Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN VEKTOR DAN BINATANG

PENGGANGGU

“Susceptibility Test”

OLEH: KELOMPOK C
1. Tutut Muhimauro P27833316009
2. Cycy Meistria Lurista P27833316015
3. Dewi Agustin P27833316016
4. Yonathan Tio Saputra P27833316018
5. Mahesi Yustika A. P27833316021
6. M.Sulthan Maulana M. P27833316026
7. Ziyadatul Hikmah P27833316027
8. Miftakhur Rohmah P27833316028
9. Suwantiningsih P27833316033
10. Isman Norianza Ali P27833316037
11. Diaz Ramadhani P27833316038
12. Orchita Kusuma Ayu M P27833316039
13. Rizka Savira M. P27833316044
14. M. Syarif A. P27833316049
15. Novia Windyanti P27833316050

Dosen Pembimbing: 1. Ngadino, S.Si., M.Psi


2. Bambang Sunarko, SKM., M.Kes
3. Yauwan Tobing, SST

PROGRAM STUDI D4 KESEHATAN LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA

Jl. Menur No. 118A Surabaya

TAHUN AKADEMIK 2016/2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan hidayah-nya,
sehingga laporan praktikum mengenai “Susceptibility Test” ini dapat terselesaikan. Ucapan
terimakasih disampaikan Bapak Ngadino, S.Si., M.Psi selaku dosen mata kuliah PVBP-A
yang telah membimbing dalam penyusunan laporan ini. Tidak lupa juga berterimakasih
kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat
terselesaikan.

Laporan ini disusun dengan dasar tugas PVBP-A untuk membuat laporan dan
mengenai uji succeptibility test. Dengan memahami definisi teknik untuk melakukan uji
kerentanan daya tahan racun terhadap tubuh nyamuk Aedes Aegepty, serta mengaplikasikan
teknik untuk uji kerentanan tubuh nyamuk Aedes Aegepty,.

Laporan ini masih jauh dari kata sempurna, namun mempunyai harapan yang besar
agar materi yang akan disampaikan dapat bermanfaat, dan memberi wawasan serta
pengetahuan baru bagi pembaca khususnya para mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan
Poltekkes Kemenkes Surabaya. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Surabaya, 16 Oktober 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Cover................................................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................................................. iii
Daftar Gambar.................................................................................................................. iv
Daftar Tabel ...................................................................................................................... v
Bab I. Pendahuluan .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah ...................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Makalah ..................................................................................................... 2
BAB II. Pembahasan......................................................................................................... 3

BAB III. Penutup ..............................................................................................................


3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 20
3.2 Saran ........................................................................................................................ 20
Daftar Pustaka .................................................................................................................. 21
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Baku Mutu Lindi.................................................................................................. 8


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengendalian vector dewasa dengan cara fogging masih menjadi pilihan utama
dalam penanggulangan DBD. Tujuan kegiatan ini untuk membunuh Ae. aegypti
dewasa agar terputus mekanisme penularan. Upaya ini akan efektif jika nyamuk yang
menjadi sasaran belum resisten terhadap insektisida yang dipakai. Contoh kasus
resistensi pernah terjadi pada penggunaan pestisida DDT, dimana pertama kali
digunakan tahun 1946 dan kasus resistensi DDT terhadap Aedes spp. pertama kali
dilaporkan tahun 1947. Data resistensi sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan
untuk dilakukannya kegiatan pengendalian vektor DBD. Sangatlah penting untuk
selalu memonitor resistensi selama kegiatan pengendalian masih dilaksanakan.
Secara harfiah, insektisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan serangga hama. Insektisida dapat berbentuk padat, larutan atau
gas. Insektisida digunakan untuk mengendalikan serangga dengan cara mengganggu
atau merusak system di dalam tubuh serangga. Insektisida yang saat ini umum
digunakan adalah 4 golongan insektisida kimiawi yaitu organoklorin, organofosfat,
karbamat dan piretroid. Penggunaan insektisida piretroid tahun-tahun belakangan ini
menunjukan kenaikan, akan tetapi jenis organoklorin dan beberapa senyawa
organofosfat yang lebih toksik menunjukan penurunan.
Sebagai racun kontak, insektisida yang diaplikasikan langsung menembus
integument serangga (kutikula), trachea atau kelenjar sensorik dan organ lain yang
berhubungan dengan kutikula. Bahan aktif insektisida dapat larut pada lapisan lemak
kutikula dan masuk ke dalam tubuh serangga,,meskipun insektisida tidak diaplikasikan
secara langsung. Uji resistensi atau penurunan status kerentanan serangga di lapangan
yang sering digunakan adalah uji hayati dan uji biokemis. Metode baku uji hayati yang
digunakan untuk mendeteksi dan memantau status kerentanan dan telah digunakan untuk
beberapa tahun. Untuk melakukan uji hayati (bio assay) diperlukan test kit khusus yang
telah dibakukan oleh WHO termasuk impregnated paper dengan rangkaian konsentrasi
insektisida tertentu. Uji hayati dapat dilakukan menggunakan stadium larva maupun
dewasa dari serangga uji.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, terdapat beberapa rumusan masalah yaitu :
a. Apakah definisi dari uji resistensi nyamuk ?
b. Bagaimana cara mengaplikasikan teknik uji resistensi nyamuk ?
c. Bagaimana kondisi tubuh nyamuk yang terkena paparan racun uji resistensi ?

1.3 Tujuan
Dari beberapa rumusan masalah diatas, terdapat beberapa tujuan yaitu :
a. Untuk mengetahui dan mehamami definisi dari uji resistensi nyamuk.
b. Untuk mengetahui dan mehamami bagaimana teknik cara mengaplikasikan uji
resistensi nyamuk.
c. Untuk mengetahui dan mehamami bagaimana kondisi tubuh nyamuk yang
terkena paparan racun uji resistensi.

1.4 Manfaat
Dari beberapa tujuan diatas, terdapat beberapa manfaat dalam pembuatan laporan
yaitu :
a. Sebagai bahan pembelajaran untuk pengendalian vector terutama vector penular
penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes Aegypti.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Resistensi Nyamuk
2.1.1 Pengertian Resistensi Nyamuk
Menurut WHO (1992) dalam (Novita, Kiki. 2016) resistensi terhadap
insektisida adalah kemampuan individu serangga dalam populasi untuk bertahan
hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat
membunuh spesies serangga tersebut. Resistensi merupakan suatu fenomena
evolusi yang disebabkan oleh seleksi serangga hama yang diberi perlakuan
insektisida secara terus menerus. Secara prinsip mekanisme resistensi ini akan
mencegah insektisida berikatan dengan titik targetnya atau tubuh serangga
menjadi mampu untuk mengurai bahan aktif insektisida sebelum sampai pada
titik sasaran. Jenis atau tingkatan resistensi itu sendiri meliputi tahap rentan,
toleran baru kemudian tahap resisten.
Resistensi insektisida merupakan suatu kenaikan proporsi individu dalam
populasi yang secara genetik memiliki kemampuan untuk tetap hidup meski
terpapar satu atau lebih senyawa insektisida. Peningkatan individu ini terutama
oleh karena matinya individu-individu yang sensitif insektisida sehingga
memberikan peluang bagi individu yang resisten untuk terus berkembangbiak dan
meneruskan gen resistensi pada keturunannya (Novita, Kiki. 2016).
Jenis resistensi vektor (nyamuk) terhadap insektisida dapat berupa resistensi
tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang (cross
resistance). Resistensi tunggal adalah resistensi pada populasi serangga terhadap
satu jenis insektisida sedangkan resistensi ganda (silang) adalah perkembangan
resistensi pada populasi serangga termasuk nyamuk akibat penekanan secara
selektif insektisida lain dengan mekanisme sama/target site sama, tetapi bukan
dari satu kelompok insektisida (WHO, 1992). Menurut Herat (1997) yang dikutip
oleh Sucipto (2015) bahwa status resistensi terhadap serangga, diukur
menggunakan prosedur standar WHO dengan uji Susceptibility, yaitu metode
standar yang tepat untuk mengukur resistensi insektisida khususnya di lapangan.
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasi hasil Letal Concentration (LC50)
atau LC100 adalah :
a. Kematian 99-100 % = Susceptible/Rentan/Peka
b. Kematian 80-98 % = Toleran
c. Kematian <80 % = Resisten

2.1.2 Jenis-jenis Resistensi


Menurut WHO (1975) penggunaan insektisida pada pengendalian populasi
nyamuk, menyebabkan tekanan seleksi atas individu nyamuk yang memiliki
kemampuan untuk tetap hidup bila kontak dengan insektisida dengan mekanisme
berbeda. Resistensi secara umum dikenal 3 tipe, yaitu :
a. Vigour tolerance, sedikit kenaikan toleransi terhadap satu atau beberapa
insektisida (penurunan kerentanan), dihasilkan dari seleksi kontinyu populasi
serangga yang tidak memiliki gen spesifik untuk resistensi terhadap
insektisida tertentu. Toleransi juga disebabkan oleh variasi karakteristik
morfo-fisiologis seperti, ukuran kutikula tebal dan tingginya kandungan
lemak berperan dalam fenomena resistensi non spesifik.
b. Resistensi fisiologis, populasi serangga mungkin terseleksi untuk tetap hidup
terhadap tekanan insektisida tertentu oleh mekanisme fisiologis yang berbeda
(enzim mendetoksifikasi timbunan insektisida dalam lemak). Contoh
resistensi fisiologis adalah nyamuk yang resisten dapat meningkat akibat
penggunaan insektisida seperti Malathion dan Sipermethrin. Tipe resistensi
ini adalah reversible (dapat pulih seperti semula) ketika tekanan insektisida
dihilangkan, tetapi kerentanannya jarang dapat kembali ke nilai sebelumnya
dan menurun kembali dengan cepat manakala penggunaan insektisida dimulai
lagi.
c. Resisten Perilaku (resistance behavioristic), adalah kemampuan populasi
nyamuk lari/menghindar dari efek insektisida karena perilaku alamiah atau
modifikasi perilaku mereka (induced behavior) akibat insektisida. Hal ini
dilakukan dengan cara menghindari permukaan atau udara yang mendapat
perlakuan insektisida atau memperpendek periode kontak (Novita, Kiki.
2016).

2.1.3 Deteksi Resistensi Vektor Terhadap Insektisida


Penentuan status kerentanan spesies nyamuk vektor secara berkala sangat
diperlukan untuk mendapatkan data dasar deteksi lebih lanjut dan monitoring
terjadinya resistensi. Dengan mengetahui status kerentanan spesies vektor, maka
akan memberikan masukan terhadap kebijakan program dalam menentukan jenis
insektisida dan strategi yang akan digunakan. Disamping itu hasil uji resistensi
dapat digunakan dalam memahami mekanisme terjadinya penurunan kerentanan
vektor (resistensi). Pemantauan resistensi vektor terhadap insektisida pada setiap
spesies vektor di setiap strata eko-epidemiologi seharusnya dilakukan secara
berkala 1-2 tahun oleh sektor kesehatan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
(Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Deteksi resistensi vektor terhadap insektisida dapat dilakukan dengan berbagai
cara yaitu :
a. Deteksi secara konvensional dengan metode standar WHO susceptibility test
menggunakan impregnated paper. Deteksi secara susceptibility adalah uji
tingkat resistensi yang digunakan oleh WHO dengan menggunakan
impregnated paper (lembaran yang sudah mengandung insektisida). Uji
susceptibility dilakukan menggunakan stadium dewasa dari serangga uji.
Persyaratan untuk uji susceptibility yang harus dipenuhi adalah jumlah yang
cukup serta kondisi fisiologis serangga yang baik. Kondisi fisiologis yang
baik diantaranya keseragaman umur serangga, stadium, ukuran, harus hidup
dan kenyang darah atau kenyang gula. Pada uji susceptibility kematian
serangga uji dicatat setelah pemaparan insektisida dan setelah diholding
(dipisahkan dari paparan insektisida) selama semalam (24 jam).
b. Deteksi secara biokimia atau enzimatis menggunakan mikroplat. Deteksi
secara biokimia adalah uji resistensi nyamuk terhadap insektisida yang sangat
esensial berdasarkan kuantifikasi enzim yang bertanggung jawab pada proses
resistensi seperti uji mikroplat untuk insensitive asetilkholinesterase dan uji
mikroplat untuk aktivitas enzim esterase non-spesifik. Keunggulan dari uji
biokimia adalah informasi status kerentanan diperoleh lebih cepat dan dapat
menunjukan mekanisme penurunan kerentanan (Resistensi dan toleransi)
yang di ukur pada serangga secara individu (Novita, Kiki. 2016).
c. Deteksi secara molekuler. Deteksi secara molekuler adalah dengan
mengidentifikasi gen yang menjadi target kelompok insektisida secara
konvensional, yang salah satunya adalah gen voltage gated sodium channel
(VGSC). Gen VGSC merupakan mekanisme resistensi serangga terhadap
insektisida DDT dan golongan piretroid yang ditunjukkan dengan adanya titik
mutasi. Mutasi gen VGSC pada nyamuk Aedes Aegypti terjadi pada sembilan
lokus yang berbeda (Novita, Kiki. 2016).

2.2 Nyamuk Aedes Aegypti


2.2.1 Taksonomi Nyamuk Aedes Aegypti
Taksonomi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:
Filum : Artropoda
Kelas : Hexapoda/lnsecta
Subklas : Pterygota
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culicinae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti ((Novita, Kiki. 2016).

2.2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti


Pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur oleh nyamuk
betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut
larva yang berkembang melalui empat tahap kemudian bertambah ukuran hingga
mencapai kepompong nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan
dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan di belakang kulit kepompong.
Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina memproduksi telur untuk
melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Beberapa spesies nyamuk hanya
satu generasi per tahun yang lainnya bisa mempunyai beberapa generasi selama
musim dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat bergantung
pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah hujan (Novita,
Kiki. 2016).
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur -
jentik - kepompong - nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di
dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari
setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan
stadium kepompong berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi
nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan
(Depkes RI, 2008).

Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

2.2.3 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti


a. Telur
Setiap kali bertelur, nyamuk betina Aedes aegypti dapat mengeluarkan
telur sebanyak 100 butir, dengan ukuran 0,5-0,8 mm, berbentuk elips atau oval
memanjang, berwarna hitam, permukaan poligonal yang mengapung satu
persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat
penampungan air. Telur ini ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan
sampai 6 bulan, dan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang 2 hari
setelah terendam air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85%
melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh kepermukaan (Novita,
Kiki. 2016).
b. Jentik (larva)
Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan
bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam
pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit.
Ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut
yaitu :
1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada
dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon)
belum menghitam.
2) Instar II : berukuran 2,5-3,9 mm, duri-duri dada belum jelas, dan
corong pernapasan sudah berwarna hitam.
3) Instar III: berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.
4) Instar IV: berukuran paling besar 5 mm, telah lengkap struktur
anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala
(chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).
Jenis Aedes aegypti akan selalu bergerak aktif dalam air, gerakan
berulangulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas
(mengambil udara) kemudian turun, kembali kebawah dan seterusnya. Pada
waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air.
Biasanya berada disekitar dinding tempat penampungan air. Setelah 6-8
hari jentik akan berkembang / berubah menjadi kepompong (Novita, Kiki.
2016).
c. Pupa (kepompong)
Kepompong atau pupa seperti “koma”, bentuknya lebih besar namun
lebih ramping dibanding larva atau jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain, gerakan lamban, sering
berada di permukaan air, setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk dewasa
(Novita, Kiki. 2016).
d. Nyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-
rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik- bintik
putih pada bagian badan dan kaki. Hidup di dalam dan di sekitar rumah,
juga ditemukan di tempat-tempat umum, dan mampu terbang sampai 100
meter. Nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah pada pagi hari
sampai sore hari. Nyamuk jantan biasa menghisap sari bunga/ tumbuhan
yang mengandung gula. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan
atau rata-rata 1,5 bulan . Perbedaan morfologi antara nyamuk Aedes aegypti
yang betina dengan jantan terletak pada perbedaan morfologi antenanya.
Aedes aegypti betina memiliki antena berbulu jarang sedangkan yang jantan
memiliki antena berbulu lebat. Dada nyamuk ini tersusun atas 3 ruas,
porothorax, mesothorax, dan metathorax. Perut terdiri dari 8 ruas dan pada
ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih (Novita, Kiki. 2016).

2.3 Bionomik Aedes aegypti


Bionomik adalah ilmu biologi yang menerangkan hubungan organisme
dengan lingkungannya. Bionomik nyamuk meliputi perilaku bertelur, larva,
pupa dan dewasa. Misalnya perilaku menggigit, tempat dan waktu kapan
bertelur, perilaku perkawinan. Iklim dalam hal ini berperan besar dalam
menentukan bionomik nyamuk (Novita, Kiki. 2016).
a. Perilaku Makan
Nyamuk Aedes aegypti mempunyai perilaku makan yaitu mengisap
nectar dan jus tanaman sebagai sumber energinya. Tetapi setelah kawin,
nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Menurut Novita
Kiki(2016), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi
telur yang didapatkannya dari darah. Nyamuk tertarik pada host
berdasarkan faktor-faktor yang berbeda. Semakin hangat suhu dan
semakin tinggi kelembaban sekitar host ditambah dengan gerakan host
dan perbedaan warna disekitar mereka akan lebih mempermudah
nyamuk untuk mendekati host dan menghisap darahnya demi
kelangsungan keturunannya. Sumber darah secara epidemiologis adalah
penting karena beberapa mikroorganisme patogen dan parasit yang
menyebabkan penyakit dihubungkan dengan host tertentu.
Nyamuk yang mencari makan pada burung dan/atau host mamalia dan
juga pada manusia disebut perilaku mencari makan oportunistik.
Menurut Novita Kiki(2016)sebagai hewan nocturnal (kebiasaan yang
aktif pada malam hari) nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas
menggigit, pertama di pagi hari (diurnal) selama beberapa jam setelah
matahari terbit dan sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Aedes
aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari tetapi akan menggigit
saat malam di kamar yang terang. Kebiasaan menggigit Aedes aegypti
pada pagi hari hingga sore yaitu pukul 08.00 - 10.00 dan pukul 15.00 -
17.00. Lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah.
b. Perilaku Istirahat
Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap dan
tersembunyi dalam rumah atau bangunan termasuk kamar tidur, kamar
mandi, kamar kecil maupun di dapur (Novita, Kiki. 2016).
c. Jarak Terbang
Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi
tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan
(WHO, 2004).
d. Lama Hidup
Menurut Achmadi (2011) dalam Novita Kiki (2016), semakin tua
nyamuk semakin penting dalam penyebaran penyakit. Nyamuk harus
bertahan selama mungkin agar cukup bagimikroorganisme yang
dikandungnya cukup waktu untuk ditransmisikan. Ketika nyamuk ada
kesempatan menggigit manusia atau hewan untuk kedua kali, maka
transmisi akan terjadi. Masa inkubasi ini bervariasi tergantung dari
iklim, beberapa nyamuk bereproduksi sepanjang tahun. Sebagian besar
cenderung menghabiskan masa hidup pada kondisi yang berlawanan
pada musim dingin atau selama musim kemarau dalam keadaan tidur
atau istirahat.
Menurut Michael (2006) yang dikutip oleh Novita Kiki(2016)bahwa
perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu,
kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan
dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap
perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes aegypti,
malaria dan lainnya. Faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang
masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor pertambahan jumlah
penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan
semakin membaiknya transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD
semakin mudah dan semakin luas.
e. Tempat Perkembangbiakan
Menurut Depkes RI (2008), tempat perkembangbiakan utama Aedes
aegypti ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang
tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau
tempattempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari
rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan
air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis tempat
perkembang-biakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,
seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan
ember.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti:
tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-
barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang
batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan
bambu. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai,
nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat
perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada
umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari
setelah telur terendam air (Novita, Kiki. 2016).

2.3 Racun Deltamethrin


Deltamethrin merupakan kandungan bahan aktif dari suatu insektisida. Delta
methrin lebih umum dikenal dengan nama Decis®. Adapun sifat fisik dari
Deltamethrin yaitu antara lain sebagai berikut:
Nama umum : Deltamethrin
Nama bahan kimia : Alpha Cyano (3 – phenoxyphenyl) methyl 3 (2,2 –
dibromovinyl) – 2,2 – dimetyl – cyclopropanecarboxylic acid
Nama lain : Decamethrin
Rumus molekul : C22H19Br2NO3
Bobot molekuler : 505,24
Bentuk fisik : Kristal, tidak berbau, dan tidak berwarna
Titik lebur : 98-101 oC
Tekanan uap air : 2x10-4 Pa pada 25 oC(Husmawati, Sitta. 2006).
Deltamethrin atau decis yang digunakan berbentuk cairan atau emulsifiable
concentrate. Bentuk insektisida ini adlaah cairan pekat yang terdiri dari bahan
campuran bahan aktif dengan perantara emulsi (emulsifier). Dalam penggunaannya,
biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengencerannya atau cairan
semprotnya disebut emulsi (Husmawati, Sitta. 2006).
Decis adalah insektisida yang berbentuk cairan, dalam penggunaannya harus
diencerkan dulu dengan air dan bahan aktifnya adalah deltamethrin. Decis bida bekerja
secara ganda, yaitu bersifat racun kontak dan racun perut (Husmawati, Sitta. 2006).
Racun lambung (racun perut, stomach poison) adalah insektisida yang membunuh
serangga sasaran apabila insekrisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan
serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, insektisida
tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang mematikan
(misalnya ke susunan saraf serangga). Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke
dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga akan mati bila
bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun
kontak juga berperan sebagai racun lambung (Husmawati, Sitta. 2006).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Hari, tanggal : Rabu, 15 Oktober 2017

Pukul : 08.00 - selesai

Tempat : Laboratorium Entomologi, Kesehatan Lingkungan Surabaya,


Poltekkes Kemenkes Surabaya

3.2 Alat dan Bahan


Alat :
1. Succeptibility kit
2. Mangkok
3. Aspirator
4. Nampan plastik
5. Higrometer
6. Beaker glass
7. Sendok
8. Alat tulis
9. Buku catatan

Bahan :

1. Nyamuk Aedes Aegypti


2. Racun deltametrin
3. Air gula
4. Handscone
5. Kapas
6. Masker
3.3 Prosedur Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Mengisi racun deltametrin ke dalam tabung succeptibility test.

3. Mengambil 25 ekor nyamuk yang ada sudah dikembangbiakkan menggunakan


aspirator. Kemudian memasukkannya ke dalam tabung succeeptibility test ke
bagian tabung berwarna merah.

4. Selanjutnya menutup pembatas tabung succeptibility test agar nyamuk tetap


berada di area tabung berwarna merah.

5. Mengukur suhu dan kelembaban lingkungan sekitar menggunakan hygrometer


sebelum dilakukan kontak dengan racun selama 1 jam.
6. Menyiapkan kapas yang telah dibahasi dengan air sari gula dan meletakkannya
diatas tabung succeptibility test. Selanjutnya membiarkan nyamuk tersebut kontak
dengan racun selama 1 jam.

7. Setelah 1 jam kontak dengan racun, hitung kematian nyamuk yang telah kontak
dengan racun.
8. Menghitung suhu dan kelembaban di lingkungan sekitar sesudah kontak dengan
racun menggunakan hygrometer.
9. Setelah itu ulangi lagi proses kontak dengan racun, namun dengan durasi waktu
24 jam kontak dengan racun. Meletakkan tabung succeptibility test diatas nampan
yang berisi air dan mangkok. Hal ini dikarenakan agar, binatang serangga atau
semut tidak dapat memakan air sari gula atau nyamuk.

10. Jika nyamuk sudah kontak selama 24 jam, menghitung nyamuk yang mati dan
catatlah di buku dokumentasi.

3.4 Metode Penelitian


Penelitian ini berupa penelitian observasional. Penelitian akan dilaksanakan di dengan
mengambil contoh nyamuk yang berasal dari daerah endemis DBD di wilayah Kota
Jombang. Pelaksanaan uji succeptibility dilakukan di laboratorium entomologi Jurusan
Kesehatan Lingkungan Poltekkes Surabaya. Populasi penelitian ini adalah Ae. aegypti
dewasa hasil pembiakan pradewasa yang di peroleh dari lapangan yang mewarisi sifat
resisitensi induknya. Sampel penelitian ini adalah anggota populasi yang diambil secara
acak sebanyak 25 ekor nyamuk Ae. aegypti dewasa.
Nyamuk yang digunakan adalah hasil kolonisasi dari lokasi penelitian dengan kondisi
perut kenyang darah dengan alasan kondisinya sehat, kemudian disiapkan 4-5 tabung uji
standar WHO dan pada tabung dengan tanda merah di masukan kertas berinsektisida
(deltamethrin 0,05%) secara melingkar. Nyamuk sebanyak 25 ekor dengan kondisi
kenyang darah selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung uji tanda merah dan dipapar
dengan insektisida selama 60 menit. Sedangkan nyamuk betina sebagai kontrol sebanyak
15 ekor dimasukan ke dalam tabung yang diberi tanda hijau dan dilengkapi kertas tanpa
insektisida (pelarut). Kriteria: kematian <80% adalah resisten/kebal, kematian 80-98%
adalah toleran dan kematian 99-100% adalah rentan. Pengujian harus diulangi jika ada
kematian pada kelompok kontrol lebih dari 20%. Kematian nyamuk uji dikoreksi dengan
formula Abbot (WHO). Nilai Rasio resistensi diperoleh dari hasil perhitungan prosentase
angka kematian nyamuk uji dengan perlakuan dan dibandingan dengan nyamuk yang
masih rentan (kontrol).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum
4.2 Pembahasan

BAB V
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
Firda Yanuar P. Et Al. Penentuan Status Resistensi Aedes Aegypti Dengan Metode Susceptibility
Di Kota Cimahi Terhadap Cypermethrin. Jurnal Vektora Vol Iii No 1. Cimahi
Husmawati, Sitta. 2006. Penggunaan Deltamethrin sebagai Pengendalian Ektoparasit
Argulus sp. pada Ikan Maskoki (Carassius auratus L). Surabaya: Universitas
Surabaya.
Novita, Kiki. 2016. Uji Resistensi Malathion dan Sipermethrin Terhadap Nyamuk Aedes
aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Kota Medan Tahun 2016.
Medan : Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai