Anda di halaman 1dari 13

Laporan Praktikum DosenPembimbing

Pengolahan Limbah Dra. Silvia Reni Yenti, M.Si

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK PADAT DARI LIMBAH


AMPAS TEBU

Disusun Oleh :

Kelompok : IV (Empat)

Nama :Muhammad Ferdy Molindra (1607036646)


Muhammad Rizki (1607036563)
Nurmayanti Saragih (1607036715)
Ashifa Austi Kania (1607036608)

Kelas : D3 Teknik kimia Kelas B


Tanggal Praktikum : 23 November 2018
Dosen Pengampu : Dra. Silvia Reni Yenti, M. Si

LABORATORIUM DASAR PROSES & OPERASIONAL PABRIK


PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2018
ABSTRAK

Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup,
seperti pelapukan sisa-sisa tanaman dan hewan. Pupuk organik berasal dari bahan organik
yang mengandung segala macam unsur maka pupuk ini pun mengandung hampir semua unsur
baik makro maupun mikro. Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari pembuatan pupuk
dari ampas tebu, mempelajari pengaruh konsentrasi bioaktivator pada proses pengomposan,
mengukur pH dan kadar air. Parameter yang di uji pada praktikum ini yaitu kadar air, pH,
dengan konsentrasi larutan EM-4 3% dan 5%. Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu
ampas tebuh, sekam padi, dan kotoran sapi. Perbandingan yang digunakan pada bahan yaitu
3:1:1. Percobaan dilakukan dengan mencampur bahan sekam padi, ampas tebu, dan kotoran
sapi lalu disiram dengan menggunakan larutan EM-4 3% dan 5%. Dan diaduk rata dengan
hasil yang didapat menunjukkan bahwa setelah 7 hari pengomposan kadar air dan pH yang
diperoleh setelah 7 hari pengomposan yaitu 36,3 % , pH 6 dan 30,3%, pH 7.

Kata Kunci: Bioaktivator, Kompos, Konsentrasi, Pupuk Padat


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Dasar Teori


1.1.1 Pupuk OrganikPadat
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup,
seperti pelapukan sisa-sisa tanaman dan hewan. Sumber bahan organik dapat berupa
kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, tongkol jagung, ampas tebu,
dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian,
dan limbah kota (sampah). Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam,
dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia yang sangat beragam sehingga
pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi
(Amurwarahaja, 2006).
Pupuk organik merupakan salah satu pendukung terwujudnya pertanian
organik. Secara umum pertanian organik dapat diarti jadi dua yaitu pertanian organik
dalam arti sempit dan pertanian organik dalam arti luas. Dalam pengertian sempit,
pertanian organik merupakan pola pertanian yang bebas dari bahan-bahan kimia, mulai
dari perlakuan benih, penggunaan pupuk dan pestisida, sampai perlakuan hasil
panen. Sedangkan pengertian pertanian organik dalam arti luas adalah kombinasi
penggunaan produk organik (seperti pupuk organik dengan pestisida nabati) dengan
bahan kimia pada batas-batas tertentu. Dengan demikian pertanian organik dalam arti
luas merupakan pendekatan pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
melalui pemupukan yang seimbang (Amurwarahaja, 2006).
Pupuk organik padat adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik dengan hasil
akhir berbentuk padat. Pemakaian pupuk organik pada umumnya dengan cara
ditaburkan atau dibenamkan dalam tanah tanpa perlu dilarutkan dalam air (Wellang,
2015).
Menurut Outerbridge pada tahun 1991 manfaat dari pupuk organik padat yaitu
sebagai berikut:
1. Menambah Kesuburan Tanaman
Pupuk organik termasuk pupuk majemuk karena mengandung unsur hara makro
(N,P,K) dan unsur mikro (Ca, Mg, Fe, Mn, Bo, S, Zn, dan Co) yang dapat memperbaiki
struktur kesuburan tanah. Pupuk organik dapat memperbaiki porositas tanah. Pada
tanah berstruktur jelek seperti tanah liat dengan penambahan bahan organik akan
mengurangi kelengketan sehingga mudah diolah. sementara pada tanah berpasir,
penambahan pupuk organik dapat meningkatkan daya pegang tanah terhadap air dan
hara (lengas).
2. Memperbaiki Kondisi Kimia Tanah
Pada tanah asam, ion-ion yang dibutuhkan tanaman cenderung dalam kondisi
terikat. Dengan adanya pupuk organik akan terjadi sistem pengikatan dan pelepasan
ion dalam tanah sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanamanà Kapasitas Tukar
Kation (KTK).
3. Memperbaiki Kondisi Biologi Tanah
Pupuk organik merangsang mikroorganisme tanah yang menguntungkan
seperti rhizobium, mikoriza, dan bakteri pengurai fosfat atau kalium, konsentrasi
O2 dan CO2 dalam hubungannya dengan aktifitas biologi tanah.
4. Memperbaiki Kondisi Fisik Tanah
Kemampuan mengikat air oleh pupuk organik dapat menjadikan porositas tanah
lebih baik sehingga dapat mendukung respirasi dan pertumbuhan akar tanaman.
5. Pemakaiannya Aman Bagi Manusia
Pemakaian pupuk organik tidak meninggalkan residu pada hasil panen sehingga
tidak menimbulkan efek negatif bagi kesehatan manusia.
6. Tidak Mencemari Lingkungan
Pupuk organik tidak mencemari lingkungan. Sementara pupuk kimia terserap
oleh tanaman sekitar 30-60%, sisanya terserap dalam tanah atau hilang tercuci oleh air.
Lahan pertanian yang berdekatan dengan pemukiman seperti lahan sawah yang aliran
airnya juga dipakai untuk kebutuhan sehari-hari akan membahayakan kesehatan untuk
jangka panjang.
Pupuk organik padat merupakan pupuk tertua karena sebelum abad ke-19 sudah
dikenal oleh petani. Jika ingin menaikkan produksi tanaman, petani menambahkan
sisa tanaman atau kotoran hewan kedalam tanah.Pupuk organik padat yang turun -
temurun telah dipakai petani di Indonesia adalah pupuk organik konvensional. Pupuk
tersebut diperoleh dari sebagian besar kotoran hewan ternak sejenis mamalia (sapi,
kambing, babi dan kuda), unggas (ayam), dan sebagian dari kompos. Pupuk organik
konvensional yang berasal dari pupuk kandang yang dipakai selama ini hanya melalui
proses pengumpulan kotoran hewan ternak, kemudian ditumpuk selama 1–3 bulan
untuk proses pematangan, bahkan, terkadang proses pematangan dilakukan di dalam
kandang dengan cara dibiarkan selama 1–2 bulan sebelum dipakai. Begitu pula dengan
kompos yang berasal dari sampah-sampah atau limbah-limbah padat hanya melalui
pengomposan selama 1–3 bulan tanpa ada proses tambahan sebelum diberikan kepada
tanaman. Pupuk organik padat adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik dengan
hasil akhir berbentuk padat (Azwar, 1990).

1.1.2 Kompos
Kompos merupakan sisa bahan organik yang berasal dari tanaman, hewan,
dan limbah organik yang telah mengalami proses dekomposisi atau fermentasi .Jenis
tanaman yang sering digunakan untuk kompos di antaranya jerami, sekam padi,
tanaman pisang, gulma, sayuran yang busuk, sisa tanaman jagung, dan sabut
kelapa.Bahan dariternak yang sering digunakan untuk kompos di antaranya kotoran
ternak, urine, pakan ternak yang terbuang, dan cairan biogas. Tanaman air yang sering
digunakan untuk kompos di antaranya ganggang biru, gulma air, eceng gondok, dan
Azolla (Azwar, 1990).
Adapunbeberapa kegunaan darikompos yaitusebagaiberikut (Azwar, 1990):
1. Memperbaiki struktur tanah.
2. Memperkuat daya ikat agregat (zat hara) tanah berpasir.
3. Meningkatkan daya tahan dan daya serap air.
4. Memperbaiki drainase dan pori - pori dalam tanah.
5. Menambah dan mengaktifkan unsur hara.
Kompos digunakan dengan cara menyebarkannya di sekeliling tanaman.
Kompos yang layak digunakan adalah yang sudah matang, ditandai dengan
menurunnya temperatur kompos (di bawah 40oC).
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan
yaitu sebagai berikut (Purwendri 2006):
a. Rasio C/N
Rasio C/N (Karbon dan Nitrogen) yang efektif untuk proses pengomposan
berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C (Karbon) sebagai
sumber energi dan menggunakan N (Nitrogen) untuk sintesis protein. Pada rasio C/N
di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup karbon tunkuk energi dan nitrogen
untuk sintesis protein.
b. Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area
yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses
dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya
ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan
dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
c. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondosi yang cukup oksigen
(aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang
menyebabkan udara hangat keluar dan udara uang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kelembaban. Apabila aerasi
terhambat, akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap.
Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di
dalam tumpukan kompos.
d. Porositas
Porositas adalah ruang di antara partukel di dalam tumpukan kompos. Porositas
dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga
ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses
pengomposan.
e. Kelembaban
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut
larut di dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk metabilisme
mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami
penurunan dan apabila di atas 60% maka volume udara akan berkurang dan akan terjadi
fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
f. Temperatur atau Suhu
Panas dihasilkan dari aktivitas (fermentasi) mikroba (yang menghasilkan energi
berupa kalor atau panas). Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan
konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur, semakin banyak konsumsi oksigen dan
semakin cepat pula proses dekomposisi. Temperatur yang berkisar antara 30-60oC
menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat.
g. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. Tingkat
keasaman (pH) yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai
7,5. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati normal.
h. Kandungan Hara
Kandungan P (Phosphor) dan K (Kalium) juga penting dalam proses
pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara
ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pembentukan kompos.
i. Kandungan Bahan Berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan yang berbahaya bagi
kehidupan mikroba. Logam-logam seperti Mg, Cu, Zn, Ni, Cr adalah beberapa bahan
yang termasuk dalam kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi
selama proses pengomposan.
j. Lama Pengomposan
Lama waktu pengomposan bergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposkan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa
penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung
dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun.

1.1.3 EM4 (Effective Microorganisme)


Teknologi EM (Effective Mikroorganisme) dapat digunakan dalam bidang
pertanian, peternakan, perikanan, lingkungan, kesehatan dan industri. Meski sudah
banyak kalangan masyarakat yang menggunakan tapi tidak banyak yang tahu tentang
EM, komposisi kandungan, fungsi dan jenis-jenis EM.EM merupakan campuran dari
mikroorganisme bermanfaat yang terdiri dari lima kelompok, 10 Genius 80 Spesies dan
setelah di lahan menjadi 125 Spesies. EM berupa larutan coklat dengan pH 3,5-4,0.
Terdiri dari mikroorganisme aerob dan anaerob (Outerbridge, 1991).
Fungsi EM untuk mengaktifkan bakteri pelarut, meningkatkan kandungan
humus tanahlactobonillus sehingga mampu memfermentasikan bahan organik menjadi
asam amino. Bila disemprotkan di daun mampu meningkatkan jumlah klorofil,
fotosintesis meningkat dan percepat kematangan buah dan mengurangi buah busuk.
Juga berfungsi untuk mengikat nitrogen dari udara, menghasilkan senyawa yang
berfungsi antioksidan, menekan bau limbah, menggemburkan tanah, meningkatkan
daya dukung lahan, meningkatkan cita rasa produksi pangan, perpanjang daya simpan
produksi pertanian, meningkatkan kualitas daging, meningkatkan kualitas air dan
mengurangi molaritas Benur (Outerbridge, 1991).
Jenis-jenis EM yang ada seperti EM1 yang berupa media padat berbentuk
butiran yang mengandung 90% actinomicetes. Berfungsi untuk mempercepat proses
pembentukan kompos dalam tanah. EM2 terdiri dari 80 species yang disusun
berdasarkan perbandingan tertentu. Berbentuk kultur dalam kaldu ikan dengan pH 8,5.
dalam tanah mengeluarkan antibiotik untuk menekan patogen. EM3 terdiri dari 95%
bakteri fotosintetik dengan pH 8,5 dalam kaldu ikan yang berfungsi membantu tugas
EM2. Sakarida dan asam amino disintesa oleh bakteri fotosintetik sehingga secara
langsung dapat diserap tanaman. EM4 terdiri dari 95% lactobacillus yang berfungsi
menguraikan bahan organik tanpa menimbulkan panas tinggi karena mikroorganisme
anaerob bekerja dengan kekuatan enzim. EM5 berupa pestisida organik (Yuniwati,
2012).

1.1.4 Kotoran Ternak


Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber pupuk organik sangat mendukung
usaha pertanian tanaman sayuran. Dari sekian banyak kotoran ternak yang terdapat di
daerah sentra produksi ternak banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal,
sebagian di antaranya terbuang begitu saja, sehingga sering merusak lingkungan yang
akibatnya akan menghasilkan bau yang tidak sedap (Purwendri, 2006).
Tabel 1.1 Kandungan unsur hara pupuk kandang yang berasal dari beberapa ternak
Unsur hara (kg/ton)
Jenis Ternak
N P K
Sapi perah 22,0 2,6 13,7
Sapi potong 26,2 4,5 13,0
Domba 50,6 6,7 39,7
Unggas 65,8 13,7 12,8

Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23,59 kg kotoran tiap harinya.
Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak dapat menghasilkan beberapa unsur
hara yang sangat dibutuhkan tanaman, seperti terlihat pada Tabel 1.1 Disamping
menghasilkan unsur hara makro, pupuk kandang juga menghasilkan sejumlah unsur
hara mikro, seperti Fe, Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo. Jadi dapat dikatakan bahwa, pupuk
kandang ini dapat dianggap sebagai pupuk alternatif untuk mempertahankan produksi
tanaman (Purwendri, 2006).

1.1.5 Ampas Tebu


Ampas tebu merupakan limbah padat produk stasiun gilingan pabrik gula,
diproduksi dalam jumlah 32 % tebu yang digiling. Ampas tebu juga dapat dikatakan
sebagai produk pendamping, karena ampas tebu sebagian besar dipakai langsung oleh
pabrik gula sebagai bahan bakar ketel untuk memproduksi energi keperluan proses,
yaitu sekitar 10,2 juta ton pertahun (97,4 % produksi ampas). Sisanya (sekitar 0,3 juta
ton per tahun) terhampar di lahan pabrik sehingga dapat menyebabkan polusi udara,
pandangan dan bau yang tidak sedap disekitar pabrik gula.Ampas tebu mengandung
air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila ditumpuk akan mengalami fermentasi yang
menghasilkan panas. Jika suhu tumpukan mencapai 94 oC akan terjadi kebakaran
spontan (Amurwaraharja, 2006).

1.1.6 Sekam Padi


Limbah sering diartikan sebagai bahan buangan/bahan sisa dari proses
pengolahan hasil pertanian. Proses penghancuran limbah secara alami berlangsung
lambat, sehingga limbah tidak saja mengganggu lingkungan sekitarnya tetapi juga
mengganggu kesehatan manusia. Pada setiap penggilingan padi akan selalu kita lihat
tumpukan bahkan gunungan sekam yang semakin lama semakin tinggi. Saat ini
pemanfaatan sekam padi tersebut masih sangat sedikit, sehingga sekam tetap menjadi
bahan limbah yang mengganggu lingkungan. Sekam padi merupakan lapisan keras
yang meliputi kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea
yang saling bertautan. Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah dari butir
beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Sekam dikategorikan sebagai
biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri,
pakan ternak dan energi atau bahan bakar (Azwar, 1990).
Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30% dari
bobot gabah. Penggunaan energi sekam bertujuan untuk menekan biaya pengeluaran
untuk bahan bakar bagi rumah tangga petani. Penggunaan Bahan Bakar Minyak yang
harganya terus meningkat akan berpengaruh terhadap biaya rumah tangga yang harus
dikeluarkan setiap harinya. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam
sekitar 20-30%, dedak antara 8-12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal
gabah. Sekam dengan persentase yang tinggi tersebut dapat menimbulkan problem
lingkungan. Ditinjau data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa unsur
kimia penting seperti dapat dilihat di bawah.
Adapun komposisi kimia sekam padi menurut Suharno pada tahun 1979 adalah
sebagai berikut:
• Kadar air : 9,02%
• Protein kasar : 3,03%
• Lemak : 1,18%
• Serat kasar : 35,68%
• Abu : 17,17%
• Karbohidrat dasar : 33,71
• Karbon (zat arang) : 1,33%
• Hidrogen : 1,54%
• Oksigen : 33,64%
• Silika : 16,98%
Dengan komposisi kandungan kimia seperti di atas, sekam dapat dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan di antaranya:sebagai bahan baku pada industri kimia,
terutama kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan sebagai bahan baku
dalam berbagai industri kimia,sebagai bahan baku pada industri bahan bangunan,
terutama kandungan silika (SiO2) yang dapat digunakan untuk campuran pada
pembuatan semen portland, bahan isolasi, husk-board dan campuran pada industri bata
merah (Suharno, 1979).
Untuk lebih memudahkan diversifikasi penggunaan sekam, maka sekam perlu
dipadatkan menjadi bentuk yang lebih sederhana, praktis dan tidak voluminous. Bentuk
tsersebut adalah arang sekam maupun briket arang sekam. Arang sekam dapat dengan
mudah untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar yang tidak berasap dengan nilai kalori
yang cukup tinggi. Briket arang sekam mempunyai manfaat yang lebih luas lagi yaitu
di samping sebagai bahan bakar ramah lingkungan, sebagai media tumbuh tanaman
hortikultura khususnya tanaman bunga (Suharno, 1979).
1.2 TujuanPercobaan
Adapun tujuan percobaan dari pembuatan pupuk padat yaitu sebagai berikut:
1. Pembuatan pupuk padat dari ampas tebu.
2. Mempelajari pengaruh konsentrasi bioaktivator pada proses pengomposan.
3. Mengukur pH dan mengukur kadar air.
DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 2005. Official Methods Of Analysis. Association of Official Analytical


Chemists. Benjamin Franklin Station. Washington.

Amurwaraharja, I.P. 2006. Analisa Teknologi Pengolahan Sampah. Institut Pertanian


Bogor. Bogor.

Azwar, Asrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumberwidya.


Jakarta.

Outerbridge, Thomas. 1991. Limbah Padat Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.


Jakarta.

Purwendri, S, dan Nurhidayat. 2006. Mengolah Sampah Untuk Pupuk dan Pestisida
Organik Seri Agritekno. PenebarSwadaya. Jakarta.

Suharno. 1979. Optimasi Lahan Sanitary Landfill Suatu Konsep. Jurnal Teknik
Penyehatan Edisi Mei.

Yuniawati. 2012. Optimasi Kondisi Proses Pembuatan Kompos Dari Sampah Organik
Dengan Cara Fermentasi Menggunakan EM-4. Institut Sains & Teknologi
AKPRIND. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai