Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia sekarang ini mulai sadar akan kebutuhan gizi dalam
makanan yang dikonsumsi, terutama gizi yang berasal dari hewani atau daging
terutama daging sapi. Hal ini menyebabkan permintaan akan daging semakin terus
menigkat. Permintaan akan daging yang semakin meningkat ini membuat beberapa
Rumah Potong Hewan ( RPH ) selalu melakukan pemotongan sapi yang
menyisakan ruminansia yang memiliki kompenen yang terdiri dari empat bagian
yaitu rumen, retikulum, omasum dan obamasum.

Setelah pemotongan sapi terkadang ditemukan limbah isi rumen yang tidak
digunakan. Rumen terdapat mikroflora rumen yang berfungsi mencerna selulosa
dan hemisellulosa menjadi VFA, CO2, CH4, dan energi panas. Isi rumen sapi terdiri
atas dua bentuk yaitu bentuk padat dan bentuk cair. Sapi dan kandungannya, limbah
rumen sapi berpotensi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Oleh karena itu,
perlu adanya pengolahan limbah padat RPH. Salah satu alternatif pengelolaan
limbah padat rumen sapi adalah pengomposan dengan bantuan cacing tanah atau
disebut juga vermikomposting. Vermikomposting merupakan sebuah proses
aerobik, biooksidasi dan stabilisasi non termofilik dari dekomposisi sampah
organik yang tergantung pada cacing tanah untuk memotong, mencampur dan
meningkatkan kerja mikroorganisme.

Menurut Anwar cacing tanah juga dapat menurunkan rasio C/N bahan
organik, dan mengubah nitrogen tidak tersedia menjadi nitrogen tersedia setelah
dikeluarkan berupa kotoran (kascing). Bahan organik yang dimakan oleh cacing
tanah akan mengalami perombakan dalam alat pencernaannya sehingga menjadi
halus dan setelah dicerna sisanya akan disekresikan menjadi kotoran atau kascing.
Selain kascing, hasil dari proses vermikomposting juga berupa cacing.

Kascing ramah lingkungan, aman untuk digunakan pemacu pertumbuhan


dan produksi tanaman. Secara umum yang dapat dijadikan bahan pakan cacing
berupa limbah-limbah organik, seperti limbah sayuran, serbuk gergaji atau sisa

1
media jamur, limbah hijauan, kotoran ternak, pelepah, daun, batang dan bongkol
pisang, limbah jerami padi, dan ampas tahu. Limbah sayuran pada umumnya
mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh cacing tanah. Limbah sayur yang paling
sering dijumpai di pasar – pasar tradisional diantaranya limbah kubis dan limbah
sawi.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas pengamatan yang dilakukan untuk


mengurangi pencemaran lingkurangan yang dihasilkan oleh Rumah Potog Hewan
( RPH ) dengan memanfaatkan isi rumen dan limbah pasar menjadi pupuk organik
dengan bantuan cacing tanah untuk menguraikan limabah tersebut yang dikenal
dengan vermicomposting.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukan percobaan vermicomposting yaitu :

1. Untuk mengetahui proses pembuatan pupuk dengan rumen sapi

2. Untuk mengetahui pengaruh limbah pasar dan cacing tanah pada parameter yang
digunakan ( pH dan suhu )

3. Untuk mengetahui efektifitas kompos terhadap pertumbuhan tanaman kacang


kedelai.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembibitan (Seeding)

Proses seeding dilakukan untuk mengembangbiakkan mikroorganisme


sehingga didapatkan jumlah biomassa yang mencukupi untuk mengolah air
buangan (Dwidjoseputro, 2010).

Seeding dilakukan dengan menambahkan substrat secara bertahap.


Penambahan secara bertahap bertujuan agar tidak terjadi shock loading terhadap
mikroorganisme anaerob yang akan dikembangkan. Sedangkan pada proses
aklimatisasi, mikroorganisme tidak diberi nutrisi sampai konsentrasi COD turun
yang menandakan telah adanya aktivitas mikroorganisme. Proses aklimatisasi ini
dikatakan selesai ketika efisiensi penyisihan COD telah konstan dengan fluktuasi
yang tidak lebih dari 10% (Herald, 2010).

2.2 Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan suatu upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi


dari suatu organisme terhadap suatu lingkungan baru yang akan dimasukinya. Hal
ini didasarkan pada kemampuan organisme untuk dapat mengatur morfologi,
perilaku, dan jalur metabolisme biokimia di dalam tubuhnya untuk
menyesuaikannya dengan lingkungan. Beberapa kondisi yang pada umumnya
disesuaikan adalah suhu lingkungan, derajat keasaman (pH), dan kadar oksigen.
Proses penyesuaian ini berlangsung dalam waktu yang cukup bervariasi tergantung
dari jauhnya perbedaan kondisi antara lingkungan baru yang akan dihadapi, dapat
berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu (Wattimena,G.A.2011).

Proses aklimatisasi dilakukan untuk mendapatkan suatu kultur


mikroorganisme yang stabil. Selama masa aklimatisasi kondisi dibuat tetap aerob
dengan menjaga konsentrasi, temperatur, dan pH. Proses ini dilakukan secara batch.
Proses aklimatisasi dapat dianggap selesai jika pH, VSS, temperatur, dan efisiensi
penyisihan senyawa organik telah konstan dengan fluktuasi yang tidak lebih dari
10%. Proses aklimatisasi dilakukan untuk mendapatkan suatu kultur
mikroorganisme yang stabil dan dapat beradaptasi dengan air buangan pabrik

3
kelapa sawit yang telah disiapkan. Selama masa aklimatisasi kondisi dalam reaktor
dibuat tetap aerob dengan menjaga konsentrasi, temperatur, dan pH
(Dwidjoseputro, 2010).

2.3 Vermikomposting

Salah satu alternatif metode pengomposan yang dapat digunakan untuk


mengolah sampah sayur pasar yaitu metode vermikomposting. Vermikomposting
sebagai suatu sistem teknologi yang murah untuk mengolah sampah organik.
Vermikomposting merupakan suatu proses aerobik, biooksidasi dan stabilisasi non
termofilik dari dekomposisi sampah organik yang tergantung pada cacing tanah
untuk memotong, mencampur serta meningkatkan kerja mikroorganisme.

Vermikomposting berbeda dari pengomposan tradisional dalam beberapa


hal. Proses vermikomposting ini lebih cepat daripada pengomposan tradisional,
karena bahan-bahan organik melewati sistem pencernaan cacing tanah yang
mengandung banyak aktivitas mikroorganisme yang membantu proses
dekomposisi bahan organik (Afriyansyah,2010). Vermikomposting menyediakan
produk akhir yang kaya nutrisi disebut vermikomposting. Vermikomposting
mempunyai kandungan unsur hara N, Kl, Ca dan Mg lebih tinggi dibandingkan
kompos biasa (Wahyuningsih, 2008).

Bahan organik didalam vermikomposting yaitu sampah pasar yang akan


dikomposkan pada umumnya didiamkan dahulu selama beberapa hari baru
dilakukan proses vermikomposting. Hal ini bertujuan untuk menguapkan gas
beracun. Waktu pengomposan pakan sebelum vermikomposting bermacam-
macam, didiamkan selama 3 hari, 5 hari, 7 hari, 10 hari sampai 14 hari. Waktu
yang digunakan dalam penelitian vermikomposting umumnya juga berbeda-beda
(Anjangsari, 2010) .

2.4 Kompos

Kompos adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses


pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang
bekerja di dalamnya. Kompos dialam terbuka bisa terjadi dengan sendirinya lewat
proses alamiah, namun proses tersebut berlangsung lama sekali dapat mencapai

4
bertahun-tahun. Kebutuhan akan tanah subur padahal sudah semakin mendesa, oleh
karenanya proses tersebut perlu dipercepat dengan bantuan manusia. Dengan cara
yang baik, proses mempercepat pembuatan kompos berlangsung wajar sehingga
diperoleh kompos yang berkualitas baik (Murbandono, 2010).

Pupuk organik merupakan hasil dekomposisi bahan-bahan organik yang


diurai (dirombak) oleh mikroba, yang hasil akhirnya dapat menyediakan unsur hara
yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangantanaman. Pupuk
organik sangat penting artinya sebagai penyangga sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas lahan.
Penggunaan pupuk organik padat dan cair pada sistem pertanian organik sangat
dianjurkan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pemakaian pupuk organik
juga dapat memberi pertumbuhan dan hasil tanaman yang baik (Rahmatika , 2010).

Pupuk kimia adalah zat substansi kandungan hara yang dibutuhkan oleh
tanaman. Akan tetapi, seharusnya unsur hara yang dibutuhkan tersebut tersedia
secara alami di dalam tanah melalui siklus hara tanah. Siklus hara tersebut seperti
tanaman yang telah mati dimakan hewan herbivora, kotoran atau sisa tumbuhan
tersebut diuraikan oleh organisme tanah seperti bakteri, jamur, mesofauna, cacing,
dan lainnya. Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan akan memutuskan siklus
hara tanah tersebut dan dapat mematikan organisme tanah. Efek lain dari pengunaan
pupuk kimia juga dapat mengurangi dan menekan pupolasi organisme tanah yang
sangat bermanfaat bagi tanah dan tanaman (Erianto, 2009).

2.5 Sampah Pasar

Sampah pasar yang tidak di tanggulangi dengan baik bisa mengakibatkan


pencemaran lingkungan sekitarnya khususnya kawasan pasar itu sendiri, karena
infrastruktur yang belum memadai, kegiatan yang terjadi dipasar dapat
menimbulkan limbah dan genangan air, sehingga lama kelamaan akan mencemari
lingkungan. Sampah pasar juga dapat mengganggu estetika pemukiman karena
baunya, dan bisa menjadi sarang penyakit. Selain itu, sebagian besar pasar
tradisional dalam mengelolah sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir. Hal
ini dapat menyebabkan meningkatkan volume sampah yang masuk TPA (Ilyas,
2009).

5
Sampah pasar terutama sampah sayuran sebenarnya merupakan potensi
bahan baku lokal yang dapat diolah menjadi pupuk organik melalui proses
pengomposan. Pemanfaatan sampah sayur pasar menjadi pupuk dalam bentuk
kompos merupakan alternatif yang sangat baik. Pengelolaan sampah dengan cara
pengomposan tradisional membutuhkan waktu yang cukup lama. Mikroorganisme
yang terlibat didalamnya aktif pada suhu termofilik (45-65ºC) (Ilyas, 2009).

2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kompos


Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan (Sutanto, 2008),
menyatakan bahwa dalam proses pengomposan yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut:
1. Kelembaban memegang peranan penting dalam metabolisme mikroba sehingga
harus dijaga pada kisaran 40% hingga 60%.

2. Suhu akan terjadi peningkatan secara cepat dalam tumpukan kompos pada
kisaran 30ºC sampai dengan 60ºC

3. pH pengomposan terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk


pengomposan antara 6.6-7.5 Kompos yang sudah matang biasanya memiliki pH
netral

Ciri Kompos Matang yaitu :

1. Memiliki bau seperti tanah

2. Warna kompos coklat kehitam-hitaman

3. Suhu mendekati suhu awal pengomposan

4. Struktur Lunak dan tidak menggumpal ataupun melumar

6
BAB III

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada percobaan yang berjudul “Seeding dan


Aklimitasi” yaitu baskom (2), termometer, pHmeter, pisau, gunting, karung,
polybag(6), kertas label, tali rapia, plastik sampah dan plastik bening(2).

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan yang berjudul “Seeding dan


Aklimitasi” yaitu rumen sapi, limbah pasar flamboyan, bibit kedelai, cacing tanah
dan tanah liat

3.2 Analisis Bahan

3.2.1 Rumen sapi

Rumen adalah kompartemen lambung (dindingnya seperti handuk) yang


terbesar,menempati 71 % total volume lambung, dan pisahkan dari reticulum oleh
lipatan-lipatan ruminoreticular. Secara tidak lengkap terbagi lagi menjadi ruangan
atau kantong-kantong pilar. Mikroorganisme ditemukan didalam rumen dan di
rumen proses fermentasi berlangsung. Rumen terletak di Sebelah kiri rongga perut,
memanjang dari tuluang rusuk ke 7 dan 8 sd tulang punggang. Menempati ¾ bagian
rongga perut. Selama ini isi rumen hanya dibuang dan sebagian kecil saja yang
memanfaatkannya sebagai kompos (Berutu, 2008).

Isi didalam rumen tersebut terjadi proses fermentasi oleh mikroorganisme


(bakteri, protozoa, yeast, fungi). Isi rumen merupakan salah satu limbah potong
hewan yang belum dimanfaatkan secara optimal bahkan ada yang dibuang begitu
saja, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Limbah isi rumen sangat
potensial bila dimanfaatkan sebagai bahan pakan karena isi rumen disamping
merupakan bahan pakan yang belum tercerna juga terdapat organisme rumen yang
merupakan sumber vitamin B.

7
3.2.2 Limbah Pasar

Pengolahan limbah padat berupa sayur-sayuran ini perlu dilakukan, salah


satu cara untuk mengolah limbah padat ini adalah dengan pembuatan pupuk
kompos. Limbah padat organik dari pasar Flamboyan ini membantu proses
degradasi rumen sapi menjadi kompos. Penggunaan pupuk organik banyak
dimanfaatkan karena mempunyai 3 keuntungan yaitu : keuntungan bagi
lingkungan, tanah, dan bagi tanaman, kompos sangat membantu dalam
penyelesaian masalah lingkungan, terutama sampah. Bahan baku pembuatan
kompos adalah sampah, maka permasalahan sampah rumah tangga dan sampah
kota dapat diatasi. Bagi tanah, kompos dapat menambah unsur hara dan dapat
memperbaiki struktur dan tekstur tanah, dan menyimpan air. Dengan demikian
semakin baik kualitas tanah dan didukung dengan unsur hara yang mencukupi,
maka tanaman akan menghasilkan produksi yang optimal (Murbandono, 2012).

3.2.3 Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan hewan verteberata yang hidup di tempat yang


lembab dan tidak terkena matahari langsung. Kelembaban ini penting untuk
mempertahankan cadangan air dalam tubuhnya. Kelembaban yang dikehendaki
sekitar 60 - 90%. Selain tempat yang lembab, kondisi tanah juga mempengaruhi
kehidupan cacing seperti pH tanah, temperatur, aerasi, CO2, bahan organik, jenis
tanah, dan suplai makanan. Diantara ke tujuh faktor tersebut, pH dan bahan organik
merupakan dua faktor yang sangat penting. Kisaran pH yang optimal sekitar 6,5 -
8,5 sedangkan suhu ideal menurut beberapa hasil penelitian berkisar antara 21-30
derajat celcius. Cacing tanah berfungsi untuk mempercepat proses pengomposan
dan mengembalikan fungsi tanah.

3.2.4 Tanah Liat

Sebagai media tanam, tanah liat atau pasir kurang baik untuk pertumbuhan
tanaman sehingga perlu dilakukan perbaikan struktur tanah untuk meningkatkan
aerasi dan kesuburan tanah.Salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah yaitu
dengan pemberian kompos. Pemberian kompos pada tanah liat dapat mengurangi
ikatan partikel tanah sehingga strukturnya menjadi remah, sedangkan pada tanah

8
pasir pemberian kompos dapat menambah ikatan partikel-partikel tanah sehingga
dapat menahan air atau unsur haraagar tersedia di dalam tanah

3.2.5 Kedelai

Kedelai merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan
jagung. Kedelai bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat.
Dalam 100 gram biji kedelai mengan-dung: kalori 331 kkal, protein 34,4 gram,
lemak 18,1 gram, karbohidrat 34,8 gram, kalsium 227 mg, P 585 mg, Fe 8 mg,
vitamin A 110, thiamin 107 dan Air 7,5% (Suprapto, 1995). Bibit kedelai pada
praktikum ini berfungsi sebagai media uji coba tanaman untuk hasil pembuatan
kompos.

3.4 Cara kerja

Proses pembuatan kompos tahap pertama dengan metode vermicomposting


yaitu persiapan bahan dan lalat yang digunakan. Pertama disiapkan alat-alat yang
di gunakan seperti baskom (2), pisau, gunting, karung, polybag(6), kertas label, tali
rapia, plastik sampah dan plastik bening(2). Karung yang di gunakan sebagai alas
untuk mencacah. Kedua, diambil sebanyak 12 kg sampah organik yang terdiri dari
berbagai macam sayuran lalu diletakkan diatas karung yang digunakan sebagai alas
pencacah. Ketiga, lakukan pencacahan menggunakan pisau hingga semua sampah
oganik berukuran kecil sampai kurang lebih 1 cm.

Proses pembuatan kompos tahap kedua dengan metode vermicomposting yaitu


seeding. Pertama, dimasukkan sampah organic yang telah di cacah ke dalam 2
baskom yang telah di sediakan masing-masing 6 kg. Kedua, dimasukkan rumen
sapi yang telah diambil sebanyak 6 kg untuk masing-masing baskom. Ketiga,
dilakukan pengadukan untuk sampah dan rumen yang telah di masukkan hingga
tercampur dengan rata. Keempat, ditutup dengan plastik bening hingga mentupi
permukaan baskom dan di lubangi untuk proses pertukaran udara. Kelima,
dibiarkan kurang lebih 1 minggu dan dikontrol pH dan suhunya.

Proses pembuatan kompos tahap ketiga dengan metode vermicomposting yaitu


aklimatisasi dan running. Pertama, ditambahkn cacing yang telah disiapkan ke
dalam baskom ( bak 2) dan diaduk rata. Kedua, ditutup plastik dan di kontrol pH

9
dan suhu setiap hari selama kurang lebih 3 minggu. Setiap pengecekan suhu dan
pH diaduh kompos untuk menjaga kelembaban kompos tersebut.

10
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 4.1.1 Hasil Pengamatan Vermicomposting Proses Seeding

SEEDING
BAK 1 BAK 2
NO
Suhu (ºC) pH Suhu (ºC) pH
Rata-rata 30 8 32 8,4

Tabel 4.1.2 Hasil Pengamatan Vermicomposting Proses Aklimatisasi dan Running

AKLIMATISASI + RUNNING
BAK 1 BAK 2 + Cacing
NO
Suhu (ºC) pH Suhu (ºC) pH
Rata-rata 28 7,4 28 7,2

Tabel 4.1.3 Hasil Pengamatan Vermicomposting Aplikasi ke Tanaman

No SAMPEL Bibit 1 Bibit 2 Bibit 3


Tanah Liat 2,5 cm 1 cm 0
Bak 1 bak 1 70:30 3 cm 1,5 cm mati
bak 1 70:30 13 cm 4,5 cm mati
Bak Tanah Liat 17,5 cm 7 cm 0
2+cacing bak 2 70:30 2 cm ( mati ) 2 cm ( mati ) 14,5 cm
tanah bak 2 70:30 23,5 cm 14 cm 14,5 cm

4.2 Pembahasan

Pengamatan yang dilakukan adalah suatu pengaplikasian proses seeding dan


aklimatisasi pengolahan limbah. Proses yang dilakukan pada percobaan ini yaitu
vermicomposting merupakan teknik pengomposan dengan bantuan cacing tanah
untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Bahan yang digunakan
pada proses seeding yaitu rumen sapi. Rumen adalah kompartemen lambung
(dindingnya seperti handuk) yang terbesar,menempati 71 % total volume lambung,

11
dan pisahkan dari reticulum oleh lipatan-lipatan ruminoreticular. Secara tidak
lengkap terbagi lagi menjadi ruangan atau kantong-kantong pilar. Mikroorganisme
ditemukan didalam rumen dan di rumen proses fermentasi berlangsung. Rumen
terletak di Sebelah kiri rongga perut, memanjang dari tuluang rusuk ke 7 dan 8 sd
tulang punggang. Menempati ¾ bagian rongga perut.

Kompos adalah pupuk organik yang dihasilkan dari pembusukkan.


Pembuatannya dilakukan pada suatu tempat yang terlindung dari panas dan hujan.
Pupuk kompos berfungsi memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga
menjadi ringan, memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak
berderai, menambah daya ikat tanah terhadap air dan unsur-unsur hara tanah,
memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah, mengandung unsur hara yang
lengkap, walaupun jumlahnya sedikit (jumlah hara ini tergantung dari bahan
pembuat pupuk organik), membantu proses pelapukan bahan mineral, memberi
ketersediaan bahan makanan bagi mikrobia serta menurunkan aktivitas
mikroorganisme yang merugikan.

Alat yang digunakan pada pengomposan yaitu 2 baskom yang sebelumnya


sudah dilubangi. Fungsi pelubangan ini adalah untuk memberikan jalan bagi air
yang ada dalam vermikomposting nantinya, agar vermikomposting yang dilakukan
tidak terlalu banyak air (terlalu lembab) sehingga cacing dapat hidup dengan baik.
Kedua baskom diberi label untuk menggetahui pada saat pengontrolan limbah.
Sistem yang digunakan dalam percobaan pembuatan kompos ini yaitu sistem Batch.
Batch Process merupakan proses dengan cara memasukkan media secara
bersamaan ke dalam bioreacto dan pengambilan produk dilakukan pada akhir
proses. Pada sistem ini, bahan media dimasukkan dalam waktu bersamaan ke dalam
bioreactor (Iman, 2008). Alasan menggunakan sistem Batch pada pembuatan
kompos yaitu mudah dalam prosess yang tidak memakan banyak tempat, biaya
lebih murah, serta pengontrolan alat mudah (Gunawan, 2010).

Vermcomposting memerlukan nutrisi untuk mendegradasi rumen sapi


berupa limbah pasar yang sudah dicacah kecil-kecil untuk mempercepat proses
degradasi. Kedua limbah tersebut dimasukkan ke kedua baskom dengan
perbandingan 1:1 yaitu untuk masing-masing baskom 6 kg rumen dan 6 kg sampah

12
pasar. Volume yang digunakan sebanyak 15 liter. Kedua limbah dicampur merata
kemudian dibiarkan selama proses seeding kurang lebih 1 minggu dengan dikontrol
parameter pH dan suhu secara aerobik. Aerobik yaitu suatu pengolahan
menggunakan oksigen yang cukup untuk mempercepat proses degradasi yang
berlangsung dibandingkan dengan proses anaerob yang memakan waktu lama.

Setelah sampel dibiarkan selama kurang lebih satu minggu dan diukur suhu
menggunakan termometer dan pH menggunakan pHmeter diperoleh rata-rata suhu
30ºC dan pH rata-rata sebesar 8 ( basa ) untuk baskom pertama. Suhu rata-rata
baskom kedua 32ºC dan pH rata-rata sebesar 8,4 ( basa ). Fungsi dari pengukuran
pH dan suhu ini sendiri yaitu untuk mengetahui apakah kompos tersebut dalam
keadaan asam atau basa atau netral dan pengukuran suhu bertujuan apakah kompos
tersebut pada suhu yang optimum. Suhu akan terjadi peningkatan secara cepat
dalam tumpukan kompos pada kisaran 30ºC sampai dengan 60ºC. PH
pengomposan terjadi pada kisaran pH 6.6-7.5 Kompos yang sudah matang biasanya
memiliki pH netral. Selama pengukuran 1 minggu suhu dan pH selalu berubah-ubah
dikarenakan kondisi lingkungan terkadang panas dan terkadang hujan serta lokasi
penyimpanan yang kurang aman untuk pembuatan kompos. Ketika kondisi hujan,
tepisan hujan terkena media kompos menyebabkan kompos sedikit basah.

Kemudian dilanjutkan dengan aklimatisasi dan running yaitu


menambahkan cacing tanah ke dalam media kompos yang sudah didiamkan selama
kurang lebih satu minggu. Cacing yang digunakan kurang dari 100 ekor. Cacing
tanah dimasukkan pada bak 2 kemudian diratakan dengan kompos setengah matang
tersebut. Proses aklimatisasi dan running ini selama kurang lebih 21 hari dengan
pengecekan suhu dan pH setiap hari kecuali pada hari sabtu dan minggu karena
peminjaman alat di liburkan. Pengukuran suhu menggunakan termometer dan pH
menggunakan pHmeter diperoleh rata-rata suhu 28ºC dan pH rata-rata sebesar 7,4
( netral ) untuk baskom pertama. Suhu rata-rata baskom kedua 28ºC dan pH rata-
rata sebesar 7,2 ( netral ). pH kompos yang sudah jadi ini sudah sesuai dengan ciri-
ciri kompos yang matang.

Secara fisik kompos yang sudah jadi pada percobaan sudah tidak memiliki
bau yang menyengat seperti bahan mentahnya, untuk bak 1 warna sedikit coklat

13
kekuningandan untuk bak 2 (cacing) warna coklat kehitaman, tekstur lunak.
Secara kimia berpengaruh pada rasi C/N, tetapi pada percobaan ini tidak dilakukan
tes terhadap rasio C/N dikarenakan waktu hasil pengukuran yang tidak bisa
diperkirakan untuk tepat pada waktunya. Alternatif lain yang dilakukan dengan uji
coba pada tanaman langsung yaitu menggunakan bibit kedelai. Bibit yang
digunakan sebanyak 16 butir. Bibit kedelai tersebut direndam selama 1-2 hari (26-
27 November 2018) dan diletakkan diatas media tanam (28 November 2018).
Media tanam menggunakan tanah liat dibelakang gedung WS Fakultas Teknik
Untan dan kompos yang sudah matang. Media pertama 100% tanah liat, media
kedua 70% tanah liat dan 30% kompos (duplo). Media tanam 100% tanah liat
diletakkan masing-masing 2 butir jadi total bibit sebanyak 4 butir dan media tanam
kedua 70:30 diletakkan masing-masing 3 butir jadi total bibit sebanyak 12 butir.
Hari pertama (29 November 2018) belum ada tanda-tanda pertumbuhan dari bibit
kedelai. Hari kedua sudah mulai terlihat pertumbuhan dari bibit kedelai pada media
tanam 70:30 untuk bak 2 (cacing).

Hasil pertumbuhan yang terjadi menunjukkan bahwa tanah yang diberi


kompos yang berisi cacing tanah lebih baik dibanding dengan kompos tanpa cacing
tanah. Setelah satu minggu lebih 1 hari terlihat lebih efektif menggunakan metode
vermicomposting. Bak 1 70:30 bibit 1,2,dan 3 ketinggiannya 3 cm, 1,5 cm dan mati
untuk duplo bak 1 70:30 bibit 1,2,dan 3 ketinggiannya 13 cm, 4,5 cm dan mati. Bak
2 70:30 bibit 1,2,dan 3 ketinggiannya 2 cm (tercabut), 2 cm (tercabut) dan 14,5 cm
dan duplo bak 2 70:30 bibit1,2,dan 3 ketinggiannya 23,5 cm, 14 cm dan 24,5 cm.
Media tanam tanpa kompos ( 100% tanah liat ) pertumbuhan bibit tergolong lambat.

14
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil percobaan pembuaatan pupuk


dengan metode Vermicomposting yaitu :

1. Proses pembuatan pupuk dengan rumen sapi yaitu memasukkan bahan rumen
sapi dan sampah pasar dengan perbandingan 1:1, lalu dibiarkan selama kurang lebih
1 minggu (cek suhu dan pH), selanjutnya ditambahkan cacing pada salah satu bak
dan dibiarkan selama 21 hari (cek suhu dan pH) kemudian cek fisik dari kompos
tersebut apakah sudah matang atau belum.

2. Proses Seeding pengukuran rata-rata :

Bak 1 = 30ºC dengan pH 8 (basa)

Bak 2 = 32ºC dengan pH 8,4 (basa)

Proses Aklimatisasi dan Running pengukuran rata-rata :

Bak 1 = 28ºC dengan pH 7,4 (netral)

Bak 2( cacing tanah ) = 28ºC dengan pH 7,2 (netral)

3. Hasil pertumbuhan yang terjadi menunjukkan bahwa tanah yang diberi kompos
yang berisi cacing tanah lebih baik dibanding dengan kompos tanpa cacing tanah
dan lebih baik dibanding hanya mengguanakan media tanam tanah liat.

5.2 Saran

Saran untuk percobaan pembuatan kompos yaitu jika waktu lebih panjang
lebih baik menggunakan berbagai macam bibit tanaman untuk melihat lebih
efektifitas pertumbuhan yang menggunakan media tanam menggunakan kompos
atau tidak dan lokasi penyimpanan sebaiknya yang lebiha aman terhadap panas dan
dingin.

15
Daftar pustaka

Afriyansyah, Budi. 2010. ‘’Vermicomposting oleh cacing tanah (Eisenia Fetida dan

Lumbricus Lebellus) pada empat jenis bedding’’. Sekolah Pascasarjana IP

Anjangsari, Eki. 2010. ‘’Komposisi Nutrien (NPK) Hasil Vermikomposting

Campuran Veses Gajah (Elephas Maximum Sumatrensis) dan Seresah


Menggunakan Cacing Tanah (Lumbricus Terrestris)’’. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh
November.

Berutu, K.M., 2008. Dampak Lama Transportasi TerhadapPenyusutan Bobot

Badan, pH Daging Pasca Potong dan Analisis Biaya Transportasi Sapi


Potong Peranakan Ongole dan Shorthorn. Skripsi pada Departemen
Peternakan Fakultas Pertanian USU.

Dwidjoseputro. 2010. “Darar-Dasar Mikrobiologi”. Djambatan : Malang.

Erianto. 2009.’’Dampak Pupuk Kimia’’. Jakarta.

Gunawan. 2010. Teknologi Immobilisasi Sel Ca-Alginat Untuk Memproduksi

Etanol Secara Fermentasi Kontinyu Dengan Zymomonas Mobilis


Termutasi. Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya Jawa Timur

Herald, Denny. 2010. ‘’Pengaruh Rasio Waktu Reaksi Terhadap Waktu Stabilisasi

Pada Penyisihan Senyawa Organik Dari Air Buangan Pabrik Minyak


Kelapa Sawit Dengan Sequencing Batch Reactor Aerob’’. Jurusan Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Andalas. Sumatera Barat.

Ilyas, Muhammad. 2009. ‘’Vermicomposting Sampah Daun Sonokeling (Dalbergia

Latifolia) Menggunakan Tiga Spesies Cacing Tanah (Pheretima sp, Eisenia


Fetida dan Lumbricus Rubellus)’’ : Sekolah Pascasarjana ITB.

16
Murbandono. 2010. ‘’Membuat Kompos”. Edisi revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rahmatika, W. 2010. ‘’Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa. L) Akibat

Pengaruh Persentase N (Azolla dan Urea)’’. Makalah Seminar Departemen


Agronomi dan Holtikultura IPB. Hal.84-88.

Rusmana, Iman. 2008. Sistem Operasi Fermentasi, Departemen Biologi FMIPA

IPB, Bogor Jawa Barat.

Sutanto, Inge, Is Suhariah I, Pudji K. S, Saleha S. 2008. ‘’ Parasitologi Kedokteran,

Edisi Keempat’’. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Wahyuningsih, R. 2008. ‘’Pengaruh Mikoriza Vesikular Arbuskular dan Pupuk

Kascing Terhadap Serapan P dan Hasil Tanaman Tomat pada Humic


Hapludults’’. Jurusan Ilmu Tanah : Faperta UNPAD.

Wattimena, G.A. 2011 “Bioteknologi dalam Pemuliaan Tanaman. Bogor : IPB

Press

17

Anda mungkin juga menyukai