Dasar Agronomi
SISTEM PERTANAMAN
NIM : G051231005
KELOMPOK : 8 (DELAPAN)
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2024
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia, sebagai negara agraris, memiliki mayoritas penduduk yang
tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai petani. Dalam konteks seperti ini,
pengembangan sektor unggulan menjadi krusial untuk mendukung ekonomi
nasional. Sektor pertanian menjadi penting karena menyediakan bahan pangan,
sandang, dan papan, serta menghasilkan komoditas ekspor nonmigas yang
memperoleh devisa. Namun, pedesaan, yang dominan dalam sektor pertanian,
sering menghadapi berbagai masalah yang mengakibatkan penurunan
produktivitas. Di sisi lain, wilayah perkotaan menjadi pusat pasar dan
pertumbuhan ekonomi, menerima pasokan lebih banyak dibandingkan pedesaan
sebagai produsen, sehingga menimbulkan kesenjangan (Vintarno et al., 2019).
Sistem pertanaman terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu
dan menjadi bagian integral dari sistem pertanian secara keseluruhan. Cropping
systems merujuk pada pola tanam atau tata letak penanaman tanaman di suatu
lahan. Secara lebih luas, sistem pertanaman mencakup pengaturan waktu dan tata
letak penanaman tanaman dalam jangka waktu yang lebih panjang (Evrizal et al.,
2021).
Pola tanam merujuk pada cara penanaman yang dilakukan di suatu lahan
dengan mengatur susunan, letak, dan urutan tanaman selama periode tertentu,
termasuk tahap persiapan lahan dan masa tanam. Terdapat dua jenis pola tanam,
yaitu monokultur dan polikultur. Monokultur merupakan praktik bercocok tanam
di mana satu jenis tanaman ditanam di suatu area lahan. Sementara itu, polikultur
adalah praktik bercocok tanam di mana beberapa jenis tanaman ditanam di area
lahan yang sama, baik secara bersamaan maupun dalam jeda waktu yang singkat.
Baik monokultur maupun polikultur merupakan dua sistem budidaya tanaman
yang umum digunakan dalam kegiatan pertanian untuk meningkatkan efisiensi
dan optimalisasi penggunaan lahan (Husain et al., 2016).
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilaksanakan praktikum ini adalah untuk melihat efisiensi
penggunaan lahan pertanian dan produksi satu dan dua jenis tanaman pada luas
lahan yang sama pada musim tanam yang sama.
Kegunaan praktikum diharapkan setiap peserta praktikan dapat memahami
pentingnya mengefektifkan penggunaan lahan pertanian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tanaman Jagung
Jagung (Zea Mays, L.) merupakan tanaman serealia dalam famili Poaceae,
ordo Poaceae, dan merupakan tanaman berumah satu (monoius) yang bunga
jantannya terpisah dari bunga betinanya namun masih berada pada satu tanaman.
Jagung merupakan tanaman presegmental. Artinya, ketika bunga jantan mekar,
biasanya ia melepaskan serbuk sari satu atau dua hari sebelum bunga betina
muncul. Jagung merupakan tanaman multifungsi yang memiliki banyak kegunaan,
dan hampir setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Jagung mempunyai peran penting bagi perkembangan industri di Indonesia karena
merupakan salah satu bahan baku industri pangan (Suleman et al., 2019).
Sistem perakaran jagung berkembang pada kedalaman 2 hingga 8 meter,
dengan akar dewasa terletak di bawah ruas batang jagung, memungkinkan
tanaman jagung berdiri tegak. Batang jagung memiliki struktur tegak dan
tersegmentasi dengan ruas yang jelas terlihat, dan daun-daunnya tumbuh dari
ruas-ruas tersebut yang dilindungi oleh pelepah daun. Daun jagung memiliki
bentuk memanjang dengan tulang daun sejajar, berbulu halus, dan memiliki ciri
khas stomata berbentuk halter yang dikelilingi oleh sel-sel berbentuk kipas,
membantu dalam menjaga ketersediaan air. Stomata ini umumnya terdistribusi
secara merata. Bunga jagung dibagi menjadi dua jenis, yaitu bunga jantan dan
betina, yang masing-masing terletak terpisah pada tanaman. Bunga jantan mekar
pada bagian atas tanaman, sementara bunga betina terletak lebih rendah
(Djafar et al., 2021).
Pertumbuhan jagung manis paling optimal terjadi pada musim panas,
meskipun sebagian besar lahan pertanian jagung manis berada di daerah yang
memiliki iklim dingin. Jagung manis mampu tumbuh di berbagai jenis tanah
dengan asupan air yang memadai. Kondisi pH tanah yang paling sesuai untuk
pertumbuhan jagung manis berada di kisaran 6,0 hingga 6,5. Tanaman ini sensitif
terhadap tanah yang bersifat asam dan tidak bisa bertahan terhadap embun beku
(frost). Meskipun demikian, jagung manis mampu beradaptasi dengan beragam
kondisi iklim, dari 58° LU hingga 40° LS, dengan rentang ketinggian hingga
3.000 meter di atas permukaan laut. Persyaratan suhu, kelembapan udara,
intensitas cahaya, dan durasi penyinaran matahari yang optimal untuk
pertumbuhan jagung manis tidak terlalu berbeda dengan persyaratan jagung biasa
(Syukur dan Azis Rifianto, 2013)
2.2 Deskripsi Tanaman Kacang Hijau
Kacang hijau dikenal dengan berbagai nama, termasuk mungo, mung bean,
green bean (dalam bahasa Inggris), dan choroko (dalam bahasa Swahili dan
India). Di Indonesia, kacang hijau juga memiliki beberapa nama daerah, seperti
Artak (di Madura), Wilis (di Bali), Buwe (di Flores), dan Tibowong Candi (di
Makassar) (Astawan, 2009). Dari segi taksonomi tumbuhan, kacang hijau
diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi: Spermatophyta; Kelas: Magnoliophyta;
Ordo: Fabales; Famili: Fabaceae; Genus: Vigna; Spesies: Vigna radiata (Lubis,
2021).
Kacang hijau termasuk dalam tanaman tahunan dengan masa hidup yang
relatif singkat, sekitar 60 hari. Batang kacang hijau tegak dan memiliki tinggi
bervariasi, berkisar antara 30 hingga 60 cm. Perbedaan utamanya terletak pada
cabang-cabangnya yang kebanyakan tumbuh mendatar, berbentuk bulat, dan
berbulu. Batang dan dahan tanaman berwarna hijau, sementara daunnya terdiri
dari tiga daun (trifoliate) dan tumbuh secara berselang-seling. Daun kacang hijau
memiliki warna hijau muda, tetapi ada juga yang berwarna hijau tua. Bunga
tanaman ini berwarna kuning, tersusun secara bergerombol, muncul di cabang dan
batang, dan memiliki kemampuan penyerbukan sendiri. Polong kacang hijau
berbentuk silindris dengan panjang berkisar antara 6 hingga 15 cm, sering kali
dilapisi oleh bulu-bulu halus. Polong pada tahap muda berwarna hijau dan
berubah menjadi coklat hingga hitam saat matang (Saputra, 2021)
Kacang hijau dapat ditanam mulai dari dataran rendah hingga ketinggian
500 m di atas permukaan laut. Untuk pertumbuhan yang optimal, kacang hijau
membutuhkan curah hujan sekitar 50-200 mm, dengan suhu berkisar antara 25-27
°C dan kelembaban udara 50-80%, serta paparan sinar matahari yang cukup.
Tanaman ini memerlukan tanah yang subur, gembur, kaya akan bahan organik
(humus), baik dalam aerasi dan drainase, serta memiliki pH tanah yang berkisar
antara 5,8 hingga 6,5 (Afif et al., 2014).
METODOLOGI
Jika LER = 1 maka efektivitas tanam tumpangsari sama saja dengan monokultur
LER > 1 maka tumpangsari lebih menguntungkan daripada
monokultur LER < 1 monokultur jauh lebih efisien daripada
tumpangsari
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, B., Kesauliya, N, L, H., Hidayat, W, G., Alua, I., Sawaki, P, M.,
Rumbewas, K, E, L., Tambun, V., Kurni, H, K., Homer, A., Rumi, W,
F, B. 2019. Sistem-Sistem Pertanian dalam Perspektif Ekosistem. Papua
Barat: Program Pascasarjana Unipa.
Afif, T., Kastono, D., dan Yudono, P. 2014. Pengaruh Macam Pupuk Kandang
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Kultivar Kacang Hijau (Vigna
radiata L. Wilczek) Di Lahan Pasir Pantai Bugel, Kulon
Progo. Vegetalika, 3(3), 78-88.
Djafar, M. F. Y., Astika, L., Hendrawan, W., Hasan, F., dan Yunus, F. M. (2021).
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Jagung Kelompok
Tani Bangkit Bersama Di Desa Ambara. AGRINESIA: Jurnal Ilmiah
Agribisnis, 5(2), 155-161.
Evizal, R., dan Prasmatiwi, F. E. 2021. Pilar dan Model Pertanaman Berkelanjutan
Di Indonesia. Jurnal Galung Tropika, 10(1), 126-137.
Fadhillah, G. I., Baskara, M., dan Sebayang, H. T. 2018. Pengaruh Waktu
Pengendalian Gulma pada Monokultur dan Tumpangsari Tanaman Jagung
(Zea mays L.) Dan Kacang Tanah (Arachis Hypogea L.). Jurnal Produksi
Tanaman, 6(1), 38-46.
Husain, T. K., Mulyo, J. H., dan Jamhari, J. 2016. Analisis Perbandingan
Keuntungan Dan Risiko Usaha Perikanan Rakyat Sistem Monokulur dan
Polikultur di Kabupaten Pangkep. Agro Ekonomi, 27(2), 136-149.
Lubis, N. 2021. Pengaruh Mikoriza dan Mikroba Pelarut Fosfat Terhadap Serapan
P dan Pertumbuhan dan Produksi Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Pada
Bekas Lahan Sawah. Juripol (Jurnal Institusi Politeknik Ganesha Medan),
4(2), 179-189.
Nasamsir, N., dan Harianto, H. 2018. Pertumbuhan dan Produktivitas Lahan
Tumpang Sari Tanaman Pinang (Areca catechu l.) dan Kopi (Coffea
sp.). Jurnal Media Pertanian, 3(2), 61-71.
Saputra, I. 2021. Aktivitas Insektisida Nabati Dari Minyak Atsiri Buah Cabai
Jawa (Piper retrofractum Vahl.) Terhadap Hama Gudang Callosobruchus
chinensis L. Pada Penyimpanan Benih Kacang Hijau. Doctoral
dissertation, Politeknik Negeri Lampung).
Saputro, H. A., Mahmudy, W. F., dan Dewi, C. (2015). Implementasi Algoritma
Genetika Untuk Optimasi Penggunaan Lahan Pertanian. Jurnal
Mahasiswa PTIIK, 5(12), 12.
Suleman, R., Kandowangko, N. Y., dan Abdul, A. 2019. Karakterisasi Morfologi
dan Analisis Proksimat Jagung (Zea mays, L.) Varietas Momala
Gorontalo. Jambura Edu Biosfer Journal, 1(2), 72-81.
Susilawati, A., dan Nursyamsi, D. 2014. Sistem Surjan: Kearifan Lokal Petani
Lahan Pasang Surut Dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim. Jurnal
sumberdaya lahan, 8(1), 31-42.
Syukur, M., dan Azis Rifianto, S. P. 2013. Jagung Manis. Penebar Swadaya Grup.
Tri, H. D. 2019. Kajian Ekonomi Antara Pola tanam Monokultur dan Tumpangsari
Tanaman Jagung, Kubis dan Bayam. Jurnal Inovasi, 18(1).
Vintarno, J., Sugandi, Y. S., dan Adiwisastra, J. 2019. Perkembangan Penyuluhan
Pertanian Dalam Mendukung Pertumbuhan Pertanian Di
Indonesia. Responsive, 1(3), 90-96.