Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN BAWANG MERAH DALAM


KEGIATAN AGRONOMI

OLEH:

NAMA : LINDA SARI


NIM : A0116010
KELAS : PERTANIAN. A

FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN


UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN BAWANG
MERAH DALAM KEGIATAN AGRONOMI. Makalah ini merupakan salah
satu tugas dari mata kuliah Dasar-Dasar Agronomi..
Saya selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
bukanlah hal yang mudah. Banyak kesulitan yang penulis hadapi dalam
penyelesaiaannya, tetapi berkat bimbingan dosen dan peran teman-teman,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada
semua pihak yang membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, untuk itu saya
selaku penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan
makalah ini, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya.

Majene, Oktober 2017

i
DAFTAR ISI

Isi Hal

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
C. Tujuan .............................................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Botani dan Morfologi Tanaman Bawang Merah .............................................. 3
B. Syarat Tumbuh Tanaman Bawang Merah......................................................... 4
C. Pengolahan Tanah ............................................................................................. 6
D. Pengairan .......................................................................................................... 7
E. Pemupukan dan Penanaman .............................................................................. 8
F. Pemakaian Bibit Unggul.................................................................................... 10
G. Pengendalian Hama dan Penyakit ..................................................................... 11
H. Pengendalian Hama .......................................................................................... 12
I. Penanganan Panen dan Pasca Panen ................................................................. 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ....................................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu kebutuhan
pokok masyarakat Indonesia dan komoditas agrikultur yang memiliki nilai
ekonomis cukup tinggi. Bawang merah umumnya banyak digunakan sebagai
bumbu masak dan bahan obat tradisional. Permintaan pasokan bawang merah
di Indonesia berkorelasi positif dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal
ini merupakan peluang untuk mengembangkan agribisnis bawang merah
sebagai komoditas hortikultura (Rajiman, 2009).
Data BPS tahun 2013 menunjukkan bahwa impor bawang merah dari
negara Eropa mencapai angka 2.755.000 ton pada tahun 2013. Angka ini
mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2012 yang hanya mencapai
93.000 ton (Badan Pusat Statistik, 2015). Peningkatan impor bawang merah
merupakan indikasi dari tingginya permintaan bawang merah di pasaran.
Produksi bawang merah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, namun
belum dapat memenuhi tingginya kebutuhan pasar. Produksi bawang merah
pada tahun 2014 hanya mencapai angka 1.233.989 ton (Badan Pusat Statistik,
2015).
Agar sukses budidaya bawang merah dihadapkan dengan berbagai
masalah (resiko) di lapangan. Diantaranya cara budidaya, serangan hama, dan
penyakit, kekurangan unsur mikro dan lain-lain yang menyebabkan produksi
menurun. Dengan memperhatikan hal tersebut. Upaya dalam membantu
penyelesaian permasalahan tersebut salah satunya dengan peningkatan
produksi bawang secara kuantitas, kualitas dan kelestarian (k-3) sehingga
petani dapat berkarya dan berkompetisi di era perdagangan bebas.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini yaitu bagaimana seluk beluk dan cara budidaya tanaman
bawang merah.
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui seluk beluk dan
cara budidaya tanaman bawang merah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Botani dan Morfologi Tanaman Bawang Merah


Menurut Sunarjono dan Soedomo (1983), klasifikasi tanaman bawang
merah adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Lilialaes (Liliflorae)
Famili : Liliales
Genus : Allium
Spesies :Allium ascalonicum L.
Tanaman bawang merah memiliki akar serabut dengan sistem perakaran
dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam
tanah. Jumlah perakaran tanaman bawang merah dapat mencapai 20-200 akar
(AAK, 2004).
Bawang merah memiliki batang semu atau disebut discus yang
bentuknya seperti cakram, tipis, dan pendek sebagai tempat melekat akar dan
mata tunas (titik tumbuh). Bagian atas discus terbentuk batang semu yang
tersusun dari pelepah-pelepah daun. Batang semu yang berada di dalam tanah
akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis (bulbus), antara lapis
kelopak bulbus terdapat mata tunas yang dapat membentuk tanaman baru atau
anakan terutama pada spesies bawang merah biasa (Tim Bina Karya Tani,
2008).
Secara umum tanaman bawang merah mempunyai daun berbentuk bulat
kecil dan memanjang antara 50-70 cm, berwarna hijau muda sampai hijau tua,
berlubang seperti pipa, tetapi ada juga yang membentuk setengah lingkaran
pada penampang melintang daun. Bagian ujung daun meruncing, sedangkan
bagian bawahnya melebar dan membengkak (Rahayu dan Nur, 2007).

3
Bunga bawang merah merupakan bunga majemuk berbentuk tandan.
Setiap tandan mengandung sekitar 50-200 kuntum bunga yang tersusun
melingkar. Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna yang setiap
bunga terdapat benang sari dan kepala putik. Biasanya terdiri atas 5-6 benang
sari dan sebuah putik dengan daun bunga berwarna hijau bergaris keputih-
putihan, serta bakal buah duduk di atas membentuk suatu bangun seperti
kubah (Tim Bina Karya Tani, 2008). Menurut Rukmana 1995, buah
berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji berjumlah 2-3
butir. Bentuk biji pipih, sewaktu masih muda berwarna bening atau putih,
tetapi setelah tua menjadi hitam.
B. Syarat Tumbuh Tanaman Bawang Merah
a. Iklim
Bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di
dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 0 1000 m
diatas permukaan laut. Meskipun demikian ketinggian optimalnya adalah
10 30 m diatas permukaan laut saja. Pada ketinggian 500 1000 m
diatas permukaan laut, juga dapat tumbuh, namun pada ketinggian itu
yang berarti suhunya rendah pertumbuhan tanaman terhambat dan
umbinya kurang baik (Wibowo, 2007).
Tanaman bawang merah lebih optimum tumbuh di daerah beriklim
kering.Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas
hujan yang tinggi serta cuaca berkabut.Tanaman ini membutuhkan sinar
matahari yang maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25 -
32C dan kelembapan nisbi 50 - 70% (Sumarni dan Hidayat, 2005).
Sinar matahari berperan cukup besar bagi kehidupan tanaman
bawang, terutama dalam proses fotosintesis. Tanaman bawang merah
menghendaki areal penanaman terbuka, karena tanaman ini memerlukan
penyinaran yang cukup panjang sekitar 70%.Oleh karena itu tanaman
bawang merah dikelompokkan ke dalam tanaman berhari panjang (AAK,
2004).

4
Curah hujan yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman bawang
merah adalah antara 300-2.500 mm per tahun.Tanaman bawang merah
sangat rentan terhadap curah hujan tinggi, terutama daunnya yang mudah
rusak sehingga dapat menghambat pertumbuhannya, dan umbinya pun
mudah busuk (Tim Bina Karya Tani, 2008).
Pada suhu yang rendah, hasil berupa umbi dari tanaman bawang
merah kurang baik.Pada suhu 22 C tanaman masih mudah membentuk
umbi, tetapi hasilnya tidak sebaik jika ditanam di dataran rendah yang
bersuhu panas.Daerah yang sesuai adalah yang suhunya sekitar 25-32 C
dan suhu rata-rata tahunannya 30 C (Rahayu dan Berlian, 1999).
b. Tanah
Tanaman bawang merah menyukai tanah yang subur, gembur dan
banyak mengandung bahan organik. Tanah yang gembur dan subur akan
mendorong perkembangan umbi sehingga hasilnya lebih maksimal.
Selain itu, bawang merah hendaknya ditanam di tanah yang mudah
meneruskan air, aerasinya baik dan tidak boleh ada genangan. Jenis tanah
yang paling baik untuk bawang merah adalah tanah lempung berpasir
atau lempung berdebu. Jenis tanah ini mempunyai aerasi dan drainase
yang baik karena mempunyai perbandingan yang seimbang antara fraksi
liat, pasir dan debu (Rahayu dan Berlian, 1999).
Bawang merah menghendaki struktur tanah remah. Tanah remah
meiliki perbandingan bahan padat dan pori-pori yang seimbang. Bahan
padat merupakan tempat berpegang akar. Tanah remah lebih baik
daripada tanah bergumpal (AAK, 2004).
Tanaman bawang merah menghendaki tanah gembur subur dengan
drainase baik. Tanah berpasir memperbaiki perkembangan umbinya. pH
tanah yang sesuai sekitar netral, yaitu 5,5 hingga 6,5 sedangkan
temperatur cukup panas yaitu 25 32C. Persyaratan tumbuh untuk
bawang bombai berlaku pula untuk bawang merah (Ashari, 1995).

5
C. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan
lapisan olah yang gembur dan cocok untuk budidaya bawang merah.
Pengolahan tanah umumnya diperlukan untuk menggemburkan tanah,
memperbaiki drainase dan aerasi tanah, meratakan permukaan tanah, dan
mengendalikan gulma.
Pada lahan kering, tanah dibajak atau dicangkul sedalam 20 cm,
kemudian dibuat bedengan-bedengan dengan lebar 1,2 meter, tinggi 25 cm,
sedangkan panjangnya tergantung pada kondisi lahan. Pada lahan bekas padi
sawah atau bekas tebu, bedengan-bedengan dibuat terlebih dahulu dengan
ukuran lebar 1,75 cm, kedalaman parit 50 60 cm dengan lebar parit 40 50
cm dan panjangnya disesuaikan dengan kondisi lahan. Kondisi bedengan
mengikuti arah Timur Barat. Tanah yang telah diolah dibiarkan sampai kering
kemudian diolah lagi 2 3 kali sampai gembur sebelum dilakukan perbaikan
bedengan-bedengan dengan rapi. Waktu yang diperlukan mulai dari
pembuatan parit, pencangkulan tanah sampai tanah menjadi gembur dan siap
untuk ditanami sekitar 3 4 minggu. Lahan harus bersih dari sisa tanaman
padi/tebu dapat menjadi media patogen penyakit seperti Fusarium sp.
(Hidayat 2004).
Pada saat pengolahan tanah, khususnya pada lahan yang masam dengan
pH kurang dari 5,6, disarankan pemberian kaptan/dolomit minimal 2 minggu
sebelum tanam dengan dosis 1 1,5 t/ha/tahun, yang dianggap cukup untuk
dua musim tanam berikutnya. Pemberian dolomit ini penting dilakukan untuk
meningkatkan ketersediaan unsur hara Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg),
terutama pada lahan masam atau lahan-lahan yang diusahakan secara intensif
untuk tanaman sayuran pada umumnya. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa untuk lahan yang dikelola secara intensif, pemberian dolomit sebanyak
1,5 t/ha dapat meningkatkan bobot basah dan bobot kering bawang merah.
Efisiensi penggunaan lahan pada penanaman bawang merah pertama
sekitar 65%, sedangkan pada penanaman selanjutnya hanya 50-55% (Sutarya

6
dan Grubben 1995). Adanya erosi dan perbaikan saluran-saluran membuat
lebar bedengan untuk penanaman kedua mengecil.
D. Pengairan
Salah satu cara pemeliharaan dalam budidaya bawang merah adalah
pengairan lahan maupun tanaman. Bawang merah merupakan tipikal tanaman
yang tidak begitu menyukai pemberian air terlalu banyak, jadi harus
diperhatikan dengan seksama saat melakukan penyiraman. Lahan saat
dilakukan pengairan tidak boleh terlalu kering dan juga tidak boleh terlalu
banyak air.
Pengairan untuk bibit bawang merah sebaiknya dilakukan dengan cara
menyiram menggunakan emrat, sprayer, atau sprinkle. Bisa juga
menggunakan cara leb, lalu genangan air dalam parit parit disiramkan ke
atas bedengan. Setelah proses penyiraman segera mungkin parit dikeringkan
kembali, agar tidak terlalu menggenang pada permukaan lahan tanam bawang
merah.
Penyiraman yang pertama dilakukan beretepatan dengan saat penanaman.
Penyiraman dapat diulang tiap hari sampai daun pertama dari bibit bawang
merah mulai tumbuh atau kira-kira pada umur 1-2 minggu. Apabila cuaca
kering penyiraman dapat dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari.
Setelah umur 14-50 hari , penyiraman cukup dilakukan sehari sekali saja pada
sore hari. Kemudian saat tanaman berumur 2 bulan, penyiraman dapat
dilakukan selama 2 kali sehari, karena pada umur ini tanaman bawang merah
membutuhkan banyak air untuk pembentukan dan pertumbuhan umbi.
Pada prinsipnya penyiraman dilakukan untuk menjaga agar tanah
bedengan tetap lembab sampai kira-kira tanaman berumur 50-60 hari. Perlu
diingat pengairan hanya cukup dilakukan untuk menjaga kelembaban, tidak
sampai menggenangi bedengan karena akan menyebabkan pembusukan umbi.
Tanaman bawang merah tidak menghendaki banyak hujan, karena umbi
bawang merah mudah busuk jika terkena banyak air. Akan tetapi tetap butuh
air yang cukup, oleh karena itu lahan tanaman bawang merah tetap

7
membutuhkan penyiraman intensif, apalagi jika budidaya bawang merah
dilakukan pada lahan bekas sawah.
E. Pemupukan dan Penanaman
Setelah lahan selesai diolah, kegiatan selanjutnya adalah pemberian
pupuk dasar. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk organik yang sudah
matang seperti pupuk kandang sapi dengan dosis 10 20 t/ha atau pupuk
kandang ayam dengan dosis 5-6 t/ha, atau kompos dengan dosis 4-5 t/ha
khususnya pada lahan kering. Selain itu pupuk P (SP-36) dengan dosis 200-
250 kg/ha (70 90 kg P2O5/ha), yang diaplikasikan 2-3 hari sebelum
tanaman dengan cara disebar lalu diaduk secara merata dengan tanah. Balitsa
merekomendasi penggunaan pupuk organik (kompos) sebanyak 5 t/ha yang
diberikan bersama pupuk TSP/SP-36. Pemberian pupuk organik tersebut
untuk memelihara dan meningkatkan produktivitas lahan. Dari beberapa
penelitian diketahui bahwa kompos tidak meningkatkan hasil bawang merah
secara nyata, tetapi mengurangi susut bobot umbi (dari bobot basah menjadi
bobot kering jemur) sebanyak 5% (Hidayat et al. 1991).
Umbi bibit ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 15 cm atau 15 cm x 15
cm (anjuran Balitsa). Dengan alat penugal, lubang tanaman dibuat sedalam
rata-rata setinggi umbi. Umbi bawang merah dimasukkan ke dalam lubang
tanaman dengan gerakan seperti memutar sekerup, sehingga ujung umbi
tampak rata dengan permukaan tanah. Tidak dianjurkan untuk menanam
terlalu dalam, karena umbi mudah mengalami pembusukan. Setelah tanam,
seluruh lahan disiram dengan embrat yang halus.
Pemupukan susulan I berupa pupuk N dan K dilakukan pada umur 10
15 hari setelah tanam dan susulan ke II pada umur 1 bulan sesudah tanam,
masing-masing dosis. Macam dan jumlah pupuk N dan K yang diberikan
adalah sebagai berikut : N sebanyak 150-200 kg/ha dan K sebanyak 50-100
kg K2O/ha atau 100-200 kg KCl/ha. Komposisi pupuk N yang paling baik
untuk menghasilkan umbi bawang merah konsumsi adalah 1/3 N (Urea) + 2/3
N (ZA)

8
Pupuk K sebanyak 50-100 kg K2O/ha diaplikasikan bersama-sama
pupuk N dalam larikan dan dibenamkan ke dalam tanah. Sumber pupuk K
yang paling baik adalah KCl atau K2MgSO4 (Kamas). Untuk mencegah
kemungkinan kekurangan unsur mikro dapat digunakan pupuk pelengkap cair
yang mengandung unsur mikro.
Dari penelitian pemupukan bawang merah di lahan bekas tanaman padi
sawah di dataran rendah (tanah Aluvial) dengan menggunakan pupuk N
sebanyak 200-300 kg (1/2 N-Urea + N-ZA) yang dikombinasikan dengan
P2O5 sebanyak 90 kg, K2O sebanyak 50-150 kg per hektar diketahui bahwa
produktivitas dan mutu bawang merah meningkat (Suwandi dan Hidayat
1992, Hidayat dan Rosliani 1996).
Tidak ada perbedaan yang nyata hasil umbi tanaman bawang merah yang
diberi kompos (5 t/ha) + ZA (500 kg/ha) + Urea (200 kg/ha) + SP-36 (200
kg/ha) + KCl (200 kg/ha) dengan yang diberi kompos (5 t/ha) + NPK 16-16-
16 (600 kg/ha) + ZA (500 kg/ha) (Hidayat et al. 2003). Begitu pula di dataran
medium (jenis tanah asosiasi Andosol-Latosol) pemberian 90 kg/ha P2O5
dikombinasikan dengan 200 kg N/ha (1/3 N-Urea + 2/3 N-Za) dan 100 kg
K2O/ha dapat meningkatkan haisl umbi bawang merah (Gunadi dan Suwandi
1989).
Hasil-hasil penelitian pemupukan N pada bawang merah menunjukkan
bahwa penggunaan campuran Urea + ZA lebih baik dibandingkan
penggunaan Urea atau ZA saja. Pupuk ZA selain mengandung N (21%) juga
mengandung S (23%). Bawang merah merupakan salah satu jenis tanaman
yang membutuhkan banyak sulfat. Sulfat memegang peranan penting dalam
metabolisme tanaman yang berhubungan dengan beberapa parameter penentu
kualitas nutrisi tanaman sayuran (Schung 1990). Jumlah S yang dibutuhkan
tanaman sama dengan jumlah P (Yamaguchi 1999). Menurut Hamilton et al.
(1998) ketajaman aroma tanaman bawang merah berkorelasi dengan
ketersediaan S di dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa batas
kritis sulfat untuk bawang merah bervariasi antara 50-90 ppm tergantung
pada tipe tanahnya. Pemberian S dengan dosis 20-60 ppm meningkatkan

9
serapan S, P, Zn dan Cn (Hatta et al. 2001), sedangkan menurut Hilman dan
Asgar (1995) bawang merah membutuhkan S sebanyak 120 kg S/ha.
F. Pemakaian Bibit Unggul
Pada umumnya bawang merah diperbanyak dengan menggunakan umbi
sebagai bibit. Kualitas umbi bibit merupakan salah satu faktor yang
menentukan tinggi rendahnya hasil produksi bawang merah. Umbi yang baik
untuk bibit harus berasal dari tanaman yang sudah cukup tua umurnya, yaitu
sekitar 70-80 hari setelah tanam. Umbi untuk bibit sebaiknya berukuran
sedang (5-10 g). Penampilan umbi bibit harus segar dan sehat, bernas (padat,
tidak keriput), dan warnanya cerah (tidak kusam). Umbi bibit sudah siap
ditanam apabila telah disimpan selama 2 4 bulan sejak panen, dan tunasnya
sudah sampai ke ujung umbi. Cara penyimpanan umbi bibit yang baik adalah
menyimpannya dalam bentuk ikatan di atas para-para dapur atau disimpan di
gudang khusus dengan pengasapan (Sutarya dan Grubben 1995, Nazaruddin
1999).
Faktor yang cukup menentukan kualitas umbi bibit bawang merah adalah
ukuran umbi. Berdasarkan ukuran umbi, umbi bibit digolongkan menjadi tiga
kelas, yaitu :
- umbi bibit besar ( = > 1,8 cm atau > 10 g)
- umbi bibit sedang ( = 1,5 1,8 cm atau 5 10 g)
- umbi bibit kecil ( = < 1,5 cm atau < 5 g)
Secara umum kualitas umbi yang baik untuk bibit adalah umbi yang
berukuran sedang (Stallen dan Hilman 1991). Umbi bibit berukuran sedang
merupakan umbi ganda, rata-rata terdiri dari 2 siung umbi, sedangkan umbi
bibit berukuran besar rata-rata terdiri dari 3 siung umbi (Rismunandar 1986).
Umbi bibit yang besar dapat menyediakan cadangan makanan yang
banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya di lapangan. Umbi
bibit berukuran besar ( > 1,8 cm) akan tumbuh lebih vigor, menghasilkan
daun-daun lebih panjang, luas daun lebih besar, sehingga dihasilkan jumlah
umbi per tanaman dan total hasil yang tinggi (Stallen dan Hilman 1991,
Hidayat et. al. 2003). Namun jika dihitung berdasarkan beratnya bibit, harga

10
umbi bibit berukuran besar mahal, sehingga umumnya petani menggunakan
umbi bibit berukuran sedang. Umbi bibit berukuran kecil ( = < 1,5 cm) akan
lemah pertumbuhannya dan hasilnya pun rendah (Rismunandar 1986).
Penggunaan umbi bibit besar tidak meningkatkan persentase bobot umbi
berukuran besar yang dihasilkan, tetapi total hasil per plot lebih tinggi jika
umbi bibit besar yang ditanam ( Stallen dan Hilman 1991).
Sebelum ditanam, kulit luar umbi bibit yang mengering dibersihkan.
Untuk umbi bibit yang umur simpannya kurang dari 2 bulan biasanya
dilakukan pemotongan ujung umbi sepanjang kurang lebih bagian dari
seluruh umbi. Tujuannya untuk mempercepat pertumbuhan tunas dan
merangsang tumbuhnya umbi samping (Rismunandar 1986, Hidayat 2004).
Banyaknya umbi bibit yang diperlukan dapat diperhitungkan berdasarkan
jarak tanam dan berat umbi bibit. Kebutuhan umbi bibit untuk setiap
hektarnya berkisar antara 600 1200 kg (Sutarya dan Grubben 1995).
Sebagai contoh, dari petakan seluas 1 m2 dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm
dapat ditanam 40 tanaman, maka untuk lahan 1 ha dengan efisiensi lahan 65%
diperlukan umbi bibit 6500 x 40 umbi = 260.000 umbi, seberat 260.000 x 5 g
= 1300 kg bersih. Maka untuk 1 ha tanaman, perlu diadakan penyediaan umbi
bibit kotor tidak kurang dari 1500 kg.
G. Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama penyakit yang menyerang tanaman bawang merah antara lain
adalah ulat grayak Spodoptera, Trips, Bercak ungu Alternaria (Trotol);
otomatis (Colletotrichum), busuk umbi Fusarium dan busuk putih Sclerotum,
busuk daun Stemphylium dan virus.
Pengendalian hama dan penyakit merupakan kegiatan rutin atau tindakan
preventif yang dilakukan petani bawang merah. Umumnya kegiatan ini
dilakukan pada minggu kedua setelah tanam dan terakhir pada minggu
kedelapan dengan dengan interval 2-3 hari.
Pengendalian hama dan penyakit yang tidak tepat (pencampuran 2-3 jenis
pestisida, dosis yang tidak tepat, spuyer (nozzle) yang tidak standar) dapat
menimbulkan masalah yang serius (kesehatan, pemborosan, resistensi hama

11
dan penyakit, residu pestisida, pencemaran lingkungan dan sebagainya).
Salah satu cara yang dianjurkan untuk mengurangi jumlah pemakaian
pestisida adalah dengan tidak mencampurkan beberapa jenis pestisida,
memakai konsentrasi pestisida yang dianjurkan, memakai spuyer (nozzle)
standar dengan tekanan pompa yang cukup. Spuyer yang pernah dicoba di
Kabupaten Brebes adalah flat nozzle (spuyer kipas) yang dapat menghemat
volume aplikasi pestisida sampai 60% (Hidayat 2004).
Balai Penelitian Tanaman Sayuran juga telah mengembangkan Bio
insektisida untuk mengendalikan hama ulat bawang (Spodoptera exigua
Hubn.). Insektisida dengan bahan aktif SeNPV (Spodoptera exigua Nuclear
Polyhedrosis Virus), ini relatif aman untuk lingkungan dan mahluk hidup
lainnya, karena sangat selektif, hanya menjadi patogen untuk ulat bawang
(Moekasan 1998).
H. Pengendalian Gulma
Dalam hal teknik budidaya kehadiran gulma merupakan salah satu faktor
penghambat, karena dapat mengganggu proses pembudidayaan tanaman.
Kehadiran gulma dapat mengakibatkan terjadinya kompetisi dengan tanaman
budidaya dalam memperoleh unsur-unsur penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman seperti unsur hara, mineral, air, CO2, cahaya, dan
ruang tumbuh, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya penurunan hasil dan
mutu tanaman.
Gulma yang tumbuh di sekitar lahan budidaya akan menyerap unsur hara
yang dibutuhkan oleh tanaman, sehingga asupan unsur hara tidak diterima
secara utuh oleh tanaman bawang merah. Besarnya penurunan hasil yang
diakibatkan oleh kehadiran gulma menunjukkan pentingnya pengendalian dan
pengelolaan gulma yang baik agar produktifitas yang diinginkan dapat
tercapai.
Terdapat beberapa cara untuk mengendalikan gulma yaitu: (1) secara
kultur teknis, (2) secara mekanis, (3) secara biologis, dan (4) secara kimiawi.
Pengendalian yang banyak dilakukan yaitu dengan cara kimiawi

12
menggunakan herbisida, karena penggunaan herbisida memiliki beberapa
keuntungan jika dibandingkan dengan teknik pengendalian yang lain.
Keuntungan dari penggunaan herbisida yaitu: (1) lebih cepat menekan
pertumbuhan gulma, (2) lebih ekonomis, (3) lebih efektif, dan (4) menghemat
tenaga kerja dan waktu.
Salah satu herbisida yang digunakan yaitu pendimethalin yang bersifat
selektif dan sistemik. Herbisida pendimethalin yang diaplikasikan secara
pratumbuh akan diabsorpsi dengan cepat oleh membran dan biji yang sedang
berkecambah, tetapi tidak segera ditranslokasikan karena translokasi dari akar
ke tajuk sangat sedikit.
Penggunaan herbisida pada lahan budidaya bawang merah akan
mengakibatkan perubahan komposisi gulma, karena herbisida yang
digunakan hanya mampu mengendalikan gulma golongan tertentu saja
(selektif), gulma yang menjadi target sasaran akan terkendali, sedangkan
bagian vegetatif gulma yang masih tersisa dalam tanah akan berkecambah
dan tumbuh kembali menjadi gulma baru. Selain itu perubahan komposisi
gulma juga dikarenakan gulma memiliki tanggapan dan kecepatan tumbuh
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Bawang merah termasuk tanaman sayuran yang dalam hal pengendalian
gulmanya memerlukan perlakuan yang sedikit berbeda dibandingkan tanaman
lainnya. Selain jarak tanam yang relatif rapat, keadaan fisiologis tanaman
bawang merah juga mempengaruhi perlakuan dalam hal pengendalian gulma,
seperti tinggi tanaman yang tidak terlalu tinggi, batang dan daun bawang
merah sulit atau bahkan tidak bisa dibedakan. Hal inilah yang juga menjadi
perhatian saat akan dilakukan pengendalian gulma pada lahan budidaya
bawang merah selain faktor lingkungan seperti keadaan iklim di sekitar lahan
budidaya, sifat fisika dan kimia tanah lahan budidaya, dan keadaan gulma
yang akan dikendalikan.
Karena sifatnya yang sistemik dan selektif serta mudah diabsorpsi oleh
akar tumbuhan, maka herbisida pendimethalin dipilih untuk menjadi salah
satu herbisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma pada lahan

13
budidaya bawang merah. Hal ini disebabkan karena pada lahan budidaya
bawang merah terdapat jenis gulma yang berbeda-beda dan diharapkan
pendimethalin mampu untuk mengendalikan gulma dengan jenis yang
berbeda-beda tersebut.
I. Penanganan Panen dan Pasca Panen
Bawang merah dapat dipanen setelah umurnya cukup tua, biasanya pada
umur 60 70 hari. Tanaman bawang merah dipanen setelah terlihat tanda-
tanda 60% leher batang lunak, tanaman rebah, dan daun menguning.
Pemanenan sebaiknya dilaksanakan pada keadaan tanah kering dan cuaca
yang cerah untuk mencegah serangan penyakit busuk umbi di gudang.
Penanganan panen dengan mencabut seluruh bagian tanaman, umbi terbawa
berikut akar dan diusahakan daun jangan patah. Umbi yang tidak tercabut
dilakukan pencungkilan dengan menggunakan alat (cotek). Panen dilakukan
serentak seluruh petak untuk umur tanaman yang sama. Langkah-langkah
pasca panen bawang merah antara lain:
1. Pelayuan dan Pengeringan
Tujuan dari tahap ini adalah mencegah timbulnya kerusakan pada
umbi akibat membusuk atau terkena serangan penyakit. Cara
pengeringannya dilakukan dengan menjemur bawang merah di bawah
terik matahari. Tanaman-tanaman ini disejajarkan dengan posisi berdiri,
di mana bagian daun akan melindungi terpaan sinar mentari secara
langsung sehingga kulit umbinya tidak mengalami luka. Walaupun
murah dan mudah dikerjakan, metode ini masih bergantung pada musim
dan area penjemuran yang cukup luas.
2. Pembersihan dan Sortasi
Pembersihan dikerjakan dengan menghilangkan kotoran-kotoran
yang melekat di permukaan umbi bawang merah. Dengan demikian,
umbi pun terlihat bersih dan kualitasnya akan naik. Sedangkan, sortasi
adalah pengelompokan umbi berdasarkan mutunya. Pisahkan antara umbi
yang bernas, tidak cacat, tidak busuk, dan ukurannya seragam dengan
umbi yang jelek, rusak, atau busuk.

14
3. Penyimpanan
Bawang merah hasil panen biasanya akan disimpan dengan cara
mengikatnya memakai tali. Kemudian gantungkan setiap ikatan bawang
merah tadi di bagian langit-langit ruangan yang sejuk dan tidak lembab.
Kelemahan dari metode ini adalah kapasitas penyimpanan yang terbatas
karena dipengaruhi langsung oleh ukuran luasnya. Suhu yang bagus
untuk penyimpanan umbi bawang merah berkisar antara 30-34 dengan
tingkat kelembaban udara sekitar 65-75 %.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah nama tanaman dari
familia Alliaceae dan nama dari umbi yang dihasilkan. Umbi dari tanaman
bawang merah merupakan bahan utama untuk bumbu dasar masakan
Indonesia. Bawang Merah menyukai daerah yang beriklim kering dengan
suhu agak panas dan mendapat sinar matahari lebih dari 12 jam. Bawang
merah dapat tumbuh baik didataran rendah maupun dataran tinggi (0-900 m
diatas permukaan laut) dengan curah hujan 300 - 2500 mm/tahun dan
suhunya 25- 32. Jenis tanah yang baik untuk budidaya bawang merah
adalah regosol, grumosol, latosol, dan aluvial, dengan pH 5.5 - 7.
Untuk budidaya bawang merah, pengolahan tanah dilakukan pada saat
tidak hujan 2 - 4 minggu sebelum tanam, untuk menggemburkan tanah dan
memberi sirkulasi udara dalam tanah. Tanah dicangkul sedalam 40 cm.
Budidaya dilakukan pada bedengan yang telah disiapkan dengan lebar 100-
200 cm, dan panjang sesuai kebutuhan. Pemeliharaan dilakukan dengan
penyiraman dengan menggunakan gembor atau sprinkler, atau dengan cara
menggenangi air disekitar bedengan yang disebut sistem leb. Pengairan
dilakukan secara teratur sesuai dengan keperluan tanaman, terutama jika tidak
ada hujan. Bawang merah dapat dipanen setelah umurnya cukup tua, biasanya
pada umur 60 70 hari.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan makalah Teknik
Budidaya Tanaman Bawang Merah dalam Kegiatan Ekonomi dengan
sumber-sumbernya yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Demikian
makalah yang penulis buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Arif Meftah Hidaya 2017. pengolahan lahan dalam budidaya tanaman bawang
merah. Online, http://www.anakagronomy.com/2017/02/
pengolahan-lahan-dalam-budidaya-tanaman.html 27 Oktober
2017
Agus Salim 2015. budidaya tanaman bawang merah. Online, http://agus
salim11.blogspot.co.id/2015/10/makalah-budidaya-tanaman-
bawang-merah.html 27 Oktober 2017
Citra Helda Anggia 2016. budidaya tanaman bawang merah. Online, http://citra
heldaanggia.blogspot.co.id/2016/12/laporan-kegiatan-
praktikum-budidaya.html 29 Oktober 2017
Saddam 2013. pengairan dalam budidaya tanaman bawang merah. Online,
http://www.bibitbawangmerah.com/2016/11/teknik-pengairan-
dalam-budidaya-bawang.html 28 Oktober 2017

iii

Anda mungkin juga menyukai