Anda di halaman 1dari 50

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kompos merupakan jenis pupuk organik yang sebagian atau seluruhnya
berasal dari bahan-bahan organik yang telah mengalami dekomposisi oleh
mikroorganisme pengurai yang berfungsi sebagai penyuplai unsur hara tanah
(Sutanto, 2002). Bahan-bahan organik yang dijadikan sebagai kompos harus
terlebih dahulu melalui proses pengomposan sebelum dapat diaplikasikan ke lahan
pertanian. Menurut Sahwan (2016), proses pengomposan bertujuan untuk
menurunkan rasio C/N bahan organik kompos agar mendekati rasio C/N tanah
(10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah oleh tanaman. Bahan organik yang
dapat digunakan sebagai kompos dapat berasal dari limbah pertanian.
Salah satu limbah pertanian yang potensial dijadikan sebagai kompos adalah
jerami padi. Jerami merupakan limbah dari proses panen padi yang banyak
dihasilkan di lahan sawah. Kabupaten Tabanan yang dikenal sebagai lumbung
beras Bali merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai potensi limbah
jerami yang melimpah. Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, pada
tahun 2016 luas total lahan sawah seluruh kabupaten/kota di Bali mencapai
80.063 hektar, dimana 27% dari total luas lahan tersebut atau sekitar 21.642
hektar merupakan jumlah luas sawah yang terdapat di Kabupaten Tabanan.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, sisa panen jerami khususnya padi
varietas unggul dapat mencapai 25 ton/ha. Dengan luas lahan sawah di Tabanan
mencapai 21.642 hektar, maka potensi jerami padi yang tersedia yaitu sekitar
541.050 ton. Namun, jumlah jerami yang melimpah tersebut belum dimanfaatkan
secara maksimal oleh petani untuk menambah nilai guna jerami padi.
Berdasarkan kebiasaan petani di lapangan, jerami dari hasil sisa panen padi
sebagian besar dibakar langsung di lahan dengan tujuan untuk mempercepat
persiapan lahan untuk masa tanam berikutnya. Menurut Makarim (2007),
pembakaran jerami menyebabkan meningkatnya suhu udara di permukaan tanah
mencapai 700oC sehingga dapat memusnahkan mikroorganisme yang berguna
dalam proses biologis tanah, seperti perombak bahan organik sehingga berdampak
pada menurunnya kadar bahan organik dalam tanah. Maka dari itu, solusi yang

1
dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan jerami padi untuk diolah menjadi
kompos. Pengomposan limbah jerami padi bertujuan untuk meningkatkan unsur
hara tanah serta dapat mengurangi biaya produksi petani dalam pembelian pupuk,
terutama pupuk organik yang berguna dalam meningkatkan kandungan bahan
organik tanah (BOT) pada lahan sawah. Pengolahan secara maksimal jerami padi
menjadi kompos akan menghasilkan rendemen kompos minimal 58% dari bobot
awal jerami dengan kualitas yang masih belum memenuhi kompos SNI (Atmaja,
2016).
Jerami padi merupakan bahan organik yang sulit dirombak dalam waktu
singkat. Menurut Ekawati (2003), jerami padi mengandung 35,65% selulosa,
6,55% senyawa lignin, dan rasio C/N tinggi menyebabkan jerami sulit diuraikan
oleh mikroorganisme sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
didekomposisi. Penambahan bahan organik lain, seperti kotoran ayam yang
mengandung kadar nitrogen (N) tinggi yang dicampur dengan jerami dengan
kandungan senyawa karbon (C) dan lignin tinggi dapat digunakan untuk
mempercepat proses dekomposisi serta menambah kandungan hara pada kompos.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Atmaja (2016) yang menyatakan bahwa
kompos dengan komposisi bahan baku jerami dicampur kotoran ayam
memerlukan waktu pengomposan selama 63 hari, dibandingkan dengan hasil
penelitian Budiarta (2016) tentang proses pengomposan jerami padi tanpa
penambahan bahan organik lain yang memerlukan waktu pengomposan lebih
lama yaitu selama 84 hari.
Menurut Atmaja (2016), jumlah populasi ayam yang diternakkan di
Tabanan, khususnya di wilayah Penebel sekitar 2-3 juta ekor yang dimiliki oleh
beberapa peternak skala besar dan kecil. Satu orang peternak skala besar dapat
mempunyai jumlah ayam sebanyak 250.000 ekor, sedangkan untuk rata-rata
jumlah ayam yang dimiliki seorang peternak skala kecil mencapai 10.000 ekor.
Berdasarkan kajian empiris, satu ekor ayam dapat memproduksi kotoran sebanyak
100 gram/hari. Dengan jumlah populasi ayam yang diternakkan mencapai 2-3 juta
ekor untuk peternak skala besar maupun kecil, maka jumlah kotoran ayam yang
dapat dihasilkan dan diolah menjadi kompos mencapai 200-300 ton/hari. Jumlah
kotoran yang melimpah tersebut apabila diolah menjadi kompos akan

2
meningkatkan nilai guna dari kotoran ayam serta potensial digunakan sebagai
bahan campuran pada proses pengomposan limbah jerami padi.
Dalam proses pengomposan jerami padi yang dicampur kotoran ayam,
terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, selain faktor komposisi bahan
baku dan rasio C/N, yaitu suhu serta kadar air. Menurut Isroi (2008), suhu
merupakan indikator yang menunjukkan aktivitas mikroorganisme pengurai
selama proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme pengurai dalam proses
pengomposan berpengaruh terhadap perubahan suhu dalam tumpukan bahan
kompos. Selain suhu, aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan juga
dipengaruhi oleh faktor kadar air tumpukan kompos. Menurut Som (2009), kadar
air berperan penting dalam metabolisme mikroorganisme pengurai yang terlibat
dalam proses pengomposan, sebab mikroorganisme hanya dapat memanfaatkan
molekul-molekul organik yang dilarutkan dalam air. Menurut Kusuma (2012),
kadar air optimal dalam proses pengomposan adalah 40-60%. Apabila kadar air
turun di bawah 40% menyebabkan aktivitas mikroorganisme pengurai terhambat,
sedangkan jika kadar air melebihi 60%, maka ruang antar partikel bahan organik
menjadi tertutupi akibat kelebihan kandungan air dan mencegah pergerakan udara
sehingga kadar oksigen dalam tumpukan kompos berkurang. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang dinamika suhu pada
proses pengomposan jerami padi dicampur kotoran ayam dengan perlakuan kadar
air dalam kaitannya dengan lama waktu proses pengomposan sehingga dihasilkan
kompos yang sesuai standar SNI 19-7030-2004.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah dinamika suhu pada proses pengomposan jerami dicampur
kotoran ayam yang diberikan perlakuan kadar air?
2. Berapakah kadar air bahan baku kompos jerami dicampur kotoran ayam
yang menghasilkan waktu pengomposan tercepat ?

3
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dinamika suhu pada proses pengomposan jerami dicampur
kotoran ayam yang diberikan perlakuan kadar air
2. Mengetahui kadar air bahan baku kompos jerami dicampur kotoran ayam
yang menghasilkan waktu pengomposan tercepat

1.4 Manfaat
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan panduan oleh petani
tentang proses pengomposan jerami dengan waktu yang lebih cepat serta
kadar air campuran bahan yang tepat, sehingga kompos yang dihasilkan
sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-7030-2004 dan dapat
digunakan saat proses tanam sekaligus mengurangi biaya dalam pembelian
pupuk serta memberikan informasi kepada masyarakat umum serta
mahasiswa yang ingin melakukan penelitian sejenis.
2. Untuk meningkatkan nilai tambah dari jerami sebagai hasil sisa panen padi
dengan memanfaatkannya menjadi kompos sehingga dapat diaplikasikan
kembali ke lahan sawah untuk menambah kandungan bahan organik tanah.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompos dan Proses Pengomposan


Kompos merupakan jenis pupuk yang berasal dari hasil akhir penguraian
sisa-sisa hewan maupun tumbuhan yang berfungsi sebagai penyuplai unsur hara
tanah sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki tanah secara fisik, kimiawi,
maupun biologis (Sutanto, 2002). Secara fisik, kompos mampu menstabilkan
agregat tanah, memperbaiki aerasi dan drainase tanah, serta mampu meningkatkan
kemampuan tanah menahan air. Secara kimiawi, kompos dapat meningkatkan
unsur hara tanah makro maupun mikro dan meningkatkan efisiensi pengambilan
unsur hara tanah. Sedangkan secara biologis, kompos dapat menjadi sumber
energi bagi mikroorganisme tanah yang mampu melepaskan hara bagi tanaman.
Kompos dapat dibuat dari berbagai bahan organik yang berasal dari limbah
hasil pertanian dan non pertanian (Harizena, 2012). Limbah hasil pertanian yang
dapat dijadikan sebagai kompos antara lain berupa jerami, dedak padi, kulit
kacang tanah, dan ampas tebu. Sedangkan, limbah hasil non pertanian yang dapat
diolah menjadi kompos berasal dari sampah organik yang dikumpulkan dari pasar
maupun sampah rumah tangga. Bahan-bahan organik tersebut selanjutnya
mengalami proses pengomposan dengan bantuan mikroorganisme pengurai
sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal ke lahan pertanian. Pada lingkungan
terbuka, proses pengomposan dapat berlangsung secara alami. Melalui proses
pengomposan secara alami, bahan-bahan organik tersebut dalam waktu yang lama
akan membusuk karena adanya kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca.
Proses tersebut dapat dipercepat dengan menambahkan mikroorganisme pengurai
sehingga dalam waktu singkat akan diperoleh kompos yang berkualitas baik
(Widarti et al., 2015).
Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) bahan organik
oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol dengan hasil
akhir berupa humus dan kompos (Murbandono, 2008). Pengomposan bertujuan
untuk mengaktifkan kegiatan mikroba agar mampu mempercepat proses
dekomposisi bahan organik. Selain itu, pengomposan juga digunakan untuk
menurunkan nisbah C/N bahan organik agar menjadi sama dengan nisbah C/N

5
tanah (10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah oleh tanaman. Agar proses
pengomposan berlangsung optimum, maka kondisi saat proses harus dikontrol.
Berdasarkan ketersediaan oksigen bebas, mekanisme proses pengomposan
dibagi menjadi 2, yaitu pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pengomposan
secara aerobik merupakan proses pengomposan yang memerlukan ketersediaan
oksigen. Oksigen diperlukan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan
organik selama proses pengomposan berlangsung. Sedangkan pengomposan
secara anaerobik merupakan proses pengomposan yang tidak memerlukan
ketersediaan oksigen, namun hanya memerlukan tambahan panas dari luar
(Sutanto, 2002).
Kualitas kompos ditentukan oleh tingkat kematangan kompos seperti :
warna, tekstur, bau, suhu, pH, serta kualitas bahan organik kompos. Bahan
organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang
merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang
ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan penyerapan bahan
nutrient antara tanaman dan mikroorganisme tanah. Menurut Sutanto (2002),
keadaan tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman.
Kompos yang berkualitas baik diperoleh dari bahan baku yang bermutu baik.
Kompos yang berkualitas baik secara visual dicirikan dengan warna yang cokelat
kehitaman menyerupai tanah, bertekstur remah, dan tidak menimbulkan bau
busuk.
Beragamnya bahan baku serta teknik pembuatan kompos tentunya sangat
berpengaruh terhadap kualitas serta kandungan kompos yang dihasilkan. Agar
kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas baik, maka diperlukan adanya
standar yang digunakan sebagai acuan, salah satunya adalah SNI 19-7030-2004
tentang spesifikasi kompos. Berikut disajikan tabel tentang spesifikasi kompos
berdasarkan SNI 19-7030-2004.

6
Tabel 1. Standar Kompos SNI 19-7030-2004
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
o
1 Kadar Air % C 50
2 Temperatur Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran Partikel mm 0,55 25
6 Kemampuan Ikat Air % 58
7 pH 6,80 7,49
8 Bahan Asing % 1,5
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40
11 Karbon % 9,80 32
12 Phosfor (P2O5) % 0,10
13 C/N-Rasio 10 20
14 Kalium (K2O) % 0,20
15 Arsen mg/Kg 13
16 Cadmium (Cd) mg/Kg 3
17 Cobalt (Co) mg/Kg 34
18 Chromium (Cr) mg/Kg 210
19 Tembaga (Cu) mg/Kg 100
20 Merkuri (Hg) mg/Kg 0,0
21 Nikel (Ni) mg/Kg 62
22 Timbal (Pb) mg/Kg 150
23 Selenium (Se) mg/Kg 2
24 Seng (Zn) mg/Kg 500
25 Calsium (Ca) % 25,50
26 Magnesium (Mg) % 0,60
27 Besi (Fe) % 2,00
28 Aluminium (Al) % 2,20
29 Mangan (Mn) % 0,10
30 Fecal Coli MPN/gr 1000
31 Salmonella sp. MPN/4gr 3
Sumber : SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos

7
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
2.2.1 Rasio C/N
Rasio C/N merupakan perbandingan dari unsur karbon (C) dengan nitrogen
(N) yang berkaitan dengan metabolisme mikroorganisme pengurai dalam proses
pengomposan. Selama proses pengomposan, mikroorganisme pengurai
membutuhkan karbon (C) sebagai sumber energi dan nitrogen (N) sebagai zat
pembentuk sel mikroorgnasime. Jika rasio C/N tinggi, maka aktivitas
mikroorganisme pengurai akan berjalan lambat untuk mendekomposisi bahan
organik kompos sehingga waktu pengomposan menjadi lebih lama. Sedangkan
apabila rasio C/N rendah, maka nitrogen yang merupakan komponen penting pada
kompos akan dibebaskan menjadi ammonia dan menimbulkan bau busuk pada
kompos (Djuarnani, 2005).

2.2.2 Ukuran Bahan


Ukuran bahan baku kompos berpengaruh terhadap proses pengomposan,
sebab ukuran partikel menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas).
Menurut Yuwono (2006), ukuran bahan yang baik digunakan untuk proses
pengomposan adalah 5-10 cm. Bahan kompos yang berukuran kecil akan cepat
didekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sehingga proses pengomposan
berjalan lebih cepat.

2.2.3 Mikroorganisme Pengurai


Pada proses pengomposan, mikroorganisme pengurai membutuhkan karbon
(C) serta nitrogen (N) untuk metabolismenya. Unsur karbon digunakan sebagai
sumber tenaga oleh mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan-bahan organik
kompos, sedangkan unsur nitrogen digunakan sebagai sumber makanan serta
nutrisi untuk pertumbuhan. Menurut Djuarnani (2005), mikroorganisme pengurai
mempunyai beberapa fungsi selama proses pengomposan berlangsung.
Berdasarkan fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada suhu rendah
(25-45oC) berfungsi untuk merombak bahan-bahan kompos menjadi ukuran yang
lebih kecil sehingga mempercepat proses pengomposan. Sedangkan
mikroorganisme termofilik yang hidup pada suhu tinggi (45-65oC) berfungsi

8
untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat
terdekomposisi dengan cepat.

2.2.4 Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) dalam tumpukan kompos berpengaruh terhadap
aktivitas mikroorganisme pengurai. Kisaran pH yang optimum pada proses
pengomposan aerob adalah 6,0-8,0. Jika nilai pH terlalu tinggi (basa) akan
menyebabkan nitrogen dalam tumpukan kompos hilang akibat proses volatilisasi
(perubahan menjadi ammonia). Sedangkan apabila nilai pH terlalu rendah (asam),
akan mengakibatkan sebagian mikroorganisme pengurai mati (Yuwono, 2006).

2.2.5 Pembalikan Tumpukan Bahan


Pembalikan pada tumpukan bahan kompos bertujuan untuk mencampur
bahan baku kompos agar lebih homogen dan mencegah terjadinya penggumpalan
di permukaan tumpukan bahan kompos, sehingga proses pengomposan
berlangsung lebih cepat. Pembalikan sebaiknya dilakukan dengan cara
pemindahan lapisan atas ke lapisan tengah, lapisan tengah ke lapisan bawah dan
lapisan bawah ke lapisan atas. Maka dari itu, proses pembalikan perlu dilakukan
minimal 1 minggu sekali agar campuran bahan kompos tidak mengeras
(Sidabutar, 2012)

2.3 Metode Pengomposan


Berdasarkan cara pembuatannya, terdapat beberapa macam metode
pengomposan, yaitu metode indore, metode Barkeley, serta metode windrow
(Sugiarti, 2011).
2.3.1 Metode Indore
Metode indore cocok diterapkan pada daerah yang mempunyai curah
hujan tinggi. Bahan organik yang digunakan pada metode ini adalah campuran
sisa tanaman dan kotoran ternak, dimana lama waktu proses pengomposannya
yaitu 3 bulan. Proses pengomposan dengan metode indore dibagi menjadi dua
jenis, yaitu indore heap method (bahan dikomposkan di atas tanah) dan indore pit
method (bahan dipendam di dalam tanah).

9
Pada pengomposan dengan metode indore heap, bahan-bahan yang akan
dikomposkan ditimbun secara berlapis-lapis dengan ketebalan 10-25 cm per lapis,
dimana bagian atasnya ditutupi dengan kotoran ternak yang tipis untuk
mengaktifkan proses pengomposan. Sedangkan pengomposan dengan metode
indore pit, bahan dasar kompos yang digunakan adalah kotoran ternak dan disebar
secara merata di dalam lubang tanah dengan ketebalan 10-15 cm. bahan-bahan
kompos tersebut disusun secara berlapis-lapis dan dilakukan penambahan air
secukupnya yang bertujuan untuk menjaga kelembaban bahan.

2.3.2 Metode Barkeley


Pengomposan dengan metode Barkeley menggunakan bahan-bahan
organik dengan rasio C/N tinggi, seperti jerami dan serbuk gergaji. Bahan-bahan
tersebut dikombinasikan dengan bahan organik yang mempunyai rasio C/N
rendah, selanjutnya bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis dengan ukuran
2,4 x 2,2 x 1,5 m. Lapisan paling bawah adalah bahan organik dengan rasio C/N
rendah, dan diatasnya ditumpuk dengan bahan organik yang mempunyai rasio
C/N tinggi.

2.3.3 Metode Windrow


Pada proses pengomposan dengan metode windrow, bahan baku kompos
ditumpuk memanjang dengan tinggi tumpukan 0,6-1 meter, lebar 2-5 meter, serta
panjang 40-50 meter. Metode ini memanfaatkan sirkulasi udara secara alami,
dimana optimalisasi tinggi, lebar, dan panjang tumpukan kompos dipengaruhi
oleh keadaan bahan baku, kelembaban, ruang pori, serta sirkulasi udara untuk
mencapai bagian tengah tumpukan kompos. Tumpukan kompos tersebut harus
dapat melepaskan panas agar dapat mengimbangi pengeluaran panas yang
ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme
pengurai. Pada metode windrow ini, dilakukan proses pembalikan secara periodik
dengan tujuan untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban bahan kompos.

10
2.4 Komposisi Bahan Baku Kompos
Komposisi bahan baku kompos yang terdiri dari pencampuran bebagai
bahan organik merupakan faktor penting untuk menghasilkan kompos dengan
kualitas baik serta mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap. Material
bahan organik yang ditambahkan dapat berbentuk substrat basah yang berasal dari
lumpur, jerami, serbuk gergaji, serta sampah organik.
Menurut Indriani (2011), pengomposan dari beberapa macam bahan organik
dapat mempercepat laju dekomposisi kompos serta menambah kandungan unsur
hara dari kompos yang dihasilkan. Pengomposan bahan organik yang berasal dari
limbah tanaman dapat berlangsung lebih cepat apabila ditambahkan dengan
kotoran hewan. Beberapa limbah tanaman, seperti jerami memiliki kandungan
karbon, selulosa, serta lignin yang tinggi sehingga membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk didekomposisi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Budiarta
(2016) yang menyatakan bahwa proses pengomposan limbah tanaman padi
(jerami) yang hanya ditambahkan larutan bioaktivator tanpa adanya campuran
bahan organik lain membutuhkan waktu dekomposisi selama 84 hari, sehingga
penambahan kotoran hewan yang mengandung nitrogen tinggi penting dilakukan
agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat. Menurut Atmaja (2016),
pengomposan limbah tanaman padi (jerami) yang ditambahkan dengan kotoran
ayam membutuhkan waktu dekomposisi selama 63 hari.
Selain mempercepat waktu pengomposan, penambahan bahan organik juga
bertujuan untuk menghasilkan kompos dengan rasio C/N yang sesuai dengan rasio
C/N tanah (10-12). Menurut Yuwono (2006), hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara membuat perbandingan yang bervariasi, misalnya satu bagian bahan yang
mempunyai kandungan unsur karbon tinggi dengan 2 bagian bahan yang
mengandung karbon rendah.

2.4.1 Jerami
Jerami adalah hasil sampingan dari usaha pertanian berupa tangkai dan
batang tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-bijinya dipisahkan. Jerami
merupakan limbah pertanian terbesar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bahan organik tambahan pada tanah. Namun, jerami sering dipandang menjadi
permasalahan bagi petani, sehingga solusi yang sering dilakukan adalah dengan

11
membakar limbah tersebut atau hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak
alternatif saat musim kering akibat sulitnya mendapatkan hijauan.
Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang berpotensi
dimanfaatkan sebagai penambah unsur hara apabila dikembalikan ke dalam tanah.
Menurut Ekawati (2003), jerami padi memiliki kandungan hara yang berguna
untuk meningkatkan kesuburan tanah. Kandungan hara yang terkandung dalam
jerami padi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Hara Jerami padi

No. Parameter Kadar


1 Selulosa (%) 36,65
2 Lignin (%) 6,55
3 pH 6,98
4 Kadar C-organik (%) 41,30
5 Kadar N (%) 1,02
6 Rasio C/N 40,49
Sumber : Ekawati (2003)

Jerami padi tergolong bahan organik yang memiliki rasio C/N tinggi. Bahan
organik yang mempunyai rasio C/N tinggi memberikan pengaruh yang lebih besar
terhadap perubahan sifat-sifat fisik tanah. Namun, bahan organik dengan rasio
C/N tinggi membutuhkan waktu yang lebih lama mengalami proses pengomposan
sehingga membutuhkan campuran bahan organik lain seperti kotoran ternak yang
mempunyai rasio C/N rendah agar proses pengomposan dapat berjalan optimal.
Selain rasio C/N tinggi, jerami padi juga memiliki kandungan selulosa dan
lignin yang tinggi sehingga sulit didekomposisi oleh mikroorganisme. Maka dari
itu, diperlukan suatu dekomposer yang mempunyai aktivitas selulolitik tinggi
dengan dikeluarkannya enzim selulose. Penambahan jerami yang sudah diolah
menjadi kompos secara konsisten dalam jangka panjang dapat meningkatkan
kandungan bahan organik tanah.

2.4.2 Kotoran Ayam


Kotoran ayam merupakan limbah yang dihasilkan dari aktivitas peternakan
ayam, baik itu jenis ayam pedaging maupun ayam petelur. Komposisi kotoran
ayam dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat fisiologis ayam, lingkungan

12
kandang termasuk suhu dan kelembaban, serta ransum yang dimakan. Dalam
pemeliharaan ayam menghasilkan limbah berupa kotoran yang mempunyai
kandungan hara serta nutrisi yang cukup tinggi. Kotoran ayam memiliki
kandungan unsur nitrogen dan mineral tinggi khususnya pada urin, sedangkan
pada buangan padat mempunyai kandungan protein yang tinggi. Menurut
Sidabutar (2012), unsur protein yang tinggi pada kotoran ayam merupakan media
yang sangat baik untuk perkembangan mikroorganisme. Berikut disajikan tabel
tentang kandungan hara kotoran ayam.

Tabel 3. Komposisi Hara Kotoran Ayam

No. Parameter Kadar


1 pH 7,09
2 Kadar C-organik (%) 38,93
3 Kadar N (%) 6,11
4 Rasio C/N 6,37
Sumber : Tufaila (2014)

Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh


terhadap sifat fisik, kimia, dan pertumbuhan tanaman (Tufaila, 2014). Kotoran
ayam mempunyai kadar unsur hara dan bahan organik yang tinggi serta kadar air
yang rendah. Menurut Suryani (2010), jumlah kotoran yang dihasilkan setiap
harinya oleh satu ekor ayam adalah 0,06 kg, dengan kandungan bahan kering
sebanyak 26%. Menurut Sidabutar (2012), pakan yang diberikan pada ayam
mempunyai kandungan gizi yang terdiri dari protein (28%), lemak (2,5%), serat
kasar (4%), kalsium (1%), dan posfor (0,9%). Pakan dengan kualitas gizi tersebut
menghasilkan limbah berupa feses yang mempunyai nilai nutrisi tinggi, selain itu
sistem pencernaan unggas lambung tunggal dan proses penyerapan berjalan cepat
dan tidak sempurna sehingga banyak kandungan nutrisi yang belum terserap dan
dibuang bersama dengan feses.
Penggunaan bahan organik kotoran ayam memiliki beberapa keuntungan
diantaranya mampu meningkatkan kadar N, P, K pada tanah masam berkadar
bahan organik rendah. Selain itu, menurut Widowati (2005), penggunaan kompos
kotoran ayam selalu memberikan respon tanaman terbaik pada musim pertama.

13
Hal tersebut terjadi karena kompos kotoran ayam mengalami dekomposisi yang
lebih cepat jika dibandingkan dengan kompos dari kotoran ternak lainnya.

2.5 Suhu pada Proses Pengomposan


Suhu merupakan indikator yang menunjukkan aktivitas mikroorganisme
pengurai selama proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme pengurai dalam
proses pengomposan berpengaruh terhadap perubahan suhu dalam tumpukan
bahan kompos. Panas dihasilkan oleh mikroorganisme saat proses perombakan
bahan organik. Ketika proses dekomposisi bahan organik diawal fase
pengomposan semakin cepat, maka panas yang dihasilkan akan meningkat
semakin cepat. Pada saat proses pengomposan berakhir, bahan organik yang
didekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sudah habis sehingga terjadi
penurunan suhu pada tumpukan kompos. Menurut Isroi (2008), pada proses
pengomposan secara aerob akan terjadi peningkatan suhu yang cukup kuat selama
3-5 hari pertama dan suhu tumpukan kompos dapat mencapai 30-60oC. Kisaran
suhu tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme, dimana
mikroorganisme pengurai dapat berkembangbiak sampai tiga kali lipat sehingga
aktivitas perombakan bahan organik menjadi semakin cepat.
Secara umum, kompos mengalami tiga tahap proses pengomposan, yaitu
tahap aklimasi, tahap termofilik, serta tahap pematangan kompos. Proses
pengomposan diawali dengan tahap aklimasi, yaitu proses penyesuaian suhu
bahan kompos, dimana pada tahap ini terjadi peningkatan suhu pada campuran
bahan organik yang digunakan sebagai kompos. Tahap selanjutnya adalah tahap
termofilik, dimana mikroorganisme yang terlibat pada tahap ini dapat hidup pada
suhu 40-60oC dan bertujuan untuk mendegradasikan bahan organik secara cepat
dengan cara mengkonsumsi karbohidrat dan protein. Pada tahap ini proses
dekomposisi mulai melambat dan ditandai dengan tercapainya suhu puncak
sehingga bahan organik lebih mudah didekomposisikan. Tahap terakhir adalah
tahap pematangan kompos. Pada tahap ini mikroorganisme termofilik akan
mengalami kematian akibat kenaikan suhu diatas 60oC dan digantikan oleh
mikroorganisme mesofilik. Apabila suhu maksimum sudah tercapai serta seluruh
aktivitas mikroorganisme yang terlibat selama proses dekomposisi terhenti, maka

14
suhu akan turun kembali sampai mencapai kisaran suhu awal. Pada tahap ini
kompos sudah terbentuk dan siap digunakan (Djuarnani, 2005).

2.6 Kadar Air pada Proses Pengomposan


Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat
dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berat kering (dry basis).
Banyaknya kadar air dalam suatu bahan dapat diketahui bila suatu bahan
dipanaskan pada suhu 1050C. Menurut Djuarnani (2005), kandungan kadar air
timbunan kompos secara menyeluruh sekitar 40-60%. Kandungan kadar air
optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Apabila kondisi jumlah
kadar air terlalu tinggi pada tumpukan kompos, maka pertumbuhan
mikroorganisme pengurai dapat terhambat karena molekul air akan mengisi
rongga udara sehingga terjadi kondisi anaerobik yang akan menimbulkan bau.
Sedangkan jika kadar air pada tumpukan kompos terlalu rendah, maka dapat
mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai (Kusuma, 2012).
Kadar air merupakan salah satu faktor yang menunjukkan bahwa proses
pengomposan berjalan cepat atau lambat (Som et al, 2009). Kadar air mempunyai
peranan dalam rekayasa pengomposan karena dekomposisi bahan-bahan organik
tergantung pada ketersediaan kandungan air, maka dari itu kadar air menjadi
faktor penting pada proses pengomposan. Apabila kandungan kadar air terlalu
tinggi maupun rendah akan mengurangi efisiensi proses pengomposan. Menurut
Murbandono (2008), kadar air optimal pada proses pengomposan berkisar antara
50-60%. Jika kadar air melebihi 60%, maka laju dekomposisi bahan organik
menjadi melambat, sedangkan apabila kadar air dibawah 40% akan menyebabkan
aktivitas mikroorganisme yang terlibat selama proses pengomposan terhenti.
Kandungan kadar air pada kompos dapat diukur secara gravimetri dengan
menentukan penurunan berat sampel setelah ditempatkan pada oven dalam waktu
tertentu. Pada metode gravimetri, diasumsikan bahwa terjadi kehilangan sejumlah
air selama proses pengeringan. Menurut Murbandono (2008), prinsip metode
gravimetri menyatakan bahwa air yang terkandung dalam kompos akan
mengalami penguapan apabila bahan kompos tersebut dipanaskan pada suhu
105oC selama waktu tertentu sampai tercapai berat konstan. Selisih antara berat

15
kompos sebelum dan sesudah dipanaskan merupakan kadar air yang terkandung
dalam kompos. Secara matematis, rumus perhitungan kadar air dengan metode
gravimetri adalah sebagai berikut :

(𝑊0 −𝑊1 )
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (%) = 𝑥100% ………………………………..(1)
𝑊0

Keterangan : W0 = berat sampel bahan baku awal (gram)


W1 = berat sampel bahan baku akhir (gram)

16
III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Proses pengomposan dilaksanakan di Subak Sigaran, Desa Jegu, Kecamatan
Penebel, Kabupaten Tabanan. Uji analisis kualitas kompos dilakukan di
Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Agustus – November 2017.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian


Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jerami varietas
unggul dan kotoran ayam petelur. Bahan tambahan lainnya yang digunakan adalah
air, molase, dekomposer, dan bahan untuk uji kualitas kompos berupa larutan
kimia yang digunakan untuk uji kadar C-organik dan N-total. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini diantaranya termometer, pH meter, moisture
meter, sekop, ember, sarung tangan, garu, karung, tali raffia, plastik UV, sprayer,
timbangan gantung dan pisau besar.

Tabel 4. Spesifikasi Alat Pengukuran Suhu, pH, dan Kadar Air Kompos
Alat Pengukuran
Spesifikasi
Suhu pH Kadar Air
Merk AMTAST AMTAST TK100W
Display 4,3 inch LCD 4,3 inch LCD 4,0 inch LCD
Range Pengukuran (-9) – (+50oC) 3,5 – 9,0 0 – 90%
Resolusi 1oC 0,5 0,1%
Dimensi 122 x 63 x 36 mm 122 x 63 x 36 mm 460 x 75 x 35 mm
Berat 0,23 kg 0,23 kg 0,20 kg

3.3 Rancangan Percobaan


Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dimana
perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah pemberian kadar air dengan
persentase yang berbeda pada setiap perlakuan. Pada penelitian ini terdapat lima
jenis perlakuan kadar air yaitu :

17
P1 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 30±2%
P2 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 40±2%
P3 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 50±2%
P4 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 60±2%
P5 = Perlakuan tumpukan kompos dengan kadar air 70±2%

Komposisi jerami dan kotoran ayam pada semua perlakuan didasarkan pada
penelitian Atmaja (2016), dimana campuran terbaik untuk kompos dengan bahan
baku jerami dan kotoran ayam adalah dengan perbandingan 3:4 berdasarkan basis
berat (campuran bahan 15 kg jerami + 20 kg kotoran ayam) dengan berat total
pada semua tumpukan kompos 35 kg. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak
5 kali, sehingga diperoleh 25 unit percobaan.

3.4 Tahap Penelitian


1) Pengumpulam Bahan Baku
Proses pengumpulan bahan baku kompos dimulai dengan mengumpulkan
jerami padi varietas unggul yang dilakukan dengan jarak pengumpulan jerami
yaitu satu minggu setelah proses panen. Jerami padi yang dipakai dalam penelitian
ini dikumpulkan dari hasil panen petani di Subak Sigaran, Desa Jegu, Kecamatan
Penebel, Kabupaten Tabanan. Sebelum masuk ke tahap berikutnya, jerami
dikeringkan, karena jerami dengan kondisi basah cepat mengalami pelapukan dan
penelitian dianggap gagal, sebab jerami telah terdekomposisi terlebih dahulu
sebelum mendapat perlakuan. Bahan baku lainnya yang harus dikumpulkan
adalah kotoran ayam petelur (ayam ras) yang nantinya dicampur jerami dengan
perbandingan komposisi seperti pada rancangan percobaan. Kotoran ayam yang
digunakan berumur 1-10 hari yang didapat dari peternakan ayam petelur yang ada
di sekitaran Desa Jegu, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

2) Pemotongan Jerami
Proses pemotongan jerami dilakukan menggunakan alat bantu pisau besar
(parang) dengan ukuran jerami 10±1 cm. Pemotongan jerami menjadi ukuran
yang lebih kecil bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses
pengomposan yang dilakukan.

18
3) Penumpukan Bahan Kompos dan Penambahan Air Sesuai Perlakuan
Setelah semua bahan baku kompos siap, selanjutnya jerami padi dicampur
dengan kotoran ayam sesuai perbandingan yang telah ditentukan pada semua
perlakuan. Bahan kompos yang telah tercampur selanjutnya ditumpuk menyerupai
kerucut terpancung dalam beberapa tumpukan (guludan) dengan diameter satu
meter. Setiap tumpukan (guludan) diberikan tambahan air dengan kadar sesuai
perlakuan.
Tahap selanjutnya adalah melakukan penambahan larutan dekomposer
dengan tujuan untuk mempercepat proses dekomposisi. Larutan dekomposer yang
digunakan merupakan produk dari PT. Indo Acidatama dengan merk BeKa.
Dekomposer tersebut digunakan berdasarkan pada kandungan bakteri serta hara
yang lengkap dalam membantu proses pengomposan agar berjalan optimal.
Berdasarkan aturan pemakaian, untuk 35 kg bahan baku kompos diperlukan
larutan dekomposer (BeKa) sebanyak 35 ml yang telah dicampur dengan 3500 ml
air dan 35 ml larutan molase, sehingga total persentase larutan yang ditambahkan
ke tumpukan kompos adalah 3570 ml.
Persentase pemberian air pada tumpukan kompos disesuaikan dengan kadar
air awal campuran bahan kompos serta kadar air untuk masing-masing perlakuan.
Kadar air awal campuran bahan kompos didapat 29%, maka untuk perlakuan
kompos dengan kadar air 60%, persentase pemberian air yang ditambahkan adalah
sebagai berikut :

y = [(a – b) x c] - d……………………………………………………….(2)

dimana : y = jumlah air yang ditambahkan ke tumpukan bahan kompos (liter)


a = kadar air campuran bahan kompos untuk setiap perlakuan (%)
b = kadar air awal campuran bahan kompos (%)
c = berat total campuran bahan kompos (kg)
d = volume larutan dekomposer (liter)

y = [(60% - 29%) x 35 kg] – 3,57 liter


y = [31% x 35 kg] – 3,57 liter
y = 10,85 kg air – 3,57 liter
y = 10,85 liter – 3,57 liter
y = 7,28 liter

19
Kemudian campuran larutan tersebut disiramkan secara merata ke seluruh
bagian tumpukan kompos dengan bantuan alat sprayer. Selanjutnya, masing-
masing tumpukan kompos yang sudah disiram larutan tersebut ditutup dengan
plastic UV yang bertujuan menjaga suhu kompos serta melindungi dari faktor
gangguan luar selama proses pengomposan. Metode pengomposan yang
digunakan adalah metode windrow secara aerob.

4) Pengukuran Kadar Air Tumpukan Kompos


Pengukuran kadar air pada semua perlakuan dilakukan setiap hari mulai
pukul 09.00 WITA dengan menggunakan alat moisture meter. Pengukuran kadar
air dilakukan dengan cara menancapkan ujung batang sensor alat tepat di tengah
tumpukan kompos, selanjutnya hasil pengukuran ditampilkan pada layar display
alat dan dicatat.

5) Pengukuran Suhu dan pH


Pengukuran suhu dan pH selama proses pengomposan dilakukan setiap hari
pada pukul 09.00 WITA dengan menggunakan alat termometer dan pH meter.
Pengukuran suhu dan pH dilakukan dengan cara menancapkan ujung batang
sensor alat tepat di tengah tumpukan kompos, selanjutnya hasil pengukuran
ditampilkan pada layar display alat dan dicatat.

6) Pembalikan
Pembalikan kompos dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan tujuan untuk
menjaga pasokan oksigen (aerasi) serta mencegah timbulnya bau busuk pada
tumpukan kompos. Proses pembalikan dilakukan menggunakan alat sekop,
dimana tumpukan kompos dibongkar dari bagian atas sampai bawah, kemudian
kompos dibolak-balik sampai jerami dan kotoran ayam tercampur rata,
selanjutnya kompos ditumpuk kembali menyerupai piramid terpancung.

Tahap penelitian digambarkan dalam bentuk diagram alir (flow chart).


Adapun diagram alir dalam tahap penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

20
Mulai

Pengumpulan jerami padi Pengumpulan kotoran ayam


- Pemotongan jerami (10±1 cm) - Pengukuran kadar air
- Pengukuran kadar air

Pengukuran kadar air awal campuran bahan kompos

Penetapan jumlah air yang ditambahkan ke campuran bahan kompos sesuai perlakuan

Penumpukan bahan dan penambahan air sesuai perlakuan

Proses pengomposan

Pengukuran kadar air, suhu, dan pH

Pembalikan

kompos matang

Pengukuran rendemen kompos


Lama waktu pengomposan

Uji Kualitas Kompos


- Kadar air - C-organik
- pH - N-total
- C/N Rasio - Kadar bahan organik

Analisis data

Selesai

Gambar 1. Diagram alir penelitian


21
3.5 Variabel yang Diamati
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Suhu dan pH
Suhu dan pH selama proses pengomposan diamati setiap hari pada pukul
09.00 WITA dengan menggunakan alat termometer dan pH meter. Pengukuran
suhu dan pH dilakukan dengan cara menancapkan ujung batang sensor alat tepat
di tengah tumpukan kompos, selanjutnya hasil pengukuran ditampilkan pada layar
display alat dan dicatat.

2. Lama Waktu Pengomposan


Lama waktu pengomposan berpengaruh terhadap kualitas kompos yang
dihasilkan. Lama waktu pada proses pengomposan dihitung dari awal proses
sampai menjadi kompos dengan indikator meliputi suhu, warna, serta tekstur.
Suhu kompos yang telah matang akan kembali turun mendekati suhu awal proses
pengomposan, yaitu mendekati suhu air tanah atau suhu lingkungan. Warna
kompos yang telah matang mempunyai warna cokelat kehitaman menyerupai
warna tanah. Sedangkan kompos yang telah matang memiliki tekstur yang remah
dan mudah hancur.

3. Rendemen
Rendemen adalah berat kompos yang diperoleh setelah mengalami proses
pengomposan. Rendemen kompos dapat dihitung dengan persamaan 3 :

𝐵𝑘
𝑅 = 𝐵𝑎 𝑥100% ………………………………………(3)

Keterangan : R = rendemen kompos (%)


Bk = berat kompos (kg)
Ba = berat bahan baku (kg)

22
4. Kualitas Kompos
Kompos yang telah matang harus diuji kualitasnya dengan melakukan uji
laboratorium. Uji kualitas kompos yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a) Uji Kadar Air
Uji kadar air kompos dilakukan dengan metode Gravimetri. Tahap pertama
yang dilakukan adalah menimbang berat ring sampel kompos (W0), selanjutnya
berat sampel dan ring sampel ditimbang menggunakan timbangan analitik (W1)
sehingga didapat berat sampel sebenarnya yaitu (W0 – W1). Kemudian, sampel
dioven dengan suhu 1050C selama 24 jam sampai mendapatkan berat kering
sampel atau berat sampel konstan. Perhitungan kadar air kompos ditunjukan pada
persamaan 4.
(𝑊0 −𝑊1 )
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (%) = 𝑥100% ……………………………………(4)
𝑊0

Keterangan : W0 = berat awal sampel kompos sebelum dioven (gram)


W1 = berat akhir sampel kompos setelah dioven (gram)

b) Uji Derajat Keasaman (pH)


Prosedur awal yang dilakukan dalam mengukur derajat keasaman (pH)
kompos adalah dengan menimbang 10 gram sampel kompos, kemudian sampel
dimasukkan ke dalam botol kocok disertai dengan penambahan 15 ml aquades.
Selanjutnya sampel dikocok dengan mesin kocok selama 30 menit dan dilakukan
pengukuran pH dengan alat pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan larutan
buffer pH 7,0 dan pH 4,0

c) Uji Kadar Bahan Organik


Uji kadar bahan organik kompos dilakukan dengan metode gravimetri. Tahap
pertama yang dilakukan adalah menimbang berat awal sampel kompos (W0).
Sampel yang digunakan untuk uji organik kompos merupakan sampel bahan
kering hasil dari proses pembakaran. Selanjutnya sampel tersebut dioven pada
suhu 6000C selama 6 jam, sehingga didapat berat kering sampel (W1). Sampel
kompos yang sudah dioven selanjutnya diukur kadar abunya dengan rumus :

23
(𝑊0 −𝑊1 )
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 = 𝑊0
𝑥100% …………………………………(5)

Keterangan : W0 = berat awal sampel kompos sebelum dioven (gram)


W1 = berat akhir sampel kompos setelah dioven (gram)

d) Uji Kadar C-organik


Kadar C-organik yang terkandung dalam kompos dapat diketahui dengan
menggunakan metode Walkey dan Black. Tahap pertama yang dilakukan adalah
menimbang sampel kompos yang telah dihaluskan sebanyak 0,05-0,10 gram,
kemudian sampel dimasukkan ke dalam labu takar volume 100 ml. Selanjutnya
berturut-turut dilakukan penambahan 5 ml larutan K2Cr2O7 2 N dan 7 ml H2SO4
pa. 98%, sambil dikocok dan sampel didiamkan selama 30 menit. Untuk standar
yang mengandung 250 ppm C, perlu ditambahkan 5 ml larutan standar 5000 ppm
C ke dalam labu takar volume 100 ml, kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 dan 7
ml larutan K2Cr2O7 2 N dengan pengerjaan seperti tahap sebelumnya sambil
melakukan pengerjaan blanko yang digunakan sebagai standar 0 ppm C. Masing-
masing sampel diencerkan dengan air bebas ion setelah dingin, dimana volume
disesuaikan hingga tanda tera 100 ml, selanjutnya dikocok hingga homogen dan
dibiarkan selama satu malam. Kemudian keesokan harinya sampel diukur dengan
menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 651 nm. Adapun
perhitungan yang digunakan untuk mencari C-organik ditunjukkan pada
persamaan 6.

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐶 − 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 (%) = 𝑝𝑝𝑚 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎 𝑥 100/𝑚𝑔 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ 𝑥 𝑓𝑘…..(6)

Keterangan :
ppm kurva : kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antar
kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi
blanko.
𝑓𝑘 : faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)

24
e) Uji Kadar N-total
Kandungan N-total yang terdapat pada kompos dapat dihitung dengan
menggunakan metode Kjeldhal. Tahap pertama yaitu sampel sebanyak 500 gram
dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal berukuran 25 ml. Selanjutnya sampel
ditambahkan 1,9 campuran Se, CuSO4, Na2SO4, 5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu,
selanjutnya dikocok perlahan agar sampel basah, dan dijaga agar sampel tidak
memercik ke dinding labu. Kemudian sampel ditambahkan dengan parafin cair
sebanyak 5 tetes dan labu dipanaskan perlahan menggunakan api kecil sampai
cairan berubah menjadi hijau dan kemudian dipanaskan lagi selama 15 menit lalu
didinginkan.
Sampel yang sudah didinginkan selanjutnya ditambahkan air sebanyak 50 ml
sambil digoyangkan perlahan, kemudian sampel dipindahkan ke dalam labu
destilasi. Bahan cairan pada labu tidak boleh melebihi setengah dari isi labu.
Selanjutnya sampel ditambahkan 5 ml NaOH 50%, sambil melakukan destilasi,
lalu hasil destilasi ditampung ke dalam elenmeyer 125 ml yang telah diisi
campuran 100 ml H3BO4 4% dan 5 tetes indikator Conway, kemudian mengisi
destilat 100 ml. Perhitungan kadar N-total ditunjukkan pada persamaan 7.

(𝑉𝑠 −𝑉𝑏 )𝑥 𝑁 𝑥 14
%𝑁 = 𝑥100% ………………………..…………………(7)
𝑊

Keterangan : Vs = volume NHCl yang digunakan dalam titrasi sampel (mL)


Vb = volume NHCl yang digunakan dalam titrasi blanko (mL)
N = normalitas HCl
W = berat sampel (gram)

f) Rasio C/N
Untuk mengetahui tingkat kematangan dan kualitas kompos yang dihasilkan,
maka perlu dilakukan perhitungan rasio C/N dari kompos tersebut, yaitu dengan
membagi kadar C-organik dengan kadar N-total kompos. Perhitungan rasio C/N
kompos ditunjukkan pada persamaan 8.
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐶𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘
Rasio C/N = ……………………………………………(8)
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑁𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

Keterangan : Kadar C-organik = kandungan karbon pada kompos (%)


Kadar N-total = kandungan nitrogen pada kompos (%)

25
3.6 Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada hasil penelitian ini adalah uji Anova untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati. Apabila didapat
hasil bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap variabel yang
diamati, maka analisis statistik dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui
nilai BNT (Beda Nyata Terkecil) menggunakan aplikasi SPSS. Jika bilangan rata-
rata didampingi huruf yang sama, maka hasil uji Duncan dinyatakan tidak berbeda
nyata pada P>0,05. Sedangkan, apabila bilangan rata-rata didampingi oleh huruf
yang berbeda dinyatakan bahwa hasil uji Duncan berbeda nyata pada P<0,05.
Selain uji Duncan, standar kompos SNI 19-7030-2004 juga digunakan sebagai
perbandingan dari kandungan kompos hasil penelitian.

26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter pada Proses Pengomposan


4.1.1 Suhu
Selama proses pengomposan, suhu diamati setiap hari dengan
menggunakan alat termometer digital. Hasil pengamatan suhu selama proses
pengomposan disajikan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Dinamika suhu selama proses pengomposan

Pada awal proses pengomposan tumpukan bahan baku kompos mengalami


proses aklimasi, yaitu proses penyesuaian suhu bahan kompos, dimana aktivitas
mikroorganisme yang berfungsi merombak bahan baku kompos melakukan
adaptasi dengan kondisi mesofilik (Madrini, 2016). Suhu tumpukan bahan
kompos pada seluruh perlakuan mulai mengalami peningkatan pada hari ke-3
dengan rentang suhu 30,8-34,8oC, hal tersebut menunjukkan jika proses
perombakan bahan-bahan organik oleh mikroorganisme mulai aktif. Menurut
Djuarnani (2005), peningkatan suhu yang terjadi pada awal proses pengomposan
disebabkan oleh panas yang dihasilkan dari proses perombakan bahan organik
oleh mikroorganisme pengurai. Selanjutnya, suhu pada masing-masing perlakuan
mengalami peningkatan dengan kecepatan yang berbeda-beda, sehingga rentang
waktu setiap perlakuan mencapai titik suhu maksimal juga berbeda.

27
Saat tumpukan bahan kompos memasuki hari ke-10, proses pengomposan
memasuki fase termofilik yang ditandai dengan peningkatan suhu kompos yang
signifikan mencapai >40oC. Proses pengomposan yang telah aktif akan
menghasilkan energi dan meningkatkan suhu bahan kompos. Peningkatan suhu
merupakan indikator adanya proses dekomposisi sebagai akibat hubungan kadar
air dengan aktivitas mikroorganisme pengurai. Pada Gambar 2 terlihat bahwa
seluruh perlakuan mencapai fase termofilik dengan rentang suhu maksimal pada
kisaran 40-49,6oC, kecuali pada perlakuan P1 (kadar air 30%), dimana suhu
maksimal yang dicapai sebesar 34,8oC. Hal tersebut menyebabkan proses
pengomposan pada perlakuan P1 tidak berjalan optimal dan terhenti pada fase
mesofilik sehingga berpengaruh terhadap hasil akhir selama proses pengomposan,
yaitu secara visual belum menjadi kompos dan hanya menghasilkan seresah.
Menurut Djuarnani (2005), kandungan kadar air tumpukan bahan kompos adalah
minimal 40%, sebagai syarat awal berhasilnya proses pengomposan yang ditandai
dengan kenaikan suhu mencapai 40-60oC.
Keempat perlakuan lainnya, yaitu P2, P3, P4, dan P5 setelah mengalami
fase termofilik, selanjutnya mulai memasuki fase pematangan kompos pada hari
ke-20, dimana suhu tumpukan bahan mulai mengalami penurunan yang
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pengurai mulai berkurang sehingga
energi yang dihasilkan juga berkurang dan suhu mengalami penurunan. Selain
penurunan suhu, setelah melewati fase mesofilik dan termofilik, kematangan
kompos juga terlihat dari perubahan tekstur remah serta warna bahan kompos
menjadi coklat kehitaman. Pada Gambar 2 terlihat perlakuan P4 mengalami
penurunan suhu yang paling cepat mendekati suhu lingkungan yaitu 29,6oC pada
hari ke-42 yang diikuti oleh tiga perlakuan lainnya. Suhu perlakuan P2, P3, dan
P5 mengalami penurunan mendekati suhu lingkungan berturut-turut pada hari ke-
52, 45, dan 48.

28
Tabel 5. Nilai rata-rata suhu selama proses pengomposan
Perlakuan Suhu Minimum (oC) Suhu Maksimum (oC) Suhu Rata-rata (oC)
P1 27,0 34,8 30,77 a
P2 28,4 49,6 37,76 b
P3 28,2 49,4 37,49 b
P4 28,2 49,4 36,53 b
P5 28,2 49,6 37,45 b
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Berdasarkan hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data pengukuran
suhu kompos seperti disajikan pada Tabel 5 didapatkan hasil bahwa antara
perlakuan P1 dengan keempat perlakuan lainnya (P2, P3, P4, P5) menunjukkan
nilai yang berbeda nyata, sedangkan antara perlakuan P2, P3, P4, dan P5 tidak
menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Perbedaan perubahan suhu pada perlakuan
P1 disebabkan karena proses pengomposan yang tidak berjalan optimal akibat
kandungan kadar air tumpukan kompos P1 <40%, yang merupakan syarat
minimal proses pengomposan berjalan optimal (Djuarnani, 2005). Hal tersebut
menyebabkan aktivitas mikroorganisme pengurai terhenti akibat kekurangan air
sehingga berpengaruh pada suhu selama proses pengomposan, yaitu suhu yang
dicapai <40oC serta hasil dari proses dekomposisi berupa seresah.
Sedangkan suhu maksimal antara P2, P3, P4, dan P5 nilainya tidak berbeda
jauh yaitu hanya berkisar 49,4-49,6oC. Selisih suhu kompos yang tidak begitu
signifikan disebabkan oleh penggunaan jenis bahan dan komposisi bahan yang
sama, yaitu jerami padi varietas unggul dicampur kotoran ayam, dimana antara
perlakuan satu dengan perlakuan lainnya hanya dibedakan komposisi kadar air
pada tumpukan kompos. Menurut Harahap (2010), proses pengomposan bahan
organik seperti jerami padi yang mempunyai rasio C/N tinggi suhunya tidak dapat
melebihi 52oC.

4.1.2 Derajat Keasaman (pH)


Aktivitas mikroorganisme pengurai dalam proses pengomposan selain
dipengaruhi oleh faktor suhu, juga erat kaitannya dengan derajat keasaman (pH)
bahan yang dikomposkan. Menurut Yuwono (2006), proses pengomposan dapat

29
terjadi pada kisaran pH awal 5-6. Derajat keasaman (pH) yang terlalu tinggi
menyebabkan unsur nitrogen dalam bahan kompos menjadi hilang akibat
volatilisasi (berubah menjadi amonia), sedangkan jika nilai pH terlalu rendah
(asam) menyebabkan mikroorganisme pengurai mati. Hasil pengukuran pH
selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 3.
Pada awal proses pengomposan, nilai pH berkisar 6,2-6,4, hal tersebut
menunjukkan kondisi bahan organik yang dikomposkan dalam keadaan asam,
akibat aktivitas mikroorganisme pengurai yang menyebabkan terbentuknya asam-
asam organik. Kondisi asam tersebut akan mendorong pertumbuhan jamur dan
mendekomposisi lignin serta selulosa pada bahan kompos. Selanjutnya nilai pH
kompos terus mengalami peningkatan akibat aktivitas mikroorganisme pengurai
yang mendekomposisikan nitrogen dalam bahan kompos menjadi amonia,
sehingga menyebabkan kondisi basa. Pada akhir proses pengomposan, nilai pH
mengalami penurunan mendekati kondisi netral dengan kisaran 7,0 – 7,2.
Penurunan nilai pH pada akhir proses pengomposan menandakan dekomposisi
nitrogen sudah berkurang.

Gambar 3. Nilai pH bahan kompos selama proses pengomposan

30
Berdasarkan hasil analisis uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data
perubahan derajat keasaman (pH) bahan kompos seperti yang disajikan pada
Tabel 6 didapatkan hasil bahwa dari seluruh perlakuan tidak menunjukkan nilai
yang berbeda nyata antara perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5.

Tabel 6. Nilai rata-rata pH selama proses pengomposan

Perlakuan pH Minimum pH Maksimum pH Rata-rata


P1 6,4 7,7 7,33 a
P2 6,3 8,2 7,43 a
P3 6,3 8,4 7,43 a
P4 6,5 8,0 7,40 a
P5 6,2 8,0 7,44 a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Berdasarkan hasil analisis uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data
perubahan derajat keasaman (pH) bahan kompos seperti yang disajikan pada
Tabel 6 didapatkan hasil bahwa dari seluruh perlakuan tidak menunjukkan nilai
yang berbeda nyata. Kelima perlakuan dengan kadar air yang berbeda tidak
memberikan pengaruh signifikan terhadap derajat keasaman (pH) bahan organik
selama proses pengomposan.
Menurut Kusuma (2012), derajat keasaman (pH) selama proses pengomposan
tidak dipengaruhi oleh kadar air, tetapi dipengaruhi kandungan nitrogen bahan
organik kompos hasil sintesis protein oleh mikroorganisme pengurai. Derajat
keasaman (pH) bahan organik selama proses pengomposan selalu mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan komposisi kimia organik.

4.1.3 Lama Waktu Pengomposan


Kualitas kompos yang dihasilkan selama proses pengomposan selain
ditentukan oleh bahan baku yang digunakan, juga dipengaruhi oleh lama waktu
proses pengomposan berlangsung. Menurut Indriani (2011), laju dekomposisi
bahan organik kompos ditentukan oleh faktor mutu bahan baku kompos yang
dapat dilihat dari nilai rasio C/N awal bahan sebelum dikomposkan. Bahan-bahan
organik seperti jerami padi yang memiliki rasio C/N tinggi menyebabkan aktivitas
mikroorganisme pengurai akan berjalan lambat untuk mendekomposisi bahan

31
kompos sehingga waktu pengomposan menjadi lebih lama. Maka dari itu,
penambahan bahan organik lain seperti kotoran ternak yang mempunyai rasio C/N
rendah perlu dilakukan untuk dapat mempercepat proses pengomposan serta
menambah hara pada kompos, sehingga kompos yang dihasilkan mempunyai
kualitas yang baik. Hasil penelitian tentang lama waktu pengomposan untuk
masing-masing perlakuan dapai dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai rata-rata lama waktu pengomposan

Waktu Pengomposan
Perlakuan Suhu akhir (oC)
Rata-rata (hari)
P1 52 a 27,0
P2 52 a 29,0
P3 45 b 29,6
P4 42 c 29,6
P5 48 d 29,2
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Berdasarkan data pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa masing-masing


perlakuan memiliki lama waktu pengomposan yang berbeda-beda. Adapun
indikator yang digunakan dalam menentukan kematangan kompos antara lain :
suhu yang mulai stabil mendekati suhu lingkungan, tekstur kompos yang remah,
perubahan warna kompos menjadi coklat kehitaman, dan mempunyai bau seperti
tanah.
Berdasarkan grafik perubahan suhu selama proses pengomposan seperti
diilustrasikan pada Gambar 2 yang telah dibahas sebelumnya, dapat dinyatakan
bahwa perlakuan P4 (kadar air 60±2%) merupakan perlakuan dengan perubahan
suhu paling cepat diantara empat perlakuan lainnya. Pada awal proses
pengomposan, setelah memasuki proses aklimasi, suhu perlakuan P4 meningkat
signifikan mengalami fase termofilik dan mencapai suhu maksimal 49,4oC pada
hari ke-14. Setelah mencapai titik suhu maksimal, terjadi penurunan suhu sampai
memasuki tahap pematangan kompos. Perlakuan P4 juga mengalami fase
pematangan kompos yang paling cepat dengan indikator suhu tumpukan bahan
kompos mengalami penurunan mendekati suhu lingkungan pada hari ke-42

32
sebesar 29,6oC, dengan tekstur kompos yang dihasilkan remah seperti tanah serta
mempunyai warna coklat kehitaman.
Selanjutnya perlakuan P3 (kadar air 50±2%) dinyatakan matang pada hari ke-
52 dengan suhu mendekati suhu lingkungan yaitu 29,6oC, dimana tekstur serta
warna kompos yang dihasilkan sama dengan perlakuan P4, yaitu bertekstur remah
dan memiliki warna coklat kehitaman. Sedangkan untuk perlakuan P5 (kadar air
70±2%) dapat dinyatakan telah matang menjadi kompos pada hari ke-48, yang
ditandai dengan penurunan suhu tumpukan bahan menjadi 29,2oC, dengan
kompos yang dihasilkan mempunyai tektur yang sedikit lengket, memiliki warna
kehitaman, serta berbau. Selanjutnya untuk perlakuan P2 (kadar air 40±2%), suhu
tumpukan bahan mulai stabil pada hari ke-52 dengan suhu mencapai 29,0oC,
kompos yang dihasilkan mempunyai tekstur yang remah dan berwarna coklat
kehitaman. Sedangkan untuk perlakuan P1 (kadar air 30±2%) sampai memasuki
hari ke-52 dengan suhu akhir 27,0oC, tidak mengalami fase pematangan kompos
karena proses pengomposan terhenti pada fase mesofilik akibat kadar air
tumpukan bahan kompos dibawah syarat minimal kadar air untuk proses
pengomposan optimal, yaitu 40% sehingga mikroorganisme tidak mampu
menguraikan bahan kompos secara optimal sampai matang dan hanya
menghasilkan seresah.
Kadar air merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses
pengomposan (Som et al, 2009). Kadar air mempunyai peranan dalam rekayasa
pengomposan karena dekomposisi bahan-bahan organik tergantung pada
ketersediaan kandungan air. Apabila kandungan kadar air terlalu tinggi maupun
rendah akan mengurangi efisiensi proses pengomposan. Menurut Murbandono
(2008), kadar air optimal pada proses pengomposan berkisar antara 40-60%. Jika
kadar air melebihi 60%, maka pertumbuhan mikroorganisme pengurai dapat
terhambat karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga terjadi kondisi
anaerobik yang akan menimbulkan bau, sedangkan apabila kadar air dibawah 40%
maka dapat mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai
sehingga proses pengomposan menjadi terhambat (Kusuma, 2012).
Selain dipengaruhi kadar air, lama waktu proses pengomposan juga
dipengaruhi oleh faktor suhu serta aktivitas mikroorganisme pengurai. Menurut

33
Djuarnani (2005), mikroorganisme pengurai mempunyai beberapa fungsi selama
proses pengomposan berlangsung pada kondisi suhu yang berbeda. Berdasarkan
fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada suhu rendah (25-45oC)
berfungsi untuk merombak bahan-bahan kompos menjadi ukuran yang lebih kecil
sehingga mempercepat proses pengomposan. Sedangkan mikroorganisme
termofilik yang hidup pada suhu tinggi (45-65oC) berfungsi untuk mengonsumsi
karbohidrat dan protein yang digunakan untuk proses metabolisme sehingga
bahan kompos dapat terdekomposisi dengan cepat. Menurut Rahayu (2009),
secara alami proses pengomposan akan berlangsung dalam waktu 2-3 bulan
bahkan sampai bertahun-tahun hingga kompos benar-benar matang tergantung
karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang digunakan,
serta penambahan aktivator pengomposan.
Lama waktu pengomposan dapat dipercepat dengan memperhatikan
beberapa faktor seperti, rasio C/N bahan, ukuran bahan, dan penggunaan inokulan
untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme pengurai. Rasio C/N bahan organik
merupakan faktor penting dalam proses pengomposan. Hal tersebut disebabkan
karena pengomposan tergantung pada kegiatan mikroba yang membutuhkan
karbon sebagai sumber energi. Rasio C/N bahan yang tinggi menyebabkan
aktivitas mikroorganisme pengurai berjalan lambat akibat kekurangan unsur
nitrogen yang digunakan untuk sintesis protein, maka dari itu diperlukan
tambahan bahan organik yang mengandung unsur nitrogen tinggi seperti kotoran
hewan agar proses pengomposan dapat berjalan cepat. Pengomposan juga dapat
dipercepat dengan cara memperkecil ukuran bahan-bahan organik yang
dikomposkan. Menurut Yuwono (2006), bahan yang berukuran kecil akan cepat
didekomposisi karena luas permukaannya meningkat serta mempermudah kerja
mikroorganisme pengurai sehingga proses pengomposan dapat berjalan lebih
cepat. Selain itu, untuk mempercepat proses pengomposan diperlukan tambahan
inokulan yang bertujuan untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme pengurai
sehingga dapat mempercepat proses penguraian bahan organik kompos.

34
4.1.4 Rendemen
Bahan organik setelah melewati tahap pematangan kompos akan
mengalami penyusutan berat dari berat awal sebelum menjadi kompos,
selanjutnya berat kompos tersebut dihitung untuk mengetahui persentase kompos
yang dihasilkan selama proses pengomposan (rendemen). Semakin tinggi
rendemen yang dihasilkan, maka semakin banyak pula kompos yang diperoleh
dari hasil proses pengomposan. Hasil pengukuran rendemen rata-rata untuk semua
perlakuan disajikan pada Gambar 4. Nilai rendemen rata-rata untuk semua
perlakuan berkisar antara 50,80-68,40%. Perlakuan P1 (kadar air 30%) memiliki
nilai rendemen paling rendah, yaitu sebesar 50,80% sedangkan perlakuan P5
(kadar air 70%) menghasilkan nilai rendemen tertinggi, yaitu 68,40%.
Berdasarkan hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data pengukuran
rendemen kompos didapatkan hasil bahwa perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5
menunjukkan nilai yang berbeda nyata seperti disajikan pada Tabel 8. Perbedaan
kadar air pada masing-masing perlakuan berpengaruh terhadap rendemen yang
dihasilkan. Apabila diurutkan, perlakuan P1 dengan kadar air paling rendah
menghasilkan rendemen paling sedikit, sedangkan nilai rendemen tertinggi
diperoleh perlakuan P5 dengan kadar air paling tinggi.

75.00

70.00 68.40

65.00 64.00
Rendemen (%)

61.60
60.00
54.80 Rendemen
55.00
50.80
50.00

45.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan

Gambar 4. Grafik rendemen kompos

35
Tabel 8. Nilai rata-rata rendemen kompos

Berat akhir rata-rata Rendemen rata-rata


Perlakuan
(kg) (%)
P1 17,8 50,80 a
P2 19,2 54,80 b
P3 21,6 61,60 c
P4 22,4 64,00 d
P5 24,0 68,40 e
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Proses pengomposan bahan organik menyebabkan penyusutan berat kompos


menjadi 50-70% dari berat awal bahan organik sebelum dikomposkan.
Penyusutan berat kompos tersebut terjadi karena adanya penurunan kadar air serta
proses dekomposisi bahan organik kompos oleh mikroorganisme pengurai selama
proses pengomposan (Yuwono, 2006).

4.2 Parameter Kualitas Kompos


Kompos yang telah matang sebelum digunakan pada lahan tentunya harus
mempunyai kualitas yang baik dan memenuhi standar. Dalam penelitian ini yang
digunakan sebagai acuan untuk menentukan kualitas kompos yang dihasilkan
adalah SNI No. 19-7030-2004. Adapun indikator kualitas kompos meliputi pH,
kadar air, C-organik, N-total, rasio C/N, kadar bahan organik.

4.2.1 Derajat Keasaman (pH)


Kompos yang telah matang sebelum digunakan langsung pada lahan
tentunya harus memenuhi standar, salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah
memiliki pH yang netral. Berdasarkan SNI 19-7030-2004, kompos yang
berkualitas baik mempunyai pH berkisar antara 6,80-7,49. Menurut Yuwono
(2006), nilai pH yang terlalu asam atau basa (alkali) pada kompos akan
berpengaruh pada meningkatnya konsumsi oksigen dan memberikan hasil yang
buruk bagi lingkungan. Kandungan pH yang terlalu tinggi (alkali) pada kompos
akan mengubah unsur nitrogen (N) dalam kompos menjadi amonia. Sedangkan
nilai pH yang terlalu rendah (asam) akan menyebabkan aktivitas mikroorganisme
pengurai terhenti. Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan bahwa semua perlakuan

36
mempunyai nilai pH berkisar antara 7,20 – 7,30, sehingga secara umum kelima
perlakuan memiliki nilai pH yang sesuai SNI.

7.50

7.40

7.30
7.30 7.28
7.24
7.22
pH

7.20
7.20

7.10

7.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan

Gambar 5. Grafik pH kompos

Tabel 9. Nilai rata-rata pH kompos

pH
Perlakuan Standar pH Kompos SNI
Rata-rata
P1 7,30 a
P2 7,28 a
P3 7,22 a 6,80 – 7,49
P4 7,20 a
P5 7,24 a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Berdasarkan hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data pH kompos
didapatkan hasil bahwa antara kelima perlakuan tidak menunjukkan nilai yang
berbeda nyata, seperti disajikan pada Tabel 9. Hal tersebut menunjukkan bahwa
perbedaan kadar air pada setiap perlakuan tidak berpengaruh terhadap nilai pH
kompos yang dihasilkan. Menurut Kusuma (2012), derajat keasaman (pH) tidak
dipengaruhi oleh kadar air, tetapi dipengaruhi kandungan nitrogen bahan organik
kompos hasil sintesis protein oleh mikroorganisme pengurai.

37
4.2.2 Kadar Air
Selain dilakukan uji derajat keasaman (pH), kompos yang telah matang
juga harus diuji kadar airnya agar memenuhi kadar air akhir yang sesuai SNI.
Menurut SNI 19-7030-2004, kompos yang berkualitas baik harus memiliki kadar
air tidak lebih dari 50%. Berdasarkan uji laboratorium didapatkan hasil bahwa
semua perlakuan mempunyai kadar air akhir yang berbeda seperti yang disajikan
pada Gambar 6. Kadar air akhir untuk semua perlakuan berkisar antara 21,72-
37,70%, sehingga secara umum kelima perlakuan mempunyai kadar air akhir rata-
rata yang sudah sesuai dengan SNI karena kadar air akhirnya tidak melebihi
ambang batas SNI (<50%).

40.00 37.70
35.55
35.00 33.74

29.25
30.00
Kadar air (%)

25.00
21.72

20.00

15.00

10.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan

Gambar 6. Grafik kadar air akhir kompos

Tabel 10. Nilai rata-rata kadar air akhir kompos

Kadar Air
Perlakuan Standar Kadar Air SNI
Rata-rata (%)
P1 21,72 a
P2 29,25 b
P3 33,74 c <50%
P4 35,55 d
P5 37,70 e
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

38
Berdasarkan hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada data kadar air akhir
kompos, didapatkan hasil bahwa kelima perlakuan menunjukkan nilai yang
berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan kadar air untuk setiap
perlakuan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air akhir kompos.

4.2.3 C-Organik
Kandungan karbon (C-organik) merupakan salah satu parameter yang
menentukan kematangan kompos, dimana ketersediaan unsur karbon dibutuhkan
untuk proses dekomposisi bahan organik kompos (Mehl, 2008). Menurut SNI 19-
7030-2004, kompos yang telah matang mempunyai kandungan C-organik berkisar
antara 9,8-32%. Setelah proses pengomposan selesai, kompos yang sudah matang
selanjutnya dilakukan uji kandungan C-organik dan didapatkan hasil seperti pada
Gambar 7. Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa semua perlakuan mempunyai
nilai rata-rata C-organik berkisar antara 20,39-29,09%, sehingga secara umum
kelima perlakuan memiliki kandungan C-organik yang sesuai SNI.
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) terhadap data pengukuran kandungan
C-organik kompos seperti pada Tabel 11, didapatkan hasil bahwa antara perlakuan
P1 dengan empat perlakuan lainnya (P2, P3, P4, P5) menunjukkan nilai yang
berbeda nyata. Perlakuan P1 dengan kadar air 30±2% mengalami proses
dekomposisi yang kurang optimal sampai memasuki hari ke-52 karena aktivitas
mikroorganisme pengurai terhenti akibat kurangnya kandungan air pada
tumpukan bahan kompos. Menurut Kusuma (2012), apabila kadar air selama
proses pengomposan dibawah 40%, maka dapat mengakibatkan berkurangnya
populasi mikroorganisme pengurai sehingga proses pengomposan menjadi
terhambat. Hal tersebut menyebabkan proses penguraian bahan organik kompos
yang didalamnya terdapat unsur karbon dan nitrogen, menjadi tidak sempurna.

39
30.00 29.09

25.00

21.25 20.93 21.28


20.39
C-organik (%)

20.00

15.00

10.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan

Gambar 7. Grafik kandungan C-organik kompos

Tabel 11. Nilai rata-rata C-organik kompos

C-organik
Perlakuan Standar C-organik SNI
Rata-rata (%)
P1 29,09 b
P2 20,39 a
P3 21,25 a 9,8-32
P4 20,93 a
P5 21,28 a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Menurut Pratiwi (2013), selama proses pengomposan akan terjadi


pelepasan karbondioksida karena adanya aktivitas mikroorganisme pengurai yang
menggunakan unsur karbon sebagai sumber energi untuk mengurai bahan organik,
sehingga berpengaruh terhadap kadar C-organik kompos yang dihasilkan. Apabila
aktivitas mikroorganisme pengurai terhenti, maka proses perombakan senyawa
karbon selama proses pengomposan menjadi tidak optimal, sehingga
menyebabkan kandungan C-organik kompos yang dihasilkan menjadi tinggi.

4.2.4 N-total
Selain unsur karbon, parameter lain yang menentukan kematangan kompos
adalah unsur nitrogen (N). Menurut SNI 19-7030-2004, kompos yang telah

40
matang mempunyai kandungan N-total >0,10%. Setelah proses pengomposan
selesai, kompos yang sudah matang selanjutnya dilakukan uji kandungan N-total
dan didapatkan hasil seperti pada Gambar 8. Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa
semua perlakuan mempunyai nilai rata-rata N-total berkisar antara 1,27-1,37%,
sehingga secara umum kelima perlakuan memiliki kandungan N-total yang sesuai
SNI.

1.38 1.37

1.36
1.34
1.34

1.32 1.31
1.30
N-total (%)

1.30

1.28 1.27

1.26

1.24

1.22
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan

Gambar 8. Grafik kandungan N-total kompos

Tabel 12. Nilai rata-rata N-total kompos

N-total Standar N-total


Perlakuan
Rata-rata (%) SNI
P1 1,37 a
P2 1,30 a
P3 1,31 a >0,40
P4 1,34 a
P5 1,27 a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Hasil uji statistik menggunakan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) didapat
hasil bahwan kelima perlakuan menunjukkan nilai tidak berbeda nyata seperti
disajikan pada Tabel 12. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan perbedaan kada air
pada tumpukan bahan organik kompos tidak memberikan pengaruh yang

41
signifikan terhadap kadar N-total kompos yang dihasilkan. Kotoran ayam sebagai
bahan organik yang mengandung nitrogen tinggi, diberikan komposisi yang sama
untuk semua perlakuan sehingga kadar N-total yang dihasilkan cenderung
seragam antara perlakuan satu dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Kusuma (2012), bahwa kadar nitrogen dipengaruhi oleh
kondisi bahan baku kompos.

4.2.5 C/N Rasio


Setelah semua perlakuan mengalami proses pengomposan, selanjutnya
dilakukan pengukuran C/N rasio kompos dan didapatkan hasil seperti disajikan
pada Gambar 9. Hasil pengukuran C/N rasio menunjukkan bahwa dari kelima
perlakuan terdapat empat perlakuan yang memenuhi standar kualitas kompos SNI
dengan C/N rasio berkisar antara 15,68 - 17,05, yaitu perlakuan P2 (kadar air
40±2%), P3 (kadar air 50±2%), P4 (kadar air 60±2%), dan P5 (kadar air 70±2%).
Sedangkan satu perlakuan lainnya yaitu P1 mempunyai C/N rasio yang masih
tinggi (21,33) sehingga belum memenuhi SNI 19-7030-2004, dimana standar C/N
rasio yang sesuai berkisar antara 10-20.

22.00 21.33

20.00

18.00 17.05
16.28 16.58
15.68
C/N rasio

16.00

14.00

12.00

10.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan

Gambar 9. Grafik kandungan C/N rasio kompos

Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) terhadap data pengukuran kandungan
C-organik kompos seperti pada Tabel 13, didapatkan hasil bahwa antara perlakuan
P1 dengan empat perlakuan lainnya (P2, P3, P4, P5) menunjukkan nilai yang

42
berbeda nyata. Seperti yang telah dibahas pada Gambar 7, kandungan C-organik
yang tinggi pada perlakuan P1 akibat proses dekomposisi yang kurang optimal
menyebabkan C/N rasio dari kompos yang dihasilkan tinggi.

Tabel 13. Nilai rata-rata C/N rasio kompos

C/N rasio Standar C/N rasio


Perlakuan
Rata-rata (%) SNI
P1 21,33 b
P2 16,28 a
P3 16,58 a 10-20
P4 15,68 a
P5 17,05 a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Menurut Pane (2014), selama proses pengomposan akan terjadi perubahan


C/N rasio dikarenakan unsur karbon dan nitrogen yang tekandung dalam bahan
organik kompos telah terurai. Unsur karbon (C) digunakan oleh mikroorganisme
pengurai sebagai sumber energi, sedangkan unsur nitrogen (N) digunakan sebagai
sumber untuk membangun struktur sel tubuhnya. Adanya aktivitas
mikroorganisme pengurai yang menggunakan unsur karbon dan nitrogen selama
proses dekomposisi menyebabkan C/N rasio kompos semakin menurun.

4.2.6 Kadar Bahan Organik


Setelah semua perlakuan mengalami proses pengomposan, selanjutnya
dilakukan pengukuran kadar bahan organik kompos dan didapatkan hasil seperti
disajikan pada Gambar 10. Kadar bahan organik yang diukur merupakan
perkiraan besarnya jumlah materi organik yang terkandung dalam kompos.
Pengukuran kadar bahan organik dilakukan dengan prosedur pembakaran dimana
materi organik dikonversi menjadi karbondioksida dan air. Kehilangan berat
melalui proses pembakaran diinterpretasikan sebagai materi organik yang
terkandung dalam kompos (Sawyer, 2003). Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa
semua perlakuan mempunyai nilai rata-rata kadar bahan organik berkisar antara
55,93-57,66%, sehingga secara umum kelima perlakuan mempunyai kadar bahan
organik yang sesuai SNI.

43
58.00
57.66
57.50
Kadar Bahan Organik (%)

57.00
56.49 56.50
56.50 56.24
55.93
56.00

55.50

55.00
P1 P2 P3 P4 P5
Perlakuan

Gambar 10. Grafik kandungan kadar bahan organik kompos

Perlakuan P1 mempunyai kadar bahan organik tertinggi yaitu sebesar


57,66%, sedangkan perlakuan P3 mempunyai nilai kadar bahan organik paling
rendah, yaitu sebesar 55,93%. Tingginya kandungan bahan organik pada
perlakuan P1 disebabkan karena proses dekomposisi yang kurang sempurna akibat
perubahan suhu yang rendah dan tidak mampu mencapai fase termofilik sehingga
mikroorganisme tidak mampu menguraikan bahan organik kompos secara
optimal.

Tabel 14. Nilai rata-rata kadar bahan organik kompos

Kadar Bahan Organik


Standar Kadar Bahan Organik
Perlakuan Rata-rata
SNI
(%)
P1 57,66 a
P2 56,49 a
P3 55,93 a 27-58
P4 56,50 a
P5 56,24 a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (p>0,05)

Hasil uji statistik menggunakan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) didapat
hasil bahwa kelima perlakuan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata seperti

44
disajikan pada Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa pemberian kadar air yang
berbeda pada setiap perlakuan tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kadar bahan organik kompos. Komposisi bahan baku jerami dan kotoran
ayam yang sama untuk semua perlakuan tidak berpengaruh terhadap kandungan
bahan organik kompos yang dihasilkan.

45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian analisis dinamika suhu pada proses
pengomposan jerami dicampur kotoran ayam dengan perlakuan kadar air berbeda
didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Suhu selama proses pengomposan untuk semua perlakuan cenderung
seragam, kecuali pada perlakuan P1 (kadar air 30±2%). Suhu maksimal
yang dicapai oleh keempat perlakuan (P2, P3, P4, P5) berkisar antara 49,4
- 49,6oC dengan suhu akhir mencapai 29,0 - 29,6oC. Perlakuan P1
mempunyai sebaran suhu yang berbeda dibandingkan keempat perlakuan
lainnya karena selama proses pengomposan tidak mampu mencapai fase
termofilik dan fase pematangan kompos, dimana suhu maksimal yang
dicapai sebesar 34,8oC.
2. Perlakuan yang mengalami fase pematangan kompos paling cepat adalah
perlakuan P4 (kadar air 60±2%), yaitu pada hari ke-42 dengan indikator
kematangan kompos adalah kembali turunnya suhu kompos mendekati
suhu lingkungan serta pengamatan visual sesuai SNI 19-7030-2004, yaitu
warna cokelat kehitaman, kadar air akhir 35,55%, pH akhir 7,2, C/N rasio
15,68, serta kandungan bahan organik 56,50%. Jadi, perlakuan kadar air
yang menghasilkan waktu pengomposan bahan baku kompos jerami
dicampur kotoran ayam tercepat adalah kadar air 60±2%.

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan adalah dalam proses pembuatan kompos sebaiknya menggunakan kadar
air 60±2%, dengan kondisi faktor lain seperti komposisi bahan baku, C/N rasio,
suhu, serta pH bahan kompos tetap optimal sehingga proses pengomposan dapat
memerlukan waktu yang lebih singkat serta kualitas kompos yang dihasilkan
sesuai SNI.

46
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. SNI 19-
7030-2004. http://ciptakarya.pu.go.id. Diakses tanggal : 28 Maret 2017.

Anonim. 2017. Luas Lahan (Hektar) Per Kabupaten/Kota Menurut


Penggunaannya Tahun 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/895. Diakses tanggal :
28 Maret 2017.

Atmaja, I K. Merta. 2016. Pengaruh Perbandingan Komposisi Jerami dan Kotoran


Ayam Terhadap Kualitas Pupuk Kompos. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Udayana, Badung.

Budiarta, I W. 2016. Pengaruh Saluran Aerasi dan Varietas Padi Terhadap


Kualitas Kompos Berbahan Baku Jerami. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Udayana, Badung.

Djuarnani, N. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. AgroMedia, Jakarta

Ekawati. 2003. Kandungan Bahan Organik Jerami Padi.


http://agroteknologi.web.id. Diakses tanggal : 30 Maret 2017.

Harahap, Darwin. 2010. Laju Dekomposisi secara Aerobik dan Kualitas Kompos
dari Berbagai Residu Tanaman dengan Penambahan Berbagai
Dekomposer. Tesis. Tidak dipublikasikan. Fakultas Pertanian Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.

Harizena, I. N. D. 2012. Pengaruh Jenis dan Dosis MOL terhadap Kualitas


Kompos Sampah Rumah Tangga. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Konsentrasi Ilmu Tanah dan Lingkungan Jurusan Agroekoteknologi,
Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Denpasar.

Indriani, Y. H. 2011. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta

Isroi. 2008. Kompos : Cara Mudah, Murah, dan Cepat Menghasilkan Kompos.
Andi Offset, Yogyakarta

Kusuma. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air Terhadap Laju Dekomposisi Kompos
Sampah Organik di Kota Depok. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program
Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok.

47
Madrini, I. A. G. B. 2016. Community-based Composting and Management of
Leftover Food for Urban Agriculture. Thesis. Unpublish. Agricultural and
Environmental Engineering, United Graduate School of Agricultural
Science, Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo.

Makarim, Karim. 2007. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Sukabumi. Subang

Mehl, Jessica A. 2008. Pathogen Destruction and Aerobic Decomposition in


Composting Latrines : A Study from Rural Panama.
http://cee.eng.usf.edu/2008mehl.pdf. Diakses tanggal : 02 Desember 2017.

Murbandono, H. L. 2008. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta

Pane, M. 2014. Pemberian Bahan Organik Kompos Jerami Padi dan Abu Sekam
Padi dalam Memperbaiki Sifat Kimia Tanah Ultisol serta Pertumbuhan
Tanaman Jagung. Jurnal Online Agroekoteknologi 2 : 1426-1432.

Pratiwi, I. G. A. P., Atmaja, W. D., Soniari, N. N. 2013. Analisis Kualitas


Kompos Limbah Persawahan dengan Mol Sebagai Dekomposer. Jurnal
Online Agroekoteknologi Tropika 2(4) : 2301-6515.

Sahwan, F. L. 2016. Kualitas Produk Kompos dan Karakteristik Proses


Pengomposan Sampah Kota Tanpa Pemilahan Awal. Jurnal Teknologi
Lingkungan, 11(1), 79-85.

Sidabutar, N. V. 2012. Peningkatan Kualitas Kompos UPS Permata Regency


dengan Penambahan Kotoran Ayam Menggunakan Windrow Composting.
Skripsi. Tidak dipublikasikan. Program Studi Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok.
Sugiarti, H. (2011). Pengaruh Pemberian Kompos Batang Pisang Terhadap
Pertumbuhan Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Skripsi. Tidak
dipublikasikan. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor.
Suryani, Y. 2010. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat dari Limbah
Kotoran Ayam sebagai Agensi Probiotik dan Enzim Kolesterol Reduktase.
Prosiding Seminar Nasional Biologi 3 Juli 2010.

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta : Kanisius

Som. 2009. Stability and maturity of a green waste and biowaste compost
assessed on the basis of a molecular study using spectroscopy, thermal
analysis, thermodesorption and thermochemolysis. Science Direct.

Tufaila, M. 2014. Aplikasi Kompos Kotoran Ayam Untuk Meningkatkan Hasil


Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) di Tanah Masam. Jurnal
Agroteknos Vol. 4 (2) : 120-127.

48
Widarti, B. Nining, Wardhini, W. Kusuma., dan Sarwono, E. 2015. Pengaruh
Rasio C/N Bahan Baku Pada Pembuatan Kompos dari Kubis dan Kulit
Pisang. Jurnal Integrasi Proses 5 (2) : 75-80.

Widowati. 2005. Pengaruh Kompos Pupuk Organik yang Diperkaya dengan


Bahan Mineral dan Pupuk Hayati terhadap Sifat-sifat Tanah, Serapan
Hara, dan Produksi Sayuran Organik. Laporan Proyek Program
Pengembangan Agribisnis Balai Penelitian Tanah, TA 2015.

Yuwono, T. 2006. Kecepatan Dekomposisi dan Kualitas Kompos Sampah


Organik. INNOFARM. Jurnal Inovasi Pertanian 4 (2) : 116-123.

49
50

Anda mungkin juga menyukai