Anda di halaman 1dari 23

TUGAS PAPER

REKAYASA DAN PENGELOLAAN LIGKUNGAN AGROINDUSTRI

“Pengaruh Jenis Limbah Pertanian dan Konsentrasi EM4 terhadap


Kandungan Unsur Hara Pupuk Organik Cair”

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. rer. nat. Ir. Anwar Kasim

Oleh:

Siska Kostantia 2321112001


Silfi Indrian 2011131017
Filezia Chintana Sipado 2011132019

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2023
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Usaha budidaya pertanian umumnya selalu ada hasil sampingan berupa
limbah, dimana limbah ini sering menimbulkan masalah, seperti sayuran kubis
dan sawi putih berupa daun-daun tua selain krop pada saat panen sering dibuang
begitu saja bahkan sampai membusuk yang tentunya dapat mengganggu
kenyamanan lingkunganberupa bau yang tidak sedap. Hasil penelitian Puspita
(2020) limbah yang bersumber dari sayuran ini memiliki kandungan Nitrogen
mencapai 0,84%, begitu juga limbah jerami padi sehabis panen sering dibakar
dengan tujuan untuk memudahkan dalam pengolahan tanah, padahal limbah ini
memiliki kandungan hara yang cukup baik seperti kadar C-organik 30-40%, N
1,5%, P2O5 0,3 – 0,5%, K2O 2 – 4%, dan Si 3 – 5% (Karyaningsih, 2012), begitu
pula limbah gamal mengandung unsur N yang cukup tinggi yaitu 3-6 %, 0,31% P,
0,77% K, 15-30% serat kasar dan sekitar 10 % kadar abu K (Sado, 2016).
Limbah ternak, seperti kotoran babi selama ini kurang mendapat
penanganan dengan baik, padahal cukup potensi untuk dikembangkan menjadi
pupuk organik, seperti hasil penelitian Widyasari et al. (2018) limbah ini dicampur
dengan limbah sayuran medapatkan kandungan N-total 1,65%, P-tersedia 8.043
ppm dan K-tersedia 8.857,40 ppm. Semua jenis limbah ini potensi dikembangkan
menjadi pupuk organik cair. Pemanfaatan limbah pertanian dengan mengolah
menjadi pupuk organik merupakan suatu upaya dalam meningkatkan efisiensi
usaha tani, menghasilkan produk pertanian yang aman, berkualitas dan ramah
lingkungan. Pupuk organik mempunyai peranan yang sangat penting, karena
efektifitas penyerapan unsur hara dalam tanah dipengaruhi oleh kadar bahan
organik dalam tanah (Yuniwati et al., 2012), juga berperan mempertahankan dan
meningkatkan kesuburan tanah, dapat memperbaiki struktur dan tekstur lapisan
tanah sehingga memperbaiki aerase, draenase, absorpsi panas, meningkatkan
kemampuan daya serap tanah terhadapair, dan dapat mengandalikan erosi tanah.
Selain sebagai penyedia unsur hara makro dan mikro, pupuk organik berperan
penting dalam meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah (Nurhayati et al.,
2011).
Limbah pertanian secara alami memerlukan waktu yang cukup lama untuk
proses dekomposisinya yaitu 3–4 bulan (Maheswari, 2014) Hasil penelitian
Phibunwathanawong dan Riddech (2019), pembuatan pupuk organik cair proses
dekompisisi dapat berlangsung sampai 30 hari, sedangkan hasil penelitian Sibora
et al. (2013) dan Sundari et al. (2012) memerlukan waktu untuk proses
dekomposisi berturut-turut 25 hari dan 21 hari untuk dekomposisi bahan organik
yang berasal dari limbah sayuran dengan menggunakan bioaktivator EM4,
sehingga perlu adanya bioaktivator untuk mempercepat proses pembuatan pupuk
organik.EM4 merupakan salah satu bioaktivator berupa produk cairan yang berisi
campuran beberapa mikroorganisma hidup yang bermanfaat dalam penguraian
bahan organik. Produk ini mengandung sekitar 80 genus mikroba, namun ada lima
golongan yang pokok yaitu bakteri Fotosintetik, Lactobacillus sp.,
Saccharomyces sp., Actinomycetes sp., dan Jamur Fermentasi (Indriani, 2007).
Penggunaan EM4 untuk memeperoleh hasil yang optimal, maka perlu
menentukan konsentrasi yang tepat sehingga proses dekomposisi dapat berjalan
secara efektif dan efisien.

1.2. Tujuan
Paper ini bertujuan untuk mengetahui tentang EM4 pada pemupukan atau
pembuatan pupuk. Dengan sumber “Pengaruh Jenis Limbah Pertanian dan
Konsentrasi EM4 terhadap Kandungan Unsur Hara Pupuk Organik Cair’’.
2. HADKAH
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. EM4 (Effective Microorganism 4)

Teknologi fermentasi EM4 pertama kali dikembangkan oleh Prof. Dr. Teruo
Higa dari University of The Ryukyus, Okinawa Jepang pada tahun 1980. EM4
yang merupakan singkatan dari Effective Microorganism 4 adalah kultur
campuran mikroorganisme pengurai yang dapat membantu dalam pembusukan
sampah organik. EM4 berisi sekitar 80 genus mikroorganisme fermentasi, di
antaranya bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomyces sp., Actinomycetes
sp. dan ragi. EM4 saat ini digunakan untuk pengomposan modern. EM4 berbentuk
cairan berwarna coklat dengan bau yang enak. Apabila baunya busuk atau tidak
enak, berarti mikroorganisme-mikroorganisme tersebut telah mati dan harus
dicampur dengan air untuk menghentikan tumbuhnya gulma (rumput liar).
Keunggulan dari larutan EM4 adalah selain dapat mempercepat proses
pengomposan, penambahan EM4 juga terbukti dalam menghilangkan bau yang
timbul selama proses pengomposan bila berlangsung dengan baik. Bahan organik
yang bisaa dikomposkan dengan bioaktivator EM4 antar lain jerami, pupuk
kandang, kotoran hewan, rumput, sekam atau serbuk gergaji. Bioaktivator EM4
tidak disarankan untuk mendekomposisi bahan-bahan organik yang relatif keras
karena membutuhkan waktu yang relatif lama dan kurang efektif (Suwahyono,
2014).
EM4 juga bermanfaat memperbaiki struktur dan tekstur tanah menjadi lebih
baik serta menyuplai unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Dengan demikian
penggunaan EM4 akan membuat tanaman menjadi lebih subur, sehat dan relatif
tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Berikut ini beberapa manfaat EM4
bagi tanaman dan tanah:
1. Menghambat pertumbuhan hama dan penyakit tanaman dalam tanah
2. Membantu meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman
3. Meningkatkan kualitas bahan organik sebagai pupuk
4. Meningkatkan kualitas pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman

2.2. Pupuk Kompos

Kompos merupakan pupuk yang berasal dari sisa-sisa bahan organik yang
dapat memperbaiki sifat fisik dan struktur tanah, meningkatkan daya menahan air,
kimia tanah, dan biologi tanah. Sumber bahan pupuk kompos antara lain berasal
dari limbah organik seperti sisa-sisa tanaman (jerami, batang, dahan), sampah
rumah tangga, kotoran hewan (sapi, kambing, ayam, gajah), arang sekam, abu
dapur dan lain-lain (Rukmana, 2007).
Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan ataupun segar
berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah serta
sumber nutrisi tanaman. Penggunaan kompos pada tanah memberikan manfaat
diantaranya menambah kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah menjadi
lebih gembur, memperbaiki sifat kimiawi tanah, sehingga unsur hara yang tersedia
dalam tanah lebih mudah diserap oleh tanaman, memperbaiki tata air dan udara
dalam tanah, sehingga dapat menjaga suhu dalam tanah menjadi lebih stabil,
mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara, sehingga mudah larut oleh air dan
memperbaiki kehidupan jasad renik yang hidup di dalam tanah. Untuk
memperoleh kualitas kompos yang baik perlu diperhatikan pada proses
pengomposan dan kematangan kompos, dengan kompos yang matang maka unsur
hara pada kompos akan lebih tinggi disbanding kompos yang belum matang
(Rukmana, 2007).
Pengomposan merupakan proses penguraian bahan organik atau proses
dekomposisi bahan organik dimana dalam proses tersebut terdapat berbagai
macam mikroba yang membantu proses perombakan bahan organik sehingga
bahan organik tersebut mengalami perubahan baik struktur dan teksturnya. Bahan
organik merupakan bahan yang berasal dari makhluk hidup baik itu berasal dari
tumbuhan maupun hewan. Adapun prinsip dari proses pengomposan adalah
menurunkan C/N bahan organik hingga sama atau hampir sama dengan nisbah
C/N tanah (<20), dengan demikian nitrogen dapat dilepas dan dapat dimanfaatkan
oleh tanaman (Indriani, 2009).
Tujuan proses pengomposan yaitu merubah bahan organik yang menjadi
limbah menjadi produk yang mudah dan aman untuk ditangani, disimpan,
diaplikasikan ke lahan pertanian dengan aman tanpa menimbulkan efek negatif
baik pada tanah maupun pada lingkungan. Proses pengomposan dapat terjadi
secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Pada
proses pengomposan terdapat beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi
hasil dari pengomposan, diantaranya nilai C/N bahan, ukuran bahan, komposisi
bahan, mikroorganisme yang bekerja, kelembaban dan aerasi, temperature dan
keasaman (pH). Hal-hal yang perlu diperhatikan agar proses pembuatan pupuk
organik dapat berlangsung lebih cepat antara lain sebagai berikut, (Indriani,
2002):
1. Nilai C/N bahan
Bahan organik tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh
tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak
sama dengan C/N tanah. Nilai C/N merupakan hasil perbandingan antara karbon
dan nitrogen. Nilai C/N tanah sekitar 10-12. Apabila bahan organik mempunyai
kandungan C/N mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan tersebut
dapat digunakan atau dapat diserap tanaman. Namun, umumnya bahan organik
yang segar mempunyai C/N yang tinggi, seperti jerami padi 50-70; daun-daunan >
50 (tergantung jenisnya); cabang tanaman 15-60 (tergantung jenisnya); kayu yang
telah tua dapat mencapai 400. Semakin rendah nilai C/N bahan, waktu yang
diperlukan untuk pembuatan pupuk organik semakin cepat. Mikroba memecah
senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein.
2. Ukuran bahan
Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya
karena semakin luas bahan yang tersentuh dengan bakteri. Untuk itu, bahan
organik perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Bahan yang keras sebaiknya
dicacah hingga berukuran 0,5-1 cm, sedangkan bahan yang tidak keras dicacah
dengan ukuran yang agak besar sekitar 5 cm. Pencacahan bahan yang tidak keras
sebaiknya tidak terlalu kecil karena bahan yang terlalu hancur (banyak air) kurang
baik (kelembabannya menjadi tinggi).
3. Komposisi bahan
Komposisi bahan dari beberapa macam bahan organik akan lebih baik dan
cepat. Ada juga yang menambahkan bahan makanan dan zat pertumbuhan yang
dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik, mikroorganisme
juga mendapatkan bahan tersebut dari luar.
4. Jumlah mikroorgnisme
Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi, Actinomycetes dan
protozoa. Sering ditambahkan pula mikroorganisme ke dalam bahan organik yang
akan dijadikan pupuk. Dengan bertambahnya jumlah mikroorganisme diharapkan
proses pembuatan pupuk organik akan lebih cepat.

2.3. Limbah Pertanian


Limbah Pertanian merupakan bahan yang dibuang di sektor pertanian,
misalnya sabut, tempurung kelapa, sayur, jerami, dedak padi, kulit, tulang pada
ternak potong serta jeroan & darah pada ikan. Limbah hasil pertanian dapat
diartikan juga sebagai bahan yang merupakan buangan dari proses perlakuan atau
pengolahan dalam memperoleh hasil utama dan hasil sampingSecara garis besar
limbah pertanian itu dibagi ke dalam limbah pra dan saat panen serta limbah pasca
panen. Limbah pasca panen juga bisa terbagi dalam kelompok limbah sebelum
diolah dan limbah setelah diolah atau limbah industri pertanian. (Rachmawan,
2001 dalam Siregar, 2022).
2.3.1. Limbah Sayur

Limbah sayuran merupakan limbah padat organik yang mengandung kadar


air yang tinggi dan cepat membusuk, yang dihasilkan dari sisa atau potongan
sayur-sayuran yang tidak dipergunakan lagi atau sayuran utuh yang telah
mengalami pembusukan (Triansyah, 2018). Selama ini limbah sayuran pasar
menjadi sumber masalah bagi upaya mewujudkan kebersihan dan kesehatan
masyarakat.
Selain mengotori lingkungan, limbah sayuran pasar dengan sifatnya yang
mudah membusuk, mengakibatkan pencemaran lingkungan berupa bau yang tidak
sedap. Pengomposan timbul dari kegiatan mikroorganisme, sehingga diharapkan
bahwa proses pengomposan akan lebih baik dengan penambahan inokulan dari
kultur mikroorganisme.

2.3.2. Limbah Ternak

Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk
ternak, dan kotoran ternak. (Mara, 2012). Semakin berkembangnya usaha
peternakan, limbah yang dihasilkan juga akan semakin meningkat. Berbagai
manfaat dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat
diperbaharui (renewable) selama masih ada hewan ternak. Zat-zat yang
terkandung dalam limbah ternak dapat dimanfaatkan kembali dengan
menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk kompos. Kandungan unsur hara
dalam kotoran yang penting untuk tanaman adalah unsur nitrogen (N), fosfor (P),
dan kalium (K).

2.3.3. Limbah Jerami

Jerami padi merupakan bagian dari batang tumbuhan tanpa akar yang
tertinggal setalah dipanen butir buahnya (Shiddieqy, 2005). Jerami padi
merupakan bagian tanaman yang telah dipanen butir-butirnya bersama atau tidak
dengan tangkainya dikurangi akar dan bagian akar yang tertinggal. Jerami padi
merupakan salah satu limbah pertanian yang sangat potensial sebagai sumber
energi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia dan ketersediaannya
meningkat seiring dengan meningkatnya produksi padi (Diki, 2012). Sebagai
sumber pakan, jerami mempunyai beberapa kelemahan yaitu kandungan lignin
dan silika yang tinggi tetapi rendah energi, protein, mineral dan vitamin. Selain
rendah nilai nutrisi, kecernaan jerami juga rendah karena sulit didegradasi oleh
mikroba rumen (Sarnklong et al., 2010).

2.3.4. Limbah Daun Gelam


Daun gelam adalah daun dari tumbuhan Melaleuca leucodendron atau kayu
putih. Tumbuhan ini memiliki daun yang tak lengkap karena hanya terdiri dari dua
bagian, yaitu tangkai daun dan helaian daun. Daun gelam memiliki tulang daun
dalam jumlah yang bervariasi antara 3-5 buah. Lebar daun berkisar antara 0,66
cm-4,3 cm dan panjang 5,4 cm. Gelam termasuk tanaman yang membutuhkan
suhu yang panas sehingga membutuhkan cahaya matahari penuh pada siang hari.
Curah hujan tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan ini sehingga mampu
tumbuh pada daerah yang memiliki curah hujan tinggi hingga rendah.

2.4. Standar Mutu Pupuk Kompos


Menurut SNI 19-7030-2004 spesifikasi kompos dari sampah organik
domestik meliputi: persyaratan kandungan kimia, fisik dan bakteri yang harus
dicapai dari hasil olahan sampah organik domestic menjadi kompos, karakteristik
dan spesifikasi kualitas kompos dari sampah organik domestik. Standar kualitas
Kompos dapat dilihat pada tabel berikut:

No
Parameter Satuan Minimum Maksimum
.
1 Kadar air % - 50
2 Temperatur ºC Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran partikel mm 0,55 25
6 Kemampuan ikat air % 58 -
7 pH 6,80 7,49
8 Bahan asing % * 1,5
Unsur makro
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40 -
11 Karbon % 9,80 32
12 Phosphor (P2O5) % 0,10 -
13 C/N-rasio 10 20
14 Kalium (K2O) % 0,20 *
Unsur mikro
15 Arsen mg/kg * 13
16 Kadmium (Cd) mg/kg * 3
17 Kobal (Co) mg/kg * 34
18 Kromium (Cr) mg/kg * 210
19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100
20 Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8
21 Nikel (Ni) mg/kg * 62
22 Timbal (Pb) mg/kg * 150
23 Selenium (Se) mg/kg * 2
24 Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur lain
25 Kalsium % * 25,50
26 Magnesium (Mg) % * 0,60
27 Besi (Fe) % * 2,00
28 Aluminium (Al) % * 2,20
29 Mangan (Mn) % * 0,10
Bakteri
30 Fecal Coli MPN/gr 1000
31 Salmonella sp. MPN/4 gr 3
BAB III. METODOLOGI DAN HASIL
3.
3.1. Metodologi
3.1.1. Persiapan Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah timbangan, ember, alat pencacah, dan alat-
alat laboratorium. Adapun bahan-bahan yang digunakan yaitu limbah sayur (kubis
dan sawi putih), limbah ternak (kotoran babi), jerami, daun gamal, EM4 dan
bahan-bahan untuk analisa hara. Perlakuan terdiri dari dua faktor, didapatkan 9
perlakuan kombinasi yang diulang tiga kali, faktor pertama adalah jenis limbah
pertanian (L) yang terdiri dari:
1) LS = limbah sayur (75%) + limbah ternak (25%)
2) LJ = limbah sayur (37,5%) + jerami (37,5%) + limbah ternak (25%)
3) LG = limbah sayur (25%) + jerami (25%) + daun gamal (25%) + limbah ternak
Faktor kedua adalah konsentrasi EM4 (K) yang terdiri dari:
1) K5 = Konsentrasi EM4 5%
2) K10 = Konsentratsi EM4 10%
3) K15= Konsentratsi EM4 15%

3.1.2. Aktivasi EM4


EM4 yang baru dibuka dalam botol belum aktif, sehingga perlu diaktivasi
dengan menggunakan air dan gula (Sundari, 2012), dengan ketentuan:
1) Konsentrasi EM4 5%, (100 ml EM4 + 100 ml gula merah + 1.800 ml air),
2) Konsentrasi EM4 10%, (200 ml EM4 + 100 ml gula merah + 1.700 ml air),
3) Konsentrasi EM 15%, (300 ml EM4 + 100 ml gula merah + 1.600 ml air).
Masing-masing campuran tersebut diaduk lalu diinkubasi selama 3 jam
(Yuniwati, et al., 2012).

3.1.3. Pembuatan Pupuk Organik Cair


Bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan pupuk organik cair dipotong-
potong kecil dengan ukuran 0,5 - 1 cm. Dengan perlakuan sebagai berikut:
1) LSK5 (1,50 kg limbah sayur + 0,50 kg limbah ternak babi + 2 liter EM4 5%
yang telah diaktivasi),
2) LSK10 (1,50 kg limbah sayur + 0,50 kg limbah ternak babi + 2 liter EM4 10%
yang telah diaktivasi),
3) LSK15 (1,50 kg limbah sayur + 0,50 kg limbah ternak babi + 2 liter EM4 15%
yang telah diaktivasi),
4) LJK5 (0,75 kg limbah sayur + 0,75 kg jerami + 0,50 kg limbah ternak babi + 2
liter EM4 5% yang telah diaktivasi),
5) LJK10 (0,75 kg limbah sayur + 0,75 kg jerami + 0,50 kg limbah ternak babi +
2 liter EM4 10% yang telah diaktivasi),
6) LJK15 (0,75 kg limbah sayur + 0,75 kg jerami + 0,50 kg limbah ternak babi +
2 liter EM4 15% yang telah diaktivasi),
7) LGK5 (0.50 kg limbah sayur + 0,50 kg jerami + 0,50 kg daun gamal + 0,50 kg
limbah ternak babi + 2 liter EM4 5% yang telah diaktivasi),
8) LGK10 (0,50 kg limbah sayur + 0,50 kg jerami + 0,50 kg daun gamal + 0,50
kg limbah ternak babi + 2 liter EM4 10% yang telah diaktivasi),
9) LGK15 (0,50 kg limbah sayur + 0,50 kg jerami + 0,50 kg daun gamal + 0,50
kg limbah ternak babi + 2 liter EM4 15% yang telah diaktivasi).
Bahan-bahan yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam ember lalu
ditambahkan EM4 sesuai konsentrasi yang telah dibuat, kemudian ditutup rapat
dan lakukan fermentasi selama 28 hari, dan setiap dua hari sekali dibuka untuk
mengeluarkan gas-gas yang terbentuk.

3.1.4. Parameter Pengamatan


Analisa kandungan N-total, P-tersedia, K-tersedia, C/N rasio, dan pH.
Analisa kandungan N-total dengan menggunakan metode Kjehdal, P-tersedia dan
K-tersedia dengan metode Bray I, C-organik dengan metode Walkly and Black,
C/N rasio perbandingan hasil prosentase C dan prosentase N, pH dengan
menggunakan pH meter.

3.2. Hasil
Tabel 1. Pengaruh Jenis Limbah (L), Konsentrasi EM4 (K), dan Interaksi (L x K)
Terhadap Unsur Hara Pupuk Organik Cair, dan Ph

No Perlakuan
Variabel
. L K LxK
1 N-total pupuk organik cair (%) ** tn tn
2 P-tersedia pupuk organik cair (ppm) ** ** **
3 K-tersedia pupuk organik cair (ppm) tn tn tn
4 C-organik pupuk organik cair (%) ** ** **
5 Rasio C/N pupuk organik cair ** ** **
6 pH pupuk organik cair ** ** **

Perlakuan variasi jenis limbah pertanian (L) dan konsentrasi EM4 (K)
menunjukkan pengaruh interaksi sangat nyata (P<0,01) pada semua variabel,
kecuali pada variabl N-total dan K-tersedia (Tabel 1).

Tabel 2. Kandungan N-total dan K-tersedia pada perlakuan jenis limbah dan
konsentrasi EM4 untuk menghasikan pupuk organik cair (%)

Perlakuan N-total (%) K-tersedia (ppm)


Jenis limbah
Ls 0,06 a 295,87 a
LJ 0,04 b 309,07 a
LG 0,13 c 296,30 a
BNT (P<0,05) 0,01696 14,7044
Konsentrasi EM4 (%)
K5 0,07 a
K10 0,08 a
K15 0,07 a
BNT (P<0,05) 0,01696 14,7044
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama
menunjukkan beda tidak nyata, berdasarkan uji BNT 5%
N-total tertinggi pada limbah sayur, jerami, daun gamal dan limbah ternak
babi (LG) sebesar 0,13%, sedangkan yang paling rendah pada jenis limbah sayur
dan jerami (LJ) sebesar 0,04%, tetapi perlakuan ini memiliki kandungan K yang
paling besar 309,07 ppm, sedangkan kandungan K yang paling sedikit pada jenis
limbah sayur dan limbah ternak (LS) yaitu 295,87 ppm (Tabel 2).

Tabel 3. Kandungan P-tersedia pada perlakuan jenis limbah (L) dan konsentrasi
EM4 (K) pupuk organik cair (ppm)

Kandungan hara P-tersedia (ppm)


Perlakuan
K5 K10 K15
LS 302,64 d 301,74 d 299,65 d
LJ 255,11 b 240,67 a 248,06 ab
LG 333,38 e 328,88 e 279,58 c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan beda tidak
nyata secara horizontal dan vertikal berdasarkan uji Duncan (P < 0,05)

P-tersedia teringgi pada perlakuan jenis limbah sayur, jerami, daun gamal
dan limbah ternak babi, dengan konsentrasi 5 % (LGK5) sebesar 333,38 pp,
sedangkan paling rendah pada limbah sayur, jerami dan limbah ternak pada
konsentrasi 10% (LJK10) 240,07 ppm (Tabel 3).

Tabel 4. Kandungan C-organik pada perlakuan jenis limbah dan konsentrasi EM4
pada pupuk organik cair (%)
C-organik (%)
Perlakuan
K5 K10 K15
LS 1,17 a 1,17 a 1,17 a
LJ 1,17 a 1,36 b 1,56 c
LG 1,56 c 1,95 e 1,76 d
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan beda tidak
nyata secara horizontal dan vertikal berdasarkan uji Duncan (P < 0,05)

Kandungan C-organik yang paling tinggi terdapat pada jenis limbah


sayuran, jerami, daun gamal dan limbah ternak pada konsentrasi 10% (LGK10)
1,95%, sedangkan yang paling kecil terdapat pada perlakuan jenis limbah sayuran
dan limbah ternak (LSK5, LSK10 dan LSK15) masing-masing 1,17 % (Tabel 4).

Tabel 5. C/N rasio pada perlakuan jenis limbah dan konsentrasi EM4 pupuk
organik cair

C/N Rasio
Perlakuan
K5 K10 K15
LS 90,50 cd 18,11 c 19,50 cd
LJ 21,45 d 35,10 f 12,54 ab
LG 12,54 ab 15,09 b 12,00 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan beda tidak
nyata secara horizontal dan vertikal berdasarkan uji Duncan (P < 0,05)

C/N rasio pupuk organik cair paling rendah terdapat pada jenis limbah
sayur, jerami, daun gamal dan limbah ternak pada kosentrasi EM4 15% (LGK15)
yaitu 12,00, sedangkan yang paling tinggi terdapat pada jenis limbah sayur, jerami
dan limbah ternak babi pada konsentrasi EM4 10% (LJK10) yaitu 35,15 (Tabel 5).

Tabel 6. pH pupuk organik cair pada perlakuan jenis limbah dan konsentrasi EM4

pH
Perlakuan
K5 K10 K15
LS 4,40 a 4,40 a 4,40 a
LJ 4,50 b 5,50 b 4,50 b
LG 4,60 c 4,70 d 4,75 d
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan beda tidak
nyata secara horizontal dan vertikal berdasarkan uji Duncan (P < 0,05)

pH pupuk organik cair dari hasil perlakuan menunjukkan pH paling tinggi


terdapat pada perlakuan jenis limbah sayur, jerami, daun gamal dan limbah ternak
babi dengan konsentrasi 15% (LGK15) yaitu yaitu sebesar 4,75, sedangkan pH
yang paling rendah terdapat pada jenis limbah sayuran dan limbah ternak dengan
konsentrasi K5, K10 dan K15 mempunyai pH yaitu 4,40 (Tabel 6).
N-total pupuk organik cair yang diperoleh dari perlakuan jenis limbah
sayuran, jerami, daun gamal dan limbah ternak babi (LG) yaitu 0,13% memiliki
kandungan N-total yang paling tinggi (Tabel 2), hal ini disebabkan karena pada
gabungan jenis limbah tersebut terdapat limbah daun gamal, dimana limbah ini
memiliki kandungan N yang cukup tinggi 3-6% (Sado, 2016), dengan adanya
kandungan N yang tinggi ini akan berpengaruh terhadap kandungan N pada pupuk
organik cair. Limbah ini juga mudah terdekomposisi (Oviyanti et al., 2016), dan
dari hasil penelitian perlakuan ini memiliki C/N rasio yang paling kecil yaitu12,00
(Tabel Kandungan N-total dari pupuk organik cair ini berdasarkan kreteria yang
disampaikan Hardjowigeno (1995) termasuk sangat rendah, sedangkan kandungan
K-tersedia dan P-tersedia termasuk sangat tinggi.
Kandungan hara K-tersedia paling tinggi terdapat pada perlakuan jenis
limbah sayuran dan jerami (LJ) yaitu 309,07 ppm (Tabel 2) hal ini disebabkan
karena jerami mengandung unsur kalium (K2O) yang cukup tinggi yaitu 2-4 %
(Karyaningsih et al., 2012), sehingga membuat pupuk organik dari perlakuan ini
memiliki kandungan K yang paling tinggi, namun tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata dengan jenis limbah yang lainnya. Kandungan P-tersedia paling tinggi
terdapat pada perlakuan jenis limbah sayur, jerami, daun gamal dan limbah ternak
pada konsentrasi EM4 5% yaitu 333,38 ppm (LGK5), namun tidak berbeda nyata
dengan konsentrasi 10% (LGK10) yaitu 328,88 ppm (Tabel 3). Hasil penelitian
menunjukkan adanya hubungan korelasi yang erat (r = 0,69*) antara N-total
dengan P-tersedia, yang berarti semakin tinggi N-total, maka makin tinggi juga
kandungan P-tersedia. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi kandungan N
maka multiplikasi mikroorganisma yang merombak fosfat akan semakin
meningkat sehingga kandungan fosfat akan semakin meningkat pula (Yuli et al.,
2011).
Kandungan C-organik pupuk organik cair yang paling tinggi terdapat pada
jenis limbah sayuran, jerami, gamal dan limbah ternak babi dengan konsentrasi
EM4 10% (LGK10) yaitu 1,950% (Tabel 4), termasuk sangat rendah
(Hardjowigeno, 1995). Tingginya kandungan C-organik pada perlakuan ini
dibandingkan dengan perlakuan lainnya karena adanya daun gamal pada
perlakuan tersebut. Hasil penelitian Swastika, et al. (2015) MOL yang dibuat dari
daun gamal menghasilkan C-organik mencapai 4,02%. Terdapat hubungan yang
nyata (r = 0,77*) antara C-organik dengan kandungan N-total dimana semakin
tinggi C-organik pada pupuk organik cair semakin tinggi kandungan N-total,
dimana hal ini didukung dengan hasil penelitian Febrianna et al. (20118) yang
mengatakan bahwa terdapat korelasi yang posistif dan hubungan yang sangat erat
antara C-organik dengan N-total, dimana peningkatan C-organik ini terjadi karena
penguraian bahan organik oleh mikroorganisme menghasilkan asam amino
sehingga kandungan N menjadi meningkat.
Salah satu indikator penting dalam menentukan kualitas pupuk organik cair
adalah C/N rasio, dimana C/N rasio ini memberikan indikasi terhadap kandungan
hara dan laju dekomposisi, dimana bahan organik dengan C/N rasio rendah berarti
bahan organik tersebut banyak mengandung hara N dan mudah terdekomposisi
(Utomo et al., 2015). Hasil analisis C/N rasio pada penelitian ini menunjukkan
adanya pengaruh yang sangat nyata dari interaksi jenis limbah pertanian dengan
konsentrasi bioaktivator. Hal ini disebabkan bahan organik yang berasal dari
limbah pertanian mengalami dekomposisi oleh mikroba yang terkandung dalam
bioaktivator, sehingga meningkatkan proses dekomposisi untuk menghasilkan C-
organik dan N total. C/N rasio yang paling rendah terdapat pada jenis limbah
sayur, jerami, daun gamal dan limbah ternak babi yaitu 12,00. Ini berarti
kandungan hara N-total paling banyak terdapat pada jenis limbah tersebut, hal ini
juga dapat dilihat dari adanya hubungan korelasi negatif (r= -0,80**) yang sangat
erat antara kadar hara Ntotal dengan C/N rasio, dimana dengan semakin tinggi
kandungan hara N-total, maka makin rendah nilai C/N rasionya. Nilai C/N rasio
paling tinggi terdapat pada jenis limbah sayur, jerami dan limbah ternak babi pada
konsentrasi EM4 10% (LJK10) Tabel 4, yaitu 35,10. Tingginya C/N rasio ini
karena adanya campuran jerami yang lebih dominan pada perlakuan tersebut dari
kombinasi perlakuan jenis limbah lainnya, dimana jerami ini mengandung
senyawa organik seperti selulosa 23,05%, hemiselulosa 19,09%, lignin 22,93%
dan juga senyawa organik lainnya (Suningsih et al., 2019). Adanya selulosa,
hemiselulosa dan lignin ini menyebabkan proses dekomposisi berjalan lambat,
sehingga memerlukan waktu yang lama untuk proses dekomposisinya (Utomo et
al.,2015), dan menurut Saraswati (2006) limbah tanaman padi ini memiliki C/N
rasio 50– 70, sehingga diduga untuk pupuk cair dari kombinasi jenis limbah ini
memerlukan waktu fermentasi yang lebih lama.
Kemasaman tanah atau pH tanah sering dianggap sebagai parameter utama
kesuburan tanah, karena pH tanah akan memberi pengaruh pada ketersediaan hara
bagi tanaman, toksisitas aluminium dan besi, aktivitas dan proses biologis (Utomo
et al.,2015). Hasil analisis tingkat kemasaman (pH) pupuk organik cair dalam
penelitian ini menunjukkan pH pupuk organik cair dipengaruhi sangat nyata oleh
interaksi jenis limbah dan konsentrasi bioaktivator. Hal ini disebabkan karena
dalam proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari jenis limbah pertanian
akan menghasilkan senyawa-senyawa asam organik yang dapat mempengaruhi
pH. Juga dalam dekomposisi bahan organik akan terjadi proses amonifikasi yang
menghasilkan ion OH- yang dapat menetralisir aktivitas ion H + (Siregar et
al.,2017), sehingga dapat memberi pengaruh pada pH pupuk organik cair. pH
pupuk organik cair pada hasil penelitian diperoleh pH 4,40 – 4,75, yang tergolong
sangat masam sampai masam (Hardjowigeno, 1995). Persyaratan teknis minimal
yang dipersyaratkan dari pupuk organik cair dari Kementerian Pertanian
menunjukkan bahwa pH pupuk ini memenuhi standar yang ditetapkan yaitu
berada pada kisaran pH 4-9.
Perlakuan jenis limbah dan konsentrasi bioaktivator menunjukkan pH yang
paling tinggi adalah pada perlakuan dari jenis limbah sayur, jerami, daun gamal
dan limbah ternak babi dengan konsentrasi EM4 15% (LGK15) yaitu 4,75 (Tabel
6), namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 10%. Menurut Utomo et al.
(2015) tanah pada pH netral umumnya merupakan tanah yang baik bagi
pertumbuhan tanaman, dimana unsur hara yang dibutuhkan tanaman berada dalam
kondisi yang optimal, pada pH di atas atau dibawah nilai tersebut biasanya
tanaman menunjukkan gejala kahat unsur hara.
Mikroorganisme mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses
dekomposisi, dimana dalam proses tersebut dekomposer mengeluarkan enzim-
enzim yang dapat merombak bahan organik sehingga terjadi proses minderalisasi
yang akan menghasilkan hara yang dapat diserap oleh tanaman (Utomo et
al.,2015). Analisis total mikroba yang terdapat pada pupuk organik cair dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa populasi total mikroba dipengaruhi oleh
interaksi yang sangat nyata antara jenis limbah pertanian dengan konsentrasi
bioaktivator. Hal ini disebabkan karena bahan organik yang berasal dari limbah
tersebut akan menyediakan C-organik yang merupakan konsumsi dari mikroba,
sehingga dengan adanya bahan organik akan meningkatkan populasi mikroba.
Disebabkan pada perlakuan ini terdiri dari beberapa jenis limbah dan termasuk
didalamnya ada limbah gamal yang kaya dengan unsur N. Hal ini menunjukkan
bahwa tingginya konsentrasi bioaktivator belum tentu menyebabkan makin tinggi
populasi mikroba yang terdapat pada pupuk organik cair, karena dalam
dekomposisi diperlukan populasi mikroba yang optimal, semakin tinggi C-organik
maka semakin tinggi populasi mikroba. C-organik merupakan sumber energi bagi
mikroba untuk perkembangbiakannya (Utomo et al., 2015).

KESIMPULAN

Jenis limbah dan konsentrasi EM4 bersama sama dapat meningkatkan


Ptersedia, C-organik, C/N rasio, dan pH dengan nilai tertinggi masing-masing
333,38 ppm (sangat tinggi), 1,95% (sangat rendah), 12,00, dan 4,75 (masam).
Gabungan Limbah sayuran (25%), jerami (25%), gamal (25%) dan limbah ternak
(25%), dengan stater EM4 konsentrasi 10% mengasilkan kualitas pupuk organik
cair terbaik.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik


Domestik, SNI 7030:2004. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Febriana, M., Prijono, S. dan Kusumarini, N. 2018. Pemanfaatan Pupuk Organik
Cair Untuk Meningkatkan Serapan Nitrogen Serta Pertumbuhan dan
Produksi Sawi (Brassica juncea L.) Pada Tanah Berpasir. Jurnal Tanah dan
Sumberdaya Lahan, 5 (2): 1009- 1018.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. (diakses pada tanggal 17 Oktober 2023),
URL:
https://pustaka.stipap.ac.id/files/ta/11011092_170719105143_Lampiran.pdf.
Higa, T. 1998. Studies on the application of effective microorganisms in nature
farming II : The practical application of effective microorganisms in Japan.
International Nature Farming Research Center. Atam. Japan.
Indriani, Y.H. 2002. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Indriani, Y.H. 2007. Membuat Pupuk Organik Secara Singkat. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Indriani, Y.H. 2009. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Karyaningsih, S. 2012. Pemanfaatan Limbah Pertanian Untuk Mendukung
Peningkatan Kualitas Lahan dan Produktivitas Padi Sawah. Jurnal Buana
Sain, 12 (2): 45 – 55.
Mara, M. 2012. Analisis penyerapan gas karbondioksida (CO2) dengan larutan
NaOH terhadap kualitas biogas kotoran sapi. Jurnal Dinamika Teknik
Mesin, 2(1).
Nurhayati, Jamil, A., dan Risqi. 2011. Potensi Limbah Pertnian Sebagai Pupuk
Organik Lokal di Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah. Jurnal Iptek
Tanaman Pangan, 6 (2): 193-202
Oviyanti, F., Syarifah, S., & Hidayah, N. 2016. Pengaruh pemberian pupuk
organik cair daun gamal (Gliricidia sepium (Jacq.) Kunth ex Walp.)
terhadap pertumbuhan tanaman sawi (Brassica juncea L.). Jurnal biota,
2(1), 61-67.
Puspita, SM. 2020. “Pengomposan Limbah Sayuran Kubis dan Kotoran Ayam”
(skripsi). Surakarta: Universitas Islam Indonesia
Riddech, N. dan Phibunwatthanawong, T. 2019. Liquid organik fertilizer
production for growing vegetables under hydroponic condition.
International Journal of Recycling of Organik Waste in Agriculture, 8: 369-
380.
Rukmana, R. 2007. Bertanam Petsai Dan Sawi. Yogyakarta: Kanisius.
Sado, R.I. 2016. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Daun Gamal (Gliricidia sepium
L.) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi Caisim (Brassica juncea L.)
(Skripsi). Bogor: IPB
Saraswati, R. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Penelitian Tanah,
Litbang Pertanian. URL: https://balitanah.litbang.pertanian.go.id
Sarnklong, C., Cone, J. W., Pellikaan, W., & Hendriks, W. H. 2010. Utilization of
rice straw and different treatments to improve its feed value for ruminants: a
review. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences, 23(5), 680-692.
Siboro, E.S., Surya, E., dan Herlina, N. 2013. Pembuatan Pupuk Cair dan Biogas
Dari Campuran Limbah Sayuran. Jurnal Teknik kimia, 2 (3): 40-43.
Siregar, P., Fauzi, dan Supriadi. 2017. Effect of Giving Some Organic Matter and
Incubation Period to some Chemical Fertility Aspects of Ultisol. Jurnal
Agroekoteknologi, 5 (2): 256-264.
Sundari, E., Sari, E., dan Rinaldo, R. 2012. Pembuatan Pupuk Organik Cair
Menggunkan Bioaktivator Biosca dan EM4. Naskah Lengkap Prosiding
SNTK TOPI.
Suningsih, N., Ibrahim, W., Liandris, O., dan Yulianti, R. 2019. Kualitas fisik dan
Nutrisi Jerami Padi Fermentasi Pada Berbagai Penambahan Starter. Jurnal
Sain Peternakan, 14 (2): 191- 200.
Suwahyono, U., dan PS, T. P. 2014. Cara Cepat Buat Kompos dari Limbah.
Jakarta: Penebar Swadaya Grup.
Triansyah M. 2018. Efektifitas Biodegradasi Sampah Sayuran Dengan
Penambahan Bioaktivator Kotoran Sapi. Teknik Lingkungan Universitas
Islam Indonesia.
Utomo, M., Sudarsono, Rusman, B., Sabrina, T., Lumbanraja, J. dan Mawar,
2016. Ilmu Tanah. Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group.
Widyasari, N.L., Suyasa, I.W.B., dan Dharma, I.G.B. S. 2018. Upaya
Pengendalian Limbah Kotoran Babi Menjadi Kompos Menggunakan
Komposter Rumah tangga. Jurnal Ecotrophic, 12 (2): 104 – 126.
Yuniwati, M., Iskarima, F., dan Padulemba, A. 2012. Optimasi Kondisi Proses
Pembuatan Kompos dari Sampah Organik Dengan Cara Fermentasi
Menggunakan EM4. Jurnal Teknologi, 5 (2): 172-181.
Yuli, A.H., Benito, T.A.K., Marlina, E., dan Harlina, E. 2011. Kualitas Pupuk Cair
Hasil Pengolahan Feses Sapi Potong Menggunakan Saccharomyces
cereviceae (Liquid Fertilizer Quality Produced by Beef Cattle Feces
Fermentation Using Saccharomyces cereviceae). Jurnal Ilmu Ternak, 11 (2):
104- 107.

Anda mungkin juga menyukai