Anda di halaman 1dari 41

Proposal Penelitian

PENGARUH RASIO AMPAS TAHU DAN DEDAK SERTA


KONSENTRASI TEPUNG TULANG IKAN TERHADAP MUTU
BOKASI

OLEH :

MUSLIM ZAINAL
0605105010080

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2011
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan zaman kebutuhan pupuk organik semakin

meningkat, selain dari pembuatan dan penggunaannya yang relatif mudah.

Belakangan ini petani di Aceh sudah mulai menggunakan pupuk organik yang

dikenal dengan nama bokasi dalam usaha taninya. Bokasi diartikan sebagai pupuk

organik yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik dengan

bantuan mikroorganisme lokal (MOL). Bokasi merupakan tekhnologi terbaru

dalam bidang pertanian sebagai pengganti pupuk kimia yang dibuat dari bahan-

bahan organik yang mudah didapatkan.

Bokasi memiliki manfaat yang baik bagi tanaman, tanah, maupun petani.

Menurut Santoso (1998) bokasi memiliki empat manfaat yaitu untuk

mengembalikan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat tanah (fisik, kimia

ataupun biologis), Bokasi mempercepat dan mempermudah penyerapan N oleh

tanaman, pengomposan dapat mencegah tanaman pengganggu, dan bokasi dapat

dibuat dengan mudah, murah dan cepat. Dan untuk itu bokasi ini dapat dibuat

sendiri oleh petani dengan proses yang mudah serta biaya yang terjangkau.

Salah satu permasalahan dalam pembuatannya adalah komponen dedak

sebagai bahan baku yang memiliki harga lebih tinggi dari bahan baku lainnya

yaitu sekitar Rp 2000/kg. Sedangkan untuk bahan baku lainnya boleh dibilang

dari limbah pertanian ataupun limbah dari rumah tangga sehingga harganya relatif

sangat murah, yaitu sekedar menggantikan ongkos angkut.


Melihat permasalahan dari harga dedak yang mahal, sehingga dengan

semakin banyak bagian dedak digunakan dalam pembuatan bokasi maka akan

semakin mahal pula biaya produksi bokasi tersebut. Ini akan memberatkan dalam

proses produksi sendiri termasuk pada petani yang ingin membuat bokasi sendiri.

Sesuai dengan penelitian Hidayat (2011), ampas tahu dapat digunakan

sebagai subsitusi dedak dalam pembuatan bokasi hingga 1:1 atau setara dengan

50% dari total penggunaan dedak pada pembuatan bokasi. Namun kendala yang

didapatkan adalah nilai pH yang rendah mendekati nilai asam. Penambahan

tepung tulang diduga akan memperbaiki kondisi pH produk bokasi karena tulang

yang ditambahkan memiliki sifat basa.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui pengaruh penambahan tepung tulang ikan terhadap mutu

bokasi yang dihasilkan.

2. Meningkatkan kadar pH dari rasio ampas tahu dan dedak dalam

pembuatan bokasi.

C. Hipotesis

Rasio ampas tahu dan dedak serta konsentrasi tepung tulang ikan diduga

berpengaruh terhadap mutu bokasi yang dihasilkan.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi

dan sumber pemikiran khususnya bagi peneliti, juga bagi masyarakat luas tentang

pemanfaatan limbah ampas tahu serta penambahan tepung ikan dalam pembuatan

kompos.

Adapun manfaat yang didapatkan adalah bagi para petani, dengan

dihasilkannya bokasi maka dapat mengurangi pemakaian pupuk urea atau

pemakaian pupuk secara kimiawi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat

menurunkan biaya produksi bokasi serta memberikan dampak yang positif

terhadap lingkungan.

II . TINJAUAN PUSTAKA
A. Bokasi

Bokasi merupakan pupuk organik yang dapat dibuat sendiri dari campuran

beberapa bahan dan difermentasikan. Adapun bahan-bahan yang dapat digunakan

untuk membuat bokasi adalah berbagai jenis bahan organik seperti : dedak padi,

dedak jagung, dedak gandum, sekam padi, ampas kelapa, ampas tahu, rumput,

serbuk gergaji, sabut dan tempurung kelapa, tepung ikan, tepung tulang, kotoran

ternak, sampah dapur, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut diperlakukan dengan

penambahan Efektif Mikroorganisme (EM) sebagai mikroba pengaktif (aktivator)

sehingga terjadi proses fermentasi (Hardianto, 2008).

Selain itu, menurut Basuki (1995), bokasi merupakan dekomposisi biologi

dan stabilisasi bahan organik pada kondisi suhu tinggi dan lembab dengan produk

akhir yang cukup stabil untuk disimpan atau diaplikasikan ke tanah.

Berdasarkan proses pengomposan, maka bokasi dapat digolongkan

menjadi dua jenis yaitu bokasi aerobik dan bokasi anaerobik. Bokasi aerobik

dapat diproduksi dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Sedangkan

bokasi anaerobik, energi dan bahan organiknya dapat dipertahankan, namun bila

pengelolaannya salah akan menimbulkan keracunan/pencemaran pada

tanah(Hardianto, 2008).

Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam waktu

yang cukup lama, 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan tergantung dari bahan yang

dikomposkan dibandingkan dengan bokasi yang waktu fermentasinya hanya 10

hari. Proses bokasi umumnya melibatkan beberapa kelompok organisme baik


mikroflora (bakteri, kapang dan actinomycetes), mikrofauna (protozoa),

makroflora (jamur tingkat tinggi) dan makrofauna (cacing tanah, rayap, semut)

(Rahayu, 1990).

Prinsip pembuatan bokasi adalah hasil akhir dari penguraian bahan organik

yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme dalam lingkungan yang lembab,

hangat dengan atau tanpa aerasi. Proses penguraian dimulai dengan aktivitas

mikroorganisme yang menggunakan bahan organik untuk pertumbuhan dan

perkembangan (Soedijanto, 1977).

B. Bahan Baku Bokasi

1. Kotoran Ternak

Kotoran ternak juga merupakan sumber mineral terutama N, P, dan K.

Selain itu kadar serat kasar kotoran ternak bernilai tinggi (Widayati dan

Widalestari, 1996). Menurut Nuryati (2002), kotoran sapi merupakan bahan yang

baik untuk kompos karena relatif tidak terpolusi logam berat dan antibiotik.

Kandungan fosfor yang rendah pada pupuk kandang dapat dipenuhi dari sumber

lain. Ada beberapa alasan mengapa bahan organik seperti kotoran sapi perlu

dikomposkan sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk, antara lain:

• Kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga

pembuatan bokasi merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum

digunakan sebagai pupuk,

• Struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air

kecil, sehingga bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah


menjadi sangat remah,

• Bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik

berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, dan

• Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur

hara ke dalam tanah.

2. Abu Sekam

Abu sekam memiliki fungsi mengikat logam berat. Selain itu abu sekam

berfungsi untuk menggemburkan tanah sehingga bisa mempermudah akar

tanaman menyerap unsur hara seperti nitrogen, kalium dan phosphor. Penggunaan

abu sekam diduga mampu menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif untuk

pertumbuhan bibit tanaman karena memberikan tambahan unsur hara, khususnya

Si (silikat), C organik, N total dan P tersedia (Sialoho, 1992), disamping unsur K,

Ca, P dan Mg (Hare, 1989).

Adanya kandungan silikat yang tinggi pada sekam dapat menghasilkan

ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit melalui pengerasan jaringan daun

(Marschner, 1986).

3. Serbuk Gergaji

Serbuk gergaji merupakan produk sampingan yang dihasilkan pada proses

pengkerutan atau penggergajian kayu. Kadar air dari serbuk gergaji yang berasal

dari penggergajian tradisional relatif masih tinggi, yaitu 30 %, sedangkan yang

berasal dari industri frame relatif sangat rendah, yaitu < 5 % (Suprianto, 2008).

Menurut Komarayati dan Indrawati (2003) kandungan N dalam serbuk


gergaji sangat rendah, yaitu < 0.1% dan C/N ratio antara 200 – 500.

4. Dedak

Dedak merupakan hasil sampingan dari pabrik penggilingan padi untuk

memproduksi beras, yaitu bagian luar (kulit ari) beras yang dibuang pada waktu

dilakukan (pemutihan) beras. Pemanfaatan dedak padi di Indonesia umumnya

sebagai pakan ternak. Hal ini dikarenakan kandungan yang terkandung dalam

dedak padi yang mempunyai nilai gizi yang tinggi seperti lipid, protein,

karbohidrat, vitamin, mineral (besi, phospor, magnesium, potassium) dan juga

serat (Christophorus, 2008).

Selanjutnya Soegiri et al. (1981) menyatakan bahwa dedak padi

mengandung protein yang tinggi. Komposisi dedak padi yang baik dapat dilihat

pada tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Komposisi Dedak Padi


Parameter Jumlah (%)

Kadar air 11.5

Protein 13.0

Lemak 19.0

Serat Kasar 7.5

Abu 7.0
Sumber : Creswell et al, 2002

5. Ampas Tahu

Ampas tahu berasal dari kedelai dan anti nutrisinya sama dengan kedelai.

Ampas tahu tersedia dalam bentuk basah dan kandungan ampas tahu tinggi yaitu

sekitar 88.96 %. Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu,
yang diperoleh dari residu pendidihan bubur kedelai yang memiliki daya tahan

tidak lebih dari 24 jam dalam ruangan terbuka (Tim Fatemata, 1981).

Ampas tahu mempunyai luas permukaan kecil dan menyebabkan proses

pengomposan cenderung berlangsung dalam kondisi anaerob atau fakultatif

anaerob, serta derajad keasaman ampas tahu yang mendekati asam, maka

pengomposan yang sesuai untuk diterapkan adalah pengomposan dengan

menggunakan EM (Effective Microorganism) (Indriani dan Murbandono, 2000).

Menurut Suyantohadi et al. (2000) Ampas tahu memiliki kandungan

protein sebesar 3.46 %, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengganti dedak

dalam pembuatan bokasi.

Ampas tahu yang dihasilkan oleh tiap-tiap pabrik tahu mempunyai

komposisi kimia yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan

penggunaan bahan dasar kedelai, bahan pembantu, peralatan maupun proses

pengolahan yang dilakukan (Shurtley dan Aoyagi, 1985). Kandungan gizi ampas

tahu dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2. Kandungan gizi tiap 100 gram ampas tahu.


Zat Gizi Jumlah
Energi (kal) 414
Protein (g) 26.6
Lemak (g) 18.3
Karbohidrat (g) 41.3
Kalsium (mg) 19
Pospor (mg) 29
Besi (mg) 4.0
Vitamin A (SI) 0
Vitamin B1 (mg) 0.20

Vitamin C (mg) 0
Air (g) 9.0
Sumber : Suhartini dan Hidayat (2004).

6. Tepung Tulang Ikan

Tepung tulang adalah bahan hasil penggilingan tulang telah diekstrak

gelatinnya. Produk ini digunakan untuk bahan baku pakan yang merupakan

sumber mineral (terutama kalsium) dan sedikit asam amino. Pembuatan tepung

tulang juga merupakan upaya untuk mendayagunakan limbah tulang yang

biasanya tidak terpakai dan dibuang di rumah pemotongan hewan (Tarwiyah dan

Kemal, 2001).

Proses penanganan limbah ikan yang dihasilkan adalah dengan cara

penguburan dan pembakaran. Apabila limbah tersebut dibiarkan begitu saja akan

menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan khususnya polusi bau dan

menyebabkan lingkungan sekitarnya menjadi pengaruh buruk. Oleh karena itu

perlu mendapat perhatian serius dalam penanganan dm pemanfaatannya untuk

menghindari timbulnya penyakit.

Salah satu bentuk pengolahan tulang ikan yang dapat dilakukan adalah

penepungan. Tepung tulang ikan dengan kandungan kalsium dan fosfor yang

tinggi dapat menjadi sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan

fosfor. Pemanfaatan tepung tulang ikan dalam bahan pangan sangat mungkin,

Mineral bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan yang

dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam bentuk
mineral terlarut (soluble), namun tidak semua mineral terlarut bersifat

bioavailable. Kondisi mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam

penyerapan mineral di dalam tubuh. Mineral dalam bahan pangan akan

mengalami perubahan struktur kimia selama dan atau sesudah proses pengolahan

atau berinteraksi dengan komponen gizi lainnya. Peningkatan atau penurunan

solubilitas terganhmg pada metode pengolahan (O'DelI, 1984; Clydesdale, 1988;

Newman dan Jagoe, 1994; Watzke, 1998; Santoso et al. 2006).

C. MOL (Mikroorganisme Lokal)

Larutan EM ditemukan pertama kali oleh Teruo Higa dari Universitas

Ryukyus, Jepang. Larutan EM ini mengandung mikroorganisme fermentasi yang

jumlahnya sangat banyak, sekitar 80 genus dan Mikroorganisme tersebut dipilih yang

dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan bahan organik. Dari sekian

banyak mikroorganisme, ada lima golongan yang pokok, yaitu Bakteri Fotosintetik,

Lactobacillus sp, Saccharomyces sp, Actinomycetes, Jamur Fermentasi (Indriani,

2007).

Starter yang sering ditemukan di pasaran adalah EM4 (Effective

Mikroorganisme 4). EM4 merupakan suatu inokulum yang mengandung 90%

bakteri fermentasi dari genus Lactobacillus (bakteri penghasil asam laktat). EM4

juga mengandung bakteri fotosintetik, actinomycetes, jamur fermentasi dan ragi.

Semua bakteri ini dapat hidup bersama dan harmonis dalam suatu kultur cair

(Hadijaya, 1994).

Selain berfungsi dalam proses fermentasi dan dekomposisi bahan organik,


EM juga mempunyai manfaat antara lain:

1. Memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah.

2. Menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

3. Menyehatkan tanaman, meningkatkan produksi tanaman, dan menjaga

kestabilan produksi.

4. Menambah unsur hara tanah dengan cara disiramkan ke tanah, tanaman, atau

disemprotkan ke daun tanaman.

5. Mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan (Indriani,

2007).

EM4 bisa digantikan dengan starter yang dapat dibuat sendiri dengan

memanfaatkan limbah dapur. Starter ini sering disebut dengan nama MOL

(Mikroorganisme lokal). MOL ini mempunyai fungsi yang sama seperti EM4

(Purwanto, 2008).

Menurut Sobirin, (2008) Starter sebagai pengganti EM4 dikenal dengan

MOL (Mikroorganisme Lokal) yang harganya lebih murah dan juga berfungsi

untuk mempercepat proses pembuatan kompos. Penggunaan MOL di dalam

pembuatan bokasi dapat membantu proses penguraian (fermentasi) menjadi lebih

cepat sehingga dapat lebih menghemat waktu. Biasanya, waktu yang dibutuhkan

untuk fermentasi dalam pembuatan pupuk organik tanpa penambahan starter MOL

berkisar 2-3 bulan. Dengan penambahan MOL proses fermentasi dapat dipercepat

menjadi ± 1 minggu.

Menurut Herawati (2007), MOL dapat dibuat dari lima liter air cucian

beras pertama, ditambah dengan satu kilogram cacahan buah manis seperti pepaya
atau nenas, seperempat kilogram gula merah dan satu gelas air tetes tebu atau air

gula. Biasanya larutan dimasukkan dalam botol dan dibiarkan selama tiga hari.

D. Proses Pengomposan

Proses pengomposan merupakan proses biokimia, Pada kompos dengan

penambahan EM 4 dan serbuk gergaji, suhu optimum adalah 46 °C. Pada suhu

tersebut aktivitas bakteri termofilik berada pada suhu optimum (42-46 °C)

(Asngat dan Suparti, 2005). Setelah proses pengomposan selama satu minggu

suhu berangsur turun dan digantikan oleh bakteri mesofilik. Suhu optimum

tersebut paling tinggi dibanding kontrol dan kompos dengan EM 4 karena

komposisi bahan mengandung serbuk gergaji yang memiliki rasio C/N 500

(Suprianto, 2008).

Laju dekomposisi bahan organik (bahan baku kompos) menjadi kompos

yang matang tergantung dari beberapa faktor sebagai berikut :

1. C/N Rasio

Nitrogen merupakan salah satu unsur hara yang bermuatan negatif dalam

bentuk NO3- dan positif dalam bentuk NH4+. Selain sangat mutlak dibutuhkan,

nitrogen dapat dengan mudah hilang atau menjadi tidak tersedia bagi tanaman.

Ketidaktersediaan nitrogen dari dalam tanah dapat melalui proses pencucian

(leaching) NO3-, denitrifikasi NO3- menjadi N2, volatilisasi NH4+ menjadi NH3

(Muhklis dan Fauzi, 2003).

Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1

hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan


menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40

mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk protein. Apabila rasio

C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga

dekomposisi berjalan lambat (Simamora dan salundik, 2008).

2. Temperatur

Faktor temperatur sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan

karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yeng terlibat. Temperatur

optimum bagi pengomposan adalah 40 - 60 °C dengan suhu maksimum 75 °C.

Jika suhu pengomposan mencapai mencapai 40 °C, aktivitas mikroorganisme

termofil. Jika suhu mencapai 60 °C, fungi akan berhenti bekerja dan proses

perombakan dilanjutkan oleh aktinomisetes serta strain bakteri pembentuk spora

(spore forming bacteria) (Simamora dan salundik, 2008).

Ada hubungan langsung antara peningkatan temperatur dengan konsumsi

oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan

akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan temperatur dapat

terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30

- 60 °C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Temperatur yang lebih

tinggi dari 60 °C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba

thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Temperatur yang tinggi juga

akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman, parasit dan benih gulma

(Isroi, 2005).

Mikroorganisme akan mendekomposisikan bahan organik pada suhu ± 40


– 50 oC. Ini terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme dalam

mendekomposisikan bahan organik dengan oksigen sehingga menghasilkan energi

dalam bentuk panas, CO2 dan uap air. Panas yang ditimbulkan akan tersimpan

dalam tumpukan, sementara bagian permukaan terpakai untuk penguapan. Panas

yang terperangkap dalam tumpukan akan menaikkan suhu tumpukan. Setelah

mencapai suhu puncak, suhu tumpukan mengalami penurunan yang akan stabil

sampai proses pengomposan berakhir (Hartutik et al, 2009).

3. pH

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. Nilai pH

yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 - 7.5. Nilai pH

kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 - 7.4. Proses pengomposan sendiri

akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. pH

kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (Isroi, 2005).

Jika bahan yang dikomposkan terlalu asam, pH dapat dinaikkan dengan

cara menambahkan kapur. Sebaliknya, jika nilai pH tinggi (basa) bisa diturunkan

dengan bahan yang bereaksi asam (mengandung Nitrogen) seperti urea atau

kotoran hewan (Simamora dan salundik, 2008).

4. Mikroorganisme Pengomposan

Menurut Higa dan James (1997) hasil fermentasi bahan organik yang

dilakukan oleh mikroorganisme efektif (EM) adalah asam laktat, asam amino,

yang dapat diserap langsung oleh tanaman sebagai antibiotik yang mampu
menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan.

Menurut Simamora dan salundik (2008) mikroorganisme diklasifikasikan

dalam tiga kategori, yaitu psikrofil, mesofil, dan termofil. Namun yang terlibat

dalam proses pengomposan adalah mikroorganisme mesofil dan termofil.

Mikroorganisme mesofil dapat hidup pada suhu 25 - 40 °C, sedangkan termofil

hidup pada suhu di atas 65 °C.

Effective Microorganisme 4 (EM 4) mengandung mikroorganisme

diantaranya Lactobacillus sp., Khamir, Aktinomicetes dan Streptomises.

Mikroorganisme tersebut akan mendekomposisikan bahan organik pada suhu ± 40

- 50 °C. Mikroorganisme tersebut melakukan proses fermentasi dalam bahan

sehingga akan menghasilkan energi dalam bentuk ATP yang selanjutnya energi

tersebut akan digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan menjadi

senyawa-senyawa yang lebih sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh tanah.

(Hartutik et al, 2009).

Pada awal dekomposisi, mikroorganisme yang terlibat dalam proses

pengomposan adalah jenis mesofil. Beberapa hari setelah terfermentasi, suhu

pengomposan meningkat sehingga peran mikroorganisme mesofil digantikan oleh

mikroorganisme termofil. Setelah suhu pengomposan turun lagi, mikroorganisme

mesofil akan aktif kembali (Simamora dan salundik, 2008).

Bokasi dengan menggunakan EM 4 atau MOL akan mencapai suhu

optimum pada 39 °C, pada suhu ini aktivitas bakteri mesofilik berada pada suhu

maksimum sementara aktivitas bakteri termofilik pada suhu minimum. Sementara

suhu optimum dari bakteri termofilik berada pada suhu 42 - 46 °C (Asngat dan
Suparti, 2005).

5. Aerasi

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen

(aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang

menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam

tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan

(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang

akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan

melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos (Isroi,

2005).

Aerasi (pengaturan udara) yang baik ke semua bagian tumpukan bahan

kompos bahan kompos sangat penting untuk menyediakan oksigen bagi

mikroorganisme dan membebaskan CO2 yang dihasilkan. Karbondioksida yang

dihasilkan harus dibuang agar tidak menimbulkan zat beracun yang merugikan

mikroorganisme sehingga bisa menghambat aktivitasnya (Simamora dan salundik,

2008).

6. Kelembaban (RH)

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses

metabolisme mikroorganisme dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai

oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan

organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran

optimum untuk metabolisme mikroorganisme. Apabila kelembaban di bawah 40


%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada

kelembaban 15 %. Apabila kelembaban lebih besar dari 60 %, hara akan tercuci,

volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroorganisme akan menurun dan

akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap (Isroi,

2005).

Kelembaban optimum untuk proses pengomposan aerobik sekitar 50 – 60

% setelah bahan organik dicampur. Kelembaban campuran bahan kompos yang

rendah (kekurangan air) akan menghambat proses pengomposan dan akan

menguapkan Nitrogen ke udara. Namun jika kelembabannya tinggi proses

pertukaran udara dalam campuran bahan kompos akan terganggu (Simamora dan

salundik, 2008).

7. Ukuran Bahan Baku

Aktivitas mikroorganisme berada diantara permukaan area dan udara.

Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara

mikroorganisme dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat.

Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk

meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran

partikel bahan tersebut (Isroi, 2005).

Semakin kecil ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan berlangsung

semakin cepat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas permukaan bahan.

Ukuran bahan yang kuramg dari 5 cm akan mengurangi pergerakan udara yang

masuk ke dalam timbunan dan pergerakan CO2 yang keluar (Simamora dan
salundik, 2008).

8. Pengadukan

Menurut Sulaeman (2006), setiap bahan organik yang akan dikomposkan

memiliki karakteristik yang berlainan. Karakteristik terpenting bahan organik dan

berguna untuk mendukung proses pengomposan adalah kadar Karbon (C) dan

Nitrogen (N), hal ini karena karbon akan digunakan oleh mikroorganisme sebagai

sumber energi sementara nitrogen untuk síntesis protein.

Sebelum dan selama proses pengomposan, campuran bahan baku kompos

harus diaduk sehingga mikroba perombak bahan organik bisa menyebar secara

merata. Dengan demikian, kinerja mikroorganisme perombak bahan organik dapat

bisa lebih efektif (Simamora dan salundik, 2008).

Pada proses pengomposan dilakukan pembalikan bahan, hal ini bertujuan

untuk mengatur aerasi sekaligus untuk homogenasi bahan. Pada proses

dekomposisi, oksigen harus tersedia cukup di dalam tumpukan jika aerasi

terhambat maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasillkan bau tidak

sedap (Indriani, 2002).

E. Standar Kematangan Pengomposan

Kematangan kompos sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor selama

pengomposan. Setelah selesai pengomposan, semua bahan baku mengalami

perubahan warna menjadi coklat kehitaman dan warna tersebut bergradasi sesuai

dengan jumlah penambahan EM 4. Hal ini terjadi karena penambahan


mikroorganisme dapat mempercepat proses pematangan kompos sehingga

mencapai warna kematangan kompos yang lebih cepat pula dibandingkan dengan

warna kematangan kompos pada sampel yang lain. Kematangan kompos

dikatakan tercapai bila warnanya telah menjadi coklat kehitaman (Indriani, 2000,

Murbandono, 2000, Polprasert, 1996).

Kematangan kompos dapat dilihat dari kandungan karbon dan nitrogen

melalui rasio C/Nnya. Prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan

organik hingga sama dengan C/N tanah yaitu 10 - 12. Kompos yang memiliki

rasio C/N mendekati rasio C/N tanah lebih dianjurkan untuk digunakan (Indriani,

2002).
III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Limpok, Kecamatan Darussalam,

Kabupaten Aceh Besar dan Laboratorium Pasca Panen, Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian serta Jurusan Hama Penyakit dan Tanaman Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian berlangsung pada bulan April -

Juni 2011.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotoran sapi, abu

sekam, serbuk gergaji, dedak, ampas tahu, tepung tulang ikan dan

mikroorganisme lokal (MOL). Ampas tahu dan tulang ikan yang digunakan

berasal dari pabrik-pabrik di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar. MOL dibuat

sendiri dengan menggunakan bahan limbah pertanian dan limbah dapur sesuai

metode Purwanto (2008)


2. Alat

Alat-alat pengolahan yang digunakan yaitu : cangkul, plastik hitam

(terpal), pipa berukuran kecil, selotip, dan parang.

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola

faktorial yang terdiri atas 2 faktor. Faktor I adalah rasio ampas tahu dan dedak (A)

terdiri dari lima taraf yaitu: A1: ( 0 : 1) , A2 : ( 1 : 2), A3: ( 1 : 1), A4: ( 2 : 1). Faktor

II adalah konsentrasi tepung tulang ikan (T) yang terdiri dari tiga taraf yaitu T1 = 0

%, T 2 = 10 %, dan T 3 = 15 %. Setiap perlakukan diulang sebanyak dua kali

sehingga terdapat 30 satuan percobaan.

Tabel 3. Susunan Kombinasi Perlakuan Dengan Menggunakan RAL

Rasio

Tepung
Rasio Ampas Tahu dan Dedak (A)
Tulang ikan

(T)
2:1
0:1 1:2 1:1
(10% : 5%)
(0% : 15%) (5% : 10%) (7,5% : 7,5%)
(A4)
(A1) (A2) (A3)
0 % (T1) A4T1 U1
A1T1 U1 A2T1 U1 A3T1 U1
A4T1 U2
A1T1 U2 A2T1 U2 A3T1 U2
10 % (T2) A4T2 U1
A1T2 U1 A2T2 U1 A3T2 U1
A1T2 U2 A2T2 U2 A3T2 U2 A4T2 U2
15 % (T3) A4T3 U1
A1T3 U1 A2T3 U1 A3T3 U1
A4T3 U2
A1T3 U2 A2T3 U2 A3T3 U2
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam

(ANOVA = Analysis of Variance) dengan model matematis dari rancangan yang

digunakan adalah sebagai berikut (Sugandi dan Sugiarto, 1994).

Yijk = µ + Ai + Tj + (AT)ij + ε ijk

Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan pada kelompok ke-i, yang memperoleh perlakuan

pada taraf ke-j faktor perbandingan Ampas Tahu dan Dedak (A) dan taraf ke-t

Rasio tepung tulang ikan (T).

Μ = Nilai tengah atau pengaruh rata-rata umum.

Ai = Pengaruh faktor perbandingan Ampas Tahu dan Dedak (A) pada taraf

ke-i.

Tj = Pengaruh Rasio tepung tulang ikan (T) pada taraf ke-j.

(AT)ij = Pengaruh interaksi faktor perbandingan Ampas Tahu dan Dedak (A)

pada taraf ke-i dan Rasio tepung tulang ikan (T) pada taraf ke-j.

Εijk = Pengaruh galat percobaan acak lengkap ke-i pada faktor perbandingan

Ampas Tahu dan Dedak (A) taraf ke-j dan Konsentrasi Tepung tulang

ikan (T) taraf ke-t.

Bila terdapat pengaruh yang nyata antara perlakuan maka akan diteruskan

dengan uji lanjut Beda Nyata terkecil (BNT) dengan persamaan sebagai berikut :
2 KT Galat
BNTα = tα (v) x r
Keterangan :

tα = Nilai baku t-student pada taraf uji α dan derajat bebas galat v

KT = Kuadrat tengah galat baku derajat deviasi

r = Jumlah ulangan

D. Prosedur Penelitian

Adapun proses pembuatan bokasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tahapannya adalah sebagai berikut :

1. Semua bahan (kotoran hewan, abu sekam, serbuk gergaji)

dicampur terlebih dahulu.

2. Kemudian ampas tahu, dedak dan tepung tulang ikan dengan

konsentrasi 5 %, 10 %, 15 % ditambahkan sesuai perlakuan (0:1,

1:2, 1:1, 2:1).

3. Bahan diaduk dan dicampur sampai merata.

4. Larutan MOL ditambahkan sesuai perlakuan. Dalam

penambahannya, MOL diencerkan dengan air.

5. MOL dan bahan diaduk kembali sampai benar-benar tercampur.

6. Bahan ditutup dengan menggunakan terpal.

7. Difermentasikan.
Adapun proses pembuatan tepung tulang ikan dapat dilihat pada lampiran

2. Tahapannya adalah sebagai berikut :

Adapun proses pembuatan MOL (mikroorganisme lokal) dapat dilihat

pada lampiran 3. Tahapannya adalah sebagai berikut :

1. Buah-buahan yang tidak layak dikonsumsi lagi, dikupas kulitnya dan

dipotong kecil-kecil dan ditimbang sebanyak 250 gr.

2. Sebanyak 250 gr buah-buahan tersebut dihancurkan dengan menggunakan

blender sehingga bahan tercampur rata.

3. Jenis gula dan komposisi air kelapa serta air cucian beras ditambahkan

sesuai dengan taraf pada masing-masing faktor perlakuan.

4. Selanjutnya campuran bahan diaduk sampai homogen.

5. Kemudian campuran dituang ke dalam wadah dan ditutup dengan plastik

dan diikat dengan menggunakan karet pengikat, lalu difermentasi selama 7

hari.

E. Analisis

Analisis yang dilakukan terhadap bokasi yang dihasilkan meliputi jumlah

mikroorganisme, kadar air, pH, temperatur, C/N rasio, organoleptik (tekstur, bau

dan warna), dan uji tanaman seperti dapat dilihat pada Lampiran 4.
DAFTAR PUSTAKA

Asngat, A. dan Suparti, 2005 Model Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik


dengan Inokulan (Studi Kasus Sampah Di Mojosongo Surakarta). Jurusan
Pendidikan Biologi. Universitas Muhammadiah Surakarta, Surakarta.

Atris, S., Wahyu, S., dan Agustinus, S. 2000. Penerapan Alat Pengepres Ampas
Tahu Untuk Pengrajin Tempe Gembus Pada Sentra Industri Tahu. Jurnal,
Bantul.

Christophorus n. K, 2008. Pengaruh Stabilisasi Dedak Padi Terhadap Kadar


Oryzanol Dalam Minyak Dedak Padi. Central Library Institute
Technology Bandung, Bandung.

Creswell, d.c., b. Tangendjaja and d.j. Farrell. 2002. Rice Bran: Watch for
variability . Asian Poultry. Jan – Feb 2002.

Hadijaya. 1994. Analisis Mikroorganisme EM-4. Laboratorium Terpadu Divisi


Mikrobiologi IPB, Bogor.

Hardianto, 2008. Petunjuk Teknis Pembuatan Bokasi. BPTP, Bandung.

Herawati. 2007. Sampah Pun Bisa “Dipelihara” Untuk Menghasilkan Uang.


http://64.023.71.11/kompas-cetak/0703/30/sumbagut/3417399.htm [27
Desember 2008].
Hare, R., 1989. Heat Effect in Living Plant. Forest Service, US Department. of
Agriculture. 42 pp.

Hartutik, S., Sriatun., dan Taslimah. 2009. Pembuatan pupuk dari limbah bunga
kenanga dan pengaruh persentase zeolit terhadap ketersediaan nitrogen
tanah. Kimia Anorganik Jurusan Kimia Universitas Diponegoro, Semarang

Higa, T. dan F.D. James, 1997. Effective Microorganism (EM4). Dimensi Baru.
Kyusei Nature Farming Societies, Vol. 02/Th 1993. Jakarta.

Indriani YH, 2000. Membuat Kompos Secara Singkat. PT Penebar Swadaya,


Jakarta.

Indriani, Y. H., 2002, Membuat Kompos Secara kilat. PT Penebar Swadaya,


Jakarta.

Indriani, Y. H., 2007, Membuat Kompos Secara kilat. PT Penebar Swadaya,


Jakarta.

Isroi dan Happy Widiastuti. 2005. Kompos Limbah Padat Organik. Dinas KLH
Kab. Pemalang. Pemalang, Jawa Tengah.

Komarayati, S. dan I. Indrawati. 2003. Isolasi dan Identifikasi Mikroorganisme


dalam Arang Kompos. Buletin Penelitian Hasil Hutan. (21) 2: 251-258.
Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Marschner, H., 1986. Mineral Nutrition of Higher Plant. Academic Press.


London. 649 pp.

Muhklis dan Fauzi, 2003, Pergerakan Unsur Hara Nitrogen Dalam Tanah. USU Press,

Sumatra Utara.

Murbandono, L. 2000. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.

Nuryati, S. 2002. Membuat Kompos Kotoran Sapi Lebih Berkualitas. IPB, Bogor.

Polprasert C.1996. Organic Waste Recycling. 2nd ed. Baffins Lane. Chichester.
West Sussex. Inggris: John Wiley and Sons Ltd.

Prabowo, A., D. Samaih dan M. Rangkuti. 1993. Pemanfaatan ampas tahu


sebagai makanan tambahan dalam usaha penggemukan domba potong.
Proceeding Seminar 1983. Lembaga Kimia Nasional-LIPI, Bandung.

Purwanto, A. 2008. Membuat Kompos dalam Karung.


http://konservasi39.multiply.com/journal/item/165/Membuat_Kompos_dal
am_Karung. [24 November 2008].

Siahaloho, M., 1992. Pengaruh penempatan sekam dan dosis pupuk kandang
pada pertumbuhan dan produksi jahe. Skripsi. Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian Institut Pertanian, Bogor. 54 h.

Simamora, S dan Salundink. 2008. Meningkatkan Kualitas Kompos. PT.


AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Shurtleff, W. and A. Aoyagi. 1975. The Book of Tofu, Food for Mankind. Ten
Speed Press, California, USA.

Shurtleff, W. and A. Aoyagi. 1985. The Book of Tempeh, The Decios, Cholestrol
Free Protein 130 Recipes. Second Edition Revised And Updated, New
York.

Sobirin. 2008. Mol Tapai Atau Mol Peuyuem Lebih Bersih. http:// clearwaste.
blogspot. Com /2008/ 01/ mol – tapai – atau – peuyuem - lebih-
bersih.html. [24 November 2008].

Soedijanto,. H, 1977. Pupuk Kandang Hijau Kompos. PT. Bumirestu, Jakarta.

Soegiri, J., M.S. Siahaan, dan N.M. Thaib. 1981. Ransum praktis untuk ternak
potong. Direktorat Bina produksi. Dirjen Peternakan, Jakarta.

Suhartini, S., Hidayat, N. 2004. Aneka Olahan Ampas Tahu. Trubus Agrisarana,
Surabaya.

Sulaeman, D. 2006. Pengomposan : Salah Satu Alternatif Pengolahan Sampah Organik.


Artikel, Departemen Pertanian.

Supardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Jurusan
Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian, Bogor. 591 h.

Suprianto, A., 2008, Aplikasi Wastewater Sludge Untuk Proses Pengomposan


Serbuk Gergaji, Paper Agus Suprianto, PT. Novartis Biochemie, Bogor.

Tim Fatemata. 1981. Studi Pembuatan Kecap Ampas Tahu. Makalah Seminar
Ekonomi. IPB. Bogor.

Webb. J and J.R. Archer. 1994. Pollution of Soils and Watercourses by Wastes
from Livestock Production Systems. In Pollution in Livestock Production
Systems. . Edited by Ap Dewi, I., R.F.E. Axford, I. F. M. Marai, and H.M.
Omed.Cab International. Wallingford, Oxon Ox10 8DE, UK. Pp. 189-204.

Widayati, E. dan Widalestari, Y. 1996. Limbah Untuk pakan Ternak. Cetakan 1.


Trubus Agrisarana. Surabaya. Hal. 19-33.
Pengadukan
Pemerataan
Penutupan dengan terpal
Pencampuran bahan dan MOL sampai menyatu

Lampiran 1. Diagram alir pembuatan bokasi


Penutupan dengan plastik
Pengadukan
Penimbangan dan diikat
sampai
masing-masing dengan
250 gr karet
homogen
Difermentasi
Fermentasi
Pemasukkan - Jumlah
selama
dalam 7 Mikroorganisme
hari
plastik jar
Pengupasan
Pencampuran
dan pemotongan
Penghancuran dengan menggunakan
- Nilai pH blender
- Nilai C dan N
- C/N Rasio
- Temperatur
- Kadar air
- Organoleptik (tekstur, bau dan warna )
- Uji Tanaman

Lampiran 3. Diagram alir pembuatan MOL (Mikroorganisme Lokal)


Lampiran 4. Prosedur Analisis

1. Uji Mikrobiologi dengan Media Agar (Total Cell Count) (Lay, 1994)

Pengukuran total jumlah mikroba dilakukan dengan menggunakan alat

Quebec Counter Colony. Sampel sebanyak 10 g diencerkan dalam 90 ml aquadest

steril dengan pengenceran 10-7. Isolasi dilakukan dengan metode tuang (Fardiaz,

1986).

Setiap satu unit percobaan disiapkan inokulum sebanyak 1 liter dengan populasi

untuk bakteri sekitar 106 sel/ml sedangkan jamur 105 juta sel/ml. Media yang digunakan

untuk jamur adalah PDA(Potatoes Dextrose Agar), sedangkan untuk bakteri adalah

NA(Nutrients Agar). Inkubasi dilakukan pada suhu 40 oC selama 3 hari. Koloni yang

tumbuh kemudian dihitung dan selanjutnya dimurnikan.

2. Uji pH (Derajat Keasaman Tanah)

Alat pengukur pH, seperti kertas lakmus (metode perbedaan warna) atau

soil tester ( metode elektromagnetik) dapat digunakan untuk mengetahui pH


bokasi . Jika kertas lakmus yang dipilih, prosedur kerjanya sebagai berikut :

• Diambil contoh bokasi yang akan dianalisa

• Contoh bokasi tersebut diambil sedikit (1-2 sendok makan). Dimasukkan

ke dalam wadah apa saja, kemudian diberi air murni (aquades) dengan

volume yang sama dengan volume bokasi.

• Diaduk campuran air dan bokasi, biarkan mengendap sehingga air menjadi

bening.

• Dipisahkan air dari endapan bokasi dengan menuangkannya ke wadah

yang lain.

• Dicelupkan kertas lakmus ke dalam air tersebut selama beberapa detik

hingga tidak lagi terjadi perubahan warna.

• Dicocokkan warna kertas lakmus dengan warna indikator yang terdapat

pada kemasan kertas lakmus untuk menentukan nilai pH.

Penggunaan soil tester lebih praktis karena dapat langsung dilakukan di

lapangan. Soil tester berbentuk kerucut. Pada bagian atas berbentuk lingkaran dan

terdapat jarum penunjuk pH. Bagian bawahnya meruncing, terdapat lempengan

logam yang berfungsi sebagai elektroda. Cara penentuan pH dengan

menggunakan soil tester sebagai berikut :

• Ditentukannya titik-titik tempat pengukuran pH pada suatu area

pembuatan bokasi. Titik-titik tersebut harus mewakili area bokasi.

Semakin luas area yang ingin diketahui pH-nya, semakin banyak titik yang

harus dibuat.

• Ditancapkan bagian yang runcing ke dalam bokasi, sehingga logam yang


ada pada sisinya masuk ke dalam tanah sampai kedalaman 12-15 cm. Jika

bokasi tempat menancapkan soil tester terlalu kering, sebelum

ditancapkan, siram tanah terlebih dahulu dengan aquadest. Sebelum

ditancapkan, jarum harus menunjuk pada pH 7.

• Diperhatikan jarum penunjuk pH yang mulai bergerak, biarkan beberapa

saat hingga jarum berhenti bergerak. Angka berwarna merah yang

ditunjukkan oleh jarum adalah nilai pH tanah tempat soil tester

ditancapkan.

• Sebelum mencoba pada titik yang lain, soil tester harus dicuci terlebih

dahulu dengan aquades dari sisa-sisa pupuk bokasi yang masih melekat.

Semakin banyak titik yang diambil, semakin akurat hasil pengukuran pH.

3. Penetapan kadar karbon (C) dengan Metode Walkley dan Black

a. Prinsip

Penetapan C bokasi pada prinsipnya sama seperti penetapan C tanah.

Sampel bokasi terlebih dahulu dioksidasikan dengan kalium bikromat, kemudian

didektruksi dengan asam sulfat pekat dan asam fosfat. Besarnya C yang hilang

karena teroksidasi merupakan kadar C dalam tanaman.

b. Alat-alat :

• Timbangan analitik / digital

• Labu erlenmeyer 500 ml

• Buret
• Pengaduk magnetik (magnetik stirer)

• Pipet 10 ml

• Gelas ukur

• Labu volumetrik (labu takar) 1 L.

c. Bahan pereaksi :

• Asam sulfat pekat (H2SO4 96 % )

• Asam fosfat pekat (H3PO4 85 % )

• Kalium bikromat 1 N.

Ditimbang 49.04 g K2Cr2O7 kemudian dilarutkan dengan aqudest dalam baker

glass 500 ml. Diaduk perlahan-lahan, kemudian dituangkan ke dalam labu

volumetrik (labu takar) 1 L dan ditambahkan aquadest sampai tanda garis.

• Indikator difenilamin

Ditimbangkan 0.5 g difenilamin (p. a.) dan dilarutkan dalam 20 ml aquadest,

kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 pekat.

• Larutan ferosulfat 0.5 N. Dilarutkan 278 g FeSO4 dengan aquadest dalam

gelas piala 500 ml. Ditambahakan 15 ml H2SO4 dan diaduk perlahan-lahan

dengan pengaduk kaca, setelah itu di encerkan menjadi 1 L dalam labu

volumetrik.

d. Cara kerja :
• ditimbang 0.01 g contoh tanaman, dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer 500 ml.

• dipipet 10 ml larutan K2Cr2O7 1 N dimasukkan ke dalam labu

erlenmeyer tersebut.

• ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat dengan menggunakan gelas ukur,

digoyangkan perlahan-lahan dan hati-hati jangan sampai contoh

tanaman melekat di dinding gelas.

• dikerjakan prosedur nomor 1 sampai nomor 3 untuk blanko (tanpa contoh

tanaman).

• selanjutnya ditambah 200 ml aquadest dan ditambahkan 10 ml H3PO3

pekat dan 30 tetes indikator dofenilamin.

• larutan ini selanjutnya dititrasi dengan FeSO4 0.5 N sampai terjadi

perubahan warna mula-mula dari hijau gelap menjadi biru keruh, dan

menjadi hijau terang pada titik akhir titrasi.

e. Perhitungan :

Kadar karbon dalam tanaman :

%C= x N x 0.39

Dimana :

V1 = volume FeSO4 yang terpakai untuk titrasi blanko

V2= volume FeSO4 yang terpakai untuk titrasi contoh


S = bobot contoh bokasi kering oven 105 oC dalam gram

N= normalitas FeSO4 (misalnya : 0.5 )

0.39= 3 x 10-3 x 100% x 1.3 (3=bobot ekivalen karbon)

Catatan :

Faktor 1.3 adalah faktor kompetensasi untuk pembakaran bahan organik

yang tidak sempurna.

4. Penetapan Kadar Nitrogen Dengan Metode Kjeldahl

a. Prinsip

Penetapan N bokasi juga dapat dilakukan dari larutan destroat (hasil

destruksi) dilakukan dengan menggunakan Kjeldhal. N dalam larutan didesilasi

dengan alat destilator, kemudian diubah menjadi NH4 melalui pendinginan dan

diikat dengan asam borak. Besarnya N yang diikat oleh asam borak dititrasi

dengan asam sulfat.

b. Alat-alat :

 Timbangan analitik/digital

 Labu Kjeldhal

 Destilator

 Labu destruksi (atau labu volumetrik 50 ml)

 Digestion block (atau hot plate)


 Gelas ukur

 Baker glass

 Pipet 10 ml

 Erlenmeyer 125 ml

c. Bahan pereaksi :

• Asam sulfat pekat (H2SO4) 96%)

• Asam borat 1 %

• Dilarutkan 10 gram H3BO3 dalam 1 liter H2O.

• Natrium hidroksida 25 %

Dilarutkan 250 g NaOH dalam gelas piala dengan air murni (H2O) 600 ml.

setelah dingin diencerkan menjadi 1 liter dalam labu takar.

• Indikator Conway.

Dilarutkan 0.100 g Metilen merah dan 0.150 Bromecressol green (BCG)

dalam 200 ml Etanol 96%

• Asam sulfat 0.05 N.

Diencerkan 1.4 ml H2SO4 pekat dengan H2O hingga menjadi 1 L, kemudian

ditetapkan kenormalannya dengan boraks.

d. Cara kerja :

• Dipipet 10 ml cairan destruksi (destroat) dari larutan stock A dan

dipindahkan ke dalam kjeldhal 100 ml, kemudian ditambahkan 20 ml


aquadest.

• Ditambahkan 50 ml NaOH 25 % dan segera dipasang pada alat

penyulingan (destilator unit)

• Disiapkan 25 ml H3BO3 1 % beserta indikator Conway (4 tetes) dalam

erlenmeyer125 ml untuk menampung hasil destilasi.

• Destilasi dilakukan selama lebih kurang 10 menit sejak tetesan pertama

jatuh (hasil destilasi menjadi sekitar 75 ml).

• Hasil destilasi dititrasi dengan H2SO4 0.01 N sampai terjadi perubahan

warna dari hijau menjadi merah anggur / ungu. Jika menggunakan titrator

automatis : set akhir pH pada 4.60.

e. Perhitungan :

( a − b)
%N= s x N x 1.4 x 10

a=Volume H2SO4 yang terpakai untuk titrasi contoh

b=Volume H2SO4 yang terpakai untuk titrasi blanko

s= bobot contoh tanah(bokasi) kering oven 105 oC

N= normalitas H2SO4 (misalnya : 0.01 )

1.4= 14 (nomor atom N) x 10-3 x 100 %

10= 100 / 10

5. Uji C/N Rasio

Salah satu kriteria untuk mengukur kematangan kompos adalah rasio C/N.
%C
C / N Rasio =
%N

Rasio C/N yang paling baik untuk tanah adalah 10 - 20 (Murbandono 2002).

Selama proses pengomposan, bakteri penghancur akan menggunakan N untuk

berkembang biak. Oleh karena itu bahan yang mengandung rasio C/N tinggi,

proses pengomposannya akan lama, karena rasio C/N harus diturunkan hingga

mendekati rasio C/N tanah. Nilai uji C/N ratio akan didapatkan dengan

perhitungan sebagai berikut :

6. Temperatur

Diukur Temperatur dengan memasukkan termometer dalam bagian bokasi.

Termometer dimasukkan ke dalam tumpukan bahan melalui lubang dari bagian

luar pada 3 titik yang berbeda dan merata. Setelah pengukuran lubang ditutup

kembali.

7. Kadar Air (Apriyantono et al, 1989)

• Sampel yang sudah homogen ditimbang sebanyak 5 gram dan diletakan

didalam cawan kosong yang sudah ditimbang beratnya. Cawan dan

tutupnya sudah dikeringkan didalam oven dan didinginkan didalam

desikator.

• Cawan yang berisi sampel kemudian ditutup dan dimasukkan kedalam

oven dengan suhu berkisar 100 – 102 ºC selama 6 jam.

• Cawan lalu didingingkan didalam desikator dan setelah cawan dingin


ditimbang.

Kadar air dapat dihitung dengan rumus :

Berat bahan awal ( g ) − Berat bahan akhir ( g )


x 100%
% Kadar Air (wet basis)= Berat bahan awal ( g )

8. Organoleptik (Tekstur, Bau, dan Warna)

• Dilakukan proses pembalikkan kompos atau bokasi setelah 4 kali

pengadukan secara bertahap untuk mendapatkan temperatur yang stabil.

• Diamati perubahan warna, bau dan tekstur.

• Dilihat perubahan tekstur , bau dan warna yang terjadi. Apabila tekstur

terasa lunak dan mudah hancur, bau kompos menyerupai aroma tanah dan

warnanya sudah berubah menjadi coklat kehitaman maka proses

komposting sudah selesai. Tinggal menunggu penurunan temperatur

(Manglayang, 2009).

9. Uji Tanaman (Isroi, 2008)

Bokasi diuji untuk tingkat pertumbuhan tanaman. Biji yang digunakan

adalah biji yang mudah diperoleh, mudah berkecambah, dan cepat berkecambah.

Sebaiknya gunakan tanaman yang sensitif dan responsif terhadap kadungan hara

bokasi/tanah. Pada uji tanaman biji yang digunakan biji jagung karena memiliki

sifat responsive yang tinggi serta memiliki tingkat perkecambahan yang cepat.

Adapun tahapan pengujian tingkat pertumbuhan tanaman yang dilakukan

adalah sebagai berikut :


• Disiapkan biji jagung yang akan digunakan sebagai bahan pengujian.

• Dilakukan perendaman biji tersebut dalam larutan garam. Ambil biji yang

tenggelam dan buang biji yang mengampung.

• Disiapkan tempat untuk pertumbuhan tingkat tanaman. Tempat yang

digunakan berupa 4 polybag atau lahan yang sudah diberikan perlakuan

seperti kontrol dan penambahan bokasi,

• Polybag yang telah disiapkan diisi dengan:(a) tanah (kontrol), (b) tanah

top soil, (c), bahan mentah bokasi, dan (d) bokasi yang akan diuji.

• Diletakkan kurang lebih masing-masing 2 - 3 biji jagung tiap polybag.

• Dibiarkan di tempat teduh selama 2 hari.

• Dihitung jumlah biji yang berkecambah di hari kedua

• Dihitung indek tingkat pertumbuhan tanaman.

• Bokasi yang berkualitas bagus adalah bokasi yang indek tingkat

pertumbuhannya mendekati atau lebih besar dari 1. Misalnya: 0.75. Jika

kurang dari itu, atau nilanya rendah berarti bokasi tersebut belum cukup

matang.

Anda mungkin juga menyukai