ABSTRACT
PENDAHULUAN
Biourin adalah hasil proses pengolahan limbah urin ternak dengan cara di fermentasi.
Kandungan yang terdapat pada urin sapi yaitu N-total 0,33%, C-organik 0,6%, pH 8,33 (Adijaya,
2011). Fermentasi merupakan proses untuk menghasilkan energy yang dapat berlangsung secara
aerobik maupun anaerobik. Fermentasi dalam pembuatan biourin yang dilakukan Merisa (2013)
adalah membutuhkan waktu selama 7 hari. Starter yang digunakan untuk pembuatan biourin
adalah bakteri Ruminno bacillus atau dengan memakai Azotobacter yang dicampur dalam urin
sapi. Proses fermentasi selama 7 hari tersebut dianggap sudah optimal namun perlu adanya
kajian lebih lanjut.
Proses fermentasi urin sapi menjadi biourin dapat dioptimalkan dengan penambahan starter
dan memperkaya nutrisi yaitu gula merah. Pemberian starter dan memperkaya nutrisi sangat
berpengaruh pada lama atau cepatnya proses fermentasi. pengaruh lama atau cepatnya proses
fermentasi disebabkan oleh peningkatan aktivitas bakteri. Kunaepah (2008) menyatakan
memperkaya nutrisi pada proses fermentasi urin sapi dengan penambahan glukosa sebagai
sumber karbon juga berpengaruh terhadap aktivitas bakteri, karena glukosa merupakan substrat
yang mudah dicerna dan dimanfaatkan untuk pertumbyhan mikroorganisme. Sanjaya (2010)
menambahkan, glukosa berfungsi sebagai sumber energi dan unsur utama dalam pembentukan
sel mikroorganisme.
Mudiarta (2018) menyatakan, proses fermentasi bioslurry dapat dipercepat dengan cara
menambahkan nutrisi dan oksigen. Pengaruh lama atau cepatnya proses fermentasi disebabkan
oleh peningkatan aktivitas mikroorganisme. Molase mengandung nutrisi yang cukup tinggi untuk
kebutuhan mikroorganisme, sehingga dapat dijadikan bahan alternatif sebagai sumber karbon
1
dalam proses fermentasi. Sedangkan penambahan oksigen dari aerator dapat membantu aktivitas
mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik.
Untuk mengoptimalkan proses fermentasi urin sapi dalam pembuatan biourin maka pada
penelitian ini akan digunakan biourin jadi sebagai starter dan molase sebagai sumber nutrisi serta
aerator untuk membantu proses penguraian bahan organik. Penelitian ditekankan pada penentuan
konsentrasi starter yang mampu menghasilkan proses fermentasi biourin yang optimal.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Ternak Telaga Sari SIMANTRI 453 Desa
Pikat, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung dan uji kandungan biourin dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayan. Sedangkan waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan April-Juni 2018.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancak Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan
yaitu P1 = 0% biourin jadi, P2 = 10% biourin jadi, P3 = 20% biourin jadi, dan P3 = 30% biourin
jadi. Masing-masing perlakuan ditambahkan molase 1 liter untuk setiap perlakuan dan setiap
perlakuan memiliki volume 5 liter. Selain itu pada setiap perlakuan dipasang 1 buah aerator
untuk membantu aktivitas mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik.
Tahapan Penelitian
Urin sapi diambil dari bak penampungan yang terdapat di SIMANTRI 453 Kelompok Tani
Ternak Telaga Sari. Urin sapi selanjutnya di saring agar memperoleh urin yang seragam. Urin
yang telah disaring kemudian ditampung ke dalam ember bervolume 15 liter dan diisi dengan
urin sebanyak 5 liter. Urin yang telah ditampung kemudian di berikan perlakuan yaitu : P1 =
2
100% urin sapi + 0% biourin jadi, P2 = 90% urin sapi + 10% biourin jadi, P3 = 80% urin sapi +
20% biourin jadi, P4 = 70% urin sapi + 30% biourin jadi. Setelah pemberian perlakuan urin sapi
di fermentasi selama 15 hari.
8.0
7.0
BOD (mg/l)
6.0 P1
5.0 P2
4.0
P3
3.0
P4
2.0
1.0
0.0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada hari ke 1 fermentasi biourin nilai
biochemical oxygen demand tertinggi ditunjukan oleh perlakuan 20% biourin dengan nilai 7,5
mg/l, sedangkan nilai terendah ditunjukan oleh perlakuan 0% biourin dan 30% biourin dengan
3
nilai 5,3 mg/l. Pada hari ke 15 fermentasi biourin nilai biochemical oxygen demand tertinggi
ditunjukan oleh perlakuan 30% biourin dengan nilai 1,0 mg/l, sedangkan nilai terendah
ditunjukan oleh perlakuan 10% biourin dengan nilai 0,8 mg/l.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa tingginya nilai biochemical oxygen demand
pada proses fermentasi biourin menunjukan bahwa meningkatnya jumlah kandungan bahan
organik yang terkandung didalam bahan. Biochemical oxygen demand sebagai salah satu ukuran
jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme yang berada didalam perairan sebagai
respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai (Mays, 1996). Sedangkan rendahnya
nilai biochemical oxygen demand pada proses fermentasi biourin menunjukan bahwa terdapat
penurunan jumlah bahan organik yang terkandung di dalam bahan. Semakin rendah penambahan
biourin pada proses fermentasi biourin maka nilai biochemical oxygen demand semakin rendah.
Pada kondisi kecukupan oksigen terlarut maka mikroba dapat tumbuh dan berkembang secara
maksimal (Suharto, 2011). Pengukuran biochemical oxygen demand deperlukan untuk
menentukan nilai pencemaran yang berasal dari limbah cair buangan penduduk atau industri
dengan mendesain sebuah system pengolahan biogas (Fardiaz, 2006).
10.00
8.00 P1
6.00
pH
P2
4.00 P3
2.00 P4
0.00
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Hasil pengukuran pH selama proses fermentasi urin sapi pada msing-masing perlakuan
terlihat menunjukkan nilai pH yang fluktuatif dapat dilihal pada Gambar 2. Dari Gambar 2 dapat
4
diketahui bahwa setiap perlakuan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas
mikroorganisme berkurang sehingga nilai pH menurun.
Berdasarkan Gambar 2 diatas dapat dilihat bahwa pada hari ke 1 fermentasi biourin nilai
pH tertinggi ditunjukan oleh perlakuan 20% biourin dengan nilai 8,6, sedangkan nilai terendah
ditunjukan oleh perlakuan 30% biourin dengan nilai 8,5. Pada hari ke 15 fermentasi biourin nilai
pH tertinggi ditunjukan oleh perlakuan 0% biourin dengan nilai 5,93, sedangkan nilai terendah
ditunjukan oleh perlakuan 20% biourin dan 30% biourin dengan nilai 5,67.
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa penurunan nilai pH pada proses fermentasi
biourin terjadi karena adanya proses pembentukan asam-asam organik yang disebabkan oleh
kandungan asam dari molase. Sedangkan peningkatan nilai pH pada proses fermentasi biourin
diduga terjadi karena adanya proses demineralisasi yang disebabkan oleh oksigen dari
penggunaan aerator dalam mengurai bahan organik menjadi kation dan anion, namun dalam
proses tersebut unsur kation lebih dominan sehingga nilai pH mengalami peningkatan. Selama
proses dekomposisi berlangsung, asam-asam organik akan menjadi netral dan kompos menjadi
matang biasanya mencapai pH anara 6 – 8 (Indriani, 2007). Namun nilai pH dari setiap
fermentasi biourin masih berada dalam batas toleransi pH pupuk organik cair yang sesuai dengan
persyaratan Permenta 4 – 9.
5
13 2814 2816 2816 2814
14 2814 2815 2816 2814
15 2814 2814 2814 2814
Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa nilai total dissolved solids dari setiap
perlakuan pada proses fermentasi biourin cenderung mengalami peningkatan dari awal
fermentasi. Nilai rata-rata total dissolved solids tertinggi pada hari ke 1 fermentasi biourin
ditunjukan oleh perlakuan 10% biourin dan 20% biourin dengan nilai 2801 ppm, sedangkan nilai
rata-rata total dissolved solids terendah pada hari ke 1 fermentasi biourin ditunjukan oleh
perlakuan 30% biourin dengan nilai 2794 ppm. Pada hari ke 8 dan 9 fermentasi biourin
mengalami peningkatan yang sangat signifikan yang ditunjukan oleh perlakuan 0% biourin
dengan nilai 2998 ppm dan 2998 ppm, sedangkan pada hari ke 8, 9, dan 10 fermentasi biourin
ditunjukan oleh perlakuan 30% biourin dengan nilai 2936 ppm, 2938 ppm, dan 2938 ppm.
Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata electrical conductivity
tertinggi pada hari ke 1 fermentasi biourin ditunjukan oleh perlakuan 10% biourin dan 20%
biourin dengan nilai 5602 mS, sedangkan nilai rata-rata electrical conductivity terendah pada
hari ke 1 fermentasi biourin ditunjukan oleh perlakuan 30% biourin dengan nilai 5588 mS. Pada
6
hari ke 8 dan 9 fermentasi biourin mengalami peningkatan yang sangat signifikan yang
ditunjukan oleh perlakuan 0% biourin dengan nilai 5996 mS dan 5996 mS, sedangkan pada hari
ke 8, 9, dan 10 fermentasi biourin ditunjukan oleh perlakuan 30% biourin dengan nilai 5871 mS,
5875 mS, dan 5875 mS. Electrical Conductivity terdiri dari unsur-unsur hara yang terlarut dalam
air berupa ion bermuatan positif (kation) dan ion bermuatan negative (anion) (Sutiyoso, 2009).
C-Organik, N-Total, dan C/N rasio ??? (masih dalam proses analisis lab tanah)
Kesimpulan
1. Penambahan biourin berpengaruh terhadap proses fermentasi biourin kotoran sapi. Hal ini
ditandai dengan nilai biochemical oxygen demand dan pH yang sudah mulai stabil selama 15
hari fermentasi.
2. Dari empat perlakuan pada proses fermentasi biourin kotoran sapi, perlakuan yang terbaik
yaitu,
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan adapun saran yang dapat diberikan
adalah, perlu dilakukannya pengkajian lebih lanjut untuk mendukung proses fermentasi biourin
kotoran sapi serta bahan tambahan yang dapat memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk
organik cair No.70/Permenta/SR.140/10/2011.
DAFTAR PUSTAKA
Adijaya. 2011. Pemanfaatan urin ternak (Bio Urine) dalam mendukung pertanian ramah
lingkungan. Bulletin Balai Pengkajian Teknologi (BPTP).
Aritonang. 2015. Optimalisasi Proses Fermentasi Urin Sapi Menjadi Biourin. Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas Udayana
Balai Pusat Statiskik (BPS). Populasi Sapi Potong menurut Provinsi, 2009-2016
7
Indriani, Novita Hety. 2007. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta
Khoirul Huda. 2013. Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Urin Sapi Dengan Aditif Tetes Tebu
(Molase) Metode Fermentasi. Universitas Negeri Serang.
Suharto, 2011. Limbah Kimia Dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta: Andi Offset
Sutanto Rachman. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Yadav, A., R. Gupta, dan V.K. Garg. 2013. Organic manure production from cow dung and
biogas slurry by vermin composting under field conditions. International Journal of
Recycling of Organic Waste in Agriculture 2(21):2-7.