Anda di halaman 1dari 12

LOKASI YANG BAIK UNTUK PERTUMBUHAN TANAMAN SAGU (Metroxylon sp.

Dosen Pengampu : Ariani Syahfitri Harahap, S.P., M.P.

Disusun Oleh

Rizky Kurniawan 2013010001

PROGRAM STUDI AGROTEKNLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
semua rahmatnya, penulis akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak
lupa, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ariani Syahfitri Harahap, S.P.,
M.P. Selaku Dosen pengampu, yang sudah mengizinkan penulis untuk memilih judul ini yaitu
(LOKASI YANG BAIK UNTUK PERTUMBUHAN TANAMAN SAGU (Metroxylon sp.) ).

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Produksi Tanaman
Alternatif. Tentu penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Meskipun begitu,
penulis berharap bahwa makalah ini bisa bermanfaat untuk orang lain. Apabila ada kritik dan
saran yang ingin disampaikan, penulis sangat terbuka dan dengan senang hati menerimanya.

Medan, 11 November 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................7
BAB III...................................................................................................................................................11
KESIMPULAN.......................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tanaman asli Indonesia, diduga berasal dari Maluku
dan Papua. Namun demikian, hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan
awal mula sagu ini dikenal. Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial di
samping beras, khususnya bagi masyarakat kawasan Timur Indonesia seperti Irian Jaya dan
Maluku. Potensi sagu sebagai sumber bahan pangan dan bahan industri telah disadari sejak
tahun 1970- an, namun sampai sekarang pengembangan tanaman sagu di Indonesia tidak
berlangsung pesat. Menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993), daerah utama kawasan
sagu di Indonesia adalah Papua, Maluku, Sulawesi Utara hingga Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau. Luas lahan sagu sampai saat ini belum
diketahui secara pasti, namun diperkirakan mencapai 1 juta ha yang tersebar di Papua
800.000, Maluku 50.000 ha, Sulawesi
40.000 ha, Kalimantan 45.000 ha, Sumatera 72.000 ha dan sisanya berada di Pulau Jawa.

Sagu (Metroxylon Spp) merupakan salah satu komoditi yang tinggi kandungan
karbohidrat sehingga dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat disamping beras, jagung,
atau singkong. Sagu dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan baku industri. Sagu
merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang sangat potensial dalam mendukung
program ketahanan pangan (Tarigans, 2001). Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di
daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Tanaman sagu memiliki
kemampuan tumbuh di lahan marginal, sehingga tanaman sagu menjadi salah satu sumber pati
andalan pada masa mendatang. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sebesar 2 juta
ton per tahun. Luas areal tanaman di Indonesia diperkirakan terdiri dari 1.250.000 Ha berasal
dari hutan dan
148.000 Ha areal perkebunan. Produksi sagu di Indonesia tersebar di beberapa daerah antara
lain Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan, Kepulauan Riau, Kepulauan Mentawai (Flach, 1997).
Indonesia memiliki potensi sagu sekitar 50% dari produksi sagu dunia, dan sekitar 90% potensi
sagu Indonesia ada di Papua, termasuk Papua Barat (Jong dan Widjono, 2007).
Potensi sagu indonesia yang cukup tinggi dapat memacu pengembangan industri sagu
indonesia. Di Lampung, tanaman sagu tumbuh secara alami pada daerah rendah. Secara
kuantitatif populasi sagu di Lampung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan matrial baku
untuk industri sagu. Beberapa daerah potensial perkebunan sagu di Lampung yaitu daerah Palas
2 Kabupaten Lampung Selatan dan daerah Lempasing Teluk Betung Barat (Kamal et al., 2000).
Proses pengolahan hasil pertanian menghasilkan produk dan buangan berupa limbah. Limbah
merupakan buangan yang tidak dimanfaatkan dan merugikan produsen bila tidak dikelola
dengan baik. Pati sagu diperoleh dari hasil ekstraksi batang sagu yang berumur 5 - 8 tahun.
Empelur batang sagu (Metroxylon Spp) mengandung pati sebesar 18,8% sampai 38,8%
(berat basah), sedangkan dalam berat kering per tanaman dapat mencapai 250 Kg (Flach, 1997).
Proses ekstraksi mengakibatkan air yang terbuang akan mengandung pati (Bujang dan Ahmad,
2000). Industri sagu umumnya melakukan proses pengolahan di daerah yang dekat sumber air
seperti di pinggir sungai ataupun anak sungai, karena batang sagu yang berasal dari perkebunan
atau hutan dibawa ketempat produksi dengan menggunakan transportasi air. Industri
pengolahan sagu dengan kapasitas yang besar dapat menyebabkan terjadi akumulasi sisa pati
sagu hasil pengolahan sagu.

Menurut Bujang dan Ahmad (2000), untuk menghasilkan 1 Kg tepung sagu akan
dihasilkan sekitar 20 Liter air limbah. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka akan terjadi
akumulasi limbah sagu yang akan mengakibatkan pencemaran air sungai (Amos, 2010).
Keberadaan limbah yang dihasilkan dari proses produksi akan menjadi kendala pengembangan
usaha bila tidak ditangani dengan benar yang berpotensi merusak lingkungan. Air limbah
industri sagu mengandung bahan organik dalam jumlah besar. Kandungan bahan organik yang
terdapat dalam air limbah industri sagu yaitu berupa pati, serat, lemak, dan protein. Menurut
Phang et al. (2000) dalam 3 Singhal et al. (2008) Air limbah industri sagu memiliki rasio
karbon, nitrogen, dan posfor yang sangat tinggi yaitu (105:0,12:1). Bahan organik yang cukup
tinggi dalam air limbah akan mempengaruhi kebutuhan oksigen mikroorganisme dalam
mendegradasi bahan organik tersebut.
Menurut Flach (1977) dalam Syakir et al. (2008), menyatakan bahwa dalam batang sagu
terdapat asam asam fenolat. Komposisi senyawa fenol batang sagu adalah kurang dari 1%
sedangkan kadar lignin berkisar antara 9 hingga 22% (Pei-Lang et al., 2006). Senyawa fenol
dapat bersifat racun bagi pertumbuhan mikroorganisme. Sehingga perlu dilakukan penelitian
terhadap sumber mikroorganisme yang dapat bertahan dan mendegradasi bahan organik dalam
air limbah industri sagu
BAB II
PEMBAHASAN

Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu tumbuhan dari keluarga palmae
wilayah tropic basah. Secara ekologi, sagu tumbuh pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah
rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa.
Habitat tumbuh sagu dicirikan oleh sifat tanah, air, mikro iklim, dan spesies vegetasi dalam
habitat itu. Secara umum terdapat tiga (3) jenis tanaman sagu yang dominan baik pada daerah
pasang surut dekat laut maupun daerah rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut
yaitu:

1. Sagu Molat/Roe (Metroxylonsagus Rottbol),

2. Sagu Tuni/Runggamanu (Metroxylonrumphii Martius), dan

3. Sagu Rotan/rui (Metoxylon microcanthum Martius).

Jenis sagu Molat/Roe paling banyak populasinya dibandinkan dengan jenis sagu lainya
karena jenis sagu tersebut lebih diminati dan lebih dikembangkan oleh masyarakat.
Sagu jenis Molat/Roe memiliki ciri : aci yang dihasilkan berwarna putih dan rasanya enak
sehingga jenis sagu ini yang banyak diolah untuk dijadikan bahan makanan. Sagu tumbuh
dalam bentuk rumpun. Setiap rumpun terdiri atas 1-8 batang sagu, dan pada setiap pangkal
tumbuh 5-7 batang anakan.

Tamanan Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut
(dpl), akan tetapi pertumbuhan optimum dapat dicapai pada ketinggian 400 m dpl (Haryanto
dan Pangloli, 1999). Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50 – 29oC dan
suhu minimal 15oC, dengan kelembaban nisbi 90%. Sagu dapat tumbuh baik di daerah 100 LS
- 150 LU dan 90 – 180 darajat BT, yang menerima energi cahaya matahari sepanjang tahun.
Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%. Kelembaban yang optimal
untuk pertumbuhannya adalah 60%.
Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik di daerah rawa dan daerah pasang surut
dimana tanaman lain sukar tumbuh (Watanabe, 1986). Dan rawa yang berair tawar atau daerah
rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan
rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan
kandungan tanah liat > 70% dan bahan organik 30%. Menurut (Schuiling dan Flach, 1985)
Tumbuhan sagu ditemukan paling banyak pada kondisi tanah rawa dan paling sedikit pada
kondisi tanah pinggir sungai. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning
coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi. Sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik,
latosol, andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah
lainnya. Sagu mampu tumbuh pada lahan yang memiliki keasaman tinggi. Pertumbuhan yang
paling baik terjadi pada tanah yang kadar bahan organiknya tinggi dan bereaksi sedikit asam pH
5,5 – 6,5.

Di negara seperti Malaysia dan Jepang, tanaman sagu sudah dikembangkan sejak
beberapa dasawarsa yang lalu (Widjono dan Lakuy, 2000). Sagu paling baik bila ditanam pada
tanah yang mempunyai pengaruh pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air
segar. Lingkungan yang paling baik untuk pertumbuhannya adalah daerah yang berlumpur,
dimana akar nafas tidak terendam (Flach, 1983). Anakan yang tumbuh disekitar pohon induk
dimusnahkan, pemusnahan dilakukan setelah tanaman berumur satu tahun hingga tiga tahun.
Penjarangan dilakukan dengan meninggalkan satu anakan tiap tahun sebaiknya tanaman tidak
tergenang air terus menerus. Anakan sagu dengan ukuran sedang memiliki daya tumbuh yang
tinggi (92,14%) diduga karena anakan ini berada pada fase pertumbuhan yang optimal,
sehingga pada saat disemai, anakan ini memiliki daya tumbuh yang tinggi dan diperoleh bibit
yang baik. Anakan sagu ukuran kecil diduga berada pada fase awal pertumbuhan dan akan
masuk pada pertumbuhan optimal, oleh karena itu daya tumbuhnya lebih rendah dari anakan
berukuran sedang tetapi lebih tinggi dari anakan berukuran besar. Kemampuan tumbuh anakan
sagu yang berukuran besar, lebih rendah dari ukuran yang kecil dan sedang. Hal ini diduga
karena sebagian besar energi hasil metabolisme digunakan untuk penyembuhan luka sayatan
sehingga menghambat pertumbuhan tunas (daun baru) dan akar (Taulu et al., 2000).
Selain itu, anakan yang berukuran besar umurnya lebih tua dari anakan sedang dan kecil
dan fase pertumbuhannya telah melewati fase pertumbuhan optimal sehingga daya tumbuhnya
rendah. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa ukuran dalam hal ini berat anakan sagu
yang digunakan sebagai bahan tanaman, sangat menentukan kemampuan tumbuh anakan
tersebut menjadi bibit. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Taulu et al. (2000) maka
hasil penelitian ini lebih baik, yang ditandai dengan tingginya daya tumbuh anakan menjadi
bibit (92,14%). Hal ini disebabkan, penelitian terdahulu menggunakan wadah berisi satu anakan
sagu. Pesemaian dengan cara ini dalam keadaan anaerob, sehingga akar anakan sagu tidak
mendapat oksigen yang cukup untuk proses pertumbuhannya. Pada penelitian ini, anakan sagu
disemai di atas rakit yang diletakkan di atas air yang mengalir (saluran air tertier). Jadi
pesemaian dalam kondisi aerob, sehingga akar anakan sagu memperoleh
oksigen yang cukup untuk proses pertumbuhannya.
Oleh karena itu, anakan sagu yang disemai di atas rakit
mempunyai daya tumbuh yang lebih tinggi dari anakan
sagu yang disemai dalam pot yang berisi tanah tapi
dalam kondisi air yang tergenang. Jadi untuk
mendapatkan bibit sagu yang baik, anakan sagu yang
akan digunakan sebagai bahan tanaman harus berukuran
sedang (2,1 kg – 3,0 kg) dan disemai di atas rakit yang
diletakkan di atas air yang mengalir.

Ada 5 fase pertumbuhan tumbuhan sagu yaitu:

1. Pembentukkan (Establishment), terjadi pada perkecambahan sampai pembentukkan


dua daun muda pertama
2. Roset (Rosette), mulai dari pembentukan dua daun pertama sampai terbentuk
daun dewasa pertama
3. Pembentukan batang (Trunk formation), secara normal sejalan dengan
pembentukan satu daun dewasa perbulan
4. Pembungaan (Flower initiation), sejalan dengan bertambahnya jumlah daun
yang memendek dan pembentukan bunga
5. Pembentukan dan kemunduran (Fruit formation and deterioration),
mulai pembentukan buah sampai tumbuhan sagu mati.

Panen dapat dilakukan mulai umur 6-7 tahun, atau bila ujung batang mulai
membengkak disusul keluarnya selubung bunga dan pelepah daun berwarna putih terutama
pada bagian luarnya. Tinggi pohon 10-15 m, diameter 60-70 cm, tebal kulit luar 10 cm, dan
tebal batang yang mengandung sagu 50-60 cm. Ciri pohon sagu siap panen pada umumnya
dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang.
BAB III
KESIMPULAN

1. Menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993), daerah utama kawasan sagu di


Indonesia adalah Papua, Maluku, Sulawesi Utara hingga Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau.
2. Tamanan Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut
(dpl), akan tetapi pertumbuhan optimum dapat dicapai pada ketinggian 400 m dpl
(Haryanto dan Pangloli, 1999).
3. Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik di daerah rawa dan daerah pasang surut
dimana tanaman lain sukar tumbuh (Watanabe, 1986). Dan rawa yang berair tawar atau
daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air,
atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-
rawa air tawar dengan kandungan tanah liat > 70% dan bahan organik 30%.
4. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam
dengan kadar bahan organik tinggi. Sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol,
andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah
lainnya.
5. Anakan sagu yang disemai di atas rakit mempunyai daya tumbuh yang lebih tinggi dari
anakan sagu yang disemai dalam pot yang berisi tanah tapi dalam kondisi air yang
tergenang. Namun, bibit anakan sagu yang baik yang akan digunakan sebagai bahan
tanaman harus berukuran sedang (2,1 kg – 3,0 kg) dan disemai di atas rakit yang
diletakkan di atas air yang mengalir.
DAFTAR PUSTAKA

Tarigans, D.D. 2001. Sagu memantapkan swasembada pangan. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian
Watanabe, H. 1986. A view an density management of sago palm in Batu Pahat,
Malaysia. P.71-74. in Yamada N. Kainuma K. (eds) Sago 85. the third int.
Sago Symp. Tokya Japan, May 20-23. The Sago Palm Research Fund.
Haryanto, B., dan P. Pangloli, 1999. Potensi dan pemanfaatan sagu. Penerbit Kanisius,
Yokyakarta.
Flach, 1983. The sago palm. Domestication, exploitation and product,
FAO, Rome P.85
Taulu, D.B., R.B. Maliangkay dan M. Polnaja. 2000. Penangaanan anakan sagu
sebagai bahan tanaman. Laporan Hasil Penelitian 2000. Balai Penelitian
Tanaman Kelapa dan Palma Lain.
Schuiling, D. L. dan M. Flach., 1985. Guidelines for the Cultivation of Sago Palm. Dept.
Of Tropical Crop Science. Agric. Univ. Of Wageningen. The Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai