OLEH
170310054
AET-5
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ungkapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga laporan praktikum pengelolaan
sumber daya lahan dapat penulis selesaikan dengan baik. Selanjutnya, salawat dan
salam penulis sanjungkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para
sahabat Beliau yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam
yang penuh ilmu pengetahuan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
BAB 3. METODOLOGI
ii
4.1.5 Pemupukan .................................................................................. 14
LAMPIRAN ...........................................................................................
iii
BAB 1. PENDAHULUAN
Lahan (land) atau sumber daya lahan (land resources) adalah lingkungan
fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada
diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan tanah. Dalam hal ini
tanah juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Sumber daya tanah
merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
manusia karena sumber daya alam diperlukan dalam setiap kehidupan.
Indonesia memiliki lahan kering yang berpotensi untuk pertanian seluas
75.133.840 ha yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Bali, NTT, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang meliputi dataran rendah dan dataran tinggi.
Lahan kering dapat diartikan sebagai lahan yang tidak berpengairan atau lahan
yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara
terbatas.
Pengelolaan sumber daya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan
yang diberikan pada sebidang tanah untuk menjaga dan mempertinggi produksi
lahan tersebut. Lanskap adalah gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang
membentuk karakteristik permukaan tanah, yang meliputi aspek spasial, tekstural,
komposisional dan dinamika tanah.
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) saat ini merupakan salah
satu jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting disektor pertanian
umumnya, dan sektor perkebunan khususnya, hal ini disebabkan karena dari
sekian banyak tanaman yang menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit yang
menghasilkan nilai ekonomi terbesar per hektarnya di dunia. Melihat pentingnya
tanaman kelapa sawit dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan
meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan minyak sawit, maka perlu
dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi kelapasawit secara
tepat agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Salah satu diantaranya adalah
pengendalian hama dan penyakit.
1
2
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
2.1 Lahan
Lahan (dari bahasa Sunda) = land, adalah bagian bentang alam (landscape)
yang mencakup pengertian tanah, lingkungan fisik termasuk iklim,
topografi/relief, hidrologi dan vegetasi yang menutupinya, yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. (Anny Mulyani dan
Muhrizal Sarwani, 2013)
Menurut Mulyani et., al. (2013), terdapat beberapa jenis lahan, diantaranya
sebagai berikut:
1) Lahan Kering Masam ; Lahan kering masam adalah lahan kering yang
mempunyai reaksi tanah masam dengan pH < 5. Dalam klasifikasi tanah
skala 1:1.000.000, lahan kering masam ini dijumpai pada ordo tanah yang
telah mengalami perkembangan tanah lanjut atau tanah muda atau baru
berkembang atau tanah dari bahan induk sedimen dan volkan tua, dan atau
tanah lainnya dengan kejenuhan basa rendah < 50% (dystrik) dan regim
kelembaban tanah udik atau curah hujan > 2.000 mm per tahun.
2) Lahan Kering Iklim Kering ; Lahan kering iklim kering adalah lahan
kering yang mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan atau termasuk
pada iklim kering dengan jumlah curah hujan < 2.000 mm per tahun dan
bulan kering > 7 bulan (< 100 mm per bulan) . Kebalikan dengan di lahan
kering masam, pelapukan dan hancuran batuan induk tanah tidak seintensif
di wilayah beriklim basah, akibatnya pembentukan tanah terhambat dan
solum tanah dangkal, berbatu dan banyak ditemukan sungkapan batuan.
3) Lahan Rawa Pasang Surut ; Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang
tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air atau
tergenang . Sedangkan lahan rawa pasang surut adalah lahan rawa yang
3
4
dipengaruhi oleh pasang surut air laut, terletak dekat pantai, sebagian besar
berupa tanah mineral dan sebagian lagi berupa gambut.
4) Lahan Rawa Lebak ; Lahan rawa lebak adalah lahan rawa yang tidak
terpengaruh oleh pasang surut (rawa non pasang surut), tetapi dipengaruhi
oleh sungai yang sangat dominan, yaitu berupa banjir besar yang secara
periodik minimal 3 bulan menggenangi wilayah setinggi 50 cm . Rawa
lebak umumnya terletak pada kiri kanan sungai dan berada lebih ke dalam
dari dataran pantai ke arah hulu sungai. Selama musim hujan, rawa lebak
selalu digenangi air kemudian secara berangsur-angsur air akan surut sejalan
dengan perubahan musim hujan ke musim kemarau. Lebak dikelompokan
lebih lanjut berdasarkan tinggi genangan dan lama genangan menjadi lebak
dangkal (tinggi genangan < 50 cm, lama genangan < 3 bulan), lebak
tengahan (50-100 cm, 3-6 bulan), dan lebak dalam (> 100 cm, > 3-6
bulan).
5) Lahan Gambut ; Lahan gambut adalah lahan yang terbentuk dari bahan
tanah organik dengan kandungan C-organik > 12% berat jika kandungan
liat 0% atau >18% berat jika kandungan liat 60% atau lebih, dengan
kedalaman > 60 cm. Menurut klasifikasi tanah dikelompokkan sebagai
tanah organik atau Histosols atau Organosol.
2.2 Evaluasi Sumber Daya Lahan
2. Rorak
Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat
pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur dengan ukuran kecil sampai
sedang, dibuat dengan arah memotong lereng pada bidang olah atau di saluran
7
peresapan. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam
tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah.
Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Arsyad
(2000) merekomendasikan dimensi rorak: dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan
panjang berkisar antara satu meter sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan
agar sama dengan panjang rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan
secara berselang-seling seperti pada gambar agar terdapat penutupan areal yang
merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang
landai (3% – 8%) dan agak miring (8% – 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng
yang miring (15% – 30%).
Untuk memaksimalkan fungsinya maka banguanan rorak (antar barisan)
dibuat secara zigzag atau berselang-seling. Pembuatan rorak dilakukan bersama
dengan pengolahan tanah dan persiapan tanam. Yang harus diwaspadai dalam
penerapan rorak dan teknologi pemanenan air lainnya adalah bahwa air hanya
boleh tergenang beberapa saat. Apabila penggenangan berlanjut, dikhawatirkan
akan terjadi masalah berupa penyakit yang menyerang melalui akar tanaman. Pada
daerah bercurah hujan tinggi dan kadar liat tanah tinggi, pembuatan rorak dapat
menyebabkan penggenangan yang berlanjut.
Penelitian yang dilakukan oleh Rejekiningrum dan Haryati (2002)
penelitian ini menemukan bahwa rorak mampu menurunkan aliran permukaan
sebesar 51% sehingga dapat menurunkan proses degradasi lahan. Pembuatan
rorak secara toposekuen dapat mendistribusikan air secara lebih merata dalam satu
hamparan.
lembab. Cara ini cocok untuk daerah beriklim kering dan tanahnya tidak lengket.
Diameter lingkaran lobang ini bisa mencapai 2 m dan dalamnya/tinggi guludan 30
sampai 50 cm.
5. Jebakan Mulsa
Jebakan mulsa (mulsa vertikal) adalah bangunan menyerupai rorak yang
dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih panjang bila dibandingkan
dengan rorak. Ukuran jebakan mulsa disesuaikan dengan keadaan lahan. Lebar 0,4
- 0,6 m, dalam 0,3 - 0,5 m. Jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh
kemiringan lahan, atau berkisar antara 3 - 5 m.
Jebakan mulsa ini merupakan tempat untuk meletakkan sisa hasil panen,
atau rumput hasil penyiangan dan sekaligus berfungsi sebagai penampung air
aliran permukaan serta penampung sedimen. Pada musim tanam berikutnya
bersamaan dengan persiapan dan pengolahan tanah, maka jebakan mulsapun
diperbaiki/dibangun kembali. Hasil pelapukan sisa tanaman dan sedimen dari
jebakan mulsa dikembalikan ke lahan. Jebakan mulsa ini diketahui dapat
mengendalikan aliran permukaan.
9
BAB 3. METODOLOGI
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Oktober 2019 pukul 09:00
s/d selesai tepatnya di Desa Alue Panah Kecamatan Nibong Kabupaten Aceh
utara.
1. Menyiapkan alat tulis yang akan dijadikan sebagai bahan wawancara atau
mencatat gambaran kondisi lapang
2. Mewawancarai petani/masyarakat dengan pertanyaan yang telah
dipersiapkan
3. Mencatat dan meresume hal – hal penting yang berkaitan dengan
pengolahan yanah dan air untuk tanaman budidaya
1. Menyiapkan alat tulis yang akan dijadikan sebagai bahan wawancara atau
mencatat gambaran kondisi lapang
10
Sistem budidaya yang digunakan adalah polikultur, hal ini dapat dilihat
dari data yang diambil dari petani Desa Alue Panah adalah luas lahan untuk
menanam kelapa sawit sebesar 3 ha, untuk menanam pinang 1 ha dan untuk
menanam coklat 1 ha. Hal ini tidak berpengaruh besar terhadap produksi ketiga
komoditas ini. Kombinasi tanaman kelapa sawit dengan tanaman lain
(interspesifik) masih belum dapat ditentukan apakah bersifat independent
(tanaman tidak saling mempengaruhi), kompetitif (kenaikan hasil spesies tanaman
yang satu mengakibatkan penurunan hasil lain), alelopati (terjadi akibat
seksresi/ekskresi/zat toksik yang dikeluarkan oleh jenis tanaman tertentu dalam
suatu komoditas) atau stimulasi (produktivitas suatu tanaman akan ditingkatkan
akibat keberadaan suatu spesies lain). Sifat-sifat kombinasi ini dapat ditentukan
dari pengamatan lapangan berdasarkan pertumbuhan dan atau produksi tanaman.
Tanaman sela diantara pertanaman kelapa sawit adalah mengusahakan tanaman
pangan, perkebunan dan hortikultura sebagai tanaman sela di antara kelapa sawit
sangat berpeluang untuk dilakukan. Jenis tanaman sela dan bentuk usaha taninya
tergantung sumber daya yang tersedia dan permintaan pasar. Sumber daya yang
dimaksud berupa kondisi lahan dan iklim, kondisi tanaman kelapa sawit, dan
status teknologi, sedang bentuk usaha taninya ditentukan oleh sosial budaya dan
ekonomi petani, serta permintaan pasar (Nengsih, 2016)
Tumpangsari kelapa sawit memiliki beberapa kelebihan yaitu:
mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ditujukan oleh nisbah kesetaraan lahan
(NKL) atau land equivalent ratio (LER), menghasilkan produk yang beragam,
memperoleh hasil tambahan, memperbaiki kesuburan tanah dan mencegah erosi
(Nengsih, 2016).
12
Hal ini bertentangan dengan pendapat Indranada et., al. (1994) yang
menjelaskan bahwa pengolahan tanah adalah salah satu tahapan persiapan lahan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesuburan dari suatu tanah serta cocok untuk
pertumbuhan tanaman. Pemgolahan tanah ditujukan untuk memperbaiki sistem
perakaran tanaman, aerasi tanah dan kelembaban serta memperbesar aliran air
yang masuk ke dalam tanah.
Dalam hal penanaman, di desa alue panah ini sudah terbilang baik,
menurut pemilik lahan, sistem penanaman sudah menggunakan sistem mata lima
dengan jarak tanam 9m x 9m. Menurut Astutui et.,al.( 2014) Penanaman kelapa
sawit yang baik makan akan menghasilkan tanaman yang sehat tidak abnormal.
Jarak tanam yang baik akan menghasilkaan tanaman yang baik pula. Pola jarak
tanam dalam penanaman kelapa sawit yaitu segitiga sama sisi, penentuan jarak
tanam di lapangan harus disesuaikan dengan karakter tanaman dan tingkat
kesuburan tanah serta topografi tanah tersebut, jarak tanam yang teratur dilakukan
dengan pemancangan yang baik. Penanaman kelapa sawit yang terlalu rapat akan
berpengaruh terhadap masalah ketinggian tanaman dan perebutan unsur hara oleh
tanaman. Pada daerah endemik Ganoderma maka dianjurkan 140-150 pohon / ha
dengan jarak tanam barisan 9,42- 8,77 m, sedangkan antar barisan 8,16 – 7,59m
dengan masa produktif selama 25 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
penanaman di desa alue panah sudah tergolong bagus, karena sudah menerapkan
pola tanam dan jarak tanam yang pas.
4.1.4 Penyiangan
musim hujan dan musim kemarau. Dilakukan manual dengan sistem piringan
berdiameter 1-2 meter dimana batang tamana sebagai porosnya.
4.1.5 Pemupukan
4.1.6 Pengairan
Masalah pengairan di perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Alue Panah
ini hanya mengandalkan air hujan, tidak ada melakukan konesrvasi air apapun
seperti pembuatan rorak, ataupun petak tadah hujan.
4.1.7 Teknik Konservasi tanah dan Air
Berdasarkan data pengamatan yang diambil dari pemilik kebun, pada
kebun tersebut tidak pernah dilakukan teknik konservasi tanah dan air yang
berarti. Hanya saja, pemilik kebun melakukan konservasi tanah secara vegetatif,
itupun hanya mengandalkan tanaman liar dan gulma yang tumbuh di permukaan
tanah. Begitu pula dengan konservasi air, tidak ada dilakukan teknik konservasi
apapun di kebun tersebut.
Desa Alue panah memiliki sistem pemanenan air hujan yang dinamakan
embung. Dengan luas 1 ha dan kedalaman 2 meter, embung ini dapat mengairi
lahan sawah seluas 20 ha. Sumber air dari embung ini berasal dari aliran air
gunung di sekitaran embung tersebut dan juga dari air hujan. Embung tersebut
hanya sebagai sumber air cadangan saat musim kemarau. Masyarakat sekitar desa
Alue Panah biasanya melakukan pemompaan dari bendungan Pasee.
Mekanisme pembagian air dari embung ke masyarakat adalah dengan
membuka pintu air utama embung tersebut, lalu lakukan pembukaan pintu air
primer diikuti dengan pembukaan pintu air sekunder dan akhirnya di sebar ke
sawah – sawah warga.
Debit air di embung ini tidak pernah diukur secara sistematis, akan tetapi
embung ini pernah menguap yang di sebabkan karena potensi air lebih besar
daripada kapasitas tampung. Menurut penyuluh pertanian di daerah setempat,
16
embung ini terbentuk karena adanya gaya gravitasi, maksudnya adalah air
mengalir ke tempat yang rendah. Hal ini disebabkan karena lingkungan di sekitar
embung dikelilingi bukit bukit yang tinggi. Apabila terjadi luapan air embung,
pengelola embung akan mengalirkan air tersebut menuju Daerah Aliran Sungai
(DAS) Krueng Pasee.
Pencemaran air tidak terjadi di embung ini, walaupun warga sekitar
melakukan aktifitas rumah tangga seperti mencuci dan mandi. Hal ini di sebabkan
karena debit air embung ini dalam keadaan optimum.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kegiatan perkebunan di Desa Alue Panah ini jauh dari SOP perkebunan
pada umumnya, hal itu dapat dilihat dari pengolahan tanah, penyiangan,
pemupukan maupun konservasi tanah dan airnya. Dari data yang di terima
langsung menyebutkan bahwa lahan di perkebunan rakyat tersebut tidak
dilakukan pengolahan tanah yang berarti, tidak ada pembuatan terasering,
padahal lahan perkebunan tersebut memiliki lereng yang bergelombang.
Dalam hal penyiangan, petani setempat juga melakukan penyiangan sekali
dalam 2 minggu, itupun jika mereka sempat. Pemupukan juga seperti itu,
pemilik kebun hanya memupuk tanaman sekali dalam setahun. Konservasi
tanah juga hanya mengandalkan tanaman liar yang tumbuh di sekitaran
tanaman sebagai konservasi tanah secara vegetatif.
2. Teknik pemanenan air hujan di desa alue panah sudah tergolong baik,
pasalnya di desa ini sudah memiliki embung yang dapat mengaliri 20 ha
lahan sawah milik warga sekitar desa alue panah. Embung dengan luas 1
ha dan kedalaman 2 meter ini membantu kesulitan air masyarakat sekitar
saat musim kemarau.
5.2 Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, M., Hafiza, Yuningsih, E., Nasution, I. M., Wati, D. M., dan Waringun, A.
R. 2014. Pedoman Budidaya Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis)
Yang Baik : direktoral Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian.
Fauzi. Y. Yustina EW. Iman S. dan Rudi Hartono. 2005. Kelapa Sawit : Budidaya
Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Jakarta.
Penebar Swadaya.
INOBU. 2016. Seluk Beluk Perkebunan Kelapa Sawit dan Tantangan Budidaya
Sawit Secara Swadaya. Kalimantan Tengah: Institut Penelitian Inovasi
Bumi.
Mulyani, A., dan Sarwani, M,. 2013. Karakteristik dan Potensi Lahan Sub
Optimal untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Bogor: Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan.
Nengsih, Y,. 2016. Tumpang Sari Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis)
dengan Tanaman Karet (Hevea brassiliensis). Jurnal Media Pertanian Vol.
1 No.2 Hal 69-77.
18
19
Siregar, M. R> dan Wachjar, A. 2017. Manajemen Panen Kelapa Sawit (Elais
guinensis)di Gunung Sari Estafet. Jurnal Agrohorti, vol. 5. (3), hal 301-
308.
Utomo, M., Sabrina, T., Sudarsono, Lumbanraja, J., Rusman, B., dan Wawan.
2016. Ilmu Tanah, Dasar – Dasar Pengelolaan. Jakarta : Prenada Media.