Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH

“Wilayah Pesisir Pada Pulau Kecil”


(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah)
(ABKA 541)
Dosen Pengampu:
Dr. Sidharta Adyatma, M. Pd
Muhammad Muhaimin, S. Pd., M. Sc

Disusun Oleh:
Ahmad Rizky Harifin
1810115310003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah Pengelolaan Lahan Basah Wilayah Berair Mengalir tepat
pada waktunya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhammad Muhaimin, S. Pd.,
M. Sc dan Bapa Dr. Sidharta Adyatma, M. Pd selaku dosen pengampu dosen mata
kuliah Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah. Makalah ini saya susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah: Pengelolaan
Lahan Basah Wilayah Berair Mengalir dan disusun secara maksimal dengan memuat
sumber dari data, buku, maupun media sosial.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini baik dari
segi susunan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, saya mengharapkan para
pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang dapat membangun hingga saya
dapat memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih dan saya berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi saya maupun pembaca.

Batulicin, 29 Juni 2020

Ahmad Rizky Harifin

1810115310003

2
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................5
1.1. Latar Belakang..........................................................................................................5
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................................6
1.3. Tujuan Penulisan......................................................................................................6
1.4. Manfaat Penulisan...................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................7
2.1 Lahan Basah.............................................................................................................7
2.2 Karakteristik Lahan Basah........................................................................................7
2.3 Fungsi Lahan Basah..................................................................................................8
2.4 Lahan Basah Wilayah Pesisir....................................................................................9
BAB III PEMBAHASAN............................................................................................................11
3.1 Lahan Basah Datar Lumpur....................................................................................11
3.2 Konservasi..............................................................................................................12
3.3 Rehabilitasi.............................................................................................................12
3.4 Pemanfaatan Berkelanjutan...................................................................................13
3.5 Azas Manfaat Dan Prioritas....................................................................................14
3.6 Berbasis Masyarakat..............................................................................................17
3.7 Terpadu..................................................................................................................19
3.8 Tata Laksana Yang Baik..........................................................................................21
BAB IV PENUTUP...................................................................................................................22
4.1 Kesimpulan.............................................................................................................22
4.2 Saran......................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................24

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3. 1. Pulau Ana Ila, Riau Kepulauan, adalah salah satu tempat penting bagi
penyu untuk bertelur
Gambar 3. 2. Wisata bahari Wakatobi 16
Gambar 3. 3. Wisata terestrial Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur 17
Gambar 3. 4 Wisata kultural Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur 18

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan basah adalah salah satu sumber daya paling berharga yang
ekosistem global mendukung tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan
juga melayani layanan yang tak terhitung jumlahnya terhadap lingkungan.
Mereka memelihara siklus air dan nutrisi dan juga mengendalikan
Keseimbangan ekosistem (Holland, M.M., Risser, P.G. and Naiman, 1991).
Alam itu sendiri mengendalikan pembentukan, modifikasi, dan
penghancuran lahan basah, tetapi konsekuensi langsung atau tidak langsung
dari aktivitas manusia penyebab utama dari lahan basah, tetapi konsekuensi
langsung atau tidak langsung dari aktivitas manusia adalah penyebab utama
perubahan dan kehilangan lahan basah di seluruh dunia (Roy, Chatterjee, Roy,
& Mazumdar, 2015).
Ekosistem lahan basah diperkirakan lebih dari 9% (1.280 juta hektar)
dari bumi permukaan tanah. Umumnya setengah dari lahan basah asli dunia
telah hancur atau terdegradasi secara global (Paul et al., 2010). Partisipasi
pemangku kepentingan sangat penting untuk perlindungan dan pelestarian
lahan basah karena memainkannya peran yang sangat penting secara ekonomi
maupun ekologis dalam sistem lahan basah (Roy et al., 2010).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diolah rumusan masalah
sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan lahan basah wilayah Pesisir pada pulau-pulau
kecil?

5
2. Apa saja fungsi lahan basah bagi wilayah pesisir pada pulau-pulau kecil ?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah serta untuk
menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa terkait pengelolaan lahan
basah wilayah berair mengalir.

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan
dan pengetahuan mahasiswa terkait pengelolaan lahan basah wilayah Pesisir.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Basah
Istilah “Lahan Basah” atau “wetland” menurut Konvensi Ramsar
tahun 1991, yaitu: “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan;
tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau,
atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari
enam meter pada waktu surut” (Nasional, Ekosistem, & Basah, 2003).

Umumnya lahan basah yang ditemukan di Indonesia yaitu seperti


endapan tanah rendah sesudah air pasang surut, genangan air, mangrove
(hutan bakau) yang banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya.
Jenisnya dapat terdiri dari rawa pasang surut, rawa air tawar dan
mangrove. Menurut (Pramudianto, 2011), ada 7 tipe lahan basah utama yang
dimiliki Indonesia yaitu : Mangrove Forest, Peat Swamp, Freshwater Swamp,
Beach Vegetatio, Freshwater Lakes, Seasonal Freshwater Swamp dan
Seasonal Peat Swamp.
2.2 Karakteristik Lahan Basah
Wilayah lahan basah memiliki beberapa karakteristik yang unik yaitu:
 Merupakan dataran rendah yang membentang sepanjang pesisir,
 Merupakan wilayah yang mempunyai elevasi rendah,
 Beberapa tempat dipengaruhi oleh pasang surut untuk di wilayah dekat
dengan pantai,
 Dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai, dan
 Sebagian besar wilayah ini tertutupi dengan gambut.

7
Dalam menginventarisasi lahan basah meliputi beberapa aspek (Water
Resouces Management Workshop’s, 1998) diantaranya:

 Deskripsi penggunaan lahan. Untuk menunjukkan intensitas penggunaan


lahan yang berbatasan/berdekatan dengan lahan basah, menduga
persentase penggunaan lahan disekitarnya.
 Deskripsi lahan basah: mengidentifikasi semua tipe lahan basah yang ada,
menjelaskan elevasi, lereng, penggunaan lahan, kepadatan vegetasi
dengan menggunaan citra atau foto udara; Untuk lahan basah hidrologi di
jelaskan outlet, lokasi, karakteristik saluran serta hidriperiode; Lahan
basah hidrogeologi tentang vegerasi yang menjadi indikator interaksi ait-
tanah, sistem inlet-outlet atau groundwater recharge, tunjukkan sumber
utama air lahan basah; untuk coastal interaksi meliputi interaksi dengan
danau, banjir, pengeruh hidrologi danau terhadap lahan basah.
 Inventasisasi vegetasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui jumlah dan
jenis vegetasi dalam lahan basah.
 Penampakan khusus. Diperoleh dari referensi seperti peta atau dari
instansi terkait.
 Deskripsi tanah. Tipe lapisan tanah (silt, sand, peat atau clay),
pengaruhnya nyata dari gangguan aktivitas manusia terhadap tanah seperti
pertanian, grazing atau urbanisasi.
 Catatan khusus. Informasi tentang komunitas vegetasi yang unik,
karaktersitik hidrologic yang tidak seperti biasanya dan masalah-masalah
yang ditemukan dalam penilaian lahan basah.

2.3 Fungsi Lahan Basah


Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan
biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses
yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap komponen membuat lahan

8
basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat membangkitkan
hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala ekosistem
(Pascasarjana, 2017).

2.4 Lahan Basah Wilayah Pesisir


Berikut ini adalah isi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil :

 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu


proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut,
serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
 Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu
pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan.
Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup
wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti
sedimentasi.
Ketchum, (1972) in Kay (1999) mendefinisikan wilayah pesisir
sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan
penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan
sebaliknya. Dilihat dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah
yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu
dari Kabupaten atau Kota yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12
mil dari garis pantai untuk Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk
Kabupaten/Kota. Dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adala

9
wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada penanganan isu yang
akan ditangani secara bertanggung jawab (Naskah Akademik Pengelolaan
Wilayah Pesisir, 2001).

10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Lahan Basah Datar Lumpur
Pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air dan
tidak terendam pada saat pasang tertinggi. Sedangkan pulau dianggap kecil
(pulau kecil) apabila luasnya kurang atau sama dengan 2.000 km2 dengan
jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 orang (Alex Retrau bun,
2003, komunikasi pribadi). Dari segi ekosistem, pulau-pulau kecil dianggap
sebagai sebuah ekosistem sendiri apabila batasbatas alami dari ciri-ciri yang
terdapat di pulau tersebut tidak bisa dipisahkan dengan jelas.

Gambar 3. 1. Pulau Ana Ila, Riau Kepulauan, adalah salah satu


tempat penting bagi penyu untuk bertelur
Pulau-pulau kecil adalah kawasan yang penting sebagai tempat
berlindun nelayan saat badai. Ekosistem lahan basah pulau-pulau kecil seperti
mangrove, terumbu karang, padang lamun rumput laut, sangat dibutuhkan
oleh masyarakat, terutama nelayan kecil. Pulau kecil dan berbagai habitat

11
didalamnya mendukung kehidupan berbagai organisme seperti burung burung
laut, mamalia laut, dan penyu.

Saat ini, pulau-pulau kecil adalah kawasan yang paling terancam


dalam perubahan iklim. Hal tersebut diperparah dengan tingginya aktivitas
eksploitasi sumber daya alam pulau-pulau kecil seperti pertambangan (pasir)
dan penangkapan ikan dengan cara yang merusak. Perubahan iklim yang
berpotensi menaikan paras air laut dan pertambangan pasir dapat
menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil.(Nasional et al., 2003)

3.2 Konservasi
Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaan dari
pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan
perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan
sebagai pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap "biosphere" untuk
mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan
tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang
akan datang (IUCN 1980 dalam Salm, 1984).
Tujuan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil :

 Untuk menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;


 Melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;
 melindungi habitat biota laut;
 melindungi situs budaya tradisional.

Untuk kepentingan konservasi sebagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi.

3.3 Rehabilitasi
Konservasi, rehabilitasi, dan pemanfaatan secara bijaksana (wise use)
sangat penting untuk tercapainya pengelolaan dan pemanfaatan lahan basah

12
secara berkelanjutan. Konservasi yang dimaksud meliputi kegiatan
perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari untuk memelihara
keberlanjutan fungsi lingkungan sebagai penyangga kehidupan dan
keanekaragaman hayatinya. Rehabilitasi dilakukan untuk memperbaiki dan
mengembalikan fungsi lahan basah yang mengalami kerusakan. Karena sifat-
sifat lahan basah yang khas, rehabilitasi akan membutuhkan persiapan-
persiapan yang matang, masa pelaksanaan sangat panjang, dan biaya yang
tinggi (Nasional et al., 2003).
Rehabilitasi dilakukan dengan cara:
 Pengayaan sumber daya hayati;
 Perbaikan habitat;
 Perlindungan spesies biota laut agartumbuh dan berkembang secara
alami;
 Ramah lingkungan
Rehabilitasi dilakukan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah
dan atau setiap Orang yang secara langsung atau tidak langsung memperoleh
manfaat dari Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
3.4 Pemanfaatan Berkelanjutan
Pemanfaatan yang bijaksana adalah pemanfaatan lahan basah secara
berkelanjutan untuk umat manusia dengan tetap mempertahankan kekayaan
alami ekosistem. Sedangkan, pemanfaatan yang berkelanjutan adalah cara
manusia memanfaatkan suatu sumberdaya sehingga diperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya untuk generasi kini sambil memelihara berbagai potensinya
untuk generasi mendatang. Kekayaan alami suatu ekosistem adalah komponen
fisika, kimia, dan biologi seperti tanah, air, tanaman, hewan, nutrien, dan
interaksi diantaranya. Pemanfaatan yang bijaksana akan menunjang
pembangunan yang berkelanjutan dan senantiasa memperhatikan

13
keseimbangan antara eksploitasi dan kelestarian dari suatu sumberdaya alam
yang merupakan bahan baku dalam pembangunan itu sendiri.

3.5 Azas Manfaat Dan Prioritas


Lahan basah adalah salah satu bentuk sumberdaya yang dikaruniakan
oleh Sang Pencipta untuk menunjang kehidupan seluruh mahluk hidup di
bumi ini, termasuk manusia. Oleh karenanya, adalah suatu kewajiban bagi
kita semua untuk menjaga eksistensi lahan basah beserta segala potensi yang
ada didalamnya sebagai salah satu usaha untuk menjamin kelangsungan hidup
generasi kini dan mendatang.

Degradasi nilai dan fungsi dari suatu lahan basah akan memberikan
dampak negatif pada aspek sosial ekonomi terutama bagi masyarakat
sekitarnya. Masyarakat sebagai pengguna lahan basah akan mempunyai rasa
memiliki, apabila mereka sadar dan peduli akan manfaat lahan basah bagi
kehidupan, seperti sumber mata pencaharian, sarana rekreasi, pengembangan
kultur sosial maupun spiritual, dan mitigasi bencana(Nasional et al., 2003).
Pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai
ekonomisnya yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan
kepariwisataan, media komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan jenis
pemanfaatan lainnya. Jenis-jenis pariwisata yang dapat dikembangkan di
kawasan pulau-pulau kecil adalah :
A. Wisata Bahari
Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang
sangat besar yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang
mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang (Coral Reef),
khususnya hard corals. Disamping itu, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak
berpenghuni, secara logika akan memberikan kualitas keindahan dan
keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya. Berdasarkan rating yang
dilakukan oleh lembaga kepariwisataan internasional, beberapa kawasan di

14
Indonesia dengan sumberdaya yang dimilikinya mempunyai rating tertinggi
bila ditinjau dari segi daya tarik wisata bahari dibandingkan dengan
kawasan-kawasan lain di dunia. Beberapa kawasan wisata bahari yang
sangat sukses di dunia antara lain adalah kawasan Great Barrier Reef,
kawasan negara-negara di Karibia, seperti Bahama, Kawasan Pasifik seperti
Hawai, serta Kawasan Meditterranean. Belajar dari pengalaman di kawasan
tersebut, ternyata negara-negara tersebut merupakan “Negara Pulau-pulau
Kecil (Small Islands State)”, kecuali di Great Barrier Reef dan
Meditterranea.

Gambar 3. 2. Wisata bahari Wakatobi


Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi
wisata bahari yang cukup potensial. Beberapa diantaranya telah
dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari seperti Taman Nasional
(TN) Taka Bone Rate (Sulsel), TN Teluk Cendrawasih, TN Kep. Wakatobi
(Sultra), Taman Wisata Alam (TWA) Kep. Kapoposang (Sulsel), TWA
Tujuh Belas Pulau (NTT), TWA Gili Meno, Ayer, Trawangan (NTB), TWA
P. Sangiang (Jabar), dan lain-lain.
B. Wisata Terestrial
Pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata terestrial yaitu wisata
yang merupakan satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut. Wisata

15
terestrial di pulau-pulau kecil misalnya TN Komodo (NTT), sebagai lokasi
Situs Warisan Dunia (World Herritage Site) merupakan kawasan yang
memiliki potensi darat sebagai habitat komodo, serta potensi keindahan
perairan lautnya di P. Rinca dan P. Komodo. Contoh lain adalah Pulau Moyo
yang terletak di NTB sebagai Taman Buru (TB), dengan kawasan hutan
yang masih asri untuk wisata berburu dan wisata bahari (diving). Kondisi
Pulau Moyo tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha pariwisata sebagai
kawasan “Ekowisata Terestrial”. Dikawasan tersebut terdapat resort yang
tarifnya relatif mahal, dengan fasilitas yang ditawarkan berupa tenda-tenda,
sehingga merupakan “wisata camping” yang dikemas secara mewah. Paket
wisata di Kawasan Pulau Moyo ini sudah sangat terkenal di mancanegara
sehingga dapat memberikan devisa bagi negara.

Gambar 3. 3. Wisata terestrial Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur


C. Wisata Kultural
Pulau-pulau kecil merupakan suatu prototipe konkrit dari suatu unit
kesatuan utuh dari sebuah ekosistem yang terkecil. Salah satu komponennya
yang sangat signifikan adalah komponen masyarakat lokal. Masyarakat ini
sudah lama sekali berinteraksi dengan ekosistem pulau kecil, sehingga
secara realitas di lapangan, masyarakat pulau-pulau kecil tentunya
mempunyai budaya dan kearifan tradisional (local wisdom) tersendiri yang

16
merupakan nilai komoditas wisata yang tinggi. Kawasan yang dapat
dijadikan sebagai obyek wisata kultural, misalnya, di Pulau Lembata.
Masyarakat suku Lamalera di Pulau Lembata mempunyai budaya heroik
“Berburu Paus secara tradisional” (traditional whales hunter). Kegiatan
berburu paus secara tradisional tersebut dilakukan setelah melalui ritual-
ritual budaya yang sangat khas, yang hanya di miliki oleh suku Lamalera
tersebut. Keunikan budaya dan kearifan tradisional tersebut, menjadi daya
tarik bagi para wisatawan.

Gambar 3. 4 Wisata kultural Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur


3.6 Berbasis Masyarakat
Komunitas masyarakat yang sadar akan pentingnya suatu kawasan
lahan basah (khususnya bagi kehidupan manusia), serta mempunyai kemauan
dan kemampuan untuk memanfaatkan lahan basah secara bijaksana, akan
memelihara keberadaan lahan basah dengan berbagai fungsi dan nilai
pentingnya. Berdasarkan pada prinsip ini maka lahan basah dapat terjaga
dengan sendirinya oleh komunitas masyarakat. Pengalaman menunjukkan
bahwa pengelolaan lahan basah yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan – khususnya masyarakat lokal – lebih memberikan kepastian
keberlanjutan pengelolaan dibandingkan kegiatan serupa yang dilakukan
tanpa peran aktif masyarakat lokal. Peran aktif masyarakat dalam pengelolaan

17
lahan basah harus dimulai sejak identifikasi isu pengelolaan, penentuan
alternatif pengelolaan isu lahan basah, implementasi rencana kegiatan, hingga
monitoring dan evaluasi efektifitas pengelolaan berdasarkan kriteria yang
disepakati (Nasional et al., 2003).

Masyarakat dan swasta/dunia usaha dilibatkan secara aktif dalam


pengelolaan pulau-pulau kecil yang diatur dalam suatu Pedoman Umum yang
akan disusun oleh Pemerintah. Peran dan partisipasi masyarakat serta
lembaga dalam pengelolaan sangat penting untuk mencapai ekominawisata
yang berkelanjutan. Partisipasi masyarakat merupakan peluang yang
perlu dipertahankan dan dikembangkan partisipasinya untuk memperoleh
manfaat agar tercipta insentif dan motivasi untuk ikut menjaga
lingkungannya, terutama ikut mengkonservasi mangrove. Kelembagaan
masyarakat saat ini masih berupa wadah untuk menyampaikan aspirasinya
atau semacam bentuk eksistensi masyarakat terhadap lingkungan sekitar.
Sedangkan untuk keperluan penanganan wisata, stakeholder akan membentuk
badan pengelola dengan pengesahan Notaris atau Kepala Desa yang
berperan untuk mengelola dan mengawasi semua aktivitas dilapangan.
Badan pengelola adalah unsur pelaksana teknis dalam pengelolaan
ekominawisata. Lembaga ini diketuai dan beranggotakan masyarakat,
sedangkan KKP dan Pemerintah Daerah sebagai pemangku kebijakan,
pembina, pengawas dan penanggung jawab. Partisipasi masyarakat serta
lembaga memainkan peran penting dalam pengelolaan dan pengembangan
ekominawisata mangrove. Inisiatif dan partisipasi masyarakat dapat
memobilisasi dan mengorganisir mereka untuk melakukan tindakan
kolektif dalam pengelolaan

Fokus program pada ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil adalah :


a. Pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk kemandirian masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan program utama meliputi:

18
b. Pengelolaan lestari kawasan pesisir dan laut, revitalisasi pesisir,
pemanfaatan keanekaragaman hayati pesisir dan pantai, serta usaha
budidaya dan penerapan teknologi tepat guna untuk memberi nilai
tambah hasil sumberdaya pesisir dan pantai.
c. Pemanfaatan sumberdaya hayati pesisir dan laut untuk sumber energi
terbarukan untuk pengembangan model kemandirian energi di Pulau-
pulau Kecil.
d. Pengembangan potensi ekowisata wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
e. Pengembangan usaha kecil penyediaan bahan baku obat berbasis
keanekaragaman hayati pesisir dan pantai.
f. Sanitasi dan pemeliharaan kawasan sumber air bersih.
g. Rehabilitasi dan konservasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,
dengan program utama meliputi :
- Rehabilitasi dan revitalisasi ekosistem mangrove pesisir untuk
meningkatkan produktivitas ekosistem mangrove sebagai penyedia
sumber pangan masyarakat pesisir.
- Pemanfaatan keanekaragaman hayati ekosistem pesisir untuk energi
alternatif.
- Rehabilitasi terumbu karang di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
- Peningkatan kualitas lingkungan dan kesadaran hidup sehat, rumah
sehat, pencegahan penyakit di desa pesisir.
3.7 Terpadu
Lahan basah dimanfaatkan oleh beragam pemangku kepentingan,
akibatnya pengelolaan lahan basah menjadi rawan konflik dan di beberapa
tempat memicu rusaknya sumber daya hayati. Oleh sebab itu pengelolaan
lahan basah harus dilakukan secara terpadu yang melibatkan semua pemangku

19
kepentingan. Selama ini, pengelolaan lahan basah masih dilakukan secara
sektoral dan regional serta belum memiliki kejelasan mengenai peran dan
pembagian tanggung jawab bagi masing masing pemangku kepentingan.
Evaluasi dari kegiatan seringkali didasarkan pada kepentingan masing-masing
sektor sehingga tidak jarang menimbulkan konflik diantara para pengguna.
Sebagai contoh, sebuah sungai yang mengalir melalui beberapa
wilayah(Nasional et al., 2003).
Jika terjadi Konflik pengelolaan basah pulau kecil, saya akan
memberi contoh konflik yang pernah terjadi, contohnya ialah beberapa
Konvensi Internasional menjadi dasar dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
seperti konvensi yang berkaitan dengan perlindungan spesies tertentu,
penetapan kawasan terlarang dan/atau kawasan terbatas, emisi senyawa
kimia yang dapat menimbulkan iklim global, hukum pengendalian
pencemaran akibat angkutan di laut dan lain lain. Hasil-hasil KTT Bumi
pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil telah menghasilkan beberapa
dokumen penting antara lain, Prinsip-prinsip Rio, Konvensi Perubahan Iklim
dan Konvensi Keanekaragaman Hayati, Prinsip-prinsip Kehutanan, dan
Agenda. Pertemuan World Summit on Sustainable Development (WSSD)
yang diprakarsai oleh PBB juga menghasilkan dokumen-dokumen penting
yang menjadi dasar dan panduan upaya bersama masyarakat dunia
menjalankan pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam Sidang Khusus Majelis Umum PBB ke-22 tahun 1999 yang
membahas pelaksanaan Program Aksi Barbados mengenai Pembangunan
Berkelanjutan di Negara-negara Berkembang Kepulauan Kecil (SIDS), telah
menghasilkan State of Progress and initiatives for the Future Implementation
of the Programme of Action for Sustainable Development of Small Island
Developing States, untuk jangka waktu 5 tahun (1999-2004). Beberapa
masalah prioritas yang membutuhkan perhatian khusus yaitu :

20
a. perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut,
b. bencana alam dan kerusakan lingkungan,
c. sumberdaya air bersih,
d. ekosistem pesisir dan terumbu karang,
e. sumberdaya energi terbarukan,
3.8 Tata Laksana Yang Baik
Tata laksana yang baik (good governance) meliputi usaha-usaha
bagaimana suatu keputusan dibuat, siapa yang membuat, siapa yang
bertanggung jawab (accountable) atas keputusan yang dibuat, apa dampaknya
serta bagaimana struktur organisasinya dalam pembuatan keputusan serta
pembiayaan atas keputusan-keputusan yang dibuat.

Secara nasional, lahan basah mempunyai nilai dan fungsi yang penting
baik ditinjau dari segi lingkungan maupun perkonomian. Good governance
sangat penting dalam pelaksanaan pengelolaan lahan basah secara terpadu
untuk mengakomodasi berbagai kelompok masyarakat yang mempunyai
kepentingan yang berbeda. Pelaksanaan prinsip-prinsip pengelolaan secara
bijaksana dan transparan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan ketentuan
yang telah disepakati bersama yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi (baik yang berasal dari kearifan tradisional maupun hasil penggalian
dan pengembangan baru), bersifat terbuka dan bukan berdasarkan pada
kepentingan kelompok tertentu saja. (Nasional et al., 2003)

21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air dan
tidak terendam pada saat pasang tertinggi. Ekosistem lahan basah pulau-pulau
kecil seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun rumput laut, sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, terutama nelayan kecil. Pulau kecil dan berbagai
habitat didalamnya mendukung kehidupan berbagai organisme seperti burung
burung laut, mamalia laut, dan penyu. Hal tersebut diperparah dengan
tingginya aktivitas eksploitasi sumber daya alam pulau-pulau kecil seperti
pertambangan (pasir) dan penangkapan ikan dengan cara yang merusak.
Perubahan iklim yang berpotensi menaikan paras air laut dan
pertambangan pasir dapat menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaan dari pemanfaatan
sumberdaya secara tidak terbatas. Konservasi, rehabilitasi, dan pemanfaatan
secara bijaksana (wise use) sangat penting untuk tercapainya pengelolaan dan
pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Pemanfaatan yang bijaksana
adalah pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan untuk umat manusia
dengan tetap mempertahankan kekayaan alami ekosistem.

4.2 Saran
Setelah kita memahami ekosistem pulau-pulau kecil, kita diharapkan
dapat mengerti dan mengetahui dari ekositem yang terdapat dalam pulau-
pulau kecil tersebut. Dan semoga uraian diatas kiranya dapat berguna
menjadi acuan dan meningkatkan pengetahuan dan wawasan kita tentang
lahan basah pulau-pulau kecil, walaupun tidak secara mendalam namun

22
makalah diatas dapat menambah wawasan kita tentang topik yang disajikan.
Oleh karena itu kritik dan saran yang menbangun sangat dibutuhkan.

23
DAFTAR PUSTAKA
Holland, M.M., Risser, P.G. and Naiman, R. J. (1991). Ecotones: The role of landscape
boundaries in the management and restoration of changing environment.

IUCN 1980 dalam Salm, 1984. (1980). Pengelolaan Kawasan Konservasi, Institut Pertanian
Bogor(IPB).

Nasional, K., Ekosistem, P., & Basah, L. (2003). Strategi Nasional dan Rencana Aksi
Pengelolaan Lahan Basah Indonesia.

Paul et al. (2010). Wetlands-Rice Paddies and the Local Citizens of Osaki-Tajiri Area as a
Social Ecological System in the context of ESD and Wetland CEPA; Global
Environmental.

Pramudianto, A. (2011). Kawasan Lahan Basah dalam Konsep Hukum Global dan
Keberadaannya di Indonesia.

Roy et al. (2010). Human wetland dependency and socio-economic evaluation of wetland
functions through participatory approach in rural India.

Roy, M. B., Chatterjee, D., Roy, P. K., & Mazumdar, A. (2015). Wetland conservation ,
management and community education- a review of published paper of 1995-2014.
(January 2016).

24

Anda mungkin juga menyukai