula/asam menjadi
tinggi, sehingga skor rasa menjadi lebih lebih tinggi.

3,8
3,6
3,4
3,2
3
2,8
2,6

Kontrol
Chitosan 1%

HSP

12

15

hsp

Chitosan 0,5%
Chitosan 1,5%

Gambar 12. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa


buah apel varietas Rome Beauty

Kontrol
Chitosan 1 %

Gambar 13.

Chitosan 0,5%
Chitosan 1,5%

Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa


buah apel varietas Anna

KESIMPULAN
1.

Pelapis chitosan dapat menghambat peningkatan susut bobot, padatan terlarut total dan penurunan total
asam.

2.

Pelapis chitosan 1,5% memberikan hasil yang terbaik dalam mempertahankan kualitas buah apel.

3.

Terdapat perbedaan karakter pascapanen antar varietas.Varietas Anna mempunyai tingkat respirasi yang
tinggi dan daya simpan terpendek dibandingkan dengan varietas Manalagi.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 2000. Officials Methods of Analysis of the Association of Officials Analytical Chemists Washington
DC. 14thed. AOAC Inc. Arlington. Virginia
Baldwin EA. 1994. Edible coatings for fresh fruits and vegetables: past, present and future. In : Krochta JM,
Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO (Eds.). Edible Coatings and Films to Improve Food Quality.
Lancaster. Technomic Pub. Co. Inc.
Baldwin EA, Burns JK, Kazokas W, Brecht JK, Hagenmaier RD, Bender RJ, Pesis. 1999. Effect of two
edible coatings with different permeability characteristics on mango (Mangifera indica L) ripening
during storage. Postharvest Biol. Technol. 17 : 215-226.
Debeaufort F. Voilley A. 1994. Aroma compound and water vapor permeability of edible films and
polymeric packagings. J. Agric. Food. Chem. 42 : 2871-2875.
El-Ghaouth A, Ponnampalan R, Castaigne F, Arul J. 1992a. Chitosan coating to extend storage life of
tomatoes. HortScience 27 : 1016-1018
El-Ghaouth A, Arul J, Asselin A. 1992b.Potential uses of chitosan in postharvest preservation of fruits and
vegetables In: Brine CJ, Sandford PA, Zikakis JP(Eds.) Advances in Chitin and Chitosan. London
New York. Elsevier Applied Science.
Hofman PJ, Smith LG, Joyce DC, Johnson GI.1997. Bagging of mango (Mangifera indica cv Keitt) fruit
influence fruit quality and mineral composition. Postharvest Biol. Technol. 12 :285-292.

111

Kays S. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Product. New York. AVI Book
Knee M. 1993. Pome fruit. In Seymour GB, Taylor JE, Tucker GA, (Eds.). Biochemistry of Fruit Ripening.
London. Chapman & Hall.
Nisperos-Carriedo MO. 1994. Edible coating and film based on polysaccharides In Krochta JM, Baldwin
EA, Nisperos-Carriedo MO, (Eds.) Edible Coatings And Films to Improve Food Quality. Lancaster.
Technomic Pub. Co. Inc.
Setyasih, 1999. Kajian perubahan mutu salak pondoh dan mangga arumanis terolah minimal berlapis film
edible selama penyimpanan. Dissertasi. P. Pasca IPB.
Suhardjo. 1985. Pengaruh umur petik dan penyimpanan suhu ruang terhadap sifat-sifat buah apel (Malus
sylvestris L). kultivar Rome Beauty (Tesis). Program Pascasarjana. IPB.
Suhardjo. 1992. Kajian fenomena kemasiran buah apel ( Malus sylvestris) kultivar Rome Beauty (Desertasi).
Program Pascasarjana. IPB.
Suhardi, Yuniarti. 1996. Penggunaan poliester sukrosa untuk memperpanjang daya simpan buah apel kultivar
Rome Beauty. J. Hort 6(3) :303-308
Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S dan Santoso S. 1992. Pengaruh berbagai isolasi
khitin kulit udang terhadap mutunya. Laporan Penelitian Jurusan Pengolahan Pangan Perikanan,
Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Verheij EWM, Coronel RE. Editor 1992. Fruits and Nuts. PROSEA. Bogor Indonesia
Wills R, McGlasson B, Graham D, Joyce D. 1998. Postharvest, an Introduction to the Physiology and
Handling of Fruits, Vegetables and Ornamentals. 4th ed. UNSW Press.
Zhang D, Quantrick PC. 1997. Effect of chitosan coating on enzymatic browning and decay during
posharvest storage of litchi (Lichi chinensis) fruit. Postharvest Biol. Technol. 12 : 195-202.
Zhang D; Burn, J.M., 2000. Oxygen diffusiveness of aples flesh and skin. Am.Soc. of. Agric. Vol. 43(2) :
359-363

112

UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG DI LAHAN SAWAH


I. B. Aribawa1), I.K. Kariada1) dan Moh. Nazam2)
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bali
2)
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Pertanian NTB
1)

ABSTRAK
Penelitian uji adaptasi beberapa varietas jagung telah dilaksanakan di lahan sawah subak Penarukan, Desa
Mambang, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, Bali pada MK 2006. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui kemampuan adaptasi dari beberapa varietas jagung yang terpilih di lahan sawah. Kemampuan adaptasi
yang diukur disini adalah kemampuan untuk tumbuh dan berproduksi. Penelitian menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK) dengan 8 (delapan) perlakuan dan tiga kali ulangan. Varietas jagung yang diuji diantaranya : jagung
komposit (Bisma, Bromo, Maros, Surya, Srikandi Kuning, Srikandi Putih), jagung lokal (Seraya), dan jagung hybrida
(Bisi-2). Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap variabel : tinggi tanaman pada saat panen, diameter
batang, jumlah daun, tinggi letak tongkol tanaman, jumlah tongkol, berat basah tongkol, berat basah berangkasan
tanaman, diameter tongkol, panjang tongkol, bobot 100 biji dan hasil pipilan kering jagung per hektar. Hasil analisis
statistik menunjukkan, perlakuan varietas menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap semua parameter yang diamati,
kecuali terhadap jumlah tongkol per tanaman dan bobot 100 biji. Hasil jagung tertinggi terlihat pada varietas jagung
Srikandi Putih yaitu 7,09 ton pipilan kering per hektar.
Kata kunci : adaptasi, varietas jagung, lahan sawah.

PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L.) di Indonesia merupakan tanaman serbaguna dan merupakan tanaman
terpenting ke dua sebagai sumber karbohidrat setelah padi. Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan pakan
maupun industri. Di masa mendatang jagung memberikan prospek yang sangat cerah, dilihat dari
pertimbangan agribisnis, karena jagung terkait dengan kegiatan industri (pangan, pakan dan lainnya) dan
adanya peluang ekspor produk jagung yang besar.
Jagung dapat ditanam sepanjang tahun di Indonesia, lahan yang sesuai untuk tanaman jagung
tersedia sangat luas, seperti lahan kering, sawah tadah hujan, lahan gambut, lahan pasang surut dan lahan
lebak. Sebagai bahan makanan, jagung mengandung nilai gizi yang tak kalah pentingnya bila dibandingkan
dengan beras (Anon, 1985). Selanjutnya komposisi dari biji jagung, mengandung : air (13,5%); protein
(10,0%); minyak dan lemak (4,0%); karbohidrat (70,7%); abu dan zat-zat lainnya (0,4%) Martin, 1975 dalam
Suprapto, 1992).
Bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku
jagung, menyebabkan kebutuhan akan jagung terus meningkat. Di lain pihak, Indonesia masih mengimpor
jagung dengan rata-rata 0,96 juta ton dari tahun 1997 sampai 2001 dan diperkirakan naik sampai 2,20 ton
pada tahun 2010 (Kasryno, 2002). Kenyatan ini menunjukkan bahwa produktivitas jagung di Indonesia masih
rendah sehingga belum mampu menyediakan kebutuhan dalam negeri. Rendahnya produktivitas jagung
tersebut diantaranya disebabkan oleh petani pada umumnya masih menggunakan varietas lokal yang
berpotensi hasil rendah (Effendi, 1985).
Menurut Subandi dan Ibrahim (1990) dan Subandi dan Zubachtirodin (2005) keberhasilan
peningkatan produksi jagung sangat bergantung pada kemampuan penyediaan dan penerapan inovasi
teknologi meliputi varietas unggul dan penyediaan benih bermutu, serta teknologi budidaya yang tepat.
Varietas unggul merupakan salah satu factor penting dalam usaha meningkatkan produktivitas tanaman
jagung. Menurut Suprapto (1992) varietas unggul umumnya mempunyai produktivitas yang lebih tinggi bila
dibandingkan varietas lokal. Beberapa penelitian tentang jagung varietas unggul telah banyak dilaporkan. Di
Malang, misalnya penanaman varietas local dengan populasi awal yang tinggi menghasilkan rata-rata 2,0 t
ha-1, sedangkan dengan menanam varietas unggu diperoleh hasil 4,0 5,0 t ha-1 (Suprapto, 1992).
Di Bali umumnya jagung diusahakan lebih banyak di lahan kering pada musim hujan dengan
produktivitas yang relatif rendah yaitu berkisar 2,0 2,5 ton per hektar. Selain di lahan kering, tanaman
jagung juga berpeluang ditanam di lahan sawah di musim kemarau pada saat bera, dengan memanfaatkan sisa
air tanah yang ada, setelah petani panen padi. Di subak Penarukan Desa Mambang dengan luas lahan sawah
sekitar 70 hektar pada saat bera sekitar bulan Juli sampai September, lahannya dibiarkan kosong. Dengan

113

intoduksi beberapa varietas jagung diharapkan petani tertarik untuk memanfaatkan lahannya yang kosong,
sehingga pendapatan petani dapat meningkat.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat adaptasi beberapa varietas tanaman jagung di lahan sawah.

BAHAN DAN METODE


Rancangan Percobaan
Dalam percobaan ini digunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 8 (delapan) perlakuan
yang diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah 8 (delapan) varietas jagung yang di uji adaptasinya,
diantaranya : jagung komposit (Bisma, Bromo, Maros, Surya, Srikandi Kuning, Srikandi Putih), jagung lokal
(Seraya), dan jagung hybrida (Bisi-2).
Tempat dan Waktu
Percobaan dilaksanakan di lahan sawah, subak Penarukan, Desa Mambang, Kecamatan Selemadeg
Timur, Kabupaten Tabanan, pada MK 2006.
Pemilihan wilayah kegiatan ini berdasarkan arahan dan kerjasama dengan instansi terkait seperti
Diperta dan BPP. Sedangkan pemilihan petani kooperator juga berdasarkan masukan dari instansi terkait dan
arahan dari ketua Kelompok Tani setempat, sehingga diperoleh petani yang respon terhadap teknologi baru.
Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah benih jagung dengan varietas yang berbeda
yang didapatkan dari Balitsa Maros, pupuk urea, SP-36, KCl, Furadan 2 G, Miothrin 25 EC dan bahan
lainnya. Sedangkan alat yang digunakan adalah alat untuk bercocock tanam, meteran, timbangan, tali plastik,
bambu dan alat-alat yang lainnya.
Pelaksanaan Penelitian
Setelah pengolahan tanah dilakukan, maka petak berukuran 3,0 m x 4,0 m dibuat pada petak alami
milik petani, masing-masing ulangan ditempatkan pada petak alami petani yang berbeda. Benih jagung
ditanam secara tugal pada kedalaman 2,5 cm dengan jarak tanam 80 cm x 30 cm dan setiap lubang diisi dua
benih. Pada saat penanaman ditaburi furadan 3 G dengan dosis 15 kg ha-1. Sebagai pupuk dasar diberikan
pupuk urea 250 kg ha-1, 150 kg ha-1 SP-36 dan 50 kg ha-1 KCl. Pemupukan pertama dilakukan pada saat
tanaman berumur 14 hari dengan hanya memberikan pupuk urea dengan dosis 25 kg ha -1. Pemupukan ke dua
dilakukan pada saat tanaman berumur 30 hst dengan memberikan pupuk urea dengan dosis 125 kg ha -1,
diberikan dengan cara mencampur ke tiga pupuk dasar tersebut. Pemupukan ke tiga dilakukan pada saat
tanaman berumur 50 hst dengan memberikan sisa pupuk urea.
Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 21 dan 35 hst, bersamaan dengan itu dilakukan
pembubunan pada pangkal tanaman sehingga pertumbuhan tanaman kokoh. Pengendalian hama dan
penyakit menggunakan konsep PHT, sedangkan pengendalian gulma menggunakan cara mekanis,
menyesuaikan dengan keadaan tanaman. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap variabel :
tinggi tanaman pada saat panen, diameter batang, jumlah daun, tinggi letak tongkol tanaman, jumlah tongkol,
berat basah tongkol, berat basah berangkasan tanaman, diameter tongkol tanpa klobot, panjang tongkol,
bobot 100 biji dan hasil pipilan kering jagung per hektar.
Analisis Data
Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dalam hal ini
galur harapan dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis statistik terhadap pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil jagung disajikan
pada Tabel 1 dan 2. hasil analisis menunjukkan perlakuan varietas menunjukkan pengaruh yang nyata
(P<0,05) sampai sangat nyata (P<0,01) terhadap hamper semua parameter tanaman yang diamati, kecuali,
diameter batang, jumlah tongkol dan bobot 100 biji.
Hasil analisis statistik terhadap tinggi tanaman jagung menjelang panen, menunjukkan perlakuan
varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertingi dihasilkan oleh

114

varietas Srikandi Putih yaitu 274,67 cm dan tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas Surya,
Bromo, Srikandi Kuning dan Bisi-2, sedangkan dengan varietas lain berbeda nyata (Tabel 1).
Tabel 1. Keragaan pertumbuhan tanaman jagung di subak Penarukan, Desa Mambang pada MK. 2006.
Perlakuan

Tinggi
tanaman
(cm)

Diamater
batang (cm)

Jumlah daun
(helai)

Tinggi letak
tongkol (cm)

Jumlah
tongkol
(buah)

Berat
berangkasan
tanaman-1 (g)

Seraya
218,67a
1,83a
10,78c
68,55c
1,33a
210,00d
Surya
254,37bc
2,01a
13,67a
96,5ab
1,10a
397,78ab
Maros
223,22ab
1,78a
10,22c
92,78abc
1,00a
357,78abc
Bromo
252,72bc
1,46a
11,89b
106,55ab
1,00a
250,00cd
Bisma
222,22ab
1,77a
12,33b
81,61bc
1,00a
267,78bcd
Srikandi K.
259,33bc
1,76a
12,89ab
106,44ab
1,00a
383,33abc
Srikandi P.
274,67c
1,84a
13,56a
114,95a
1,00a
417,78a
Bisi-2
251,78bc
1,78a
12,78ab
95,88ab
1,00a
296,67a-d
KK (%)
7,00
11,95
4,56
14,73
11,73
22,39
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
DMRT 5%.

Hasil analisis statistik terhadap diameter batang, menunjukkan perlakuan varietas jagung
berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap diameter batang. Diameter batang terbesar terlihat pada varietas
Surya, yaitu 2,01 cm dan diameter jagung terkecil terlihat pada varietas jagung 1,46 cm (Tabel 1).
Hasil analisis statistik terhadap jumlah daun menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap jumlah daun tanaman. Jumlah daun terbanyak terlihat pada varietas Surya, yaitu 13,67
helai, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas jagung yang lain, kecuali varietas Seraya
dan Bisma. Jumlah daun terkecil terlihat pada varietas Seraya yaitu 10,78 helai (Tabel 1).
Hasil analisis statistik terhadap tinggi letak tongkol tanaman menunjukkan perlakuan varietas
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi letak tongkol. Letak tongkol tertinggi terlihat pada varietas
Srikandi Putih, yaitu 114,95 cm. Tinggi letak tongkol varietas ini, tidak berbeda nyata dengan varietas lain,
kecuali dengan varietas Seraya. Tinggi letak tongkol terrendah terlihat pada varietas Seraya yaitu 68,56 cm
(Tabel 1).
Hasil analisis statistik terhadap jumlah tongkol per tanaman disajikan pada Tabel 1. Perlakuan yang
dicoba tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah tongkol per tanaman. Rata-rata jumlah tongkol per
tanaman berkisar antara 1,00-2,00 tongkol pertanaman.
Hasil analisis statistik terhadap berat berangkasan tanaman, menunjukkan perlakuan varietas
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap berangkasan tanaman jagung. Berangkasan tanaman jagung tertinggi
terlihat pada varietas Srikandi Putih yaitu 417,78 gram, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan
varietas lain, kecuali varietas Bromo, Seraya dan Bisma. Berat berangkasan tanaman terrendah terlihat pada
varietas Seraya, yaitu 210,00 gram (Tabel 1).
Hasil analisis statistik terhadap komponen hasil dan hasil tanaman jagung disajikan pada Tabel 2.
Hasil analisis statistik terhadap diamater tongkol disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan
perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap diameter tongkol. Diamataer tongkol terbesar
terlihat pada varietas Surya yaitu 5,12 cm, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas
Srikandi Kuning, Srikandi Putih dan Bisi-2.
Analisis statistik terhadap panjang tongkol menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap panjang tongkol. Panjang tongkol terpanjang terlihat pada varietas Srikandi Kuning yaitu
21,05 cm, tapi varietas ini tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas Surya, Srikandi Putih dan
Bisi-2, dengan varietas yang lainnya berbeda nyata.
Hasil analisis statistik terhadap bobot tongkol menunjukkan bahwa perlakuan varietas berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap bobot tongkol. Bobot tongkol terberat terlihat pada varietas Srikandi Kuning yaitu
332,22 gram, tapi tidak berbeda nyata dengan varietas Surya, Srikandi Putih dan Bisi-2, dengan varietas
lainnya berbeda nyata.
Hasil analisis statistik terhadap jumlah biji per tongkol menunjukkan perlakuan varietas
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah biji per tongkol. Jumlah biji per tongkol terbanyak terlihat pada
varietas Srikandi Kuning yaitu 549,11 butir per tongkol, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan
varietas Surya, Srikandi Putih dan Bisi-2, dengan varietas lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata.

115

Sedangkan terhadap bobot 100 biji jagung menunjukkan varietas jagung berpengaruh tidak nyata (P>0,05).
Bobot 100 biji jagung tertinggi telihat pada varietas Srikandi Putih yaitu 43,29 gram (Tabel 2).
Tabel 2. Keragaan komponen hasil dan hasil beberapa varietas tanaman jagung di subak Penarukan, Desa
Mambang, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan MK. 2006
Varietas

Diameter
tongkol (cm)

Panjang
tongkol (cm)

Bobot
tongkol (g)

Jml biji
tongkol-1

Berat 100
biji (g)

Hasil jagung
pipilan
kering ha-1

Seraya
3,81a
14,28a
130,56a
275,11a
36,56a
2,61a
Surya
5,12c
20,49d
326,63d
525,73cd
41,62a
6,38cde
Maros
4,62b
17,68bc
234,45bc
425,33bc
43,01a
5,59bcd
Bromo
4,15a
16,15ab
187,77ab
350,00ab
37,78a
5,17bc
Bisma
4,62b
16,93b
229,99bc
311,99ab
40,53a
4,69b
Srikandi K.
5,07bc
21,05d
332,22d
549,11d
41,61a
6,79de
Srikandi P.
4,76bc
19,55cd
300,00d
479,33cd
43,29a
7,09e
Bisi-2
4,95bc
19,27cd
289,99cd
475,77cd
39,76a
6,64de
KK (%)
5,4
6,0
13,4
15,1
9,98
12,4
Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
DMRT 5 %.

Hasil analisis statistik terhadap hasil pipilan jagung menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap hasil pipilan jagung per hektar. Hasil jagung tertinggi terlihat pada varietas Srikandi
Putih yaitu 7,09 ton per hektar, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas Surya, Srikandi
Kuning dan Bisi-2, dan dengan varietas lain berbeda nyata.
Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata sampai sangat nyata
tehadap sebagian besar parameter tanaman ang diamati (Tabel 1 dan 2). Dari sebagian besar parameter yang
diamati, ternyata varietas unggul hampir seluruhnya memberikan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan varietas lokal Seraya. Varietas lokal Seraya ini merupakan varietas lokal yang tumbuhnya dominan di
lahan kering di Kecamatan Seraya, Karangasem dan digunakan sebagai bahan makanan pokok penduduk di
sana.
Pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil jagung yang lebih baik pada varietas unggul,
disebabkan oleh faktor genotip (genetik) dari varietas yang diuji, dimana dari tujuh varietas unggul yang
diuji, enam varietas unggul komposit (bersari bebas) dan satu varietas unggul hybrida (varietas Bisi-2). Ke
tujuh varietas unggul tersebut mampu memanfaatkan kondisi lingkungan (tanah dan iklim) lebih baik bila
dibandingkan varietas lokal Seraya. Varietas unggul yang diuji mempunyai sifat-sifat morfologi dan anatomi
yang lebih baik dibandingkan varietas lokal Seraya, seperti tinggi tanaman, jumlah daun jumlah biji, besar
biji dan yang lainnya. Hal ini didukung oleh Thompson dan Kelly (1957) yang mengemukakan perbedaan
genotype dari varietas unggul diperlihatkan melalui tinggi tanaman, luas daun, jumlah biji per baris, berat biji
dan hasil akhir yang lebih baik bila dibandingkan varietas lokal.
Perbedaan genotype yang lebih baik dari varietas unggul terlihat pada tampilan fenotype dari
varietas unggul yang jauh berbeda bila dibandingkan varietas lokal Seraya, seperti tinggi tanaman, jumlah
daun yang lebih tinggi bila dibandingkan varietas lokal Seraya. Dengan kondisi tersebut, proses fisiologis
(fotosintesis) tanaman akan lebih meningkat, demikian juga dengan lebih tingginya tanaman, intensitas
cahaya matahari yang diserap daun tanaman menjadi lebih baik. Semakin baiknya proses fisiologis
(fotosintesis) tanaman, menyebabkan meningkatknya bahan kering yang dihasilkan tanaman dan secara
langsung berhubungan dengan bahan kering ang dapat ditranslokasikan ke biji. Hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya berat berangkasan tanaman dan berat pipilan kering per hektar pada varietas unggul.
Di antara ke tjuh varietas unggul yang di uji, varietas Srikandi Putih menghasilkan berat pipilan
kering tertinggi yaitu 7,09 ton per hektar. Hasil jagung yang diperoleh ini, masih lebih rendah dari potensi
hasil jagung Srikandi Putih yang tertera dalam deskripsi yang mencapai 8,09 ton per hektar (Arsana et al.,
2005).

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,
diantaranya :
1.

Perlakuan varietas jagung yang diuji menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap sebagian
besar parameter tanaman yang diamati, kecuali diameter batang, jumlah tongkol dan bobot 100 biji.

116

2.

Varietas unggul (komposit dan hybrida) menunjukkan pertumbuhan, komponen hasil dan hasil yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas lokal Seraya di lahan sawah.

3.

Varietas jagung Srikandi Putih memberikan hasil pipilan kering tertinggi yaitu 7,09 ton per hektar.

DAFTAR PUSTAKA
Arsana, IGK D. 2005. Laporan Tengah Tahun Pengkajian Pengembangan Sistem Usahatani Jagung QPM
Berbasis Peternakan. BPTP Bali, Puslitbang Sosek Pertanian, Balitbangtan. 31 hlm.
Anon. 1985. Jagung. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan. Direktorat Bina Produksi. Jakarta.
Efendi. 1982. Bercocok Tanam Jagung. Penerbit CV. Yasaguna. Jakarta.
Gomez, A.K. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. UI Press. Jakarta. 698
hlm.
Suprapto, H.S. 1992. Bertanam Jagung. Cetakan IX. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat dekade yang lalu dan
implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung.
Balitbangtan. Jakarta.
Subandi , Ibrahim, M. 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia.
Balitbangtan. Deptan. Jakarta.
Subandi dan Subachtirodin. 2005. Teknologi Budidaya jagung Berdaya Saing Global. Makalah Disampaikan
pada Pertemuan Pengembangan Koordinasi Agribisnis jagung. 1-2 Agustus 2005 di Bogor.
Thompsom, H.C. and Kelly, W.C. 1957. Vegetables Crop. New York : McGraw Hill.

117

IDENTIFIKASI GENOTIF KEDELAI ADAPTIF PADA LAHAN SAWAH LOMBOK BARAT


S.Untung1), M. Adie2), dan K.Kumoro1)
1)
Staf peneliti BPTP NTB
2)
Pemulia Balitkabi, Malang

ABSTRAK
Identifikasi delapan belas genotif kedelaiyang bertujuan untuk mengetahui keunggulan dan adaptasi yang luas
terhadap lingkungan, serta mendapatkan genotif genotif yang produktifitasnya tinggi, sebagai bahan rekomendasi
pelepasan varietas spesifik loksi, telah dilakukan dilahan sawah pada musim MK II (bulan Juli-Oktober) 2006, di Desa
Kuranji dan Karang Bongkot Lombok Barat- NTB. Percobaan di uji menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK)
dengan 18 perlakukan (6 genotif kedelai warna hitam dan 12 genotif kedelai warna putih) dengan empat ulangan,15 galur
harapan kedelai dan 3 varietas pembanding terdiri atas: [1) G100H/9305-II; 2) P/I/P-10; 3) P/I/P-12; 4) G100H/P//P-15,
5.I/P-19; 6) Shr/Wil-60; 7) Aochi/Wil-60; 8) S62Shr/Wil; 9) 9637/Kawi-D-8-125, 10) 9837/Kawi-D-3-185; 11)
Wilis/9837-D-6-220, 12) 9637/Kawi-.D-3-185; 13) 9069/Wilis; 14) W/Br-35S, 15) I/P-22; 16) Cikuray; 17) Burangrang;
18) Wilis]. Ukuran plot 2 m x 4,5 m dengan jarak tanam 40 cm x 15 Cm. Dosis pupuk 50 kg Urea,75 kg Sp36 dan 90 kg
Kcl per Ha, diberikana bersamaan saat tanam.Data yang tekumpul dianalisis menggunakan Anova dan uji lanjut DMRT
0.05. Hasil penelitian menunjukan terjadi interaksi yang nyata antara lokasi dengan genotif, ini menunjukan bahwa
setiap genotif memiliki adaptasi yang berlainan pada masing-masing lokasi. P/I//P-12 umur berbunga dan masak polong
yang paling cepat yaitu 32 hari dan 77 hari. Genotif Wilis/9837-D-6-220 memiliki tinggi tanaman terendah 60.68 cm
dan yang paling tinggi adalah varietas Burangrang 85.81 cm. Jumlah polong pertanaman genotif I/P-22 merupakan yang
paling banyak 140 polong, sedang genotif Wilis/9837-D-6-220 memiliki polong paling sedikit 83 biji. Bobot 100 biji
genotif Wilis /9837-D-6-220 16.24 gr dan genotif G100H/P//P-15 10;28 gr merupakan bobot yang terberat dan paling
ringan. Produksi tertingi genotif G100H/9305-II dari semua kedelai berwarna putih sedang 5 genotif kedelai berwarna
hitam hasil bijinya lebih lebih tinggi dari varietas Cikuray sebagai kontrol.
Kata kunci: kedelai, adaptasi, lahan sawah,Llombok Barat

PENDAHULUAN
Kedelai merupakan sumber bahan pangan nabati dengan kandungan protein 39% memegang
peranan penting dalam berbagai aspek ekonomi, karena merupakan bahan baku agroindustri tahu, tempe,
kecap, tauco, dan juga sebagai pakan ternak yang berkualitas (Anonimaus,1991).
Seiring dengan pesatnya perkembangan agroindustri yang menggunakan bahan baku kedelai,
permintaan kedelai nasional terus meningkat setiap tahun, yaitu dari 750 ribu ton tahun 1980 menjadi 2.333
juta ton tahun 1990, dan permintaan tahun 2005 diperkirakan mencapai 6.110 juta ton. Permintaan kedelai
diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun 2018 (Darman, dkk. 2002). Oleh karena itu upaya
peningkatan produksi kedelai baik dengan cara intensifikasi dan ektensifikasi harus terus dilakukan, untuk
mengurangi ketergantungan pada kedelai import.
Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah yang sangat potensial untuk
pengembangan dan meningkatkan produksi kedelai. Produktivitas kedelai di Nusa Tenggara Barat masih
rendah yaitu 10.74 kw/ha (BPS-NTB 1998-2003). Sedangkan menurut Adisarwanto (1997), potensi
produktivitas kedelai di NTB dapat mencapai 18 kw 20 kw per ha. Rendahnya produktifitas kedelai di NTB
disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya penggunaan varietas unggul yang masih rendah ditingkat
petani. Menurut Adi Sarwanto, dkk. (1992), produktivitas yang tinggi dapat dicapai dengan penanaman
varietas unggul disertai dengan pengelolaan lingkungan fisik dan hayati serta pemanfaatan teknologi yang
sesuai dengan lingkungan.
Varietas unggul merupakan produk dari kegiatan pemuliaan. Metode pemuliaan kedelai di Indonesia
pada prinsipnya pencarian atau identifikasi genotif yang memiliki sifat unggul untuk kemudian diseleksi
(dimantapkan), dan diuji daya hasil dan adaptasinya. Apabila hasil uji adaptasi membuktikan terdapat galur
harapan berpotensi hasil tinggi dan stabil, maka galur harapan tersebut dapat diusulkan untuk dilepas sebagai
varietas unggul baru (M. Adie 2005)
Sementara itu genotif kedelai yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukan keunggulan
yang sama di daerah lain, karena faktor perbedaan iklim, topografi, waktu tanam dan cara tanam, Maka untuk
mengetahui keunggulan dan adaptasi yang luas terhadap lingkungan, serta mendapatkan genotif kedelai yang
produktivitasnya tinggi, sebagai bahan rekomendasi pelepasan varietas spesifik lokasi, perlu dilakukan
penelitian Identifikasi genotif kedelai pada lahan sawah Lombok Barat NTB.

118

BAHAN DAN METODE


Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Kuranji dan Desa Karangbongkot Kec. Labu Api Kab Lombok
Barat. pada lahan sawah setelah padi pada bulan Juli 2006. Pengkajian dirancang menggunakan rancangan
acak kelompok, genotif kedelai sebanyak 18 macam sebagai perlakuan 1) G100H/9305-II; 2) P/I/P-10; 3)
P/I/P-12; 4) G100H/P//P-15, 5.I/P-19; 6) Shr/Wil-60; 7) Aochi/Wil-60; 8) S62Shr/Wil; 9) 9637/Kawi-D-8125, 10) 9837/Kawi-D-3-185; 11) Wilis/9837-D-6-220, 12) 9637/Kawi-.D-3-185; 13) 9069/Wilis; 14) W/Br35S, 15) I/P-22; 16) Cikuray; 17) Burangrang; 18) Wilis. Varietas Cikuray, Burangrang, dan Wilis sebagai
pembanding, dengan diulang tiga kali, ukuran petak 2 x 4,5 m. Benih ditugal 2 biji/lubang dengan jarak
tanam 40 x 15 cm. Pemupukan dilakukan bersamaan tanam ditugal diantara jarak tanam dan pupuk yang
digunakan Urea 50 kg/ha, SP-36 75 kg/ha dan KCl 90 kg/ha. Mulsa jerami padi diberikan langsung setelah
tanam, sedangkan penyiangan dilakukan dua kali pada umur 21 hari setelah tanam dan 42 hari setelah tanam.
Pengairan dilakukan sebanyak empat kali yaitu sebelum tanam, pada umur 3 Minggu 6 minggu dan 9
minggu. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan saat tanaman berumur 1 minggu, 4 minggu dan 10
minggu dengan insektisida Matador.
Data yang diamati keragaan agronomis umur berbunga 50%, umur panen 95%, tinggi tanaman saat
panen, dan komponen produksi yaitu jumlah polong per-tanaman, berat 100 biji dan hasil biji, kemudian
dianalisa menggunakan Anova serta diuji lanjut dengan DMRT 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Pengamatan
Tabel 1. Sidik Ragam Tergabung Hasil dan Komponen Hasil 18 Genotipe Kedelai. MK 2006.
No
1
2
3
4
5
6

Karakter
Umur berbunga (hari)
Umur masak (hari)
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah polong/tanaman
Bobot 100 biji (g)
Hasil (t/ha)

Lokasi (L)
416,840 **
24,092 **
1,969 **
41,174 tn
560,111 tn
34342,267 *

Kuadrat Tengah
Genotipe (G)
2335,953 **
14,202 **
1,026 **
95,306 **
200,118 **
351,037 **

LxG
2009,355 **
10,077 **
0,027 tn
2,865 **
18,111 **
36,205 **

KK (%)
23,77
22,71
8,85
2,57
1,26
8,21

Interaksi yang nyata L x G menunjukkan bahwa setiap genotipe memiliki adaptasi yang berlainan
pada masing-masing lokasi, sehingga penilaian adaptasi dilakukan pada masing-masing lokasi (perlu sidik
ragam per lokasi).
Umur berbunga dari masing-masing genotif kedelai putih menunjukan perbedaan nyata dengan
varietas pembanding kecuali, genotif Aochi/Wil-60 dan S62Shr/Wil. Genotif P/I//P-10 dan P/I//P-12
merupakan genotif yang paling cepat berbunga yaitu 32 hst, sedang S62Shr/Wil genotif kedelai putih yang
paling lama memiliki umur berbunga 41 hst. Genotif G100H/9305-II, G100H/P//P-15, I/P-19, Shr/Wil-60,
memiliki umur yang sama dalam berbunga yaitu 35 hst sedang W/Br-35S, dan I/P-22 relatif berbunga sama
33.5 hst. Genotif kedelai hitam Wilis/9837-D-6-220, 9637/Kawi-D-3-185, 9837/Kawi-D-3-185, memiliki
perbedaan umur berbunga yang tidak nyata 33 hst, tetapi berbeda nyata dengan varietas pembandingnya
yaitu Cikuray yang berbunga saat umur 42 hst.
Umur panen masing-masing genotif juga menunjukan perbedaan. Kedelai putih pada genotif P/I//P12 dan Shr/Wil-60 memiliki umur panen tercepat yaitu 77 dan 79 hst, serdang genotif P/I//P-10, I/P-19,
G100H/9305-II, I/P-19, W/Br-35S, I/P-22 memiliki masa panen dengan umur yang relatif sama 80.3 hst jauh
lebih cepat di banding dengan kontrol varietas Wilis yang memiliki umur panen 88 hst, tetapi tidak berbeda
nyata dengan varietas Burangrang yang masa panen umur 81 hst. Sementara masa panen kedelai hitam
genotif Wilis/9837-D-6-220 memiliki umur panen yang relatif pendek yaitu 85 hst, sedankan genotif
9637/Kawi-D-8-125, 9837/Kawi-D-3-185, 9637/Kawi-D-3-185 dan 9069/Wilis memiliki umur yang sama
yaitu 91 hst, jauh lebih lama dibanding dengan varietas Cikuray yang hanya mempunyai masa umur panen
82 hst. Keragaan lain dari Tabel 2 adalah kecepatan umur berbunga setiap genotif akan berpengaruh terhadap
kecepatan umur panen. Tanaman kedelai di Indonesia pada umumnya berbunga pada umur 30-50 hst, hal ini
menunjukan genotif yang diuji masih masuk kategori normal.

119

Tabel 2. Umur Berbunga dan Masak dari 18 Genotipe Kedelai. Lombok Barat, MK 2006.
No

Genotipe

Umur berbunga (hr)


Krj

Krb

Umur masak (hari)


Rata2

Krj

Krb

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

G100H/9305-II
36 cde
35 cd
35
79 h
P/I//P-10
32 h
32 hi
32
77 ijk
P/I//P-12
32 h
31 c
32
73 l
G100H/P//P-15
36 def
34 cde
35
77 i
I/P-19
35 def
35 c
35
76 jk
Shr/Wil-60
36 cd
34 def
35
76 k
Aochi/Wil-60
41 b
40 a
40
88 c
S62Shr/Wil
42 b
41 a
41
89 c
9637/Kawi-D-8-125
38 c
38 b
38
92 a
9837/Kawi-D-3-185
35 efg
34 cde
34
91 a
Wilis/9837-D-6-220
32 h
32 ghi
32
82 e
9637/Kawi-D-3-185
34 fg
33 fgh
33
91 b
9069/Wilis
42 b
40 a
41
90 b
W/Br-35S
33 gh
33 efg
33
77 ijk
I/P-22
35 def
33 fgh
34
77 ij
Cikuray
43 a
41 a
42
82 f
Burangrang
38 c
35 c
36
80 g
Wilis
42 ab
38 b
86 d
40
Rata-rata
37
36
36
82
Pengaruh genotipe
**
**
**
KK (%)
2.86
2.22
0.52
** = nyata pada p = 0.01
KK = koefisien keragaman
Krj = Kuranji, Krb Karangbongkot
Angka seklom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT.

84 cd
83 cd
81 d
84 c
84 c
82 cd
90 a
90 a
91 a
91 a
87 b
92 a
91 a
84 c
84 cd
83 cd
83 cd
89 a
86
**
1.65

Rata2
81
80
77
81
80
79
89
89
91
91
85
91
91
80
80
82
81
88
84

Tabel 3. Tinggi tanaman dan Jumlah Polong dari 18 Genotipe Kedelai. Lombok Barat, MK 2006.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Genotipe
G100H/9305-II
P/I//P-10
P/I//P-12
G100H/P//P-15
I/P-19
Shr/Wil-60
Aochi/Wil-60
S62Shr/Wil

Tinggi tanaman (cm)

Jumlah polong/tanaman

Krj

Krb

83,00 defg
83,70
cdefg
81,35 efgh
82,70 defg
78,35 fgh
91,95 bcd
81,70 efgh
84,30
cdefg
95,60 ab
88,25 bcde
72,90 h
82,85 defg
89,00 bcde
76,25 gh
86,20 cdef
90,15 bcde
100,63 a
92,60 abc
85,64
**
6,58

57,85 bcde

70,43

Rata2

98 cdef

Krj

48,55 ef
44,50 f
50,25 ef
50,05 ef
62,40 abc
51,75 def

66,13
62,93
66,48
64,20
77,18
66,73

142 ab
127 abcd
126 abcd
122 abcde
140 abc
122 abcde

57,50 bcde
70,90
115 bcde
9637/Kawi-D-8-125
61,30 bcd
78,45
99 cdef
9837/Kawi-D-3-185
57,95 bcde
73,10
68 f
Wilis/9837-D-6-220
48,45 ef
60,68
89 def
9637/Kawi-D-3-185
53,20 cdef
68,03
82 ef
9069/Wilis
49,25 ef
69,13
106 cdef
W/Br-35S
48,85 ef
62,55
146 ab
I/P-22
51,40 ef
68,80
158 a
Cikuray
55,55 cde
72,85
116 abcde
Burangrang
71,00 a
85,81
125 abcd
Wilis
65,75 ab
79,18
106 bcdef
Rata-rata
54,75
70,20
116
Pengaruh genotipe
**
**
KK (%)
10,76
21,86
** = nyata pada p = 0.01
KK = koefisien keragaman
Krj = Kuranji, Krb Karangbongkot
Angka seklom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT.

Krb
78 d

Rata2
88

105 bcd
91 cd
98 bcd
122 abcd
103 bcd
145 ab

124
109
112
122
122
133

160 a
113 abcd
103 bcd
78 d
111 bcd
144 ab
99 bcd
122 abcd
126 abcd
92 cd
137 abc
112
**
25,64

137
106
85
83
97
125
122
140
121
108
121
114

120

Dari Tabel 3 terlihat bahwa tinggi tanaman antar lokasi menunjukan perbedaan yang sangat nyata
tetapi perbedaan dalam lokasi antar genotif secara umum tidak nyata. Genotif kedelai putih memiliki tinggi
tanaman rata-rata 67,3 cm jauh lebih pendek dibanding dengan varietas pembangdingnya varietas Wilis yang
memiliki tinggi tanaman 79,2 cm dan sangat berbeda nyata dengan varietas Burangrang yang memiliki
tinggi tanaman 85,5 cm. Untuk genotif kedelai hitam tinggi tanaman rata-rata 67,3 cm lebih pendek
dibaning dengan varietas pembanding yaitu Cikuray yang memiliki tinggi tanaman 72,85 cm. Lingkungan
merupakan sumber ataufaktor potensial sebagai penyebab keragaman tanaman di lapangan (Sitompul dan
Guritno 1995) hal ini juga di tegaskan oleh (Jumin 1989) meskipun genotif sama, dalam lingkungan yang
berbeda penampilan tanaman akan berbeda.
Jumlah polong pertanaman kedelai putih genotif G100H/9305-II memiliki jumlah polong 88
polong sangat berbeda nyata dengan varietas pembanding Wilis dan Burangrang yang masing masing
memiliki polong 121 dan 108, genotif I/P-22 memiliki polong paling banyak yaitu 140 kemudian di ikuti
oleh genotif S62Shr/Wil 137 polong , Aochi/Wil-60 133 polong, P/I//P-10 124 polong, I/P-19, Shr/Wil-60,
dan W/Br-35S masing-masing memiliki polong yang sama yaitu 122 polong masih lebih banyak di banding
dengan varietas pembandingnya yaitu varietas Wilis dan Burangrang. Sementara keragaan polong dari
genotif kedelai hitam genotif Wilis/9837-D-6-220; 9837/Kawi-D-3-185;
9637/Kawi-D-3-185 dan
9637/Kawi-D-8-125 memiliki jumlah polong yang tidak berbeda nyata , tetapi genotif 9069/Wilis memiliki
polong 125 berbeda nyata dengan ke empat genotif tersebut dan masih lebih banyak jumlah polongnya di
banding dengan varietas pembandingnya Cikuray yang memiliki polong 121. Menurut (Rahmat dan Yuyun,
1996) kedelai yang ditanam pada daerah subur dapat menghasilkan antara 100-200 polong pertanaman. Dari
Tabel 3. terlihat tinggi tanaman paling tinggi adalah varietas Burangrang 85.5 cm dan tinggi tanaman
terendah 60.68 cm genotif Wilis/9837-D-6-220. Ternyata tinggi tanaman tidak berpengaruh terhadap
produksi sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Produktifitas genotif Wilis/9837-D-6-220 lebih tinggi dibanding
dengan hasil biji varietas Burangrang. Sementara keragaan jumlah polong genotif I/P-22 memiliki polong
140 sedangkan genotif G100H/9305-II hanya 88 polong, tetapi produktifitas tanaman genotif G100H/9305-II
jauh lebih tinggi, hal ini karena bobot 100 biji antara kedua genotif jauh berbeda.
Tabel 4. Ukuran biji dan Hasil Biji dari 18 Genotipe Kedelai. Lombok Barat, MK 2006.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Genotipe
G100H/9305-II
P/I//P-10
P/I//P-12
G100H/P//P-15
I/P-19
Shr/Wil-60
Aochi/Wil-60
S62Shr/Wil
9637/Kawi-D-8-125
9837/Kawi-D-3-185
Wilis/9837-D-6-220
9637/Kawi-D-3-185
9069/Wilis
W/Br-35S
I/P-22
Cikuray
Burangrang
Wilis
Rata-rata

Bobot 100 biji (g)


Krj
14.27 bc
10.10 fg
10.21 fg
9.78 g
11.00 efg
12.49 d
13.86 c
14.11 c
14.89 abc
15.22 abc
15.60 ab
14.34 bc
11.12 defg
12.03 de
11.26 defg
11.56 def
16.22 a
10.08f g
12.67

Krb
16.12 ab
11.99 de
10.40 e
10.78 e
12.08 de
13.13 cd
14.95 ab
14.33 bc
15.89 ab
16.26 ab
16.89 a
15.41 ab
11.91 de
11.82 de
10.99 e
11.32 de
15.57 ab
11.14 e
13.39

Hasil (t/ha)
Rata2

15.19
11.04
10.30
10.28
11.54
12.81
14.40
14.22
15.39
15.74
16.24
14.88
11.52
11.93
11.12
11.44
15.89
10.61
13.03

Krj

Krb

1.91 bc
1.45 fg
1.34 gh
1.24 h
1.47 fg
1.81 cd
1.56 ef
1.55 ef
2.27 a
1.95 bc
2.03 b
2.39 a
2.04 b
1.42 fg
1.54 f
1.73 de
1.59 ef
1.98 bc
1.74

2.41 ab
1.39 hi
1.30 i
1.50 hi
1.56 ghi
1.98 de
2.02 cde
1.83 efg
2.65 a
2.47 ab
2.08 cde
2.50 ab
2.09 cde
1.56 ghi
1.64 fgh
1.92 ef
2.27 bcd
2.31 bc
1.97

Rata2
2.16
1.42
1.32
1.37
1.51
1.90
1.79
1.69
2.46
2.21
2.05
2.45
2.07
1.49
1.59
1.83
1.93
2.15
1.85

Pengaruh genotipe
**
**
**
**
KK (%)
7.23
8.94
6.59
10.19
** = nyata pada p = 0.01
KK = koefisien keragaman
Krj = Kuranji, Krb Karangbongkot
Angka seklom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bobot 100 biji. Menurut Muchlis Adie (2005) berat dan ukuran biji
merupakan sifat kuantitatif dari faktor genetik yang pada kondisi tertentu akan berubah-ubah sesuai
lingkungan tumbuh tanaman. Dari masing-masing genotif kedelai putih genotif G100H/9305-II memiliki
bobot 15.19 gr berbeda nyata dengan genotif P/I//P-10; P/I//P-12; G100H/P//P-15, I/P-19, dan varietas Wilis,

121

tetapi tidak berbeda dengan bobot 100 biji varietas Burangrang 15.89. keragaan lain yang bisa dilihat dari
genotif kedelai putih memiliki bobot 100 biji berkisar 11 gr kecuali genotif G100H/9305-II yang memiliki
bobot 15.19 gr. Sementara keragaan kedelai hitam pada parameter bobot 100 biji menunjukan bahwa ke
empat genotif 9637/Kawi-D-8-125; 9837/Kawi-D-3-185; Wilis/9837-D-6-220; 9637/Kawi-D-3-185 memiliki
bobot 100 biji yang tidak berbeda nyata, dengan rata-rata bobot 100 biji 15.56 gr, tetapi sangat berbeda nyata
dengan bobot 100 biji genotif 9069/Wilis dan varietas pembanding yang masing-masing memiliki bobot
11,52 gr dan 11,44 gr. Di Indonesia ukuran biji kedelai diklasifikasikan dalam 3 kelas yaitu biji kecil (6-10
gr/100 biji), sedang (11-12 gr/100 biji) dan besar (13 gr atau lebih/100 biji)
Keragaan hasil biji (ton/ ha). Dilihat dari produktifitas tanaman per hektar untuk setiap genotif
yang di uji, kedelai putih genotif G100H/9305-II memiliki potensi hasil yang jauh lebih tinggi yaitu 2.16 ton
per hektar di banding genotif lain yang rata-rata memiliki hasil 1.56 ton per hektar, dan juga dengan varietas
Burangrang , tetapi tidak berbeda nyata dengan hasil biji varietas Wilis yakni 2.15 ton per hektar. Sementra
kita lihat keragaan produktifitas kedelai hitam semua genotif yang diuji memiliki potensi hasil tidak berbeda
nyata antar genotif yaitu rata-rata 2,24 ton per ha, tetapi sangat nyata berbeda dengan produksi varietas
Cikuray sebagai pembanding yang memiliki hasil 1,83 ton per hektar.

KESIMPULAN
Keragaman penampilan tanaman di lapangan di pengaruhi perbedaan genotif dan lingkungan
Genotif G100H/9305-II (kedelai putih, biji besar) memiliki potensi hasil tertinggi dan daya adaptasi
yang relatif stabil pada lahan sawah.
Genotif Shr/Wil-60 umur panennya relatif pendek 79 hari, dan
potensi hasil yang relatif tinggi 1.9 ton per hektar.
Semua genotif kedelai Kedelai hitam layak untuk diusulkan untuk pelepasan varietas unggul baru karena
memenuhi kriteria yaitu potensi hasil jauh lebih tinggi dibanding varietas Cikuray sebagai kontrol.
Perlu di uji lagi pada lokasi yang agrokilmatnya berbeda untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi
hasil.

DAFTAR PUSTAKA
Adie.M.2005. TeknologiProduksi Benih Sumber Kacang-kacangan. Materi pelatihanpengelolaan benih
sumber. Balitkabi Malang
Adisarwanto.T, A.Kasno, N.Saleh, Budhi.S.R, Marwotro, Sumarno. 1992. Studi Sumber Pertumbuhan
Baru Produksi Kedelai di Nusa Tenggara Barat.
Adisarwanto.T, N.Saleh, Marwoto, N.Sunarlim. 2000. Teknologi Produksi Kedelai .Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Adisarwanto, T., dan R. Wudianto, 1997. Meningkatkan Hasil Panen Kedelaidi Lahan Sawah - KeringPasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta
Anonimaus. 1991. Budidaya dan Pengelolaan Hasil Kedelei. Departemen Pertanian.
Biro Pusat Statistik NTB, 2004. Nusa Tenggara Barat dalam Angka tahun 1998 sampai Tahun 2003
Darman.M.Arsyad, J.Soejitno, A.Kasno, Sudaryono, A.A Rahmiana, Suharsono, Joko.S.Utomo, 2002.
Kinerja Teknologi Untuk Meningkatkan Produktifitas Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian . Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Ibrahim Manwan, Sumarno, A.Syarifudin.K, Achmad.M.Fagi, 1990 Teknologi Peningkatan Produksi
Kedelai di Indonesia
J.R.Hidayat, S.A.S.Wityanara, K.Pirngadi, S.Kartaatmadja, A.M.Fagi. 1993. Teknik Budidaya Kedelai di
Lahan Sawah Irigasi.
Jumin, H. B, 1995. Ekologi Tanaman suatau pendekatan Fisiologi. Rajawali Press, Jakarta.
Sitompul, S. M., dan B. Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.

122

PEMANFAATAN UMBI UBI JALAR SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN ES KRIM


Dian Adi A. Elisabeth, M.A. Widyaningsih, dan I K. Kariada
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

ABSTRAK
Teknologi pengolahan pangan modern telah menghasilkan kreasi baru olahan ubi jalar, salah satunya adalah es
krim ubi jalar. Es krim adalah produk pangan beku yang biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan (desert) dengan
bahan-bahan utama dalam pembuatannya seperti lemak, bahan kering tanpa lemak (BKTL) atau padatan bukan lemak,
bahan pemanis, bahan penstabil, dan bahan pengemulsi. Penelitian untuk melihat pengaruh subtitusi susu skim dengan
ubi jalar sebagai sumber padatan bukan lemak terhadap tingkat kesukaan (preferensi) panelis telah dilakukan di
Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali pada bulan Februari sampai Maret 2007. Perlakuan
yang digunakan adalah perbandingan penggunaan susu skim dan ubi jalar, yaitu sebagai berikut : (1) susu skim : ubi jalar
= 0% : 10%; (2) susu skim : ubi jalar = 2,5% : 7,5%; (3) susu skim : ubi jalar = 5% : 5%; (4) susu skim : ubi jalar = 7,5%
: 2,5%; dan (5) susu skim : ubi jalar = 10% : 0% (= kontrol). Analisis yang digunakan adalah analisis organoleptik berupa
uji hedonik. Analisis dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana,
dengan menggunakan 15 panelis semi terlatih yang sekaligus dipakai sebagai ulangan. Selain itu, juga dilakukan
pengamatan terhadap over run es krim dan kecepatan meleleh di suhu ruang. Hasil analisis menunjukkan bahwa subtitusi
susu skim dengan umbi ubi jalar kukus sebagai padatan bukan lemak dalam pembuatan es krim dapat diterima oleh
panelis. Es krim dengan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% memiliki mutu yang baik, dari segi
organoleptik, over run, dan kecepatan meleleh.
Kata kunci : es krim ubi jalar, uji hedonik, over run, kecepatan meleleh

PENDAHULUAN
Tanaman ubi jalar (Ipomea batatas) berasal dari Amerika bagian Tengah dan pada sekitar tahun
1960-an ubi jalar telah menyebar dan ditanam di hampir seluruh wilayah Indonesia (Rukmana, H. R, 2001).
Karakteristik umbi ubi jalar atau sweet potato adalah warna kulit antara jingga muda, jingga sampai cokelat
muda, warna daging umbi jingga muda, jingga sampai kuning, dan rasa umbi manis, manis agak berair,
manis berair sampai manis enak tergantung pada varietasnya. Beberapa varietas ubi jalar adalah seperti
Daya, Prambanan, Borobudur, Mendut, dan Kalasan.
Di tiap daerah di Indonesia, selalu ada varietas lokal ubi jalar dimana rata-rata tiap varietas memiliki
karakteristik yang berbeda dengan keunggulan tertentu, seperti Ubi Selat Jawa Timur yang warna dagingnya
dominan ungu dengan selingan cokelat-jingga dan terkenal sebagai bahan pembuatan keripik, Ubi Gunung
Kawi yang jika dikukus warna kulit umbi akan mengkilap dan rasanya sangat manis, Ubi Madu Cilembu
yang istimewa karena umbinya yang dipanggang mengeluarkan cairan kental dengan rasa yang sangat manis,
Ubi Bali yang sering disajikan sebagai pendamping buah-buahan dalam pembuatan rujak manis, Ubi Papua
yang diduga merupakan indukan dari varietas ubi jepang, dan Ubi Jepang yang cukup populer di Indonesia
dengan berbagai varietas seperti ibaraki, beniazuma, dan naruto (Hartoyo, T, 2004). Secara umum kandungan
gizi umbi ubi jalar seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Ubi Jalar
Kandungan
Energi (KJ/100 g)
Protein (%)
Lemak (%)
Pati (%)
Gula (%)
Serat makanan (%)
Kalsium (mg/100g)
Fosfor (mg/100g)
Besi (mg/100 g)
Vitamin A (mg/100 g)
Vitamin B1 (mg/100 g)
Vitamin C (mg/100 g)
Air (g)
Sumber : Hendroatmojo (1990) dalam Hartoyo, T (2004)

Komposisi
71,1
1,43
0,17
22,4
2,4
1,6
29
51
0,49
0,01
0,09
24
83,3

123

Berat kering umbi adalah 16-40% berat basah. Potensi besar ubi jalar terutama terletak pada
kandungan karbohidrat, dimana sebanyak 75-90% berat kering umbi merupakan gabungan dari pati, gula,
dan serat seperti selulosa, hemiselulosa, dan pektin (Hartoyo, T, 2004). Karbohidrat di dalam umbi ini telah
banyak diolah lebih lanjut. Teknik olahan tradisional yang sudah banyak diterapkan di masyarakat dalam
bentuk beberapa jajanan lokal, seperti kue apem, kue mangkok, dan pilus dari ubi jalar, termasuk juga keripik
ubi jalar. Teknologi pengolahan pangan modern juga telah banyak berperan menghasilkan kreasi baru olahan
ubi jalar, dengan bentuk yang paling banyak berupa jajanan atau makanan ringan (snack food). Dalam
pembuatan makanan ini, ubi jalar dapat berperan sebagai bahan utama atau bahan pensubtitusi. Salah satu
jenis makanan yang memanfaatkan umbi ubi jalar sebagai bahan bakunya adalah es krim.
Es krim adalah produk pangan beku yang dibuat melalui kombinasi proses pembekuan dan agitasi
pada bahan-bahan yang terdiri dari susu dan produk susu, pemanis, penstabil, pengemulsi, serta penambah
citarasa (flavor). Es krim biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan (desert) dan dikelompokkan dalam
makanan camilan (snack). Prinsip pembuatan es krim adalah membentuk rongga udara pada campuran bahan
es krim atau Ice Cream Mix (ICM) sehingga diperoleh pengembangan volume yang membuat es krim
menjadi lebih ringan, tidak terlalu padat, dan mempunyai tekstur yang lembut (Padaga, M, dkk, 2005).
Syarat mutu es krim menurut SII (Standar Industri Indonesia) Nomor 1617 Tahun 1985 dalam Padaga,
M, dkk (2005) adalah sebagai berikut :
Bahan
Lemak (%)
Padatan susu bukan lemak (%)
Gula (%)

Standar
:
:
:

Minimal 8,0
Minimal 6,0-15,0
Minimal 12,0

Pemantap, pengemulsi
Zat warna
Pemanis buatan

:
:
:

Sesuai SK Depkes RI No.


235/Menkes/Per/VI/79

Jumlah bakteri

Negatif

:
:

Tidak terdapat
Tidak terdapat

Bahan Tambahan :

Logam-logam berbahaya :
Cu, Zn, Pb, Hg
Arsen

Bahan-bahan utama yang diperlukan dalam pembuatan es krim antara lain : lemak, bahan kering
tanpa lemak (BKTL), bahan pemanis, bahan penstabil, dan bahan pengemulsi. Lemak susu (krim) merupakan
sumber lemak yang paling baik untuk mendapatkan es krim berkualitas baik. Lemak susu berfungsi untuk
meningkatkan nilai gizi es krim, menambah citarasa, menghasilkan karakteristik tekstur yang lembut,
membantu memberikan bentuk dan kepadatan, serta memberikan sifat meleleh yang baik. Bahan kering tanpa
lemak (BKTL) berfungsi untuk meningkatkan kandungan padatan di dalam es krim sehingga lebih kental.
BKTL juga penting sebagai sumber protein sehingga dapat meningkatkan nilai nutrisi es krim. Unsur protein
dalam pembuatan es krim berfungsi untuk menstabilkan emulsi lemak setelah proses homogenisasi,
menambah citarasa, membantu pembuihan, meningkatkan dan menstabilkan daya ikat air yang berpengaruh
pada kekentalan dan tekstur es krim yang lembut; juga dapat meningkatkan nilai over run es krim. Sumber
BKTL antara lain susu skim, susu kental manis, dan bubuk whey (Padaga, M, dkk, 2005).
Bahan pemanis yang umum digunakan dalam pembuatan es krim adalah gula pasir (sukrosa) dan
gula bit. Bahan pemanis selain berfungsi memberikan rasa manis, juga dapat meningkatkan citarasa,
menurunkan titik beku yang dapat membentuk kristal-kristal es krim yang halus sehingga meningkatkan
penerimaan dan kesukaan konsumen. Penambahan bahan pemanis sekitar 12 sampai 16 gram per 100 gram
campuran es krim akan menghasilkan es krim dengan tekstur yang halus. Laktosa (gula dari susu) juga
merupakan sumber pemanis selain gula yang ditambahkan dari luar. Laktosa berfungsi untuk menahan titik
beku sehingga es krim masih mengandung air yang tidak membeku jika disimpan pada temperatur yang
sangat rendah (-15 sampai -18C). Jika seluruh air di dalam es krim membeku selama penyimpanan, tekstur
es krim akan menjadi keras dan sulit disendok (Padaga, M, dkk, 2005).
Bahan penstabil yang umum digunakan dalam pembuatan es krim adalah CMC (carboxy methyl
celulose), gum arab, sodium alginat, karagenan, dan agar. Bahan penstabil berperan untuk meningkatkan
kekentalan ICM terutama pada saat sebelum dibekukan dan memperpanjang masa simpan es krim karena
dapat mencegah kristalisasi es selama penyimpanan. Bahan pengemulsi utama yang digunakan dalam
pembuatan es krim adalah kuning telur, juga minyak hewan atau nabati. Bahan pengemulsi bertujuan untuk

124

memperbaiki struktur lemak dan distribusi udara dalam ICM, meningkatkan kekompakan bahan-bahan dalam
ICM sehingga diperoleh es krim yang lembut, dan meningkatkan ketahanan es krim terhadap pelelehan
bahan. Campuran bahan pengemulsi dan penstabil akan menghasilkan es krim dengan tekstur yang lembut
(Padaga, M, dkk, 2005).
Es krim yang baik harus memenuhi persyaratan komposisi umum ICM (Ice Cream Mix) atau
campuran es krim sebagai berikut :
Lemak susu

: 10-16%

Bahan kering tanpa lemak

: 9-12%

Bahan pemanis gula

: 12-16%

Bahan penstabil

: 0-0,4%

Bahan pengemulsi

: 0-0,25%

Air

: 55-64%

Sumber : Padaga, M, dkk (2005)

Proses pembuatan es krim dimulai dengan pencampuran bahan-bahan yang dilakukan dengan cara
melarutkan atau mencampurkan bahan-bahan kering ke dalam bahan cair pada kondisi hangat (40C), lalu
sambil dipanaskan dimasukkan bahan penstabil dan bahan pengemulsi sampai diperoleh campuran homogen
yang disebut ICM. Campuran kemudian dipasteurisasi pada suhu 80C selama 25 detik, sambil terus diaduk.
Pasteurisasi bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen, melarutkan bahan kering, dan
meningkatkan citarasa. Selanjutnya ICM didinginkan sampai suhu ruang untuk dihomogenisasi dengan
tujuan memecah globula lemak sehingga ukurannya lebih kecil dan dapat menyebar rata sehingga dihasilkan
es krim dengan tekstur yang tidak kasar, mempunyai citarasa yang merata, dan daya buih yang baik.
Homogenisasi pada pembuatan es krim skala rumah tangga dapat menggunakan blender atau mixer.
Homogenisasi sebaiknya dilakukan saat kondisi ICM masih hangat (Padaga, M, dkk, 2005).
ICM kemudian di-aging, yang merupakan proses pematangan ICM dalam refrigerator bersuhu 4C
selama 4-12 jam. Tujuan aging adalah untuk menghasilkan ICM yang lebih kental, lebih halus, tampak lebih
mengkilap, dan memperbaiki tekstur. Setelah proses aging, dilakukan proses homogenisasi kembali.
Selanjutnya ICM dibekukan dengan cepat untuk mencegah terbentuknya kristal es yang kasar. Pembekuan
dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pada suhu -5 sampai -8C dan tahap kedua pada suhu sampai
30oC. Proses pembekuan yang dikombinasi dengan proses agitasi bertujuan untuk memasukkan udara ke
dalam ICM sehingga dihasilkan volume es krim dengan over run yang sesuai standar es krim. Dalam skala
rumah tangga, proses agitasi dapat dilakukan dengan menggunakan mixer berulang-ulang diselingi dengan
proses pembekuan di dalam freezer. Setelah itu, es krim dapat dikemas dalah wadah-wadah kecil dan
disimpan dalam freezer untuk proses pembekuan. Kualitas es krim akan tetap stabil pada suhu penyimpanan 25 sampai -30C (Padaga, M, dkk, 2005).
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh subtitusi susu skim dengan ubi jalar sebagai
sumber padatan bukan lemak terhadap tingkat kesukaan (preferensi) panelis.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali pada bulan
Februari sampai Maret 2007
Alat dan bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ubi jalar varietas lokal dengan warna daging umbi
kuning-orange, susu bubuk skim, susu bubuk full krim, whipped cream, gula pasir, telur, agar-agar, garam,
dan air. Sementara, alat yang digunakan dalam penelitian adalah pisau, timbangan, panci pengukus, kompor
gas, blender, mixer, panci, sendok pengaduk, thermometer, dan lemari pendingin (dengan refrigerator dan
freezer).
Formulasi bahan yang digunakan dalam pembuatan es krim ubi jalar ini mengacu pada Padaga, M,
dkk (2005), yaitu sebagai berikut : padatan lemak 10% berupa susu bubuk full krim dan whipped cream,
padatan bukan lemak 10% berupa susu bubuk skim dan umbi ubi jalar, bahan pemanis 15% berupa gula

125

pasir, bahan penstabil 0,5% berupa agar-agar dan putih telur, bahan pengemulsi berupa kuning telur, garam
sebagai pengikat air, dan air.
Metode pembuatan
Proses dasar dalam pembuatan es krim meliputi beberapa tahap, yaitu pencampuran bahan,
pasteurisasi, homogenisasi, pematangan (aging), pembekuan dan agitasi, pengemasan, pembekuan, dan
penyimpanan (Padaga, M, dkk, 2005).
Proses pembuatan es krim yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut : (1) Umbi
dicuci, dikukus, lalu dikupas; (2) Dihaluskan; (3) Kuning telur dikocok sampai mengembang; (4) Bahanbahan kering dimasukkan ke dalam air hangat sambil diaduk; (5) Campuran dipanaskan, sambil kuning telur,
putih telur, dan agar-agar dimasukkan dan terus diaduk; (6) Dipasteurisasi pada suhu 80-85oC selama 25
detik; (7) Adonan diangkat, didinginkan sampai suam-suam kuku, kemudian dihomogenisasi selama 15
menit; (8) Adonan disimpan di dalam refrigerator selama 4 jam untuk proses aging; (9) Dihomogenisasi
ulang selama 15 menit; (10) Adonan disimpan di dalam freezer sampai setengah beku lalu diagitasi selama
15 menit; (11) Dikemas dalam wadah-wadah kemudian disimpan kembali ke dalam freezer.
Metode analisis
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian adalah perbandingan penggunaan susu skim dan ubi
jalar sebagai padatan bukan lemak, yaitu sebagai berikut : susu skim : ubi jalar = 0% : 10% (kode 801), susu
skim : ubi jalar = 2,5% : 7,5% (kode 675), susu skim : ubi jalar = 5% : 5% (kode 305), susu skim : ubi jalar =
7,5% : 2,5% (kode 725), dan susu skim : ubi jalar = 10% : 0% (= kontrol, kode 400).
Perbandingan penggunaan susu skim dan ubi jalar di atas adalah perbandingan untuk berat kering;
sementara dalam penelitian digunakan umbi ubi jalar yang dikukus (berat basah) sehingga digunakan asumsi
bahwa berat basah ubi jalar adalah sekitar 4 kali berat keringnya (berdasarkan Hartoyo, T (2004), dimana
berat kering umbi adalah 16-40% berat basah atau rata-rata sekitar 28%).
Analisis yang dilakukan adalah analisis organoleptik berupa uji hedonik (skala 1-sangat tidak suka
sampai 7-sangat suka) untuk melihat tingkat kesukaan (preferensi) panelis terhadap produk es krim ubi jalar.
Analisis dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana,
dengan menggunakan 15 panelis semi terlatih yang sekaligus dipakai sebagai ulangan. Selain itu, juga
dilakukan pengamatan terhadap over run es krim dan kecepatan meleleh di suhu ruang. Over run dihitung
dalam bentuk persentase over run berdasarkan perbedaan volume es krim dan ICM (=Ice Cream Mix) atau
campuran es krim; sementara kecepatan meleleh dinyatakan dalam menit untuk melihat ketahanan es krim
terhadap pelelehan pada saat dihidangkan di suhu ruang.
% Over run = (Volume es krim Volume ICM)/ Volume ICM * 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji Hedonik Es Krim Ubi Jalar
Menurut Padaga, M, dkk (2005), pada dasarnya kualitas es krim ditentukan oleh tekstur, rasa, bau,
over run, dan kecepatan meleleh. Tabel 2 menyajikan hasil analisis organoleptik es krim ubi jalar, dengan
atribut mutu organoleptik yang dinilai adalah warna, aroma, mouthfeel (tekstur di mulut), rasa, kecepatan
meleleh, dan penampilan produk es krim secara umum.
Secara umum berdasarkan hasil analisis organoleptik, es krim dengan perlakuan perbandingan susu
skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% memiliki rata-rata skor hedonik terbaik dan tidak berbeda nyata dengan ratarata skor hedonik perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 2,5% : 7,5% dan kontrol.Rata-rata skor
hedonik perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% tertinggi untuk atribut warna, aroma,
mouthfeel, rasa, dan penampilan secara umum; namun tidak untuk kecepatan meleleh (Tabel 2).Sementara,
secara umum rata-rata skor hedonik terendah adalah untuk perlakuan penggunaan 10% umbi ubi jalar,
kecuali untuk atribut kecepatan meleleh yang skor hedoniknya tertinggi dibandingkan perlakuan lain.

126

Tabel 2. Hasil Analisis Organoleptik (Uji Hedonik) Es Krim Ubi Jalar


Atribut mutu organoleptik

Skor Hedonik untuk Perlakuan


810

675

Warna
3,69
4,81
Aroma
4,38
4,93
Mouthfeel
4,00
5,63
Rasa
3,56
5,81
Kecepatan meleleh
5,38
4,94
Penampilan secara umum
3,44
5,73
Rata-rata
4,07 c
5,31 ab
Keterangan : Perbandingan padatan bukan lemak
810 = Susu Skim : Ubi Jalar = 0% : 10%
675 = Susu Skim : Ubi Jalar = 2,5% : 7,5%
305 = Susu Skim : Ubi Jalar = 5% : 5%
725 = Susu Skim : Ubi Jalar = 7,5% : 2,5%
400 = Susu Skim : Ubi Jalar = 10% : 0% (Kontrol)

305

725

5,00
4,69
5,38
5,44
4,50
5,06
5,01 b

6,31
5,56
6,07
6,31
4,63
6,25
5,85 a

400
6,19
5,19
5,94
6,00
4,00
5,88
5,53 ab

Penilaian hedonik panelis untuk atribut warna es krim bervariasi antara 3,69 sampai 6,19 (agak tidak
suka sampai sangat suka), Rata-rata skor hedonik terendah diperoleh oleh perlakuan perbandingan susu skim
dan ubi jalar 0% : 10%. Rata-rata skor hedonik semakin meningkat dengan semakin berkurangnya
konsentrasi umbi ubi jalar kukus yang digunakan sebagai pensubtitusi (Tabel 2). Warna umbi ubi jalar yang
kuning-orange memang berpengaruh pada warna produk es krim, dimana semakin banyak konsentrasi
penggunaan ubi jalar, warna es krim akan semakin kekuningan dan tampaknya hal ini kurang diminati oleh
panelis, Warna es krim yang diminati adalah warna putih susu seperti perlakuan perbandingan susu skim dan
ubi jalar 7,5% : 2,5% dan kontrol.
Rasa dalam es krim merupakan kombinasi cita rasa dan bau (aroma), yang diciptakan untuk
memenuhi selera konsumen. Pada umumnya, rasa dan aroma es krim merupakan satu kesatuan yang saling
menunjang karena hal pertama yang akan diperhatikan oleh konsumen saat membeli es krim adalah rasa dan
aromanya, Dari hasil analisis organoleptik, tampak ada korelasi positif antara skor hedonik terhadap aroma
dan skor hedonik terhadap rasa es krim ubi jalar yang diberikan oleh panelis, dimana peningkatan skor
hedonik terhadap aroma diikuti pula dengan peningkatan skor hedonik terhadap rasa (Tabel 2). Semakin
banyak konsentrasi subtitusi umbi ubi jalar kukus, semakin rendah skor penilaian panelis terhadap aroma dan
rasa es krim ubi jalar. Tampaknya panelis tetap lebih menyukai es krim dengan cita rasa dan aroma susu yang
masih terasa dibandingkan es krim dengan cita rasa dan aroma ubi jalar yang terlalu menonjol. Hal ini
ditunjukkan dengan rata-rata skor penilaian hedonik panelis untuk es krim dengan perlakuan perbandingan
susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% yang tertinggi, yaitu 5,56 (agak suka sampai suka) untuk aroma dan 6,31
( suka sampai sangat suka) untuk rasa; dilanjutkan dengan rata-rata skor hedonik untuk aroma dan ras
produk es krim kontrol yang padatan bukan lemaknya murni berasal dari susu skim (Tabel 2).
Menurut Padaga, M, dkk (2005), rasa sangat mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap es krim,
bahkan dapat dikatakan merupakan faktor penentu utama. Saat ini, rasa es krim di pasaran sudah sangat
beragam sehingga diperlukan kejelian dan kreativitas untuk memadupadankan rasa yang menjadi kegemaran
konsumen. Rasa es krim juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti bahan pengental yang dapat mengurangi
rasa manis gula dan perubahan tekstur yang dapat mengubah cita rasa es krim.
Penilaian hedonik panelis untuk atribut mouthfeel (tekstur di mulut) bervariasi antara 4,0 sampai
6,07 (netral sampai sangat suka). Rata-rata skor hedonik tertinggi didapatkan oleh perlakuan perbandingan
susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5%; sementara rata-rata skor hedonik terendah didapatkan oleh perlakuan es
krim yang padatan bukan lemaknya murni berasal dari umbi ubi jalar kukus.
Tekstur es krim dipengaruhi oleh ukuran dari kristal es, globula lemak, gelembung udara, dan kristal
laktosa (Suprayitno, E, dkk, 2001); sementara, menurut Padaga, M, dkk (2005), tekstur lembut es krim sangat
dipengaruhi oleh komposisi ICM, cara mengolah, dan kondisi penyimpanan. Tekstur es krim yang baik
adalah halus/ lembut (smooth), tidak keras, dan tampak mengkilap (Padaga, M, dkk, 2005); sementara,
tekstur yang buruk adalah greasy (terasa ada gumpalan lemak), grainy (terasa seperti tepung), flaky/snowy
(terasa ada serpihan es), lumpy/gelatin (seperti jelly), dan sandy (berpasir) (Suprayitno, E, dkk, 2001).
Berdasarkan penilaian panelis terhadap atribut kecepatan meleleh didapatkan bahwa es krim dengan
perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% paling disukai karena tidak cepat meleleh pada
suhu ruang. Subtitusi susu skim dengan umbi ubi jalar kukus tampaknya mempengaruhi kekentalan adonan
es krim, dimana semakin tinggi konsentrasi penggunaan umbi ubi jalar kukus, semakin kental adonan es

127

krim. Hal ini berpengaruh lanjut pada kecepatan meleleh es krim yang semakin lambat dan tekstur es krim
yang cenderung menjadi keras.
Panelis menilai bahwa penampilan secara umum es krim dengan perlakuan susu skim dan ubi jalar
7,5% : 2,5% adalah terbaik dibandingkan perlakuan lainnya, termasuk kontrol, yaitu 6,25 (suka sampai
sangat suka); sementara, es krim dengan perlakuan penggunaan ubi jalar 10% memperoleh rata-rata skor
hedonik terendah, yaitu 3,44 (agak tidak suka sampai netral).
Over Run dan Kecepatan Meleleh Es Krim Ubi Jalar
Over run menunjukkan banyak sedikitnya udara yang terperangkap di dalam campuran es krim atau
ICM karena proses agitasi. Over run mempengaruhi tekstur dan kepadatan yang sangat menentukan kualitas
es krim. Adanya udara dalam ICM akan membentuk rongga-rongga udara yang akan segera terlepas
bersamaan dengan melelehnya es krim. Semakin banyak rongga udara akan menyebabkan es krim cepat
menyusut dan meleleh pada suhu ruang. Es krim yang berkualitas memiliki over run 70-80%; sedangkan
untuk industri rumah tangga 35-50% (Padaga, M, dkk, 2004; Suprayitno, E, dkk, 2001).
Tabel 3, Pengamatan Over Run dan Kecepatan Meleleh Es Krim Ubi Jalar
Variabel
Over run (%)

810

675

Perlakuan
305

725

400

22,22

28,57

54,84

41,38

63,33

2,12

1,41

0,41

Kecepatan meleleh (menit)


8,58
2,28
Keterangan : erbandingan padatan bukan lemak
10 = Susu Skim : Ubi Jalar = 0% : 10%
75 = Susu Skim : Ubi Jalar = 2,5% : 7,5%
05 = Susu Skim : Ubi Jalar = 5% : 5%
25 = Susu Skim : Ubi Jalar = 7,5% : 2,5%
00 = Susu Skim : Ubi Jalar = 10% : 0% (Kontrol)

Peningkatan konsentrasi subtitusi susu skim dengan ubi jalar kukus tampaknya dapat meningkatkan
kekentalan (viskositas) ICM sehingga semakin membatasi mobilitas molekul air karena ruang antar partikel
di dalam ICM menjadi semakin sempit. Sempitnya ruang antar partikel menyebabkan udara yang masuk ke
dalam ICM selama agitasi semakin sedikit sehingga nilai over run yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini
dapat dilihat dari hasil pengamatan over run pada Tabel 3, dimana dengan semakin banyaknya penggunaan
umbi ubi jalar kukus sebagai pensubtitusi susu skim, nilai over run cenderung semakin rendah.Over run yang
terlalu rendah dapat menyebabkan es krim beku menjadi produk yang terlalu keras dan lembek seperti
puding; sementara over run yang terlalu tinggi menyebabkan es krim terlalu lunak, cepat meleleh, dan
memiliki rasa yang hambar (Suprayitno, E, dkk, 2001),
Turunnya nilai over run disertai dengan semakin tahannya es krim terhadap proses pelelehan dari
suhu beku ke suhu ruang sehingga diperlukan waktu yang lebih lama untuk melelehkan es krim. Dari hasil
pengamatan terhadap kecepatan meleleh es krim ubi jalar, tampak bahwa es krim dengan over run rendah
memiliki kecepatan meleleh yang cenderung lebih lama (Tabel 3).
Kecepatan meleleh es krim sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan
ICM, Es krim yang baik adalah es krim yang tahan terhadap pelelehan pada saat dihidangkan pada suhu
ruang. Es krim yang cepat meleleh kurang disukai karena es krim akan segera mencair pada suhu ruang;
namun juga perlu diperhatikan bahwa es krim yang lambat meleleh atau kecepatan melelehnya terlalu rendah
juga tidak disukai oleh konsumen karena bentuk es krim yang tetap (tidak berubah) pada suhu ruang sehingga
memberikan kesan terlalu banyak padatan yang digunakan (Padaga, M, dkk, 2005). Dari hasil pengamatan
terhadap nilai over run dan kecepatan meleleh es krim ubi jalar, es krim dengan perlakuan perbandingan susu
skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% menunjukkan mutu es krim yang baik.

KESIMPULAN
1.

Subtitusi susu skim sebagai padatan bukan lemak dalam pembuatan es krim dengan ubi jalar kukus dapat
diterima oleh panelis.

2.

Perbedaan konsentrasi subtitusi susu skim dengan ubi jalar kukus berpengaruh terhadap mutu es krim.

3.

Es krim yang dibuat dari susu skim dan ubi jalar kukus dengan perbandingan 3 : 1 (7,5% : 2,5%)
menunjukkan mutu es krim yang baik.

128

DAFTAR PUSTAKA
Hartoyo, T, 2004, Olahan dari Ubi Jalar, Trubus Agrisarana, Surabaya.
Padaga, M dan M, E, Sawitri, 2005, Es Krim yang Sehat, Trubus Agrisarana, Surabaya.
Rukmana, H, R, 2001, Aneka Keripik Umbi, Kanisisius, Yogyakarta.
Suprayitno, E, H, Kartikaningsih, dan S, Rahayu, 2001, Pembuatan Es Krim dengan Menggunakan
Stabilisator Natrium Alginat dari Sargassum sp, Dalam Jurnal Makanan Tradisional Indonesia ISSN: 14108968, Vol, 1 No, 3, Hal, 23-27.

129

KAJIAN PEMANFAATAN BEBERAPA PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK TERHADAP


PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG MANIS DI LAHAN KERING DATARAN TINGGI
BERIKLIM BASAH BATURITI TABANAN
I.K. Kariada1) , I. B. Aribawa1) dan Moh. Nazam2)
1)
Peneliti BPTP Bali
2)
Peneliti BPTP NTB

ABSTRAK
Pengkajian pemanfaatan beberapa pupuk organik dan anorganik telah dilaksanakan di Dusun Pemuteran,
Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, termasuk dalam FSZ lahan kering dataran tinggi iklim basah pada MH. 2006.
Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik dan anorganik terhadap
pertumbuhan dan hasil jagung manis. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan lima perlakuan
dan lima ulangan. Perlakuan yang dicoba dalam kegiatan ini adalah : P0 = pupuk an-organik (NPK 100-50-50); P1 =
pukan babi 5 t/ha; P2 = Pukan babi 5 t/ha + urine sapi 60 l/ha (pengenceran 10 kali diaplikasikan sekali per minggu s/d 50
HST); P3 = kascing 5 t/ha; P4 = kascing 5 t/ha + urine sapi 60 l/ha (pengenceran 10 kali diaplikasikan sekali per minggu
s/d 50 HST). Parameter tanaman yang diamati adalah : tinggi tanaman umur 50 HST, tinggi tanaman pada saat panen,
bobot tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol dan bobot total tongkol per hektar. Hasil analisis menunjukkan
perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap semua parameter tanaman yang diamati. Bobot total jagung muda
tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu, 9,00 t/ha.
Kata kunci : pupuk organik, anorganik, pertumbuhan dan hasil jagung.

PENDAHULUAN
Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan merupakan daerah sentra sayuran di Bali sebagai penyuplai
kebutuhan daerah perkotaan Denpasar, Tabanan dan Gianyar serta kebutuhan hotel-hotel di daerah
pariwisata. Tanaman jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim yang diusahakan sangat intensif sebagai
salah satu sumber pendapatan petani. Akhir-akhir ini kebutuhan jagung khususnya jagung manis semakin
meningkat sebagai sumber konsumsi jagung rebus maupun jagung sayur. Kebutuhan tersebut terutama untuk
konsumsi di daerah perkotaan, super market, dan daerah pinggiran perkotaan mendukung pariwisata.
Sementara limbah jagung segar setelah panen sangat bermanfaat bagi petani sebagai tambahan hijauan pakan
ternak.
Peran jagung akan semakin strategis dalam pemenuhan karbohidrat dan protein baik sebagai bahan
pangan maupun pakan. Sebagai bahan pangan dan pakan, jenis jagung yang ada saat ini pada umumnya
adalah jagung komposit, yang memiliki kelemahan dilihat dari nilai nutrisinya. Kandungan protein biji
jagung komposit, kekurangan dua asam amino esensial (lisin dan triptofan) masing-masing mengandung
hanya 0,05 dan 0,225 dari total protein biji (Kasim, 2003).
Akhir-akhir ini budidaya jagung sering diusahakan di lahan dataran rendah maupun dataran tinggi.
Dalam penerapan teknik budidaya jagung agar diperoleh tingkat pertumbuhan yang baik maka diperlukan
kondisi fisik dan biologis tanah yang berimbang, optimalisasi peroleh sinar matahari, ketersediaan air serta
kondisi lingkungan yang baik. Rendahnya produksi selama ini diduga diakibatkan oleh beberapa faktor
seperti pemanfaatan varietas yang kurang bermutu, tidak diterapkannya teknologi budidaya dengan baik dan
faktor kekeringan sering mengakibatkan tanaman stress, serta tidak optimalnya pemberian input-input
pertanian yang dibutuhkan tanaman misalnya pupuk organik. Pada lahan-lahan kering sering ditemukan
sifat-sifat lahan yang umumnya memiliki ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang rendah, kadar N
rendah, kejenuhan Al yang tinggi, KTK rendah serta beberapa kendala lainnya yang membutuhkan
penanganan secara intensif bila diusahakan untuk budidaya tanaman jagung. Dalam upaya tersebut maka
faktor-faktor tanah baik fisik maupun kimiawi tanah perlu dibenahi agar produksi tanaman dapat
dipertahankan dengan baik. Dengan demikian maka perlu dilakukan pengkajian pemupukan khususnya
pemberian pupuk organik pada tanah mengingat kadar C-organik tanah yang dikelola petani secara umum
rendah (Kartini, 2000; Adnyana, 2000). Dengan memberikan pupuk organik maka kesuburan tanah dapat
ditingkatkan agar produksi jagung dapat dihasilkan dengan baik.
Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis di lahan kering dataran tinggi beriklim basah.

130

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilakukan pada MH. 2006 dengan menggunakan lahan petani (on farm research).
Beberapa sarana produksi disediakan melalui pengkajian serta sebagian dari kebutuhan sarana produksi
tersebut diberikan oleh petani sebagai bagian dari partisipasi. Lokasi pengkajian adalah di Dusun Pemuteran,
Desa Candikuning Baturiti Tabanan dengan ketinggian 1.100 m dpl. Pengkajian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari 5 perlakuan dan 5 ulangan. Masing-masing perlakuan tersebut
yaitu :
P0 = pupuk an-organik (NPK 100-50-50)
P1 = pukan babi 5 t/ha
P2 = Pukan babi 5 t/ha + urine sapi 60 l/ha (pengenceran 10 kali diaplikasikan sekali per
HST).

minggu s/d 50

P3 = kascing 5 t/ha
P4 = kascing 5 t/ha + urine sapi 60 l/ha(pengenceran 10 kali diaplikasikan sekali per minggu s/d 50 HST).
Benih jagung yang digunakan adalah jagung manis hibrida ditanam sebanyak 3 biji per lubang.
Ukuran petak/plot adalah 4 m x 5m. Pada umur 30 HST dilakukan penjarangan tanaman jagung dan
disisakan 2 batang/lubang.
Parameter yang diamati meliputi aspek agronomi tanaman jagung yaitu tinggi tanaman umur 50
HST, tinggi tanaman pada saat panen, bobot tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol dan bobot total
tongkol per hektar. Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik
ragam. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT 5% (Gomez
dan Gomez, 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis
terhadap tinggi tanaman umur 50 HST, menunjukkan perlakuan pemberian pupuk berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu 93,43 cm,
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan P3. Tinggi tanaman terendah terlihat pada
perlakuan P1, yaitu 71,43 cm.
Perlakuan pemberian pupuk memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap tinggi tanaman
menjelang panen. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu 228,67 cm, berbeda nyata bila
dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, kecuali dengan perlakuan P3. Tinggi tanaman menjelang
panen terendah terlihat pada perlakuan P1, yaitu 172,15 cm.
Sementara perlakuan pemberian pupuk menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap bobot
tongkol. Bobot tongkol tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu 231,28 g, berbeda nyata bila dibandingkan
dengan perlakuan yang lainnya kecuali dengan perlakuan P3. Bobot tongkol terendah terlihat pada perlakuan
P1, yaitu 172,15 g.
Hasil analisis statistik terhadap panjang tongkol juga disajikan pada Tabel 1 dimana perlakuan
pemberian pupuk menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap panjang tongkol. Panjang tongkol
tertinggi pada perlakuan P4, yaitu 21,76 cm, tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan yang
lain, kecuali dengan perlakuan P1. Panjang tongkol terpendek terlihat pada perlakuan P1, yaitu 16,61 cm.
Hasil analisis terhadap diameter tongkol menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) dimana
diameter tongkol terbesar terlihat pada perlakuan P4, yaitu 18,83 cm, berbeda nyata bila dibandingkan
dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan P2 dan P3. Diameter tongkol terkecil terlihat pada
perlakuan P1, yaitu 15,10 cm.
Selanjutnya hasil analisis statistik terhadap bobot total tongkol menunjukkan pengaruh nyata
(P<0,01) terhadap bobot total tongkol. Bobot total tongkol tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu 9,00 ton
per hektar, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan P2 dan P3.

131

Tabel 1. Pengaruh Pupuk Organik dan Anorganik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung di Lahan Kering
Dataran Tinggi Iklim Basah pada MH. 2006.
Perlakuan

Tinggi 50
HST (cm)

Tinggi
maximum (cm)

Bobot
tongkol (g)

Panjang
tongkol (cm)

Diameter
tongkol (cm)

Bobot total
tongkol ha-1

P0
72,67a
192,89ab
188,72a
16,86b
16,59ab
6,97a
P1
71,43a
183,91a
172,15a
16,61a
15,10a
5,95a
P2
80,09b
206,59bc
183,91a
19,83b
17,74bc
8,24b
P3
90,20cd
223,44d
220,83b
19,98b
17,88bc
8,71b
P4
93,43d
228,67d
231,28b
21,76b
18,83c
9,00b
KK (%)
4,50
5,50
6,90
8,20
8,60
10,40
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
DMRT 5 %.

Pertumbuhan tanaman dalam arti sempit berarti pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan
pembesaran sel (peningkatan ukuran) dan merupakan proses yang tak dapat balik (Gardner et al., 1986).
Hardjowigeno (1987) menyebutkan bahwa pertumbuhan merupakan suatu perkembangan yang progresif dari
suatu organisme dan cara yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan menyatakan dalam
penambahan berat kering, panjang, tinggi ataupun diameter batang. Dalam percobaan ini untuk melihat
pengaruh dari perlakuan pemberian pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan hasil tanaman
jagung digunakan tinggi tanaman, bobot tongkol, panjang tongkol, diamater tongkol dan bobot total tongkol
per hektar.
Dalam pengkajian ini terlihat perlakuan pemberian pupuk organic dan anorganik memberikan
pengaruh yang nyata terhadap semua parameter tanaman jagung yang diamati. Pengaruh perlakuan ini diduga
disebabkan karena pemberian bahan organic itu sendiri ke dalam tanah. Pemberian pupuk organik ke dalam
tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, menyuburkan tanah dan menambah unsur hara,
menambah humus, mempengaruhi kehidupan jazad renik yang hidup dalam tanah, disamping dapat
meningkatkan daya mengikat air. Pada tanah dengan kandungan C-organik tinggi unsur hara menjadi lebih
tersedia, sehingga pemupukan lebih efisien.
Pertumbuhan hasil tanaman jagung dipengaruhi oleh pemberian pupuk organik dan anorganik. Hal
ini menunjukkan bahwa bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan meningkatkan kadar bahan
organik tanah. Bahan organik tanah merupakan timbunan dari sisa tanaman dan binatang yang sebagian besar
telah mengalami pelapukan dan merupakan bahan utama jasad mikro tanah. Bahan organik akan mengalami
perubahan terus menerus oleh aktivitas jasad mikro dan tidak mantap. Oleh karena itu bahan organik tanah
harus selalu diperbaharui dengan menambah sisa-sisa tanaman maupun bahan organic lainnya. Kadar bahan
organik tanah-tanah mineral umumnya rendah, tidak melebihi 5%, tapi pengaruh bahan organik terhadap
sifat-sifat tanah dan produktivitas lahan sangat besar (Hardjowigeno, 1987).
Dalam pengkajian ini terlihat pemberian pupuk organik kascing lebih unggul bila dibandingkan
dengan pupuk organik dari limbah babi. Hal ini disebabkan karena kascing menyediakan hara (N,P,K, Ca dan
Mg) dalam jumlah seimbang dan dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, disamping menyediakan hormon
pertumbuhan tanaman (Sutanto, 2002a dan Sutanto 2002b). Kascing mempunyai kelebihan dari pupuk
organik lainnya, sehingg sering disebut pupuk organik plus (Kartini, 2000) karena unsur hara yang
dikandungnya baik unsur makro maupun mikro dapat langsung terserdia bagi tanaman (Kartini, 2000 dan
Trimulat, 2003).
Peranan pupuk organik kascing pada tanah telah diinformasikan cukup baik misalnya pada pupuk
organik kascing mengandung komposisi cukup baik antara lain unsur N = 1,99%, P = 3,92%, K = 0,69%, S
= 0,26%, Cu = 0,045% serta Fe = 0,081% (C.V. Sarana Petani Bali, 2000) sementara menurut Suwardi
(2004) kascing mempunyai kandungan unsur hara yang sangat baik yaitu pH 6,8; N-total 1,9%; Ca tersedia
30 meq/100gr, Mg tersedia 15,23 meq/100gr serta KTK 69,0 meq/100gr yang mampu mendukung
perkembangan dan pertumbuhan jaringan dengan baik. Hal yang hampir sama juga dihasilkan oleh Kariada
et al. (2004) dimana peran pupuk kascing secara nyata mampu meningkatkan pH tanah, menyediakan unsur
N, P dan K tersedia bagi tanaman dengan hasil analisis yang semuanya berskala tinggi hingga sangat tinggi.
Adanya kelebihan kualitas pada pupuk organik kascing menyebabkan bobot tongkol total yang
dihasilkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini juga didukung oleh kopmponen
pertumbuhan seperti tinggi tanaman dan kompoenen hasil seperti bobot tongkol, panjang tongkol dan
diameter tongkol pada perlakuan pemberian pupuk organik kascing lebih baik bila dibandingkan dengan
perlakuan lainnya.

132

Perlakuan penambahan pemberian urine sapi dengan dosis 60 l/ha yang diberikan setelah diencerkan
10 kali, terlihat berpengaruh nyata pada pemberian pupuk organik limbah babi. Hal ini terlihat dari bobot
tongkol total yang dihasilkan dan parameter yang lainnya berbeda nyata bila dibandingkan dengan pemberian
pupuk organik limbah babi secara tersendiri. Perbedaan ini diduga disebabkan karena unsur hara yang
terdapat pada limbah babi kualitas dan kuantitasnya lebih rendah. Urine sapi yang diberikan pada pertanaman
jagung akan dapat menambah kadar hara yang diserap oleh tanaman jagung, baik melalui daun maupun akar
tanaman dari urine yang jatuh ke tanah. Urine sapi yang diberikan ke pertanaman jagung mengandung unsur
hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman.
Sebaliknya pemberian urine sapi pada pemberian pupuk organik kascing tidak berpengaruh terhadap
bobot tongkol total. Hal ini diduga disebabkan karena peranan urine sapi dalam mensuplai hara tertutup oleh
keunggulan dari kualitas pupuk organik kascing itu sendiri. Tidak berpengaruhnya pemberian urine sapi
terlihat dari bobot tongkol total yang dihasilkan tidak berbeda nyata antaran tanpa pemberian urine dengan
perlakuan pemberian urine sapi. Hasil tertinggi terlihat pada perlakuan P4 yaitu 9,00 ton per hektar.
Hasil analisis ekonomi terhadap produksi jagung manis yang dipanen muda disajikan dalam Tabel 2.
Dari Tabel tersebut terlihat bahwa secara ekonomi seluruh perlakuan memberikan hasil yang layak
diusahakan secara ekonomi.
Tabel 2. Hasil Analisis Ekonomi Terhadap Produksi Jagung Manis yang Dipanen Muda.
URAIAN
Sarana Pertanian
- Bibit jagung maros
sintetis
- pupuk NPK
- pupuk kascing
- pukan babi (ongkos
kirim)
- TK (mengolah tanah,
membumbun, tanam
dll)
Total Biaya input
Produksi jagung manis
panen muda per hektar
Nilai produksi (harga
jagung muda di
lokasi)(000)
Keuntungan per hektar
Analisis B/C

VOLUME

BIAYA
SATUAN

P0

P1

JUMLAH BIAYA
P2
P3

P4

12 kg

120.000

1.440.000

1.440.000

1.440.000

1.440.000

1.440.000

1 paket
5000 kg
5000 kg

450.000
500
1 truk

450.000
0
-

0
300.000

0
300.000

2.500.000
0

2.500.000
0

40 HOK

20.000

800.000

800.000

800.000

800.000

800.000

2.690.000
6.970

2.540.000
5.950

2.540.000
8.240

4.740.000
8.710

4.740.000
9.000

8.364.000

7.140.000

9.888.000 10.452.000 10.800.000

5.674.000
2,11

4.600.000
1,81

7.348.000
2,89

1 kg

1.200

5.712.000
1,21

6.060.000
1,28

Keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 (aplikasi pukan babi dan tambahan urine sapi
yang diencerkan 10 kali) dengan total nilai keuntungan Rp.7.348.000/ha. Hal ini diakibatkan oleh sumber
input pada pukan babi dan urine sapi tidak membeli hanya ada penggantian ongkos angkut saja. Tingkat
pendapatan selanjutnya adalah dari aplikasi pupuk kascing dengan tambahan urine sapi yang diencerkan 10
kali dengan keuntungan sebesar Rp. 6.060.000/ha/musim tanam.

KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian dan pembahasan yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan
diantaranya adalah :
1.

Pemberian pupuk organik dan anorganik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung manis.

2.

Pemberian urine sapi pada perlakuan pupuk organik limbah babi tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap bobot tongkol total tanaman

3.

Pupuk organik kascing, menunjukkan keunggulan bila dibandingkan dengan pupuk organik dari limbah
babi.

4.

Hasil jagung manis tertinggi terlihat pada perlakuan P4 (kascing 5 t/ha + urine sapi) yaitu 9,00 ton per
hektar.

133

DAFTAR PUSTAKA
Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An International
Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York. 680 p.
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Ilmu Tanah. PT. Medyatama Perkasa. 216. hlm.
Kariada, I.K., I.B. Aribawa, I.M. Londra, dan I.N. Dwijana. 2004. Laporan Akir Pengkajian Sistim Usaha
Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim
Basah. BPTP Bali.
Kartini, L. 2000. Pertanian organik sebagai pertanian masa depan. Proseding Seminar Nasional
Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. BPTP
Bali, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sossial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal. 98-105.
Sutanto, R. 2002a. Penerapan Pertanian Organik : pemasyarakatan dan pengembangannya. Kanisius. Jakarta.
Sutanto, R. 2002b. Pertanian Organik : menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan. Kanisius. Jakarta.
Trimulat. 2003. Membuat dan memanfaatkan Kascing. Pupuk Organik Berkualitas. Cetakan I. Kanisius.
Agromedia Pustaka. Jakarta.

134

UJI EFEKTIVITAS BEBERAPA ISOLAT JAMUR ENDOFIT ANTAGONISTIK DALAM


MENINGKATKAN KETAHANAN INDUKSI BEBERAPA KLON VANILI TERHADAP
PENYAKIT BUSUK BATANG
I Made Sudantha*) dan Abdul Latief Abadi**)
*) PS. Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Mataram
**) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas isolat jamur endofit antagonistik dalam mengendalikan
penyakit busuk batang vanili dan meningkatkan ketahanan induksi beberapa klon vanili terhadap penyakit busuk batang.
Penelitian menggunakan metode eksperimental yang dilaksanakan di rumah plastik. Penelitian menggunakan rancangan
acak lengkap dengan percobaan faktorial terdiri dari dua faktor, yaitu isolat jamur endofit antagonistic terdiri atas 8 aras
dan klon vanili terdiri atas dua aras. Perlakuan merupakan kombinasi dari faktor jamur endofit antagonistik dan klon
vanili yang masing-masing diulang tiga kali. Variabel yang diamati adalah masa inkubasi penyakit busuk batang,
persentase panjang pembusukan pada batang dan panjang tunas daun/sulur. Data hasil pengamatan dianalisis
menggunakan analisis keragaman pada taraf nyata 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan isolat
jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T.
koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08
batang Selebung, efektif mengendalikan penyakit busuk batang, sehingga menyebabkan bibit vanili tidak terinfeksi oleh
penyakit busuk batang. Selain itu perlakuan tersebut dapat meningkatkan ketahanan induksi bibit vanili klon Timbenuh
NTB dan klon Malang Jawa Timur menjadi sangat tahan terhadap penyakit busuk batang, dan menyebabkan tunas
daun/sulur menjadi lebih panjang.
Kata kunci : endofit, antagonistik, isolat, induksi, vanili

PENDAHULUAN
Jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillae merupakan kendala utama dalam pengembangan tanaman
vanili. Jamur ini menyerang semua bagian tanaman mulai dari akar, batang, daun dan buah. Infeksi oleh
jamur ini kebanyakan dimulai dari stek tanaman karena jamur sudah terlanjur ada di dalam tanah dan
dilanjutkan menyerang pada akar dan batang. Sedangkan serangan pada daun dan buah bersumber dari
percikan air atau peralatan yang sudah terinfeksi (Semangun, 1991).
Pada tanaman dewasa tingkat kematian akibat serangan jamur ini mencapai 50-100%,
memperpendek umur produksi dari 10 kali panen menjadi dua kali bahkan tidak dapat berproduksi
(Hadisutrisno, 2005). Selain itu, menyebabkan produktivitas tanaman vanili menjadi rendah yaitu berkisar
antara 0,2-0,5 kg polong kering per pohon, padahal potensinya dapat mencapai 1,0-1,5 kg polong kering per
pohon (Ruhnayat, 2004). Menurut Hadisutrisno (dalam Redaksi Trubus, 2004); 7-32% bibit yang berasal
dari stek terkontaminasi oleh jamur ini, walaupun tanaman induknya tidak menunjukkan gejala serangan.
Sampai saat ini penyakit busuk batang vanili merupakan salah satu penyakit pada tanaman vanili
yang sulit dikendalikan, karena jamur F. oxysporum f. sp. vanillae memiliki struktur bertahan berupa
klamidospora yang dapat bertahan dalam tanah sebagai saprofit dalam waktu relatif lama sekitar tiga sampai
empat tahun walau tanpa tanaman inang (Sukamto dan Tombe, 1995; Nurawan et al., 1995). Selain itu
menurut Hadisutrisno (2005), sulitnya pengendalian penyakit ini disebabkan karena penularannya melalui
stek yang sudah terinfeksi, sehingga penyebarannya menjadi cepat dan meluas. Ruhnayat (2004) mengatakan
bahwa sampai saat ini belum ditemukan klon vanili yang tahan atau toleran terhadap penyakit ini.
Dari hasil uji patogenisitas tiga isolat jamur F. oxysporum f. sp vanillae yang diisolasi dari kebun
vanili Timbenuh, Selebung dan Celelos, ternyata ketiganya menyebabkan infeksi pada klon vanili lokal NTB
dan introduksi dari Pulau Jawa, yaitu pada klon Timbenuh NTB, Selebung NTB, klon Ungaran Jawa Tengah
dan klon Sumedang Jawa Barat menunjukkan reaksi peka, sedang klon Celelos NTB dan Malang Jawa Timur
menunjukkan reaksi agak tahan (Sudantha dan Abadi, 2006).
Pengendalian penyakit busuk batang yang paling banyak dilakukan saat ini adalah penggunaan
fungusida melalui perlakuan stek dan penyemprotan pada tanaman. Namun aplikasi fungisida seringkali
gagal menghadapi serangan jamur F. oxysporum yang berat (Ruhnayat, 2004). Salah satu alternatif
pengendalian adalah secara hayati menggunakan jamur endofit yang bersifat antagonistik untuk
meningkatkan ketahanan induksi terhadap penyakit busuk batang.

135

Ketahanan induksi merupakan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen karena tanaman telah
terinfeksi oleh mikroorganisme lain sebelumnya, baik dari jenis yang sama maupun dari jenis lain (Abadi,
2003). Jamur endofit adalah jamur yang hidup di dalam jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala
atau kerusakan pada tanaman inang (Petrini dan Petrini, 1985 dalam Davis et al., 2003). Keuntungan dengan
adanya jamur endofit pada tanaman inang adalah meningkatnya toleransi terhadap logam berat,
meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, menekan serangan hama, resistensi sistemik terhadap patogen
(Saikkonen et al., 1998 dalam Arnold et al., 2003).
Berdasarkan hasil isolasi pada jaringan tanaman vanili sehat di kebun vanili Timbenuh Lombok
Timur, kebun Selebung Lombok Tengah dan kebun Celelos Lombok Barat NTB ditemukan 16 isolat jamur
endofit yang bersifat antagonistik terhadap jamur F. oxysprorum f. sp. vanillae secara in-vitro. Dari 16 isolat
jamur endofit tersebut ada tujuh isolat efektif menekan pertumbuhan jamur F. oxysprorum f. sp. vanillae,
yaitu Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), Trichoderma sp. ENDO-02 batang
Timbenuh (T. koningii), Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), Trichoderma sp.
ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos (T. viride),
Rhizoctonia sp. ENDO-07 batang Timbenuh, dan Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung (Sudantha
dan Abadi, 2006).
Mekanisme antagonisme jamur endofit Trichoderma spp. dan Rhizoctonia spp. terhadap jamur F.
oxysporum f. sp. vanillae dengan cara fisik (kompetisi ruang dan mikoparasit) dan mengeluarkan antibiotik
yang didifusikan ke dalam medium agar. (Sudantha dan Abadi, 2006). Petrini (1993) melaporkan bahwa
jamur endofit menghasilkan alkaloid dan mikotoksin sehingga memungkinkan digunakan untuk
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Menurut Dahlam et al. (1991), dan Brunner dan Petrini
(1992), jamur endofit menghasilkan senyawa aktif biologis secara in-vitro antara lain alkaloid, paxillin,
lolitrems dan tetranone steroid. Selain itu menurut Photita (2003 dalam Lumyong et al., 2004), jamur endofit
antagonis mempunyai aktivitas tinggi dalam menghasilkan enzim yang dapat digunakan untuk
mengendalikan patogen. Jamur endofit Neotyphodium sp. menghasilkan enzim -1,6-glucanase yang
menyerupai enzim yang sama yang dihasilkan oleh jamur T. harzianum dan T. virens (Moy et al., 2002).
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan uji efektivitas jamur endofit antagonistik dalam
meningkatkan ketahanan induksi beberapa klon vanili terhadap penyakit busuk batang dengan tujuan untuk
mengetahui efektivitas jamur endofit antagonistik dalam mengendalikan penyakit busuk batang vanili dan
meningkatkan ketahanan induksi beberapa klon vanili terhadap penyakit busuk batang.

METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode eksperimental yang dilaksanakan di rumah plastik Fakultas
Pertanian Universitas Mataram.
a.

Rancangan Percobaan

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan percobaan faktorial yang terdiri dari
dua faktor, yaitu:
Faktor jenis jamur endofit antagonistik (E) yang terdiri atas delapan aras, yaitu:
e1 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-01 akar Timbenuh
e2 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh
e3 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh
e4 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung
e5 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos
e6 = dengan jamur endofit Rhizoctonia sp. ENDO-07 batang Timbenuh
e7 = dengan jamur endofit Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung
e8 = tanpa jamur endofit antagonistik
Faktor klon vanili (K) yang terdiri atas dua aras, yaitu:
a1 = klon vanili Timbenuh NTB (reaksi peka terhadap penyakit busuk batang)
a2 = klon vali Malang Jawa Timur (reaksi agak tahan terhadap penyakit busuk batang)
Perlakuan merupakan kombinasi dari faktor jamur endofit antagonistik dan klon vanili yang masingmasing diulang tiga kali, sehingga terdapat 48 unit percobaan.

136

b. Persiapan dan Pelaksanaan Percobaan


Semua isolat jamur endofit antagonistik dan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae terlebih dahulu
dimurnikan, kemudian diperbanyak pada medium PDA dan medium seresah daun kopi (Sudantha dan Abadi,
2007).
Stek vanili klon Timbenuh dan klon Malang dipotong sepanjang empat buku atau sepanjang 40 cm,
diambil dari sulur yang belum pernah berbunga dan dari pohon yang pernah berbuah dan mempunyai ruas
yang pendek. Sebelum disemai, stek dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan lendir yang terdapat
pada ujung-ujung stek dan kotoran yang menempel.
Medium yang digunakan untuk menanam stek vanili adalah tanah, arang sekam, pupuk kandang kuda
dan pasir yang sudah disterilkan dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 1 (v/v) yang dimasukkan dalam polybag
berukuran 15 x 35 cm. Pangkal Stek vanili yang telah disiapkan direndam dalam suspensi jamur endofit
(kerapatan konidia 10 7/ml) selama 30 menit. Selanjutnya ditanam dalam polybag dengan kemiringan antar
20 30 untuk memudahkan perambatan sulur vanili pada ajir. Setelah satu minggu diinokulasi dengan
suspensi spora jamur F. oxysporum f.sp. vanillae sebanyak 25 ml suspensi (kerapatan konidia 10 7/ml).
c.

Pengamatan Variabel

Variabel yang diamati adalah:


1.

Masa inkubasi, pengamatan dilakukan setiap hari sampai timbulnya gejala pertama.

2.

Panjang pembusukan pada batang, pengamatan dilakukan sampai dengan umur delapan minggu setelah
inokulasi patogen. Untuk menilai tingkat ketahanan induksi bibit vanili terhadap penyakit busuk batang
maka dibuat kriteria reaksi ketahanan seperti yang tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Reaksi Ketahanan Induksi Bibit Vanili Terhadap Penyakit Busuk Batang yang Disebabkan oleh
Jamur F. oxysporum f. sp. vanillae Berdasarkan Persentase Panjang Pembusukan pada Batang
No.
1
2
3
4
5
6

3.

Persentase panjang pembusukan pada batang (P)


Tidak terinfeksi
1% < P 10%
11% < P 30%
31% < P 60%
61% < P 80%
81% < P 100%

Reaksi ketahanan
Sangat Tahan
Tahan
Agak Tahan
Agak Peka
Peka
Sangat Peka

Panjang tunas daun/sulur, pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang tunas daun/sulur sampai
dengan umur delapan minggu setelah patogen.

4. Pertumbuhan miselium jamur endofit antagonistik dalam tanaman diamati dengan cara memotong
bagian-bagian tanaman (akar, pangkal batang dan daun), difiksasi, kemudian direndam dalam pewarna
jaringan tanaman (lactophenol cotton blue) serta diamati dengan bantuan mikroskop. Pengamatan
dilakukan sampai dengan umur delapan minggu setelah inokulasi jamur F. oxysporum f.sp. vanillae,
secara destruktif. Pengamatan meliputi lokasi keberadaan jamur endofit dalam jaringan akar, batang dan
daun.
Data hasil pengamatan akan dianalisis secara statistik menggunakan Analisis Keragaman pada taraf
nyata 0,05 dan apabila antar perlakuan ada yang berbeda nyata (signifikan) maka dilanjutkan dengan Uji
Beda Nyata Jujur pada taraf nyata yang sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor jamur endofit antagonistik dan klon vanili serta
interaksinya menunjukkan beda nyata terhadap masa inkubasi penyakit busuk batang vanili, persentase
panjang pembusukan pada batang yang terinfeksi penyakit busuk batang, dan panjang tunas daun/sulur. Hasil
uji lanjut ketiga variabel tersebut disajikan pada Tabel 2, 3 dan 4.

137

Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Masa Inkubasi Penyakit Busuk Batang Vanili Sampai Umur Delapan Minggu Setelah
Inokulasi Patogen Sebagai Interaksi Penggunaan Beberapa Jamur Endofit dan Klon Vanili
Masa inkubasi (hari)
Klon vanili
No.
Jenis jamur endofit
Klon Timbenuh
Klon Malang
NTB
Jawa Timur
1
Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride)
0,000 a*)
0,000 a
A**)
A
2
Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii)
0,000 a
0,000 a
A
A
3
Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum)
0,000 a
0,000 a
A
A
4
Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii)
0,000 a
0,000 a
A
A
5
Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos (T. viride)
0,000 a
0,000 a
A
A
6
Rhizoctonia sp. ENDO-07 batangTimbenuh
0,000 a
0,000 a
A
A
7
Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung
0,000 a
0,000 a
A
A
8
Kontrol (tanpa endofit)
8,000 a
7,667 a
B
B
Ket : data 0 artinya bibit vanili tidak terinfeksi penyakit busuk batang sampai berumur delapan minggu setelah
inokulasi patogen (pada analisis keragaman data ditransformasikan dalam Arcsin x + 0.5.
*) Angka-angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kecil) tidak berbeda nyata p 0,05.
**) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kapital) tidak berbeda nyata p 0,05

Pada Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan dengan semua jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah
Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos
(T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang
Selebung menyebabkan bibit vanili tidak terinfeksi oleh penyakit busuk batang baik pada klon vanili
Timbenuh NTB maupun klon vanili Malang Jawa Timur, sedang pada kontrol (tanpa jamur endofit) terjadi
penyakit busuk batang pada bibit vanili dengan masa inkubasi rata-rata 8,000 hari pada klon vanili
Timbenuh NTB yang tidak berbeda nyata dengan klon vanili Malang Jawa Timur dengan masa inkubasi
rata-rata 7,667 hari.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa panjang pembusukan batang stek vanili umur delapan minggu setelah
inokulasi patogen pada kontrol (tanpa jamur endofit) mencapai 83,33% (reaksi sangat peka) untuk klon
vanili Timbenuh NTB dan 80,83% untuk klon vanili Malang Jawa Timur, sedang apabila diperlakukan
dengan isolat jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride),
ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05
batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia
spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung menyebabkan pada bibit vanili tidak
terjadi infeksi penyakit busuk batang (reaksi sangat tahan), baik pada klon vanili Timbenuh NTB maupun
klon vanili Malang Jawa Timur.
Tidak terinfeksinya bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur setelah perlakuan
dengan isolat jamur endofit disebabkan karena jamur endofit secara efektif dapat menekan pertumbuhan
jamur F. oxysporum f. sp. vanillae pada jaringan tanaman vanili. Diduga mekanisme antagonisme yang
terjadi pada jaringan tanaman vanili sama dengan yang terjadi secara in-vitro. Sudantha dan Abadi (2006)
melaporkan bahwa hasil percobaan uji antagonisme antara 16 isolat jamur endofit dengan jamur F.
oxysporum f. sp. vanillae secara in-vitro di laboratorium menggunakan metode oposisi langsung dan uji uap
biakan, ternyata semua isolat jamur endofit dapat menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum f. sp.
vanillae dengan persentase hambatan yang tertinggi oleh Trichoderma spp. disusul oleh Rhizoctonia spp.,
Aspergillus spp., Penicillium sp. dan Cladosporium spp. Penghambatan pertumbuhan jamur F. oxysporum f.
sp. vanillae melalui mekanisme kompetisi ruang (jamur endofit lebih cepat pertumbuhnya), mikoparasit
(hifa jamur endofit membelit dan melakukan penetrasi ke dalam hifa jamur patogen) dan antibiosis (jamur
endofit mengeluarkan antibiotik yang mudah menguap yang didifusikan ke medium).

138

Tabel 3. Hasil Uji Lanjut Persentase Panjang Pembusukan pada Batang Vanili dan Reaksi Ketahan Bibit Vanili
Umur Delapan Minggu Setelah Inokulasi Patogen Sebagai Interaksi Penggunaan Beberapa Jamur
Endofit dan Klon Vanili

No.

Jenis jamur endofit

Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah


Timbenuh (T. viride)
Trichoderma sp. ENDO-02 batang
Timbenuh (T. koningii)
Trichoderma sp. ENDO-03 buah
Timbenuh (T. longibrachiatum)

Trichoderma sp. ENDO-05 batang


Selebung (T. pseudokoningii)

Klon vanili
Klon Timbenuh NTB
Klon Malang Jawa Timur
Panjang
Panjang
Reaksi
Reaksi
pembusukan
pembusukan
ketahanan
ketahanan
(%)
(%)
0,000 a*)
0,000 a*)
A**)
Sangat Tahan
A**)
Sangat Tahan
0,000 a
0,000 a
A
Sangat Tahan
A
Sangat Tahan
0,000 a
0,000 a
A
Sangat Tahan
A
Sangat Tahan
0,000 a
A

Sangat Tahan

0,000 a
A

Sangat Tahan

Trichoderma sp. ENDO-06 batang


Celelos (T. viride)
Rhizoctonia sp. ENDO-07
batangTimbenuh
Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang
Selebung
Kontrol (tanpa endofit)

0,000 a
0,000 a
A
Sangat Tahan
A
Sangat Tahan
0,000 a
0,000 a
6
A
Sangat Tahan
A
Sangat Tahan
0,000 a
0,000 a
7
A
Sangat Tahan
A
Sangat Tahan
83,33 a
80,83 a
8
E
Sangat Peka
F
Sangat Peka
Ket : data 0 artinya bibit vanili tidak terinfeksi penyakit busuk batang sampai berumur delapan minggu setelah
inokulasi patogen (pada analisis keragaman data ditransformasikan dalam Arcsin x + 0.5
*) Angka-angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kecil) tidak berbeda nyata p 0,05
**) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kapital) tidak berbeda nyata p 0,05
5

Dengan tidak terinfeksinya bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur maka
dapat dikatakan bahwa semua isolat jamur endofit tersebut dapat meningkatkan ketahanan induksi bibit vanili
terhadap penyakit busuk batang, yang semula bereaksi sangat peka (pada kontrol) berubah menjadi reaksi
sangat tahan. Pada Gambar 1 dan 2 memperlihatkan bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa
Timur tumbuh sehat setelah diperlakukan dengan jamur endofit, sedang pada kontrol (tanpa jamur endofit)
bibit vanili terinfeksi oleh penyakit busuk batang.

Gambar 1.

Bibit Vanili Klon Timbenuh NTB Sehat (Diperlakukan dengan Isolat Jamur Endofit) dan
Terinfeksi Penyakit Busuk Batang (Tanpa Perlakuan Jamur Endofit).

139

Gambar 2.

Bibit Vanili Klon Malang Jawa Timur (Diperlakukan dengan Isolat Jamur Endofit) dan
Terinfeksi Penyakit Busuk Batang (Tanpa Perlakuan Jamur Endofit).

Terjadinya peningkatan ketahanan induksi bibit vanili terhadap penyakit busuk batang ini
disebabkan karena jamur endofit mampu mengendalikan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae penyebab
penyakit busuk batang melalui mekanisme kompetisi, mikoparasit dan antibiosis. Diduga mekanisme
antagonisme yang terjadi secara in-vitro juga terjadi pada jaringan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abadi (2003) bahwa ketahanan induksi dapat terjadi karena tanaman telah terinfeksi oleh mikroorganisme
lain sebelumnya, baik dari jenis yang sama maupun dari jenis lain. Lebih lanjut Guest (2005) mengatakan
bahwa ketahanan induksi terjadi karena kombinasi dari rintangan pasif dengan respon lokal karena adanya
peristiwa matinya sel dan akumulasi antibiotik yang dapat berupa fitoaleksin. Weindling dan Emerson
(1936), dan Brian (1944) melaporkan bahwa jamur T. viride menghasilkan antibiotik gliotoksin (dalam Cook
dan Baker, 1983). Selanjutnya Brian dan McGowan (1945, dalam Cook dan Baker, 1983) melaporkan
bahwa selain gliotoksin jamur T. viride menghasilkan antibiotik viridin. Rifai (1969) melaporkan bahwa
jamur T. viride mengeluarkan bau minyak kelapa terutama pada biakan yang sudah tua. Selain itu menurut
Jones dan Watson (1969 dalam Cook dan Baker, 1983), jamur T. viride menghasilkan enzim enzim -(1,3)
glucanase, sehingga mampu menghancurkan miselia jamur patogenik.
Sebagai gambaran tentang pertumbuhan dan perkembangan miselium jamur endofit antagonis dalam
jaringan batang vanili dilakukan pemotongan jaringan batang secara membujur, kemudian difiksasi dan
direndam dalam pewarna jaringan tanaman (lactophenol cotton blue) serta diamati dengan bantuan
mikroskop, hasilnya seperti yang tampak pada Gambar 3. Pada bibit vanili yang sudah diperlakukan dengan
isolat jamur endofit, ternyata memperlihatkan miselia jamur endofit memenuhi ruang antar sel dalam
jaringan batang, sedang pada kontrol, ruang antar sel pada jaringan batang tidak mengandung jamur endofit.
Menurut Petrini (1991), jamur endofit adalah jamur yang hidup di dalam jaringan tanaman sehat tanpa
menyebabkan gejala atau kerusakan pada tanaman inang. Simbiosis dengan tanaman dapat berupa
mutualistik, netralisme dan antagonistik. Kolonisasi jamur endofit pada tanaman dimulai dari masuknya ke
jaringan tanaman, perkecambahan spora, penetrasi epidermis dan kolonisasi jaringan.

Miselia jamur Trichoderma sp. ENDO-02 batang


Timbenuh (T. koningii)

Miselia jamur Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah


Timbenuh (T. viride)

140

Miselia jamur Trichoderma sp. ENDO-05 batang


Selebung (T. pseudokoningii)

Miselia jamur Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos


(T. viride)

Miselia jamur Rhizoctonia sp. ENDO-07 batang


Timbenuh

Ruang antar sel dari batang vanili yang tidak mengandung


jamur endofit

Gambar 3.

Miselia jamur endofit Trichoderma spp. dan Rhizoctonia spp. di ruang antar sel dalam jaringan
batang vanili sehat dan ruang antar sel dari batang vanili yang tidak mengandung jamur endofit
(kontrol)

Untuk meyakinkan bahwa di dalam jaringan batang tersebut adalah jamur endofit yang serupa dengan
perlakuan percobaan maka dilakukan reisolasi yang hasilnya seperti pada Gambar 4 9.

Gambar 4.

Koloni dan morfologi jamur endofit


Trichoderma sp. isolat ENDO-01 akar
tanah Timbenuh (T. viride)

Gambar 5. Koloni dan morfologi jamur endofit


Trichoderma sp. isolat ENDO-02 batang
vanili Timbenuh (T. koningii)

141

Gambar 6. Koloni dan morfologi jamur endofit


Trichoderma sp. isolat ENDO-04 batang
vanili Jurang Malang (T. polysporum)

Gambar 8. Koloni dan morfologi jamur endofit


Rhizoctonia sp. isolat ENDO-07 batang
vanili Timbenuh (Rhizoctonia sp.)

Gambar 7. Koloni dan morfologi jamur endofit


Trichoderma sp. isolat ENDO-05 batang
vanili Selebung (T. pseudokoningii)

Gambar 9. Koloni dan morfologi jamur endofit


Rhizoctonia sp. isolat ENDO-08 batang
vanili Selebung (Rhizoctonia sp.)

Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Panjang Tunas Daun/Sulur Vanili Umur Delapan Minggu Setelah Inokulasi Patogen
Sebagai Interaksi Penggunaan Beberapa Jamur Endofit dan Cara Aplikasinya.
Klon vanili
Klon Timbenuh NTB
Klon Malang Jawa Timur
No.
Jenis jamur endofit
Panjang tunas daun/sulur Panjang tunas daun/sulur
(cm)
(cm)
1
Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah Timbenuh
54,33 a*)
53,67 a
(T. viride)
B**)
B
2
Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh (T.
52,67 a
54,00 a
koningii)
B
B
3
Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh (T.
53,33 a
55,33 a
longibrachiatum)
B
B
4
Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung (T.
55,67 a
55,33 a
pseudokoningii)
B
B
5
Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos (T.
53,67 a
55,33 a
viride)
B
B
6
Rhizoctonia sp. ENDO-07 batangTimbenuh
55,00 a
56,33 a
B
B
7
Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung
51,50 a
52,00 a
B
B
8
Kontrol (tanpa endofit)
5,20 a
5,33 a
A
A
*) Angka-angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kecil) tidak berbeda nyata p 0,05
**) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kapital) tidak berbeda nyata p 0,05

Pada Tabel 4 terlihat bahwa perlakuan dengan semua isolat jamur endofit menyebabkan panjang
tunas daun/sulur lebih panjang dari pada kontrol, sedang antar perlakuan dengan isolat jamur endofit tidak
menunjukkan beda nyata. Terjadinya perbedaan panjang tunas daun/sulur tersebut disebabkan karena isolat
jamur endofit ini menyebabkan bibit vanili sampai dengan umur delapan minggu setelah inokulasi patogen
tidak terinfeksi oleh penyakit busuk batang, sehingga pertumbuhan bibit vanili menjadi lebih baik termasuk
panjang tunas daun/sulur. Selain itu diduga bahwa jamur endofit Trichoderma spp. menghasilkan etilen yang

142

dapat memacu pertumbuhan dan pemanjangan tunas daun/sulur. Menurut Salisbury dan Ross (1995,
beberapa jenis jamur yang hidup di tanah dapat menghasilkan etilen. Diduga etilen yang dilepaskan oleh
jamur tersebut membantu mendorong perkecambahan biji, mengendalikan pertumbuhan kecambah,
memperlambat serangan organisme patogen tular tanah, dan memacu pembentukan dan pertumbuhan batang,
daun, akar, bunga atau buah. Tronsmo dan Dennis (1977 dalam Cook dan Baker, 1983) melaporkan bahwa
penyemprotan konidia jamur T. viride dan T. polysporum untuk melindungi tanaman strawberi dari penyakit
busuk ternyata dapat memacu pembungaan lebih awal.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.

Perlakuan dengan jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T.
viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum),
ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur
endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung, efektif
mengendalikan penyakit busuk batang, sehingga menyebabkan bibit vanili klon Timbenuh NTB dan
klon Malang Jawa Timur tidak terinfeksi oleh penyakit busuk batang

2.

Isolat jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride),
ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit
Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung dapat meningkatkan
ketahanan induksi bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur menjadi bereaksi
sangat tahan terhadap penyakit busuk batang.

3.

Dengan meningkatnya ketahanan induksi pada bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa
Timur akibat perlakuan dengan isolat jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar
tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T.
longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T.
viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang
Selebung maka tunas daun/sulur menjadi lebih panjang.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan isolat
jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02
batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang
Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp.
isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung pada kondisi lapang. Selain itu perlu
penelitian lebih lanjut tentang senyawa antibiotik atau etilen yang dihasilkan oleh isolat jamur endofit
tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Direktur Binlitabmas Dirjen Dikti dan Ketua Lembaga
Penelitian Universitas Mataram yang telah memberikan dana penelitian fundamental melalui Binlitabmas
Dirjen Dikti Depdiknas, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor:
028/SP3/PP/DP2M/II/ 2006 tanggal 1 Pebruari 2006.

DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A. L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan I Edisi Pertama. Bayumedia Publishing dan Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang Jawa Timur Indonesia. 137 hal.
Arnold, A. E., L. C. Mejia, D. Kyllo, E. I. Rojash, Z. Maynard, N. Robbins and E. A. Herre. 2003. Fungal
Endophytes Limit Pathogen Damage In a Tropical Tree. PNAS vol. 100 No. 26: 15649 15654.
Published online:
Brunner, F. and O. Petrini. 1992. Taxonomic Studies of Xylaria species and Xylariaceous Endophytes by
Izozyme Electrophoresis. Mycological Research 96: 723 733.

143

Cook, R. J. and K. F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. The
American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota. 539 hal.
Dahlam, D. L., H. Eichenseer and M. R. Siegel. 1991. Chemical Perspectives on Endophyte-Grass
Interaction and Their Implications to Insect Herbivory. In: Microbial Mediation of Plant-Herbivore
Interaction (Eds. Barbosa, P., V. A. Krichil and C. G. Jones). Jhon Wiley & Sons Inc., New York:
227 252.
Davis, E. C., J. B. Franklin, A. J. Shaw and R. Vilgalys. 2003. Endophytic Xylaria (Xylariaceae) Among
Liverworts and Angiospermae: Phylogenetics, Distribution, and SymSAPROis. American Journal of
Botany 9 (11): 1661 1667.
Guest, D. 2005. Induced Disease Resistance in Plants. In Program and Abstract The 1st International
Conference of Crop Security 2005, Brawijaya University, Malang, September 20 th 22nd, 2005. 264
p.
Hadisutrisno, B. 2005. Budidaya Vanili Tahan Penyakit Busuk Batang. Penerbit Penebar Swadaya, Depok.
87 p.
Lumyong, S., P. Lumyong and K. D. Hyde, 2004. Endophytes. In Jones, E. B. G., M. Tantichareon and K.
D. Hyde (Ed.), Thai Fungal Diversity. Published by BIOTEC Thailand and Biodiversity Research
and Training Program (BRTI/TRF. Biotec). 197 212.
Moy, M., H. M. Li, R. Sullivan, J. F. White Jr, and F. C. Belanger. 2002. Endophytic Fungal -1,6-Glucanase
Expression in the Infected Host Grass. Plant Physiol.Vol.130: 1298 1308.
http://www.plantphysiol.org/cgi/content/full/130/3/1298, (18 Maret 2005).
Nurawan, A., M. Tombe dan K. Matsumoto. 1995. Penelitian Daya Antagonisme Isolat Bakteri yang
Diisolasi Dari Rhizosfera Berbagai Jenis Tanaman Terhadap Patogen Busuk Batang Vanili. Dalam
Parman et al. (Penyunting), Peran Fitopatologi dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutandi
Kawasan Timur Indonesia. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan
Fitopatologi Indonesia di Mataram. 356 359.
Petrini, O. 1991. Fungal Endophytes of Tree Leaves. In: Microbial Ecology of Leaves (Eds. Andrews, J. H.
and S. S. Hirano). Springer-Verlag, Berlin. 179 197.
Petrini, O. 1993. Endophyt of Pteridium spp.: Some Consederations for Biological Control. Sydowia 45: 330
338.
Redaksi Trubus, 2004. Panduan Praktis: Vanili Kiat bebas Busuk Batang. Penerbit Majalah Trubus, Jakarta.
16 hal.
Rifai, M. A. 1969. A Revision of The Genus Trichoderma. Mycological Papers, No. 16. Commonwealth
Mycological Instittute Kew, Surrey, England. 56 hal.
Ruhnayat, A. 2004. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Bertanam Vanili Si Emas Hijau nan Wangi.
Agromedia Pustaka, Jakarta. 51 hal.
Salisbury, F. B. Dan C. W. Ross, 1995. Fisiology Tumbuhan Jilid 3. Perkembangan tumbuhan dan fisiologi
Tumbuhan (Terjemahan D. R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB Bandung.
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
529 535.
Sudantha, I. M. Dan A. L. Abadi. 2006. Biodiversitas Jamur endofit Pada Vanili (Vanilla planifolia
Andrews) dan Potensinya Untuk Meningkatkan Ketahanan Vanili Terhadap Penyakit Busuk Batang.
Laporan Kemajuan Penelitian Fundamenatal DP3M DIKTI. Fakultas Pertanian Universitas
Mataram, Mataram 107 hal.
Sukamto dan M. Tombe. 1995. Antagonisme Trichoderma viride terhadap Fusarium oxysporum f. sp.
vanillae secara In-Vitro. Dalam Parman et al. (Penyunting), Peran Fitopatologi dalam Pembangunan
Pertanian Berkelanjutandi Kawasan Timur Indonesia. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar
Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia di Mataram. 600 604.

144

Anda mungkin juga menyukai