Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH PENYEHATAN PEMUKIMAN

“INTERVENSI DAN PEMECAHAN MASALAH SANITASI”

Dosen Pengampu :
Kuat Prabowo, SKM, M.Kes
Agus Riyanto, SKM, MKM

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
Adinda Kurniati P21345121002
Anik Arini Nawang Sari P21345121009
Choirun Nisa Nurfilastri P21345121015
Didik Triyanto P21345121021
Hanung Wahyu A P P21345121030
Haydar Ahmad Fauzan P21345121031

PROGRAM STUDI DIII SANITASI


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II
JAKARTA
2022
JL. Hang Jebat 3 blok F3, Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12120
Telpon (021) 7397641, 7393643
Web: www.poltekkesjkt2.ac.id , Email: poltekkesjakarta2@yahoo.com
Kata Pengantar

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi
kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik. Adapun judul
makalah ini adalah “Intervensi Dan Pemecahan Masalah Sanitasi”.. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Penyehatan Pemukiman semester 5
(lima) Jurusan Kesehatan Lingkungan.

Penulis menyadari akan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan serta wawasan


yang penulis miliki, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat
membangun demi kesempurnaan tugas ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada
semua yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tugas ini, semoga tugas ini dapat
bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa program studi D3 Sanitasi.

Jakarta, 27 Agustus 2023

Kelompok 2

i
Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................ii
Bab 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3 Tujuan Pembahasan............................................................................................2
Bab 2 PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Intervensi teknis pada media air.........................................................................3
2.2 Intervensi teknis pada media udara....................................................................7
2.3 Intervensi teknis pada media tanah dan pengelolaan sampah..........................11
2.4 Intervensi teknis pada pengamanan makanan dan minuman............................15
2.5 Intervensi teknis pada pengendalian vektor penyakit.......................................20
2.6 Intervensi teknis sosial penyehatan pemukiman..............................................28
Bab 3 PENUTUP..................................................................................................................41
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................42

ii
Bab 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat tampak
sangat beragam. Kebanyakan masyarakat belum mengetahui bahwa banyak sekali masalah-
masalah lingkungan di sekitar mereka yang berakibat buruk terhadap kesehatan dan
keberlangsungan hidup secara keseluruhan. Perlu adanya peningkatan derajat kesehatan bagi
masyarakat, diselenggarakannya upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam
bentuk upaya kesehatan masyarakat. Upaya-upaya kesehatan masyarakat yang berintikan
perbaikan kualitas lingkungan fisik sudah dimulai dari jaman Romawi. Salah satu upaya
tersebut adalah melalui perbaikan keadaan atau kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan
membahas hubungan antara kelompok masyarakat dan berbagai perubahan komponen
lingkungan hidup manusia yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat
(Sumantri, 2010).

Intervensi atau intervening merupakan kata yang berasal bahasa Latin yang berarti
“coming between” artinya yang datang di antara. Intervensi berarti mengacu pada usaha
untuk mengubah kehidupan yang sedang berjalan dengan cara tertentu. Perubahan itu bisa
kecil atau besar, negatif atau positif. Orang-orang yang bekerjadalam profesi-profesi pemberi
bantuan mememiliki intensi etik yang sama, yaitu melakukan segala hal yang dapat dilakukan
demi keuntungan klien tanpa menimbulkan kerugian(Sundberg, Winebarger, & Taplin,
2007). Sebagaimana diketahui, secara global populasi lansia diprediksi terus mengalami
peningkatan. Populasi lansia di Indonesia diprediksi meningkat lebih tinggi dari pada
populasi lansia di dunia setelah tahun 2100 (Pusat data dan informasi kementrian kesehatan
RI, 2016).Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia, lansia merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Usia 60 tahun ke atas
merupakan tahap akhir dari proses penuaan yang memiliki dampak terhadap tiga aspek, yaitu
biologis, ekonomi, dan sosial.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan intervensi teknis pada media air?
2. Apa yang dimaksud dengan intervensi teknis pada media udara?
3. Apa yang dimaksud dengan intervensi teknis pada media tanah dan pengelolaan
sampah?

1
4. Apa yang dimaksud dengan intervensi teknis pada pengamanan makanan dan
minuman?
5. Apa yang dimaksud dengan intervensi teknis pada pengendalian vektor penyakit?
6. Apa yang dimaksud dengan intervensi sosial penyehatan pemukiman?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Agar mahasiswa memahami tentang intervensi teknis pada media air
2. Agar mahasiswa memahami tentang intervensi teknis pada media udara
3. Agar mahasiswa memahami tentang intervensi teknis pada media tanah dan
pengelolaan sampah
4. Agar mahasiswa memahami tentang intervensi teknis pada pengamanan makanan
dan minuman
5. Agar mahasiswa memahami tentang intervensi teknis pada pengendalian vektor
penyakit
6. Agar mahasiswa memahami tentang intervensi sosial penyehatan pemukiman

2
Bab 2 PEMBAHASAN
2.1 Intervensi teknis pada media air
Intervensi Kesehatan Lingkungan Intervensi kesehatan lingkungan merupakan tindakan
penyehatan, pengamanan, dan pengendalian untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang
sehat dari berbagai aspek, yang dapat berupa :

a. Komunikasi, informasi dan edukasi serta penggerakan / pemberdayaan masyarakat.


b. Perbaikan dan pembangunan sarana.
c. Pengembangan teknologi tepat guna.
d. Rekayasa lingkungan.

Air adalah kebutuhan yang terpenting dari makhluk hidup yang ada di bumi ini. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia memerlukan air khususnya air bersih. Untuk memenuhi
kebutuhannya manusia dapat menentukan jenis dan jumlah air bersih yang berguna bagi
kehidupan sehari-hari. (Triatmadja, 2008)
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan akan menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Air
minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Media air di permukiman memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari penduduk. Intervensi teknis yang tepat dapat meningkatkan akses, kualitas, dan
keberlanjutan pasokan air di wilayah permukiman. Beberapa intervensi teknis pada media air,
antara lain:
1. Pengembangan Sumber Air
Pengembangan sumber air merupakan langkah awal dalam memastikan pasokan air
yang cukup dan berkelanjutan di permukiman.
a. Pembuatan Sumur Gali
Sumur gali adalah metode tradisional yang melibatkan penggalian lubang dalam
tanah hingga mencapai air tanah. Sumur ini lebih cocok untuk wilayah dengan
kedalaman air tanah yang cukup dangkal.
b. Pembangunan Sumur Bor
Sumur bor menggunakan mesin bor untuk mengebor lubang lebih dalam ke dalam
tanah hingga mencapai lapisan air yang cukup. Metode ini cocok untuk wilayah
dengan kedalaman air tanah yang lebih dalam.
c. Penampungan Air Hujan

3
Pembangunan bak penampungan air hujan memanfaatkan air hujan yang terkumpul
dari permukaan atap bangunan. Air hujan ini dapat digunakan untuk keperluan
non-potabel seperti irigasi.
Pilih sumber air baku yang berpotensi baik dari segi kualitas maupun kuantitas (mata
air, air tanah, air hujan, atau air permukaan). Berdasarkan jenis sumber yang dapat
dimanfaatkan tersebut, maka dipilihlah jenis teknologi yang sesuai dengan jenis
sumber air baku dan yang layak untuk diterapkan, yang mempunyai ciri khusus yaitu
teknologi yang sederhana serta murah dalam pengoperasian dan perawatannya.
Sumber air baku harus memiliki kuantitas dan kontinuitas yang baik, artinya sumber
air baku tidak mengalami kekeringan selama musim kemarau. Penyadapan air baku
harus diambil pada debit rata – rata atau debit minimum.
Beberapa parameter fisik yang dapat diukur untuk menentukan kualitas air baku di
lapangan secara sederhana adalah sebagai berikut:
1) Kekeruhan
a) Kekeruhan tinggi
Kekeruhan > 150 NTU. Kekeruhan tersebut dapat diartikan sebagai air baku
yang pada kedalaman kurang dari 50 cm dicelupkan lempengan berwarna
putih ukuran 10 cm kali 10 cm sudah tidak masih dapat terlihat.
b) Kekeruhan sedang
Kekeruhan 50-150 NTU. Air baku yang pada kedalaman kurang dari 50 cm
dicelupkan lempengan berwarna putih ukuran 10 cm kali 10 cm masih dapat
terlihat.
c) Kekeruhan rendah
Kekeruhan < 50 NTU. Air baku yang pada kedalaman 50 cm dicelupkan
lempengan berwarna putih ukuran 10 cm kali 10 cm masih dapat terlihat.
2) Rasa
Tes rasa air, jika rasa air payau atau asin, maka cek hasil laboratorium terhadap
kandungan Klorida, jika hasil laboratorium tidak ada, lihat nilai EC.
3) Warna dan bau
Periksa warna dan bau air, jika ditemukan warna dan bau, maka penyebab
timbulnya harus diperiksa. Untuk menjamin kualitas air tersebut dapat
digunakan sebagai sumber air.

1. Sistem Distribusi dan Sistem Pengaliran Air Bersih


4
Sistem distribusi adalah sistem yang langsung berhubungan dengan konsumen, yang
mempunyai fungsi pokok mendistribusikan air yang telah memenuhi syarat ke seluruh
daerah pelayanan. Dua hal penting yang harus diperhatikan pada sistem distribusi
adalah tersedianya jumlah air yang cukup dan tekanan yang memenuhi (kontinuitas
pelayanan), serta menjaga keamanan kualitas air yang berasal dari instalasi
pengolahan.
Sistem pengaliran dalam sistem distribusi air bersih dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
• Cara Gravitasi
Cara pengaliran gravitasi digunakan apabila elevasi sumber air mempunyai
perbedaan cukup besar dengan elevasi daerah pelayanan, sehingga tekanan yang
diperlukan dapat dipertahankan. Cara ini dianggap cukup ekonomis, karena hanya
memanfaatkan beda ketinggian lokasi.
• Cara Pemompaan
Pada cara ini pompa digunakan untuk meningkatkan tekanan yang diperlukan
untuk mendistribusikan air dari reservoar ke konsumen. Sistem ini digunakan jika
elevasi antara sumber air atau instalasi pengolahan dan daerah pelayanan tidak
dapat memberikan tekanan yang cukup.
• Cara Gabungan
Pada cara gabungan, reservoir digunakan untuk mempertahankan tekanan yang
diperlukan selama periode pemakaian tinggi dan pada kondisi darurat, misalnya
saat terjadi kebakaran, atau tidak adanya energi. Selama periode pemakaian
rendah, sisa air dipompa dan disimpan dalam reservoir distribusi. Karena
reservoir distribusi digunakan sebagai cadangan air selama periode pemakaian
tinggi atau pemakaian puncak, maka pompa dapat dioperasikan pada kapasitas
debit rata-rata.(Triatmadja, 2008)
Untuk daerah datar atau untuk sumber air yang berada di bawah atau sejajar
daerah pelayanan diperlukan pompa. Sedangkan ntuk daerah berbukit atau
sumber air yang berada di atas daerah pelayanan dapat digunakan sistem
pengaliran dengan gravitasi.
2. Pengelolaan Air Limbah
Pengelolaan air limbah adalah langkah penting untuk menjaga kualitas
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Berbagai metode digunakan untuk

5
mengolah air limbah sebelum dibuang ke lingkungan, beberapa intervensi
pengelolaan air limbah antara lain sebagai berikut:
a. Pembuatan Septic Tank
Septic tank adalah suatu wadah yang digunakan untuk menguraikan bahan-
bahan organik dalam air limbah. Bakteri alami mengurai materi padat dalam
septik tank, sedangkan air yang lebih jernih akan mengalir ke sistem drainase
atau sumur resapan.
b. Pengolahan Air Limbah Komunal
Di permukiman padat, pengelolaan air limbah komunal mungkin lebih
efektif. Sistem ini mengumpulkan air limbah dari beberapa rumah tangga dan
mengarahkannya ke instalasi pengolahan yang lebih besar, seperti
pengolahan lumpur aktif atau pengolahan anaerob.
c. Penggunaan Bakteri Pengurai
Penggunaan bakteri pengurai dalam proses pengolahan lumpur aktif atau
anaerob membantu memecah zat-zat organik dan mengurangi kandungan
nutrisi dalam air limbah.
d. Penggunaan Tanaman Air:
Teknik fitoremediasi melibatkan penggunaan tanaman air untuk
membersihkan air limbah dari kontaminan tertentu. Tanaman tersebut
menyerap zat-zat berbahaya dan memperbaiki kualitas air.
e. Pemanfaatan Biogas:
Dalam proses pengolahan anaerob, gas metana yang dihasilkan oleh bakteri
pengurai dapat dikumpulkan dan dimanfaatkan sebagai sumber energi
(biogas).
f. Sistem Pengolahan Tertutup:
Beberapa permukiman menggunakan sistem pengolahan tertutup seperti
sistem limbah vakum, yang mengumpulkan limbah dengan bantuan tekanan
vakum untuk mengurangi risiko pencemaran lingkungan.
Pengelolaan air limbah di permukiman merupakan tanggung jawab penting untuk
menjaga kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Melalui penggunaan
teknologi pengolahan seperti septik tank, sistem komunal, dan teknik inovatif
lainnya, dapat mengurangi dampak negatif limbah dan mewujudkan permukiman
yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. Beberapa manfaat pengelolaan air
limbah antara lain, yaitu:
6
 Mencegah Pencemaran Lingkungan
Pengelolaan air limbah yang tepat mencegah pencemaran tanah dan air
permukaan, menjaga kualitas sumber daya alam.
 Mencegah Penyakit
Air limbah yang tidak diolah dengan baik dapat menyebabkan penyebaran
penyakit. Pengolahan yang tepat mengurangi risiko kesehatan masyarakat.
 Pemanfaatan Energi dan Sumber Daya
Beberapa teknologi pengolahan air limbah menghasilkan biogas atau
pupuk yang dapat dimanfaatkan kembali.
 Kepatuhan Terhadap Peraturan
Pengelolaan air limbah yang baik membantu pemukiman mematuhi
peraturan lingkungan yang berlaku.

2.2 Intervensi teknis pada media udara


Proses inventarisasi emisi

Proses inventarisasi emisi terdiri dari 6 bagian, yaitu:

a. Perencanaan Perencanaan inventarisasi emisi adalah penjabaran tujuan dan


prosedur yang mencakup kategori pencemar yang akan diinventarisir,
identifikasi sumber, dan pelaporan data. Kegiatan perencanaan memastikan
tindakan apa saja yang harus dilakukan dalam penyusunan inventarisasi emisi.
b. Penyusunan inventarisasi Kegiatan ini merupakan bagian utama dalam proses
penyusunan inventarisasi, yaitu pengumpulan data dan perhitungan emisi.
Metode estimasi dan pendekatan yang digunakan harus merupakan metode yang
paling akurat dan representatif terkait dengan data yang tersedia.
c. Prosedur jaminan kualitas (quality assurance – QA)/pengawasan kualitas
(quality control – QC) Program QA/QC yang komprehensif sangat penting
dalam penyusunan inventarisasi emisi agar diperoleh hasil yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tanpa adanya pengawasan kualitas sepanjang proses
inventarisasi, kesalahan-kesalahan yang terjadi bisa mengacaukan keseluruhan
proses inventarisasi.
d. Dokumentasi Dokumentasi yang lengkap dan terorganisir dengan baik adalah
penting agar inventarisasi dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan dari

7
dokumentasi ini untuk memastikan bahwa kompilasi semua data menunjukkan
upaya inventarisasi secara akurat.
e. Pelaporan Pelaporan dalam penyusunan inventarisasi emisi mencakup
penjelasan mengenai data yang telah dikumpulkan, diolah, dan dianalisis.
f. Pemeliharaan dan pemutakhiran Kegiatan inventarisasi emisi merupakan suatu
proses yang berkelanjutan. Pemeliharaan dan pemutakhiran inventarisasi setelah
inventarisasi emisi disusun pertama kali akan menjamin kegunaannya di tahun-
tahun mendatang.

Perencanaan inventarisasi emisi

Perencanaan inventarisasi yang baik akan memudahkan keseluruhan proses dan


mencegah terjadinya perubahan yang memerlukan biaya besar selama dan setelah
kegiatan inventarisasi berlangsung. Tergantung dari tujuan penyusunan inventarisasi
emisi, misalnya untuk mengevaluasi kualitas udara ambien, menyusun peraturan,
mengevaluasi efektivitas kebijakan, atau pemodelan kualitas udara, tujuan tersebut
akan menentukan tingkat kompleksitas dan keakuratan inventarisasi. Namun demikian,
setiap inventarisasi tetap memerlukan perencanaan yang baik. Di dalam melakukan
perencanaan, penting untuk mempertimbangkan semua langkah dan sumber daya yang
tersedia.

8
Rencana Persiapan Inventarisasi

Sebelum proses inventarisasi dimulai, instansi terkait harus menyiapkan rencana


persiapan inventarisasi untuk mengidentifikasi tenaga pelaksana dan sumber daya
lainnya yang tersedia, dan jadwal pelaksanaan. Rencana persiapan inventarisasi
merupakan dokumen singkat yang menjelaskan pelaksanaan penyusunan inventarisasi.
Perencanaan harus mengacu pada tujuan dan prosedur. Proses rencana persiapan
inventarisasi harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

 Kegunaan data – pelaksana inventarisasi harus memastikan tujuan penggunaan


data inventarisasi. Misalnya, digunakan sebagai pedoman pembuatan
kebijakan/peraturan pemerintah, kajian resiko pencemar udara, dan pemodelan
kualitas udara skala lokal.
 Ruang lingkup inventarisasi – pelaksana inventarisasi harus mengetahui jangka
waktu, wilayah geografis inventarisasi, kategori pencemar, dan cakupan lainnya
yang dibutuhkan.

9
 Ketersediaan dan kegunaan data yang ada – pelaksana inventarisasi harus
mempelajari inventarisasi emisi yang pernah dilakukan, keakuratan datanya,
dan seberapa jauh data tersebut bisa digunakan untuk pemutakhiran
inventarisasi emisi.
 Strategi pengumpulan dan pengelolaan data – pelaksana inventarisasi harus
mempertimbangkan pengumpulan dan pengelolaan data selama dan setelah
proses penyusunan inventarisasi emisi, sistem data yang akan digunakan, dan
cara pelaporan dan distribusi data.
 Prosedur QA/QC – pelaksana inventarisasi harus mempertimbangkan
pengawasan kualitas data selama kegiatan pengumpulan, penyusunan, dan
penulisan laporan inventarisasi.

Ruang Lingkup Inventarisasi

Ruang lingkup inventarisasi mencakup hal-hal sebagai berikut:

 Periode waktu inventarisasi


 Kategori sumber yang akan diinventarisir
 Wilayah geografis (nasional atau lokal)
 Kategori pencemar yang akan diinventarisir
 Strategi pengendalian emisi yang sedang diterapkan
 Prosedur estimasi beban emisi (pengumpulan, analisis, pengolahan data,
pelaporan, dokumentasi)
 Lain-lain yang diperlukan selama perencanaan

Pedoman dokumentasi

Membuat pedoman dokumentasi merupakan langkah pertama di dalam penyusunan


inventarisasi.

 Isi dokumen – para pelaksana harus memahami materi apa saja yang harus
dimasukkan ke dalam dokumen
 Lokasi semua dokumen (buku/laporan/kertas dan dokumen elektronik)
 Memastikan seluruh dokumen tersedia dan selalu diperbaharui
 Adanya prosedur penambahan data atau keterangan ke dalam suatu dokumen

10
 Pelacakan data – mendokumentasikan siapa-siapa yang memasukkan atau
mengubah data
 Akses ke dokumen – membuat peraturan tentang peminjaman
buku/laporan/kertas dan pengamanan data elektronik
 Penduplikasian (back-up) dan pemeliharaan dokumen elektronik
 Pencatatan nama dokumen
 Pelaporan data – instansi apa saja yang akan menerima laporan inventarisasi
dan bagaimana format laporannya

2.3 Intervensi teknis pada media tanah dan pengelolaan sampah


2.3.1 Intervensi Teknis Pada Media Tanah

Intervensi Kesehatan Lingkungan dalam hal pencegahan penurunan kualitas Tanah


dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi, pengembangan teknologi tepat
guna, dan/atau dapat melakukan rekayasa lingkungan.

a. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)


Pelaksanaan KIE dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran,
serta perilaku masyarakat dan institusi terkait terhadap masalah kesehatan dan
upaya yang perlu dilakukan terkait pencegahan penurunan kualitas Tanah,
sehingga dapat mencegah penyakit dan/atau gangguan kesehatan. Sasaran
kegiatan KIE adalah institusi dan masyarakat. Institusi yang dimaksud adalah
institusi penghasil, pengolah, pemanfaat, pengumpul, pengangkut sampah dan
limbah, dan penimbun limbah B3, serta pihak terkait lainnya. Masyarakat
yang dimaksud adalah masyarakat sebagai kelompok masyarakat dan rumah
tangga. KIE dilakukan dengan menggunakan metode langsung, yaitu bertemu
langsung dengan masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang sudah ada di
masyarakat maupun kegiatan pertemuan dengan institusi, serta kegiatan
edukasi tidak langsung melalui poster, media elektonik, media sosial, dan
media lain yang sejenis ke pihak-pihak terkait dengan pesan sesuai dengan
aspek pencegahan penurunan kualitas Tanah.
b. Pengembangan Teknologi Tepat Guna
Pengembangan teknologi tepat guna merupakan upaya alternatif untuk
mengurangi atau menghilangkan faktor risiko penyebab penyakit dan/atau

11
gangguan kesehatan. Pengembangan teknologi tepat guna dilakukan dengan
mempertimbangkan permasalahan yang ada dan ketersediaan sumber daya
setempat sesuai dengan kearifan lokal. Pengembangan teknologi tepat guna
secara umum harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat,
memanfaatkan sumber daya yang ada, dibuat sesuai kebutuhan, bersifat efektif
dan efisien, praktis dan mudah diterapkan/dioperasionalkan, pemeliharaannya
mudah. Serta mudah dikembangkan Pengembangan teknologi tepat guna
untuk mencegah pencemaran dan mencegah air larian (run off, termasuk air
hujan yang mengandung cemaran, bahan kimia, atau bahan yang bersifat
asam, yang bisa masuk ke dalam Tanah dan berpengaruh terhadap kualitas
Tanah.

Secara umum pemulihan Tanah yang tercemar mikroorganisme patogen


dilakukan dengan disinfeksi, pengeringan, dan pembakaran. Khusus untuk
bakteri antraks dilakukan dengan disinfeksi (pencucian/penghapus hama)
menggunakan bahan disinfektan tertentu dan pembakaran Dalam skala kecil,
disinfeksi dilakukan dengan cara menyemprot permukaan Tanah yang
tercemar bakteri dan spora, termasuk permukaan kuburan hewan yang mati
karena antraks. Di samping itu, dapat juga dilakukan dengan pembakaran
Tanah yang terkontaminasi dengan terkontrol (seperti incinerator). Namun
untuk pemulihan skala besar dapat melakukan pengerukan Tanah yang
tercemar dan diangkut untuk pengelolaan benkutnya, yang dapat bekerja sama
dengan pihak ketiga. Dalam hal pemulihan mikroorganisme patogen lainnya
seperti E. Coli, dan sebagainya, dapat dilakukan dengan pengeringan terhadap
limbah air kotoran manusia yang berasal dari septic tank.
c. Rekayasa Lingkungan
Rekayasa lingkungan merupakan upaya mengubah media Tanah atau kondisi
Tanah untuk mencegah pajanan agen penyakit, baik bersifat fisik, biologi,
maupun kimia. Rekayasa lingkungan dilakukan secara setempat maupun
wilayah Rekayasa lingkungan dapat berupa pemulihan Tanah. Dalam hal
Tanah yang sudah terkontaminasi dengan bahan kimia berbahaya, bakteri
pathogen, atau terkontaminasi dengan bahan lain yang berbahaya, maka Tanah
tersebut harus dipulihkan. Pemulihan Tanah dilakukan dengan berbagai
menyesuaikan dengan bahan pencemar dan luasannya. Di banyak tempat di
12
daerah telah dilakukan pemulihan Tanah guna mengembalikan fungsinya
untuk daya dukung lingkungan. Pemulihan dilakukan oleh pihak pencemar
dan dilakukan pengawasan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Jika Tanah yang sudah dipulihkan, maka dapat
diterbitkan penetapan status telah selesainya pemulihan lahan terkontaminasi
dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup. Pemulihan Tanah yang tidak diketahui pihak-pihak sebagai
pencemar Tanah dapat dilakukan oleh pemerintah.

2.3.2 Intervensi Teknis Pada Pengelolaan Sampah

Limbah domestic, yang sangat banyak penanggulangan sampah ini yaitu dengan
cara memisahkan antara sampah organik atau sampah yang dapat atau mudah terurai
oleh tanah, dan sampah anorganik atau sampah yang akan terurai tanah tetapi
membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk terurai oleh tanah. Sampah organik
yang mudah terurai oleh tanah, misalnya dijadikan bahan urukan, ke-mudian kita
tutup dengan tanah sehingga terdapat permukaan tanah yang dapat kita pakai lagi,
dibuat kompos dan khusus kotoran hewan dapat dibuat biogas dan lain-lain.
Sedangkan sampah anorganik yang tidak dapat diurai oleh mikroorganisme. Cara
penanganan yang terbaik dengan mendaur ulang sampahsampah menjadi barang-
barang yang mungkin bisa dipakai.

(TPS 3R) merupakan pola pendekatan pengelolaan persampahan pada skala


komunal atau kawasan, dengan melibatkan peran aktif pemerintah dan masyarakat,
melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat, termasuk untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dan/atau yang tinggal di permukiman yang padat dan kumuh.
Penanganan sampah dengan pendekatan infrastruktur TPS 3R lebih menekankan
kepada cara pengurangan, pemanfaatan dan pengolahan sejak dari sumbernya pada
skala komunal (area permukiman, area komersial. area perkantoran, area pendidikan,
area wisata, dan lainlain).

Penyelenggaraan TPS 3R diarahkan kepada konsep Reduce (mengurangi),


Reuse (menggunakan kembali) dan Recycle (daur ulang), yang dilakukan untuk
melayani suatu kelompok masyarakat (termasuk di kawasan masyarakat
berpenghasilan rendah) yang melayani minimalis 200 rumah atau kepala keluarga.

13
Dalam pelaksanaannya pengelolaan sampah merupakan rangkaian subsistem
pewadahan, subsistem pengumpulan, subsistem pengangkutan. sub sistem
pengolahan, dan subsistem pemrosesan akhir, dimana infrastruktur TPS 3R
merupakan bagian dan sub sistem pengolahan (pada skala komunal, berbasis
masyarakat).

Konsep utama pengolahan sampah pada TPS 3R adalah untuk mengurangi


kuantitas dan/atau memperbaiki karakteristik sampah, yang akan diolah secara lebih
lanjut di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah. TPS 3R diharapkan berperan
dalam menjamin kebutuhan lahan yang semakin kritis untuk penyediaan TPA sampah
di perkotaan. Hal ini sejalan dengan kebijakan nasional, untuk meletakkan TPA
sampah pada hirarki terbawah, sehingga meminimasi residu saja untuk diurug dalam
TPA sampah. Sesuai dengan target dari PeraturanPresiden Nomor 97 Tahun 2017
Tentang Kebijakan dan Staregi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan
sampah Sejenis Rumah Tangga Tahun 2017-2025

Dalam sistem perkotaan, maka TPS 3R berperan sebagai infrastruktur dalam


penanganan sampah. Jumlah, kapasitas, dan keberfungsiannya harus dipastikan,
karena merupakan upaya untuk mengurangi kuantitas dan/atau karakteristik sampah
yang masih harus diproses lebih lanjut pada TPA sampah, dimana pengurangan
sampah dilakukan dari sumber sampah (wadah sampah di lokasi sumber sampah) ke
wadah sampah yang ada di luar sumber sampah, sebelum dikumpulkan atau diangkut
melalui sistem kota/kabupaten ke TPS 3R. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu
(TPST) berbasis institusi atau TPA sampah.

Dalam rangka memudahkan berbagai pihak dalam melaksanakan program


pengurangan sampah tersebut, disusunlah suatu Tata Cara Penyelenggaraan Umum
Tempat Pengolahan Sampah Reduce-ReuseRecycle (TPS 3R). Pada prinsipnya,
penyelenggaraan TPS 3R diarahkan pada konsep Reduce (mengurangi). Reuse
(menggunakan kembali), dan Recycle (daur ulang), dimana dilakukan upaya untuk
mengurangi sampah sejak dari sumbernya pada skala komunal atau kawasan, untuk
mengurangi beban sampah yang harus diolah secara langsung di TPA sampah. Hingga
saat ini, proses pengolahan sampah yang diisyaratkan dalam sebuah TPS 3R adalah
dengan memilah sampah menjadi sampah organik dan sampah non organik. Sampah
organik diolah secara biologis, sedangkan sampah non organik didaur ulang agar

14
hemilai ekonomis atau dikelola melalui bank sampah, sedangkan sampah anorganik
yang merupakan residu dari TPS 3R diangkut menuju TPA sampah.

Penyelenggaraan TPS 3R haruslah ditujukan untuk mengurangi beban sampah


yang akan diolah pada TPA sampah. Produk pengolahan seperti sampah daur ulang,
kompos padat, kompos cair dan gas bio, merupakan bonus atau produk tambahan dari
sebuah TPS 3R, dan bukan merupakan tujuan utama dari TPS 3R. Kebermanfaatan
TPS 3R ditentukan dari hanya residu yang diangkut ke TPA sampah, sehingga
berdampak pada semakin kecilnya pembebasan lahan untuk TPA.

2.4 Intervensi teknis pada pengamanan makanan dan minuman


Intervensi dapat dilakukan pada semua tingkat pengolahan makanan, dari saat
pemeliharaan sampai panen dan pemotongan ternak, transformasi serta pengolahan,
distribusi dan penyimpanan, untuk dijual eceran dan pada institusi penyedia jasa boga ,
di restoran dan di rumah.

Pengelolaan Pangan harus menerapkan enam prinsip higiene sanitasi pangan yang
terdiri dari:

1. Pemilihan/Penerimaan Bahan Pangan


a. Bahan pangan yang tidak dikemas/berlabel berasal dari sumber yang
jelas/dipercaya, baik mutunya, utuh dan tidak rusak.
b. Bahan pangan kemasan harus mempunyai label, terdaftar atau ada izin edar
dan tidak kedaluwarsa. Pangan kemasan kaleng tidak menggelembung,
bocor, penyok, dan berkarat.
c. Tidak boleh menggunakan makanan sisa yang tidak habis terjual untuk
dibuat kembali makanan baru.
d. Kendaraan untuk mengangkut bahan pangan harus bersih, tidak digunakan
untuk selain bahan pangan.
e. Pada saat penerimaan bahan pangan pada area yang bersih dan harus
dipastikan tidak terjadi kontaminasi.
f. Bahan pangan saat diterima harus berada pada wadah dan suhu yang sesuai
dengan jenis pangan.
g. Jika bahan pangan tidak langsung digunakan maka bahan pangan harus
diberikan label tanggal penerimaan.

15
h. Bahan baku es batu adalah air dengan kualitas Air Minum.
i. Memiliki dokumentasi penerimaan bahan pangan.
j. Khusus jasa boga golongan B dan C, jika membutuhkan transit time pada
bahan baku pangan, maka pastikan bahan baku yang memerlukan
pengendalian suhu (suhu chiller dan freezer) tidak rusak.
2. Penyimpanan Bahan Pangan
a. Bahan mentah dari hewan harus disimpan pada suhu kurang dari atau sama
dengan 4°C. Jika tidak memiliki lemari pendingin dapat menggunakan
coolbox dan coolpack atau dry ice atau es balok yang dilengkapi dengan
termometer untuk memantau suhu kurang dari atau sama dengan 4°C.
b. Bahan mentah lain yang membutuhkan pendinginan, misalnya sayuran
harus disimpan pada suhu yang sesuai.
c. Bahan pangan yang berbau tajam harus tertutup agar tidak keluar baunya.
d. Bahan pangan beku yang tidak langsung digunakan harus disimpan pada
suhu -18°C atau di bawahnya.
e. Tempat penyimpanan bahan pangan harus selalu terpelihara dan dalam
keadaan bersih, terlindung dari debu, bahan kimia, Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit.
f. Setiap bahan pangan ditempatkan secara terpisah dan dikelompokkan
menurut jenisnya dalam wadah yang bersih, dan tara pangan (food grade).
g. Semua bahan pangan hendaknya disimpan pada rakrak (pallet) dengan
ketinggian atau jarak rak terbawah kurang lebih 15 cm dari lantai, 5 cm dari
dinding dan 60 cm dari langit-langit.
h. Suhu gudang bahan pangan kering dan kaleng dijaga kurang dari 25°C.
i. Penempatan bahan pangan harus rapi dan ditata tidak padat untuk menjaga
sirkulasi udara.
j. Penyimpanan harus menerapkan prinsip First In First Out (FIFO) yaitu
yang disimpan lebih dahulu digunakan dahulu dan First Expired First Out
(FEFO) yaitu yang memiliki masa kedaluwarsa lebih pendek lebih dahulu
digunakan. Bahan pangan yang langsung habis persyaratan ini dapat
diabaikan.
3. Pengolahan/Pemasakan Pangan
a. Bahan pangan yang akan digunakan dibersihkan dan dicuci dengan air
mengalir sebelum dimasak.
16
b. Penyiapan buah dan sayuran segar yang langsung dikonsumsi dicuci
dengan menggunakan Air Minum.
c. Pengolahan pangan dilakukan sedemikian rupa untuk menghindari
kontaminasi silang.
d. Peracikan bahan, persiapan bumbu, persiapan pengolahan dan prioritas
dalam memasak harus dilakukan sesuai tahapan dan higienis.
e. Bahan pangan beku sebelum digunakan harus dilunakkan (thawing) sampai
bagian tengahnya lunak. Selama proses pencairan/pelunakan, bahan pangan
harus tetap di dalam wadah tertutup, pembungkus atau kemasan pelindung
f. Pangan dimasak sampai matang sempurna.
g. Pengaturan suhu dan waktu perlu diperhatikan karena setiap bahan pangan
mempunyai waktu kematangan yang berbeda.
h. Dahulukan memasak pangan yang tahan lama/kering dan pangan berkuah
dimasak paling akhir.
i. Mencicipi pangan menggunakan peralatan khusus (contohnya sendok).
j. Penyiapan buah dan sayuran segar yang langsung dikonsumsi dicuci
dengan menggunakan air berstandar kualitas Air Minum.
k. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
l. Pangan matang tidak disimpan dalam kondisi terbuka di area luar bangunan
pengolahan pangan.
m. Tidak ada pengolahan pangan di area luar bengunan pengolahan pangan
yang tidak memiliki pelindung.
4. Penyimpanan Pangan Matang
a. Penyimpanan pangan matang tidak dicampur dengan bahan pangan.
b. Wadah penyimpanan pangan matang harus terpisah untuk setiap jenis
pangan.
c. Setiap jasa boga harus menyimpan pangan matang untuk bank sample yang
disimpan di kulkas dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Setiap menu makanan
harus ada 1 porsi sampel (contoh makanan yang disimpan sebagai bank
sampel untuk konfirmasi bila terjadi KLB Keracunan Pangan).
d. Pangan matang beku yang sudah dilunakkan tidak boleh dibekukan
kembali.
e. Pangan matang harus disimpan terpisah dengan bahan pangan
17
f. Pangan matang disimpan sedemikian rupa pada tempat tertutup yang tidak
memungkinkan terjadi kontak dengan Vektor dan Binatang Pembawa
Penyakit.
5. Pengangkutan Pangan Matang
a. Alat pengangkut bebas dari sumber kontaminasi debu, Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit serta bahan kimia.
b. Alat pengangkut secara berkala dilakukan proses sanitasi terutama bagian
dalam yang berhubungan dengan wadah/kemasan pangan matang.
c. Tersedia kendaraan khusus pengangkut pangan matang.
d. Pengisian pangan matang pada alat pengangkut tidak sampai penuh, agar
masih tersedia ruang untuk sirkulasi udara.
e. Selama pengangkutan, pangan harus dilindungi dari debu dan jenis
kontaminasi lainnya.
f. Suhu untuk pangan panas dijaga tetap panas selama pengangkutan pada
suhu 60°C atau lebih.
g. Suhu untuk pangan matang yang memerlukan pendinginan harus
dipertahankan pada suhu 4°C atau kurang.
h. Kendaraan dan wadah untuk mengangkut pangan matang beku
dipertahankan pada suhu -18°C atau di bawahnya.
i. Selama pengangkutan harus dilakukan tindakan pengendalian agar
keamanan pangan terjaga, misalnya waktu pemindahan antara alat
transportasi (misalnya truk) dengan fasilitas penyimpanan sebaiknya kurang
dari 20 menit jika tidak ada metode untuk mengontrol suhu.
j. Memiliki dokumentasi/jadwal pengangkutan pangan matang.
k. Pengangkutan pangan matang pada pembelian secara online: (1) Pelaku
usaha harus mengemas pangan secara aman agar tidak terjadi kontaminasi
pangan. (2) Pembawa pesanan harus memastikan pengangkutan pangan
yang dibawa aman dari kontaminasi.
6. Penyajian Pangan Matang
a. Penyajian pangan matang harus bersih dan terhindar dari pencemaran.
b. Penyajian pangan matang harus dalam wadah tertutup dan tara pangan
(food grade).

18
c. Pangan matang yang mudah rusak dan disimpan pada suhu ruang harus
sudah dikonsumsi 4 jam setelah matang, jika masih akan dikonsumsi harus
dilakukan pemanasan ulang.
d. Pangan matang yang disajikan dalam keadaan panas ditempatkan pada
fasilitas penghangat pangan pada suhu 60°C atau lebih.
e. Pangan matang yang disajikan dalam keadaan dingin ditempatkan fasilitas
pendingin misalnya penggunaan rel listrik, alas es, lemari kaca dingin,
lemari es atau kotak pendingin. Jika suhu di bawah 10°C, pastikan bahwa
waktu maksimum untuk mengeluarkan makanan adalah 2 jam.
f. Pangan matang yang disajikan di dalam kotak/kemasan harus diberikan
tanda batas waktu (expired date) tanggal dan waktu makanan boleh
dikonsumsi serta nomor sertifikat laik higiene sanitasi.
g. Penyajian dalam bentuk prasmanan harus menggunakan piring yang bersih
untuk setiap sajian baru. Piring yang masih ada sisa pangan tidak digunakan
untuk sajian baru.
h. Pangan matang baru tidak dicampur dengan pangan yang sudah
dikeluarkan, kecuali bila berada pada suhu 60°C atau lebih ataupun 5°C
atau kurang dan tidak terdapat risiko keamanan pangan.
i. Dekorasi atau tanaman jangan sampai mengontaminasi pangan.
j. Pangan matang sisa jika sudah melampaui batas waktu konsumsi dan suhu
penyimpanan tidak boleh dikonsumsi.
k. Pangan yang berkadar air tinggi baru dicampur menjelang dihidangkan
untuk menghindari pangan cepat rusak atau basi.
l. Pangan yang tidak dikemas disajikan dengan penutup (misalnya tudung
saji) atau di dalam lemari display yang tertutup.
m. Memiliki kemasan pangan yang sudah dilengkapi merek/nama usaha,
alamat lengkap dan nomor telepon yang bisa dihubungi oleh seluruh
konsumen. Jika memungkinkan menggunakan segel.
n. Setiap TPP sebaiknya mencantumkan komposisi bahan pangan dari produk
yang dihasilkan dan dapat diakses dengan mudah oleh konsumen.
7. Unit/Sarana Dapur Umum
a. Tempat pengolahan pangan kuat, aman, beratap dan berventilasi baik.
b. Jauh dari sumber pencemaran
c. Memiliki saluran air limbah
19
d. Memiliki tempat sampah yang tertutup
e. Tersedia sarana mencuci peralatan
8. Penjamaah
a. Penjamah harus sehat dan bersih
b. PHBS
c. Menggunakan celemek, penutup kepala dan masker (jika diperlukan)
untuk mencegahkontaminasi pada pangan
9. Peralatan
a. Peralatan seperti baskom, meja dan talenan harus diajaga keberihannya
b. Permukaan peralatan yang kontak dengan pangan selama persiapan dan
penyajian harus benar-benar dibersihkan
c. Sisa-sisa pangan dan lemak yang menempel pada peralatan harus segera
dibersihkan, kemudian peralatan dicuci dengan sabun/detergen, dan
dibilas, selanjutnya direndam dalam air mendidih guna dilakukan
desinfeksi selama 5 menit atau direndam dalamlarutan sterilisasi misalnya
Natrium Hipoklorit atau kalsium hipoklorit pada 100 mgklorin/ liter
selama 30 detik
d. Untuk kepraktisan peralatan sekali pakai dapat digunakan untuk para
korban bencana

2.5 Intervensi teknis pada pengendalian vektor penyakit


Penyakit bersumber binatang adalah penyakit yang dibawa, ditularkan dan
berkembangbiak di dalam tubuh binatang tersebut. Menurut UU No.18 Tahun 2009
istilah zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan
sebaliknya. Pola penularan pada binatang penular penyakit sebagai patogen dan parasit,
organisme penyebab zoonosis memiliki reservoir dan inang. Reservoir adalah habitat di
mana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, dan bereplikasi secara alami, di antaranya
manusia, hewan peliharaan, maupun satwa liar.

2.5.1 Binatang – binatang Penular Penyakit

1. Rodent/Tikus
Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh tikus.

20
Dari banyak penyakit yang disebabkan oleh tikus, penularannya bisa terjadi
melalui gigitan, urine, kotoran, hingga makanan yang telah terkontaminasi.
Gejalanya pun beragam, dari yang ringan hingga yang parah.
a. Penyakit pes
Dalam sejarahnya, pes merupakan salah satu penyakit yang ditularkan
oleh tikus yang sempat menjadi wabah. Penyakit pes ditandai dengan
demam, sakit kepala, menggigil, dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Gejala-gejala tersebut biasanya muncul dalam 2 hingga 6 hari setelah infeksi
pertama.
Meski dapat diobati dengan antibiotik, penanganan yang terlambat bisa
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi serius, misalnya sepsis
(keracunan darah). Kondisi ini dapat menyebabkan perdarahan hebat di
beberapa organ penting, yang bisa berujung pada kematian.
b. Penyakit leptospirosis
Penyakit yang ditularkan oleh tikus berikutnya adalah leptospirosis.
Bakteri Leptospira yang bersarang di tubuh tikus bertanggung jawab atas
munculnya penyakit ini. Gejala leptospirosis menyerupai flu berat, seperti
sakit kepala, demam, muntah, dan diare. Sayangnya, kemiripan gejala
dengan flu membuat banyak orang tidak menghiraukan tentang bahaya yang
sedang mengintai. Antibiotik mungkin dapat menyembuhkan infeksi bakteri
ini, tapi biasanya hanya efektif pada awal-awal waktu. Penanganan yang
terlambat akan meningkatkan risiko komplikasi serius.
c. Koriomeningitis limfositik (LCM)
Koriomeningitis limfositik merupakan penyakit yang cukup berbahaya.
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengan nama yang sama, bisa ditularkan
dari tikus rumahan sekalipun. Virus pemicunya bekerja dengan menyerang
sistem neurologis manusia, seperti otak dan sumsum tulang belakang.
Penyakit ini ditandai dengan nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, hilang
nafsu makan, dan demam tinggi berkepanjangan.
Mengutip dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC),
seseorang bisa tertular penyakit koriomeningitis limfositik melalui:
(1) Menghirup debu yang telah terkontaminasi urine atau kotoran tikus
(2) Menyentuh tikus atau urine dan kotorannya
d. Sindrom hantavirus
21
Gejala dari sindrom hantavirus mirip dengan flu, tapi akan cepat
bertambah parah dan bisa mengancam nyawa jika tidak segera diobati.
Gejala yang lebih berat, orang yang terinfeksi akan merasa sesak dan sulit
untuk bernafas. Penyakit ini bisa menjadi fatal dan memiliki mortalitas
sekitar 38 %. Penyakit ini dapat ditularkan melalui air liur, kotoran, dan
urine tikus. Gigitan dan debu yang telah terkontaminasi juga bisa menjadi
media penyebaran virus pemicunya.
e. Penyakit salmonellosis
Gejala salmonellosis terkadang ringan, tapi bisa juga berangsur parah.
Infeksi ekstrem dapat menyebabkan mual, muntah, kram perut, demam,
diare, menggigil, keluar darah pada feses, dan sakit kepala tidak biasa. Pada
beberapa kasus, salmonellosis bisa sembuh dengan sendiri dalam waktu
relatif singkat. Tapi jika kondisinya memburuk, dokter biasanya memberi
antibiotik untuk melawan bakteri pemicunya (Kementerian Kesehatan RI,
2016).

2. Hewan Piaraan : Anjing, kucing, dan kelinci/hamster


a. Kucing dan anjing
Infeksi yang paling sering disebabkan oleh kucing adalah infeksi dari
cakaran kucing yang disebabkan oleh bakteri Bartonella, atau dikenal dengan
cat scratch disease. Area yang terkena cakaran akan membengkak atau melepuh,
dan penderita akan merasakan demam serta pegal otot.
b. Burung
Flu burung adalah infeksi virus yang menyebar dari burung ke burung
kemudian menular ke manusia. Flu burung adalah penyakit yang sangat
mematikan. Infeksi penyakit ini terus menyebar di antara unggas di Mesir dan
di beberapa bagian Asia. Meskipun ada banyak jenis flu burung, jenis yang
paling umum menjadi wabah adalah virus flu burung H5N1 dan H7N9 yang
menjadi penyebab flu burung paling utama (Kementerian pertanian RI, 2016).
c. Hamster
Hewan pengerat seperti hamster dan marmut bisa membawa virus dan
bakteri yang mungkin menginfeksi manusia. Virus terdapat dalam urin dan
feses hewan pengerat, yang bisa menular pada manusia lewat udara. Salah satu
virus yang rawan ditularkan oleh hewan pengerat adalah hantavirus yang jika
22
menginfeksi manusia gejalanya mirip demam berdarah. Penyakit lain yang bisa
ditularkan lewat kotoran si hamster atau marmut adalah leptospirosis dengan
gejala demam tinggi serta nyeri sendi.
d. Reptil
Risiko tertular infeksi salmonella dari reptil seperti ular. Hal ini
dikarenakan reptil membawa kuman di kulit dan fesesnya. Infeksi Salmonella
sendiri dapat menyebabkan gejala demam, muntah, sakit perut dan diare. Jadi
hindari mencium reptil piaraan dan selalu cuci tangan dengan sabun tiap kali
menyentuhnya.

3. Hewan ternak : Sapi, kambing, kerbau, domba, dan babi


a. Brucellosis
Penyakit brucellosis biasanya menyerang hewan ternak, seperti kambing
dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Brucella. Menghirup udara yang
sudah terkontaminasi dengan bakteri ini, atau melakukan kontak langsung
dengan hewan ternak yang terinfeksi, juga dapat tertular penyakit ini.
Bakteri Brucella dapat keluar dari tubuh sapi atau kambing melalui susu, urine,
cairan plasenta, dan cairan lainnya dari tubuh hewan ternak. Jika tertular, gejala
yang muncul antara lain tubuh merasa lemas, pusing, berat badan turun, nafsu
makan menurun, sakit punggung, seluruh sendi tubuh terasa sakit, demam,
menggigil, dan berkeringat di malam hari. Pada pemeriksaan biasa ditemukan
pembesaran organ hati dan limpa.
b. Taeniasis/sistiserkosis
Taeniasis merupakan infeksi usus. Kondisi ini disebabkan oleh cacing
pita dewasa yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui konsumsi daging sapi
atau daging babi yang kurang matang, atau bahkan mentah. Kondisi daging
seperti ini masih terdapat bentuk kistik yang berisi larva cacing pita.
Telur cacing yang tertelan dapat berkembang di susunan saraf pusat pada otak
(neurosistiserkosis) dan mengakibatkan epilepsi, meski sebelumnya penderita
tidak memiliki riwayat epilepsi. Penyakit ini ditandai dengan kejang-kejang,
sakit kepala berlebihan, demensia, meningitis, kebutaan, atau hidrosefalus (Chin
and Editor, 2000).

4. Arthopoda
23
a. Nyamuk
Nyamuk adalah serangga yang termasuk ordo diptera, jenisnya banyak
dan tersebar hampir merata di seluruh pelosok bumi. Nyamuk merupakan salah
satu spesies yang paling ditakuti. Karena beberapa diantaranya bisa
menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi kehidupan manusia seperti
anopheles menyebabkan penyakit malaria, Aedes aegypti menyebabkan DBD,
Culex, anopheles gambiae menyebabkan penyakit filariasis.
b. Lalat
Lalat adalah insekta yang termasuk ordo dipteral, yakni insekta yang
mempunyai sayap berbentuk membrane. Yang mempunyai membrane ini
adalah lalat. Lalat dapa menimbulkan penyakit seperti typhoid fever, para
typhoid fever, disentri basiler dll (Parasitologi Kesehatan Masyarakat, 2016).
c. Kecoa
Kecoa perlu dikendalikan, karena hewan ini dapat menimbulkan
penyakit pada manusia, yang umumnya terjadi secara mekanis. Penyakit yang
ditimbulkan antara lain : thypoid, disentri, atau keracunan makanan.
d. Pinjal
Ada beberapa pinjal yang ada di dunia, tapi yang terkenal adalah pinjal
tikus yang kuman pasterurella pestis. Kuman tersebut jika mengenai luka maka
akan menimbulkan penyakit pes (Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2014,
2014).
e. Kutu
Kutu termasuk dalam Ordo Anoplura, famili pediculida terdiri dari 3
spesies yang seluruhnya mempunyai kebiasaan menghisap darah, spesies
tersebut adalah
(1) Kutu Kepala Pediculus Humanus Capitis (PH Capitis)
(2) Kutu Pakaian Pediculus Humanus Corporis (PH Humanus)
(3) Kutu Kemaluan Pthirus Pubis
Kutu paling banyak berada pada daerah beriklim tropis, untuk kutu
manusia ini, harus diperhatikan personal hygienenya, seperti mandi, keramas
ataupun mengganti pakaiannya. Penyakit yang diakibatkan kutu ini adalah
Thypus Epidemica, relapsing fever(Tarigans, 2017).

24
2.5.2 Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Untuk Vektor dan Binatang
Penganggu
Dalam (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.2, 2023) tentang
standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan untuk vektor dan
binatang pembawa penyakit serta pengendaliannya. Standar baku mutu dan persyaratan
kesehatan untuk vektor dan binatang pembawa penyakit tersebut adalah sebagai berikut
:

Dalam Pasal 33:

(1) Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dilakukan untuk:

a. menurunkan populasi Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit serendah


mungkin, sehingga tidak menimbulkan penularan penyakit pada manusia; dan
b. mencapai dan memenuhi SBMKL dan Persyaratan Kesehatan.

(2) Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi kegiatan:

a. pengamatan dan penyelidikan bioekologi, penentuan status kevektoran, status


resistensi, dan efikasi bahan pengendali, serta pemeriksaan sampel;
b. intervensi Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dengan metode fisik,
biologi, kimia, dan terpadu; dan
c. pemantauan kepadatan Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit.

(3) Intervensi Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keamanan,
rasionalitas, efektivitas pelaksanaan, keberhasilan, dan kelestarian.

 SBMKL dan Prosedur Pengukuran Vektor

25
Keterangan:
1. Man Biting Rate (MBR)
Man Biting Rate (MBR) adalah angka gigitan nyamuk per orang per
malam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu) yang
tertangkap dalam satu malam (12 jam) dibagi dengan jumlah
penangkap (kolektor) dikali dengan waktu (jam) penangkapan.

26
Rumus:

2. Indeks Habitat
Indeks habitat adalah persentase habitat perkembangbiakan yang
positif larva, dihitung dengan cara jumlah habitat yang positif larva
dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang diamati dikalikan dengan
100%.
Rumus:

3. Angka Istirahat
Angka istirahat (resting rate) adalah angka kepadatan nyamuk
istirahat (resting) per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk
Aedes spp. yang tertangkap dalam satu hari (12 jam) dibagi dengan
jumlah penangkap (kolektor) dikali lama penangkapan (jam) dikali
dengan waktu penangkapan (menit) dalam tiap jamnya.
Rumus:

4. Angka Bebas Jentik (ABJ)


Angka bebas jentik (ABJ) adalah persentase rumah atau bangunan
yang bebas jentik, dihitung dengan cara jumlah rumah yang tidak
ditemukan jentik dibagi dengan jumlah seluruh rumah yang diperiksa
dikali 100%. Yang dimaksud dengan bangunan antara lain
perkantoran, pabrik, rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang
dihitung berdasarkan satuan ruang bangunan/unit pengelolanya.
Rumus:

5. Man Hour Density (MHD)

27
Man Hour Density (MHD) adalah angka nyamuk yang hinggap per
orang per jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies
tertentu) yang tertangkap dalam enam jam dibagi dengan jumlah
penangkap (kolektor) dikali dengan lama penangkapan (jam) dikali
dengan waktu penangkapan (menit).
Rumus:

6. Indeks Populasi Lalat


Indeks populasi lalat adalah angka rata-rata populasi lalat pada suatu
lokasi yang diukur dengan menggunakan flygrill. Dihitung dengan
cara melakukan pengamatan selama 30 detik dan pengulangan
sebanyak 10 kali pada setiap titik pengamatan. Dari 10 kali
pengamatan diambil 5 (lima) nilai tertinggi, lalu kelima nilai tersebut
dirata-ratakan. Pengukuran indeks populasi lalat dapat menggunakan
lebih dari satu flygrill.
7. Indeks Populasi Kecoa
Indeks populasi kecoa adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang
dihitung berdasarkan jumlah kecoa tertangkap per perangkap per
malam menggunakan perangkap lem (sticky trap).
Rumus:

 SBMKL dan Prosedur Pengukuran Binatang Penganggu (Tikus)

Keterangan:
1. Success Trap

28
Success trap adalah persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap,
dihitung dengan cara jumlah tikus yang didapat dibagi dengan
jumlah perangkap dikalikan 100%.
Rumus:

2.6 Intervensi teknis sosial penyehatan pemukiman


6.1 Pengertian Intervensi Sosial

Intervensi Sosial dapat diartikan sebagai sebuah cara dan strategi dalam
memberikan bantuan yang berguna kepada masyarakat. Intervensi sosial adalah upaya
perubahan terencana terhadap individu, kelompok, maupun komunitas. Dikatakan
perubahan terencana agar upaya bantuan yang diberikan dapat dievaluasi dan diukur
keberhasilannya. Intervensi sosial dapat pula diartikan sebagai suatu upaya untuk
memperbaiki keberfungsian sosial dari kelompok sasaran perubahan, dalam hal ini,
individu, keluarga, dan kelompok. Fungsian sosial menunjuk pada kondisi di mana
seseorang dapat berperan sebagaimana seharusnya sesuai dengan harapan lingkungan
dan peran yang dimilikinya.

Penggunaan kata intervensi sosial, daripada intervensi bertujuan menggaris


bawahi dua pertimbangan :

1. Individu merupakan bagian dari sistem sosial sehingga walaupun metode


bantuan utama adalah terapi psikologi yang bersifat individu, lingkungan
sosialnya juga perlu diberikan, perlakuan, atau intervensi hal ini didasari
pandangan bahwa klien akan dikembalikan kepada lingkungan asalnya kelak
setelah, sembuh. Apabila lingkungan sosialnya tidak dipersiapkan untuk
menerima klien kembali, dikhawatirkan kondisi klien kembali seperti semula
sebelum mendapat penanganan
2. Intervensi sosial menunjuk pada area intervensi dan tujuan. Hal ini kemudian
akan memunculkan pertanyaan siapakah yang menentukan tujuan.
Menurut Adi ( 2008: 49), intervensi sosial adalah perubahan yang terencana yang
dilakukan oleh pelaku perubahan (change agent) terhadap berbagai sasaran perubahan
(target of change) yang terdiri dari individu, keluarga, dan kelompok kecil (level

29
mikro), komunitas dan organisasi (level mezzo) dan masyarakat yang lebih luas, baik di
tingkat kabupaten/kota, provinsi, negara, maupun tingkat global (level
makro).Sedangkan menurut Kemensos RI, intervensi pekerjaan sosial adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial dalam upaya membantu
memecahkan masalah baik secara individu, maupun kelompok dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan sosial. Jadi intervensi sosial adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk membantu memecahkan masalah baik pada
level mikro, mezzo, dan makro dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.

6.2 Tujuan Intervensi Sosial

Tujuan utama dari metode intervensi sosial adalah memperbaiki fungsi sosial
orang (individu, kelompok, masyarakat) yang merupakan sasaran perubahan. Ketika
fungsi sosial seseorang berfungsi dengan baik, diasumsikan bahwa kondisi sejahtera
akan semakin mudah dicapai. Kondisi sejahtera dapat tewujud manakala jarak antara
harapan dan kenyataan tidak terlalu lebar. Melalui intervensi sosial, hambatan sosial
yang dihadapi kelompok sasaran perubahan akan diatasi. Dengan kata lain, intervensi
sosialberupaya memperkecil jarak antara harapan lingkungan dengan kondisi kenyataan
klien (Johnson, 2011: 52).

Adapun tujuan-tujuan yang dilihat berdasarkan dari level intervensinya yaitu:

1. Tujuan metode intervensi mikro yaitu upaya untuk memperbaiki atau


meningkatkan keberfungsian sosial individu agar individu dan keluarga tersebut
dapat berperan dengan baik sesuai dengan tugas sosial dan individual mereka.
Keberfungsian dalam kasus ini, secara sederhana dapat dikatakan sebagai
kemampuan individu untuk menjalankan peran sosialnya sesuai dengan harapan
lingkungannya (Adi, 2013: 164).
2. Tujuan metode intervensi mezzo yaitu upaya untuk memperbaiki kualitas hidup
masyarakat di tingkat yang lebih luas, misalnya di tingkat provinsi, regional,
ataupun nasional (Adi, 2013: 188).
3. Tujuan metode intervensi makro yaitu upaya pemerintah untuk menciptakan
kesetaraan dan keadilan dalam menciptakan kesejahteraan sosial pada
masyarakat (Adi, 2013:272).

30
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari metode intervensi sosial ini adalah
untuk memperbaiki fungsi sosial di lingkungan individu, kelompok serta
masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan sosial

6.3 Bentuk Metode intervensi sosial

Adapun dalam pelaksanaannya dalam dunia pekerja sosial, intervensi dapat


dibagi menjadi tiga level yaitu intervensi mikro, intervensi mezzo, dan intervensi
makro.

1. Intervensi mikro adalah keahlian pekerja sosial untuk mengatasi masalah yang
dihadapi individu dan keluarga. Masalah sosial yang ditangani umumnya
berkenaan dengan problema psikologis, seperti stres dan depresi, hambatan
dengan relasi, penyesuaian diri, kurang percaya diri, keterasingan (kesepian).
Metode utama yang biasa diterapkan oleh pekerja sosial dalam seting ini adalah
terapi perseorangan (casework) yang di dalamnya melibatkan berbagai teknik
penyembuhan atau terapi psikososial seperti terapi berpusat pada klien (client-
centered therapy), terapi perilaku (behavior therapy), dan terapi keluarga
(family therapy) (Suharto, 2007: 4).
2. Intervensi mezzo dalam hal ini keahlian pekerja sosial adalah untuk mengatasi
masalah yang dihadapi komunitas dan organisasi. Model utama yang biasa
diterapkan oleh pekerja sosial dalam pendekatan mezzo ini menurut Popple,
adalah community care (pelayanan komunitas), community organization
(pengorganisasian masyarakat), community development (pengembangan
masyarakat), social/ community planning (perencanaan komunitas dan
perencanaan sosial), community education (pendidikan komunitas), community
action (aksi komunitas) (Adi, 2013: 188).
3. Intervensi makro adalah keahlian pekerja sosial untuk mengatasi masalah yang
dihadapi komunitas, masyarakat, dan lingkungannya (sistem sosialnya), seperti
kemiskinan, ketelantaran, ketidakadilan sosial, dan eksploitasi sosial. Adapun
tiga metode utama dalam pendekatan makro adalah pengembangan masyarakat
(comunity development), manajemen pelayanan kemanusiaan (human service
management), dan analisis kebijakan sosial (social policy analysis) (Suharto,
2007:

31
Jadi kesimpulan dari bentuk intervensi sosial adalah intervensi mikro untuk
mengatasi masalah yang dihadapi individu dan keluarga, intervensi mezzo untuk
mengatasi masalah yang dihadapi komunitas dan organisasi, dan intervensi makro
untuk mengatasi masalah yang dihadapi komunitas, masyarakat, dan lingkungannya.

6.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intervensi Sosial

Saat ini perkembangan penduduk di Indonesia menunjukkan kondisi yang


hampir setara antara jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki dan perempuan hal
tersebut mempengaruhi adanya intervensi pemerintah dalam pendidikan. Berikut ini
adalah beberapa faktor yang mempengaruhi intervensi:

1. Daerah Tempat Tinggal (Perkotaan-Perdesaan)


Upaya Pemerintah dalam menyediakan layanan pendidikan tidak lepas
dari faktor kesenjangan antarwilayah, utamanya wilayah perkotaan dan
perdesaan. Adanya perbedaan layanan antar wilayah terutama wilayah
perdesaan dengan perkotaan dapat menimbulkan kesenjangan partisipasi
masyarakat terhadap pendidikan/bersekolah, di samping karena keterbatasan
jumlah sekolah yang tersedia di pedesaan menyebabkan keterjangkauan jarak
sekolah dari tempat tinggal menjadi lebih jauh, juga karena mayoritas penduduk
miskin berada di daerah perdesaan.
Penduduk perkotaan relatif lebih mudah mengakses pelayanan
pendidikan jika dibandingkan dengan penduduk perdesaan karena jumlah
sekolah lebih banyak. Fasilitas pelayanan pendidikan dasar, menengah pertama,
dan menengah atas di daerah pedesaan terpencil, dan kepulauan masih terbatas,
sehingga menyebabkan sulitnya anak-anak untuk memperoleh layanan
pendidikan setelah lulus SD/MI. Selain itu, fasilitas dan layanan pendidikan
khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum
tersedia secara memadai, terutama di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan.
Minimnya fasilitas pendidikan di daerah pedesaan berpengaruh terhadap
partisipasi anak- anak dalam memperoleh pendidikan, sehingga Pemerintah
perlu segera melakukan percepatan pembangunan fasilitas pendidikan di
pedesaan agar tidak terjadi kesenjangan yang tinggi dengan wilayah perkotaan.
Penelitian Ibrahim, Okumu., Nakajo Alex, dan Isoke ( 2008 ) dan Lasfitri

32
( 2013 ) menyatakan bahwa anak-anak yang tinggal di perkotaan memiliki
peluang bersekolah ( probabilitas ) yang lebih baik ( tidak drop out ) daripada
anak yang tinggal di pedesaan.
2. Tingkat Pendidikan Orang Tua
Partisipasi anak terhadap pendidikan tidak terlepas dari peran dan fungsi
orang tua sebagai komponen keluarga inti yang mana di dalamnya diletakkan
sendi-sendi dasar pendidikan yang mempengaruhi kepribadian anak.
Kepribadian tersebut akan mempengaruhi minat anak untuk bersekolah,
melahirkan prestasi di sekolah, berkepribadian baik, dan sebagainya.
Keluarga inti merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal
yang pertama dan utama dialami oleh anak, serta sebagai lembaga Pendidikan
yang kodrati, yaitu orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat,
melindungi dan mendidik anak agar berkembang dengan baik. Lingkungan
keluarga inti adalah lingkungan pendidikan yang pertama karena dalam
keluarga inilah anak pertamatama mendapatkan bimbingan dan pendidikan.
Dikatakan lingkungan yang utama karena sebagian dari kehidupan anak adalah
dalam keluarga inti, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima adalah
dari keluarga inti yaitu ayah dan ibu. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat
Pendidikan seseorang akan cenderung bertambah ilmu pengetahuan yang
dimiliknya. Orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda
akan berpengaruh terhadap cara membimbing belajar anaknya, karena salah satu
usaha untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui bidang pendidikan, yaitu
pendidikan formal.
Tingkat pendidikan formal yang diperoleh orang tua akan menentukan
banyak tidaknya pengetahuan yang dimilikinya, dan akan berpengaruh terhadap
perkembangan potensi yang sangat diperlukan untuk memberikan bimbingan
pendidikan kepada anak-anaknya. Lasfitri (2013), Boit dan Emily (2013),
Andrew dan Orodho (2014), Megan (2002), Kainuwa dan Najeemah (2013),
Ibrahim dkk. (2008), Mustamin (2013), dan Puslitjak (2012) menyatakan bahwa
tingkat Pendidikan orang tua terutama ibu dapat mempengaruhi probabilitas
anak untuk bersekolah, karena ibu sebagai komponen keluarga inti yang
langsung membina keluarganya dapat mempengaruhi pola pikir anak untuk
maju serta dapat mendorong anak-anaknya untuk memperoleh Pendidikan yang
setara atau bahkan lebih tinggi daripada orang tuanya, agar bias meningkatkan
33
derajat keluarga dimata masyarakat dan memberikan kehidupan yang baik
kedepannya.
3. Jarak ke Sekolah
Jarak tempuh ke sekolah secara langsung berpengaruh terdapat biaya
yang harus di keluarkan orang tua dalam hal pendidikan, selain itu fisik anak
untuk melakukan aktivitas setiap hari ke sekolah yang cukup jauh juga menjadi
pertimbangan untuk melanjutkan sekolah. Oleh sebab itu, faktor jarak menjadi
salah satu latar belakang untuk mengambil keputusan menyekolahkan anaknya
hingga jenjang berikutnya. Ibrahim, Nakajo, dan Doreen (2008) menyatakan
bahwa semakin jauh jarak maka semakin besar siswa mengalami putus sekolah
(drop out) dan Puslitjak (2012) menyatakan bahwa jarak ke sekolah bermutu
yang dekat akan merangsang siswa untuk mau bersekolah, sehingga akses
mereka terhadap pendidikan lebih baik daripada jarak ke sekolah yang jauh.
Dengan demikian, dapat disimpulkan semakin jauh jarak ke sekolah maka
probabilitas anak untuk bersekolah akan semakin kecil.
4. Kondisi Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi setiap orang itu berbeda-beda dan bertingkat,
ada yang keadaan sosial ekonominya tinggi, sedang, dan rendah. Kedudukan
atau posisi sesorang dalam kelompok manusia ditentukan oleh jenis aktivitas
ekonomi, pendapatan, tingkat pendidikan, usia, jenis rumah tinggal, dan
kekayaan yang dimiliki. Kondisi sosial ekonomi adalah suatu kedudukan yang
diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam
masyarakat, pemberian posisi itu disertai pula dengan seperangkat hak dan
kewajiban yang harus dimainkan oleh sipembawa status. Pemberian posisi
disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dimainkan oleh
si pembawa status. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ditandai adanya saling
kenal mengenal antar satu dengan yang lain, paguyuban, sifat kegotong-
royongan dan kekeluargaan.
W.S Winke (Salim, 2002: 100), menyatakan bahwa pengertian status
sosial ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang menunjukan pada
finansial keluarga dan perlengkapan material yang dimilki, dimana keadaan ini
bertaraf baik, cukup, dan kurang. Tinjauan sosial ekonomi penduduk meliputi
aspek sosial, aspek sosial budaya, dan aspek Desa yang berkaitan dengan
kelembagaan dan aspek peluang kerja. Aspek ekonomi Desa dan peluang kerja
34
berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat Desa. Kecukupan
pangan dan keperluan ekonomi bagi masyarakat baru terjangkau bila
pendapatan rumah tangga mereka cukup untuk menutupi keperluan rumah
tangga dan pengembangan usaha-usahanya.
Menurut pendapat Sajogyo (2001) dalam hubungan dengan pola
berusaha tani, perbedaan status seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh
pola penguasaan lahan, modal, teknologi, dan luasnya lahan pemiliknya.
Menurut Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (2002: 21) keadaan sosial
ekonomi adalah suatu kedudukan yang secara rasional dan menetapkan
seseorang pada posisi tertentu dalam masyarakat, pemberian posisi itu disertai
pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dimainkan oleh si
pembawa status. Aspek sosial ekonomi Desa dan peluang kerja berkaitan erat
dengan masalah kesejahteraan masyarakat Desa. Kecukupan pangan dan
keperluan ekonomi bagi masyarakat baru terjangkau bila pendapatan rumah
tangga cukup untuk menutupi keperluan rumah tangga dan pengembangan
usaha-usahanya (Mubyanto: 2001).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa kondisi
sosial ekonomi adalah posisi individu dan kelompok yang berkenaan dengan
ukuran ratarata yang berlaku umum tentang pendidikan, pemilikan barang-
barang, dan patisipasi dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya, sedangkan
kondisi sosial ekonomi kaitanya dengan status sosial ekonomi itu sendiri
dengan kebiasaan hidup sehari-hari individu atau kelompok dalam sebuah
masyarakat yang mempengaruhi pola kehidupan. Kehidupan sosial ekonomi
masyarakat sangat mempengaruhi bagaimana bisa memperoleh Pendidikan
yang baik dan bisa merubah kehidupan di masyarakat, sehingga pemerintah
sangat berpengaruh dalam sumbangsinya terhadap pendidikan.
5. Kondisi Sosial Masyarakat
Kamus Bahasa Indonesia kondisi diartikan sebagai suatu keadaan atau
situasi. Sedangkan kondisi sosial masyarakat diartikan sebagai keadaan
masyarakat suatu Negara pada saat tertentu (Kamus Umum Bahasa Indonesia,
2000: 502), Jadi kondisi sosial adalah suatu keadaan yang berkaitan dengan
keadaan atau situasi dalam masyarakat tertentu yang berhubungan dengan
keadaan sosial.

35
Menurut Dalyono (2005: 133), “ Kondisi sosial adalah semua orang atau
manusia lain yang mempengaruhi kita ”. Hal ini berarti bahwa lingkungan
sosial juga mempengaruhi pencapaian pendidikan anak. Kondisi sosial
masyarakat mempengaruhi proses dan hasil pendidikan (Ihsan, 2003: 10).
Kondisi sosial yang mempengaruhi individu dijelaskan Dalyono (2005: 133)
melalui dua cara yaitu langsung dan tidak langsung. Secara langsung yaitu
seperti dalam pergaulan sehari-hari baik dari keluarga, teman dan pekerjaan.
Secara tidak langsung melalui media masa baik cetak, audio maupun audio
visual. Selanjutnya juga dijelaskan lingkungan sosial yang sangat berpengaruh
pada proses dan hasil pendidikan adalah teman bergaul, lingkungan tetangga
dan aktivitas dalam masyarakat (Dalyono, 2005: 246).
Menurut Ihsan (2003: 10), “ Kondisi masyarakat di mana memiliki latar
belakang pendidikan yang cukup, terdapat lembaga-lembaga pendidikan dan
sumber belajar didalamnya akan memberikan pengaruh positif terhadap
semangat dan perkembangan belajar generasi muda ”. Dalam hal ini di mana
kondisi sosial ini berpengaruh secara negatif terhadap pendidikan, maka kondisi
ini menjadi pembatas pendidikan. Orang tua sebagai pendidik secara kodrati
harus mampu mengantisipasi pengaruh yang ada karena tidak semua pengaruh
kondisi sosial merupakan pengaruh yang baik.
Kondisi sosial masyarakat mempunyai lima indikator yaitu: umur dan
kelamin, pekerjaan, prestise, famili atau kelompok rumah tangga, dan
keanggotaan dalam kelompok perserikatan. Dari kelima indicator tersebut,
hanya indikator umur dan kelamin yang tidak terpengaruh oleh proses
pendidikan, sehingga tinggal empat indikator yang perlu diukur tingkat
perbaikannya, guna mengetahui tingginya manfaat sosial bagi masyarakat.
Orang tua juga harus mengusahakan agar lingkungan sosial di sekitar dapat
dijadikan sebagai pendukung tercapainya pendidikan yang maksimal. Keluarga
merupakan faktor utama dalam menentukan tingkat ketercapaian pendidikan
anak-anaknya. Namun pendidikan keluarga tidak semata-mata tergantung pada
keluarga itu sendiri, oleh karena itu suatu keluarga tertentu hidup berdampingan
dengan keluarga-keluarga lain. Pengaruh keluarga lainya tidaklah boleh
dikesampingkan, demikian halnya dengan unsur-unsur lainya dalam
masyarakat, yang kesemuanya disebut sebagai kondisi sosial (Soekanto, 2002:
40).
36
6.5 Permasalahan Intervensi Perumahan dan Pemukiman Di Indonesia

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi


permasalahan besar dalam perkembangan kota-kotanya. Fenomena urbanisasi yang
terjadi di kota-kota besar mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang kota,
seperti fasilitas perumahan, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Ruang dilihat
sebagai wadah dimana keseluruhan interaksi sistem sosial (yang meliputi manusia
dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya
alam dan sumberdaya buatan) berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara
keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia
serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan
hidupnya secara optimal.

Kekurangsiapan kota dengan sistem perencanaan dan pengelolaan kota yang


tepat, dalam mengantisipasi pertambahan penduduk dengan berbagai motif dan
keragaman, nampaknya menjadi penyebab utama yang memicu timbulnya
permasalahan perumahan dan permukiman. Secara sederhana permasalahan perumahan
dan permukiman ini adalah tidak sesuainya jumlah hunian yang tersedia jika
dibandingkan dengan kebutuhan dan jumlah masyarakat yang akan menempatinya.
Pokok-pokok permasalahan dalam perumahan dan pemukiman ini sebenarnya adalah:

1. Kependudukan
Penduduk Indonesia yang selalu berkembang, merupakan faktor utama
yang menyebabkan permasalahan perumahan dan permukiman ini selalu
menjadi sorotan utama pihak pemerintah. Pesatnya angka pertambahan
penduduk yang tidak sebanding dengan penyediaan sarana perumahan
menyebabkan permasalahan ini semakin pelik dan serius. Permasalahan
kependudukan dewasa ini tidak hanya menjadi isu pada kota-kota dipulau jawa,
tetapi kota-kota dipulau lainpun sudah mulai memperlihatkan gejala yang
hampir serupa. Meningkatnya arus urbanisasi serta semakin lebarnya jurang
pemisah antara kota dan desa merupakan salah satu pemicu permasalahan
kependudukan ini.
2. Tataruang dan Pengembangan wilayah
Daerah perkotaan dan pedesaan merupakan satu kesatuan wilayah yang
seharusnya menjadi perhatian khusus pihak yang berkepentingan dalam hal

37
pembangunan ini, khususnya pembangunan perumahan dan permukiman.
Seharusnya hal ini menjadi panduan untuk melaksanakan pemerataan dalam
pembangunan antar keduanya. Tetapi yang kita temui dilapangan sekarang
adalah semakin pesatnya pembangunan yang dilakukan pada kota, sehingga
daerah pedesaan semakin tertinggal. Pesatnya pembangunan perumahan
diperkotaan banyak yang tidak sesuai dengan rencana umum tataruang kota,
inilah yang menyebabkan keadaan perkotaan semakin hari semakin tidak jelas
arah pengembangannya.
3. Pertanahan dan Prasarana
Pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar akan
selalu dihadapkan kepada masalah tanah, yang didaerah perkotaan menjadi
semakin langka dan semakin mahal. Tidak sedikit yang kita jumpai areal
pertanian yang disulap menjadi kawasan permukiman, hal ini terjadi karena
ketersediaan tanah yang sangat terbatas sedangkan permintaan akan sarana
hunian selalu meningkat setiap saatnya. Selain itu, penyediaan perumahan dan
pemukiman juga harus diikuti dengan penyediaan prasarana dasar seperti
penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan
kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya
kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah yang memadai.
4. Pembiayaan
Permasalahan biaya merupakan salah satu point penting dalam
pemecahan permasalahan perumahan dan permukiman ini. Secara mikro, hal ini
disebabkan oleh kemampuan ekonomis masyarakat untuk menjangkau harga
rumah yang layak bagi mereka masih sangat susah sekali, karena sebagian besar
masyarakat merupakan masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah
kebawah (jumlah penduduk miskin di Kabupaten Grobogan adalah %),
sedangkan secara makro hal ini juga tidak terlepas dari kemampuan ekonomi
nasional untuk mendukung pemecahan masalah perumahan secara menyeluruh.
5. Peran Masyarakat
Berdasarkan kepada kebijaksanaan dasar negara kita yang menyatakan
bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas perumahan yang layak, tetapi
juga mempunyai peran serta dalam pengadaannya. Menurut kebijaksanaan ini
dapat kita simpulkan bahwa pemenuhan pembangunan perumahan adalah
tanggung jawab masyarakat sendiri, baik itu secara perorangan maupun secara
38
bersama- sama, pada point ini peran pemerintah hanyalah sebagai pengatur,
pembina dan membantu serta menciptakan iklim yang baik agar masyarakat
dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan perumahan mereka. Masyarakat
bukanlah semata-mata objek pembangunan, tetapi merupakan subjek yang
berperan aktif dalam pembangunan perumahan dan pemukiman.

6.4 Upaya Perbaikan Intervensi Kesehatan Lingkungan Pemukiman

1) Perbaikan lingkungan permukiman. Disini kekuatan pemerintah/publik


investment sangat dominan, atau sebagai faktor tunggal pembangunan kota.
2) Pembangunan rumah susun sebagai pemecahan lingkungan kumuh.
3) Peremajaan yang bersifat progresif oleh kekuatan sektor swasta seperti
munculnya super blok (merupakan fenomena yang menimbulkan banyak kritik
dalam aspek sosial yaitu penggusuran, kurang adanya integrase jaringan dan
aktifitas trafi yang sering menciptakan problem diluar (super blok). Faktor
tunggalnya adalah pihak swasta besar.
Pemerintah juga telah membentuk institusi yaitu Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas). Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas diuraikan sesuai dengan
Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata
kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut tercermin dalam struktur
organisasi, proses pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional, serta komposisi
sumber daya manusia dan latar belakang pendidikannya. Dalam melaksanakan
tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf Ahli dan Inspektorat
Utama, serta 7 deputi yang masing-masing membidangi bidang- bidang tertentu.

Yang di usahakan adalah perkembangan ekonomi makro, pembangunan ekonomi,


pembangunan prasarana, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan regional
dan sumber daya alam, pembangunan hukum, penerangan, politik, hankam dan
administrasi negara, kerja sama luar negeri, pembiayaan dalam bidang pembangunan,
pusat data dan informasi perencanaan pembangunan, pusat pembinaan pendidikan dan
pelatihan perencanaan pembangunan (pusbindiklatren), program pembangunan
nasional(propenas), badan koordinasi tata ruang nasional, landasan/acuan/dokumen
pembangunan nasional, hubungan eksternal.

39
Warga kumuh kerap digusur, tanpa adanya solusi bagi mereka selanjutnya.
Seharusnya, pemerintah bisa mengakomodasi hal ini dengan melakukan relokasi ke
kawasan khusus. Dengan penyediaan lahan khusus tersebut, pemerintah bisa
membangun suatu kawasan tempat tinggal terpadu berbentuk vertikal (rumah susun)
yang ramah lingkungan untuk disewakan kepada mereka. Namun, pembangunan rusun
tersebut juga harus dilengkapi sarana pendukung lainnya, seperti sekolah, tempat
ibadah, dan pasar yang bisa diakses hanya dengan berjalan kaki, tanpa harus
menggunakan kendaraan.

Bangunan harus berbentuk vertikal (rusun) agar tidak menghabiskan banyak lahan.
Sisanya, harus disediakan pula lahan untuk ruang terbuka hijau, sehingga masyarakat
tetap menikmati lingkungan yang sehat. Dalam hal ini masyarakat harus turut serta
untuk menanam dan memelihara lingkungan hijau tersebut. Pemerintah dapat
menerapkan program rekayasa sosial, di mana tidak hanya menyediakan pembangunan
secara fisik, tetapi juga penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sehingga
mereka dapat belajar survive.

Masyarakat harus ikut dilibatkan dalam mengatasi permukiman kumuh di


perkotaan. Karena orang yang tinggal di kawasan kumuhlah yang tahu benar apa yang
menjadi masalah, termasuk solusinya. Jika masyarakat dilibatkan, persoalan mengenai
permukiman kumuh bisa segera diselesaikan. Melalui kontribusi masukan dari
masyarakat maka akan diketahui secara persis instrumen dan kebijakan yang paling
tepat dan dibutuhkan dalam mengatasi permukiman kumuh.

Dalam mengatasi permukiman kumuh tetap harus ada intervensi dari negara,
terutama untuk menilai program yang disampaikan masyarakat sudah sesuai sasaran
atau harus ada perbaikan. Kerja sama Pemerintah dan Swara (KPS) dalam membenahi
kawasan kumuh, terutama dalam hal penyediaan infrastruktur pendukung dibutuhkan.
Permukiman kumuh tidak dapat diatasi dengan pembangunan fisik semata-mata tetapi
yang lebih penting mengubah prilaku dan budaya dari masyarakat di kawasan kumuh.

40
Bab 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Intervensi kesehatan lingkungan adalah tindakan penyehatan, pengamanan, dan
pengendalian untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia,
biologi, maupun sosial, yang dapat berupa komunikasi informasi dan edukasi serta
penggerakkan/pemberdayaan masyarakat, perbaikan dan pembangunan sarana,
pengembangan teknologi tepat guna dan rekayasa lingkungan. Dalam pelaksanaannya
intervensi kesehatan lingkungan harus mempertimbangkan tingkat risiko berdasarkan hasil
inspeksi kesehatan lingkungan. Pada prinsipnya pelaksanaan intervensi kesehatan lingkungan

41
dilakukan oleh pasien sendiri. Dalam hal cakupan intervensi kesehatan lingkungan menjadi
luas, maka pelaksanaannya dilakukan bersama pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat/swasta

42
DAFTAR PUSTAKA

Dollaris Riauaty Suhadi dan Anissa S Febrina. PEDOMAN PENYUSUNAN


INVENTARISASI EMISI PENCEMAR UDARA DI PERKOTAAN ASDEP
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA SUMBER BERGERAK DEPUTI
BIDANG PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN
LINGKUNGAN HIDUP

Yulikarmen, dkk. 2015. Petunjuk Teknis Kesiap siagaan Kedaruratan Berbasis Masyarakat
Bidang Kesehatan Lingkungan, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Lingkungan Indonesia

Sari, Mila dkk. 2020. Buku : Kesehatan Lingkungan Perumahan. Bukittinggi : Yayasan Kita
Menulis.

Indonesia. 2023. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Lingkungan. Jakarta.
Indonesia. 2019. Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan.

Budiman Chandra.2007. Pengantar Kesehatan Lingkugan. Jakarta:EGC.

Depkes RI — Ditjen PPM dan PL (2002) Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat.
Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentangPersyaratan Kesehatan
Perumahan.

Chyntiawati, deby. 2009. Masalah Sosial Permukiman Kumuh. (Online),


(http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/pemukiman-kumuh ).

Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai


Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ibrahim, O., Nakajo A., & Doreen, I. 2008. Socioeconomic Determinants of Primary School
dropout: The Logistic Model Analysis.Uganda: Journal of Economic Policy Research
Centre. Research Series, (54), hlm. 1-28.

Ihsan, Fuad. (2011). Dasar-dasar Kependidikan Komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta

43
Andrew & Orodho. 2014. Socio-Economic Factors Influencing Pupils’ Access to Education
in Informal Settlements: a Case of Kibera, Nairobi Country, Kenya. International
Journal of Education and Research, 2(3), hlm. 1-16.

Dalyono. (2005). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipt

Lasfitri. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Sekolah di Propinsi Jambi.


Tesis. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia,Depok.

Sajogyo. 2005. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta. Gadjah Mada Press

44
45

Anda mungkin juga menyukai