Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PENGENDALIAN VEKTOR

“Pengendalian Larva Nyamuk Secara Kimia”

OLEH:

Perempdita Wahyu Kusumaningrum (31160001)

Reksi Njurumay (31160024)

Danilia Eben Heazer (31160033)

Ranti Meylani Simorangkir (31160053)

Boris Marselius S Laoli (31160072)

FAKULTAS BIOTEKNOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit dapat menyerang manusia kapan saja. Salah satu penyebab timbulnya penyakit
adalah karena peranan vektor. Nyamuk merupakan salah satu vektor penyakit yang
menimbulkan banyak keresahan di masyarakat. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
nyamuk adalah penyakit DBD atau demam berdarah dengue dan juga penyakit malaria.
Penyakit DBD menjadi langganan penyakit dengan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa
daerah setiap tahun karena jumlahnya yang semakin meningkat.
Merebaknya penyakit oleh vektor seperti DBD dan malaria ini disebabkan karena
kurangnya perhatian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan hidup contohnya seperti
masih membiarkan banyak kaleng-kaleng bekas yang terisi oleh air dan pada akhirnya
menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk. Untuk mengurangi adanya penyakit yang
disebabkan oleh vektor nyamuk ini perlu adanya pengendalian vektor nyamuk sendiri.
Pengendalian dapat dilakukan secara biologi dan juga kimia. Pengendalian biologi
menggunakan biolarvasida sedangkan pengendalian dengan cara kimia adalah dengan
menggunakan obat-obat yang telah disediakan pemerintah seperti abate.
Pada praktikum kali ini dilakukan pengendalian vektor nyamuk secara kimia yaitu
dengan menggunakan obat abate yang berasal dari dua jenis obat yaitu abate yang berasal
dari puskesmas dan juga abate yang berasal dari apotek. Selain itu, digunakan konsentrasi
yang berbeda-beda. Tujuan dari menggunakan obat abate puskesmas dan juga apotek serta
menggunakan konsentrasi yang berbeda-beda adalah untuk mengetahui efektivitas dari obat
abate yang digunakan.

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui perbedaan obat abate antara abate apotek dan abate puskesmas
1.2.2 Untuk mengetahui obat mana dan dengan konsentrasi berapa yang paling efektif
membunuh nyamuk
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Larva nyamuk

Larva nyamuk Culex sp. memiliki IV fase instar. Larva instar pertama keluar dari telur
melalui circular slit pada dinding telur. Setelah berganti kulit 3x larva akan masuk pada fase
instar IV. Pada fase instar IV, larva memiliki 3 bagian tubuh yang terdiri dari kepala, thorax, dan
abdomen. Bagian kepala larva instar IV mengandung lapisan chitine yang lebih tebal daripada
bagian tubuh yang lain, kompleks dorso ventral dengan satu pasang antena berbentuk seperti
pasak, 1 pasang mata, 1 pasang mouth brush untuk menyapu makanan masuk ke mandibula
(chewing mouth part). Thorax terdiri dari 3 segmen (prothorax, mesothorax, dan metathorax)
yang menyatu, pada bagian lateral terdapat kelompok rambut yang bercabang. Abdomen terdiri
dari 9 segmen, dengan 7 segmen pertama sama besar. Larva Culex sp. memiliki siphon
pernapasan yang panjang dan langsing sehingga larva memposisikan diri membentuk sudut
dengan permukaan air. Siphon larva Culex sp. memiliki beberapa pasang ventral hair tuft dan
dua baris pectin teeth. Pada segmen abdomen ke-8 terdapat 1 pasang spiraclepada ujungnya yang
berfungsi sebagai lubang pernapasan yang berhubungan dengan trakea. Salah satu ciri dari larva
nyamuk Culex adalah memiliki siphon. Siphon dengan beberapa kumpulan rambut membentuk
sudut dengan permukaan air. Nyamuk Culex mempunyai 4 tingkatan atau instar sesuai dengan
pertumbuhan larva tersebut, yaitu :

1. Larva instar I, berukuran paling kecil yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah menetas. Duri-duri
(spinae) pada dada belum jelas dan corong pernafasan pada siphon belum jelas.
2. Larva instar II, berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas. Duri-duri belum
jelas, corong kepala mulai menghitam.
3. Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm atau 3 – 4 hari setelah telur menetas. Duri-duri dada
mulai jelas dan corong pernafasan berwarna coklat kehitaman.
4. Larva IV, berukuran paling besar yaitu 5 – 6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur menetas, dengan
warna kepala (Astuti, 2011).
2.2 Termefos

Temefos dikenal dengan nama dagang abate dan merupakan satu-satunya larvasida yang
penggunaannya biasa disebut dengan abatisasi. Temefos mempunyai rumus molekul
C16H20O6P2S3 (Marisa, 2007). Salah satu cara untuk mengendalikan penyakit tersebut adalah
dengan mengendalikan vektornya yaitu dengan memutuskan siklus kehidupan nyamuk
menggunakan larvasida dan insektisida. Saat ini larvasida yang paling banyak digunakan untuk
mengendalikan larva adalah temephos 1% (Abate) (Monika Noshirma, 2016). Temefos
merupakan larvasida yang saat ini paling sering digunakan. Temefos tersedia dalam bentuk
granul, serbuk dan emulsi. Temefos bekerja dengan cara menghambat enzim kolinestrase pada
larva sehingga asetilkolin pada saraf larva tidak terurai dan akhirnya menimbulkan gangguan
pada sistem saraf larva. Temefos untuk merusak morfologi yang 16 menyebabkan terganggunya
pertumbuhan dari telur A. aegypti menjadi larva (Yulidar, 2014).

2.3 Toksikologi Insektisida

Interaksi kimiawi toksik dengan sistem biologi berhubungan dengan konsentrasi.


Konsentrasi bahan kimia yang digunakan secara eksternal yang dapat membunuh 50% hewan
dinamakan LC50 (lethal concentration). Nilai ini digunakan ketika dosis yang pasti pada
serangga tidak dapat ditentukan. Istilah LT50 (lethal time) merepresentasikan waktu yang
dibutuhkan sehingga menyebabkan kematian 50% hewan percobaan pada dosis atau konsentrasi
tertentu (Perry et al, 1998). Metode ini digunakan ketika jumlah hewan percobaan terbatas dan
sering digunakan pada pengujian lapangan dimana sulit mengumpulkan jumlah serangga yang
cukup untuk suatu pengujian (Marisa, 2007).
BAB III

METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan

3.1.1. Alat
1. Gelas beker
2. Pengaduk
3. Petri
4. Pipet tetes
3.1.2. Bahan
1. Abate apotik
2. Abate puskesmas
3. Jentik nyamuk berumur instar II dan III
4. Air 500 ml
3.2. Cara Kerja
Siapkan alat dan bahan

Dihitung bubuk abate dan puskesmas hingga mendapatkan konsentrasi 100 ppm, 200
ppm, 300 ppm
Dengan perhitungan :
1. 100 ppm = 0.1 / 1000 ml x 500 ml = 0.05 g
2. 200 ppm = 0.2 / 1000 ml x 500 ml = 0.10 g
3. 300 ppm = 0.3 / 1000 ml x 500 ml = 0.15 g


Ditimbang abate sebanyak 0.05 g, 0.10 g, 0.15 g dan di masukkkan kedalam gelas beker

Kemudian dicampurkan pada 500 ml air dan diaduk sampai bubuk abate dan puskesmas
terlarut dalam air.

Disiapkan 20 larva instar II dan instar III, selanjutnya dimasukan jentik nyamuk kedalam
Gelas beker.

Diamati berapa jumlah jentik yang mati pada menit ke – 10, 20, 30, 40, 50, 60

Dihitung total mortalitas dan % mortalitas jentik nyamuk instar II dan III
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Data Pengamatan total mortalitas jentik menggunakan abate dan puskesmas
kelas B.
Jenis abate Konsen Jumlah jentik yang mati (menit) Total % Mortalitas
trasi Jumlah 10 20 30 40 50 60 Mortalitas
awal
jentik
Apotek 100 20 0 2 7 11 15 17 17 17
𝑥100 = 85%
20
ppm
Puskesmas 20 0 0 0 5 8 14 14 14
𝑥100 = 70%
20

Apotek 200 20 1 1 8 18 18 18 18 18
𝑥100 = 90%
20
ppm
Puskesmas 20 1 1 1 5 6 17 17 17
𝑥100 = 85%
20

Apotek 300 20 0 0 1 5 9 12 12 12
𝑥100 = 60%
20
ppm
Puskesmas 20 0 2 13 17 19 20 20 20
𝑥100 = 100%
20

Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
𝑥100 = 0%
20

4.1.2. Grafik Pengaruh Pemberian Abate Apotek Dengan Berbagai Konsentrasi Terhadap
Mortalitas Jentik Nyamuk

Abate Apotik
90
80
70
Axis Title

60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60
300 ppm 0 0 0 1 5 9 12
200 ppm 0 0 1 1 8 18 18 18
100 ppm 0 0 2 7 11 15 17
4.1.3. Grafik Pengaruh Pemberian Abate Puskesmas Dengan Berbagai Konsentrasi
Terhadap Mortalitas Jentik Nyamuk

Abate Puskesmas
90
80
70
% mortalitas

60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60
100 ppm 0 0 0 0 5 8 14
200 ppm 0 1 1 1 5 6 17
300 ppm 0 0 2 13 17 19 20

4.1.4.Grafik LC 50 Abate Puskesmas Dengan Berbagai Konsentrasi Terhadap Mortalitas


Jentik Nyamuk.

Abate Apotik
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
10 20 30 40 50 60
100 ppm 0 10 35 55 75 85
200 ppm 5 5 40 90 90 90
300 ppm 0 0 5 25 45 60

100 ppm 200 ppm 300 ppm


4.1.5.Grafik LC 50 Abate Apotek Dengan Berbagai Konsentrasi Terhadap Mortalitas
Jentik Nyamuk.

Abate Puskesmas
120

100

80

60

40

20

0
10 20 30 40 50 60
100 ppm 0 0 0 25 40 70
200 ppm 5 5 5 25 30 85
300 ppm 0 10 65 85 95 100

100 ppm 200 ppm 300 ppm

4.2. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, telah dilakukan pengujian terhadap kematian larva
nyamuk dengan menggunakan larvasida yang terdiri dari Abate apotek (AA), Abate puskesmas
(AP) dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Abate puskesmas merupakan jenis abate yang
digunakan untuk penanganan jentik nyamuk pada puskesmas atau lebih ditujukan pada rumah
sakit, sedangkan abate apotek merupakan jenis abate yang dijual bebas di apotek atau toko.
Abate tersedia dalam bentuk granul, serbuk dan emulsi. Temefos bekerja dengan cara
menghambat enzim kolinestrase pada larva sehingga asetilkolin pada saraf larva tidak terurai dan
akhirnya menimbulkan gangguan pada sistem saraf larva.
Penggunaan abate dilakukan dengan menguji banyaknya kematian larva nyamuk dengan
berbagai perlakuan serbuk abate apotek dan puskesmas yang dilarutkan dalam air dengan
konsentrasi berbeda-beda yaitu 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, serta digunakan kontrol.
Pengamatan dilakukan selama 1 jam, dimana setiap 10 menit dihitung jumlah kematian.
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penggunaan abate apotik, jumlah kematian pada
konsentasi 100 ppm 85 %, 200 ppm 90 %, dan 300 ppm 60 %. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa konsentrasi 200 ppm dan 100 ppm merupakan paling tinggi untuk mortalitas larva
nyamuk. Sedangkan untuk penggunaan abate puskesmas konsentrasi 100 ppm 70 %, 200 ppm 85
% dan 300 ppm 100%. Hasil grafik menunjukkan semakin tinggi konsentrasi semakin efektif
membunuh larva nyamuk. Menurut Nugroho (2011), perbedaan ini disebabkan oleh beberapa
faktor seperti umur larva, suhu dan pH air. Akan tetapi faktor yang paling krusial adalah umur
larva nyamuk. Larva nyamuk yang digunakan dalam praktikum kali ini penentuan instarnya
hanya secara prediksi. Stadium larva sangat mempengaruhi reaksi terhadap zat toksik, sehingga
pengujian terhadap kematian larva disarankan menggunaan larva instar III dan IV, dimana pada
stadium ini, larva nyamuk sudah memiliki morfologi yang sempurna seperti pertumbuhan rambut
yang sudah lebat di seluruh badan, sifon (tabung udara) berwana kehitaman dan pergerakan yang
lincah.
Berdasarkan kegiatan praktikum yang dilakukan juga perbedaan tingkat kematian larva
nyamuk pada kedua percobaan tersebut dipengaruhi oleh belum larutnya bubuk abate secara
keseluruhan dalam air sehingga matinya larva terhambat. Menurut penelitian Nugroho (2011),
konsentrasi abate 10mg/100ml atau 100 ppm, efektif mematikan larva nyamuk sebannyak 50
ekor selama 60 menit. Dosis ini berdasarkan pada standar konsentrasi pada kemasan abate yaitu
10 gram serbuk untuk 100 liter air. Menurut penelitian Setiawan (2014) terhadap kematian larva
nyamuk di Desa Panggungharjo dan Bangunharjo Kabupaten Bantul, penggunaan abate apotik
dan puskesmas mempunyai daya bunuh (efektivitas) yang sama dalam jangka waktu 24 jam.
Akan tetapi, penggunaan dalam dosis yang besar, dapat bersifat racun pada manusia dan
menimbulkan bau tak sedap pada air.
Pada praktikum ini juga LC50 atau Lethal time (LT) yang merupakan lama waktu yang
dibutuhkan untuk membunuh nyamuk pada persentase tertentu. Berdasarkan data yang
dihasilkan bahwa dalam membunuh jentik nyamuk dalam praktikum ini. Lethal time pada abate
apotik yang untuk mempresentasikan waktu, abate tersebut pada menit 40 menyebabkan
kematian pada 50 % sedangkan pada apotek puskesmas menyebabkan kematian pada 50 % pada
menit ke- 30 cukup cepat daripada abate apotek. Hal ini kemungkinan terjadi karena abate
puskesmas komposisi dari bahan aktifnya tidak diketahui jadi diasumsikan lebih banyak daripada
obat apotek, jadi kematiannya lebih tinggi. Dari hasil prakatikum ini penggunaan bubuk abate
yang paling afektif merupakan bubuk abate dari puskesmas tetapi komposisi belum diketahui
secara detail.
BAB V

KESIMPULAN

Pada praktikum kali ini dilakukan pengendalian vektor nyamuk menggunakan obat abate
yang berasal dari apotek dan juga dari puskesmas. Obat abate yang berasal dari apotek memiliki
komposisi bahan aktif yang sudah ditentukan sedangkan obat abate puskesmas komposisi bahan
aktifnya tidak ditentukan sehingga memiliki perbedaan yang cukup signifikan apabila obat abate
puskesmas dapat membunuh lebih banyak nyamuk diasumsikan bahwa komposisi bahan aktif
yang ada lebih banyak dari bahan aktif pada abate apotek. Kemudian untuk obat yang paling
efektif dalam membunuh vektor nyamuk yaitu obat abate puskesmas dengan konsentrasi sebesar
300ppm. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah kematian nyamuk yang mencapai nilai 100% dalam
waktu 60 menit.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, M.A.W. 2011. Daya Bunuh Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolia speciosa (Blume)
Horan) Terhadap Larva Nyamuk Culex quenquefasciatus. Skripsi Fakultas Teknobiologi
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Monika Noshirma, Ruben Wadu Willa. 2016. Larvasida Hayati Yang Digunakan Dalam Upaya
Pengendalian Vektor Penyakit Demam Berdarah Di Indonesia. Loka Litbang P2B2
Waikabubak,

Marisa. 2007. Toleransi Larva dan Nyamuk Dewasa Aedes aegypti Terhadap Temefos dan
Malation di Wilayah Endemik Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur. Institut Pertanian
Bogor.

Perry, AS., L. Yamamoto., I. Ishaya, I. R.Y, Perry. 1998. Insecticide in Agriculture and
Environment. Springer, Berlin.

Yulidar. 2014. Pengaruh Pemaparan Berbagai Konsentrasi Temefos pada Larva Instar 3 (L3)
terhadap Morfologi Telur Aedes aegypti. Jurnal Vektor Penyakit. 8(2):41-44.

Anda mungkin juga menyukai