Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

HUTAN RAWA GAMBUT


MATA KULIAH EKOLOGI LAHAN BASAH
(AKBK 3415)

Dosen Pengampu :
Drs. H. Hardiansyah, M.Si.
Mahrudin, S.Pd., M.Pd.
Nurul Hidayati Utami, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 8
Disya Citta Tarannisa Putrie (2010119220043)
Kamila Nur Faizza (2010119220006)
Lidya Nilam Cahaya (2010119220015)
Muhammad Ramadhani (2010119310011)
Nur Zakiah (2010119120003)
Sofia Candrikaningtyas (2010119220016)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah tentang “Hutan
Rawa Gambut” ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam pembuatan
makalah ini kami mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Dengan begitu di
sini kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. H. Hardiansyah,
Bapak Mahrudin, S.Pd., M.Pd., dan Ibu Nurul Hidayati Utami, S.Pd., M.Pd.
selaku dosen pengampu mata kuliah Ekologi Lahan Basah serta kepada seluruh
anggota kelompok yang sudah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak
terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah Ekologi Lahan Basah ini, maka
dari itu kami sangat terbuka dengan saran dan masukan yang membangun dari
berbagai pihak. Selain itu, kami juga berharap makalah ini dapat menjadi manfaat
bagi semua pihak yang membacanya serta dapat menjadi sumbangan pemikiran
tentang hutan rawa gambut. Akhir kata kami mengucapkan permohonan maaf
apabila ada kesalahan dan kekeliruan dalam pembuatan makalah ini, dan semoga
makalah ini dapat menjadi manfaat bagi setiap orang.

Banjarmasin, 25 Februari 2022

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................5
2.1. Pengertian dan Ciri – Ciri Ekosistem Hutan Rawa Gambut..............................5
2.2. Peran dan Fungsi Hutan Rawa Gambut.............................................................8
2.3. Faktor yang Mempengaruhi Ekosistem Hutan Rawa Gambut........................10
2.4. Proses Ekologis pada Kawasan Hutan Rawa Gambut.....................................11
2.5. Contoh Ekosistem Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Selatan.....................12
2.6. Pengelompokkan Tanah Gambut.....................................................................15
2.7. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan di Hutan Rawa Gambut............................15
2.8. Ancaman Kerusakan Hutan Rawa Gambut.....................................................17
2.9. Upaya Konservasi Kawasan Hutan Rawa Gambut..........................................19
BAB III PENUTUP.....................................................................................................21
3.1 Kesimpulan........................................................................................................21
3.2 Saran..................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki lahan rawa terluas di kawasan tropika dengan
bahan sedimen yang terdiri atas tanah mineral, tanah gambut, atau kombinasi
keduanya. Diperkirakan rawa yang ada di Indonesia layak untuk budidaya
pertanian. Lahan rawa yang cocok untuk budidaya tanaman umumnya adalah
yang bebas dari pirit minimal di zona perakaran, dan gambut tipis yang tetap
bersifat hidrofilik. Lahan rawa merupakan lahan alternatif untuk
pengembangan pertanian. Lahan rawa terdiri atas lahan pasang surut dan
lahan lebak. Sejarah pemanfaatan rawa dilatarbelakangi oleh kondisi
kekurangan pangan yang dialami Indonesia pada masa-masa awal
kemerdekaan
Lahan rawa (lebak dan pasang surut) memiliki potensi besar untuk
dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi pertanian
kedepan yang menghadapi tantangan makin kompleks, terutama untuk
mengimbangi penciutan lahan subur maupun peningkatan permintaan
produksi, termasuk ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis
Pemanfaatan lahan rawa masih sangat terbatas akibat keterbatasan
teknologi dan varietas. Untuk memanfaatkan lahan rawa tersebut, diperlukan
teknologi yang dapat menghadapi permasalahan serius (Sudana, 2005).
Kalimantan selatan merupakan provinsi yang dijuluki
dangan kota seribu sungai, karena banyak sungai yang mengaliri daerah-
daerah di Kalimantan selatan. Sehingga kawasan lahan basah di daerah ini
cukup luas. Sebagian besar kondisi tanah di Kalimantan Selatan adalah lahan
basah atau lahan gambut. Artinya, daerah Kalimantan selatan merupakan
kawasan rawa terbesar karena tergenang air, baik secara musiman maupun
permanen dan banyak ditumbuhi vegetasi sehingga secara umum kondisi
lahan basah memiliki tekstur, sifat fisik dan kimia yang khas.

1
Luas lahan basah di Kalimantan Selatan mencapai 382.272 ha.
Lahan basah di Kalimantan Selatan merupakan daerah cekungan pada dataran
rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari
sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering.
Lahan basah sangat unik dan memiliki kepentingan ekologis yang luas, mulai
tingkat lokal hingga global. Lahan basah bisa diberdayakan secara produktif
bagi ekonomi lokal, sumbangannya terhadap keakekaragaman hayati juga
sangat signifikan. Ribuan jenis tanaman unik dan unggas khas yang
bermigrasi biasanya singgah di kawasan lahan basah.

Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-


menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-
ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis. Luas wilayah hutan daratan
memang semakin menyempit, harapan alternatif bangsa ini ada pada lebih
dari dua puluh tiga juta hektar hutan perairan, hutan rawa (bakau). Rawa
sebagai tanah yang rendah (umumnya di daerah pantai) dan digenangi air,
yang tak jarang terdapat tumbuhan air di wilayah genangan air tersebut,
bakau (Rhizophora mucronata) contohnya. Ini menjadi harapan alternatif
ketika luas hutan di daratan semakin menyempit dengan segala potensi
alamnya yang semakin menipis.

Hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan rawa yang merupakan
ekosistem yang spesifik dan rapuh (fragile) baik dilihat dari segi habitat
lahannya yang berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi
dengan ketebalan mulai 0,5 meter sampai dengan 20 meter. Jenis tanahnya
tergolong dalam organosol, podsol maupun glei humik. Karakteristik yang
umum dari lahan gambut dicirikan dengan kandungan bahan organik tinggi, pH
rendah, nilai KTK yang tinggi dan nilai kejenuhan basa yang rendah berakibat
memberikan kodnsisi unsur hara yang rendah. Ketebalan gambut yang
bervariasi dari kedalaman yang dangkal sampai yang dalam akan memberikan
kondisi yang bermacam-macam. (Santosa, 2013).

2
Pada umumnya hutan rawa gambut dalam kondisi normal selalu
digenangi air mulai ketinggian 5 cm di bawah permukaan tanah sampai dengan
tinggi dipermukaan air tanah lebih dari 25 cm diatas permukaan tanah. Pada
habitat dengan ketebalan gambut relatif tipis(<40cm) biasanya lapisan bawah
terhampar lapisan pasir kuarsa putih. Hutan rawa gambut tipe ini yang disebut
sebagai hutan kerangas (Daryono, 2000).
Hutan rawa gambut di Indonesia mempunyai peran yang sangat
penting karena keunikan lokasi, karaktersitik hutan dan gambutnya, kekayaan
biodiversitas dalam ekosistem global maupun regional. Menurut Bellamy
(1997) dalam Mulayanto (2000) bahwa di dunia terdapat 400 juta hektar lahan
gambut dan 90% diantaranya terletak di daerah temperate dan 10% di daerah
tropik. Indonesia memiliki luas lahan gambut 20 juta hektar yang tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan kepulauan Maluku dimana
propinsi Kalimantan Barat mempunyai lahan gambut paling luas sekitar 45,61
juta hektar, kemudian Kalimantan Tengah 2,16 juta hektar, Riau 1,7 juta
hektar, dan Kalimantan Selatan 1,48 juta hektar (Noor, 2001).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dan ciri – ciri ekosistem hutan rawa gambut?
2. Apa saja peran dan fungsi hutan rawa gambut?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi ekosistem hutan rawa gambut?
4. Bagaimana proses ekologis pada kawasan hutan rawa gambut?
5. Apa saja contoh ekosistem hutan rawa gambut di Kalimantan Selatan?
6. Apa saja pengelompokkan tanah gambut?
7. Bagaimana keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan rawa gambut?
8. Apa saja ancaman kerusakan hutan rawa gambut?
9. Bagaimana upaya konservasi kawasan hutan rawa gambut?

3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan pengertian dan ciri – ciri ekosistem hutan rawa gambut.
2. Mendeskripsikan peran dan fungsi hutan rawa gambut.
3. Mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi ekosistem hutan rawa
gambut.
4. Mendeskripsikan proses ekologis pada kawasan hutan rawa gambut.
5. Mendeskripsikan contoh ekosistem hutan rawa gambut di Kalimantan
Selatan.
6. Mendeskripsikan pengelompokkan tanah gambut.
7. Mendeskripsikan keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan rawa gambut.
8. Mendeskripsikan ancaman kerusakan hutan rawa gambut
9. Mendeskripsikan upaya konservasi kawasan hutan rawa gambut.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Ciri – Ciri Ekosistem Hutan Rawa Gambut


Lahan rawa adalah daratan yang tergenang secara periodik atau terus
menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat.
Tanah di lahan rawa dapat berupa alluvial atau gambut. Gambut merupakan
hasil pelapukan bahan organic seperti dedaunan, ranting kayu, dan semak
dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu yang sangat lama
(Najiyati dan Muslihat, 2017).
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan
organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan
organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang
belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin
hara. Oleh karenanya, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa
belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk
(Susanto dkk, 2018).

1. Sifat Fisik
Dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, karakteristik
atau sifat fisik gambut yang penting untuk dipelajari adalah
kematangan gambut, kadar air, berat isi (bulk density), daya
menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan tanah
(subsidence), sifat kering tak balik (irreversible drying) (Agus dan
Subiksa, 2008).
Kematangan gambut diartikan sebagai tingkat pelapukan bahan
organik yang menjadi komponen utama dari tanah gambut.
Identifikasi tingkat kematangan tanah gambut bisa dilakukan secara
langsung di lapangan, dengan cara meremas gambut dengan
menggunakan tangan. Jika setelah diremas kurang dari sepertiga
gambut yang tertinggal dalam tangan (lebih dari dua pertiga yang
5
lolos) maka gambut digolongkan sebagai gambut saprik, sebaliknya
jika yang tertinggal lebih dari dua pertiga maka gambut tergolong
sebagai gambut fibrik. Gambut digolongkan sebagai gambut hemik,
jika yang tertinggal atau yang lolos sekitar 50%. Pada gambut saprik,
bagian gambut yang lolos relatif tinggi karena strukturnya relatif
lebih halus, sebaliknya gambut mentah masih didominasi oleh serat
kasar (Dariah dkk, 2014).
Lahan gambut mempunyai kemampuan menyerap dan
menyimpan air jauh lebih tinggi dibanding tanah mineral. Komposisi
bahan organik yang dominan menyebabkan gambut mampu
menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi (Dariah dkk, 2014).
Berat isi (bulk density) atau sering disebut juga dengan istilah
berat volume merupakan sifat fisik tanah yang menunjukkan berat
massa padatan dalam suatu volume tertentu. BD tanah gambut yang
sangat rendah yaitu <0,1 g cm-3 ditemukan pada gambut fibrik
(mentah) yang terletak di lapisan bawah, sedangkan gambut pantai
dan gambut yang terletak di jalur aliran sungai mempunyai BD yang
relatif lebih tinggi, yakni >0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh bahan
mineral, namun masih jauh dibanding BD tanah mineral yang
berkisar 0,7-1,4 g cm-3 (Dariah dkk, 2014).
Subsiden (subsidence) atau penurunan permukaan lahan
merupakan kondisi fisik yang sering dialami lahan gambut yang
telah didrainase. Proses drainase menyebabkan air yang berada di
antara massa gambut mengalir keluar (utamanya bagian air yang bisa
mengalir dengan kekuatan gravitasi), akibat proses ini gambut
mengempis atau mengalami penyusutan (Dariah dkk, 2014).
Daya menahan beban (bearing capacity) gambut yang tergolong
rendah merupakan karakteristik tanah gambut yang sering menjadi

6
faktor penghambat produktivitas tanaman, terutama tanaman
tahunan. Kondisi tanaman yang tidak tegak (doyong) yang sering
ditemukan di lahan gambut merupakan indikasi rendahnya daya
menahan beban tanah gambut (Dariah dkk, 2014).
Terjadinya kondisi kering tidak balik juga menunjukkan bahwa
bagian aktif dari tanah gambut berada fase cairnya. Menurut
Sabiham (2000), penurunan kemampuan gambut menyerap air
berkaitan dengan penurunan ketersediaan gugus karboksilat dan OH-
fenolat dalam bahan gambut. Kedua komponen organik ini
merupakan senyawa yang bersifat hidrofilik, sehingga jika fase cair
telah hilang maka gambut yang pada mulanya bersifat hidrofilik
berubah menjadi bersifat hidrofobik (menolak air).

2. Sifat Kimia
Keragaman sifat kimia lahan gambut dipengaruhi oleh
komposisi bahan induk, laju dekomposisi, lingkungan sekitarnya,
substratum dan ketebalan gambut. Lahan gambut yang bahan
penyusunannya dari lumut (sphagnum) lebih subur dibandingkan
dari gambut berkayu. Kesuburan gambut matang (saprik) lebih tinggi
dibandingkan gambut mentah (Dariah dkk, 2014).
Kemasaman tanah gambut tropika umumnya tinggi (pH 3-5),
disebabkan oleh buruknya kondisi pengatusan dan hidrolisis asam-
asam organik, yang didominasi oleh asam fulvat dan humat.
Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut
makin tebal (Dariah dkk, 2014).
Kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah gambut sangat tinggi,
berkisar 100-300 me 100g-1 berdasarkan berat kering mutlak
(Hartatik dan Suriadikarta, 2006). Tingginya nilai KTK tersebut
disebabkan oleh muatan negatif tergantung pH yang sebagian besar
berasal dari gugus karboksilat dan fenolat, dengan kontribusi
terhadap KTK sebesar 10 - 30% dan penyumbang terbesarnya adalah

7
derivat fraksi lignin yang tergantung muatan 64 -74% (Charman,
2002).
Ketersediaan N, P, K, Ca, dan Mg dalam tanah gambut
umumnya rendah, meskipun pada umumnya kandungan N, P, K total
tinggi (Wong et al., 1986 dalam Mutalib et al., 1991). Sebagian
besar N, P, K total dalam gambut berada dalam bentuk organik
(Andriesse 1988).
Selain hara makro, lahan gambut juga kahat unsur mikro seperti
Cu, Zn, Fe, Mn, B, dan Mo. Kadar unsur Cu, Bo, dan Zn di lahan
gambut umumnya sangat rendah dan seringkali terjadi defisiensi
(Wong et al., 1986 dalam Mutalib et al., 1991). Pembentukan
senyawa organik-metalik menyebabkan unsur mikro tidak atau
kurang tersedia (Suryanto, 1994).
Makin tebal gambut, kandungan abu dan basa-basanya makin
rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada gambut ombrogen
dipengaruhi oleh proses pembentukan yang banyak dipengaruhi oleh
air hujan dan proses pelindian unsur hara ke luar sistem selama
proses pembentukan gambut (Dariah dkk, 2014).

2.2. Peran dan Fungsi Hutan Rawa Gambut


Rawa gambut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam tata air
kawasan, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dan berfungsi
sebagai penyimpan karbon. Fungsi penyimpan karbon ini menjadi sangat
penting saat ini karena adanya ancaman perubahan iklim yang membayangi
kehidupan manusia (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
Lahan gambut di Indonesia merupakan cadangan karbon terestrial
yang penting untuk diperhitungkan. Jika dilindungi dalam kondisi alami
lahan gambut dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyerap karbon.
Sebagian besar cadangan karbon lahan gambut terdapat di bawah
permukaan berupa bahan organik yang telah terakumulasi selama ribuan
tahun (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).

8
Hutan rawa gambut mempunyai peran penting dalam menjaga dan
memelihara keseimbangan lingkungan hidup, baik sebagai reservoir air,
rosot dan carbon storage, perubahan iklim serta keanekaragaman hayati
yang saat ini eksistensinya semakin terancam Sifat gambut yang irreversibel
drying akan mudah terbakar, sehingga peran hidrologi/tata air di dalam
lahan gambut memiliki peranan yang sangat besar dan sangat menentukan
keberlangsungan hutan rawa gambut. Keberlangsungan ekosistem hutan
rawa gambut yang memiliki nilai konservasi tinggi sesuai dengan fungsinya,
karena memiliki keaslian dan keunikan alamnya (Antonius, 2016).
Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50% di
antaranya terdapat di Indonesia. Karena itu lahan gambut di Indonesia
merupakan cadangan karbon terestrial yang penting untuk diperhitungkan.
Jika dilindungi dalam kondisi alami lahan gambut dapat meningkatkan
kemampuannya dalam menyerap karbon. Tetapi jika mengalami gangguan,
lahan gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO2, tetapi juga GRK
lainnya seperti CH4, dan N2O.
Sebagian besar cadangan karbon lahan gambut terdapat di bawah
permukaan berupa bahan organik yang telah terakumulasi selama ribuan
tahun (libat gambar). Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 -
525 Gt C atau 15 - 35% dari total C terestrial. Jika diasumsikan bahwa
kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114kg/m3
dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan C di lahan gambut Indonesia adalah
sebesar 46 Gt. (catatan: 1 Gt = 109 ton).

(Sumber: Mudiyarso & Suryadiputra, 2003)

9
Gangguan terhadap ekosistem lahan basah akan mempengaruhi
cadangan dan siklus karbon. Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang
menyebabkan tinggginya karbon yang dilepaskan ketika lahan gambut
(termasuk vegetasi di atasnya) di Indonesia terbakar pada tahun 1997, yang
jumlahnya berkisar antara 0.81-2.57 Gt. Pemeliharaan cadangan karbon dan
peningkatan serapan karbon dapat dilakukan melalui kegiatan konservasi
dan pengelolaan seperti pengayaan tanaman, dan pengelolaan air.

Rawa gambut, disamping menjadi tempat berlindung berbagai spesies


langka seperti harimau sumatera, orang utan, ikan arowana, dan buaya
sinyulong, juga menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat. Pada rawa
gambut terdapat berbagai jenis kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi
dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menunjang kehidupan
ekonominya, antara lain ramin (Gonystylus sp), kayu putih (Melaleuca sp),
Jelutung (Dyera costulata), dan meranti rawa (Shorea sp.).

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Ekosistem Hutan Rawa Gambut


Genangan adalah salah satu ciri dari ekosistem hutan rawa gambut
sehingga vegetasi yang tumbuh di atasnya pasti memiliki mekanise untuk
beradaptasi agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Keberhasilan
regenerasi jenis pohon dipengaruhi oleh ketersediaan sumber benih, tapak
yang aman dan kecukupan akan air dan cahaya (Nierenberg and Hibbs,
2000). Selain hal tersebut ada beberapa kondisi lingkungan yang
mempengaruhi suksesi di lahan basah, yaitu pengeringan lahan yang
menyebabkan menurunnya tinggi muka air tanah, perubahan iklim global
yang meningkatkan suhu, menurunnya kelembaban tanah sehingga
mempercepat proses dekomposisi dan meningkatkan keasaman tanah
(Czerepko, 2008). Kondisi klimatik memiliki korelasi yang kuat dengan
regenerasi hutan, dan kondisi klimatik tersebut mengekspresikan kondisi
letak (latitude dan altitude) yang menghasilkan kondisi suhu, dan
kelembaban yang berbeda (Tegelmark, 1998).

10
Kondisi-kondisi lingkungan tersebut akan mempengaruhi regenerasi
hutan pada semua tahap pertumbuhan vegetasi. Intensitas cahaya merupakan
faktor utama yang mempengaruhi eksistensi permudaan alam (Schiøtz et al.,
2006). Intensitas cahaya ini akan mempengaruhi faktor fisik dan biotik
lainnya seperti suhu, kelembaban, kelimpahan herbivora dan aktivitas dari
patogen sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi vegetasi secara
keseluruhan. Pembukaan tajuk akan membuat variasi dalam ketersediaan
intensitas cahaya dan akan mendukung pertumbuhan jenisjenis tumbuhan
tertentu akan tetapi pembukaan tajuk yang sangat luas justru akan
mengganggu perkembangan vegetasi (Szwagrzyk et al., 2001). Kemudian
(Triisberg et al., 2013) menjelaskan bahwa usaha revegetasi di lahan gambut
yg telah ditinggalkan lebih ditentukan oleh faktor kelembaban tanah
dibandingkan ketersediaan nutrisi dan propagul.

2.4. Proses Ekologis pada Kawasan Hutan Rawa Gambut


Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati,
baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena
proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi
lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan
biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik
yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan
tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada
umumnya merupakan proses pedogenik (Susanto dkk, 2018).
Pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang, dapat
mencapai ribuan tahun. Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya
danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan
vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap
membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan
gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral.
Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau
dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau

11
tersebut menjadi penuh. Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau
dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses
pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan (Susanto dkk,
2018).

2.5. Contoh Ekosistem Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Selatan


Biodiversitas yang ada pada hutan rawa tidak kalah dibandingkan
dengan biodiversitas di hutan daratan. Keanekaragaman hayati atau
biodiversitas bukanlah sekedar angka yang menunjukkan kekayaan jenis
tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, tetapi lebih luas mencakup variasi,
variabilitas dan keunikan genetik (gene), jenis (spesies) dan ekosistemnya.
Beragamnya agroekologi lahan rawa menyebabkan beragamnya
keanekaragaman hayati termasuk flora dan memungkinkan tumbuhnya
berbagai jenis tanaman, baik tanaman pangan, tanaman buah-buahan maupun
tanaman obat-obatan. Hutan yang digenangi air bersifat musiman ataupun
permanen ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Jenis flora
yang sering terlihat memenuhi hutan perairan ini seperti ramin (Gonystylus
sp), terentang (Camnosperma sp.), durian burung (Durio carinatus), kayu
putih (Melaleuca sp), sagu (Metroxylon sp), pandan, palem-paleman, rotan
dan berbagai jenis lainnya.
Sedangkan faunanya yang tidak jauh berbeda dengan yang ada pada
hutan di darat, seperti harimau (Panthera tigris), rusa (Cervus unicolor),
buaya (Crocodylus porosus), Orang utan (Pongo pygmaeus), babi hutan (Sus
scrofa), badak, musang air, gajah dan berbagai jenis ikan.
Jenis hutan rawa gambut pun menjadi hutan pilihan bagi beragam
fauna karena daerah hutan perairan ini terbentuk dari sisa-sisa hewan dan
tumbuhan yang proses penguraiannya sangat lambat sehingga tanah gambut
memiliki kandungan bahan organik yang sangat tinggi.
Yang belum maksimal dimanfaatkan adalah jenis rawa tanpa hutan
yang merupakan bagian dari ekosistem rawa hutan. Ini disebabkan karena
rawa ini hanya ditumbuhi tumbuhan kecil seperti semak dan rumput liar.

12
Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan rawa menjadi penyedia berbagai
keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal (Herni, 2009).
Di Kalimantan Selatan terdapat beberapa lahan rawa gambut yang
dapat ditemui, diantaranya adalah rawa lebak dan padang rawa paminggir.
A. Rawa Lebak
Rawa Lebak atau disebut Rawa Non Pasang Surut, pada umunya
merupakan lahan dengan keadaan Topografi rendah dan berbentuk
cekungan. Akibat air hujan, maka daerah tersebut tergenang air karena
daerah drainase yang tidak baik. Di musim kering, berangsur-angsur air
rawa tersebut menjadi kering dan terkadang kering sam sekali dalam
waktu relative singkat 1-2 bulan. Pada daerah-daerah di dekat sungai, air
yang menggenang berasal dari luapan air sungai sekitarnya. Namun ada
pula daerah rawa yang sudah digenangi air hujan sebelum ditambah oleh
limpahan air sungai ke daerah tersebut (Aziludin, 2014).

Rawa Lebak
(Hamidah, 2009)

B. Padang Rawa Paminggir


Desa paminggir di Amuntai dari 10 kecamatan Hulu Sungai
Utara, desa paminggir inilah yang terjauh. Jaraknya 55 km dari Amuntai,
pusat kabupaten. Topografi Kabupaten Hulu Sungai Utara setelah
pemekaran hanya berupa hamparan dataran rendah/daerah rawa dengan

13
sedikit daerah yang berbukit kecil di daerah Kecamatan Amuntai Utara.
Daerah Hulu Sungai Utara dilalui oleh cukup banyak sungai. Sungai yang
mendominasi keadaan hidrologi daerah tersebut adalah Sungai Tabalong
dan Balangan yang bertemu di Sungai Nagara. Sementara itu dari daerah
Tabalong mengalir sungai kecil yang melewati Sungai Haur Gading terus
ke Danau Panggang/Paminggir dan menuju Sungai Barito. Sebagian
sungai-sungai tersebut masih digunakan sebagai sarana transportasi air.
Berdasarkan peta topografi/rupa bumi dengan skala 1 : 50.000, lahan
tertinggi mencapai 21 meter dpl terletak di desa Air Tawar kecamatan
Amuntai Utara, sedangkan daerah rawa terendah pada ketinggian 0 meter
dpl. Selain itu kawasan rawa Hulu Sungai Utara merupakan bagian dari
sinklinorium. Proses-proses pelipatan menyebabkan permukaan tanah
mineral menjadi tidak sama tinggi. Sedimen liat tersier menutupi bagian-
bagian tertentu daerah rawa sebelah barat laut daerah rawa dan bagian hulu
sampai paminggir. Keadaan ini merubah pula keadaan lahan/bentuk lahan
secara keseluruhan (Herni, 2009).

Padang Rawa Paminggir


(Syarafuddin, 2017)

14
2.6. Pengelompokkan Tanah Gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal
sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan
organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3
dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3
dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003). Gambut diklasifikasikan
lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat
kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut
dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam,
dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk,
sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila
diremas bahan seratnya 15 – 75%.
3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75%
seratnya masih tersisa.

2.7. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan di Hutan Rawa Gambut

Hutan rawa gambut memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan


yang relatif tinggi. Di Sumatera, lebih dari 300 jenis tumbuhan dijumpai di
hutan rawa gambut. Di dalam kawasan Taman Nasional Berbak di Jambi
saja lebih dari 160 jenis tumbuhan telah tercatat (Giesen, 1991), namun
beberapa jenis telah menjadi sangat jarang. Jenisjenis tumbuhan yang
dijumpai di hutan rawa gambut memiliki nilai komersial tinggi
diantaranya Ramin Gonystylus bancanus, Jelutung Dyera costulata dan
Meranti Shorea sp. Namun, akibat kegiatan penebangan yang tidak
terkendali belakangan ini, keberadaan jenis-jenis tersebut kini terancam
punah.

15
A. Hutan Rawa Gambut yang Masih Utuh

Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan di


dalamnya terdapat keanekaragaman flora fauna yang khas. Namun
demikian, hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang rentan
(fragile) dalam artian bahwa hutan ini sangat mudah terganggu/rusak dan
sangat sulit untuk dapat kembali lagi seperti kondisi awalnya. Menyadari
hal tersebut, maka perlu sekali diusahakan upaya-upaya pencegahan atas
segala kemungkinan yang menyebabkan rusaknya hutan ini.

Jenis pohon yang mendiami hutan gambut sangat khas, misalnya:


Jelutung rawa Dyera lowii, Ramin Gonystylus bancanus, Kempas atau
Bengeris Kompassia malaccensis, Punak Tetramerista glabra, Perepat
Combretocarpus rotundatus, Pulai rawa Alstonia pneumatophora,
Terentang Campnosperma sp., Bungur Lagerstroemia speciosa, Nyatoh
Palaquium sp., Bintangur Semua Callophylum sp., Belangeran Shorea
balangeran, Meranti rawa Shorea pauciflora dan Rengas Melanorrhoea
walichii. Semua jenis ini mempunyai sifat habitat yang khas, yaitu hanya
tumbuh baik pada habitat tanah/rawa gambut. Dengan demikian,
kemungkinan hidup di tempat lain (tanah mineral) sangatlah kecil.

Hutan rawa gambut juga memiliki vegetasi lainnya yang sangat


indah seperti Palem merah Cyrtoctachys lakka, Ara hantu Poikilospermum
suavolens, Palas Licuala paludosa, Kantong semar Nephentes mirabilis,
Liran Pholidocarpus sumatranus, Flagellaria indica, Akar elang Uncaria
schlerophylla, Putat Barringtonia racemosa, dan Rasau Pandanus
helicopus. Sementara itu, pada tepi sungai hutan rawa gambut sering
terlihat adanya dominasi tertentu, yaitu Rasau Pandanus helicopus dan
Pandanus atrocarpus. Di perairan sungai itu sendiri juga dapat dijumpai
jenis-jenis tumbuhan seperti Bakung Hanguana malayana dan Utricularia
sp.

16
B. Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar

Kebakaran hutan rawa gambut tidak hanya menyebabkan


hilangnya vegetasi yang ada diatasnya, tapi juga menyebabkan rusak,
menurun, atau hilangnya tanah gambut itu sendiri. Pada kebakaran hutan
yang ringan, tumbuhan yang terbakar masih dapat pulih kembali dengan
cara penumbuhan kembali (resprouting).

Sementara itu pada tingkat kebakaran yang parah, kemungkinan


pulihnya kembali suatu tanaman yang telah terbakar akan sangat kecil.
Pada kondisi seperti ini, sering dijumpai areal yang kosong tak
bervegetasi. Sifat khas yang selalu menyertai areal semacam ini adalah
adanya genangan secara periodik, terutama saat musim penghujan.
Genangan ini dapat menjadi media bagi perpindahan/penyebaran
benihbenih dari luar lalu masuk ke dalam areal tersebut. Vegetasi yang
paling sering muncul, diduga benihnya menyebar melalui air, setelah
terjadi kebakaran adalah Senduduk Melastoma malabathricum dan Pakis
Stenochlaena palustris.

2.8. Ancaman Kerusakan Hutan Rawa Gambut

Isu utama kerusakan rawa gambut adalah terjadinya penebangan liar;


konversi lahan gambut untuk pemukiman (transmigrasi), pertanian
(misalnya Mega Rice Project di Kalimantan Tengah tahun 1995) dan
industri (HTI, perkebunan); serta pembuatan parit/kanal baik yang
dilakukan untuk saluran drainase atau pun yang dibuat oleh masyarakat
untuk transportasi kayu hasil illegal logging. Kegiatan-kegiatan tersebut
berdampak pada terdegradasinya kondisi lingkungan gambut, pengeringan
gambut yang berlebihan (over dry), dan penurunan lahan gambut (land
subsidence); sehingga menyebabkan rawa gambut menjadi rentan terhadap
kebakaran terutama di musim kemarau (Kementrian Lingkungan Hidup,
2004).

17
Lahan gambut sendiri memang menjadi lokasi yang paling mudah
terpapar kebakaran hutan. Pada dasarnya, hutan hujan tropis dan lahan
gambut adalah wilayah yang tak biasanya terbakar karena lokasinya yang
cenderung basah. Namun, akibat dari pembukaan hutan dan pengeringan
lahan untuk perkebunan, angka kerentanan lahan gambut dari potensi
kebakaran semakin meningkat. Lahan gambut yang telah dikeringkan bisa
membara secara perlahan, sementara vegetasi yang kering di musim
kemarau pun makin memudahkan terjadinya kebakaran dalam skala yang
luas. Kebakaran hutan yang terjadi juga dapat menyebar dengan cepat,
terlebih kebakaran hutan di lahan gambut dapat menyebar jauh ke dalam
tanah. Ketika sudah membara di dalam tanah, kebakaran di lahan gambut
akan makin sulit untuk dipadamkan bahkan nyala api dalam berlangsung
selama berbulan-bulan yang kemudian membawa emisi gas rumah kaca
yang sangat besar dan juga polusi kabut asap yang sangat pekat (Susanto
dkk, 2018).

Kerusakan rawa gambut adalah terjadinya penebangan liar; konversi


lahan gambut untuk pemukiman (transmigrasi), pertanian (misalnya Mega
Rice Project di Kalimantan Tengah tahun 1995) dan industri (HTI,
perkebunan); serta pembuatan parit/kanal baik yang dilakukan untuk saluran
drainase atau pun yang dibuat oleh masyarakat untuk transportasi kayu hasil
illegal logging. Kegiatan-kegiatan tersebut berdampak pada terdegradasinya
kondisi lingkungan gambut, pengeringan gambut yang berlebihan (over
dry), dan penurunan lahan gambut (land subsidence); sehingga
menyebabkan rawa gambut menjadi rentan terhadap kebakaran terutama di
musim kemarau.

Pengurangan luas kawasan yang bergambut tidak bisa menjadi satu-


satunya tolok ukur kerusakan gambut, hal lain yang juga penting adalah
ketebalan (volume) gambut. Salah satu faktor yang menyebabkan
berkurangnya cadangan karbon di lahan gambut serta lepasnya gas rumah
kaca (karbon) ke atmosfir adalah kebakaran hutan. Data berikut
18
menggambarkan betapa luasnya lahan/rawa gambut di Indonesia yang
mengalami kebakaran pada tahun 1997.

Daerah Luas Rawa Gambut yang Terbakar (ha)

Sumatera 624.000

Kalimantan 1.100.000

Papua 400.000

Jumlah 2.124.000

Tabel 1.1 (Luas area lahan gambut yang terbakar (Bappenas – ADB, 1999)

2.9. Upaya Konservasi Kawasan Hutan Rawa Gambut

Menurut Keppres No.32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-


Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN, kawasan tanah
gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang terdapat di bagian hulu sungai
dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut. Perlindungan
terhadap kawasan ini dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah,
berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi
ekosistem yang khas di kawasan tersebut. Kubah gambut dengan ketebalan
lebih dari 3 m merupakan satu kesatuan dengan bagian tepinya yang dangkal
(ketebalan kurang dari 3 m).

Menurut Antonius (2016), pengelolaan lahan rawa gambut perlu


menerapkan pendekatan konservasi, yang meliputi perlindungan, pengawetan,
dan peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya
wilayah rawa dibedakan ke dalam: (1) kawasan lindung, (2) kawasan
pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi untuk peningkatan fungsi dan
manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan nonbudi

19
daya, sedangkan kawasan reklamasi disebut kawasan budi daya. Wilayah
rawa yang termasuk sebagai kawasan lindung adalah: (1) kawasan gambut
sangat dalam, lebih dari 3 m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan sungai; (4)
kawasan sekitar danau rawa; dan (5) kawasan pantai berhutan bakau.
Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang
memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna
dan/atau flora tertentu yang langka serta untuk melindungi keanekaragaman
hayati. Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti aslinya atau
dipreservasi dengan status sebagai kawasan non budidaya.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Lahan rawa adalah daratan yang tergenang secara periodik atau terus
menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat
2. Rawa gambut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam tata air
kawasan, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dan berfungsi
sebagai penyimpan karbon
3. Pengeringan lahan yang menyebabkan menurunnya tinggi muka air tanah,
perubahan iklim global yang meningkatkan suhu, menurunnya kelembaban
tanah sehingga mempercepat proses dekomposisi dan meningkatkan
keasaman tanah
4. Isu utama kerusakan rawa gambut adalah terjadinya penebangan liar;
konversi lahan gambut untuk pemukiman (transmigrasi), pertanian,
industri, dan pembuatan parit/kanal.
5. Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang
secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah.
6. Di Kalimantan Selatan terdapat beberapa lahan rawa gambut yang dapat
ditemui, diantaranya adalah rawa lebak dan padang rawa paminggir.
7. Pengelompokkan tanah gambut dibagi menjadi tiga yaitu, matang,
setengah matang, dan mentah.
8. Keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan rawa gambut yang masih utuh
berbeda dengan hutan rawa gambut bekas terbakar.
9. Hutan rawa gambut menyimpan karbon untuk mengendalikan perubahan
iklim.
10. Kerusakan hutan rawa gambut sering disebabkan karena kebakaran hutan.
11. Upaya pengelolaan lahan rawa gambut perlu menerapkan pendekatan
konservasi, yang meliputi perlindungan, pengawetan, dan peningkatan
fungsi dan manfaat.
21
3.2 Saran
Saran dan harapan kami, dengan mempelajari tentang Rawa
Gambut ini kita dapat lebih memahami tentang Rawa Gambut baik dari segi
kegunaan dalam pembelajaran sehingga dapat memudahkan ketika kita dalam
proses pembelajaran.

22
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., & Subiksa, I. G. M. (2008). Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian
dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World
Agroforestry Centre (ICRAF).
Andriesse, J. P. (1988). Natural And Management of Tropical Peat Soil. Bulletin
Fao Soil Vol: 59.
Antonius, A. (2016). Upaya Konservasi Ekosistem Hutan Rawa Gambut. PIPER,
12(23), 136-146.
Aziludin, A. (2014). Rawa Lebak Kalimantan Selatan. Diakses melalui
http://www.academia.edu/rawa/lebak/kalimantan/selatan. Pada tanggal
10 Februari 2020.

Bappenas - ADB. (1999). Causes, extent, impact and costs of 1997/1998 Fire and
Dorught. National Development Planning Agency (Bappenas) and Asian
Development Bank, Jakarta.
CCFPI, WI-IP, WHC. (2003). Penutupan Kanal/Parit (Canal/Ditch Blocking) di
Lahan Gambut: Buku Panduan. CCFPI, WI-IP, WHC. Bogor.
Charman, D. (2002). Peatlands and Environmental Change. John Wiley & Sons.
Ltd. England.
Czerepko, J. (2008). “A Long-Term Study of Successional Dynamics in the Forest
Wetlands.” Forest Ecology and Management, 255(3–4), 630–42.
Daryono, H. (2000). Kondisi Hutan Rawa Gambut Setelah Penebangan dan
Pemilihan Jenis Pohon yang Sesuai Untuk Rehablitasi dan
Pengembangan HTI di Lahan Rawa Gambut. Prosiding Seminar
Pengeloaaan Hutan Rawa Gambut dan Eskspose Hasil Penelitian di
Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.

Hamidah, H. (2009). Rawa Gambut, Pesisir Pantai dan DAMIT yang Merupakan
Daerah Lahan Basah yang Ada di Kalimantan Selatan. Diakses melalui
http//:hmy-farma.com/rawa-gambut-pesisir-pantai-dan-damit.html. Pada
tanggal 11 februari 2020.
Herni, H. (2009). Lahan Basah Rawa di Kalimantan Selatan. Diakses melalui
http:// www.academia.edu /lahan-basah-rawa-di-kalimantan-selatan.html.
Pada tanggal 10 Februari 2020.

23
Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Strategi Nasional dan Rencana Aksi
Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, (2004). Strategi Nasional
dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. ISBN: 979-95899-7-5.
Mudiyarso. M., & Suryadiputra, S. (2003). Paket Informasi Praktis: Perubahan
Iklim dan Peranan Lahan Gambut. CCFPI, WI-IP, dan WHC. Bogor.
Mutalib, A. A., Lim, J. S., Wong, M. H., & Koonvai, L. (1991). Characterization,
Distribution and Utilization of Peat in Malaysia. In Proc. International
Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak,
Malaysia.
Najiyati, S., & Muslihat, L. (2017). Mengenal Tipe Lahan Rawa Gambut. Bogor:
Wetlands International Indonesia Programme.
Nierenberg, N., Tara, R., & David, E. H. (2000). “A Characterization of
Unmanaged Riparian Areas in the Central Coast Range of Western
Oregon.” Forest Ecology and Management 129(1–3):195–206.
Noor, M. (2001). Pertanian Lahan Gambut. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sumardi, S. (2006). Perubahan Orientasi Perlindungan Hutan dalam


Perkembangan Pengelolaan Hutan. Pidato pengukuhan Jabatan Guru
Besar pada Fakultas Kehutanan UGM.

Santosa, P. B. (2013). Perlindungan Hutan Rawa Gambut Berbasis


Ekosistem. Jurnal Galam, 6(1).

Sudana, W. (2005). Potensi dan Prospek Lahan Rawa sebagai Sumber Produksi
Pertanian.
Susanto, Denni, Giska, P. M., & Marlianasari, P. (2018). Buku Panduan
Karakteristik Lahan Gambut. Jakarta: UNESCO Office Jakarta.
Syarafuddin. (2017). Melihat dari Dekat Kehidupan Padang Rawa di Paminggir.
Diakses melalui https://kalsel.prokal.co/read/news/12508-melihat-dari-
dekat-kehidupan-padang-rawa-di-paminggir.html Pada tanggal 11
Februari 2020.
Szwagrzyk, J., Janusz S., and Jan, B. (2001). “Dynamics of Seedling Banks in
Beech Forest: Results of a 10- Year Study on Germination, Growth and
Survival.” Forest Ecology and Management 141(3):237–50.
24
Tegelmark, D. O. (1998). “Site Factors as Multivariate Predictors of the Success
of Natural Regeneration in Scots Pine Forests.” Forest Ecology and
Management 109:231–39.
Triisberg, Triin, Edgar, K., and Jaanus, P. (2013). “Factors Affecting the Re-
Vegetation of Abandoned Extracted Peatlands in Estonia: A Synthesis
from Field and Greenhouse Studies.” Estonian Journal of Ecology
62(3):192–211.

25

Anda mungkin juga menyukai