Anda di halaman 1dari 36

PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM PADA TANAMAN PADI (Oryza sativa L.

LAPORAN

Oleh : CUT TIA MARDI 110301062 AET I

MATA KULIAH PENGELOLAAN TANAH DAN AIR PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari laporan ini adalah Pengelolaan Lahan Sulfat

Masam pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan mata kuliah Pengelolaan Tanah dan Air, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada

dosen Penanggung jawab Mata kuliah yakni Ir. M. Madjid Damanik, M.Sc.; Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP; dan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, semangat, dan bantuan kepada penulis sehingga laporan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan,

Desember 2012

Penulis,

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 4 1.4 Manfaat Penulisan .................................................................................... 4 1.5 Hipotesis................................................................................................... 4 1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi (Oryza sativa L.) ........................................................ 6 Syarat Tumbuh............................................................................................... 7 Iklim ......................................................................................................... 7 Tanah ....................................................................................................... 8 Produktivitas Tanaman Padi di Indonesia ............................................. ........8 Permasalahan Pada Lahan Sulfat Masam .................................................... 10 Pengaruh Perlakuan Penggenangan dan Pengapuran Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa L.).................................................................. 14 BAB III TEKNOLOGI KONSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KESUBURAN LAHAN SULFAT MASAM A. Pengelolaan Bahan Organik ................................................................... 17 B. Teknologi Ameliorasi dan Pemupukan pada Lahan Sulfat Masam ........ 17 C. Pengolahan Tanah dan Air ...................................................................... 19 a. Penataan Lahan ................................................................................. 19 b. Jaringan Tata Air Makro dan Mikro ................................................. 19 D. Penggunaan Varietas Yang Adaptif ........................................................ 20 a. Padi dan Palawija .............................................................................. 20 b. Sayuran dan Buah-buahan ................................................................ 21 c. Tanaman Industri/Perkebunan .......................................................... 22 a. Kelapa ..................................................................................... 22 b. Temu-Temuan ........................................................................ 22 E. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Melalui Aktivitas Mikroorganisme .. 23 F. Penyiapan dan Pengelolaan Surjan .......................................................... 24 G. Perikanan ................................................................................................ 25

ii

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .................................................................................................. 27 Saran ............................................................................................................ 28 DAFTAR PUSTAKA

iii

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras sebagai bahan pokok sangat di butuhkan masyarakat indonesia. Oleh karenanya, tanaman padi sebagai penghasil beras harus mendapat perhatian, baik mengenai lahan, benih, cara budi daya, maupun pasca panennya. Banyak masalah bermunculan dari petani mengenai hal-hal tersebut. Sudah selayaknya membantu memecahkan masalah masalah petani tersebut agar yang direncanakan dapat dicapai petani (Suparyono dan Setyono, 1997). Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut

Widjaja-Adhi, dkk., (1992) luas lahan rawa Indonesia 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I (orde baru) sekitar tahun 1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis dalam mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang

dialihfungsikan untuk pembangunan sektor non pertanian seperti, perumahan, jalan raya, industri dan pembangunan lainnya. Menurut Sudiadikarta, dkk., (1999) sampai saat ini lahan rawa yang telah dibuka 2,4 juta ha, 1,5 juta ha di Kalimantan dan 0,9 ha di Sumatera. Lahan rawa di Irian Jaya (Papua) sampai saat ini masih belum dibuka untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan pengelolaan dan

pemanfaatan yang baik dan memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan dapat mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sejak proyek P4S tahun tujuh puluhan dan dilanjutkan dengan proyek penelitian Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan Belanda (LAWOO) tahun delapan puluhan, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun sembilan puluhan

telah

banyak

teknologi

pengelolaan

lahan

rawa

yang

dihasilkan

(Suriadikarta dan A. Abdurachman, 1999). Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, teknologi mengatasi hama dan penyakit, dan model usahatani. Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa kendala yaitu : modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air makro secara konsisten. Sejak zaman nenek moyang, Indonesia selalu disebut dengan Negara Agraris karena pada kenyataannya negara Indonesia adalah negara yang subur. Pengaruh letak geografisnya yang berada di garis lintang khatulistiwa sehingga berpengaruh terhadap iklim di negara kita. Namun sering terjadi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan komoditi yang cocok sehingga produktivitas tanaman itu sendiri tidak dapat berlangsung dengan baik. Selain itu semakin tingginya permintaan masyarakat terhadap tanaman padi serta semakin maraknya lahan yang dialihfungsikan untuk pembangunan sektor non pertanian seperti perumahan, jalan raya, industri dan pembangunan lainnya sehingga hal tersebut menuntut para insan cendikia untuk berfikir lebih cerdas dalam memanfaatkan lahan dan mengelola kesuburan lahan yang ada disekitar kita guna meningkatkan produktivitas tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan dalam makalah ini penulis akan mengangkat topik tentang pengelolaan kesuburan lahan sulfat masam pada tanaman Padi (Oryza sativa L.). Karya ilmiah ini juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai pentingnya pengelolaan kesuburan lahan sulfat masam guna meningkatkan produktivitas tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di negara kita. Menurut Thoyyibah (2005) Tanah sulfat masam merupakan tanah yang selalu tergenang atau jenuh air sepanjang tahun, dari segi pertumbuhan tanaman mempunyai resiko yang sangat tinggi. Dari segi tanahnya ada sejumlah kendala yang menghambat seperti tingkat kesuburan tanah rendah, kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan unsur P yang yang rendah, keracunan ion Al dan Fe serta tata air yang masih belum baik. Salah satu alternatif untuk mengelola tanah sulfat

masam yaitu dengan pencucian tanah sulfat masam yang telah mengalami proses pemasaman dengan pembuatan saluran drainase yang akan menurunkan permukaan air tanah dan merubah tanah dari suasana anaerob menjadi aerob. Metode penulisan yang dipergunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode pengamatan yaitu dengan pengamatan berupa percobaan penanaman padi di lahan sulfat masam dengan dua perlakuan yang telah dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan mencoba menggunakan metode deskriptif yaitu metode penelitian non hipotesis yang menggambarkan suatu data yang diperoleh dari analisis beberapa sumber informasi, karya ini disusun menjadi suatu karya ilmiah. Sebagian besar lahan tersedia untuk pengembangan pertanian di Indonesia bersifat asam (seperti ultisol dan oksisol), maka perlu ada program lanjutan berupa pengusiran besi (pirit). Lahan sulfat masam (asam) yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi sawah akan sangat tergantung pada pengapuran terus-menerus bila tidak segera diikuti dengan pengelolaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pengapuran yang hilang dalam setahun pertama (Kuswandi, 1993). 1.2 Rumusan Masalah Dengan mengamati latar belakang yang telah dikemukakan penulis sebelumnya maka dapat ditarik beberapa masalah yang pada saat ini akan dijadikan rumusan masalah yang nantinya akan dibahas didalam karya ilmiah yang sederhana ini. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah : 1. Seperti apakah produktivitas tanaman padi (Oryza sativa L.) di Indonesia pada saat ini? 2. Apa sajakah permasalahan yang terjadi di lahan sulfat masam? 3. Bagaimanakah pengaruh perlakuan penggenangan dan pengapuran terhadap kesuburan lahan dan produktivitas tanaman

padi (Oryza sativa L.) di lahan sulfat masam? 4. Apa saja teknologi yang dilakukan untuk meningkatkan kesuburan lahan sulfat masam?

1.3 Tujuan Penulisan Sama halnya dengan karya tulis yang lain, dalam penulisan karya ilmiah ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis. Tujuan utama penulis membuat karya ilmiah ini bukan semata-mata untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Tanah dan Air, melainkan untuk memenuhi harapan yang sudah dipikirkan oleh penulis sebelumnya. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. Mengetahui produktivitas tanaman padi (Oryza sativa L.) di Indonesia pada saat ini 2. Mengetahui Permasalahan yang terjadi di lahan sulfat masam 3. Mengetahui pengaruh perlakuan penggenangan dan pengapuran terhadap produktivitas lahan dan tanaman padi (Oryza sativa L.) di lahan sulfat masam 4. Memberikan informasi berupa teknologi yang dilakukan untuk

meningkatkan kesuburan lahan sulfat masam 1.4 Manfaat Penulisan Adapun manfaat penelitian ini yaitu : 1. Sebagai penyelesaian tugas mata kuliah Pengelolaan Tanah dan Air bagi penulis 2. Penulis dapat mengetahui cara pembuatan karya tulis ilmiah 3. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan 4. Sebagai penambah wawasan bagi para pembaca 1.5 Hipotesis Hipotesis permasalahan yang dipandang penulis ialah berupa semakin tingginya permintaan masyarakat terhadap tanaman padi (makanan pokok) dan semakin maraknya lahan yang dialihfungsikan untuk pembangunan sektor non pertanian seperti, perumahan, jalan raya, industri dan pembangunan lainnya sehingga hal tersebut menuntut para insan cendikia untuk berfikir lebih cerdas dalam memanfaatkan lahan dan mengelola kesuburan lahan yang ada disekitar kita guna meningkatkan produktivitas tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Adapun hal tersebut menurut dugaan penulis disebabakan oleh modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan

yang minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air secara konsisten. 1.6 Sistematika Penulisan Pada karya ilmiah ini, penulisan terbagi menjadi enam bab. Adapun pada bab pertama penulis menuliskan Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, hipotesis, serta sistematika penulisan. Pada bab kedua penulis akan akan menjelaskan kajian teori mengenai seperti apa produktivitas tanaman padi di Indonesia pada saat ini, permasalahan apa saja yang terjadi di lahan sulfat masam, serta bagaimana pengaruh perlakuan penggenangan dan pengapuran terhadap produktivitas tanaman

padi (Oryza sativa L.) di lahan sulfat masam. Pada bab ketiga, berisikan apa saja teknologi konservasi yang dilakukan untuk meningkatkan kesuburan lahan sulfat masam. Pada bab keempat penulis akan memberikan penutup berupa kesimpulan serta saran terkait masalah Pengelolaan Lahan Sulfat Masam pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.).

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Sistematika tanaman padi adalah sebagai berikut. Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Subdivisio: Angiospermae; Class: Monocotyledoneae; Ordo: Graminales; Famili: Graminaceae; Genus: Oryza; Spesies : Oryza sativa L. (Steenis, 2005). Akar padi tergolong akar serabut. Akar yang tumbuh dari kecambah biji disebut akar utama (primer, radikula). Akar lain yang tumbuh di dekat buku disebut akar seminal. Akar padi tidak memiliki pertumbuhan sekunder sehingga tidak banyak mengalami perubahan (Suparyono dan Setyono, 1993). Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan antara ruas yang satu dengan yang lainnya dipisah oleh suatu buku. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi bila malai belum keluar, dan sesudah malai keluar tingginya diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai tertinggi. Tinggi tanaman adalah suatu sifat baku (keturunan). Adanya perbedaan tinggi dari suatu varietas disebabkan oleh suatu pengaruh keadaan lingkungan. Bila syarat-syarat tumbuh baik, maka tinggi tanaman padi sawah biasanya 80-120 cm (Prasetyo, 2002). Daun padi tumbuh pada buku-buku dengan susunan berseling. Pada tiap buku tumbuh satu daun yang terdiri dari pelepah daun, helai daun, telinga daun (uricle), dan lidah daun (ligula). Daun yang paling atas memiliki ukuran terpendek dan disebut daun bendera. Daun keempat dari daun bendera merupakan daun terpanjang. Jumlah daun per tanaman tergantung varietas. Varietas unggul umumnya memiliki 14-18 daun (Suparyono dan Setyono, 1993). Sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku paling atas dinamakan malai. bulir-bulir padi terletak pada cabang pertama dan cabang kedua, sedangkan sumbu utama malai adalah ruas buku yang terakhir pada batang. Panjang malai tergantung pada varietas padi yang ditanam dan cara bercocok tanam. Dari sumbu utama pada ruas buku yang terakhir inilah biasanya panjang malai (rangkaian bunga) diukur (Aak, 1990). Bunga padi berkelamin dua dan memiliki 6 buah benang sari dengan tangkai sari dengan tangkai sari pendek dan dua kandung serbuk dikepala sari.

Bunga padi juga mempunyai dua tangkai putik dengan dua buah kepala putik yang berwarna putih atau ungu. Sekam mahkotanya ada dua dan yang bawah disebut lemma, sedang yang atas disebut palea (Suparyono dan Setyono, 1993). Gabah atau buah padi adalah ovary yang telah masak, bersatu dengan lemma dan palea. Bunga ini merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang mempunyai bagian-bagian sebagai berikut yaitu : a. embrio (lembaga) terletak pada bagian lemma pada lembaga ini terdapat daun lembaga (calon batang dan calon daun) serta akar lembaga (calon akar) b. endosperm merupakan bagian dari buah atau biji padi yang besar. Endosperm terdiri dari zat tepung, sedang selaput protein melingkupi zat tepung tersebut c. bekatul yaitu bagian buah padi yang berwarna coklat (Aak, 1990). Syarat Tumbuh Iklim Tanaman padi tumbuh di daerah tropis / subtropis pada 45O LU sampai dengan 45O LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan empat bulan. rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 15002000 mm/tahun . Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1500 2000 mm. Temperatur sangat mempengaruhi pengisian biji padi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang tinggi pada waktu pembungaan akan mengganggu proses pembuahan yang mengakibatkan gabah menjadi hampa. Hal ini terjadi akibat tidak membukanya bakal biji. Temperatur yang juga rendah pada waktu bunting dapat menyebabkan rusaknya pollen dan menunda pembukaan tepung sari (Simanjuntak, 2004). Pertumbuhan padi gogo sangat tergantung pada air hujan. Untuk ini, yang terpenting bukan saja jumlah air hujan yang mencukupi, tetapi juga distribusi air hujan itu sendiri. Ketergantungan sumber air pada curah hujan menyebabkan padi gogo ditanam pada waktu musim hujan. Panjang-pendeknya musim hujan sangat menentukan keberhasilan panen padi gogo. Oleh karena hanya tergantung pada musim hujan maka hasil padi sangat tidak stabil (2-4 ton/ha)

(Suparyono dan Setyono, 1997).

Tanah Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya antara 18 22 cm, terutama tanah muda dengan pH antara 4 7. Sedangkan lapisan olah tanah sawah, menurut IRRI adalah dengan kedalaman 18 cm. Tanah sawah yang mempunyai persentase fraksi pasir dalam jumlah besar, kurang baik untuk tanaman padi, sebab tekstur ini mudah meloloskan air. Pada tanah sawah dituntut adanya lumpur, terutama untuk tanaman padi yang memerlukan tanah subur, dengan kandungan ketiga fraksi dalam perbandingan tertentu

(Simanjuntak, 2004). Tanaman padi umumnya sangat sensitif terhadap keasaman tanah. Tanaman padi, baik bibit maupun tanaman dewasa, akan tumbuh kurang baik pada lahan asam. untuk meningkatkan ph tanah, dapat dilakukan pengapuran atau pemberian abu sekam. Dosis kapur atau abu sekam yang di berikan tergantung pH tanah awal. Cara pemberiannya adalah kapur abu sekam ditaburkan pada lahan sebelum dilakukan pengolahan lahan (Suparyono dan Setyono, 1997). Produktivitas Tanaman Padi di Indonesia Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2007)

mengemukakan bahwa Pada periode 2000-2006, jumlah penduduk Indonesia meningkat dengan laju pertumbuhan 1,36% per tahun sementara konsumsi beras diperkirakan 137 kg per kapita. Dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk menurun 0,03% per tahun, maka konsumsi beras pada tahun 2010, 2015, dan 2020 diproyeksikan berturut-turut sebesar 32,13 juta ton, 34,12 juta ton, dan 35,97 juta ton. Jumlah penduduk pada ketiga periode itu diperkirakan berturut-turut 235 juta, 249 juta, dan 263 juta jiwa. Tekanan terhadap kebutuhan beras ini akan berkurang apabila diversifikasi konsumsi pangan berhasil dilaksanakan. Menurut Fauzi (2010) Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya sepotong-sepotong Seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi

teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri. Selain itu juga karena cara budidaya petani yang menerapkan budidaya konvensional dan kurang inovatif seperti kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus, tidak menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15 20 % dan memakai air irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain berdampak pada rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing di pasaran terus menurun. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional. Suprayogo, dkk., (2012) menyatakan bahwa Dewasa ini, telah terjadi perubahan tata sosial di sektor pertanian dunia yang sangat cepat. Pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi telah membawa suatu kondisi kekurangan sumberdaya alam disertai dengan meningkatnya perubahan lingkungan. Sebagai contoh, populasi penduduk dunia pada tahun 2020 dengan peningkatan pertumbuhan kepadatan penduduk yang terjadi saat ini, mengakibatkan bidang pertanian harus menyediakan bahan pangan 40% lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dunia. Ektensifikasi pertanian melalui pembukaan lahan baru hanya mampu meningkatkan seperlima dari total kebutuhan tersebut. Namun demikian ekstensifikasi berdampak negatif terhadap ketersediaan lahan. Bahkan berdasarkan laporan FAO, sekitar 15.2 juta hektar hutan hilang di Tropis setiap tahunnya (El-Ashry CEO and Chairman, Global Environmental Facility). Tentunya hal ini menuntut kita para insan cendikia untuk lebih cerdas dalam menyelesaikan persoalan ini dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan lahan itu sendiri. Menurut Suprayogo, dkk., (2012) Pemenuhan kebutuhan pangan dunia juga bisa dilaksanakan melalui program intensifikasi. Namun seperti halnya program ekstensifikasi, program intensifkasi juga menimbulkan beberapa dampak negatif. Misalnya, terjadinya krisis air yang terjadi di negara-negara berkembang. Pemampatan penggunaan air menyebabkan terabaikannya sektor lain yang juga pengguna air, sebab 80%- 90% air tawar yang tersedia dimanfaatkan untuk sektor

10

pertanian (Comprehensive assessment of Water Management in Agriculture. IWMI). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2007) menyatakan bahwa Departemen Pertanian menyusun dua skenario upaya peningkatan produksi beras, yaitu skenario swasembada dan skenario ekspor. Skenario swasembada menggunakan trend pertumbuhan produksi 2000-2006, di mana areal panen sedikit menurun (0,01% per tahun) tetapi produktivitas masihmeningkat rata-rata 0,82% per tahun. Mengacu pada angka ramalan III produksi padi 2008 (BPS), maka Indonesia telah berhasil kembali meraih swasembada beras, bahkan terdapat surplus sebesar 2,68 juta ton. Jika surplus beras tersebut digunakan untuk stok pangan nasional sebesar 3 juta ton, maka pada tahun 2008 belum ada peluang untuk mengekspor beras. Indonesia baru memiliki peluang ekspor beras pada tahun 2009, dengan kecenderungan surplus produksi yang menurun menjadi 1,84 juta ton pada tahun 2015 dan 1,47 juta ton pada tahun 2020. Permasalahan Pada Lahan Sulfat Masam Luasnya lahan rawa di negara Indonesia dengan tuntutan produktivitas tanaman padi yang tinggi di zaman sekarang ini mengharuskan kita untuk menemukan cara untuk membuka dan mengolah lahan tak produktif menjadi lahan produktif. Kuswandi (1993) menyatakan bahwa Sebagian besar lahan tersedia untuk pengembangan pertanian di Indonesia bersifat asam (seperti ultisol dan oksisol), maka perlu ada program lanjutan berupa pengusiran besi (pirit). Lahan sulfat masam yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi sawah akan sangat tergantung pada pengapuran terus menerus bila tidak segera diikuti dengan pengelolaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pengapuran yang hilang dalam setahun pertama. Setelah dilakukan pengapuran, maka yang terpenting diusahakan adalah agar drainase dilakukan dengan sebaik baiknya, yaitu dengan pengeringan lahan atau pembuatan parit parit, sehingga bila terpaksa akan menggunakan kapur lagi, dosisnya rendah sekali (misalnya cukup 4 kuintal/ha), hanya sekedar untuk menonaktifkan ion besi (pirit) dan Al yang mungkin masih tersisa di lapisan bawah lapis olahan. Hal ini pun tidak boleh dilakukan selama proses drainase.

11

Ciri khas tanah sulfat masam ini ialah terdapatnya kandungan pirit yang jika teroksidasi mampu meracuni tanaman yang tumbuh pada lahan tersebut. Menurut Dent (1986) Pertama kali tanah sulfat masam dikenal dengan sebutan cat clay yang diambil dari asal kata katteklei (bahasa Belanda), yang diartikan sebagai lempung yang berwarna seperti warna pada bulu kucing, yaitu warna kelabu dengan bercak kuning pucat (jerami). Bercak kuning pucat ini merupakan senyawa hasil (produk) oksidasi pirit yang sering disebut dengan jarosit. Istilah tanah sulfat masam sendiri digunakan karena berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3). Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki lapisan pirit yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada kedalaman 0-50 cm. Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka akan terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami. Pemanfaatan tanah sulfat masam di lahan pasang surut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi prospektif di masa mendatang, secara optimal dapat dilakukan melalui penerapan teknologi secara tepat dan terpadu. Namun, sifat lahan yang rapuh seperti pH dan kesuburan tanah yang rendah, adanya lapisan pirit, genangan air yang berlebihan, dan peresapan air garam perlu dipertimbangkan. Di beberapa daerah pasang surut, petani telah menerapkan sistem surjan, tata air mikro, saluran air satu atap, serta varietas padi unggul toleran genangan seperti Martapura dan Margasari (Tim Sintesis Kebijakan, 2008) Menurut Subiksa dan Setyorini (2010) Kemasaman tanah merupakan salah satu kendala dalam melakukan aktivitas usaha tani di lahan sulfat masam.

12

Kemasaman yang tinggi akan memicu munculnya kendala lainnya meningkatnya kelarutan unsur beracun bagi tanaman seperti Al dan Fe dan kahat unsur hara, terutama P. Namun kemasaman yang tinggi ini justru memberikan keuntungan bagi pemanfaatan fosfat alam sebagai sumber pupuk P. Pemupukan P menggunakan fosfat alam untuk tanaman pangan dan hortikultura di lahan sulfat masam memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini dikarenakan kelarutan P dari fosfat alam akan meningkat bila diaplikasikan pada tanah masam. Selain itu fosfat alam juga mengandung CaCO3 atau MgCO3 yang cukup besar sehingga memiliki efek ameliorasi untuk meningkatkan pH tanah dan mensuplai unsur hara sekunder seperti Ca dan Mg. Efektivitas fosfat alam, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang diaplikasikan untuk tanaman pangan maupun hortikultura sudah terbukti dan cukup tinggi, bahkan kadang-kadang melebihi efektivitas SP-36. Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif. Perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut serta musim kemarau yang panjang menyebabkan pirit teroksidasi secara alami. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis (Dent, 1986). Madjid (2009) menyatakan Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+. Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan

13

(4) kapasitas netralisasi. Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan penetralisir kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat (Van breemen, 1993). Sulfat merupakan salah satu hasil oksidasi pirit yang sangat sedikit dijerap oleh profil tanah. Sebagian besar dari sulfur terlarut hilang bersama air drainase atau berdifusi ke lapisan di bawahnya yang kemudian akan direduksi kembali menjadi sulfida. Sebagian kecil tertahan dalam bentuk jarosit atau gipsum. Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit menyebabkan kondisi tanah yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapangan, nilai pH tanah sulfat masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986). Oksidasi pirit oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian sebagian digunakan lagi untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari oksidasi pirit adalah hidroksida Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida Fe3+ akan mengendap, misalnya dalam bentuk goetit yang lambat laun akan berubah menjadi hematit (Dent,1986). Madjid (2009) menyatakan Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5),>4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna kelabukelabu gelap. Tanah sulfat masam terbagi atas dua jenis yaitu sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual. Rodiah (2009) menyatakan Pada tanah sulfat masam potensial tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah liat berdebu mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Reaksi tanah lapisan atas rata-rata sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai sangat masam sekali (pH 3,5-3,8). Dan pada tanah sulfat masam aktual seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga tekstur tanah tergolong liat berdebu. Lapisan atas berreaksi sangat masam sekali (pH 3,6), sementara

14

lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH rata-rata 2,8, sehingga tergolong bereaksi masam ekstrim. Dari kajian teori yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa kandungan pirit di tanah sulfat masam di kemudian hari akan menjadi

permasalahan utama yang berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah sulfat masam dibuka untuk pertanian. Menurut Madjid (2009) Masalahnya dimulai pada saat direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah sulfat masam yang semula basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan sebagai lahan pertanian. Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Pengaruh Perlakuan Penggenangan dan Pengapuran Terhadap

Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Thoyyibah (2005) melakukan penelitian tentang Pengaruh Periode Penggenangan dan Drainase Tanah Sulfat Masam Aktual Terhadap Sifat Kimia Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa L.) di Universitas Lambung mangkurat. Penelitian tersebut terdiri atas 5 perlakuan yaitu (1) Tanah + tergenang kontinu (AG) (2) Tanah + 1 hari digenangi 1hari didrainase (3) Tanah + 3 hari digenangi 1 hari didrainase (4) Tanah + 6 hari digenangi 1 hari didrainase (5) Tanah + 13 hari digenangi 1 hari didrainase. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga menjadi 15 unit sampel. Sedangkan parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pH H2O (metode elektroda glass), daya hantar listrik (EC), Eh (metode elektroda platina), sulfat larut, besi larut dan Al-dd, berat kering akar tanaman, berat kering bagian atas tanaman, jumlah anakan, dan tinggi tanaman. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah bentuk

15

menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Bentuk Fe2+ yang ada dalam larutan tanah (tanah tergenang) merupakan bentuk yang tersedia bagi tanaman sehingga bentuk inilah yang akan diserap oleh tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thoyyibah (2005) diperoleh dengan uji ragam yang menunjukkan bahwa bahwa perlakuan tanah + 1 hari digenangi 1 hari didrainase, tanah + 3 hari digenangi 1 hari didarinase dan tanah + 6 hari digenangi 1 hari didrainase berpengaruh nyata dapat menurunkan Eh, daya hantar listrik tanah, sulfat larut dan Al-dd. meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti berat kering akar tanaman, berat kering bagian atas tanaman, jumlah anakan dan tinggi tanaman. Dengan demikian pada perlakuan 1 hari, 3 hari, 6 hari digenangi kemudian didrainase merupakan salah satu alternatif pencucian pada tanah sulfat masam aktual yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah serta dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan Menurut Widjaja-Adhi (1986) di dalam lumpur yang anaerob, pirit tidak membahayakan karena stabil, tetapi bila lumpur itu mengering, potensi redoks (Eh) meningkat dan pirit tidak lagi stabil. Pirit diubah menjadi asam sulfat oleh bakteri Thiobacillus thiooxidans. Masalah yang timbul di Indonesia salah satunya adalah penggunaan lahan asam (seperti ultisol dan aksisol) yang merupakan lahan utama dalam pengembangan/pencetakan sawah di 4 pulau besar (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya). Tanah demikian mengalami kemunduran hasil setelah beberapa kali panen sejak dari pembukaan. Rendahnya nilai pH, kandungan P dan K tersedia, serta tingginya kandungan Fe menyebabkan terjadinya keracunan besi yang ditandai dengan tanaman yang berwarna kecokelat-cokelatan, kekeringan atau menguning jingga, dan kerdil atau bahkan mati (Kuswandi, 1993). Darwinah (1999) melakukan penelitian Pengapuran Dalam mengurangi Keracunan tentang Simulasi Pengaruh Besi pada Tanaman Padi

(Oryza sativa L.) di Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor. Adapun penelitian dilakukan dengan dua perlakuan yang diberikan yaitu dosis kapur (0, 1, 2, dan 3 ton CaCO3/ha) dan varietas (IR64, Kapuas, dan Memberamo). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali dan pada tiap ulangan terdapat tiga tanaman yang diamati.

16

Tingkat keracunan besi berkurang dengan meningkatnya dosis kapur dan tingkat keracunan besi juga bervariasi menurut varietas. Hasil penelitian yang dilakukan Darwinah (1999) menunjukkan bahwa terdapat tingkat keracunan sesuai dengan dosis kapur dan varietas yang dicobakan. Semakin tinggi dosis kapur, maka tingkat keracunan besi semakin berkurang, dimana varietas Kapuas merupakan varietas yang paling toleran terhadap keracunan besi dibandingkan varietas IR64 dan Memberamo. Varietas IR64 dan Kapuas memberikan respon yang baik dengan adanya tindakan pengapuran dimana tingkat keracunan besi berkurang dengan adanya pemberian dan peningkatan dosis kapur, sedangkan varietas memberamo justru mengalami kenaikan tingkat keracunan dengan adanya pemberian kapur. Dalam keadaan perlakuan tertentu, pemberian kapur memberikan dampak yang baik terhadap peningkatan pH tanah dan pertambahan tinggi serta jumlah anakan tanaman padi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darwinah (1999) menunjukkan bahwa Terdapat hubungan antara dosis kapur dengan pertumbuhan vegetatif dan produksi tanaman padi. Semakin tinggi dosis kapur, semakin meningkat tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif , bobot akar, bobot berangkasan, bobot gabah isi dan bobot gabah total dimana nilai pengamatan tertinggi terdapat pada dosis kapur 3 ton/ha. Menurut Kuswandi (1993) Tanpa pengapuran, varietas pada yang toleran terhadap keracunan besi (Kapuas, Tondano, Kelera, Ombilin, dan lainnya) hanya mampu menghasilkan gabah maksimal 4 ton/ha bila pemupukan NPK dilakukan. Di Bangkinang (Riau) misalnya, hasil gabah dapat mencapai 5 ton/ha dengan adanya pemberian 90 kg N, 90 kg P2O5, dan 60 kg K2O/ha dan 1 ton kapur/ha.

17

TEKNOLOGI KONSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KESUBURAN LAHAN SULFAT MASAM

A. Pengelolaan Bahan Organik Pada umumnya penyediaan bahan organik dengan cara membakar umum, dilakukan oleh petani atau peladang yang miskin, tetapi sekarang sudah banyak orang yang menerapkan hal ini. tidak saja para petani atau peladang, namun pihak perkebunan juga mulai melirik cara ini karena dianggap lebih murah dan mudah untuk dilakukan. Madjid (2009) menyatakan Bahan organik tidak hanya berperanan dalam memperbaiki fisik tanah, tetapi sekaligus berperan dalam menekan oksidasi pirit. Dalam konteks tanah sulfat masam, kompos humus (bahan organik) mempunyai fungsi untuk menurunkan atau mempertahankan suasana reduksi karena dapat mempertahankan kebasahan tanah sehingga oksidasi pirit dapat ditekan. Penekanan terhadap oksidasi pirit ini penting artinya bagi pertumbuhan tanaman yang peka terhadap peningkatan kemasaman dan kadar meracun kation-kation seperti Al3+, Fe2+, Mn2+, dan anion-anion seperti sulfida dan sisa-sisa asam organik. Notohadiprawiro (1998) menyatakan Kadar bahan organik tanah di sulfat masam perlu dipertahankan pada taraf 5 %, terutama pada tipe luapan c untuk mempertahankan kebasahan tanah dan potensial redoks. Pada lahan sulfat masam yang lapisan atasnya berupa gambut atau lahan-lahan gambut yang dibawahnya terdapat lapisan pirit keberadaan lapisan piritnya perlu dipertahankan setebal antara 15-25 cm (Noor, 2001). Lahan-lahan gambut yang mempunyai lapisan pirit di bawahnya (seperti jenis tanah Sulfihemist, dan Sulfohemist) merupakan lahan yang sangat berbahaya dan beresiko serta sukar penulihan kembali apabila terdegradasi bila dibandingkan jenis lahan sulfat masam seperti Sulfaquent. Produktivitas dan kesuburan tanah rawa pasang surut berkaitan erat dengan ketebalan lapisan gambut atau kadar bahan organik tanah. B. Teknologi Ameliorasi dan Pemupukan pada Lahan Sulfat Masam Menurut Madjid (2009) Ameliorasi tanah sulfat masam untuk

memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum

18

pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa perbaikan tanah tidak akan efisien bahkan tidak respon. Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh karena itu tanah seperti ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan Rock

Phosphate untuk memenuhi kebutuhan hara P-nya. Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990) di Pulau Petak Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan mempunyai pH antara 3 dan 4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g. Kemasaman tanah aktual untuk tanah pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit mencapai 8%. Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa untuk mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan drainase dangkal, pencucian intensif tanah lapisan atas, yang dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk kalium. Kuswandi (1993) mengemukakan bahwa Pada lahan berdrainase baik, kapur diberikan menjelang tanam. Setelah tanaman berumur 2 minggu dilakukan pengeringan selama 1 minggu. Seterusnya pengeringan dilakukan pada selang waktu 2 minggu hingga menjelang panen. Bagi lahan berdrainase jelek, pemberian kapur lebih banyak dan perlu diberikan secara bertahap, yaitu sebelum tanam dan pada saat penyiangan. Pengapuran menjelang tanam tidak perlu dengan pembenaman kapur, tetapi pada pemberian lanjutan perlu dijaga sewaktu permukaan air minimal, sambil diinjak-injak.

19

C. Pengolahan Tanah dan Air a. Penataan Lahan Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Suastika, dkk., (1997) menyatakan Penyiapan

lahan terdiri dari: (1) Penebasan rumput-rumput/belukar. Rumput/ belukar yang sudah ditebas dikumpulkan di suatu tempat kemudian dibakar. (2) Pengolahan tanah dan (3) Pelumpuran dan perataan tanah. Pengolahan tanah dilakukan dua tahap. Setelah pengolahan tahap pertama, tanah digenangi, agar zat beracun terpisah dari tanah. Tinggi air genangan berkisar antara 5-10 cm. Untuk mengatur tinggi air genangan dapat dilakukan dengan memperbesar atau memperkecil bukaan pintu saluran air. Pengolahan tanah tahap kedua dilakukan dua minggu setelah pengolahan. Kedalaman pengolahan tanah sekitar 20-25 cm, jika terlalu dalam dapat menyebabkan terangkatnya lapisan pint (lapisan beracun). Pint ini dapat meracuni tanaman dan berakibat tanaman mati. Untuk membuang zat beracun di tanah, perlu dibuat saluran cacing (kemalir) dengan ukuran sebagai berikut: Lebar saluran 30 cm, Kedalaman 20 cm, Jarak antar-saluran berkisar antara 6-10 m. Selain di dalam petakan, dibuat juga saluran di sekeliling petakan. Menurut Suridikarta (2005) Penataan lahan dimaksudkan untuk

menciptakan kondisi lahan agar sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Penataan lahan perlu memperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil (tidak mengalami oksidasi) dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Pada tipe luapan B, pola pemanfaatan lahan dilakukan dengan sistem surjan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial, pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Tanah untuk guludan diambil dari lapisan atasuntuk menghindari oksidasi pirit. b. Jaringan Tata Air Makro dan Mikro Pengembangan lahan rawa meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan. Kegiatan reklamasi dimulai dari perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di

20

lapangan. Penelitian yang mendukung perencanaan reklamasi sangat diperlukan terutama penelitian sumberdaya lahan meliputi tanah, air, iklim, dan hidrologi serta aspek lingkungan. Dalam pelaksanaannya reklamasi mencakup pekerjaan penebangan hutan dan pembakaran, konstruksi jalan, dan pembuatan saluran drainase (Widjaja-Adhi, 1995). Berdasarkan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian bahwa lahan pasang surut memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama dalam kaitannya dalam mendukung program ketahanan pangan dan agribisnis melalui peningkatan dan diversifikasi produksi, peningkatan

pendapatan dan lapangan kerja. Namun untuk mendukung kearah pengembangan pertanian yang berhasil dan berkesinambungan dilahan pasang surut ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam reklamasi lahan, yaitu pemanfaatan jaringan tata air berikut salurannya dan tata ruang untuk penataan lahannya (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Suridikarta (2005) menyatakan bahwa Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk: 1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, 2) mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi sawah, 3) mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, 4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran. Untuk memperlancar keluarmasuknya air pada petakan lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun. Subagyono, dkk., (1999) menyatakan, pencucian bahan beracun dari petakan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Pencucian akan berjalan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar. Pengelolaan air pada saluran tersier D. Penggunaan Varietas Yang Adaptif a. Padi dan Palawija Padi sawah mempunyai daya adaptasi yang lebih baik di lahan pasang surut khususnya tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut dalam. Menurut Suwarno et al. (2000), sampai saat ini telah dilepas 11 varietas padi yang

21

cocok dengan lahan pasang surut . Varietas yang sesuai untuk lahan sulfat masam adalah Mahakam, Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batanghari, dan Dendang. Untuk tanah sulfat masam aktual dimana kadar Al dan Fe sangat tinggi, lebih sesuai ditanam varietas lokal yang telah adaptif seperti Ceko, Jalawara, Talang, Gelombang, dan Bayur. Mengingat kesuburan tanah sulfat masam sangat beragam maka pemupukan perlu disesuaikan dengan hasil analisis tanah. Tanaman palawija umumnya ditanam di lahan pekarangan sebagai kebun campuran dengan tanaman buah-buahan dan sayuran. Varietas kedelai yang cocok untuk tanah sulfat masam adalah Wilis, Rinjani, Lokon, dan Dempo. Hasil kedelai berkisar 1,502,40 t/ha, kacang tanah 3,50 t/ha, kacang hijau 1,20 t/ha, dan jagung Arjuna 34 t/ha. Pada tanah sulfat masam potensial, selain perlu dipupuk, tanaman perlu pula diberi kapur sesuai dengan takaran anjuran. b. Sayuran dan Buah-buahan Teknik penggunaan amelioran dan pengelolaan hara terpadu serta penggunaan benih bermutu dengan waktu tanam yang tepat merupakan persyaratan utama keberhasilan sayuran di lahan rawa (Satsiyati dkk., 1999). Namun keberadaan lokasi pengembangan yang terletak jauh dipedalaman dan tidak didukung oleh infrastruktur dan sarana menjadi hambatan untuk pemasaran hasil sayuran. Jenis sayuran yang telah diteliti pada tanah sulfat masam adalah tomat varietas Ratna dan Intan dengan potensi hasil masing-masing 18,54 t/ha dan 13,4 t/ha. Petsai yang sesuai hanya ada satu varietas yaitu No. 82-157 dengan potensi hasil 15,6 t/ha. Selanjutnya bawang merah varietas Ampenan dan Bima dapat beradaptasi cukup baik pada tanah sulfat masam dengan potensi hasil 6,4 dan 6,15 ton umbi kering/ha (Sutater et al., 1990). Tanaman buah-buahan ditanam di pekarangan pada guludan adalah pisang, nangka, dan rambutan atau jeruk. Tanam sayuran dan pisang cepat memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani terutama pada tahun pertama mereka tinggal di tempat pemukiman baru. Hasil penelitian Proyek Swamps di lahan pekarangan lahan sulfat masam di Karang Agung Ulu (1987/1988), komoditas hortikultura mampu memberikan pendapatan lebih besar dari pada tanaman

22

pangan dengan rincian 65,4% untuk tanaman sayuran dan 34,6% untuk tanaman pangan (Subiksa dan Basa, 1990). c. Tanaman Industri/Perkebunan Hasil penelitian di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah ex PLG tanaman industri/perkebunan yang dapat beradaptasi di lahan sulfat masam adalah kopi, kelapa, dan lada. a. Kelapa Tanaman kelapa merupakan komoditas tanaman di lahan pasang surut, sebagai sentra produksi kelapa sebaran tanaman kelapa di Provinsi Riau diperkirakan > 60% (Mahmud, 1990). Jenis kelapa yang sesuai adalah kelapa lokal, yang dikenal memiliki daya adaptasi dan toleransi terhadap lingkungan tumbuh sangat luas. Tanaman kelapa dapat ditanam tumpangsari dengan tanaman kopi, palawija, dan hortikultura. Namun ada juga yang ditanam secara monokultur di guludan seperti di Riau. Di Karang Agung Ulu dan Karang Agung Tengah produksi kelapa rata-rata berkisar 7-18 butir/pohon/periode petik dan 10-17 butir/pohon/periode petik. b. Temu-temuan Madjid (2009) menyatakan Jenis tanaman temu-temuan di antaranya jahe, kencur, kunyit, temulawak, lengkuas, dan bangle. Temu-temuan diharapkan dapat menunjang sistem usahatani di lahan pasang surut yang mempunyai fungsi ganda dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dan dapat digunakan sebagai obat alternatif baik untuk manusia maupun ternak, di antaranya kunyit, temulawak, jahe, kencur (obat reumatik pegel linu), lempuyang (pegel linu) temu ireng dan bangle (obat cacing), temu giring (obat panas dan batuk). Sebagai contoh untuk ternak, jahe dapat mencegah gejala tetelo (ND), dan temulawak dapat menekan berkembangnya bakteri di kotorannya, sehingga bau limbah dapat ditekan. Produksi temu-temuan cukup bagus, jahe merah di Karang Agung Ulu dengan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 + 50 kg K2O + 200 kg kapur + 1,5 ton gambut/hektar memberikan hasil 15,5-23,6 t/ha. Sedangkan untuk jahe putih kecil atau emprit produksi 4,9-8,5 t/ha dan jahe putih besar varietas gajah produksi 4,5-5,9 t/ha. Demikian juga dari Kalimantan Tengah produksi jahe putih kecil cukup baik 0,7-1,0 kg/rumpun. Produksi tanaman kencur juga cukup

23

baik di Karang Agung Ulu dapat mencapai 11,2-20,1 t/ha, dan dari uji produksi di Kalimantan Tengah juga menunjukkan produksi yang baik yaitu mencapai 200300 g/rumpun (Madjid, 2009). E. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Melalui Aktivitas Mikroorganisme Tanah sulfat masam merupakan tanah yang mengandung senyawa pirit (FeS2), banyak terdapat di daerah rawa, baik pada pasang surut maupun lebak. Mikroorganisme sangat berperan dalam pembentukan tanah tersebut. Pada kondisi tergenang senyawa tersebut bersifat stabil, namun bila telah teroksidasi maka akan memunculkan problem, bagi tanah, kualitas kimia perairan dan biota-biota yang berada baik di dalam tanah itu sendiri maupun yang berada di badan-badan air, dimana hasil oksidasi tersebut tercuci ke perairan tersebut. Reaksi oksidasi dan reduksi pada tanah tersebut dipengaruhi berbagai aspek, baik kimia, biologi maupun fisika tanah. Ditinjau dari aspek biologi, maka kecepatan oksidasi senyawa pirit sangat ditentukan oleh peran dari bakteri pengoksidasi pirit yang disebut Thiobacillus sp.. Sedangkan dalam kondisi reduksi, pembentukan pirit atau H2S sangat ditentukan olek aktivtas bakteri pereduksi

sulfat Desulfovibro sp. Karena itu dalam pengelolaan tanah sulfat masam dapat didekati melalui pemanfaatan peranan kedua bakteri tersebut. Namun aktivitas kedua bakteri tersebut dipengaruhi oleh lingkungannya, karena adanya saling ketergantungan (Madjid, 2009). Madjid (2009) mengemukakan bahwa (1). Adanya senyawa pirit satu sama lain antara bakteri dan lingkungannya

merupakan salah satu penciri tanah sulfat masam dan merupakan sumber masalah pada tanah tersebut. (2). Adanya oksidasi senyawa pirit menyebabkan tanah menjadi masam, basa-basa tercuci, kelarutan logam-logam meningkat, aktivitas mikroorganisma tanah dan kehidupan biota perairan menjadi terganggu (3). Proses oksidasi senyawa pirit dan reduksi dari ion atau senyawa yang dihasilkannya terjadi secara kimia dan biologi (4). Kecepatan oksidasi dan reduksi secara kimia berjalan lambat. Adanya bantuan bakteri pengoksidasi atau pereduksi sebagai katalisator mempercepat reaksi tersebut beberapa ratus sampai juta kali (5). Pengelolaan tanah sulfat masam dapat dilakukan melalui pengendalian aktivitas mikroorganisma yaitu menghambat aktivitas bakteri pengoksidasi

24

melalaui pemberian bakterisida, pemutusan suplai oksigen melalui penggenangan dan pemberian kapur agar terjadi suksesi bakteri. Sedangkan pada proses reduksi, perlu dirangsang dengan pemberian bahan organik sebagai sumber elektron dan energi serta penggenangan untuk memutus suplai oksigen sebagai aseptor elektron. F. Penyiapan dan Pengelolaan Surjan Sistem budidaya surjan (surjan = bahasa jawa yang artinya

berjajar/berbaris berselang-seling seperti lurik) disarankan khususnya hanya untuk lahan pasang surut tipe B (wilayah yang hanya terluapi pada saat pasang tunggal) dan tipe c atau D (wilayah yang tidak terluapi pasang sama sekali) yang mempunyai muka air tanah tinggi. Budidaya tanaman lahan kering (palawija) di lahan pasang surut di aats sering mengalami cekaman kelebihan air, dengan sistem surjan maka kebasahan atau genangan air yang tidak disukai tanaman lahan kering dapat terhindarkan (Madjid, 2009). Surjan mengandung pengertian meninggikan sebagian tanah dengan menggali atau mengeruk tanah di sekitarnya. Dalam praktiknya sebagian tanah lapisan atas diambil atau digali dan digunakan untuk meninggikan bidang tanah disampingnya secara memanjang sehingga terbentuk surjan. Wilayah bagian lahan yang ditinggikan disebut tembokan (raise beds), sedang wilayah yang digali atau di bawah disebut tabukan atau ledokan (sunkens beds). Lahan bagian atas di tanami tanaman palawija (jagung, kedelai, kacang-kacangan, dan umbi-umbian), hortikultura, buah-buahan, dan juga tanaman perkebunan, sedang lahan bagian bawah (ledokan/tabukan) ditanami padi sawah (Madjid, 2009). Pertanian dengana sistem surjan banyak berkembang di lahan

rawa. Berdasarkan cara pengambilan dan penyusunan lapisan tanah yang dibentuk surjan, surjan dapat dibagi menjadi dua model atau tipe : 1) model tradisional dan 2) model inovatif dan kreatif. Pada model tradisional lapisan surjan dibuat dengan meletakkan bagian yang digali ke lapisan atas secara runtut sehingga kemungkinan besar lapisan atas surjan terdiri dari lapisan bawah (subsoil). Pada model inovatif dan kreatif lapisan surjan disusun sesuai dengan urutan asal. Model tradisional sangat berbahaya apabila lapisan bawah yang diletakkan sebagai lapisan atas surjan merupakan lapisan berkadar pirit tinggi. Berdasarkan sistem

25

pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua cara pembuatan yaitu : 1) dibuat sekaligus, dan 2) dibuat secara bertahap. Pembuatan surjan banyak memerlukan tenaga kerja yaitu sekitar 500 HOK per hektar (Madjid, 2009). G. Perikanan Menurut Suridikarta (2005) Penelitian ikan sebagai komponen sistem usaha tani di lahan pasang surut dan rawa dilakukan sejak 1985 di lahan rawa Kertamulia Patratani, rawa banjiran di Lubuk Lampan, lahan pasang surut di tepi= sungai Musi Mariana, lahan potensial di Karang Agung Ulu, lahan sulfat masam salin di Delta Upang dan lahan lebak di Kayu Agung Sumatera Selatan, serta di lahan pasang surut dan sulfat masam Parit Keladi dan Palingkau, Kalimantan. Sistem usaha tani perikanan diartikan sebagai usaha perikanan di lahan petani (Kasryno et al. 1989; Partohardjono 1989) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi, pendapatan dan pemanfaatan sumber daya secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan petani. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui penerapan teknologi atau paket teknologi usaha tani yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosioekonomi yang ada di daerah.

Madjid (2009) menyatakan Penelitian ikan telah dilakukan di lahan potensial, lahan lebak, lahan pasang surut mempunyai pH air yang relatif lebih baik 4-5 dibandingkan dengan lahan sulfat masam dengan hasil produksi yang bervariasi. Jumlah kapur yang ditambahkan pada lahan potensial 5 t/ha, sedangkan pada lahan sulfat masam dosis pengapuran sekitar 10 t/ha. Kendala yang sering dijumpai pada kolamkolam yang dibangun di lahan pasang surut yang ber-pH air 4 adalah rembesan air dari pematang dan masuknya air hujan yang jatuh dari tepi pematang ke dalam kolam. Air tersebut menyebabkan pH air kolam turun mendadak sampai <3 sehingga menyebabkan ikan mati. Jenis ikan yang dipelihara antara lain ikan patin, tembakang, lele, gurame, dan nila merah. Ikan tersebut dapat beradaptasi dengan perubahan pH air kolam yang pada umumnya turun di waktu hujan. Untuk mengatasi penurunan pH di waktu hujan, maka pembuatan kolam harus dilakukan sebagai berikut : 1) lapisan atas tanah 0-10 cm dikupas kemudian hasil tanah kupasan tersebut ditempatkan pada lokasi yang aman, 2) penggalian kolam dilakukan sampai kedalaman tertentu biasanya antara 1-1,2 m, 3) setelah penggalian kolam selesai lalu pembuatan galengan kolam

26

disusun seperti tangga (2-3 tangga) lalu guludan itu ditutup dengan tanah lapisan atas yang kita simpan itu, 4) pengapuran kolam baru dilaksanakan dengan dosis 510 ton kaptan/ha. Pada pemeliharaan yang dilakukan polikultur diharapkan ikan dapat memanfaatkan organisme plankton seperti ikan nila sedangkan organisme yang hidup di dasar kolam diharapkan dapat menjadi makanan ikan patin. Sedangkan untuk monokultur, ikan diberi tambahan pakan pelet dan sisa makanan.

27

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Jumlah penduduk Indonesia terusn meningkat dengan laju

pertumbuhan 1,36% per tahun sementara konsumsi beras diperkirakan 137 kg per kapita. Hal ini menuntut manusia agar lebih cerdas meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan. 2. Permasalahan di lahan sulfat masam adalah pH yang masam, adanyakandungan pirit, dan kandungan hara yang rendah. namun secara fisik cukup baik, oleh karena itu lahan tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. 3. Pada perlakuan penggenangan, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Bentuk Fe2+ yang ada dalam larutan tanah (tanah tergenang) merupakan bentuk yang tersedia bagi tanaman sehingga bentuk inilah yang akan diserap oleh tanaman. 4. Pada perlakuan pengapuran, tingkat keracunan besi akan berkurang dengan meningkatnya dosis kapur dan tingkat keracunan besi juga bervariasi menurut varietas. 5. Beberapa teknologi yang dilakukan untuk meningkatkan kesuburan lahan sulfat masam antara lain pengolahan tanah konservasi, Pemberian kapur dan pupuk, Teknologi ameliorasi, Penggunaan varietas yang adaptif, Pengelolaan tanah dan air, Pengelolaan surjan. 6. Tanaman yang dapat dikembangkan pada lahan ini adalah tanaman padi sawah, palawija, sayuran, perkebunan, dan tanaman kehutanan. 7. Dalam peningkatan produktivitas lahan perlu didukung teknologi ameliorasi dan pemupukan sesuai dengan komoditasnya.

28

Saran Sebaiknya para generasi insan cendikia lebih serius dalam mempelajari ilmu tentang pengelolaan lahan rawa pasang surut terutama pada fokus lahan sulfat masam, sehingga pada akhirnya kita bisa mengetahui bagaimana cara pembudidayaan tanaman yang tepat di lahan sulfat masam. Selain itu kita juga bisa mengetahui bagaimana cara meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam dan cara meningkatkan produktivitas tanaman pangan di lahan sulfat masam dan menerapkan ilmu tersebut di dalam bidang pertanian guna memenuhi permintaan masyarakat terhadap makanan pokok

(beras) di Indonesia tanpa perlu mengimpor dari negara lain.

29

DAFTAR PUSTAKA Aak, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Darwinah, 1999. Simulasi Pengaruh Pengapuran Dalam Mengurangi Keracunan Besi Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) di Lahan Kering Yang dari http://Reporsitory.ipb.ac.id.pdf.

Baru Disawahkan. Diakses (31 Desember 2012).

Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils : a baseline for research and development. International Institute for Land Reclamation and Improvement

Publication No.39 Wageningen, the Netherland. Fauzi, E. 2010. Politik Ketahanan Pangan Menuju Kemandirian Pertanian. Diakses dari http://Nad.litbang.deptan.go.id.pdf. (31 Desember 2012).

Kasryno, F., H. Nataatmadja, E. Pasandaran, E.A. Rasahan, dan C.G. Swensen. 1989. Development an integrated farming system research in Indonesia. Workshop on FSC in Indonesia. Sukamandi. 13-16 August, 1989. Konsten, C.J.M. dan Sarwani, M. 1990. Actual and potential acidity and related chemical characteristics of acid sulphate soils in Pulau Petak, Acid Sulphate Soils in the Humic 3050.

Kalimantan. Papers Workshop on

Tropics. AARD and LAWOO. Bogor, Indonesia.:

Kuswandi, 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Program Pascasarjana Unsri. Mahmud, Z. 1990. Potensi dan keragaan usahatani kelapa pasang surut Propinsi Riau. Laporan Bulanan Balitra, Menado. 072/VIII/90. Noor, M. 2001. Pertanian lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Cetakan 1. Kanisius. Yogyakarta. Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri &

Notohadiprawiro, T. 1998. Prospek pengembangan lahan basah Kalimantan Tengah untuk pertanaman pangan menurut pandangan ketahanan pangan nasional. Dalam pros. Seminar nasional dan Pertemuan Tahunan Komda Himp. II Tanah Indonesia. Buku I : 66-72.

30

Partohardjono, S. 1989. Pemantapan Program Nasional Penelitian Sistem Usahatani. Puslitbangtan. Makalah Latihan Metodologi Penelitian

Usahatani. Sukamandi, 6-26 Pebruari 1989. Prasetyo, Y.T., 2002. Budidaya Padi Sawah TOT (Tanpa Olah Tanah), Kanisius, Yogyakarta. Hal : 34-37. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2007. Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020. Diakses dari

http://Pangan.litbang.deptan.go.id/pdf. (31 Desember 2012) Satsiyati, M. Januwati, dan H. Supriadi. 1999. Teknik Budidaya dan Usahatani Potensi

Sayuran Lahan Rawa di Kalimanatan Tengah. Proseding Desiminasi dan Optimasi

Temu Pakar dan Lokakarya Nasional

Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Rawa, Jakarta 23-26 Nop. 1999. Hal 79-93. Simanjuntak, L., 2004. Usaha Tani Terpadu PATI :Padi, Azolla, Tiktok dan Ikan. PT. Agromedia, Jakarta. Hal: 22-26. Suastika, I. W., Basaruddin, N. dan Tumarlan, T. 1997. Budi Daya Padi Sawah di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Diakses dari http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id.pdf. (31 Desember 2012). Subagyono, K., I. W. Suastika, dan E.E. Ananto. 1999 Penataan Lahan dan TataAir Mikro: Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut, Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian (SUP) Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian. Subiksa, I G.M. dan I. Basa. 1990. Kemajuan Penelitian Sistem Usahatani pada Lahan Sulfat Masam di Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Risalah Seminar Penlitian Proyek Swamps II. Bogor, 19-21 September 1990. Subiksa , I. G. M., dan D. Setyorini, 2010. Pemanfaatan Fosfat Alam untuk Lahan Sulfat Masam. Diakses dari http://www.deptan.go.id/2345.pdf.

(05 Desember 2012). Suparyono dan Setyono, A., 1993. Padi. Penebar Swadaya, Jakarta.

31

Suparyono dan Setyono, A., 1997. Mengatasi Permasalahan Budi Daya Padi. Penebar Swadaya, Jakarta. Suprayogo, D., Suryanto, A., Mochtar, L.R., Djauhari, S., Hidayat, K., dan

Ashari, S. 2012. Hasil Kajian Restrukturisasi Pendidikan Pertanian Untuk Meningkatkan Kualitas, Relevansi dan Daya Saing Lulusan Dalam Menghadapi Tantangan Global. Diakses dari http://Fp.ub.ac.id.pdf. (31 Desember 2012). Sutater, T., Satsiyati, A.H. Permadi, dan D. Haryadi. 1990. Daya hasil tanah di lahan sulfat masam. Risalah hasil penelitian. Proyek Swamps-II. Bogor

19-21 September 1989. Hal. 275-277. Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Z. Desmiyati, Suwarno, M. Januwati, dan H.K. Anang. 1999. Kesiapan Teknologi dan Kendala

Pengembangan Usahatani Lahan Rawa. Dalam Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan

Sumber Daya Lahan Rawa. Jakarta, 23-26 Nopember 1999. Suriadikarta, D.A. dan A. Abdurachman. 1999. Penelitian Teknologi Reklamasi untuk Meningkatkan Produktivitas tanah Sulfat Masam Potensial. Pro. Temu Pakar dan lokakarya Nasional Diseminasi Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta 23 26 Nopember 1999. Suridikarta, D.A. 2005. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Untuk Usaha Pertanian. Diakses dari http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id.pdf. (31 Desember 2012). Thoyyibah, N. 2005. Pengaruh Penggenangan dan Drainase Tanah Sulfat Masam Aktual Terhadap Sifat Kimia Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa L.). Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Diakses dari

http://faperta.unlam.ac.id/ilmutanah/pdf. (31 Desember 2012). Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan Lahan Sulfat Masam Berwawasan Lingkungan Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional.

Pengembangan Inovasi Pertanian. 1(2):129-131.

32

Van Breemen, N. 1976. Genesis and solution chemisty of acid sulfate soils in Thailand. Center of Agricultural Publishing and Documentation. Wegeningen, 1976. Ph.D. Dessertation. Van Steenis, C. G. G. J., 2006. Flora : untuk sekolah di Indonesia. Pradnya Paramitha, Jakarta. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Risalah. PERNAS Pengembangan Pertanian Di lahan Rawa Pasang Surut Dan Lebak. Cisarua 3-4 Maret 1992 Badan Litbang Pertanian. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut ; Potensi, Prospek, dan Kendala Serta Teknologi Pengelolaannya Untuk Pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komda HITI, 16-17 Desember 1998.

Anda mungkin juga menyukai