PENDAHULUAN
1
dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan jerami padi untuk diolah menjadi
kompos. Pengomposan limbah jerami padi bertujuan untuk meningkatkan unsur
hara tanah serta dapat mengurangi biaya produksi petani dalam pembelian pupuk,
terutama pupuk organik yang berguna dalam meningkatkan kandungan bahan
organik tanah (BOT) pada lahan sawah. Pengolahan secara maksimal jerami padi
menjadi kompos akan menghasilkan rendemen kompos minimal 58% dari bobot
awal jerami dengan kualitas yang masih belum memenuhi kompos SNI (Atmaja,
2016).
Jerami padi merupakan bahan organik yang sulit dirombak dalam waktu
singkat. Menurut Ekawati (2003), jerami padi mengandung 35,65% selulosa,
6,55% senyawa lignin, dan rasio C/N tinggi menyebabkan jerami sulit diuraikan
oleh mikroorganisme sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
didekomposisi. Penambahan bahan organik lain, seperti kotoran ayam yang
mengandung kadar nitrogen (N) tinggi yang dicampur dengan jerami dengan
kandungan senyawa karbon (C) dan lignin tinggi dapat digunakan untuk
mempercepat proses dekomposisi serta menambah kandungan hara pada kompos.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Atmaja (2016) yang menyatakan bahwa
kompos dengan komposisi bahan baku jerami dicampur kotoran ayam
memerlukan waktu pengomposan selama 63 hari, dibandingkan dengan hasil
penelitian Budiarta (2016) tentang proses pengomposan jerami padi tanpa
penambahan bahan organik lain yang memerlukan waktu pengomposan lebih
lama yaitu selama 84 hari.
Menurut Atmaja (2016), jumlah populasi ayam yang diternakkan di
Tabanan, khususnya di wilayah Penebel sekitar 2-3 juta ekor yang dimiliki oleh
beberapa peternak skala besar dan kecil. Satu orang peternak skala besar dapat
mempunyai jumlah ayam sebanyak 250.000 ekor, sedangkan untuk rata-rata
jumlah ayam yang dimiliki seorang peternak skala kecil mencapai 10.000 ekor.
Berdasarkan kajian empiris, satu ekor ayam dapat memproduksi kotoran sebanyak
100 gram/hari. Dengan jumlah populasi ayam yang diternakkan mencapai 2-3 juta
ekor untuk peternak skala besar maupun kecil, maka jumlah kotoran ayam yang
dapat dihasilkan dan diolah menjadi kompos mencapai 200-300 ton/hari. Jumlah
kotoran yang melimpah tersebut apabila diolah menjadi kompos akan
2
meningkatkan nilai guna dari kotoran ayam serta potensial digunakan sebagai
bahan campuran pada proses pengomposan limbah jerami padi.
Dalam proses pengomposan jerami padi yang dicampur kotoran ayam,
terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, selain faktor komposisi bahan
baku dan rasio C/N, yaitu suhu serta kadar air. Menurut Isroi (2008), suhu
merupakan indikator yang menunjukkan aktivitas mikroorganisme pengurai
selama proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme pengurai dalam proses
pengomposan berpengaruh terhadap perubahan suhu dalam tumpukan bahan
kompos. Selain suhu, aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan juga
dipengaruhi oleh faktor kadar air tumpukan kompos. Menurut Som (2009), kadar
air berperan penting dalam metabolisme mikroorganisme pengurai yang terlibat
dalam proses pengomposan, sebab mikroorganisme hanya dapat memanfaatkan
molekul-molekul organik yang dilarutkan dalam air. Menurut Kusuma (2012),
kadar air optimal dalam proses pengomposan adalah 40-60%. Apabila kadar air
turun di bawah 40% menyebabkan aktivitas mikroorganisme pengurai terhambat,
sedangkan jika kadar air melebihi 60%, maka ruang antar partikel bahan organik
menjadi tertutupi akibat kelebihan kandungan air dan mencegah pergerakan udara
sehingga kadar oksigen dalam tumpukan kompos berkurang. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang dinamika suhu pada
proses pengomposan jerami padi dicampur kotoran ayam dengan perlakuan kadar
air dalam kaitannya dengan lama waktu proses pengomposan sehingga dihasilkan
kompos yang sesuai standar SNI 19-7030-2004.
3
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dinamika suhu pada proses pengomposan jerami dicampur
kotoran ayam yang diberikan perlakuan kadar air
2. Mengetahui kadar air bahan baku kompos jerami dicampur kotoran ayam
yang menghasilkan waktu pengomposan tercepat
1.4 Manfaat
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan panduan oleh petani
tentang proses pengomposan jerami dengan waktu yang lebih cepat serta
kadar air campuran bahan yang tepat, sehingga kompos yang dihasilkan
sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-7030-2004 dan dapat
digunakan saat proses tanam sekaligus mengurangi biaya dalam pembelian
pupuk serta memberikan informasi kepada masyarakat umum serta
mahasiswa yang ingin melakukan penelitian sejenis.
2. Untuk meningkatkan nilai tambah dari jerami sebagai hasil sisa panen padi
dengan memanfaatkannya menjadi kompos sehingga dapat diaplikasikan
kembali ke lahan sawah untuk menambah kandungan bahan organik tanah.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
5
tanah (10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah oleh tanaman. Agar proses
pengomposan berlangsung optimum, maka kondisi saat proses harus dikontrol.
Berdasarkan ketersediaan oksigen bebas, mekanisme proses pengomposan
dibagi menjadi 2, yaitu pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pengomposan
secara aerobik merupakan proses pengomposan yang memerlukan ketersediaan
oksigen. Oksigen diperlukan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan
organik selama proses pengomposan berlangsung. Sedangkan pengomposan
secara anaerobik merupakan proses pengomposan yang tidak memerlukan
ketersediaan oksigen, namun hanya memerlukan tambahan panas dari luar
(Sutanto, 2002).
Kualitas kompos ditentukan oleh tingkat kematangan kompos seperti :
warna, tekstur, bau, suhu, pH, serta kualitas bahan organik kompos. Bahan
organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang
merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang
ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan penyerapan bahan
nutrient antara tanaman dan mikroorganisme tanah. Menurut Sutanto (2002),
keadaan tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman.
Kompos yang berkualitas baik diperoleh dari bahan baku yang bermutu baik.
Kompos yang berkualitas baik secara visual dicirikan dengan warna yang cokelat
kehitaman menyerupai tanah, bertekstur remah, dan tidak menimbulkan bau
busuk.
Beragamnya bahan baku serta teknik pembuatan kompos tentunya sangat
berpengaruh terhadap kualitas serta kandungan kompos yang dihasilkan. Agar
kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas baik, maka diperlukan adanya
standar yang digunakan sebagai acuan, salah satunya adalah SNI 19-7030-2004
tentang spesifikasi kompos. Berikut disajikan tabel tentang spesifikasi kompos
berdasarkan SNI 19-7030-2004.
6
Tabel 1. Standar Kompos SNI 19-7030-2004
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
o
1 Kadar Air % C 50
2 Temperatur Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran Partikel mm 0,55 25
6 Kemampuan Ikat Air % 58
7 pH 6,80 7,49
8 Bahan Asing % 1,5
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40
11 Karbon % 9,80 32
12 Phosfor (P2O5) % 0,10
13 C/N-Rasio 10 20
14 Kalium (K2O) % 0,20
15 Arsen mg/Kg 13
16 Cadmium (Cd) mg/Kg 3
17 Cobalt (Co) mg/Kg 34
18 Chromium (Cr) mg/Kg 210
19 Tembaga (Cu) mg/Kg 100
20 Merkuri (Hg) mg/Kg 0,0
21 Nikel (Ni) mg/Kg 62
22 Timbal (Pb) mg/Kg 150
23 Selenium (Se) mg/Kg 2
24 Seng (Zn) mg/Kg 500
25 Calsium (Ca) % 25,50
26 Magnesium (Mg) % 0,60
27 Besi (Fe) % 2,00
28 Aluminium (Al) % 2,20
29 Mangan (Mn) % 0,10
30 Fecal Coli MPN/gr 1000
31 Salmonella sp. MPN/4gr 3
Sumber : SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos
7
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
2.2.1 Rasio C/N
Rasio C/N merupakan perbandingan dari unsur karbon (C) dengan nitrogen
(N) yang berkaitan dengan metabolisme mikroorganisme pengurai dalam proses
pengomposan. Selama proses pengomposan, mikroorganisme pengurai
membutuhkan karbon (C) sebagai sumber energi dan nitrogen (N) sebagai zat
pembentuk sel mikroorgnasime. Jika rasio C/N tinggi, maka aktivitas
mikroorganisme pengurai akan berjalan lambat untuk mendekomposisi bahan
organik kompos sehingga waktu pengomposan menjadi lebih lama. Sedangkan
apabila rasio C/N rendah, maka nitrogen yang merupakan komponen penting pada
kompos akan dibebaskan menjadi ammonia dan menimbulkan bau busuk pada
kompos (Djuarnani, 2005).
8
untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat
terdekomposisi dengan cepat.
9
Pada pengomposan dengan metode indore heap, bahan-bahan yang akan
dikomposkan ditimbun secara berlapis-lapis dengan ketebalan 10-25 cm per lapis,
dimana bagian atasnya ditutupi dengan kotoran ternak yang tipis untuk
mengaktifkan proses pengomposan. Sedangkan pengomposan dengan metode
indore pit, bahan dasar kompos yang digunakan adalah kotoran ternak dan disebar
secara merata di dalam lubang tanah dengan ketebalan 10-15 cm. bahan-bahan
kompos tersebut disusun secara berlapis-lapis dan dilakukan penambahan air
secukupnya yang bertujuan untuk menjaga kelembaban bahan.
10
2.4 Komposisi Bahan Baku Kompos
Komposisi bahan baku kompos yang terdiri dari pencampuran bebagai
bahan organik merupakan faktor penting untuk menghasilkan kompos dengan
kualitas baik serta mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap. Material
bahan organik yang ditambahkan dapat berbentuk substrat basah yang berasal dari
lumpur, jerami, serbuk gergaji, serta sampah organik.
Menurut Indriani (2011), pengomposan dari beberapa macam bahan organik
dapat mempercepat laju dekomposisi kompos serta menambah kandungan unsur
hara dari kompos yang dihasilkan. Pengomposan bahan organik yang berasal dari
limbah tanaman dapat berlangsung lebih cepat apabila ditambahkan dengan
kotoran hewan. Beberapa limbah tanaman, seperti jerami memiliki kandungan
karbon, selulosa, serta lignin yang tinggi sehingga membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk didekomposisi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Budiarta
(2016) yang menyatakan bahwa proses pengomposan limbah tanaman padi
(jerami) yang hanya ditambahkan larutan bioaktivator tanpa adanya campuran
bahan organik lain membutuhkan waktu dekomposisi selama 84 hari, sehingga
penambahan kotoran hewan yang mengandung nitrogen tinggi penting dilakukan
agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat. Menurut Atmaja (2016),
pengomposan limbah tanaman padi (jerami) yang ditambahkan dengan kotoran
ayam membutuhkan waktu dekomposisi selama 63 hari.
Selain mempercepat waktu pengomposan, penambahan bahan organik juga
bertujuan untuk menghasilkan kompos dengan rasio C/N yang sesuai dengan rasio
C/N tanah (10-12). Menurut Yuwono (2006), hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara membuat perbandingan yang bervariasi, misalnya satu bagian bahan yang
mempunyai kandungan unsur karbon tinggi dengan 2 bagian bahan yang
mengandung karbon rendah.
2.4.1 Jerami
Jerami adalah hasil sampingan dari usaha pertanian berupa tangkai dan
batang tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-bijinya dipisahkan. Jerami
merupakan limbah pertanian terbesar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bahan organik tambahan pada tanah. Namun, jerami sering dipandang menjadi
permasalahan bagi petani, sehingga solusi yang sering dilakukan adalah dengan
11
membakar limbah tersebut atau hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak
alternatif saat musim kering akibat sulitnya mendapatkan hijauan.
Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang berpotensi
dimanfaatkan sebagai penambah unsur hara apabila dikembalikan ke dalam tanah.
Menurut Ekawati (2003), jerami padi memiliki kandungan hara yang berguna
untuk meningkatkan kesuburan tanah. Kandungan hara yang terkandung dalam
jerami padi disajikan pada Tabel 2.
Jerami padi tergolong bahan organik yang memiliki rasio C/N tinggi. Bahan
organik yang mempunyai rasio C/N tinggi memberikan pengaruh yang lebih besar
terhadap perubahan sifat-sifat fisik tanah. Namun, bahan organik dengan rasio
C/N tinggi membutuhkan waktu yang lebih lama mengalami proses pengomposan
sehingga membutuhkan campuran bahan organik lain seperti kotoran ternak yang
mempunyai rasio C/N rendah agar proses pengomposan dapat berjalan optimal.
Selain rasio C/N tinggi, jerami padi juga memiliki kandungan selulosa dan
lignin yang tinggi sehingga sulit didekomposisi oleh mikroorganisme. Maka dari
itu, diperlukan suatu dekomposer yang mempunyai aktivitas selulolitik tinggi
dengan dikeluarkannya enzim selulose. Penambahan jerami yang sudah diolah
menjadi kompos secara konsisten dalam jangka panjang dapat meningkatkan
kandungan bahan organik tanah.
12
kandang termasuk suhu dan kelembaban, serta ransum yang dimakan. Dalam
pemeliharaan ayam menghasilkan limbah berupa kotoran yang mempunyai
kandungan hara serta nutrisi yang cukup tinggi. Kotoran ayam memiliki
kandungan unsur nitrogen dan mineral tinggi khususnya pada urin, sedangkan
pada buangan padat mempunyai kandungan protein yang tinggi. Menurut
Sidabutar (2012), unsur protein yang tinggi pada kotoran ayam merupakan media
yang sangat baik untuk perkembangan mikroorganisme. Berikut disajikan tabel
tentang kandungan hara kotoran ayam.
13
Hal tersebut terjadi karena kompos kotoran ayam mengalami dekomposisi yang
lebih cepat jika dibandingkan dengan kompos dari kotoran ternak lainnya.
14
suhu akan turun kembali sampai mencapai kisaran suhu awal. Pada tahap ini
kompos sudah terbentuk dan siap digunakan (Djuarnani, 2005).
15
kompos sebelum dan sesudah dipanaskan merupakan kadar air yang terkandung
dalam kompos. Secara matematis, rumus perhitungan kadar air dengan metode
gravimetri adalah sebagai berikut :
(𝑊0 −𝑊1 )
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (%) = 𝑥100% ………………………………..(1)
𝑊0
16
III. METODE PENELITIAN
Tabel 4. Spesifikasi Alat Pengukuran Suhu, pH, dan Kadar Air Kompos
Alat Pengukuran
Spesifikasi
Suhu pH Kadar Air
Merk AMTAST AMTAST TK100W
Display 4,3 inch LCD 4,3 inch LCD 4,0 inch LCD
Range Pengukuran (-9) – (+50oC) 3,5 – 9,0 0 – 90%
Resolusi 1oC 0,5 0,1%
Dimensi 122 x 63 x 36 mm 122 x 63 x 36 mm 460 x 75 x 35 mm
Berat 0,23 kg 0,23 kg 0,20 kg
17
P1 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 30±2%
P2 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 40±2%
P3 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 50±2%
P4 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 60±2%
P5 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 70±2%
Komposisi jerami dan kotoran ayam pada semua perlakuan didasarkan pada
penelitian Atmaja (2016), dimana campuran terbaik untuk kompos dengan bahan
baku jerami dan kotoran ayam adalah dengan perbandingan 3:4 berdasarkan basis
berat (campuran bahan 15 kg jerami + 20 kg kotoran ayam) dengan berat total
pada semua tumpukan kompos 35 kg. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak
5 kali, sehingga diperoleh 25 unit percobaan.
2) Pemotongan Jerami
Proses pemotongan jerami dilakukan menggunakan alat bantu pisau besar
(parang) dengan ukuran jerami 10±1 cm. Pemotongan jerami menjadi ukuran
yang lebih kecil bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses
pengomposan yang dilakukan.
18
3) Penumpukan Bahan Kompos dan Penambahan Air Sesuai Perlakuan
Setelah semua bahan baku kompos siap, selanjutnya jerami padi dicampur
dengan kotoran ayam sesuai perbandingan yang telah ditentukan pada semua
perlakuan. Bahan kompos yang telah tercampur selanjutnya ditumpuk menyerupai
kerucut terpancung dalam beberapa tumpukan (guludan) dengan diameter satu
meter. Setiap tumpukan (guludan) diberikan tambahan air dengan kadar sesuai
perlakuan.
Tahap selanjutnya adalah melakukan penambahan larutan dekomposer
dengan tujuan untuk mempercepat proses dekomposisi. Larutan dekomposer yang
digunakan merupakan produk dari PT. Indo Acidatama dengan merk BeKa.
Dekomposer tersebut digunakan berdasarkan pada kandungan bakteri serta hara
yang lengkap dalam membantu proses pengomposan agar berjalan optimal.
Berdasarkan aturan pemakaian, untuk 35 kg bahan baku kompos diperlukan
larutan dekomposer (BeKa) sebanyak 35 ml yang telah dicampur dengan 3500 ml
air dan 35 ml larutan molase, sehingga total persentase larutan yang ditambahkan
ke tumpukan kompos adalah 3570 ml.
Persentase pemberian air pada tumpukan kompos disesuaikan dengan kadar
air awal campuran bahan kompos serta kadar air untuk masing-masing perlakuan.
Kadar air awal campuran bahan kompos didapat 29%, maka untuk perlakuan
kompos dengan kadar air 60%, persentase pemberian air yang ditambahkan adalah
sebagai berikut :
y = [(a – b) x c] - d……………………………………………………….(2)
19
Kemudian campuran larutan tersebut disiramkan secara merata ke seluruh
bagian tumpukan kompos dengan bantuan alat sprayer. Selanjutnya, masing-
masing tumpukan kompos yang sudah disiram larutan tersebut ditutup dengan
plastic UV yang bertujuan menjaga suhu kompos serta melindungi dari faktor
gangguan luar selama proses pengomposan. Metode pengomposan yang
digunakan adalah metode windrow secara aerob.
6) Pembalikan
Pembalikan kompos dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan tujuan untuk
menjaga pasokan oksigen (aerasi) serta mencegah timbulnya bau busuk pada
tumpukan kompos. Proses pembalikan dilakukan menggunakan alat sekop,
dimana tumpukan kompos dibongkar dari bagian atas sampai bawah, kemudian
kompos dibolak-balik sampai jerami dan kotoran ayam tercampur rata,
selanjutnya kompos ditumpuk kembali menyerupai piramid terpancung.
20
Mulai
Penetapan jumlah air yang ditambahkan ke campuran bahan kompos sesuai perlakuan
Proses pengomposan
Pembalikan
kompos matang
Analisis data
Selesai
3. Rendemen
Rendemen adalah berat kompos yang diperoleh setelah mengalami proses
pengomposan. Rendemen kompos dapat dihitung dengan persamaan 3 :
𝐵𝑘
𝑅 = 𝐵𝑎 𝑥100% ………………………………………(3)
22
4. Kualitas Kompos
Kompos yang telah matang harus diuji kualitasnya dengan melakukan uji
laboratorium. Uji kualitas kompos yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a) Uji Kadar Air
Uji kadar air kompos dilakukan dengan metode Gravimetri. Tahap pertama
yang dilakukan adalah menimbang berat ring sampel kompos (W0), selanjutnya
berat sampel dan ring sampel ditimbang menggunakan timbangan analitik (W1)
sehingga didapat berat sampel sebenarnya yaitu (W0 – W1). Kemudian, sampel
dioven dengan suhu 1050C selama 24 jam sampai mendapatkan berat kering
sampel atau berat sampel konstan. Perhitungan kadar air kompos ditunjukan pada
persamaan 4.
(𝑊0 −𝑊1 )
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (%) = 𝑥100% ……………………………………(4)
𝑊0
23
(𝑊0 −𝑊1 )
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 = 𝑊0
𝑥100% …………………………………(5)
Keterangan :
ppm kurva : kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antar
kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi
blanko.
𝑓𝑘 : faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)
24
e) Uji Kadar N-total
Kandungan N-total yang terdapat pada kompos dapat dihitung dengan
menggunakan metode Kjeldhal. Tahap pertama yaitu sampel sebanyak 500 gram
dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal berukuran 25 ml. Selanjutnya sampel
ditambahkan 1,9 campuran Se, CuSO4, Na2SO4, 5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu,
selanjutnya dikocok perlahan agar sampel basah, dan dijaga agar sampel tidak
memercik ke dinding labu. Kemudian sampel ditambahkan dengan parafin cair
sebanyak 5 tetes dan labu dipanaskan perlahan menggunakan api kecil sampai
cairan berubah menjadi hijau dan kemudian dipanaskan lagi selama 15 menit lalu
didinginkan.
Sampel yang sudah didinginkan selanjutnya ditambahkan air sebanyak 50 ml
sambil digoyangkan perlahan, kemudian sampel dipindahkan ke dalam labu
destilasi. Bahan cairan pada labu tidak boleh melebihi setengah dari isi labu.
Selanjutnya sampel ditambahkan 5 ml NaOH 50%, sambil melakukan destilasi,
lalu hasil destilasi ditampung ke dalam elenmeyer 125 ml yang telah diisi
campuran 100 ml H3BO4 4% dan 5 tetes indikator Conway, kemudian mengisi
destilat 100 ml. Perhitungan kadar N-total ditunjukkan pada persamaan 7.
(𝑉𝑠 −𝑉𝑏 )𝑥 𝑁 𝑥 14
%𝑁 = 𝑥100% ………………………..…………………(7)
𝑊
f) Rasio C/N
Untuk mengetahui tingkat kematangan dan kualitas kompos yang dihasilkan,
maka perlu dilakukan perhitungan rasio C/N dari kompos tersebut, yaitu dengan
membagi kadar C-organik dengan kadar N-total kompos. Perhitungan rasio C/N
kompos ditunjukkan pada persamaan 8.
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐶𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘
Rasio C/N = ……………………………………………(8)
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑁𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
25
3.6 Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada hasil penelitian ini adalah uji Anova untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati. Apabila didapat
hasil bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap variabel yang
diamati, maka analisis statistik dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui
nilai BNT (Beda Nyata Terkecil) menggunakan aplikasi SPSS. Jika bilangan rata-
rata didampingi huruf yang sama, maka hasil uji Duncan dinyatakan tidak berbeda
nyata pada P>0,05. Sedangkan, apabila bilangan rata-rata didampingi oleh huruf
yang berbeda dinyatakan bahwa hasil uji Duncan berbeda nyata pada P<0,05.
Selain uji Duncan, standar kompos SNI 19-7030-2004 juga digunakan sebagai
perbandingan dari kandungan kompos hasil penelitian.
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
27
Saat tumpukan bahan kompos memasuki hari ke-10, proses pengomposan
memasuki fase termofilik yang ditandai dengan peningkatan suhu kompos yang
signifikan mencapai >40oC. Proses pengomposan yang telah aktif akan
menghasilkan energi dan meningkatkan suhu bahan kompos. Peningkatan suhu
merupakan indikator adanya proses dekomposisi sebagai akibat hubungan kadar
air dengan aktivitas mikroorganisme pengurai. Pada Gambar 2 terlihat bahwa
seluruh perlakuan mencapai fase termofilik dengan rentang suhu maksimal pada
kisaran 40-49,6oC, kecuali pada perlakuan P1 (kadar air 30%), dimana suhu
maksimal yang dicapai sebesar 34,8oC. Hal tersebut menyebabkan proses
pengomposan pada perlakuan P1 tidak berjalan optimal dan terhenti pada fase
mesofilik sehingga berpengaruh terhadap hasil akhir selama proses pengomposan,
yaitu secara visual belum menjadi kompos dan hanya menghasilkan seresah.
Menurut Djuarnani (2005), kandungan kadar air tumpukan bahan kompos adalah
minimal 40%, sebagai syarat awal berhasilnya proses pengomposan yang ditandai
dengan kenaikan suhu mencapai 40-60oC.
Keempat perlakuan lainnya, yaitu P2, P3, P4, dan P5 setelah mengalami
fase termofilik, selanjutnya mulai memasuki fase pematangan kompos pada hari
ke-20, dimana suhu tumpukan bahan mulai mengalami penurunan yang
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pengurai mulai berkurang sehingga
energi yang dihasilkan juga berkurang dan suhu mengalami penurunan. Selain
penurunan suhu, setelah melewati fase mesofilik dan termofilik, kematangan
kompos juga terlihat dari perubahan tekstur remah serta warna bahan kompos
menjadi coklat kehitaman. Pada Gambar 2 terlihat perlakuan P4 mengalami
penurunan suhu yang paling cepat mendekati suhu lingkungan yaitu 29,6oC pada
hari ke-42 yang diikuti oleh tiga perlakuan lainnya. Suhu perlakuan P2, P3, dan
P5 mengalami penurunan mendekati suhu lingkungan berturut-turut pada hari ke-
52, 45, dan 48.
28
Tabel 5. Nilai rata-rata suhu selama proses pengomposan
Perlakuan Suhu Minimum (oC) Suhu Maksimum (oC) Suhu Rata-rata (oC)
P1 27,0 34,8 30,77 a
P2 28,4 49,6 37,76 b
P3 28,2 49,4 37,49 b
P4 28,2 49,4 36,53 b
P5 28,2 49,6 37,45 b
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)
Berdasarkan hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data pengukuran
suhu kompos seperti disajikan pada Tabel 5 didapatkan hasil bahwa antara
perlakuan P1 dengan keempat perlakuan lainnya (P2, P3, P4, P5) menunjukkan
nilai yang berbeda nyata, sedangkan antara perlakuan P2, P3, P4, dan P5 tidak
menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Perbedaan perubahan suhu pada perlakuan
P1 disebabkan karena proses pengomposan yang tidak berjalan optimal akibat
kandungan kadar air tumpukan kompos P1 <40%, yang merupakan syarat
minimal proses pengomposan berjalan optimal (Djuarnani, 2005). Hal tersebut
menyebabkan aktivitas mikroorganisme pengurai terhenti akibat kekurangan air
sehingga berpengaruh pada suhu selama proses pengomposan, yaitu suhu yang
dicapai <40oC serta hasil dari proses dekomposisi berupa seresah.
Sedangkan suhu maksimal antara P2, P3, P4, dan P5 nilainya tidak berbeda
jauh yaitu hanya berkisar 49,4-49,6oC. Selisih suhu kompos yang tidak begitu
signifikan disebabkan oleh penggunaan jenis bahan dan komposisi bahan yang
sama, yaitu jerami padi varietas unggul dicampur kotoran ayam, dimana antara
perlakuan satu dengan perlakuan lainnya hanya dibedakan komposisi kadar air
pada tumpukan kompos. Menurut Harahap (2010), proses pengomposan bahan
organik seperti jerami padi yang mempunyai rasio C/N tinggi suhunya tidak dapat
melebihi 52oC.
29
terjadi pada kisaran pH awal 5-6. Derajat keasaman (pH) yang terlalu tinggi
menyebabkan unsur nitrogen dalam bahan kompos menjadi hilang akibat
volatilisasi (berubah menjadi amonia), sedangkan jika nilai pH terlalu rendah
(asam) menyebabkan mikroorganisme pengurai mati. Hasil pengukuran pH
selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 3.
Pada awal proses pengomposan, nilai pH berkisar 6,2-6,4, hal tersebut
menunjukkan kondisi bahan organik yang dikomposkan dalam keadaan asam,
akibat aktivitas mikroorganisme pengurai yang menyebabkan terbentuknya asam-
asam organik. Kondisi asam tersebut akan mendorong pertumbuhan jamur dan
mendekomposisi lignin serta selulosa pada bahan kompos. Selanjutnya nilai pH
kompos terus mengalami peningkatan akibat aktivitas mikroorganisme pengurai
yang mendekomposisikan nitrogen dalam bahan kompos menjadi amonia,
sehingga menyebabkan kondisi basa. Pada akhir proses pengomposan, nilai pH
mengalami penurunan mendekati kondisi netral dengan kisaran 7,0 – 7,2.
Penurunan nilai pH pada akhir proses pengomposan menandakan dekomposisi
nitrogen sudah berkurang.
30
Berdasarkan hasil analisis uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data
perubahan derajat keasaman (pH) bahan kompos seperti yang disajikan pada
Tabel 6 didapatkan hasil bahwa dari seluruh perlakuan tidak menunjukkan nilai
yang berbeda nyata antara perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5.
Berdasarkan hasil analisis uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data
perubahan derajat keasaman (pH) bahan kompos seperti yang disajikan pada
Tabel 6 didapatkan hasil bahwa dari seluruh perlakuan tidak menunjukkan nilai
yang berbeda nyata. Kelima perlakuan dengan kadar air yang berbeda tidak
memberikan pengaruh signifikan terhadap derajat keasaman (pH) bahan organik
selama proses pengomposan.
Menurut Kusuma (2012), derajat keasaman (pH) selama proses pengomposan
tidak dipengaruhi oleh kadar air, tetapi dipengaruhi kandungan nitrogen bahan
organik kompos hasil sintesis protein oleh mikroorganisme pengurai. Derajat
keasaman (pH) bahan organik selama proses pengomposan selalu mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan komposisi kimia organik.
31
kompos sehingga waktu pengomposan menjadi lebih lama. Maka dari itu,
penambahan bahan organik lain seperti kotoran ternak yang mempunyai rasio C/N
rendah perlu dilakukan untuk dapat mempercepat proses pengomposan serta
menambah hara pada kompos, sehingga kompos yang dihasilkan mempunyai
kualitas yang baik. Hasil penelitian tentang lama waktu pengomposan untuk
masing-masing perlakuan dapai dilihat pada Tabel 7.
Waktu Pengomposan
Perlakuan Suhu akhir (oC)
Rata-rata (hari)
P1 52 a 27,0
P2 52 a 29,0
P3 45 b 29,6
P4 42 c 29,6
P5 48 d 29,2
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)
32
sebesar 29,6oC, dengan tekstur kompos yang dihasilkan remah seperti tanah serta
mempunyai warna coklat kehitaman.
Selanjutnya perlakuan P3 (kadar air 50±2%) dinyatakan matang pada hari ke-
52 dengan suhu mendekati suhu lingkungan yaitu 29,6oC, dimana tekstur serta
warna kompos yang dihasilkan sama dengan perlakuan P4, yaitu bertekstur remah
dan memiliki warna coklat kehitaman. Sedangkan untuk perlakuan P5 (kadar air
70±2%) dapat dinyatakan telah matang menjadi kompos pada hari ke-48, yang
ditandai dengan penurunan suhu tumpukan bahan menjadi 29,2oC, dengan
kompos yang dihasilkan mempunyai tektur yang sedikit lengket, memiliki warna
kehitaman, serta berbau. Selanjutnya untuk perlakuan P2 (kadar air 40±2%), suhu
tumpukan bahan mulai stabil pada hari ke-52 dengan suhu mencapai 29,0oC,
kompos yang dihasilkan mempunyai tekstur yang remah dan berwarna coklat
kehitaman. Sedangkan untuk perlakuan P1 (kadar air 30±2%) sampai memasuki
hari ke-52 dengan suhu akhir 27,0oC, tidak mengalami fase pematangan kompos
karena proses pengomposan terhenti pada fase mesofilik akibat kadar air
tumpukan bahan kompos dibawah syarat minimal kadar air untuk proses
pengomposan optimal, yaitu 40% sehingga mikroorganisme tidak mampu
menguraikan bahan kompos secara optimal sampai matang dan hanya
menghasilkan seresah.
Kadar air merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses
pengomposan (Som et al, 2009). Kadar air mempunyai peranan dalam rekayasa
pengomposan karena dekomposisi bahan-bahan organik tergantung pada
ketersediaan kandungan air. Apabila kandungan kadar air terlalu tinggi maupun
rendah akan mengurangi efisiensi proses pengomposan. Menurut Murbandono
(2008), kadar air optimal pada proses pengomposan berkisar antara 40-60%. Jika
kadar air melebihi 60%, maka pertumbuhan mikroorganisme pengurai dapat
terhambat karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga terjadi kondisi
anaerobik yang akan menimbulkan bau, sedangkan apabila kadar air dibawah 40%
maka dapat mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai
sehingga proses pengomposan menjadi terhambat (Kusuma, 2012).
Selain dipengaruhi kadar air, lama waktu proses pengomposan juga
dipengaruhi oleh faktor suhu serta aktivitas mikroorganisme pengurai. Menurut
33
Djuarnani (2005), mikroorganisme pengurai mempunyai beberapa fungsi selama
proses pengomposan berlangsung pada kondisi suhu yang berbeda. Berdasarkan
fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada suhu rendah (25-45oC)
berfungsi untuk merombak bahan-bahan kompos menjadi ukuran yang lebih kecil
sehingga mempercepat proses pengomposan. Sedangkan mikroorganisme
termofilik yang hidup pada suhu tinggi (45-65oC) berfungsi untuk mengonsumsi
karbohidrat dan protein yang digunakan untuk proses metabolisme sehingga
bahan kompos dapat terdekomposisi dengan cepat. Menurut Rahayu (2009),
secara alami proses pengomposan akan berlangsung dalam waktu 2-3 bulan
bahkan sampai bertahun-tahun hingga kompos benar-benar matang tergantung
karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang digunakan,
serta penambahan aktivator pengomposan.
Lama waktu pengomposan dapat dipercepat dengan memperhatikan
beberapa faktor seperti, rasio C/N bahan, ukuran bahan, dan penggunaan inokulan
untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme pengurai. Rasio C/N bahan organik
merupakan faktor penting dalam proses pengomposan. Hal tersebut disebabkan
karena pengomposan tergantung pada kegiatan mikroba yang membutuhkan
karbon sebagai sumber energi. Rasio C/N bahan yang tinggi menyebabkan
aktivitas mikroorganisme pengurai berjalan lambat akibat kekurangan unsur
nitrogen yang digunakan untuk sintesis protein, maka dari itu diperlukan
tambahan bahan organik yang mengandung unsur nitrogen tinggi seperti kotoran
hewan agar proses pengomposan dapat berjalan cepat. Pengomposan juga dapat
dipercepat dengan cara memperkecil ukuran bahan-bahan organik yang
dikomposkan. Menurut Yuwono (2006), bahan yang berukuran kecil akan cepat
didekomposisi karena luas permukaannya meningkat serta mempermudah kerja
mikroorganisme pengurai sehingga proses pengomposan dapat berjalan lebih
cepat. Selain itu, untuk mempercepat proses pengomposan diperlukan tambahan
inokulan yang bertujuan untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme pengurai
sehingga dapat mempercepat proses penguraian bahan organik kompos.
34
4.1.4 Rendemen
Bahan organik setelah melewati tahap pematangan kompos akan
mengalami penyusutan berat dari berat awal sebelum menjadi kompos,
selanjutnya berat kompos tersebut dihitung untuk mengetahui persentase kompos
yang dihasilkan selama proses pengomposan (rendemen). Semakin tinggi
rendemen yang dihasilkan, maka semakin banyak pula kompos yang diperoleh
dari hasil proses pengomposan. Hasil pengukuran rendemen rata-rata untuk semua
perlakuan disajikan pada Gambar 4. Nilai rendemen rata-rata untuk semua
perlakuan berkisar antara 50,80-68,40%. Perlakuan P1 (kadar air 30%) memiliki
nilai rendemen paling rendah, yaitu sebesar 50,80% sedangkan perlakuan P5
(kadar air 70%) menghasilkan nilai rendemen tertinggi, yaitu 68,40%.
Berdasarkan hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data pengukuran
rendemen kompos didapatkan hasil bahwa perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5
menunjukkan nilai yang berbeda nyata seperti disajikan pada Tabel 8. Perbedaan
kadar air pada masing-masing perlakuan berpengaruh terhadap rendemen yang
dihasilkan. Apabila diurutkan, perlakuan P1 dengan kadar air paling rendah
menghasilkan rendemen paling sedikit, sedangkan nilai rendemen tertinggi
diperoleh perlakuan P5 dengan kadar air paling tinggi.
75.00
70.00 68.40
65.00 64.00
Rendemen (%)
61.60
60.00
54.80 Rendemen
55.00
50.80
50.00
45.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan
35
Tabel 8. Nilai rata-rata rendemen kompos
36
mempunyai nilai pH berkisar antara 7,20 – 7,30, sehingga secara umum kelima
perlakuan memiliki nilai pH yang sesuai SNI.
7.50
7.40
7.30
7.30 7.28
7.24
7.22
pH
7.20
7.20
7.10
7.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan
pH
Perlakuan Standar pH Kompos SNI
Rata-rata
P1 7,30 a
P2 7,28 a
P3 7,22 a 6,80 – 7,49
P4 7,20 a
P5 7,24 a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)
Berdasarkan hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data pH kompos
didapatkan hasil bahwa antara kelima perlakuan tidak menunjukkan nilai yang
berbeda nyata, seperti disajikan pada Tabel 9. Hal tersebut menunjukkan bahwa
perbedaan kadar air pada setiap perlakuan tidak berpengaruh terhadap nilai pH
kompos yang dihasilkan. Menurut Kusuma (2012), derajat keasaman (pH) tidak
dipengaruhi oleh kadar air, tetapi dipengaruhi kandungan nitrogen bahan organik
kompos hasil sintesis protein oleh mikroorganisme pengurai.
37
4.2.2 Kadar Air
Selain dilakukan uji derajat keasaman (pH), kompos yang telah matang
juga harus diuji kadar airnya agar memenuhi kadar air akhir yang sesuai SNI.
Menurut SNI 19-7030-2004, kompos yang berkualitas baik harus memiliki kadar
air tidak lebih dari 50%. Berdasarkan uji laboratorium didapatkan hasil bahwa
semua perlakuan mempunyai kadar air akhir yang berbeda seperti yang disajikan
pada Gambar 6. Kadar air akhir untuk semua perlakuan berkisar antara 21,72-
37,70%, sehingga secara umum kelima perlakuan mempunyai kadar air akhir rata-
rata yang sudah sesuai dengan SNI karena kadar air akhirnya tidak melebihi
ambang batas SNI (<50%).
40.00 37.70
35.55
35.00 33.74
29.25
30.00
Kadar air (%)
25.00
21.72
20.00
15.00
10.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan
Kadar Air
Perlakuan Standar Kadar Air SNI
Rata-rata (%)
P1 21,72 a
P2 29,25 b
P3 33,74 c <50%
P4 35,55 d
P5 37,70 e
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)
38
Berdasarkan hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data kadar air akhir
kompos, didapatkan hasil bahwa kelima perlakuan menunjukkan nilai yang
berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan kadar air untuk setiap
perlakuan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air akhir kompos.
4.2.3 C-Organik
Kandungan karbon (C-organik) merupakan salah satu parameter yang
menentukan kematangan kompos, dimana ketersediaan unsur karbon dibutuhkan
untuk proses dekomposisi bahan organik kompos (Mehl, 2008). Menurut SNI 19-
7030-2004, kompos yang telah matang mempunyai kandungan C-organik berkisar
antara 9,8-32%. Setelah proses pengomposan selesai, kompos yang sudah matang
selanjutnya dilakukan uji kandungan C-organik dan didapatkan hasil seperti pada
Gambar 7. Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa semua perlakuan mempunyai
nilai rata-rata C-organik berkisar antara 20,39-29,09%, sehingga secara umum
kelima perlakuan memiliki kandungan C-organik yang sesuai SNI.
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) terhadap data pengukuran kandungan
C-organik kompos seperti pada Tabel 11, didapatkan hasil bahwa antara perlakuan
P1 dengan empat perlakuan lainnya (P2, P3, P4, P5) menunjukkan nilai yang
berbeda nyata. Perlakuan P1 dengan kadar air 30±2% mengalami proses
dekomposisi yang kurang optimal sampai memasuki hari ke-52 karena aktivitas
mikroorganisme pengurai terhenti akibat kurangnya kandungan air pada
tumpukan bahan kompos. Menurut Kusuma (2012), apabila kadar air selama
proses pengomposan dibawah 40%, maka dapat mengakibatkan berkurangnya
populasi mikroorganisme pengurai sehingga proses pengomposan menjadi
terhambat. Hal tersebut menyebabkan proses penguraian bahan organik kompos
yang didalamnya terdapat unsur karbon dan nitrogen, menjadi tidak sempurna.
39
30.00 29.09
25.00
20.00
15.00
10.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan
C-organik
Perlakuan Standar C-organik SNI
Rata-rata (%)
P1 29,09 b
P2 20,39 a
P3 21,25 a 9,8-32
P4 20,93 a
P5 21,28 a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)
4.2.4 N-total
Selain unsur karbon, parameter lain yang menentukan kematangan kompos
adalah unsur nitrogen (N). Menurut SNI 19-7030-2004, kompos yang telah
40
matang mempunyai kandungan N-total >0,10%. Setelah proses pengomposan
selesai, kompos yang sudah matang selanjutnya dilakukan uji kandungan N-total
dan didapatkan hasil seperti pada Gambar 8. Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa
semua perlakuan mempunyai nilai rata-rata N-total berkisar antara 1,27-1,37%,
sehingga secara umum kelima perlakuan memiliki kandungan N-total yang sesuai
SNI.
1.38 1.37
1.36
1.34
1.34
1.32 1.31
1.30
N-total (%)
1.30
1.28 1.27
1.26
1.24
1.22
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan
Hasil uji statistik menggunakan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) didapat
hasil bahwan kelima perlakuan menunjukkan nilai tidak berbeda nyata seperti
disajikan pada Tabel 12. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan perbedaan kada air
pada tumpukan bahan organik kompos tidak memberikan pengaruh yang
41
signifikan terhadap kadar N-total kompos yang dihasilkan. Kotoran ayam sebagai
bahan organik yang mengandung nitrogen tinggi, diberikan komposisi yang sama
untuk semua perlakuan sehingga kadar N-total yang dihasilkan cenderung
seragam antara perlakuan satu dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Kusuma (2012), bahwa kadar nitrogen dipengaruhi oleh
kondisi bahan baku kompos.
22.00 21.33
20.00
18.00 17.05
16.28 16.58
15.68
C/N rasio
16.00
14.00
12.00
10.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) terhadap data pengukuran kandungan
C-organik kompos seperti pada Tabel 13, didapatkan hasil bahwa antara perlakuan
P1 dengan empat perlakuan lainnya (P2, P3, P4, P5) menunjukkan nilai yang
42
berbeda nyata. Seperti yang telah dibahas pada Gambar 7, kandungan C-organik
yang tinggi pada perlakuan P1 akibat proses dekomposisi yang kurang optimal
menyebabkan C/N rasio dari kompos yang dihasilkan tinggi.
43
58.00
57.66
57.50
Kadar Bahan Organik (%)
57.00
56.49 56.50
56.50 56.24
55.93
56.00
55.50
55.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan
Hasil uji statistik menggunakan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) didapat
hasil bahwa kelima perlakuan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata seperti
44
disajikan pada Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa pemberian kadar air yang
berbeda pada setiap perlakuan tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kadar bahan organik kompos. Komposisi bahan baku jerami dan kotoran
ayam yang sama untuk semua perlakuan tidak berpengaruh terhadap kandungan
bahan organik kompos yang dihasilkan.
45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian analisis dinamika suhu pada proses
pengomposan jerami dicampur kotoran ayam dengan perlakuan kadar air berbeda
didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Suhu selama proses pengomposan untuk semua perlakuan cenderung
seragam, kecuali pada perlakuan P1 (kadar air 30±2%). Suhu maksimal
yang dicapai oleh keempat perlakuan (P2, P3, P4, P5) berkisar antara 49,4
- 49,6oC dengan suhu akhir mencapai 29,0 - 29,6oC. Perlakuan P1
mempunyai sebaran suhu yang berbeda dibandingkan keempat perlakuan
lainnya karena selama proses pengomposan tidak mampu mencapai fase
termofilik dan fase pematangan kompos, dimana suhu maksimal yang
dicapai sebesar 34,8oC.
2. Perlakuan yang mengalami fase pematangan kompos paling cepat adalah
perlakuan P4 (kadar air 60±2%), yaitu pada hari ke-42 dengan indikator
kematangan kompos adalah kembali turunnya suhu kompos mendekati
suhu lingkungan serta pengamatan visual sesuai SNI 19-7030-2004, yaitu
warna cokelat kehitaman, kadar air akhir 35,55%, pH akhir 7,2, C/N rasio
15,68, serta kandungan bahan organik 56,50%. Jadi, perlakuan kadar air
yang menghasilkan waktu pengomposan bahan baku kompos jerami
dicampur kotoran ayam tercepat adalah kadar air 60±2%.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan adalah dalam proses pembuatan kompos sebaiknya menggunakan kadar
air 60±2%, dengan kondisi faktor lain seperti komposisi bahan baku, C/N rasio,
suhu, serta pH bahan kompos tetap optimal sehingga proses pengomposan dapat
memerlukan waktu yang lebih singkat serta kualitas kompos yang dihasilkan
sesuai SNI.
46
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. SNI 19-
7030-2004. http://ciptakarya.pu.go.id. Diakses tanggal : 28 Maret 2017.
Harahap, Darwin. 2010. Laju Dekomposisi secara Aerobik dan Kualitas Kompos
dari Berbagai Residu Tanaman dengan Penambahan Berbagai
Dekomposer. Tesis. Tidak dipublikasikan. Fakultas Pertanian Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Isroi. 2008. Kompos : Cara Mudah, Murah, dan Cepat Menghasilkan Kompos.
Andi Offset, Yogyakarta
Kusuma. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air Terhadap Laju Dekomposisi Kompos
Sampah Organik di Kota Depok. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program
Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok.
47
Madrini, I. A. G. B. 2016. Community-based Composting and Management of
Leftover Food for Urban Agriculture. Thesis. Unpublish. Agricultural and
Environmental Engineering, United Graduate School of Agricultural
Science, Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo.
Makarim, Karim. 2007. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Sukabumi. Subang
Pane, M. 2014. Pemberian Bahan Organik Kompos Jerami Padi dan Abu Sekam
Padi dalam Memperbaiki Sifat Kimia Tanah Ultisol serta Pertumbuhan
Tanaman Jagung. Jurnal Online Agroekoteknologi 2 : 1426-1432.
Som. 2009. Stability and maturity of a green waste and biowaste compost
assessed on the basis of a molecular study using spectroscopy, thermal
analysis, thermodesorption and thermochemolysis. Science Direct.
48
Widarti, B. Nining, Wardhini, W. Kusuma., dan Sarwono, E. 2015. Pengaruh
Rasio C/N Bahan Baku Pada Pembuatan Kompos dari Kubis dan Kulit
Pisang. Jurnal Integrasi Proses 5 (2) : 75-80.
49
50