Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN

OLEH

AHMAD BUKHORI HASIBUAN

170310054

AET-5

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

ACEH UTARA

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ungkapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga laporan praktikum pengelolaan
sumber daya lahan dapat penulis selesaikan dengan baik. Selanjutnya, salawat dan
salam penulis sanjungkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para
sahabat Beliau yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam
yang penuh ilmu pengetahuan.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan


penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia terutama dalam penyediaan
lapangan kerja baru, sumber pendapatan petani dan penghasil devisa bagi negara.
Untuk keberhasilan budidaya kelapa sawit perlu memperhatikan kesesuaian lahan
dan faktor bahan tanam.

Dalam penyelesaian laporan praktikum ini penulis ingin mengucapkan


terimakasih atas dukungan dari berbagai sumber yang sangat membantu terutama
bapak Marjuki selaku penyuluh sekaligus narasumber yang memberikan
penjelasan tentang budidaya kelapa sawit, bapak Dr.Ir.H.Khusrizal.,M.P, ibu
Dr.Ir.Yusra.,M.P, bapak Dr.Ir.Halim Akbar., M.Si, serta ibu Dr.Ir.Mulyana.,M.P
selaku dosen pengajar dalam mata kuliah Pengelolaan Sumber Daya Lahan.

Penulis berharap laporan praktikum ini dapat menambah pengetahuan


pembaca dalam pembudidayaan kelapa sawit.

Aceh Utara, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Tujuan ............................................................................................... 2

1.3 Manfaat ............................................................................................. 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan ................................................................................................. 3

2.2 Evaluasi Sumber Daya Lahan ........................................................... 4

2.3 Pengelolaan Lahan Kering ................................................................ 5

2.4 Teknik Pemanenan Air Hujan ........................................................... 5

BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................ 9

3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 9

3.3 Metode Praktikum ............................................................................. 9

BAB 4, HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengelolaan Lahan Kering Tanaman Sawit ...................................... 11

4.1.1 Sistem Budidaya Tanaman Tingkat Petani ................................. 11

4.1.2 Penyiapan Lahan ......................................................................... 12

4.1.3. Teknik Penanaman ..................................................................... 13

4.1.4 Penyiangan .................................................................................. 13

ii
4.1.5 Pemupukan .................................................................................. 14

4.1.6. Pengairan .................................................................................... 14

4.1.7 Teknik Konservasi Tanah dan Air .............................................. 14

4.1.8 Biaya Pengeluaran ....................................................................... 15

4.2 Teknik Pemanenan Air Hujan ........................................................... 15

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 17

5.2 Saran .................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 18

LAMPIRAN ...........................................................................................

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahan (land) atau sumber daya lahan (land resources) adalah lingkungan
fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada
diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan tanah. Dalam hal ini
tanah juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Sumber daya tanah
merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
manusia karena sumber daya alam diperlukan dalam setiap kehidupan.
Indonesia memiliki lahan kering yang berpotensi untuk pertanian seluas
75.133.840 ha yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Bali, NTT, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang meliputi dataran rendah dan dataran tinggi.
Lahan kering dapat diartikan sebagai lahan yang tidak berpengairan atau lahan
yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara
terbatas.
Pengelolaan sumber daya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan
yang diberikan pada sebidang tanah untuk menjaga dan mempertinggi produksi
lahan tersebut. Lanskap adalah gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang
membentuk karakteristik permukaan tanah, yang meliputi aspek spasial, tekstural,
komposisional dan dinamika tanah.
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) saat ini merupakan salah
satu jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting disektor pertanian
umumnya, dan sektor perkebunan khususnya, hal ini disebabkan karena dari
sekian banyak tanaman yang menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit yang
menghasilkan nilai ekonomi terbesar per hektarnya di dunia. Melihat pentingnya
tanaman kelapa sawit dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan
meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan minyak sawit, maka perlu
dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi kelapasawit secara
tepat agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Salah satu diantaranya adalah
pengendalian hama dan penyakit.

1
2

Kelapa sawit menjadi tanaman perkebunan penting penghasil minyak


makanan, minyak industri, maupun bahan bakar nabati (biodiesel). Indonesia
adalah penghasil minyak kelapa sawit kedua dunia setelah Malaysia.Untuk
meningkatkan produksi kelapa sawit dilakukan kegiatan perluasan areal
pertanaman, rehabilitasi kebun yang sudah ada dan intensifikasi. Pelaku usaha
tani kelapa sawit di Indonesia terdiri dari perusahaan perkebunan besar swasta,
perkebunan negara dan perkebunan rakyat.

Khusus untuk perkebunan sawit rakyat, permasalahan umum yang


dihadapi antara lain rendahnya produktivitas dan mutu produksinya. Produktivitas
kebun sawit rakyat rata-rata 16 ton Tandan Buah Segar (TBS) per ha, sementara
potensi produksi bila menggunakan bibit unggul sawit bisa mencapai 30 ton
TBS/ha. Produktivitas CPO (Crude Palm Oil) perkebunan rakyat hanya mencapai
rata-rata 2,5 ton CPO per ha dan 0,33 ton minyak inti sawit (PKO) per ha,
sementara di perkebunan negara rata-rata menghasilkan 4,82 ton CPO per hektar
dan 0,91 ton PKO per hektar, dan perkebunan swasta rata-rata menghasilkan 3,48
ton CPO per hektar dan 0,57 ton PKO per hektar. Salah satu penyebab rendahnya
produktivitas perkebunan sawit rakyat tersebut adalah karena teknologi produksi
yang diterapkan masih relatif sederhana, mulai dari pembibitan sampai dengan
panennya. Dengan penerapan teknologi budidaya yang tepat, akan berpotensi
untuk peningkatan produksi kelapa sawit

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui makna dari lahan serta evaluasinya


2. Memahami mengenai pengelolaan lahan kering
3. Memahami teknik pemanenan air hujan

1.3 Manfaat

Manfaat dari praktikum ini adalah menambah wawasan dan pengetahuan


mengenai lahan, evaluasinya, pengelolaan lahan kering serta teknik pemanenan air
hujan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan

2.1.1 Pengertian Lahan

Lahan (dari bahasa Sunda) = land, adalah bagian bentang alam (landscape)
yang mencakup pengertian tanah, lingkungan fisik termasuk iklim,
topografi/relief, hidrologi dan vegetasi yang menutupinya, yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. (Anny Mulyani dan
Muhrizal Sarwani, 2013)

2.1.2 Jenis - Jenis Lahan

Menurut Mulyani et., al. (2013), terdapat beberapa jenis lahan, diantaranya
sebagai berikut:

1) Lahan Kering Masam ; Lahan kering masam adalah lahan kering yang
mempunyai reaksi tanah masam dengan pH < 5. Dalam klasifikasi tanah
skala 1:1.000.000, lahan kering masam ini dijumpai pada ordo tanah yang
telah mengalami perkembangan tanah lanjut atau tanah muda atau baru
berkembang atau tanah dari bahan induk sedimen dan volkan tua, dan atau
tanah lainnya dengan kejenuhan basa rendah < 50% (dystrik) dan regim
kelembaban tanah udik atau curah hujan > 2.000 mm per tahun.
2) Lahan Kering Iklim Kering ; Lahan kering iklim kering adalah lahan
kering yang mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan atau termasuk
pada iklim kering dengan jumlah curah hujan < 2.000 mm per tahun dan
bulan kering > 7 bulan (< 100 mm per bulan) . Kebalikan dengan di lahan
kering masam, pelapukan dan hancuran batuan induk tanah tidak seintensif
di wilayah beriklim basah, akibatnya pembentukan tanah terhambat dan
solum tanah dangkal, berbatu dan banyak ditemukan sungkapan batuan.
3) Lahan Rawa Pasang Surut ; Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang
tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air atau
tergenang . Sedangkan lahan rawa pasang surut adalah lahan rawa yang

3
4

dipengaruhi oleh pasang surut air laut, terletak dekat pantai, sebagian besar
berupa tanah mineral dan sebagian lagi berupa gambut.
4) Lahan Rawa Lebak ; Lahan rawa lebak adalah lahan rawa yang tidak
terpengaruh oleh pasang surut (rawa non pasang surut), tetapi dipengaruhi
oleh sungai yang sangat dominan, yaitu berupa banjir besar yang secara
periodik minimal 3 bulan menggenangi wilayah setinggi 50 cm . Rawa
lebak umumnya terletak pada kiri kanan sungai dan berada lebih ke dalam
dari dataran pantai ke arah hulu sungai. Selama musim hujan, rawa lebak
selalu digenangi air kemudian secara berangsur-angsur air akan surut sejalan
dengan perubahan musim hujan ke musim kemarau. Lebak dikelompokan
lebih lanjut berdasarkan tinggi genangan dan lama genangan menjadi lebak
dangkal (tinggi genangan < 50 cm, lama genangan < 3 bulan), lebak
tengahan (50-100 cm, 3-6 bulan), dan lebak dalam (> 100 cm, > 3-6
bulan).

5) Lahan Gambut ; Lahan gambut adalah lahan yang terbentuk dari bahan
tanah organik dengan kandungan C-organik > 12% berat jika kandungan
liat 0% atau >18% berat jika kandungan liat 60% atau lebih, dengan
kedalaman > 60 cm. Menurut klasifikasi tanah dikelompokkan sebagai
tanah organik atau Histosols atau Organosol.
2.2 Evaluasi Sumber Daya Lahan

Evaluasi sumber daya lahan adalah proses pendugaan potensi dari


sebidang lahan untuk suatu macam penggunaan lahan yang telah
dipertimbangkan. Beberapa ahli evaluasi lahan menyebutkan tentang pengertian
evaluasi sumberdaya lahan, namun pada intinya pengertiannya hampir sama
(Made Mega, dkk. 2010). Para ahli tersebut antara lain:
Vink menyebutkan bahwa evaluasi sumber daya lahan merupakan proses
membandingkan dan menginterpretasikan data tentang tanah, iklim,vegetasi dan
aspek lain dari lahan.Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah menetapkan
alternatif-alternatif penggunaanlahan tersebut dalam konteks sosial ekonomi
tertentu. (Made Mega, dkk. 2010)
Beek menyebutkan bahwa apa yang harus dilakukan dalam evaluasi
5

sumber daya lahan adalah memberikan prediksi mengenai besarnya input-output


baik efek yang menguntungkan maupun hambatan yang merugikan yang harus
diatasi sebagai akibat penggunaan tertentu. (Made Mega, dkk. 2010)
Tujuan dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk mengetahui potensi
atau nilai dari suatu lahan untuk penggunaan yang diinginkan. Evaluasi lahan
tidak hanya terbatas pada penilaian karakteristik/kualitas lahan saja, konsekuensi
sosial dan dampak lingkungan yang ditimbulkannya juga harus mendapat
perhatian. (Made Mega, dkk. 2010)

2.3 Pengelolaan Lahan Kering

Lahan kering merupakan lahan yang tidak digenangi air sepanjang


tahun, akan tetapi mengandalkan dari tadah hujan dan kadang menggunakan
sistem irigasi springkle. Cara pengelolaan air di patak tadah hujan, ada yang
tidak digenangkan dan ada yang digenangkan. Yang airnya digenangkan
disebut floodvater farming atau rainfed wetland fields .Oleh karena
penggenangan biasanya diterapkan pada pertanaman padi sawah,
terbentuklah istilah rainfed lowland rice . Jadi, istilah rainfed farming tidak
khusus mengunjuk penanaman secara kering dan hanya mengunjuk sumber
air yang dipergunakan, yaitu curah hujan langsung. Dryland farming atau dry
farming khusus mengunjuk penanaman secara kering, akan tetapi dikhususkan
untuk penanaman di daerah bercurah hujan terbatas, yang memerlukan teknik
pengunaan air hujan khusus yang dikenal dengan istilah rainwater harvesting
dan sistem pertaniannya dinamakan runoff agriculture. (Notohadiprowiro,
2006)
2.4 Teknik Pemanenan Air Hujan
Pemanenan air hujan merupakan cara penangkapan/penampungan dan
pemanfaatan air hujan secara optimal. Tindakan panen hujan tersebut harus
didukung dengan teknik konservasi air, maksudnya menggunakan air secara
efisien, misalnya melalui penurunan penguapan air. Dengan menerapkan teknik
panen hujan dan konservasi air diharapkan terjadi peningkatan ketersediaan air
bagi tanaman dan ternak, meningkatkan intensitas tanam, serta peningkatan
6

produksi dan pendapatan petani. Daerah-daerah yang memerlukan penerapan


teknik pemanenan hujan secara khusus diantaranya adalah:
 Kawasan beriklim kering dan semi kering (>4 bulan kering berturut-turut
sepanjang tahun atau 3-4 bulan tanpa hujan sama sekali).
 Kawasan dimana produksi tanaman pangan terbatas karena rendahnya
ketersediaan air tanah pada waktu tertentu selama musim tanam.
 Pada lahan berlereng yang kondisi fisik tanahnya buruk sehingga tidak
dapat menyimpan air. (Naiulu. 2014)

Berikut adalah beberapa cara pemanenan air hujan yang umumnya


dilakukan oleh masyarakat di Indonesia menurut Naiulu (2014):
1. Saluran Peresapan
Saluran peresapan adalah saluran yang dibuat untuk menahan sementara
air aliran permukaan pada bisang lahan sehingga air meresap ke dalam tanah.
Saluran dibuat dengan lebar 30-40 cm dan dalam 40-50 cm. Biasanya saluran
resapan dilengkapi dengan rorak untuk memaksimalkan serapan air dan untuk
menampung sedimen. Pada teras gulud saluran peresapan dibuat di lereng atas
dari gulud sedangkan pada teras bangku pada dasar tampingan teras.
Lubang resapan biopori (LRB) adalah teknologi konservasi tanah dan air yang
berupa lubang berbentuk silindris dengan diameter berkisar 10 cm yang digali di
dalam tanah yang kedalamanya sekitar 100 cm dari permukaan tanah atau tidak
melebihi muka air tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah meresapkan air
melalui biopori yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah di sekitar
LRB. Teknologi LRB memiliki banyak manfaat dalam menciptakan lingkungan yang
nyaman dan lestari. Menurut Brata dan Nelistya (2009) manfaat yang diperoleh dari
penerapan LRB yaitu: (1) memperbaiki ekosistem tanah, (2) mencegah banjir, (3)
menambah cadangan air tanah, (4) mengatasi kekeringan, (5) mempermudah
penanganan sampah, (6) mengubah sampah menjadi kompos, dan (7) mengatasi
masalah akibat genangan.

2. Rorak
Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat
pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur dengan ukuran kecil sampai
sedang, dibuat dengan arah memotong lereng pada bidang olah atau di saluran
7

peresapan. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam
tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah.
Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Arsyad
(2000) merekomendasikan dimensi rorak: dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan
panjang berkisar antara satu meter sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan
agar sama dengan panjang rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan
secara berselang-seling seperti pada gambar agar terdapat penutupan areal yang
merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang
landai (3% – 8%) dan agak miring (8% – 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng
yang miring (15% – 30%).
Untuk memaksimalkan fungsinya maka banguanan rorak (antar barisan)
dibuat secara zigzag atau berselang-seling. Pembuatan rorak dilakukan bersama
dengan pengolahan tanah dan persiapan tanam. Yang harus diwaspadai dalam
penerapan rorak dan teknologi pemanenan air lainnya adalah bahwa air hanya
boleh tergenang beberapa saat. Apabila penggenangan berlanjut, dikhawatirkan
akan terjadi masalah berupa penyakit yang menyerang melalui akar tanaman. Pada
daerah bercurah hujan tinggi dan kadar liat tanah tinggi, pembuatan rorak dapat
menyebabkan penggenangan yang berlanjut.
Penelitian yang dilakukan oleh Rejekiningrum dan Haryati (2002)
penelitian ini menemukan bahwa rorak mampu menurunkan aliran permukaan
sebesar 51% sehingga dapat menurunkan proses degradasi lahan. Pembuatan
rorak secara toposekuen dapat mendistribusikan air secara lebih merata dalam satu
hamparan.

3. Pematang Bulan Sabit


Cara ini biasa diterapkan untuk tanaman tahunan pada lahan berlereng.
Pematang berbentuk bulan sabit dibuat pada lereng bawah dari pohon. Pematang
ini akan menahan aliran air sehingga cadangan air tanah meningkat. Diameter
setengah lingkaran ini bisa berkisar dari 1 sampai 1,5 m. Secara bertahap sistem
ini bisa membentuk teras individu.
4. Lubang Penampung Air
Lubang penampung air hujan dibuat agar air hujan dapat terkonsentrasi di
sekitar perakaran tanaman tahunan sehingga tanah disekitar akar tanaman lebih
8

lembab. Cara ini cocok untuk daerah beriklim kering dan tanahnya tidak lengket.
Diameter lingkaran lobang ini bisa mencapai 2 m dan dalamnya/tinggi guludan 30
sampai 50 cm.
5. Jebakan Mulsa
Jebakan mulsa (mulsa vertikal) adalah bangunan menyerupai rorak yang
dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih panjang bila dibandingkan
dengan rorak. Ukuran jebakan mulsa disesuaikan dengan keadaan lahan. Lebar 0,4
- 0,6 m, dalam 0,3 - 0,5 m. Jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh
kemiringan lahan, atau berkisar antara 3 - 5 m.
Jebakan mulsa ini merupakan tempat untuk meletakkan sisa hasil panen,
atau rumput hasil penyiangan dan sekaligus berfungsi sebagai penampung air
aliran permukaan serta penampung sedimen. Pada musim tanam berikutnya
bersamaan dengan persiapan dan pengolahan tanah, maka jebakan mulsapun
diperbaiki/dibangun kembali. Hasil pelapukan sisa tanaman dan sedimen dari
jebakan mulsa dikembalikan ke lahan. Jebakan mulsa ini diketahui dapat
mengendalikan aliran permukaan.
9

BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Oktober 2019 pukul 09:00
s/d selesai tepatnya di Desa Alue Panah Kecamatan Nibong Kabupaten Aceh
utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum pengamatan dan penilaian lahan


kering dataran rendah dan praktikum pengamatan teknik pemanenan air hujan ini
antara lain: Peralatan alat tulis, kamera digital, papan jalan, laptop, viewer, dan
sound

Sedangkan bahan yang digunakan untuk praktikum pengamatan dan


penilaian lahan kering dataran rendah dan praktikum pengamatan teknik
pemanenan air hujan ini adalah: Kuisioner dan video tutorial.

3.3 Metode Praktikum

Adapun metode dari praktikum pengamatan dan penilaian lahan kering


dataran rendah ini adalah:

1. Menyiapkan alat tulis yang akan dijadikan sebagai bahan wawancara atau
mencatat gambaran kondisi lapang
2. Mewawancarai petani/masyarakat dengan pertanyaan yang telah
dipersiapkan
3. Mencatat dan meresume hal – hal penting yang berkaitan dengan
pengolahan yanah dan air untuk tanaman budidaya

Adapun metode dari praktikum pengamatan teknik pemanenan air hujan


ini adalah:

1. Menyiapkan alat tulis yang akan dijadikan sebagai bahan wawancara atau
mencatat gambaran kondisi lapang
10

2. Mewawancarai petani/masyarakat dengan pertanyaan yang telah


dipersiapkan
3. Mencatat dan meresume hal – hal penting yang berkaitan dengan teknik
pemanenan air hujan dan penggunaannya
4. Menentukan teknik panen air hujan yang tepat di suatu zona atau wilayah
budidaya tertentu
11

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengelolaan Lahan Kering Tanaman Sawit


4.1.1 Sistem Budidaya Tingkat Petani

Sistem budidaya yang digunakan adalah polikultur, hal ini dapat dilihat
dari data yang diambil dari petani Desa Alue Panah adalah luas lahan untuk
menanam kelapa sawit sebesar 3 ha, untuk menanam pinang 1 ha dan untuk
menanam coklat 1 ha. Hal ini tidak berpengaruh besar terhadap produksi ketiga
komoditas ini. Kombinasi tanaman kelapa sawit dengan tanaman lain
(interspesifik) masih belum dapat ditentukan apakah bersifat independent
(tanaman tidak saling mempengaruhi), kompetitif (kenaikan hasil spesies tanaman
yang satu mengakibatkan penurunan hasil lain), alelopati (terjadi akibat
seksresi/ekskresi/zat toksik yang dikeluarkan oleh jenis tanaman tertentu dalam
suatu komoditas) atau stimulasi (produktivitas suatu tanaman akan ditingkatkan
akibat keberadaan suatu spesies lain). Sifat-sifat kombinasi ini dapat ditentukan
dari pengamatan lapangan berdasarkan pertumbuhan dan atau produksi tanaman.
Tanaman sela diantara pertanaman kelapa sawit adalah mengusahakan tanaman
pangan, perkebunan dan hortikultura sebagai tanaman sela di antara kelapa sawit
sangat berpeluang untuk dilakukan. Jenis tanaman sela dan bentuk usaha taninya
tergantung sumber daya yang tersedia dan permintaan pasar. Sumber daya yang
dimaksud berupa kondisi lahan dan iklim, kondisi tanaman kelapa sawit, dan
status teknologi, sedang bentuk usaha taninya ditentukan oleh sosial budaya dan
ekonomi petani, serta permintaan pasar (Nengsih, 2016)
Tumpangsari kelapa sawit memiliki beberapa kelebihan yaitu:
mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ditujukan oleh nisbah kesetaraan lahan
(NKL) atau land equivalent ratio (LER), menghasilkan produk yang beragam,
memperoleh hasil tambahan, memperbaiki kesuburan tanah dan mencegah erosi
(Nengsih, 2016).
12

4.1.2 Penyiapan lahan

Pada praktikum pengelolaan sumber daya lahan yang dilakukan di Desa


Alue Panah, Kecamatan Nibong, Kabupaten ini melakukan pengamatan Lahan
Kering Dataran Rendah (LKDR) untuk komoditas sawit. Menurut Marzuki
sebagai pemilik lahan, lahan tersebut tidak dilakukan pengolahan lahan yang
berarti. Seperti pemotongan lereng, pengolahan tanah, maupun pembersihan
lahan. Hal ini disebabkan karena pemilik lahan enggan melakukan pengolahan
lahan itu sendiri. Padahal dapat diamati dengan kasat mata bahwa lahan yang
berada di desa ini memiliki lereng yang berombak menuju bergelombang, dalam
hal ini menunjukkan bahwa diharuskan untuk melakukan pemotongan lereng.
Akan tetapi, petani setempat tidak melakukan pemotongan lereng dan bahkan
menanam tanaman di sekitar lereng tersebut. Selain itu, dari informasi yang
didapat bahwa tidak dilakukan Olah Tanah Intensif (OTI) yang bertujuan agar
tekstur dan struktur tanah menjadi optimum.

Hal ini bertentangan dengan pendapat Indranada et., al. (1994) yang
menjelaskan bahwa pengolahan tanah adalah salah satu tahapan persiapan lahan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesuburan dari suatu tanah serta cocok untuk
pertumbuhan tanaman. Pemgolahan tanah ditujukan untuk memperbaiki sistem
perakaran tanaman, aerasi tanah dan kelembaban serta memperbesar aliran air
yang masuk ke dalam tanah.

Menurut Utomo (2016) Sistem pengolahan tanah dibagi menjadi olah


tanah konvensional dan olah tanah secara konservasi. Pengolahan tanah secara
konvensional disebut juga dengan Olah Tanah Intensif (OTI) yang menjadi
program pemerintah dan secara turun temurun masih digunakan oleh petani. Pada
sistem OTI, pengolahan tanah dilakukan dengan membersihkan bagian permukaan
tanah serta tanah digemburkan untuk sistem perakaran yang lebih baik.
Pengolahan tanah secara intensif juga dapat menimbulkan besarnya aliran
permukaan, sehingga menimbulkan erosi karena keadaan tanah yang terlalu
gembur, dan mudah terjadi pencucian unsur hara, terkikisnya lapisan permukaan
tanah serta rusaknya agregat tanah.
13

4.1.3 Teknik Penanaman

Dalam hal penanaman, di desa alue panah ini sudah terbilang baik,
menurut pemilik lahan, sistem penanaman sudah menggunakan sistem mata lima
dengan jarak tanam 9m x 9m. Menurut Astutui et.,al.( 2014) Penanaman kelapa
sawit yang baik makan akan menghasilkan tanaman yang sehat tidak abnormal.
Jarak tanam yang baik akan menghasilkaan tanaman yang baik pula. Pola jarak
tanam dalam penanaman kelapa sawit yaitu segitiga sama sisi, penentuan jarak
tanam di lapangan harus disesuaikan dengan karakter tanaman dan tingkat
kesuburan tanah serta topografi tanah tersebut, jarak tanam yang teratur dilakukan
dengan pemancangan yang baik. Penanaman kelapa sawit yang terlalu rapat akan
berpengaruh terhadap masalah ketinggian tanaman dan perebutan unsur hara oleh
tanaman. Pada daerah endemik Ganoderma maka dianjurkan 140-150 pohon / ha
dengan jarak tanam barisan 9,42- 8,77 m, sedangkan antar barisan 8,16 – 7,59m
dengan masa produktif selama 25 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
penanaman di desa alue panah sudah tergolong bagus, karena sudah menerapkan
pola tanam dan jarak tanam yang pas.

4.1.4 Penyiangan

Dalam hal penyiangan tergolong kurang baik, pasalnya untuk hal


pembersihan lahan dilakukan di sekeliling tanaman dan dilakukan sekali dalan 2
bulan. Menurut INOBU (2016) menyatakan bahwa pemeliharaan tanaman kelapa
sawit sangat mementukan keberhasilan produksi dari suatu tanaman.
Pemelihafaan meliputi teknik pemupukan tanaman, pemangkasan, pengendalian
hama dan penyakit, penyisipan tanaman dan penyiangan gulma.

Menurut Pratiwi (2012) menyebutkan bahwa penyiangan gulma bertujuan


untuk pengendalian gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman sehingga
dapat menurunkan produksi dari suatu tanaman sehingga menekan populasi gulma
berada dibawah ambang ekologis. Dengan dilakukan penyiangan akan
memberikan ruang tumbuh yang baik untuk tanaman. Penyiangan gulma
dilakukan apabila gulma telah menutupi 40-50% dari tanaman dilakukan pada
14

musim hujan dan musim kemarau. Dilakukan manual dengan sistem piringan
berdiameter 1-2 meter dimana batang tamana sebagai porosnya.

4.1.5 Pemupukan

Kagiatan pemupukan yang dilakukan di Desa Alue Panah ini tergolong


sangat buruk, pasalnya pemilik kebun hanya memberikan pupuk setahun sekali
mengikuti siklus keuangan pemilik kebun tersebut. Pupuk yang diberikan meliputi
pupuk Phonska dan Urea. INOBU (2016) menyebutkan bahwa pemupukan
adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan unsur hara untuk mencukupi
pertumbuhan tanaman serta menyeimbangkan ketersediaan unsur hara di dalam
tanah yang akan digunakan untuk pertumbuhan tanaman dan meningkatkan
produksi tanaman. Kegiatan pemupukan dilakukan pada awal musim hujan dan
dilakukan dengan cara membenamkan pupuk di dalam lubang sedalam 5-10 meter
di sekeliling tanaman, pemupukan juga dilakukan dengan dosis pupuk yang
dianjurkan

4.1.6 Pengairan
Masalah pengairan di perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Alue Panah
ini hanya mengandalkan air hujan, tidak ada melakukan konesrvasi air apapun
seperti pembuatan rorak, ataupun petak tadah hujan.
4.1.7 Teknik Konservasi tanah dan Air
Berdasarkan data pengamatan yang diambil dari pemilik kebun, pada
kebun tersebut tidak pernah dilakukan teknik konservasi tanah dan air yang
berarti. Hanya saja, pemilik kebun melakukan konservasi tanah secara vegetatif,
itupun hanya mengandalkan tanaman liar dan gulma yang tumbuh di permukaan
tanah. Begitu pula dengan konservasi air, tidak ada dilakukan teknik konservasi
apapun di kebun tersebut.

Konservasi tanah merupakan penempatan setiap bidang tanah pada cara


penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Upaya konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah erosi, (2)
memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan
15

produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan. Konservasi


air adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah dan mengatur waktu aliran
air agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu
musim kemarau (Simangunsong, 2011).
Metode konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu
(1) metode vegetatif, (2) metode mekanik dan (3) metode kimia. Pada perkebunan
kelapa sawit, teknik konservasi yang banyak digunakan adalah metode vegetatif
serta mekanik. Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau bagian-bagian
tanaman atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir hujan yang jatuh,
mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya
mengurangi erosi tanah (Simangunsong, 2011).
4.1.8 Biaya Pengeluaran
Berdasarkan pengamatan yang di lakukan, tidak ada rincian biaya yang
tetap, dikarenakan pemilik kebun tidak memiliki catatan pengeluaran. Pemupukan
dilakukan sekali dalam setahun, itupun dalam jumlah yang tidak mereka hitung.
Dalam hal pemeliharaan juga tidak memakan biaya yang besar, hanya
membersihkan lahan sekali dalam 2 minggu. Jika dalam konteks pembelian tanah,
harga tanah di Desa Alue Panah ini adalah 65 juta / ha.
4.2 Teknik Pemanenan Air Hujan

Desa Alue panah memiliki sistem pemanenan air hujan yang dinamakan
embung. Dengan luas 1 ha dan kedalaman 2 meter, embung ini dapat mengairi
lahan sawah seluas 20 ha. Sumber air dari embung ini berasal dari aliran air
gunung di sekitaran embung tersebut dan juga dari air hujan. Embung tersebut
hanya sebagai sumber air cadangan saat musim kemarau. Masyarakat sekitar desa
Alue Panah biasanya melakukan pemompaan dari bendungan Pasee.
Mekanisme pembagian air dari embung ke masyarakat adalah dengan
membuka pintu air utama embung tersebut, lalu lakukan pembukaan pintu air
primer diikuti dengan pembukaan pintu air sekunder dan akhirnya di sebar ke
sawah – sawah warga.
Debit air di embung ini tidak pernah diukur secara sistematis, akan tetapi
embung ini pernah menguap yang di sebabkan karena potensi air lebih besar
daripada kapasitas tampung. Menurut penyuluh pertanian di daerah setempat,
16

embung ini terbentuk karena adanya gaya gravitasi, maksudnya adalah air
mengalir ke tempat yang rendah. Hal ini disebabkan karena lingkungan di sekitar
embung dikelilingi bukit bukit yang tinggi. Apabila terjadi luapan air embung,
pengelola embung akan mengalirkan air tersebut menuju Daerah Aliran Sungai
(DAS) Krueng Pasee.
Pencemaran air tidak terjadi di embung ini, walaupun warga sekitar
melakukan aktifitas rumah tangga seperti mencuci dan mandi. Hal ini di sebabkan
karena debit air embung ini dalam keadaan optimum.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari laporan ini adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan perkebunan di Desa Alue Panah ini jauh dari SOP perkebunan
pada umumnya, hal itu dapat dilihat dari pengolahan tanah, penyiangan,
pemupukan maupun konservasi tanah dan airnya. Dari data yang di terima
langsung menyebutkan bahwa lahan di perkebunan rakyat tersebut tidak
dilakukan pengolahan tanah yang berarti, tidak ada pembuatan terasering,
padahal lahan perkebunan tersebut memiliki lereng yang bergelombang.
Dalam hal penyiangan, petani setempat juga melakukan penyiangan sekali
dalam 2 minggu, itupun jika mereka sempat. Pemupukan juga seperti itu,
pemilik kebun hanya memupuk tanaman sekali dalam setahun. Konservasi
tanah juga hanya mengandalkan tanaman liar yang tumbuh di sekitaran
tanaman sebagai konservasi tanah secara vegetatif.
2. Teknik pemanenan air hujan di desa alue panah sudah tergolong baik,
pasalnya di desa ini sudah memiliki embung yang dapat mengaliri 20 ha
lahan sawah milik warga sekitar desa alue panah. Embung dengan luas 1
ha dan kedalaman 2 meter ini membantu kesulitan air masyarakat sekitar
saat musim kemarau.
5.2 Saran

Diharapkan kepada pemerintah setempat untuk memberikan pelayanan


penyuluh yang lebih banyak lagi agar informasi mengenai perkebunan kelapa
sawit lebih baik dan lengkap. Agar masyarakat di desa alue panah ini menjalankan
perkebunan perseorangan ini dengan maksimal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, M., Hafiza, Yuningsih, E., Nasution, I. M., Wati, D. M., dan Waringun, A.
R. 2014. Pedoman Budidaya Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis)
Yang Baik : direktoral Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian.

Fauzi. Y. Yustina EW. Iman S. dan Rudi Hartono. 2005. Kelapa Sawit : Budidaya
Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Jakarta.
Penebar Swadaya.

Indranada, H. K. 1994. Pengelolaan Kesuburan Tanah . Jakarta : Bumi Aksara.

INOBU. 2016. Seluk Beluk Perkebunan Kelapa Sawit dan Tantangan Budidaya
Sawit Secara Swadaya. Kalimantan Tengah: Institut Penelitian Inovasi
Bumi.

Mulyani, A., dan Sarwani, M,. 2013. Karakteristik dan Potensi Lahan Sub
Optimal untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Bogor: Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan.

Nengsih, Y,. 2016. Tumpang Sari Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis)
dengan Tanaman Karet (Hevea brassiliensis). Jurnal Media Pertanian Vol.
1 No.2 Hal 69-77.

Notohadiprowiro, T. 2006. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi,


Prospek, Kendala, dan Pengambangannya. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.

Pratiwi, E. 2012. Teknik Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. Jakarta : Universitas


Alumnus.

Simangunsong, Z. 2011. Konservasi Tanah dan Konservasi Air Pada Perkebunan


Kelapa Sawit (Elais guinensis) PT Sari Lembah Subur, Pelalawan Riau.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

18
19

Siregar, M. R> dan Wachjar, A. 2017. Manajemen Panen Kelapa Sawit (Elais
guinensis)di Gunung Sari Estafet. Jurnal Agrohorti, vol. 5. (3), hal 301-
308.

Utomo, M., Sabrina, T., Sudarsono, Lumbanraja, J., Rusman, B., dan Wawan.
2016. Ilmu Tanah, Dasar – Dasar Pengelolaan. Jakarta : Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai