OLEH :
MUSLIM ZAINAL
0605105010080
A. Latar Belakang
Belakangan ini petani di Aceh sudah mulai menggunakan pupuk organik yang
dikenal dengan nama bokasi dalam usaha taninya. Bokasi diartikan sebagai pupuk
dalam bidang pertanian sebagai pengganti pupuk kimia yang dibuat dari bahan-
Bokasi memiliki manfaat yang baik bagi tanaman, tanah, maupun petani.
dibuat dengan mudah, murah dan cepat. Dan untuk itu bokasi ini dapat dibuat
sendiri oleh petani dengan proses yang mudah serta biaya yang terjangkau.
sebagai bahan baku yang memiliki harga lebih tinggi dari bahan baku lainnya
yaitu sekitar Rp 2000/kg. Sedangkan untuk bahan baku lainnya boleh dibilang
dari limbah pertanian ataupun limbah dari rumah tangga sehingga harganya relatif
semakin banyak bagian dedak digunakan dalam pembuatan bokasi maka akan
semakin mahal pula biaya produksi bokasi tersebut. Ini akan memberatkan dalam
proses produksi sendiri termasuk pada petani yang ingin membuat bokasi sendiri.
sebagai subsitusi dedak dalam pembuatan bokasi hingga 1:1 atau setara dengan
50% dari total penggunaan dedak pada pembuatan bokasi. Namun kendala yang
tepung tulang diduga akan memperbaiki kondisi pH produk bokasi karena tulang
B. Tujuan Penelitian
pembuatan bokasi.
C. Hipotesis
Rasio ampas tahu dan dedak serta konsentrasi tepung tulang ikan diduga
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi
dan sumber pemikiran khususnya bagi peneliti, juga bagi masyarakat luas tentang
pemanfaatan limbah ampas tahu serta penambahan tepung ikan dalam pembuatan
kompos.
pemakaian pupuk secara kimiawi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
terhadap lingkungan.
II . TINJAUAN PUSTAKA
A. Bokasi
Bokasi merupakan pupuk organik yang dapat dibuat sendiri dari campuran
untuk membuat bokasi adalah berbagai jenis bahan organik seperti : dedak padi,
dedak jagung, dedak gandum, sekam padi, ampas kelapa, ampas tahu, rumput,
serbuk gergaji, sabut dan tempurung kelapa, tepung ikan, tepung tulang, kotoran
dan stabilisasi bahan organik pada kondisi suhu tinggi dan lembab dengan produk
menjadi dua jenis yaitu bokasi aerobik dan bokasi anaerobik. Bokasi aerobik
dapat diproduksi dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Sedangkan
bokasi anaerobik, energi dan bahan organiknya dapat dipertahankan, namun bila
tanah(Hardianto, 2008).
yang cukup lama, 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan tergantung dari bahan yang
makroflora (jamur tingkat tinggi) dan makrofauna (cacing tanah, rayap, semut)
(Rahayu, 1990).
Prinsip pembuatan bokasi adalah hasil akhir dari penguraian bahan organik
hangat dengan atau tanpa aerasi. Proses penguraian dimulai dengan aktivitas
1. Kotoran Ternak
Selain itu kadar serat kasar kotoran ternak bernilai tinggi (Widayati dan
Widalestari, 1996). Menurut Nuryati (2002), kotoran sapi merupakan bahan yang
baik untuk kompos karena relatif tidak terpolusi logam berat dan antibiotik.
Kandungan fosfor yang rendah pada pupuk kandang dapat dipenuhi dari sumber
lain. Ada beberapa alasan mengapa bahan organik seperti kotoran sapi perlu
• Struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air
• Bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik
• Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur
2. Abu Sekam
Abu sekam memiliki fungsi mengikat logam berat. Selain itu abu sekam
tanaman menyerap unsur hara seperti nitrogen, kalium dan phosphor. Penggunaan
abu sekam diduga mampu menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif untuk
ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit melalui pengerasan jaringan daun
(Marschner, 1986).
3. Serbuk Gergaji
pengkerutan atau penggergajian kayu. Kadar air dari serbuk gergaji yang berasal
berasal dari industri frame relatif sangat rendah, yaitu < 5 % (Suprianto, 2008).
4. Dedak
memproduksi beras, yaitu bagian luar (kulit ari) beras yang dibuang pada waktu
sebagai pakan ternak. Hal ini dikarenakan kandungan yang terkandung dalam
dedak padi yang mempunyai nilai gizi yang tinggi seperti lipid, protein,
mengandung protein yang tinggi. Komposisi dedak padi yang baik dapat dilihat
Protein 13.0
Lemak 19.0
Abu 7.0
Sumber : Creswell et al, 2002
5. Ampas Tahu
Ampas tahu berasal dari kedelai dan anti nutrisinya sama dengan kedelai.
Ampas tahu tersedia dalam bentuk basah dan kandungan ampas tahu tinggi yaitu
sekitar 88.96 %. Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu,
yang diperoleh dari residu pendidihan bubur kedelai yang memiliki daya tahan
tidak lebih dari 24 jam dalam ruangan terbuka (Tim Fatemata, 1981).
anaerob, serta derajad keasaman ampas tahu yang mendekati asam, maka
protein sebesar 3.46 %, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengganti dedak
pengolahan yang dilakukan (Shurtley dan Aoyagi, 1985). Kandungan gizi ampas
Vitamin C (mg) 0
Air (g) 9.0
Sumber : Suhartini dan Hidayat (2004).
gelatinnya. Produk ini digunakan untuk bahan baku pakan yang merupakan
sumber mineral (terutama kalsium) dan sedikit asam amino. Pembuatan tepung
biasanya tidak terpakai dan dibuang di rumah pemotongan hewan (Tarwiyah dan
Kemal, 2001).
penguburan dan pembakaran. Apabila limbah tersebut dibiarkan begitu saja akan
Salah satu bentuk pengolahan tulang ikan yang dapat dilakukan adalah
penepungan. Tepung tulang ikan dengan kandungan kalsium dan fosfor yang
tinggi dapat menjadi sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan
fosfor. Pemanfaatan tepung tulang ikan dalam bahan pangan sangat mungkin,
Mineral bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan yang
dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam bentuk
mineral terlarut (soluble), namun tidak semua mineral terlarut bersifat
mengalami perubahan struktur kimia selama dan atau sesudah proses pengolahan
jumlahnya sangat banyak, sekitar 80 genus dan Mikroorganisme tersebut dipilih yang
dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan bahan organik. Dari sekian
banyak mikroorganisme, ada lima golongan yang pokok, yaitu Bakteri Fotosintetik,
2007).
bakteri fermentasi dari genus Lactobacillus (bakteri penghasil asam laktat). EM4
Semua bakteri ini dapat hidup bersama dan harmonis dalam suatu kultur cair
(Hadijaya, 1994).
kestabilan produksi.
4. Menambah unsur hara tanah dengan cara disiramkan ke tanah, tanaman, atau
2007).
EM4 bisa digantikan dengan starter yang dapat dibuat sendiri dengan
memanfaatkan limbah dapur. Starter ini sering disebut dengan nama MOL
(Mikroorganisme lokal). MOL ini mempunyai fungsi yang sama seperti EM4
(Purwanto, 2008).
MOL (Mikroorganisme Lokal) yang harganya lebih murah dan juga berfungsi
cepat sehingga dapat lebih menghemat waktu. Biasanya, waktu yang dibutuhkan
untuk fermentasi dalam pembuatan pupuk organik tanpa penambahan starter MOL
berkisar 2-3 bulan. Dengan penambahan MOL proses fermentasi dapat dipercepat
menjadi ± 1 minggu.
Menurut Herawati (2007), MOL dapat dibuat dari lima liter air cucian
beras pertama, ditambah dengan satu kilogram cacahan buah manis seperti pepaya
atau nenas, seperempat kilogram gula merah dan satu gelas air tetes tebu atau air
gula. Biasanya larutan dimasukkan dalam botol dan dibiarkan selama tiga hari.
D. Proses Pengomposan
penambahan EM 4 dan serbuk gergaji, suhu optimum adalah 46 °C. Pada suhu
tersebut aktivitas bakteri termofilik berada pada suhu optimum (42-46 °C)
(Asngat dan Suparti, 2005). Setelah proses pengomposan selama satu minggu
suhu berangsur turun dan digantikan oleh bakteri mesofilik. Suhu optimum
komposisi bahan mengandung serbuk gergaji yang memiliki rasio C/N 500
(Suprianto, 2008).
1. C/N Rasio
Nitrogen merupakan salah satu unsur hara yang bermuatan negatif dalam
bentuk NO3- dan positif dalam bentuk NH4+. Selain sangat mutlak dibutuhkan,
nitrogen dapat dengan mudah hilang atau menjadi tidak tersedia bagi tanaman.
(leaching) NO3-, denitrifikasi NO3- menjadi N2, volatilisasi NH4+ menjadi NH3
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1
mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk protein. Apabila rasio
C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga
2. Temperatur
termofil. Jika suhu mencapai 60 °C, fungi akan berhenti bekerja dan proses
oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan
terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30
thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Temperatur yang tinggi juga
(Isroi, 2005).
dalam bentuk panas, CO2 dan uap air. Panas yang ditimbulkan akan tersimpan
mencapai suhu puncak, suhu tumpukan mengalami penurunan yang akan stabil
3. pH
yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 - 7.5. Nilai pH
kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 - 7.4. Proses pengomposan sendiri
akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. pH
cara menambahkan kapur. Sebaliknya, jika nilai pH tinggi (basa) bisa diturunkan
dengan bahan yang bereaksi asam (mengandung Nitrogen) seperti urea atau
4. Mikroorganisme Pengomposan
Menurut Higa dan James (1997) hasil fermentasi bahan organik yang
dilakukan oleh mikroorganisme efektif (EM) adalah asam laktat, asam amino,
yang dapat diserap langsung oleh tanaman sebagai antibiotik yang mampu
menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan.
dalam tiga kategori, yaitu psikrofil, mesofil, dan termofil. Namun yang terlibat
sehingga akan menghasilkan energi dalam bentuk ATP yang selanjutnya energi
optimum pada 39 °C, pada suhu ini aktivitas bakteri mesofilik berada pada suhu
suhu optimum dari bakteri termofilik berada pada suhu 42 - 46 °C (Asngat dan
Suparti, 2005).
5. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen
(aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang
menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan
(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang
akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
2005).
dihasilkan harus dibuang agar tidak menimbulkan zat beracun yang merugikan
2008).
6. Kelembaban (RH)
akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap (Isroi,
2005).
pertukaran udara dalam campuran bahan kompos akan terganggu (Simamora dan
salundik, 2008).
mikroorganisme dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat.
Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk
semakin cepat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas permukaan bahan.
Ukuran bahan yang kuramg dari 5 cm akan mengurangi pergerakan udara yang
masuk ke dalam timbunan dan pergerakan CO2 yang keluar (Simamora dan
salundik, 2008).
8. Pengadukan
berguna untuk mendukung proses pengomposan adalah kadar Karbon (C) dan
Nitrogen (N), hal ini karena karbon akan digunakan oleh mikroorganisme sebagai
harus diaduk sehingga mikroba perombak bahan organik bisa menyebar secara
terhambat maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasillkan bau tidak
perubahan warna menjadi coklat kehitaman dan warna tersebut bergradasi sesuai
mencapai warna kematangan kompos yang lebih cepat pula dibandingkan dengan
dikatakan tercapai bila warnanya telah menjadi coklat kehitaman (Indriani, 2000,
melalui rasio C/Nnya. Prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan
organik hingga sama dengan C/N tanah yaitu 10 - 12. Kompos yang memiliki
rasio C/N mendekati rasio C/N tanah lebih dianjurkan untuk digunakan (Indriani,
2002).
III. METODE PENELITIAN
Kabupaten Aceh Besar dan Laboratorium Pasca Panen, Jurusan Teknologi Hasil
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian berlangsung pada bulan April -
Juni 2011.
1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotoran sapi, abu
sekam, serbuk gergaji, dedak, ampas tahu, tepung tulang ikan dan
mikroorganisme lokal (MOL). Ampas tahu dan tulang ikan yang digunakan
berasal dari pabrik-pabrik di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar. MOL dibuat
sendiri dengan menggunakan bahan limbah pertanian dan limbah dapur sesuai
C. Rancangan Penelitian
faktorial yang terdiri atas 2 faktor. Faktor I adalah rasio ampas tahu dan dedak (A)
terdiri dari lima taraf yaitu: A1: ( 0 : 1) , A2 : ( 1 : 2), A3: ( 1 : 1), A4: ( 2 : 1). Faktor
II adalah konsentrasi tepung tulang ikan (T) yang terdiri dari tiga taraf yaitu T1 = 0
Rasio
Tepung
Rasio Ampas Tahu dan Dedak (A)
Tulang ikan
(T)
2:1
0:1 1:2 1:1
(10% : 5%)
(0% : 15%) (5% : 10%) (7,5% : 7,5%)
(A4)
(A1) (A2) (A3)
0 % (T1) A4T1 U1
A1T1 U1 A2T1 U1 A3T1 U1
A4T1 U2
A1T1 U2 A2T1 U2 A3T1 U2
10 % (T2) A4T2 U1
A1T2 U1 A2T2 U1 A3T2 U1
A1T2 U2 A2T2 U2 A3T2 U2 A4T2 U2
15 % (T3) A4T3 U1
A1T3 U1 A2T3 U1 A3T3 U1
A4T3 U2
A1T3 U2 A2T3 U2 A3T3 U2
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam
Keterangan :
pada taraf ke-j faktor perbandingan Ampas Tahu dan Dedak (A) dan taraf ke-t
Ai = Pengaruh faktor perbandingan Ampas Tahu dan Dedak (A) pada taraf
ke-i.
(AT)ij = Pengaruh interaksi faktor perbandingan Ampas Tahu dan Dedak (A)
pada taraf ke-i dan Rasio tepung tulang ikan (T) pada taraf ke-j.
Εijk = Pengaruh galat percobaan acak lengkap ke-i pada faktor perbandingan
Ampas Tahu dan Dedak (A) taraf ke-j dan Konsentrasi Tepung tulang
Bila terdapat pengaruh yang nyata antara perlakuan maka akan diteruskan
dengan uji lanjut Beda Nyata terkecil (BNT) dengan persamaan sebagai berikut :
2 KT Galat
BNTα = tα (v) x r
Keterangan :
tα = Nilai baku t-student pada taraf uji α dan derajat bebas galat v
r = Jumlah ulangan
D. Prosedur Penelitian
7. Difermentasikan.
Adapun proses pembuatan tepung tulang ikan dapat dilihat pada lampiran
3. Jenis gula dan komposisi air kelapa serta air cucian beras ditambahkan
hari.
E. Analisis
mikroorganisme, kadar air, pH, temperatur, C/N rasio, organoleptik (tekstur, bau
dan warna), dan uji tanaman seperti dapat dilihat pada Lampiran 4.
DAFTAR PUSTAKA
Atris, S., Wahyu, S., dan Agustinus, S. 2000. Penerapan Alat Pengepres Ampas
Tahu Untuk Pengrajin Tempe Gembus Pada Sentra Industri Tahu. Jurnal,
Bantul.
Creswell, d.c., b. Tangendjaja and d.j. Farrell. 2002. Rice Bran: Watch for
variability . Asian Poultry. Jan – Feb 2002.
Hartutik, S., Sriatun., dan Taslimah. 2009. Pembuatan pupuk dari limbah bunga
kenanga dan pengaruh persentase zeolit terhadap ketersediaan nitrogen
tanah. Kimia Anorganik Jurusan Kimia Universitas Diponegoro, Semarang
Higa, T. dan F.D. James, 1997. Effective Microorganism (EM4). Dimensi Baru.
Kyusei Nature Farming Societies, Vol. 02/Th 1993. Jakarta.
Isroi dan Happy Widiastuti. 2005. Kompos Limbah Padat Organik. Dinas KLH
Kab. Pemalang. Pemalang, Jawa Tengah.
Muhklis dan Fauzi, 2003, Pergerakan Unsur Hara Nitrogen Dalam Tanah. USU Press,
Sumatra Utara.
Nuryati, S. 2002. Membuat Kompos Kotoran Sapi Lebih Berkualitas. IPB, Bogor.
Polprasert C.1996. Organic Waste Recycling. 2nd ed. Baffins Lane. Chichester.
West Sussex. Inggris: John Wiley and Sons Ltd.
Siahaloho, M., 1992. Pengaruh penempatan sekam dan dosis pupuk kandang
pada pertumbuhan dan produksi jahe. Skripsi. Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian Institut Pertanian, Bogor. 54 h.
Shurtleff, W. and A. Aoyagi. 1975. The Book of Tofu, Food for Mankind. Ten
Speed Press, California, USA.
Shurtleff, W. and A. Aoyagi. 1985. The Book of Tempeh, The Decios, Cholestrol
Free Protein 130 Recipes. Second Edition Revised And Updated, New
York.
Sobirin. 2008. Mol Tapai Atau Mol Peuyuem Lebih Bersih. http:// clearwaste.
blogspot. Com /2008/ 01/ mol – tapai – atau – peuyuem - lebih-
bersih.html. [24 November 2008].
Soegiri, J., M.S. Siahaan, dan N.M. Thaib. 1981. Ransum praktis untuk ternak
potong. Direktorat Bina produksi. Dirjen Peternakan, Jakarta.
Suhartini, S., Hidayat, N. 2004. Aneka Olahan Ampas Tahu. Trubus Agrisarana,
Surabaya.
Supardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Jurusan
Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian, Bogor. 591 h.
Tim Fatemata. 1981. Studi Pembuatan Kecap Ampas Tahu. Makalah Seminar
Ekonomi. IPB. Bogor.
Webb. J and J.R. Archer. 1994. Pollution of Soils and Watercourses by Wastes
from Livestock Production Systems. In Pollution in Livestock Production
Systems. . Edited by Ap Dewi, I., R.F.E. Axford, I. F. M. Marai, and H.M.
Omed.Cab International. Wallingford, Oxon Ox10 8DE, UK. Pp. 189-204.
1. Uji Mikrobiologi dengan Media Agar (Total Cell Count) (Lay, 1994)
steril dengan pengenceran 10-7. Isolasi dilakukan dengan metode tuang (Fardiaz,
1986).
Setiap satu unit percobaan disiapkan inokulum sebanyak 1 liter dengan populasi
untuk bakteri sekitar 106 sel/ml sedangkan jamur 105 juta sel/ml. Media yang digunakan
untuk jamur adalah PDA(Potatoes Dextrose Agar), sedangkan untuk bakteri adalah
NA(Nutrients Agar). Inkubasi dilakukan pada suhu 40 oC selama 3 hari. Koloni yang
Alat pengukur pH, seperti kertas lakmus (metode perbedaan warna) atau
ke dalam wadah apa saja, kemudian diberi air murni (aquades) dengan
• Diaduk campuran air dan bokasi, biarkan mengendap sehingga air menjadi
bening.
yang lain.
lapangan. Soil tester berbentuk kerucut. Pada bagian atas berbentuk lingkaran dan
Semakin luas area yang ingin diketahui pH-nya, semakin banyak titik yang
harus dibuat.
ditancapkan.
• Sebelum mencoba pada titik yang lain, soil tester harus dicuci terlebih
dahulu dengan aquades dari sisa-sisa pupuk bokasi yang masih melekat.
Semakin banyak titik yang diambil, semakin akurat hasil pengukuran pH.
a. Prinsip
didektruksi dengan asam sulfat pekat dan asam fosfat. Besarnya C yang hilang
b. Alat-alat :
• Buret
• Pengaduk magnetik (magnetik stirer)
• Pipet 10 ml
• Gelas ukur
c. Bahan pereaksi :
• Kalium bikromat 1 N.
• Indikator difenilamin
volumetrik.
d. Cara kerja :
• ditimbang 0.01 g contoh tanaman, dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer 500 ml.
erlenmeyer tersebut.
tanaman).
perubahan warna mula-mula dari hijau gelap menjadi biru keruh, dan
e. Perhitungan :
%C= x N x 0.39
Dimana :
Catatan :
a. Prinsip
dengan alat destilator, kemudian diubah menjadi NH4 melalui pendinginan dan
diikat dengan asam borak. Besarnya N yang diikat oleh asam borak dititrasi
b. Alat-alat :
Timbangan analitik/digital
Labu Kjeldhal
Destilator
Baker glass
Pipet 10 ml
Erlenmeyer 125 ml
c. Bahan pereaksi :
• Asam borat 1 %
• Natrium hidroksida 25 %
Dilarutkan 250 g NaOH dalam gelas piala dengan air murni (H2O) 600 ml.
• Indikator Conway.
d. Cara kerja :
warna dari hijau menjadi merah anggur / ungu. Jika menggunakan titrator
e. Perhitungan :
( a − b)
%N= s x N x 1.4 x 10
10= 100 / 10
Salah satu kriteria untuk mengukur kematangan kompos adalah rasio C/N.
%C
C / N Rasio =
%N
Rasio C/N yang paling baik untuk tanah adalah 10 - 20 (Murbandono 2002).
berkembang biak. Oleh karena itu bahan yang mengandung rasio C/N tinggi,
proses pengomposannya akan lama, karena rasio C/N harus diturunkan hingga
mendekati rasio C/N tanah. Nilai uji C/N ratio akan didapatkan dengan
6. Temperatur
luar pada 3 titik yang berbeda dan merata. Setelah pengukuran lubang ditutup
kembali.
desikator.
• Dilihat perubahan tekstur , bau dan warna yang terjadi. Apabila tekstur
terasa lunak dan mudah hancur, bau kompos menyerupai aroma tanah dan
(Manglayang, 2009).
adalah biji yang mudah diperoleh, mudah berkecambah, dan cepat berkecambah.
Sebaiknya gunakan tanaman yang sensitif dan responsif terhadap kadungan hara
bokasi/tanah. Pada uji tanaman biji yang digunakan biji jagung karena memiliki
sifat responsive yang tinggi serta memiliki tingkat perkecambahan yang cepat.
• Dilakukan perendaman biji tersebut dalam larutan garam. Ambil biji yang
• Polybag yang telah disiapkan diisi dengan:(a) tanah (kontrol), (b) tanah
top soil, (c), bahan mentah bokasi, dan (d) bokasi yang akan diuji.
kurang dari itu, atau nilanya rendah berarti bokasi tersebut belum cukup
matang.