Dosen Pengampu :
Drs. H. Hardiansyah, M.Si.
Mahrudin, S.Pd., M.Pd.
Nurul Hidayati Utami, S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh :
Kelompok 8
Disya Citta Tarannisa Putrie (2010119220043)
Kamila Nur Faizza (2010119220006)
Lidya Nilam Cahaya (2010119220015)
Muhammad Ramadhani (2010119310011)
Nur Zakiah (2010119120003)
Sofia Candrikaningtyas (2010119220016)
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah tentang “Hutan
Rawa Gambut” ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam pembuatan
makalah ini kami mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Dengan begitu di
sini kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. H. Hardiansyah,
Bapak Mahrudin, S.Pd., M.Pd., dan Ibu Nurul Hidayati Utami, S.Pd., M.Pd.
selaku dosen pengampu mata kuliah Ekologi Lahan Basah serta kepada seluruh
anggota kelompok yang sudah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak
terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah Ekologi Lahan Basah ini, maka
dari itu kami sangat terbuka dengan saran dan masukan yang membangun dari
berbagai pihak. Selain itu, kami juga berharap makalah ini dapat menjadi manfaat
bagi semua pihak yang membacanya serta dapat menjadi sumbangan pemikiran
tentang hutan rawa gambut. Akhir kata kami mengucapkan permohonan maaf
apabila ada kesalahan dan kekeliruan dalam pembuatan makalah ini, dan semoga
makalah ini dapat menjadi manfaat bagi setiap orang.
Kelompok 8
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................5
2.1. Pengertian dan Ciri – Ciri Ekosistem Hutan Rawa Gambut..............................5
2.2. Peran dan Fungsi Hutan Rawa Gambut.............................................................8
2.3. Faktor yang Mempengaruhi Ekosistem Hutan Rawa Gambut........................10
2.4. Proses Ekologis pada Kawasan Hutan Rawa Gambut.....................................11
2.5. Contoh Ekosistem Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Selatan.....................12
2.6. Pengelompokkan Tanah Gambut.....................................................................15
2.7. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan di Hutan Rawa Gambut............................15
2.8. Ancaman Kerusakan Hutan Rawa Gambut.....................................................17
2.9. Upaya Konservasi Kawasan Hutan Rawa Gambut..........................................19
BAB III PENUTUP.....................................................................................................21
3.1 Kesimpulan........................................................................................................21
3.2 Saran..................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Luas lahan basah di Kalimantan Selatan mencapai 382.272 ha.
Lahan basah di Kalimantan Selatan merupakan daerah cekungan pada dataran
rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari
sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering.
Lahan basah sangat unik dan memiliki kepentingan ekologis yang luas, mulai
tingkat lokal hingga global. Lahan basah bisa diberdayakan secara produktif
bagi ekonomi lokal, sumbangannya terhadap keakekaragaman hayati juga
sangat signifikan. Ribuan jenis tanaman unik dan unggas khas yang
bermigrasi biasanya singgah di kawasan lahan basah.
Hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan rawa yang merupakan
ekosistem yang spesifik dan rapuh (fragile) baik dilihat dari segi habitat
lahannya yang berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi
dengan ketebalan mulai 0,5 meter sampai dengan 20 meter. Jenis tanahnya
tergolong dalam organosol, podsol maupun glei humik. Karakteristik yang
umum dari lahan gambut dicirikan dengan kandungan bahan organik tinggi, pH
rendah, nilai KTK yang tinggi dan nilai kejenuhan basa yang rendah berakibat
memberikan kodnsisi unsur hara yang rendah. Ketebalan gambut yang
bervariasi dari kedalaman yang dangkal sampai yang dalam akan memberikan
kondisi yang bermacam-macam. (Santosa, 2013).
2
Pada umumnya hutan rawa gambut dalam kondisi normal selalu
digenangi air mulai ketinggian 5 cm di bawah permukaan tanah sampai dengan
tinggi dipermukaan air tanah lebih dari 25 cm diatas permukaan tanah. Pada
habitat dengan ketebalan gambut relatif tipis(<40cm) biasanya lapisan bawah
terhampar lapisan pasir kuarsa putih. Hutan rawa gambut tipe ini yang disebut
sebagai hutan kerangas (Daryono, 2000).
Hutan rawa gambut di Indonesia mempunyai peran yang sangat
penting karena keunikan lokasi, karaktersitik hutan dan gambutnya, kekayaan
biodiversitas dalam ekosistem global maupun regional. Menurut Bellamy
(1997) dalam Mulayanto (2000) bahwa di dunia terdapat 400 juta hektar lahan
gambut dan 90% diantaranya terletak di daerah temperate dan 10% di daerah
tropik. Indonesia memiliki luas lahan gambut 20 juta hektar yang tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan kepulauan Maluku dimana
propinsi Kalimantan Barat mempunyai lahan gambut paling luas sekitar 45,61
juta hektar, kemudian Kalimantan Tengah 2,16 juta hektar, Riau 1,7 juta
hektar, dan Kalimantan Selatan 1,48 juta hektar (Noor, 2001).
3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan pengertian dan ciri – ciri ekosistem hutan rawa gambut.
2. Mendeskripsikan peran dan fungsi hutan rawa gambut.
3. Mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi ekosistem hutan rawa
gambut.
4. Mendeskripsikan proses ekologis pada kawasan hutan rawa gambut.
5. Mendeskripsikan contoh ekosistem hutan rawa gambut di Kalimantan
Selatan.
6. Mendeskripsikan pengelompokkan tanah gambut.
7. Mendeskripsikan keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan rawa gambut.
8. Mendeskripsikan ancaman kerusakan hutan rawa gambut
9. Mendeskripsikan upaya konservasi kawasan hutan rawa gambut.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sifat Fisik
Dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, karakteristik
atau sifat fisik gambut yang penting untuk dipelajari adalah
kematangan gambut, kadar air, berat isi (bulk density), daya
menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan tanah
(subsidence), sifat kering tak balik (irreversible drying) (Agus dan
Subiksa, 2008).
Kematangan gambut diartikan sebagai tingkat pelapukan bahan
organik yang menjadi komponen utama dari tanah gambut.
Identifikasi tingkat kematangan tanah gambut bisa dilakukan secara
langsung di lapangan, dengan cara meremas gambut dengan
menggunakan tangan. Jika setelah diremas kurang dari sepertiga
gambut yang tertinggal dalam tangan (lebih dari dua pertiga yang
5
lolos) maka gambut digolongkan sebagai gambut saprik, sebaliknya
jika yang tertinggal lebih dari dua pertiga maka gambut tergolong
sebagai gambut fibrik. Gambut digolongkan sebagai gambut hemik,
jika yang tertinggal atau yang lolos sekitar 50%. Pada gambut saprik,
bagian gambut yang lolos relatif tinggi karena strukturnya relatif
lebih halus, sebaliknya gambut mentah masih didominasi oleh serat
kasar (Dariah dkk, 2014).
Lahan gambut mempunyai kemampuan menyerap dan
menyimpan air jauh lebih tinggi dibanding tanah mineral. Komposisi
bahan organik yang dominan menyebabkan gambut mampu
menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi (Dariah dkk, 2014).
Berat isi (bulk density) atau sering disebut juga dengan istilah
berat volume merupakan sifat fisik tanah yang menunjukkan berat
massa padatan dalam suatu volume tertentu. BD tanah gambut yang
sangat rendah yaitu <0,1 g cm-3 ditemukan pada gambut fibrik
(mentah) yang terletak di lapisan bawah, sedangkan gambut pantai
dan gambut yang terletak di jalur aliran sungai mempunyai BD yang
relatif lebih tinggi, yakni >0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh bahan
mineral, namun masih jauh dibanding BD tanah mineral yang
berkisar 0,7-1,4 g cm-3 (Dariah dkk, 2014).
Subsiden (subsidence) atau penurunan permukaan lahan
merupakan kondisi fisik yang sering dialami lahan gambut yang
telah didrainase. Proses drainase menyebabkan air yang berada di
antara massa gambut mengalir keluar (utamanya bagian air yang bisa
mengalir dengan kekuatan gravitasi), akibat proses ini gambut
mengempis atau mengalami penyusutan (Dariah dkk, 2014).
Daya menahan beban (bearing capacity) gambut yang tergolong
rendah merupakan karakteristik tanah gambut yang sering menjadi
6
faktor penghambat produktivitas tanaman, terutama tanaman
tahunan. Kondisi tanaman yang tidak tegak (doyong) yang sering
ditemukan di lahan gambut merupakan indikasi rendahnya daya
menahan beban tanah gambut (Dariah dkk, 2014).
Terjadinya kondisi kering tidak balik juga menunjukkan bahwa
bagian aktif dari tanah gambut berada fase cairnya. Menurut
Sabiham (2000), penurunan kemampuan gambut menyerap air
berkaitan dengan penurunan ketersediaan gugus karboksilat dan OH-
fenolat dalam bahan gambut. Kedua komponen organik ini
merupakan senyawa yang bersifat hidrofilik, sehingga jika fase cair
telah hilang maka gambut yang pada mulanya bersifat hidrofilik
berubah menjadi bersifat hidrofobik (menolak air).
2. Sifat Kimia
Keragaman sifat kimia lahan gambut dipengaruhi oleh
komposisi bahan induk, laju dekomposisi, lingkungan sekitarnya,
substratum dan ketebalan gambut. Lahan gambut yang bahan
penyusunannya dari lumut (sphagnum) lebih subur dibandingkan
dari gambut berkayu. Kesuburan gambut matang (saprik) lebih tinggi
dibandingkan gambut mentah (Dariah dkk, 2014).
Kemasaman tanah gambut tropika umumnya tinggi (pH 3-5),
disebabkan oleh buruknya kondisi pengatusan dan hidrolisis asam-
asam organik, yang didominasi oleh asam fulvat dan humat.
Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut
makin tebal (Dariah dkk, 2014).
Kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah gambut sangat tinggi,
berkisar 100-300 me 100g-1 berdasarkan berat kering mutlak
(Hartatik dan Suriadikarta, 2006). Tingginya nilai KTK tersebut
disebabkan oleh muatan negatif tergantung pH yang sebagian besar
berasal dari gugus karboksilat dan fenolat, dengan kontribusi
terhadap KTK sebesar 10 - 30% dan penyumbang terbesarnya adalah
7
derivat fraksi lignin yang tergantung muatan 64 -74% (Charman,
2002).
Ketersediaan N, P, K, Ca, dan Mg dalam tanah gambut
umumnya rendah, meskipun pada umumnya kandungan N, P, K total
tinggi (Wong et al., 1986 dalam Mutalib et al., 1991). Sebagian
besar N, P, K total dalam gambut berada dalam bentuk organik
(Andriesse 1988).
Selain hara makro, lahan gambut juga kahat unsur mikro seperti
Cu, Zn, Fe, Mn, B, dan Mo. Kadar unsur Cu, Bo, dan Zn di lahan
gambut umumnya sangat rendah dan seringkali terjadi defisiensi
(Wong et al., 1986 dalam Mutalib et al., 1991). Pembentukan
senyawa organik-metalik menyebabkan unsur mikro tidak atau
kurang tersedia (Suryanto, 1994).
Makin tebal gambut, kandungan abu dan basa-basanya makin
rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada gambut ombrogen
dipengaruhi oleh proses pembentukan yang banyak dipengaruhi oleh
air hujan dan proses pelindian unsur hara ke luar sistem selama
proses pembentukan gambut (Dariah dkk, 2014).
8
Hutan rawa gambut mempunyai peran penting dalam menjaga dan
memelihara keseimbangan lingkungan hidup, baik sebagai reservoir air,
rosot dan carbon storage, perubahan iklim serta keanekaragaman hayati
yang saat ini eksistensinya semakin terancam Sifat gambut yang irreversibel
drying akan mudah terbakar, sehingga peran hidrologi/tata air di dalam
lahan gambut memiliki peranan yang sangat besar dan sangat menentukan
keberlangsungan hutan rawa gambut. Keberlangsungan ekosistem hutan
rawa gambut yang memiliki nilai konservasi tinggi sesuai dengan fungsinya,
karena memiliki keaslian dan keunikan alamnya (Antonius, 2016).
Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50% di
antaranya terdapat di Indonesia. Karena itu lahan gambut di Indonesia
merupakan cadangan karbon terestrial yang penting untuk diperhitungkan.
Jika dilindungi dalam kondisi alami lahan gambut dapat meningkatkan
kemampuannya dalam menyerap karbon. Tetapi jika mengalami gangguan,
lahan gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO2, tetapi juga GRK
lainnya seperti CH4, dan N2O.
Sebagian besar cadangan karbon lahan gambut terdapat di bawah
permukaan berupa bahan organik yang telah terakumulasi selama ribuan
tahun (libat gambar). Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 -
525 Gt C atau 15 - 35% dari total C terestrial. Jika diasumsikan bahwa
kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114kg/m3
dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan C di lahan gambut Indonesia adalah
sebesar 46 Gt. (catatan: 1 Gt = 109 ton).
9
Gangguan terhadap ekosistem lahan basah akan mempengaruhi
cadangan dan siklus karbon. Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang
menyebabkan tinggginya karbon yang dilepaskan ketika lahan gambut
(termasuk vegetasi di atasnya) di Indonesia terbakar pada tahun 1997, yang
jumlahnya berkisar antara 0.81-2.57 Gt. Pemeliharaan cadangan karbon dan
peningkatan serapan karbon dapat dilakukan melalui kegiatan konservasi
dan pengelolaan seperti pengayaan tanaman, dan pengelolaan air.
10
Kondisi-kondisi lingkungan tersebut akan mempengaruhi regenerasi
hutan pada semua tahap pertumbuhan vegetasi. Intensitas cahaya merupakan
faktor utama yang mempengaruhi eksistensi permudaan alam (Schiøtz et al.,
2006). Intensitas cahaya ini akan mempengaruhi faktor fisik dan biotik
lainnya seperti suhu, kelembaban, kelimpahan herbivora dan aktivitas dari
patogen sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi vegetasi secara
keseluruhan. Pembukaan tajuk akan membuat variasi dalam ketersediaan
intensitas cahaya dan akan mendukung pertumbuhan jenisjenis tumbuhan
tertentu akan tetapi pembukaan tajuk yang sangat luas justru akan
mengganggu perkembangan vegetasi (Szwagrzyk et al., 2001). Kemudian
(Triisberg et al., 2013) menjelaskan bahwa usaha revegetasi di lahan gambut
yg telah ditinggalkan lebih ditentukan oleh faktor kelembaban tanah
dibandingkan ketersediaan nutrisi dan propagul.
11
tersebut menjadi penuh. Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau
dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses
pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan (Susanto dkk,
2018).
12
Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan rawa menjadi penyedia berbagai
keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal (Herni, 2009).
Di Kalimantan Selatan terdapat beberapa lahan rawa gambut yang
dapat ditemui, diantaranya adalah rawa lebak dan padang rawa paminggir.
A. Rawa Lebak
Rawa Lebak atau disebut Rawa Non Pasang Surut, pada umunya
merupakan lahan dengan keadaan Topografi rendah dan berbentuk
cekungan. Akibat air hujan, maka daerah tersebut tergenang air karena
daerah drainase yang tidak baik. Di musim kering, berangsur-angsur air
rawa tersebut menjadi kering dan terkadang kering sam sekali dalam
waktu relative singkat 1-2 bulan. Pada daerah-daerah di dekat sungai, air
yang menggenang berasal dari luapan air sungai sekitarnya. Namun ada
pula daerah rawa yang sudah digenangi air hujan sebelum ditambah oleh
limpahan air sungai ke daerah tersebut (Aziludin, 2014).
Rawa Lebak
(Hamidah, 2009)
13
sedikit daerah yang berbukit kecil di daerah Kecamatan Amuntai Utara.
Daerah Hulu Sungai Utara dilalui oleh cukup banyak sungai. Sungai yang
mendominasi keadaan hidrologi daerah tersebut adalah Sungai Tabalong
dan Balangan yang bertemu di Sungai Nagara. Sementara itu dari daerah
Tabalong mengalir sungai kecil yang melewati Sungai Haur Gading terus
ke Danau Panggang/Paminggir dan menuju Sungai Barito. Sebagian
sungai-sungai tersebut masih digunakan sebagai sarana transportasi air.
Berdasarkan peta topografi/rupa bumi dengan skala 1 : 50.000, lahan
tertinggi mencapai 21 meter dpl terletak di desa Air Tawar kecamatan
Amuntai Utara, sedangkan daerah rawa terendah pada ketinggian 0 meter
dpl. Selain itu kawasan rawa Hulu Sungai Utara merupakan bagian dari
sinklinorium. Proses-proses pelipatan menyebabkan permukaan tanah
mineral menjadi tidak sama tinggi. Sedimen liat tersier menutupi bagian-
bagian tertentu daerah rawa sebelah barat laut daerah rawa dan bagian hulu
sampai paminggir. Keadaan ini merubah pula keadaan lahan/bentuk lahan
secara keseluruhan (Herni, 2009).
14
2.6. Pengelompokkan Tanah Gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal
sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan
organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3
dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3
dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003). Gambut diklasifikasikan
lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat
kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut
dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam,
dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk,
sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila
diremas bahan seratnya 15 – 75%.
3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75%
seratnya masih tersisa.
15
A. Hutan Rawa Gambut yang Masih Utuh
16
B. Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar
17
Lahan gambut sendiri memang menjadi lokasi yang paling mudah
terpapar kebakaran hutan. Pada dasarnya, hutan hujan tropis dan lahan
gambut adalah wilayah yang tak biasanya terbakar karena lokasinya yang
cenderung basah. Namun, akibat dari pembukaan hutan dan pengeringan
lahan untuk perkebunan, angka kerentanan lahan gambut dari potensi
kebakaran semakin meningkat. Lahan gambut yang telah dikeringkan bisa
membara secara perlahan, sementara vegetasi yang kering di musim
kemarau pun makin memudahkan terjadinya kebakaran dalam skala yang
luas. Kebakaran hutan yang terjadi juga dapat menyebar dengan cepat,
terlebih kebakaran hutan di lahan gambut dapat menyebar jauh ke dalam
tanah. Ketika sudah membara di dalam tanah, kebakaran di lahan gambut
akan makin sulit untuk dipadamkan bahkan nyala api dalam berlangsung
selama berbulan-bulan yang kemudian membawa emisi gas rumah kaca
yang sangat besar dan juga polusi kabut asap yang sangat pekat (Susanto
dkk, 2018).
Sumatera 624.000
Kalimantan 1.100.000
Papua 400.000
Jumlah 2.124.000
Tabel 1.1 (Luas area lahan gambut yang terbakar (Bappenas – ADB, 1999)
19
daya, sedangkan kawasan reklamasi disebut kawasan budi daya. Wilayah
rawa yang termasuk sebagai kawasan lindung adalah: (1) kawasan gambut
sangat dalam, lebih dari 3 m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan sungai; (4)
kawasan sekitar danau rawa; dan (5) kawasan pantai berhutan bakau.
Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang
memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna
dan/atau flora tertentu yang langka serta untuk melindungi keanekaragaman
hayati. Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti aslinya atau
dipreservasi dengan status sebagai kawasan non budidaya.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Lahan rawa adalah daratan yang tergenang secara periodik atau terus
menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat
2. Rawa gambut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam tata air
kawasan, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dan berfungsi
sebagai penyimpan karbon
3. Pengeringan lahan yang menyebabkan menurunnya tinggi muka air tanah,
perubahan iklim global yang meningkatkan suhu, menurunnya kelembaban
tanah sehingga mempercepat proses dekomposisi dan meningkatkan
keasaman tanah
4. Isu utama kerusakan rawa gambut adalah terjadinya penebangan liar;
konversi lahan gambut untuk pemukiman (transmigrasi), pertanian,
industri, dan pembuatan parit/kanal.
5. Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang
secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah.
6. Di Kalimantan Selatan terdapat beberapa lahan rawa gambut yang dapat
ditemui, diantaranya adalah rawa lebak dan padang rawa paminggir.
7. Pengelompokkan tanah gambut dibagi menjadi tiga yaitu, matang,
setengah matang, dan mentah.
8. Keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan rawa gambut yang masih utuh
berbeda dengan hutan rawa gambut bekas terbakar.
9. Hutan rawa gambut menyimpan karbon untuk mengendalikan perubahan
iklim.
10. Kerusakan hutan rawa gambut sering disebabkan karena kebakaran hutan.
11. Upaya pengelolaan lahan rawa gambut perlu menerapkan pendekatan
konservasi, yang meliputi perlindungan, pengawetan, dan peningkatan
fungsi dan manfaat.
21
3.2 Saran
Saran dan harapan kami, dengan mempelajari tentang Rawa
Gambut ini kita dapat lebih memahami tentang Rawa Gambut baik dari segi
kegunaan dalam pembelajaran sehingga dapat memudahkan ketika kita dalam
proses pembelajaran.
22
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., & Subiksa, I. G. M. (2008). Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian
dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World
Agroforestry Centre (ICRAF).
Andriesse, J. P. (1988). Natural And Management of Tropical Peat Soil. Bulletin
Fao Soil Vol: 59.
Antonius, A. (2016). Upaya Konservasi Ekosistem Hutan Rawa Gambut. PIPER,
12(23), 136-146.
Aziludin, A. (2014). Rawa Lebak Kalimantan Selatan. Diakses melalui
http://www.academia.edu/rawa/lebak/kalimantan/selatan. Pada tanggal
10 Februari 2020.
Bappenas - ADB. (1999). Causes, extent, impact and costs of 1997/1998 Fire and
Dorught. National Development Planning Agency (Bappenas) and Asian
Development Bank, Jakarta.
CCFPI, WI-IP, WHC. (2003). Penutupan Kanal/Parit (Canal/Ditch Blocking) di
Lahan Gambut: Buku Panduan. CCFPI, WI-IP, WHC. Bogor.
Charman, D. (2002). Peatlands and Environmental Change. John Wiley & Sons.
Ltd. England.
Czerepko, J. (2008). “A Long-Term Study of Successional Dynamics in the Forest
Wetlands.” Forest Ecology and Management, 255(3–4), 630–42.
Daryono, H. (2000). Kondisi Hutan Rawa Gambut Setelah Penebangan dan
Pemilihan Jenis Pohon yang Sesuai Untuk Rehablitasi dan
Pengembangan HTI di Lahan Rawa Gambut. Prosiding Seminar
Pengeloaaan Hutan Rawa Gambut dan Eskspose Hasil Penelitian di
Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.
Hamidah, H. (2009). Rawa Gambut, Pesisir Pantai dan DAMIT yang Merupakan
Daerah Lahan Basah yang Ada di Kalimantan Selatan. Diakses melalui
http//:hmy-farma.com/rawa-gambut-pesisir-pantai-dan-damit.html. Pada
tanggal 11 februari 2020.
Herni, H. (2009). Lahan Basah Rawa di Kalimantan Selatan. Diakses melalui
http:// www.academia.edu /lahan-basah-rawa-di-kalimantan-selatan.html.
Pada tanggal 10 Februari 2020.
23
Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Strategi Nasional dan Rencana Aksi
Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, (2004). Strategi Nasional
dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. ISBN: 979-95899-7-5.
Mudiyarso. M., & Suryadiputra, S. (2003). Paket Informasi Praktis: Perubahan
Iklim dan Peranan Lahan Gambut. CCFPI, WI-IP, dan WHC. Bogor.
Mutalib, A. A., Lim, J. S., Wong, M. H., & Koonvai, L. (1991). Characterization,
Distribution and Utilization of Peat in Malaysia. In Proc. International
Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak,
Malaysia.
Najiyati, S., & Muslihat, L. (2017). Mengenal Tipe Lahan Rawa Gambut. Bogor:
Wetlands International Indonesia Programme.
Nierenberg, N., Tara, R., & David, E. H. (2000). “A Characterization of
Unmanaged Riparian Areas in the Central Coast Range of Western
Oregon.” Forest Ecology and Management 129(1–3):195–206.
Noor, M. (2001). Pertanian Lahan Gambut. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudana, W. (2005). Potensi dan Prospek Lahan Rawa sebagai Sumber Produksi
Pertanian.
Susanto, Denni, Giska, P. M., & Marlianasari, P. (2018). Buku Panduan
Karakteristik Lahan Gambut. Jakarta: UNESCO Office Jakarta.
Syarafuddin. (2017). Melihat dari Dekat Kehidupan Padang Rawa di Paminggir.
Diakses melalui https://kalsel.prokal.co/read/news/12508-melihat-dari-
dekat-kehidupan-padang-rawa-di-paminggir.html Pada tanggal 11
Februari 2020.
Szwagrzyk, J., Janusz S., and Jan, B. (2001). “Dynamics of Seedling Banks in
Beech Forest: Results of a 10- Year Study on Germination, Growth and
Survival.” Forest Ecology and Management 141(3):237–50.
24
Tegelmark, D. O. (1998). “Site Factors as Multivariate Predictors of the Success
of Natural Regeneration in Scots Pine Forests.” Forest Ecology and
Management 109:231–39.
Triisberg, Triin, Edgar, K., and Jaanus, P. (2013). “Factors Affecting the Re-
Vegetation of Abandoned Extracted Peatlands in Estonia: A Synthesis
from Field and Greenhouse Studies.” Estonian Journal of Ecology
62(3):192–211.
25