Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Sagu (Metroxylon sago Rottb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan

diyakini berasal dari Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua dan tersebar di kepulauan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (Lokakarya Sagu, 2007). Luas perkebunan sagu diperkirakan 1,2 juta ha dan di Riau berkisar antara 69.916 ha (Azaly, 2008). Sagu memiliki beberapa potensi, yakni sebagai sumber pangan dan bahan industri (Lokakarya Sagu, 2007). Sebagai sumber pangan sagu dapat diolah menjadi berbagai macam makanan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Sedangkan sebagai sumber bahan industri sagu dapat diolah menjadi tepung. Dari tepung sagu dapat dibuat bahan perekat dan plastik karena mudah terurai secara alami (biodegradable). Peningkatan jumlah produksi sagu berbanding lurus dengan peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan. Limbah yang berasal dari pengolahan sagu terbagi menjadi limbah padat, cair, dan gas. Limbah berbentuk padat dan cair belum diolah secara maksimal dan masih menggunakan sistem sederhana yang langsung dialirkan ke dalam sungai yang mengalir di sekitar kawasan kilang sagu. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran disekitar sungai tersebut bahkan mengakibatkan kedangkalan sungai. Limbah yang berbentuk gas berasal dari cerobong asap yang sangat berpotensi menyebabkan pencemaran udara, karena mengandung gas CO, NOx
,CO2

dan lainnya. Dewasa ini penanganan limbah padat berupa ampas sagu belum dimanfaatkan

secara optimal. Ampas sagu diyakini masih memiliki komposisi senyawa kimia karbon berupa senyawa selulosa (Flach, 1997). Sehingga sangat mungkin untuk dijadikan keperluan lain yang lebih bermanfaat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengomposan ampas sagu tersebut menjadi pupuk organik.

Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik seperti sisa tumbuhan (ampas sagu) dan hewan yang dibuat melalui proses fermentasi. Kualitas dari pupuk juga ditentukan dari variasi bahan dan ketersediaan unsur hara yang diperlukan bagi tanah dan tanaman. Tapi kendala yang dihadapi pada proses pengomposan yakni lama pengomposan atau waktu yang diperlukan untuk pengomposan. . Sistem pengomposan alami memerlukan waktu relatif lebih lama. Tiga bulan kadang lebih merupakan waktu yang biasanya diperlukan untuk pengomposan bahanbahan organik tersebut. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mempercepat proses pengomposan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme seperti penggunaan teknologi EM (Effective Microorganism) yang ditemukan seorang ahli mikrobiologi bernama Prof. Teruo Higa di Jepang tahun 1980-an. Mikroorganisme efektif adalah suatu kultur campuran berbagai

mikroorganisme yang bermanfaat (terutama bakteri asam laktat,bakteri fotosintesis, actinomycetes, dan jamur peragian) yang dapat digunakan untuk merubah senyawa kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana (Myint, 2003) sehingga dapat mempertinggi kualitas tanah, peningkatan unsur hara dan pertumbuhan serta peningkatan hasil tanaman pangan dalam sistem pertanian (Higa, 1994). Dengan bantuan teknologi EM ini, pengomposan akan berjalan lebih cepat. Kultur EM yang dipasarkan di Indonesia adalah EM-4 dengan komposisi mikroba berdasarkan kondisi iklim, yang mendapatkan sinar matahari 12 jam perhari sepanjang tahun. Sedangkan EM-5 adalah turunan dari larutan EM-4 yang digunakan untuk biokontrol tanaman (Kato dkk, 2004). Karmiani (2007) dari kelompok Bokashi UR juga telah membuktikan bahwa ketersedian unsur-unsur hara (N, P, K dan rasio C/N) pada pupuk organik yang difermentasikan dengan teknologi EM memberikan hasil yang tinggi dan mendekati rasio C/N tanah. Hal ini menandakan bahwa penggunaan teknologi EM untuk pengomposan bahan-bahan organik dapat mencukupi unsur hara bagi peremajaan tanah dan tanaman.

Pada penelitian ini akan diuji pengaruh penambahan EM-4 (efektif mikroorganisme) pada pembuatan kompos dari ampas sagu yang dikombinasikan dengan bahan-bahan organik lain melalui tersedianya unsur-unsur hara N, P, K serta menguraikan senyawa organik, melalui analisis C/N.

1.2

Perumusan Masalah Penanganan limbah padat sagu dewasa ini belum dimanfaatkan secara optimal

dan masih dalam skala sederhana. Biasanya limbah dialirkan ke dalam sungai yang berakibat pada pencemaran dan kedangkalan sungai yang berada di sekitar kilang. Dilihat dari komposisi kimianya, ampas sagu yang merupakan limbah padat masih mengandung senyawa karbon asam fenolik dan selulosa yang sangat mungkin dijadikan sumber karbon untuk pembuatan kompos, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis dari limbah tersebut. Pada penelitian limbah ampas sagu akan diolah menjadi kompos yang dicampur dengan kotoran ayam serta serbuk kayu yang difermentasikan dengan EM-4 dan EM-5 sebagai starternya. Kualitas dari kompos akan di uji mulai hari 0, 5, 10, 15, dan 20 hari hasil fermentasi terhadap parameter N, P, K dan rasio C/N. Pengukuran kadar Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Rasio C/N dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer sedangkan Kalium (K) dengan flame fotometer. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan kandungan unsur N, P, K dan rasio C/N pada pupuk organik yang berasal dari pengomposan limbah ampas sagu dengan bahan-bahan organik. 2. Menentukan waktu optimal fermentasi terhadap kualitas pupuk yang dihasilkan.

1.4

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksankan dengan pembuatan kompos di saung (area

perkebunan Komppos UR), dan analisis ketersediaan unsur hara di Laboratorium Analitik dan Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. Penelitian ini dilakukan lebih kurang 6 bulan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Sagu Sagu sebagai bahan makanan sudah lama dikenal oleh sebagian besar

masayrakat Indonesia, Semula penduduk Maluku mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok. Pada tahun 1978 hanya sekitar 59% penduduk Maluku yang makanan pokoknya sagu (Haryanto dan Pangloli,1991). Selain Maluku penduduk Indonesia yang makanan pokoknya sagu adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Mentawai, Kepulauan Riau dan penduduk dipulau kecil. Sagu (Metroxylon spp) yang sebagian besar tumbuh secara alami memiliki multifungsi bagi kehidupan manusia. Pati yang dikandung dalam batang sagu dapat digunakan sebagai bahan pangan yang potensial dan dapat juga dimanfaatkan untuk bahan baku agroindustri. Selain itu tumbuhan sagu dapat berperan sebagai pengaman lingkungan karena dapat mengabsorbsi emisi gas CO2 yang ditransmisikan dari lahan rawa dan gambut ke udara. Emisi gas CO2 dan NH4 yang ditransmisikan ke udara bervariasi dari 25-200mg /m2/jam. (Boss dan Plassche,2003). Adanya tegakan hutan sagu gas yang ditransmisikan ke udara akan sangat berkurang karena gas CO 2 digunakan untuk fotosintesis. Sagu (metroxylon spp) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang paling potensial di Indonesia yang dapat digunakan untuk penganekaragaman pangan sesuai INPRES No. 20 tahun 1979 (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu merupakan alternatif pada saat krisis pangan dan dapat didayagunakan bagi pengelolaan, pengendalian, dan pelestarian lingkungan (Bintoro, 1999). Pati sagu mengandung 84,7% karbohidrat yang terdiri atas 73% amilopektin dan 27% amilosa (Wiyono dan Silitonga,1989). Menurut (Flach, 1997) manfaat sagu adalah daun dapat dijadikan atap rumah sedangkan batang untuk diambil patinya dan pakan ternak dan agroindustri lainnya.

2.2

Limbah Pabrik Sagu Proses pengolahan sagu menjadi bahan baku siap pakai menghasilkan produk

sampingan berupa limbah cair, padat dan gas yang berasal dari unit pengolahan, sterilisasi, dan klarifikasi. Limbah cair dari sagu ini berwarna putih kekuningan yang dihasilkan langsung dari proses pemisahan pati dan kulit ampas yang dialiri ke dalam wadah tampungan. Lalu dari wadah tampungan langsung difilter dan terbuang ke sungai. Walaupun sudah disaring dalam beberapa kali, limbah cairan membuat air sungai tercemar. Berdasarkan pantauan pada tahun 2010 lalu, air sungai sudah menjadi berwarna lebih gelap daripada biasanya. Limbah padat terbagi atas dua yakni limbah yang tertinggal di perkebunan dan limbah hasil produksi yang berada di pabrik sagu. Limbah yang tertinggal di perkebunan terdiri dari daun-daun sisa dan tunggul. Daun-daun sisa tebangan itu tidak menjadi masalah karena biasanya jauh dari pemukiman penduduk dan seiring dengan waktu akan mengalami penguraian. Namun yang menjadi limbah yang berbahaya yang dapat mencemari sungai adalah ampas sagu yang berasal dari pengolahan sagu. Ampas sagu ini biasanya langsung dibuang ke sungai tanpa ada penyaringan lebih lanjut. Dan untuk mengurangi limbah yang terbuang ke sungai perlu adanya penelitian tentang ampas sagu ini.. Limbah gas berasal dari pembakaran yang berasal dari pabrik sagu. Limbah ini langsung menyatu dengan udara. Contoh limbah gas yang berasal dari pengolahan sagu ini adalah gas karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2). Gas ini akan membuat kita merasa sesak napas ataupun batuk ketika berada di dekat pabrik sagu. Dampak dari limbah gas yang terlalu lama akan membuat udara sekitar lingkungan pabrik akan tercemar. Namun dewasa ini pencemaran akibat limbah gas masih bisa teratasi karena adanya tanaman sagu yang terus ditanam warga atau meregenerisasi kebun mereka.

2.3

Ampas Sagu Ampas sagu adalah limbah padat yang berasal dari pengolahan sagu. Ampas

sagu ini biasanya dibuang ke dalam sungai tanpa mengalami proses lebih lanjut. Ampas ini berasal dari sagu yang telah diambil ekstraknya. Penanganan limbah ampas sagu ini pada kilang Sagu Harapan belum cukup efektif. Mereka hanya menjemur untuk makanan ternak dan belum ada penelitian tentang ampas sagu ini dilingkungan kilang tersebut. Ampas sagu yang tentunya masih mengandung pati dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Horigome et al. 1990). Dan juga dapat meningkatkan bobot daun tanaman bayam pada saat panen (Bintoro, 1996). Di samping itu juga pati yang masih tertinggal bersama ampas juga dapat dimanfaatkan dan dijadikan alternatif penggunaan pupuk kandang khususnya kotoran kambing untuk tanaman palawija dan perkebunan yakni bibit cengkeh dan kelapa sawit. (Bintoro dan Sudarman ,1996). Tabel 1. Pengaruh Berbagai Media terhadap Pertumbuhan Bibit Cengkeh Umur 8 Bulan (Bintoro dan Sudirma, 1996) Jenis Media M0 31.8 a 23.5 a 14.0 a 4.0 a M1 53.1 b 50.9 b 18.2 b 8.9 b M2 51.8 b 52.8 b 18.0 b 9.6 b M3 53.9 b 51.9 b 17.6 b 9.6 b

Variabel Tinggi (cm) Jumlah daun Luas daun(cm2) Bobot kering tajuk (g) Bobot kering akar (g)
Keterangan:

0.9 a

2.3 b

2.5 b

2.5 b

Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ 5%:M0 : 100% tanah, M1 : tanah : ampas sagu= 2:1, M2 : tanah : kotoran kambing = 2:1M3 : tanah : ampas sagu : kotoran ayam = 4:1:1 (sumber Bintoro1996)

Dari tabel dapat dilihat bahwa bibit cengkeh yang ditanam di media yang diberi ampas sagu, kotoran kambing maupun campuran kotoran kambing dengan ampas sagu akan memberikan hasil yang lebih baik daripada bibit cengkeh yang ditanam pada media tanah saja. Hal ini diperkuat bahwa kandungan organik bahan bahan yang dikombinasikan dengan ampas sagu memberikan unsur hara yang sangat baik bagi tanaman (Bintoro dan Sudirman, 1996). Bibit cengkeh yang tumbuh di media yang diberi perlakuan yang tersebut diatas perbedaanya tidak nyata pada (p<0.05). Bintoro dan Sudirman 1996 juga melihat waktu dekomposisi ampas sagu yang dilakukan dengan penambahan kotoran sapi dapat menambah diameter batang. Tabel 2. Interaksi Waktu Dekomposisi dengan Penambahan Kotoran Sapi terhadap Diameter Batang Kelapa Sawit pada Minggu ke 12 (Bintoro dan Sudarman,1996) Dosis kotoran sapi Waktu dekomposis 0 4 6 .cm.. 0% 15 % 20 % 25 % 7.8 ab 11.1 ab 10.0 ab 11.9 ab 10.9 ab 10.7 ab 9.6 ab 8.3 a 10.9 ab 11.9 ab 13.8 b 9.8 ab

Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNI 5%

Tabel 3. Pengaruh waktu Dekomposisi (Bintoro dan Sudarman ,1996) Waktu dekomposisi ampas sagu (minggu) 0 4 6 Segar Kering Segar Kering Saat 4 bulan helai 6.5 6.2 6.7 Bobot tajuk Bobot akar Jumlah daun

g. 10.5 11.4 14.2 2.7 2.9 3.8

...g.. 3.2 4.2 5.1 1.0 1.1 1.4

Ampas sagu yang di dekomposisi 6 minggu tampaknya sudah dapat digunakan untuk memupuk bibit kelapa sawit. Semakin lama waktu dekomposisi akan lebih baik bagi bibit kelapa sawit. Hal ini terlihat pada diameter batang, bobot tajuk dan akar serta jumlah daun. Namun demikian perlu penelitian lebih jauh karena waktu dekomposisi ampas sagu sangat dipengaruhi oleh mikroorganisme yang tumbuh di dalamnya. 2.4. Efektif Mikroorganisme (EM) Efektif Mikroorganisme (EM-4) merupakan suatu kultur campuran berbagai mikroorganisme yang bermanfaat dan dapat hidup secara sinergis-mutualisme dalam suatu kultur campuran dan secara biologis dapat menyatu dengan baik. Bila kultur ini dimasukkan ke dalam lingkungan alami, maka pengaruh dari masing-masing akan lebih berlipat ganda secara sinergik. EM-4 tidak mengandung mikroorganisme yang secara genetik telah dimodifikasi, melainkan terbuat dari kultur campuran berbagai spesies mikroba yang telah diisolasi dari alam (Kato dkk., 2004). Efektif mikroorganisme (EM-4) dapat menigkatkan fermentasi limbah sampah organik dan meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman. Selain itu, EM-4 dapat menekan aktivitas serangga, hama dan mikroorganisme patogen lainnya (Djuarnani, 2005).

Mikroorganisme yang terdapat dalam EM terdiri dari 5 golongan besar yaitu: 1. Bakteri fotosintetik (bakteri fototrofik) Bakteri fotosintetik merupakan mikroorganisme yang mandiri dan swasembada, Bakteri fotosintetik dapat mengubah CO2 dari udara dan hidrogen sulfida (H2S) menjadi zat-zat seperti asam-asam amino, asam nukleat, dan gula dengan menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi. Hasil metabolisme dari bakteri fotosintetik tersebut dapat diserap secara langsung oleh tanaman dan sekaligus berfungsi sebagai substrat bagi bakteri atau mikroorganisme lainnya (Apnan, 2003). Persamaan reaksi umum fotosintesis:
ari CO2 + H2O Sinarmatah O2 + (CH2O)n

Persamaan reaksi oleh fotosintetik bakteria CO2 + H2S Sinarmatahari O2 + (CH2O)n + S 2. Bakteri asam laktat Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dan glukosa, selain itu bakteri asam laktat mempunyai kemampuan untuk menekan pertumbuhan fusarium yang merupakan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dan mematikan tanaman. Dengan meningkatnya serangan penyakit oleh fusarium mengakibatkan bertambah banyaknya jumlah cacing yang merugikan secara tiba-tiba. Cacing tersebut akan hilang secara berangsur-angsur dengan kehadiran asam laktat (Apnan, 1997). Contoh bakteri asam laktat adalah Laktobasillus bulgaricus dan Streptococcus lactis (Apnan, 2003). Reaksi perubahan dari glukosa menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat C6H12O6 bakteriasamlaktat 2C 3H6O3 3. Ragi Ragi dapat menghasilkan zat anti bakteri dan bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Ragi yang terdapat dalam EM-4 terdiri dari Aspergillus, Saccharomyces, Candida, dan Hansenula yang berperan menyederhanakan amilum dan menguraikan glukosa menjadi alkohol serta bermacam-macam zat organik lainnya. Selain itu bakteri Acetobacter yang berperan mengubah alkohol menjadi asam cuka. Zat-zat

10

bioaktif seperti hormon dan enzim yang dihasilkan oleh ragi dapat meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar (Apnan, 2003). Reaksi perubahan dari glukosa menjadi etanol C6H12O6 ragi C2H5OH + CO2 4. Bakteri Actinomycetes Bakteri Actinomycetes merupakan mikroba heterotropik yang mampu mendekomposisi bahan organik didalam tanah maupun didalam bahan kompos. Actinomycetes mampu menembuskan tanah untuk mencari jaringan tanaman yang telah terdekomposisi. Selain itu, Actinomycetes berperan penting karena mampu mengurai beberapa jenis senyawa yang tahan terhadap dekomposisi bakteri, seperti selulosa, hemiselulosa, keratin, kitin, dan asam oksalat (Semangun, 2007). 5. Jamur fermentasi (peragian) Jamur fermentasi seperti Aspergillus dan Penicillium dapat menguraikan bahanbahan organik untuk menghasilkan alkohol, ester, dan zat-zat antimikroba. Zat-zat inilah yang berfungsi untuk menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga serta ulat tanah maupun daun yang sifatnya merugikan (Apnan, 1997). Beberapa pengaruh efektif mikroorganisme yang menguntungkan antara lain: a. Memperbaiki perkecambahan bunga, buah, dan kematangan hasil tanaman. b. Memperbaiki lingkungan fisik, kimia, dan biologis tanah serta menekan pertumbuhan hama dan penyakit tanah. c. Meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman. d. Mempercepat perkecambahan dan pertumbuhan tanaman. e. Mempercepat dekomposisi atau penguraian bahan organik menjadi pupuk. 2.5 Efektif Mikroorganisme-5 (EM-5) Efektif mikroorganisme (EM-5) merupakan penangkal serangga yang sifatnya non-kimia dan tidak beracun. EM-5 mampu menggantikan 50-70% dosis pupuk dalam menghasilkan panjang dan berat segar tongkol jagung (Simanihuruk, 2002). EM-5 terdiri dari alkohol, asam asetat, gula merah, dan EM-4. Untuk membuat EM-5 yang efektif terhadap hama dan penyakit yang terus menerus ada, maka perlu

11

ditambahkan lebih banyak bahan organik yang mengandung obat-obatan, misalnya bahan organik yang mengandung antioksidan seperti bawang putih, sebelum digunakan bahan tersebut terlebih dahulu diblender (Hasibuan, 2007). Perawatan tanaman dengan menggunakan pupuk bokashi dan EM-5 sebagai biokontrol memperlihatkan kadar fenolik (92,69%) dan flavonoid (85,71%) pada tanaman bangun-bangun (Suryanti, 2010).

2.6 2.6.1

Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium(K), Karbon(C), dan Rasio C/N Nitrogen Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro utama yang sangat penting untuk

pertumbuhan tanaman. Nitrogen diserap dalam bentuk ion NO3- atau NH4+ dari tanah. Kadar nitrogen rata-rata dalam jaringan tanaman berkisar 2-4 % berat kering. Dalam tanah kadar nitrogen sangat bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan seperti iklim, variasi vegetasi,topografi dan pengolahan tanah (Rosmarkan,2002). Nitrogen dalam tanah sebagian besar ditemukan dalam bentuk organik. Sedangkan bentuk yang tersedia bagi tanaman seperti ammonium dan nitrat relative kecil. Unsur Nitrogen mudah hilang dari tanah yang disebabkan oleh penyerapan tanaman,erosi dan hilang dalam proses denitrifikasi. Sumber utama nitrogen berasal dari gas N2 di atmosfir. Kadar gas nitrogen di atmosfir bumi sekitar 79%. Walaupun jumlahnya sangat besar tetapi nitrogen belum dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan tingkat tinggi secara langsung, kecuali dalam bentuk yang tersedia seperti ammonium dan nitrat (Foth,1994). Nitrogen diikat oleh tanaman dengan berbagai cara seperti yang ditunjukkan oleh gambar:

12

Gambar 1. Siklus nitrogen di udara (sumber: chemistry.org) Fikasasi nitrogen dari udara dapat dilakukan oleh mikroorganisme prokariotik seperti Acetobacter dan Rhizobium atau dengan bantuan kilat yang terjadi di atmosfer. Di dalam tanah persenyawaan nitrogen akan mengalami beberapa proses kimia diantaranya (Wiliams,2001) : 1. Aminisasi Pada proses ini protein akan mengalami perubahan melalui proses enzimatik yang dilkukan oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino. Protein 2. Amonifikasi Pada proses ini asam-asam amino akan dimanfaatkan oleh bakteri heterotrop dan dirubah menjadi ammonium R NH2 + H2O
hidrogenase mikroorgnisme

asam amino + CO2 + energy

R-OH + NH2 + energi

13

3. Nitrifikasi Nitrifikasi merupakan proses oksidasi ammonium yang dilakukan oleh bakteri tertentu dalam dua tahap reaksi. Tahap pertama terjadi pembentukan nitrit dan pada tahap kedua terjadi oksidasi nitrit menjadi nitrat. NH3 NO2 4. Denitrifikasi Jika dalam tanah kaya senyawa nitrat namun lingkungan miskin dengan oksigen akan hidup dan berkembang bakteri anaerob. Bakteri ini akan mereduksi nitrat menjadi gas nitrogen yang dibebaskan ke atmosfer: NO3 + (CH2O)n + H+
thlobacillusdenirtrificans

+ O2 + O2

Nitrosomonas

NO2 NO

+ H2O + H+

nitrobacter

N2 + CO2 + H2O

Nitrogen dibutuhkan oleh tanaman untuk mensintesis asam amino yang selanjutnya akan membentuk protein. Apabila tanaman kekurangan unsur nitrogen akan gejala sebagai berikut : (Poerwowidodo,1992): 2.6.2 Warna daun menjadi hijau muda,apabila keadaan ini terus berlanjut maka warna daun akan menjadi kuning dan akhirnya layu. Tanaman menjadi kerdil dan perkembangan perkaranya terbatas Pematangan buah tidak sempurna (buah masak sebelum waktunya)

Fosfor (P) Fosfor merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah yang cukup besar oleh

tanaman. Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen dan kalium. Tetapi fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (Key of life). Tanaman menyerap fosfor dalm bentuk ion ortofosfat (H2PO4-HPO2-.PO4). Jumlah masingmasing bentuk tergantung pada pH tanah, jika pH rendah (asam) akan hanya akan ditemukan ion H2PO4-, tetapi jika pH dinaikkan maka bentuk HPO4 yang dominan.

14

Apabila pH dinaikkan lebih tinggi lagi maka bentuk PO2= yang akan dominan dalam tanah (Rosmarkan,2002). Siklus fosfor di alam ditunjukkan pada gambar 2. Fosfor dalam tanah dapat digolongkan menjadi P organik dan P anorganik. P organik berasal dari humus atau bahan organik lain yang mengalami dekomposisi dan melepaskan P ke tanah. Sedangkan P anorganik terdapat dalam berbagai ikatan dengan Al, Fe, Ca, dan Mn. Pada umumnya konsentrasi P anorganik lebih tinggi dari pada P organik. Ketersediaan P tanah untuk tanaman dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri. P menjadi tidak tersedia dan tidak larut disebabkan adanya fiksasi dari mineralmineral liat dan ion Al, Fe, Mg, ataupun Ca yang banyak larut, membentuk kompleks yang tidak larut (Lingga,2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan P dalam tanah (Nyakpa,1998) adalah : Tekstur tanah pH tanah Waktu reaksi Suhu Kandungan bahan organik

Tanaman membutuhkan fosfor untuk: Penyusunan inti sel, pembelahan sel serta perkembangan jaringan meristem. Penyimpanan dan pemindahan energi Transportasi electron Pengangkutan ion hara

15

Gambar 2. Siklus fosfor di alam (Wiliams,2001) 2.6.3 Kalium (K) Kalium (K) diserap tumbuhan dalam bentuk ion K+. Kalium tergolong unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel dan dalam jaringan xylem dan floem. Kalium banyak terdapat sitoplasma yang berperan untuk pengaturan tekanan osmosis dalam sel. Dalam sitoplasma kisaran konsentrasi K relative besar 100-200 mM dan dalam kloroplas 20-200 mM. Kalium dalam tanah tidak selalu dalam keadaan tersedia, tapi berubah dari bentuk yang lambat tersedia menjadi K yang relatif tidak tersedia dan kemudian menjadi K yang tersedia. (Gambar 3). K relative tidak tersedia (feldspat,mika) 90% 98%

K Lambat tersedia (K tidak dapat tertukar (difraksi) 1-10%

K mudah tersedia (dapat K tertukar dan K dalam larutan tanah )1-2%

Gambar 3. Bagan Pertukaran Bentuk K dalam tanah (Nyakpa,1998)

16

Hal ini disebabkan K tersedia mengadakan keseimbangan dengan bentukbentuk lainnya dalam tanah. Keseimbangan K dan unsure lain dalam tanah mempengaruhi kesuburan tanah, karena sifat fisiologis tanaman sering memerlukan K yang seimbang dengan unsur lain. Misalnya, tekanan turgor tanaman dipengaruhi oleh kalium dan kalsium (Ca). Disamping itu K sering memiliki sifat berlawanan dengan unsur lain. Ketidakseimbangan K dengan unsur lain pada tanaman dapat menyebabkan kekurangan salah satu unsure lain dalam tanaman. (Rosmarkam,2002). Peranan kalium pada tanaman antara lain: Membentuk dan mengangkut karbohidrat Katalisator dalam pembentukan protein Menaikkan pertumbuhan jaringan meristem Mengatur pergerakan stomata Meningkatkan kualitas buah karena bentuk dan wrna yang lebihmenarik Mengatur tekanan turgor tanaman. 2.6.4 Karbon (C) Tanaman memerlukan karbon, oksigen dan hidrogen yang didapat dari udara berupa CO2 dan O2 serta dari tanah yang mengandung H2O dan unsur-unsur lainnya untuk pembentukan protein dan fungsi fisiologis tanaman itu sendiri (Dwidjoseputro,1980). Unsur karbon di tanah sebagian besar berupa karbon organic yang berasal dari sisa-sisa makhluk hidup baik tanaman dan hewan yang telah mati. Sisa dari bagian makhluk hidup itu akan mengalami proses dekomposisi oleh berbagai

mikroorganisme tanah sehinggs menghasilkan senyawa anorganik atau mineral seperti gas karbondioksida, air dan berbagai macam garam yang dapat diserap oleh tanaman (Sutedjo 1991). Fotosintesis yang dilakukan oleh tanaman merupakan proses penyerapan karbondioksida (CO2) dari udara secara difusi melalui permukaan mulut daun

17

(stomata) yang berfungsi membentuk glukosa dan oksigen yang diperlukan oleh makhluk hidup. 2.6.5 Ratio C/N Pencampuran bahan-bahan organik yang mempunyai perbandingan C/N rendah dan tinggi dianjurkan dalam pembuatan fermentasi kali ini. Untuk peningkatan keragaman mikroba sangat dianjurkan untuk menggunakan 3 macam bahan organik. Bahan-bahan tersebut merupakan tempat tumbuh dan berkembang bagi mikroorganisme efektif yang akan memperbaiki ketersediaan unsur hara dan senyawa-senyawa bioaktif bagi tanaman (Anonimous,2002) Apabila perbandingan C/N tinggi maka perombakan mikroba berjalan lambat sedangkan perbandingan C/N rendah, perombakan mikroba akan berjalan cepat karena unsur nitrogen tinggi dimana nitrogen adalah penguraian senyawa-senyawa organik yang lebih sederhana yang merupakan suatu keharusan bagi biosintesis asam amino yang merupakan unit pembangun protein dan asam nuklet bernitrogen. Unsur hara ini berasal dari penguraian senyawa organic didalam tanah yang dapat diserap oleh tanaman. Perubahan bahan organik selama proses pengomposan mengakibatkan kadar karbohidarat akan berkurang bahkan hilang, sedangkan unsur N yang terlarut (amonia) meningkat, oleh karena itu perbandingan C/N akan semakin semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Prihmantoro,2002). 2.7 2.7.1 Teori Analisis Nitrogen (N) Pada penelitian ini nitrogen tersedia dianalisis dalam bentuk nitrat, Nitrat diekstraksi dengan air suling karena nitrat sangat mudah larut dalam air, kemudian penentuan nitrat dengan mereaksiakan dengan asam fenol disulfonat menghasilkan kompleks berwarna kuning gelap dari senyawa 6 nitro 1,2,4-phenoldisulfonat

(Elfiyenty,2002). Senyawa kompleks yang berwarna kuning gelap ditentukan dengan spektrofotometer yang diukur pada panjang gelombang 405 nm.

18

2.7.2

Fosfor (P) Fosfor tersedia dalam bentuk ortofosfat. Ortofosfat diekstraksi dengan metode

Olsen dimana zat pengekstraknya adalah NaHCO3 0,5 N pH 8,5. Fosfat dalam suasana netral atau sedikit asam terikat dengan Al-FePO4 . Pengekstrak natrium bikarbonat akan mengendapkan bereaksi dengan Al dan Fe menjadi Al-Fe hidroksida sehingga ion ortofosfat dibebaskan dalam larutan . Selanjutnya ortofosfat ditentukan dengan metode asam askorbat. Amonium molibdat dan kalium antimronil tartarat bereaksi dalam suasana asam dengan ortofosfat hingga membentuk asam fofsfomolibdat. Asam fosfomolibdat tersebut kemudian direduksi oleh asam askorbat menjadi molybdenum biru (Asnawati,1994). Reaksi lengkap: 2H3PO4 + 24 (NH4)2 MoO4 + 6K(SbO)C4H4O6.1/2H2O +21 H2SO4 Fosfat Ammonium Molibdat Kalium Antimonil tartarat

2(K)3PO4 12MnO3 + 3NH3(SbO)C4H4O6.1/2H2O + 21(NH4)2SO4 + 24 H2O + Kalium fosfomolibdat (K)3PO412MoO3 + 12C6H8O6 Askorbat Konsentrasi ortofosfat ditentukan dengan alat spektrofotometer yang diukur pada panjang gelombang 695 nm. 2.7.3 Kalium (K) Kalium tersedia dalam bentuk K+. Kalium diekstrak dengan menggunakan ekstraksi Olsen dengan pelarut NaHCO3 (0,5 N pada pH 8,5 dimana ion Na+ dan H+ akan bertukar dengan ion K+ yang berada dalam kompleks koloid dari tanah sehingga ion K+ terlepas dari kompleks koloid. Pengukuran kadar kalium yang diekstrak menggunakan alat flame fotometer nyala berdasarkan banyaknya emisi yang dipancarkan oleh sampel pupuk yang diekstrak yang dihubungkan dengan kurva larutan standar K (Sudjadi,1971). (K)3PO4.12MoO2 +12 H2O + 12 C6H6O6

19

2.7.4

Karbon ( C ) Kadar karbon ditentukan dalam bentuk karbon organik yang digunakan untuk

menentukan nilai ratio C/N pada pupuk organik dari ampas sagu tersebut. Peranan karbon organik pada penelitian ini ditentukan berdasarkan metode spektrofotometer sinar tampak, metode spektrofotometer sinar tampak inilah didasarkan pada penyerapan energi radiasi oleh zat tersebut. Jumlah foton yang diserap sebanding dengan konsentrasi atau jumlah atom, ion atau molekul dan tebal larutan yang menyerap (hukum Lambert-Beer). Pada penentuan kadar karbon sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu diseleksi panjang gelombang optimumnya. Kadar karbon yang ditentukan dalam pupuk ini adalah untuk menetukan nilai rasio C/N nya. Sampel dioksidasi menggunakan kalium bikromat 1 N dengan katalis asam sulfat pekat yang selanjutnya direaksikan dengan barium klorida 0,5 % reaksi ini akan menghasilkan Cr3+ dari CrCl3 yang berwarna hijau. Jumlah kalium bikarbonat yang tereduksi diukur berdasarkan serapan energi sinar oleh Cr+3 menggunakan spektrofotometer. Jumlah kalium bikromat yang tereduksi sebanding dengan jumlah karbon organik yang teroksidasi dalam sampel. Dengan demikian kadar karbon energi dapat ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi standard karbon : Corganik + 2K2Cr2O7 + 8H2SO4 Cr2(SO4)3 + BaCl2 2.7.5 2Cr2(SO4)3 + 2K2SO4 + 8H2O+ 3CO2

2CrCl3 + 3BeSO4

Nitrogen total dengan metode Kjedahl Prinsip penetuan nitrogen dengan metode Kjedahl adalah merubah senyawa

yang mengandung nitrogen menjadi amoniak dengan cara mendetruksi sampel dengan asam sulfat pekat. Amoniak yang dibebaskan dirubah menjadi ammonium sulfat dengan penambahan asam berlebih. Penambahan natrium hidroksida pada larutan sampel akan merubah ammonium sulfat menjadi natrium sulfat, amoniak ,dan air. Amoniak dipisahkan dari larutan dengan cara mendestilasi sampel. Destilat

20

ditampung dengan erlenmeyer yang berisi asam borat sehingga akan terbentuk ammonium borat. Ammonium borat dengan penambahan indikator campuran metilen red-bromocresol green dititrasi dengan asam sulfat yang terpakai (Menon,1979). Secara kimia: Sampel 2(NH3) + H2SO4 (NH4)SO4 + 2 NaOH 3NH3 + H3BO3 (NH4)2SO4 Na2SO4 + 2NH3 + 2H2O

(NH4)3BO3 3(NH4)2SO4 + 2H3BO3

2(NH4)3BO3 + 3H2SO4 2.8 2.8.1

Analisis Spektrofotometer Sinar Tampak Teori dan Prinsip dasar Spektrofotometer sinar tampak merupakan suatu cara analisis kimia kualitatif

dan kuantitatif yang berdasarkan penyerapan energy radiasi sinar oleh larutan berwarna. Dengan mengukur intensitas warna yang diserap sampel dan

membandingkannya dengan absorbansi larutan standar maka konsentrasi sampel dapat ditentukan (Day dan Underwood,1990). Hubungan antara energy yang diserap dan panjang gelombang sesuai dengan persamaan berikut: E = h = hc / Keterangan : E = Energi foton (erg)\ h = Konstanta Plank = Frekuensi (detik-1 atau Hz) c = Kecepatan Cahaya (3x1010 cm/det) = Panjang gelombang (nm)

21

Senyawa yang diukur akan menyerap sinar pada panjang gelombang tertentu/ Banyaknya sinar yang diserao sebanding dengan konsentrasi larutan yang dilalui. Hal ini merupakan hokum Lambert-Beer yang dapat dilihat pada gambar berikut. :
C Po b

Gambar 4. Pengurangan kekuatan sinar oleh larutan pengadsorbsi Gambar diatas memperlihatkan intensitas sinar sebelum (Po) dan sesudah (P) melewati larutan dengan ketebalan b cm dan konsentrasi zat penyerap (pengabsorbsi) yaitu kurangnya intensitas sinar dari Po ke P. Transmitan (T) merupakan bagian dari sinar yang diteruskan melalui larutan sehingga didapat hubungan : T= P/P0 Transmitan sering dinyatakan sebagai persentase (%T), sehingga hubungan antara Absorbansi (A) dengan Trasmitan (T) suatu larutan dinyatakan dengan persamaan: A= -log T = log P0/P Absorbansi larutan bertambah dengan pengurangan intensitas sinar yang diserap oleh detektor. Jika ketebalan benda atau konsentrasi materi yang dilewati cahaya bertambah maka cahaya akan lebih banyak diserap (Tim Kimia Analitik,2004). Jadi absrobansi A berbanding lurus dengan ketebalan b dan konsentrasi c , persamaannya adalah: A = a.b.c = c.b a Dimana : A = Absorbansi a = Absorpsivitas jika c =g/L b = Ketebalan atau panjang jalan sinar dalam posisi atom (cm) c = konsentrasi atom-atom (mol.L) = Absorpsitas molar jika c= mol/L

22

2.8.2

Sistem Instrumen Spektrofotometer

Diagram peralatan spektrofotometer dapat digambarkan sebagai berikut; Sumber radiasi Monokromator Kuvet

Detektor

Amplifier

Pembacaan Gambar 5. Diagram spektrofotometer Sumber radiasi Sumber radiasi yang baik untuk mengukur serapan adalah sumber yang

memancarkan sinar dan menghasilkan spektrum yang kontinyu dengan intensitas tinggi dan merata pada daerah panjang gelombang optimum. Sumber radiasi untuk daerah sinar tampak yang digunakan adalah lampu tungsten atau wolfram. Kelebihan lampu wolfram ini adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada berbagai panjang gelombang. Untuk memperoleh tegangan yang stabil dapat digunakan stabilizer. Jika tegangan tidak stabil maka akan didapatkan energi yang bervariasi. Untuk mengkompensasikan hal ini maka dilakukan pengukuran transmitan larutan sampel yang disertai dengan larutan standar (Sastrohamidjojdo, 2001). Monokromator Monokromator berfungsi untuk menguraikan radiasi polikromatik menjadi monokromatik. Alat yang biasa digunakan dapat berupa prisma atau grating. Untuk mengarahkan sinar monokromatik yang diinginkan dari hasil pengukuran ini dapat digunakan celah atau dapat dilakukan dengan cara memutar prisma dan grating sehingga sinar yang diteruskan hanya pada warna dan panjang gelombang tertentu.

23

Kuvet Kuvet merupakan tempat sampel yang akan dianalisa. Pada spektrofotometer UV biasanya digunakan kuvet yang terbuat kuarsa, sedangkan untuk

spektrofotometer sinar tampak digunakan sel gelas, silika atau plastik. Sel absorbsi (kuvet) yang digunakan biasanya berukuran 1 cm dengan bentuk persegi atau silinder. Sel yang baik adalah kuarsa yang seragam. Detektor Peranan detektor adalah dapat memberikan respon terhadap sinar pada berbagai panjang gelombang tertentu, dengan mengubah energi sinar menajadi isyarat listrik. Syarat-syarat detektor yang baik adalah: Detektor harus memiliki sensitifitas tinggi Waktu respon pendek Stabilitas dalam jangka waktu yang panjang untuk menjamin respon secara kuantitatif Sinyal elektronik yang dihasilkan mudah diperkuat pada amplifier. Detektor yang digunakan pada spektrofotometer UV dan sinar tampak disebut detektor fotolistrik (Sastrohamidjojdo, 2001). Namun untuk mendapatkan sensitifitas yang lebih tinggi dapat digunakan detektor tabung pengganda foton (photomultiplier tube). Detektor ini memiliki sederetan elektroda-elektroda yang potensial positifnya semakin meningkat. Prinsip kerja detektor ini yaitu dengan adanya penembakan elektron pada suatu elektroda maka akan membebaskan elektron yang selanjutnya dipercepat untuk melakukan penembakan pada elektroda kedua. Dengan demikian pada elektroda kedua ini akan dilepaskan elektron lebih banyak dari pada elektroda pertama. Kejadian ini terus berlanjut sampai pada elektroda terakhir, sehingga didapatkan sinyal yang cukup besar untuk selanjutnya diteruskan ke unit penguat (Day dan Underwood, 1990). Amplifier Sinyal listrik yang dihasilkan pada detektor harus diperkuat dengan amplifier agar dapat memudahkan pembacaan. Agar dihasilkan sinyal yang kuat biasanya
24

sebuah voltmeter dipasang paralel dengan sebuah resistor yang memiliki resistansi besar. Dengan demikian hambatan menjadi kecil, dan arus yang dialirkan juga meningkat. Adanya peningkatan arus ini maka dapat menggerakkan jarum pada sistem analog atau menampilkan angka pada sistem digital (Day dan Underwood, 1990). Pembacaan Sinyal yang telah diperkuat oleh amplifier untuk memudahkan pembacaan masuk kedalam rekorder sehingga mampu menggerakkan jarum pada sistem analog atau digital Liquid Crystal Display (LCD), sehingga nilai absorbansi dapat di baca. 2.8.3 Spektroskopi Emisi (Fotometri nyala ) Fotometri nyala merupakan suatu metoda analisis untuk menentukan beberapa logam alkali dan alkali tanah seperti natrium, kalium, litium, dan kalsium. Apabila suatu larutan mengandung logam alkali atau logam alkali tanah dan dikenai dengan nyala maka akan tcreksitasi dan kembali lagi kekeadaan dasar (groundstate) sambil mengelurkan energi radiasi. Spektrofotometri emisi mempunyai beberapa proses yaitu proses pengkabutan, proses atomisasi, dan proses eksitasi (Day dan Underwood, 1990). Proses pengkabutan terjadi sewaktu aliran gas memasuki suatu ruangan pembauran, karena adanya tekanan yang mendorong gas-gas dalam ruangan pembauran, maka sampel akan terhisap ke dalam ruangan ini melalui sebuah kapiler. Sebagian sampel akan berbentuk kabut didalam ruangan tersebut dan bercampur dengan campuran gas pembakar dan oksida. Campuran gas ini dengan larutan contoh akan terbawa ke nyala api sehingga zat yang berada di dalam larutan contoh akan teratomisasi dan kemudian tereksitasi. Keadaan eksitasi ini tidak stabil dan atom akan kembali ketingkat energi dasar dengan memancarkan radiasi dengan panjang gelombang tertentu yang sebanding dengan konsentrasi zat yang berada dalam nyala. Panjang gelombang sinar yang dipancarkan dapat dipisahkan dari nyala yang lainnya dengan suatu filter optik yang intensitasnya dideteksi dengan fotodetektor.

25

Intensitas yang dipancarkan sebanding lurus dengan konsentrasi larutan sehingga didapat persamaan : I = kc Dimana k adalah konstanta, c adalah konsentrasi dan I adalah intensitas ;uhaya yang dipancarkan. Komponen-komponen utama yang terpenting dalam fotometer nyala adalah: Nebulizer Ruang Pembakar Filter Fotodetektor Penguat (Amplifier) Read Out

Pengatur Tekanan (Oksidan) Nyala ditimbulkan oleh pembakaran campuran gas bahan bakar dan dari udara (oksigen). Untuk memperoleh sifat nyala yang diperlukan, kedua gas tersebut harus dicampurkan dalam perbandingan yang tetap, juga harus diatur agar gas mengalir pada kecepatan tertentu dan konstan. Pengaturan ini dilakukan dengan bantuan alat pengatur tekanan. Bahan Bakar Pada fotometer nyala bahan bakar yang biasa digunakan adalah Liquified Petroleum Gas (LPG). Gas ini biasanya dicampur dengan oksigen yang diserap dari udara untuk menghasilkan nyala dengan temperatur 1800 C. Karena keterbatasan temperatur nyala tersebut maka penggunaan alat ini hanya terbatas untuk unsur-unsur yang mudah tereksitasi seperti dari golongan alkali dan alkali tanah. Ruang Pengkabutan Proses pengkabutan terjadi sewaktu aliran gas elpiji, udara dan sampel memasuki ruangan pengkabutan, karena adanya tekanan yang mendorong gas-gas ke dalam ruangan ini melalui suatu kapiler. Pada bagian ini larutan sampel diubah menjadi aerosol yang tercampur dengan gas dan terbawa ke nyala.

26

Nyala Sampel dalam bentuk aerosol yang terbawa gas ke nyala akan menyerap energi sehingga elektron terluar dari atom tersebut akan mengalami eksitasi ke tingkat energi lebih tinggi. Keadaan ini merupakan keadaan tidak stabil, sehingga untuk mencapai kestabilan maka elektron tersebut harus kembali ke keadaan dasar (ground state) dengan cara memancarkan energi dalam bentuk radiasi sinar yang dihasilkan akan menuju filter. Filter Optik Radiasi (emisi) sinar yang dipancarkan oleh setiap atom memilki panjang tertentu. Maka untuk memisahkan radiasi sinar antara suatu atom dan yang lainnya digunakan filter khusus untuk atom tertentu. Dengan adanya filter tersebut maka radiasi sinar yang diteruskan ke detektor hanya radiasi sinar yang dihasilkan dari satu jenis atom tertentu saja. Fotodetektor Detektor yang dapat dignnakan adalah vakum photo tube. Detektor berfungsi merubah sinyal elektromagnetik menjadi sinyal listrik. Pada fotometer nyala biasanya digunakan foto detektor. Namun untuk memperoleh sensitifitas yang lebih tinggi dapat digunakan detektor pengganda ion (photomultiplier tube). Penguat (Ampilifier) Sinyal listrik yang dihasilkan dari detektor diperkuat pada amplifier untuk memudahkan pembacaan. Dengan adanya peningkatan intensitas sinyal tersebut maka dapat menggerakkan jarum pada sistem analog atau menampilkan angka pada sistem digital atau digital Liquid Crystal Display (LCD). Recorder (Read-Out) Sinyal yang telah diperkuat oleh amplifier diteruskan kedalam rekorder sehingga mampu menggerakkan jarum pada sistem analog atau digital Liquid Display (LCD), sehingga nilai emisi dari pancaran radiasi sinar suatu atom dapat dibaca.

27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 3.1.1 Alat dan Bahan Alat yang Digunakan Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : Spektrofotometer 20 D (Militon dan Roy Co, England), Flame Fotometer Courning 400, Neraca Analitik (Mettler tipe AE200), Oven Gallenkamp, Furnace (Gallenkamp muffle furnace), pH meter Orion 210 A, seperangkat alat destilasi, penangas air dan peralatan gelas lainnya (Pyrex Company) yang biasa digunakan di laboratorium Kimia Analitik dan Laboratorium Biokima.

3.1.2

Bahan yang Digunakan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas sagu (limbah

padat Kilang Harapan, Desa Tanjung Kepulauan Meranti), gula merah, air suling, serbuk gergaji, dedak padi, kotoran ayam, EM 4 (produk PT Songgo Langit, Jakarta), asam sulfat pekat (H2SO4), asam sulfat berasap (furning H2SO4), natrium hidroksida (NaOH), kalium nitrat (KNO3), ammonium hidroksida (NH4OH), asam askorbat, ammonia pekat, ammonium molibdat (NH4)6Mo7O24.4H2O), kalium sulfat (K2SO4), selenium (Se), asam boraks (HBO3), natrium boraks (Na2B4O7), asam nitrat (HNO3), indikator campuran metilen red-bromocresol green, kalium klorida (KCl), natrium bikarbonat (NaHCO3), kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4), kalium bikromat (K2Cr2O7), sukrosa (C12H22O11), barium klorida (BaCl2), kalium antimoni tartarat (KSbOC4H4O6. 1/2H2O), dan kristal fenol.

28

3.2 3.2.1

Rancangan Tahapan Kerja Persiapan Bahan Dasar Pupuk Sampel ampas sagu yang telah kering kemudian dipersiapkan dengan bahan-

bahan organik seperti dedak padi, kotoran ayam dan serbuk gergaji yang diambil di areal lahan percontohan dari kelompok mahasiswa penelitian dan pengembangan Bokashi-EM (KOMPPOS - EM). 3.2.2 Peremajaan EM-4 Aktif Larutan gula merah (20 mL), larutan EM-4 (20 mL), dan air sebanyak (2000mL) disiapkan. Air dituangkan ke dalam botol yang bersih lebih kurang 1000mL. Setelah itu, larutan gula merah (20 mL) ditambahkan ke dalam air yang ada di botol tadi. Dan terakhir larutan EM-4 (20 mL) juga ditambahkan ke dalam botol yang telah berisi campuran air dan gula merah tadi. Lalu cukupkan air hingga mencapai 2000ml. Botol ditutup dengan rapat dan dihindarkan dari sinar cahaya matahari selama proses fermentasi. Selama proses fermentasi berlangsung, gas yang terbentuk dikeluarkan secara berkala selama lebih kurang 1-2 minggu dan digunakan apabila gasnya sudah tidak ada dan memberikan aroma yang khas. 3.2.3 Pembuatan EM-5 Larutan gula merah (100 mL), larutan asam cuka 5% (100 mL), larutan alkohol 35% (100 mL), larutan EM-4 (100 mL), dan air sebanyak 600 mL dipersiakan. Campuran larutan tersebut dituangkan satu persatu ke dalam botol plastik dan dihindarkan dari cahaya matahari selama fermentasi. Selama proses fermentasi berlangsung gas yang terbentuk dikeluarkan secara berkala selama lebih kurang 1-2 minggu dan siap digunakan apabila gasnya sudah tidak ada dan memberikan aroma yang khas. 3.2.4 Perlakuan Bahan Dasar Pupuk pada Pengomposan Ampas sagu yang telah kering dan semua bahan organik (kotoran ayam, serbuk gergaji, dan dedak) yang telah di persiapkan dibagi 3 bagian perlakuan.

29

Perlakuan 1, bahan dasar difermentasi dengan EM 4. Perlakuan 2, bahan dasar difermentasi dengan EM 5 dan perlakuan 3 adalah kontrol yang menggunakan air. 3.2.5 Proses Pengomposan Proses pengomposan dilakukan di kebun KOMPPOS UR dan dibuat dengan perbandingan 1:1:2 antara ampas sagu, serbuk gergaji, dan kotoran ayam. Ampas sagu 9 kg, serbuk gergaji 9 kg dan pupuk kandang 18 kg. Bahan-bahan organik dan kotoran ternak diaduk menjadi satu adonan. Adonan yang telah diaduk rata dipisahkan ke dalam 3 tempat di atas terpal berukuran sedang. Adonan 1 ditambahkan dengan EM-4 lalu diaduk rata, adonan 2 ditambahkan dengan EM-5 lalu diaduk rata, dan adonan 3 ditambahkan air sebagai kontrol. Adonan yang telah ditambahkan dalam 3 perlakuan kemudian dilihat kadar airnya. Jika sudah mencapai 30-40%, diangsur untuk melakukan penambahan dedak. Lalu diaduk rata dan kemudian dimasukkan ke dalam 3 polybag berukuran 4 kilo untuk masing-masing perlakuan. Pada saat proses pengomposan, kondisi adonan harus dalam kondisi anaerob dan hindari dari cahaya matahari langsung. Pengomposan berlangsung ditandai dengan naiknya suhu, dan usahakan suhu dipertahankan sekitar 40-450C. Pengomposan dilakukan pada 0, 5, 10, 15, dan 20 hari. 3.2.6 Pengambilan Sampel Sampel diambil pada fermentasi pada hari 0, 5, 10, 15, dan 20 hari untuk dilakukan uji kandungan unsur N, P, K dan rasio C/N. Masing-masing sampel diambil (300 gram), dimasukkan ke dalam wadah plastik ukuran 250 gram, diikat dengan karet gelang dan diberi label. Sampel dibawa ke laboratorium kimia analitik, laboratorium biokimia untuk dianalisis. Gambar lengkapnya dapat dilihat pada rancangan penelitian dibawah ini:

30

PERSIAPAN BAHAN DASAR PUPUK dengan PERBANDINGAN 1 :1 : 2

AS + KA + SG + EM 4

AS + KA +SG + AIR SUMUR

AS + KA + SG + EM 5

4 Kg

4 Kg

4 Kg

4 Kg

4 Kg

4 Kg

4 Kg

4 Kg

4 Kg

FERMENTASI PADA 0, 5, 10, 15, 20 hari

ANALISIS SAMPEL

PENGUKURAN KADAR N,P,K dan RASIO C/N

Gambar 6. Rancangan penelitian Keterangan : AS = Ampas Sagu KA= Kotoran ayam SG = Serbuk Gergaji 3.3 3.3.1 Analisis Sampel Analisis pH (Menon,1979) Sampel kering (10 gram) dimasukkan kedalam gelas piala ukuran 250 ml. Sampel tersebut dituangkan 100 ml akuades. Campuran tersebut diaduk selama 30 menit dan diinkubasi semalam. Larutan dalam gelas piala diambil dan diukur nilai pH dengan menggunakan pH meter yang sudah dikalibrasi.

31

3.3.2

Analsis Kandungan Air (Sudarmadji,1976) Cawan penguap atau crussible dimasukkan kedalam oven pada temperatur

110C selama 2 jam, setelah itu didinginkan dalam desikator selama 45 menit. Cawan tersebut ditimbang menggunakan timbangan analitis dengan kepekaan 0,1 mg hingga konstan dan catat berat cawan kosong (A gram). Cawan yang sudah diketahui beratnya diisi dengan 10 gram sampel dan ditempatkan kedalam oven pada temperatur 110C selama 2 jam, setelah dipanaskan selama 2 jam, cawan didinginkan di dalam desikator selama 45 menit, dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitis dengan .kepekaan 0,1 mg, hingga konstan dan catat berat cawan berisi sampel (B gram). rumus yang dicari: % kandungan air = ((B-A)/10)) x 100% 3.3.3 Penentuan Nitrogen Nitrat (Sudjadi,1971)

3.3.3.1 Ekstraksi Sampel Sampel kering (50 gram) ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas piala 500ml lalu dituangkan 250 ml akuades dan diaduk selama 15 menit. Jika dalam gelas terlihat keruh, ditambahkan karbon aktif secukupnya dan diaduk lagi. Ketika larutan tampak jernih, larutan disaring dan hasil saringan digunakan untuk analisis sampel nitrat. 3.3.3.2 Penentuan Panjang Gelombang Optimum Larutan standar N-nitrat 2 ppm dimasukkan kedalam cawan, lalu diuap dan dikeringkan pada suhu tidak lebih dari 70 C. Setelah volume berkurang setengah, ditambahkan 0,5 mL asam fenol disulfonat sambil digoyang supaya merata. Setelah itu ditambahkan 5 mL akuades, 1,75 mL NH4OH 25 % lalu dilakukan pengenceran sebanyak 25 mL dalam labu ukur. Larutan standar N-nitrat 2 ppm hasil pengenceran dimasukkan kedalam kuvet dan diukur absorbansinya pada gelombang antara 390 430 nm dengan alat spektronik 20 D. Absorbansi maksimum yang didapat dianggap sebagai panjang gelombang optimum.

32

3.3.3.3 Penentuan Kestabilan Warna Larutan standar N-nitrat (5 mL)dengan konsentrasi 10 ppm diambil untuk dijadikan larutan standar 2 ppm. Larutan yang telah diencerkan di letakkan pada cawan sambil diuapkan pada suhu yang tidak lebih dari 70 C. Setelah volume pada cawan berkurang, dicampurkan 0,5 mL asam fenol disulfonat dan dituangkan

akuades (5 mL), NH4OH 25% (1,75 mL) dan diencerkan dengan akuades sampai 25 mL dalam labu ukur. Larutan standar N-nitrat 2 ppm dituang dalam kuvet dan dianalisa dengan spektronik pada panjang gelombang 405 nm setiap interval 5 menit selama 1 jam. Interval kestabilan warna diperoleh berdasarkan nilai absorbansi stabil yang dihasilkan. 3.3.3.4 Pembuatan Kurva Standar Larutan standar N-nitrat 10 ppm dipipet sebanyak 0.25 mL, 1.25 mL, 5 mL, 10 mL dan 15ml lalu dimasukkan kedalam cawan, dan diuap keringkan pada suhu tidak lebih dari 70oC, setelah volumenya tinggal setengah ditambahkan 0,5 ml asam fenol disulfonat dan digoyang supaya merata, ditambahkan sebanyak 5 ml aquades , 1,75 ml NH4OH 25 %, lalu diencerkan dengan akuades sampai 25 ml dalam labu dan dibiarkan selama 15 menit. Setelah itu larutan diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 405 nm dengan spektronik 20 D, dan dibuat kurva kalibrasi standar antara konsentrasi dengan serapannya. 3.3.3.5 Pengukuran Larutan Sampel Sampel yang telah diekstrak dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan kedalam cawan porselen, sampel diuap keringkan pada suhu tidak lebih dari 70C, setelah volumenya tinggal setengah ditambahkan asam fenol disulfonat sebanyak 15 ml dan digoyang supaya merata. NH4OH 25 % ditambahkan sebanyak 1,75 ml lalu diencerkan dengan akuades sampai 25 ml dalam labu ukur, untuk blanko digunakan akuades, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 405 nm menggunakan spektronik 20D dan dilakukan pengukuran tiga kali.

33

3.3.4

Penentuan P-ortofosfat (Sudjadi,1971)

3.3.4.1 Ekstraksi Sampel Sampel kering (2,5 gram) dimasukkan kedalam gelas piala berukuran 250 ml, ditambahkan larutan NaHC03 0,5 N pH 8,5 ditambahkan sebanyak 50 ml, diaduk selama 30 menit. Sampel lalu disaring dengan kertas saring, ditampung dalam erlemeyer 100 ml. Apabila larutan berwarna maka perlu ditambahkan karbon aktif dan setelah itu disaring lagi hingga jernih, dan pengerjaan ekstraksi sampel dilakukan pengulangan tiga kali. 3.3.4.2 Penentuan Waktu Kestabilan Warna Larutan standar fosfat 10 ppm dipipet sebanyak 12,5 mL untuk memperoleh standar 5 ppm dimasukkan ke labu ukur 25 ml. Reagen pereaksi campuran fosfat ditambahkan sebanyak 5 ml, diencerkan hingga tanda batas, diaduk, hal yang sama dilakukan untnk blanko, kemudian larutan standar fosfat 5ppm dimasukkan kedalam kuvet, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 695 nm setiap interval waktu 5 menit selama satu jam, interval kestabilan warna ditentukan berdasarkan absorbansi paling stabil. 3.3.4.3 Penentuan Panjang Gelombang Optimum Penentuan panjang gelombang optimum dilakukan dengan cara memipet 12,5 ml larutan standar fosfat 10 ppm untuk memperoleh larutan standar 5 ppm dan dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml. Reagen pereaksi campuran fosfat ditambahkan sebanyak 5 ml, diencerkan dengan air suling hingga tanda batas, diaduk, dan dibiarkan proses reaksi berlangsung selama 35 menit. Dilakukan hal yang sama untuk blanko, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang antara 665 710 nm dengan menggunakan spektronik 20D, dengan absorbansi maksimum dianggap sebagai panjang gelombang optimum. 3.3.4.4 Pembuatan Kurva Standar Pembuatan kurva kalibrasi standar dilakukan dengan cara memipet 1,25ml, 2,5 ml, 5 ml,7,5ml; 10ml; dan 12,5 ml larutan standar fosfat 10 ppm dan dimasukkan

34

dalam labu ukur 25 ml. Reagen pereaksi campuran fosfat ditambahkan sebanyak 5 ml, larutan standar tersebut diencerkan dengan air suling sampai tanda batas, diaduk dan dibiarkan proses reaksi berlangsung selama 35 menit, hal yang sama dilakukan untuk blanko, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 695 nm, dan dibuat kurva kalibrasi standar antara konscntrasi dengan absorbansi yang diperoleh. 3.3.4.5 Pengukuran serapan larutan sampel Sampel vang telah diekstraksi dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan kedalam labu ukur 25 ml, reagen pereaksi campuran fosfat ditambahkan sebanyak 5 ml, sampel diencerkan dengan air suling sampai tanda batas, diaduk dan dibiarkan proses reaksi berlangsung selama 35 menit, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 695 nm. Kadar fosfat ditentukan pada larutan sampel tersebut, dan masing- masing sampel dianalisis dengan tiga kali pengulangan. 3.3.5 Penentuan Kandungan Kalium

3.3.5.1 Ekstraksi Sampel Sampel ditimbang sebanyak 2,5 gram, dimasukkan kedalam gelas piala berukuran 250 ml, larutan NaHCO3 0,5 N pH 8,5 ditambahkan sebanyak 50 ml diaduk selama 30 menit, sampel disaring dengan kertas saring, ditampung dalam Erlenmeyer 100 ml, apabila berwarna ditambahkan karbon aktif dan setelah itu disaring lagi hingga jernih. Pengerjaan ekstraksi sampel dilakukan pengulangan tiga kali. 3.3.5.2 Pembuatan Kurva Standar Kalium Larutan standar kalium dibuat dengan cara melarutkan 1,9067 gram KCl dilarutkan dengan NaHC03 0,1 N pH 8,5 kemudian diencerkan hingga 1 liter pada labu takar (1000 ppm). Kurva kalibrasi standar dibuat dengan cara mengukur emisi masing-masing larutan standar yang sudah di encerkan secara tepat pada konsentrasi 2,4,6, 8 dan 10 ppm dengan flame fotometer yang menggunakan filter K.

35

3.3.5.3 Pengukuran Emisi Larutan Sampel 5 ml ekstrak sampel dipipet, dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml lalu ditambahkan 5 ml akuades dan dikocok, nilai emisinya diukur dengan flame fotometer, kadar kalium dihitung melalui hasil kurva kalibrasi standar, dan dilakukan pengulangan tiga kali terhadap masing - masing sampel. 3.3.6 Penetuan Kadar Karbon organik

3.3.6.1 Pengukuran Panjang Gelombang Optimum Penentuan panjang gelombang optimum dilakukan dengan cara memipet 15 ml larutan standar karbon (sukrosa 50 mg/ml), lalu diencerkan hingga tanda batas labu takar 100 ml dengan akuades (konsentrasi 7,5 mg/ml). Larutan standar karbon 7,5 ml/mg dipipet 2 ml dan masukkan ke erlenmeyer 250 ml dan untuk blanko digunakan akuades. ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 1 N dan 20 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati. Selanjutnya larutan tersebut dikocok dan dibiarkan selama 30 menit. Larutan BaCl 0,5 % ditambahkan 100 ml untuk mendapatkan larutan yang jernih dan diinkubasi semalam. Pengukuran serapan dilakukan pada panjang gelombang 520580 nm dengan interval 5 menit. 3.3.6.2 Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Karbon Pembuatan kurva kalibrasi standar dilakukan dengan cara memipet 5, 10, 15, 20 dan 25 ml larutan standar karbon 50 mg/ml, lalu diencerkan hingga tanda batas pada labu takar 100 ml dengan akuades (konsentrasi 2,5; 5,0; 7,5; 10 dan 12,5 mg/ml). Larutan standar karbon masing-masing dipipet 2 ml dan dimasukkan ke erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 10 ml K2Cr207 1 N dan 20 ml H2S04 pekat dengan hati-hati. Selanjutnya larutan tersebut dikocok dan biarkan selama 30 menit. Larutan BaCl2 0,5 % ditambahkan 100 ml untuk mendapatkan larutan yang jernih dan

diinkubasi semalam. Pengukuran serapan dilakukan pada panjang gelombang optimum dan kadar karbon dihitung dengan membandingkan serapan sampel dan standar menggunakan kurva kalibrasi standar.

36

3.3.6.3 Pengukuran Absorbansi Larutan sampel Pengukuran serapan larutan sampel dilakukan dengan cara mengoksidasi 0,5 gram sampel yang ditempatkan pada erlenmeyer. Larutan K2Cr207 1N ditambahkan 10 ml dan 20 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati. Selanjutnya larutan tersebut tersebut dikocok dan biarkan selama 30 menit. Larutan BaCl2 0,5 % ditambahkan 100ml untuk mendapatkan larutan yang jernih dan biarkan semalam. Pengukuran serapan dilakukan pada panjang gelombang optimum dan kadar karbon dihitung dengan membandingkan serapan sampel dan standar menggunakan kurva kalibrasi standar. 3.3.7 Penentuan Kadar Nitrogen (N) total

3.3.7.1 Destruksi Masing-masing sampel yang telah dihaluskan dan kering air diambil 1 gram dan dimasukkan kedalam labu Kjedahl, untuk mempermudah destruksi sampel maka ditambahkan 1 gram katalis campuran (campuran serbuk CuSO4, K2SO4 ditambahkan 1 gram katalis campuran (campuran serbuk CuSO4.K2SO4 dan Se) dan 10 ml H2SO4 pekat sambil diaduk perlahan agar larutan homogeny. Kemudian larutan tersebut dipanaskan dengan pemanasan rendah, dan dilanjutkan dengan panas yang lebih tinggi hingga warna larutan kebiru-biruan atau jernih. 3.3.7.2 Destilasi Larutan hasil destruksi yang telah dingin diencerkan dengan 50 ml akuades dan dipindahkan kelabu destilasi. Untuk mempermudah pemisahan amoniak dari larutan sampel maka ditambahkan NaOH 40 % hingga larutan bersifat basa. Penambahan beberapa batu didih dilakukan untuk menghindari terjadinya bumping pada saat destilasi berlangsung. Destilat ditampung dengan Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan asam borat 4 % dan beberapa tetes indikator campuran (campuran bromocresol green dan methyl red). Destilat diakhiri jika volume destilat mencapai 50 ml. 3.3.7.3 Titrasi Destilat selanjutnya dititrasi dengan H2SO4 0,05 N dan dihentikan jika terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah muda, kemudian ditentukan volume H2SO4
37

yang terpakai, sedangkan untuk blanko digunakan akuades. Kadar nitrogen total dalam sampel ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
%= (ml H2SO4 sampel ml H2SO4 blanko) x NH2SO4 x 0,014 x 100%

Berat Sampel

3.4

Analisis Data Dari data yang diperoleh dari hasil pengukuran akan dianalisis dengan metode

statistik berupa tabel dan grafik dan dilanjutkan uji ANOVA dengan test Duncan. Analisia statistik ini berguna untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan secara signifikan ke empat perlakuan pada kompos setelah fermentasi 0,15,30,45,60 hari.

38

Anda mungkin juga menyukai