Disusun oleh:
Kelompok 4/Perikanan A
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi
tugas Konservasi Sumberdaya Perairan dengan pembahasan pokok mengenai
“Konservasi Ekosistem Mangrove”.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya dosen-dosen pengajar
Konservasi Sumberdaya Perairan yang telah membimbing dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB Halaman
KATA PENGANTAR................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................... iii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................ 1
1.3 Tujuan .............................................................................. 1
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove...................................... 2
2.2 Fungsi Mangrove.............................................................. 3
2.3 Jenis-Jenis Mangrove....................................................... 5
2.4 Tujuan Konservasi Mangrove.......................................... 8
2.5 Organisme yang ada di Mangrove................................... 9
2.6 Undang-Undang Mangrove.............................................. 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
3
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
3
Hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi.
Fungsi fisik dan biologi sering dikatakan sebagai fungsi ekologis dan selalu
mengelami perubahan akibat aktifitas manusia, sedangkan fungsi ekonomi
merupakan fungsi tambahan dalam unsur ekologis yang melibatkan berbagai
aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, baik manfaat langsung
maupun manfaat secara tidak langsung. Arief (2003) dan LPP Mangrove
Indonesia (2008), fungsi hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa aspek
biologi, aspek fisika dan aspek ekonomi. Ditinjau dari aspek biologi, hutan
mangrove memiliki fungsi sebagai :
1) tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva (nursery
ground) komoditi perikanan bernilai ekonomis tinggi (ikan, kepiting, udang
dan kerang),
2) perlindungan berbagai jenis satwa liar seperti monyet, biawak, buaya, dan
burung dan
3) penyerapan karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi
peningkatan kualitas lingkungan hidup,
3
2.3
5
Sonneratia alba
2. Akar Tunjang (Stilt -Roots)
Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari
batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini merupakan akar udara yang
tumbuh di atas permukaan tanah, mencuat dari batang pohon dan dahan
paling bawah serta memanjang ke luar dan menuju ke permukaan tanah.
3
.
Rhizophora mucronata.
Bruguiera gymnorrhiza
Xylocarpus granatum
Avicennia
Heritiera littoralis
Lumnitzera racemosa.
perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya. Hal
mengenai perlakuan rehabilitasi tentunya harus lah sama dengan perlakuan
lainnya terhadap hutan mangrove termasuk didalamnya mengenai perlindungan.
Teluk Benoa terletak di sisi tenggara pulau Bali. Teluk Benoa adalah
perairan lintas kabupaten dan kota yaitu antara Kota Denpasar dan Kabupaten
Badung, dan juga meliputi tiga kecamatan yaitu Denpasar Selatan, Kuta dan Kuta
Selatan. Perairan di Teluk ini dikelilingi oleh 12 desa/kelurahan, yaitu ada 6 desa
berada di Kota Denpasar, dan juga 6 desa lainnya berada di Kabupaten Badung.
Teluk Benoa juga memiliki peran sebagai Daerah Aliran Sungai atau DAS.
Perairan Teluk Benoa dapat diibaratkan sebagai tampungan aliran banjir daerah
sekitarnya. Berdasarkan Peta DAS Unda Anyar, Teluk Benoa merupakan daerah
tangkapan air dari 5 (lima) subDAS. Kawasan Teluk Benoa dan sekitarnya
merupakan pusat keanekaragaman hayati pada tingkatan ekosistem di wilayah
pesisir Bali Selatan. Di kawasan ini terdapat keanekaragaman ekosistem yang
tinggi dan lengkap yaitu; Ekosistem Mangrove, Terumbu Karang (coral reefs),
Padang Lamun (segarass beds), dan Dataran Pasang Surut (tidal flats)
1. Bandara
International
Ngurah Rai
2. Pelabuhan Laut
Benoa
3. Pulau Serangan
yang sudah
direklamasi
4. Rencana pulau
baru
5. Tanjung Benoa
13
Pulau Serangan, pembangunan estuari dam di muara Sungai Badung,
pembangunan fasilitas air bersih, tempat pembuangan limbah, alih fungsi
menjadi pabrik, dan perbengkelan, pembuatan jalan tol, serta perluasan pacu
bandara dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Selain permasalahan di atas, pada
tahun 2012 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali melakukan
pembangunan Jalan Tol Bali Mandara. Jalan tol tersebut adalah jalan tol pertama
di Bali, dan merupakan jalan tol atas laut pertama di Indonesia. Pembangunan
jalan tol yang berada di wilayah perairan Teluk Benoa Bali tersebut
dikhawatirkan dapat merusak ekosistem mangrove yang berada di Tahura
Ngurah Rai, baik saat proses pembangunan maupun setelah Jalan Tol Bali
Mandara beroperasi.
1. Pembangunan Jalan Tol
Tidak terdapat perubahan pada parameter suhu setelah
pembangunan jalan tol (Andhika dkk 2018). Suhu berperan penting dalam
proses biologi vegetasi mangrove antara lain proses fotosintesis dan
respirasi. Menurut Alongi (2009), konduktansi stomata dan laju asimilasi
pada daun mangrove yang maksimal berkisar pada suhu 25 - 30 °C dan
akan mengalami penurunan yang cepat pada suhu di atas 35 °C. Suhu juga
dapat berpengaruh terhadap fauna akuatik. Suhu mempengaruhi kegiatan
fauna akuatik seperti migrasi, pemangsaan, kecepatan berenang,
perkembangan embrio, dan kecepatan proses metabolisme. Berdasarkan
keputusan Kepmen LH No.51 (2004) suhu optimum untuk biota di
estuaria berkisar antara 28 - 30 °C. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu
di wilayah Tahura Ngurah Rai termasuk dalam kategori normal bagi
pertumbuhan vegetasi mangrove dan biota air.
Hasil dari penelitian Ulfa et al. (2018), didapatkan bahwa
kekeruhan berkisar 10.4 - 31.5 NTU, dengan rata-rata 17.9 NTU. Nilai
rata-rata kekeruhan termasuk dalam kategori normal untuk petumbuhan
fauna akuatik. Menurut Setiawan (2013) ambang batas maksimum
kekeruhan optimal untuk kehidupan biota akuatik yaitu 30 NTU. Namun
terdapat satu stasiun yang memiliki kekeruhan di luar ambang batas.
13
Kekeruhan tersebut dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan
perkembangan fauna akuatik. Tingginya tingkat kekeruhan tersebut
diperkirakan karena lokasi berada di wilayah yang dekat pemukiman,
sehingga banyak limbah rumah tangga yang tersuspensi di perairan.
Nilai pH perairan di Tahura Ngurah Rai pada saat sebelum
pembangunan jalan tol yaitu 8.16 - 8.5, dengan nilai rata-rata 8.27.
Sedangkan nilai pH perairan setelah pembangunan jalan tol yaitu 7.6
sampai 7.8 dengan rata-rata 7.7. Terdapat penurunan pH setelah
pembangunan Jalan Tol Bali Mandara, namun tidak berpengaruh terhadap
keberlangsungan ekosistem mangrove, terutama pada pertumbuhan dan
perkembangan fauna akuatik. Hal ini dikarenakan nilai pH setelah
pembangunan jalan tol masih berada pada kategori normal. Menurut
Wantasen (2013), rentang toleransi pH untuk fauna akuatik sebesar 6 - 9,
dan pH optimal untuk tumbuh dan kembang fauna akuatik sekitar 7 - 8.5.
Salinitas di wilayah perairan Teluk Benoa sebelum adanya
pembangunan jalan tol berkisar antara 19.9 - 28.2 ‰, dengan rata-rata
24.5 ‰. Setelah pembangunan jalan tol berkisar 14.58 - 24.22 ‰, dengan
rata-rata 20.17 ‰. Penurunan salinitas di wilayah Tahura Ngurah Rai
dikarenakan jangkauan air laut berkurang dari wilayah perairan Teluk
Benoa. Menurut Wantasen (2013) vegetasi mangrove dapat tumbuh
dengan baik pada salinitas air payau antara 2 - 22‰ atau air asin dengan
salinitas mencapai 38‰. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah
estuaria dengan salinitas 10 sampai 30 ‰. Salinitas yang tinggi
mengakibatkan pohon mangrove menjadi kerdil dan berkurang komposisi
spesiesnya. Berdasarkan data tersebut wilayah Tahura Ngurah Rai
memiliki 2 tipe salinitas yaitu perairan payau dan asin dengan nilai
salinitas yang termasuk kategori ideal untuk pertumbuhan vegetasi
mangrove.
Kandungan DO sebelum pembangunan jalan tol berkisar antara
5.96 - 7.37 mg/L, dengan rata-rata 6.85 mg/L. Sedangkan kandungan DO
setelah pembangunan jalan tol berkisar 3.8 - 5.4 mg/L, dengan rata-rata
13
4.45 mg/L. Berdasarkan data tersebut telah terjadi penurunan kandungan
DO sebesar 2.4 mg/L di wilayah Tahura Ngurah Rai. Menurut Kepmen
LH No.51 tahun 2004 ambang batas baku mutu kualitas air laut untuk DO
> 5 mg/L. Kandungan DO yang berada di bawah ambang batas baku mutu
dapat mengakibatkan kematian fauna akuatik yang hidup di dalamnya.
Menurut Ulfa et al. (2018), kandungan DO rendah di wilayah ini
diakibatkan, karena wilayah perairan Teluk Benoa merupakan muara
beberapa sungai yaitu Tukad Badung dan Tukad Mati. Hal tersebut
mengakibatkan perairan di wilayah ini memiliki kandungan bahan organik
yang cukup tinggi. Selain itu rendahnya DO juga diakibatkan oleh
tercemarnya air yang berasal dari kedua sungai tersebut.
Perubahan kualitas air di Tahura Ngurah Rai berkaitan dengan
proses pembilasan. Pembilasan terjadi oleh aksi pasang surut air laut.
Proses pembilasan yang lambat menunjukkan pergantian air baru dan
pemindahan zat-zat pencemar yang lambat pula, sehingga mempengaruhi
keseimbangan ekologis dan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya eutrofikasi. Pembangunan jalan tol Bali Mandara yang
mengakibatkan air laut yang masuk menuju wilayah Tahura Ngurah Rai
terhambat, sehingga terganggunya proses pembilasan.
Hasil Penelitian dari Tanto et al. (2017) menyatakan bahwa
wilayah perairan Teluk Benoa mengalami peningkatan luas sedimentasi.
Penurunan kecepatan arus berdampak pada oragnisme yang ada di
ekosistem mangrove. Menurut Welch (1980), kecepatan arus berpengaruh
langsung terhadap organisme dan biota laut dan berpengaruh tidak
langsung pada susbtrat. Organisme yang hidup menetap pada substrat
sangat memerlukan kecepatan arus untuk membawa makanan, oksigen,
dan sebagainya, sehingga penurunan kecepatan arus ini dapat berdampak
pada terganggunya kehidupan biota akuatik yang berada di wilayah
perairan Teluk Benoa.
Pembangunan jalan tol Bali Mandara tidak mengakibatkan
perubahan terhadap jenis vegetasi mangrove yang ada di Tahura Ngurah
13
Rai. Menurut PT Jasamarga Bali Tol (2013), di kawasan Tahura Ngurah
Rai ditemukan memiliki kekayaan jenis (species richness) mangrove
sebanyak 12 jenis yang merupakan komponen utama (major mangrove)
dan juga cukup banyak jenis mangrove asosiasi lainnya. Jenis pohon
mangrove di Tahura Ngurah Rai didominasi oleh jenis prapat (S. alba) dan
merupakan ikon wilayah perairan teluk benoa, sehingga wilayah ini lebih
dikenal dengan nama Prapat Benoa. tidak terjadi perubahan signifikan
pada luas ekosistem mangrove setelah adanya pembangunan Jalan Tol Bali
Mandara. Hanya terdapat beberapa luasan mangrove yang hilang di
wilayah Nusa Dua dan Bandara Ngurah Rai, karena digunakan untuk alur
pembangunan jalan tol yang menghubungkan wilayah Nusa Dua - Bandara
Ngurah Rai - Sanur.
2. Reklamasi
Sesuai dengan pasal 55 ayat (5) perairan di kawasan Teluk Benoa
sebenarnya dijadikan kawasan yang terlarang untuk kegiatan-kegiatan
pembangunan yang merubah bentuk kawasan perairan. Reklamasi sendiri
memiliki dampak yang cukup besar bagi lingkungan yang hendak di
reklamasi maupun dampak yang dirasakan oleh penduduk sekitar kawasan
reklamasi.
a. Keuntungan
1.) Secara geografis, luas pulau Bali akan bertambah. Pulau baru yang
dibangun oleh investor di kawasan ini akan menjadi milik Bali, milik
masyarakat Bali. Begitu juga dengan luas hutan di pulau Bali, khususnya
hutan mangrove akan bertambah. Keberadaan hutan bakau yang sangat
luas di kawasan tersebut, akan sangat melindungi kawasan pesisir dari
ancaman abrasi akibat iklim global, termasuk melindungi Bali dari
bencana tsunami.
2.) Dalam bidang ekonomi, terutama dalam hal lapangan pekerjaan,
dengan dibangunnya akomodasi pariwisata dan fasilitas umum akan
memberikan peluang lapangan kerja bagi masyarakat Bali dalam beberapa
tahun yang akan datang.
13
3.) Dalam bidang pembangunan pariwisata, keberadaan pulau hasil
reklamasi akan menjadi destinasi wisata baru. Konsep pariwisata budaya
dapat diimplementasikan dengan tujuan untuk membangun dan
mengembangkan kawasan tersebut.
b. Kerugian
1.) Reklamasi akan merusak fungsi dan nilai konservasi kawasan serta
perairan Teluk Benoa, dan kerusakan fungsi dan nilai konservasi di Teluk
Benoa adalah ancaman kerusakan keanekaragaman hayati di Kawasan
pesisir lainnya.
2.) Reklamasi menyebabkan berkurangnya fungsi Teluk Benoa sebagai
tampungan banjir dari 5 subDAS (Daerah Aliran Sungai), yaitu; DAS
Badung, DAS Mati, DAS Tuban, DAS Bualu, DAS Sama, termasuk dari
sungai yang berasal dari alur rawa. Akibatnya air akan menggenangi dan
membanjiri daerah sekitarnya, seperti daerah Sanur Kauh, Suwung
Kangin, Pesanggaran, Pemogan, Simpang Dewa Ruci, Tanjung Benoa,
dan termasuk Bandara Udara I Gusti Ngurah Rai, serta wilayah dataran
rendah di sekitarnya.
3.) Reklamasi dengan membuat pulau baru akan menimbulkan kerentanan
terhadap bencana, baik tsunami maupun liquifkasi (hilangnya kekuatan
lapisan tanah akibat adanya faktor getaran, misalnya gempa bumi). Pulau
baru akan lebih labil dan memperpadat lokasi, yang justru bertentangan
dengan prinsip adaptasi terhadap bencana.
4.) Terjadinya peningkatan padatan tersuspensi serta sedimentasi di habitat
terumbu karang dapat mematikan polip karang dan merusak terumbu
karang di kawasan sekitarnya. Pada akhirnya, teluk kehilangan fungsinya
sebagai sistem penyangga, yang menjaga kesehatan ekosistem terumbu
karang di kawasan sekitarnya dari ancaman kerusakan oleh pengaruh
kegiatan manusia di perkotaan.
5.) Mengurangi daya lenting kawasan teluk sebagai jejaring
keanekaragaman hayati, khususnya koneksitas “kawasan segitiga emas”
yakni kawasan Candi Dasa dan Nusa Penida.
13
6.) Mengancam ekosistem mangrove dan prapat (sonneratia spp) yang
tumbuh di Teluk Benoa. Karena kondisi perairan akan berubah.
7.) Mengancam dan memperparah abrasi
8.) Bencana ekologis makin meluas. Tidak hanya di Teluk Benoa, tapi
juga tempat pengambilan material reklamasi di Sawangan (Nusa
DuaBadung), Candi Dasa (Karangasem), dan Sekotong (Lombok) juga
ikut terkena dampak, yakni penurunan keanekaragaman hayati, rusaknya
terumbu karang, dan abrasi, yang nantinya akan berdampak juga bagi
perekonomian dan dinamika sosial masyarakat wilayah tersebut.
9.) Ketimpangan Pembangunan antara Bali Selatan dengan wilayah Bali
lainnya. Selain itu, kepadatan di Bali Selatan akan meningkat dan
berpotensi menambah alih fungsi lahan pertanian akibat dari kebutuhan
hunian oleh serapan ratusan ribu tenaga kerja.
Dapat dilihat dari pengertian reklamasi, revitalisasi dan dampak
dari reklamasi serta melihat peraturan presiden republik indonesia No. 45
tahun 2015 maka kawasan Teluk Benoa jika di reklamasi akan berakibat
buruk bagi kehidupan masyarakat Bali. Karena terjadi ketidak seimbangan
pembangunan daerah Bali serta merusak nilai luhur dan kesetimpangan
adat masyarakat Bali.
3.2 Ekosistem Mangrove Teluk Benoa Bali
Kawasan Teluk Benoa merupakan habitat yang berlumpur dan terlindungi.
Keberadaan hutan mangrove di kawasan Teluk Benoa sangat penting karena jika
ditinjau dari aspek fisik, ekologi maupun ekonomi. Secara fisik, hutan mangrove
ini merupakan pelindung daratan dari erosi/abrasi pantai, sistem filter yang
melindungi terumbu karang dan padang lamun dari ancaman kerusakan oleh
sedimentasi, sampah dan air limbah yang berasal dari limpasan permukaan
(surface run off) di daerah perkotaan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Selain itu, hutan mangrove Teluk Benoa mempunyai peranan penting dalam
sistem tata lingkungan perkotaan sebagai paru-paru kota mengingat letaknya
yang strategis di daerah perkotaan.
13
Teluk Benoa merupakan kawasan penyebaran hutan mangrove terluas di
Bali. Hutan mangrove tumbuh melingkari sisi Teluk Benoa mulai dari Tukad
Loloan sampai Tanjung Benoa dan sebagian terdapat di Pulau Serangan. Luas
kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa 1.394,5 Ha atau 62,9 % dari 2.215,5
Ha luas keseluruhan hutan 19 mangrove di Bali. Sebarannya meliputi wilayah
Kota Denpasar seluas 641 Ha dan Kabupaten Badung 753,5 Ha. Seluas 1.373,5
ha berstatus sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) yang dinamai TAHURA
Ngurah Rai berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 544/Kpts-
II/93 tanggal 25 September 1993. Sebelumnya, berstatus sebagai Taman Wisata
Alam Prapat Benoa-Suwung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
RI Nomor: 885/Kpts-II/92 tanggal 8 September 1992. Sedangkan seluas 21 Ha
hutan mangrove yang berlokasi di sekitar Pelabuhan Benoa sebagai hasil
replanting merupakan hutan mangrove di luar kawasan hutan.
Kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa sebelum ditetapkan sebagai
Tahura khususnya di wilayah pesisir Kota Denpasar mengalami kerusakan
karena sebagian besar hutan ditebangi untuk kebutuhan kayu bakar. Kerusakan
terjadi semakin parah karena pemerintah pada tahun 1974 memberikan ijin
pinjam pakai untuk kegiatan reboisasi dengan sistem tumpang sari seluas 306 ha.
Dalam jangka 12 tahun luasan tanaman mangrove telah meningkat luasnya
sebesar 488.61 Ha atau dengan kecepatan pertumbuhannya mencapai 40.72 Ha
per-tahun. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Bali, jenis-jenis tanaman
penyusun hutan mangrove Tahura Ngurah Rai terdiri dari jenis-jenis mangrove
mayor antara lain Rhizophora, Sonneratia, dan Avicennia; jenis mangrove minor
antara lain Xylocarpus dan Aegiceras. Tanaman mangrove di Tahura Ngurah Rai
untuk tingkatan pohon, jumlah jenis yang ditemukan sejumlah 9 jenis. Jenis
yang paling dominan adalah Sonneratia alba (jenis prapat dalam Bahasa Bali, 20
sehingga kawasan hutan ini disebut hutan Prapat Benoa).
Jenis S. alba mendominasi di wilayah Tahura Ngurah Rai karena wilayah
ini memiliki substrat berpasir yang merupakan tempat tumbuh yang baik untuk
jenis tersebut. Noor et al. (2006) menyatakan bahwa di Indonesia, S. alba
tumbuh baik pada pantai yang berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu. Selain
13
faktor substrat, salinitas berpengaruh pada dominasi S. alba. Menurut Macnae
(1968), jenis Sonneratia sp. Umumnya hidup pada salinitas yang tinggi, Wilayah
Tahura Ngurah Rai memiliki salinitas yang tergolong ke dalam kategori asin,
sehingga menjadi tempat hidup yang baik untuk jenis S. alba.
13
c. Zona Pemanfaatan; Perlindungan dan pelestarian habitat dan populasi ikan,
Pariwisata dan rekreasi, Penelitian dan pengembangan, dan Pendidikan
d. Zona Lainnya; antara lain berupa zona perlindungan dan zona rehabilitasi.
13
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Kusmana, C., I.C. Wibowo, S.W. Budi, R., I.Z. Siregar, T. Tiryana, dan S.
Sukardjo. 2008. Manual of Mangrove Silviculture in Indonesia. Korea
International Cooperation Agency The Rehabilitation Mangrove Forest
and Coastal Area Damaged By Tsunami in Aceh Project.
Waryono, T. 2000. Reklamasi Pantai Ditinjau Dari Segi Ekologi Lansekap Dan
Restorasi.Diskusi Penataan Ruang Wilayah Pantai dan Laut Kabupaten
Cilacap. Jakarta: FMIPA UI