Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KONSERVASI SUMBERDAYA PERAIRAN

Konservasi Ekosistem Mangrove di Teluk Benoa Bali

Disusun oleh:

Rizkia Nurfarida 230110180043


Rizka Nurfadillah 230110180091
Agustina Fatimah A. 230110180126
Christopher Halashon 230110180149
Daffa Arkan S. 230110180161

Kelompok 4/Perikanan A

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi
tugas Konservasi Sumberdaya Perairan dengan pembahasan pokok mengenai
“Konservasi Ekosistem Mangrove”.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya dosen-dosen pengajar
Konservasi Sumberdaya Perairan yang telah membimbing dalam penyusunan
makalah ini.

Jatinangor, September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB Halaman
KATA PENGANTAR................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................... iii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................ 1
1.3 Tujuan .............................................................................. 1

II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove...................................... 2
2.2 Fungsi Mangrove.............................................................. 3
2.3 Jenis-Jenis Mangrove....................................................... 5
2.4 Tujuan Konservasi Mangrove.......................................... 8
2.5 Organisme yang ada di Mangrove................................... 9
2.6 Undang-Undang Mangrove.............................................. 10

I11 KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan....................................................................... 13
3.2 Saran................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan


umumnya dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang
terlindung di daerah tropis dan sub tropis. Kusmana (2008) mendefinisikan hutan
mangrove sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiri dari berbagai macam jenis
tumbuhan dari famili yang berbeda, namun memiliki persamaan daya adaptasi
morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang
surut.

Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota


laut, penahan abrasi pantai, penahan gelombang pasang dan tsunami, penyerap
limbah, pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga bisa berfungsi untuk
menyediakan kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya. Besarnya manfaat yang
ada pada ekosistem mangrove memberikan konsekuensi bagi ekosistem mangrove
tersebut. Terjadi eksploitasi yang sangat besar terhadap ekosistem mangrove,
mengakibatkan berkurangnya luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun.
Indonesia merupakan negara yang memiliki luas hutan mangrove sebesar 3.2 juta
hektar (Bakosurtanal 2009).

Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40 % mangrove (FAO


2007), dapat diartikan bahwa Indonesia memiliki kecepatan kerusakan mangrove
terbesar di dunia. Menurut Kusmana (2011), sebagian besar hutan bakau telah
dieksploitasi secara komersial untuk penggunaan lain (pertanian, perikanan,
urbanisasi, penambangan dan kolam garam) yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan di antara para pengguna, salah satunya ekosistem mangrove di
wilayah Teluk Benoa Bali, karena berada di kawasan strategis pariwisata Bali,
mengakibatkan ekosistem mangrove Teluk Benoa mengalami tekanan yang sangat
besar

1
3

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini:


1. Mengetahui mengenai pengertian ekosistem mangrove.
2. Mengetahui mengenai jenis-jenis mangrove.
3. Mengetahui mengenai manfaat mangrove.
4. Mengetahui mengenai organisme yang ada di ekosistem mangrove.
5. Mengetahui mengenai tujuan konservasi mangrove
6. Mengetahui mengenai undang-undang perlindungan mangrove

1.3. Manfaat

Manfaat dari makalah ini adalah memberikan informasi mengenai


pentingnya mempelajari ekosistem mangrove agar dalam kegiatan konservasi
sumberdaya perairan berjalan dengan baik. Manfaat yang kedua yaitu agar
mahasiswa dapat menjelaskan ekosistem mangrove.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove


Mangrove merupakan sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang
surut pantai. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal
woodland, vloedbosschen, atau juga hutan payau. Hutan mangrove merupakan
hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air
laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim.
Bengen (2000), mengatakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove adalah
jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat air payau. Habitat mangrove seringkali
ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut. Lokasi ini yang
kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang air laut yang besar. Sebagai
daerah peralihan antara laut dan daratan, hutan mangrove mempunyai gradien
sifat lingkungan yang sangat ekstrim. Pasang- surut air laut menyebabkan
terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan
salinitas. Oleh karena itu, hanya beberapa jenis tumbuhan yang memiliki daya
toleransi yang tinggi terhadap lingkungan yang ekstrim tersebut saja yang mampu
bertahan hidup dan berkembang didalamnya. Kondisi yang terjadi tersebut juga
menyebabkan rendahnya keanekaragaman jenis, namun disisi lain kepadatan
populasi masing-masing jenis umumnya tinggi.

Mangrove memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan vegetasi


hutan lainya. Perbedaan hutan mangrove dengan vegetasi hutan lainya berupa (1)
memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, (2) memiliki akar tidak beraturan
(pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau
(Rhizophora sp) serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada
(Sonneratia sp) dan jenis api-api (Avicennia sp), (3) memiliki biji (propagul) yang

2
3

bersifat vivipar atau dapat berkecambah dipohonnya, khususnya pada Rhizophora


sp dan (4) memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon (LPP Mangrove
Indonesia, 2008). Sedangkan menurut (Waryono 2000) ekosistem mangrove dapat
berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologi sebagai berikut
: (1) Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya
saat pasang purnama, (2) Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat
(sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas,
menambah pasokan unsur hara dan lumpur, (3) Jenis tanahnya berlumpur,
berlempung, atau berpasir, dimana bahannya berasal dari lumpur, pasir, atau
pecahan karang , (4) Arus laut tidak terlalu deras, tempatnya terlindung dari angin
kencang dan gempuran ombak yang kuat, (5) Suhu udara dengan fluktuasi
musiman tidak lebih dari 100 C, (6) Air payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin
dengan salinitas mencapai 38 ppt, (7) Topografi pantai yang datar/landai.

2.2 Fungsi Mangrove

Hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi.
Fungsi fisik dan biologi sering dikatakan sebagai fungsi ekologis dan selalu
mengelami perubahan akibat aktifitas manusia, sedangkan fungsi ekonomi
merupakan fungsi tambahan dalam unsur ekologis yang melibatkan berbagai
aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, baik manfaat langsung
maupun manfaat secara tidak langsung. Arief (2003) dan LPP Mangrove
Indonesia (2008), fungsi hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa aspek
biologi, aspek fisika dan aspek ekonomi. Ditinjau dari aspek biologi, hutan
mangrove memiliki fungsi sebagai :
1) tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva (nursery
ground) komoditi perikanan bernilai ekonomis tinggi (ikan, kepiting, udang
dan kerang),
2) perlindungan berbagai jenis satwa liar seperti monyet, biawak, buaya, dan
burung dan
3) penyerapan karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi
peningkatan kualitas lingkungan hidup,
3

4) tempat terdapatnya sumber makanan dan unsur-unsur hara. Daun mangrove


berfungsi sebagai sumber bahan organik dan sumber pakan konsumen pertama
yaitu pakan cacing, kepiting dan golongan kerang dan keong yang selanjutnya
menjadi sumber makanan bagi konsumen diatasnya sesuai siklus rantai
makanan dalam suatu ekosistem.

Ditinjau dari aspek fisika hutan mangrove memiliki fungsi sebagai :


1) pembangunan lahan dan pengendapan lumpur sehingga dapat memperluas
daratan,
2) menjaga garis pantai agar tetap stabil, perlindungan pantai dari abrasi akibat
gelombang ombak, arus, banjir akibat laut pasng dan terpaan angin,
3) pencegahan intrusi air laut ke daratan, dan
4) pengelolah limbah organik dan perangkap zat-zat pencemar (pollutant trap)
baik di udara maupun di rawa dan pantai seperti CO2.

Ditinjau dari aspek ekonomi hutan mangrove memiliki fungsi sebagai :


1) bahan bakar berupa kayu bakar dan arang,
2) bahan bangunan berupa kayu bangunan, tiang dan pagar,
3) alat penangkap ikan berupa tiang sero, bubu, pelampung dan bagan,
4) makanan, minuman, alkohol dan obat-obatan,
5) bahan baku pulp dan kertas,
6) bahan baku untuk membuat alat-alat rumah tangga dan kerajinan,
7) pariwisata. Vegetasi mangrove yang dijadikan sebagai bahan obatobatan
berupa daun Bruguiera sexangula (Lour) untuk obat penghambat tumor,
Ceriops tagal (Pers) dan Xylocarpus mollucensis (Lamk) untuk obat sakit gigi.
Daun nipa dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan atap rumah;
tannin yang dihasilkan mangrove berfungsi sebagai bahan baku bembuatan
tinta, plastik, lem dan pengawet.
3

2.3
5

2.4 Jenis-Jenis Mangrove

Berdasarkan karakteristik sebagai berikut :


• habitus (herba, semak, pohon); tipe perakaran
• akar tunjang/stiltroot, akar lutut/kne root, akar nafas/pneumatophor, akar
papan/buttres, akar normal);
• tipe buah ( cylindrical, ball, beanlike);
• tipe perbungaan dan warna bunga; bentuk daun dan tata letak daun

Berdasarkan Jenis akarnya :

1. Akar Pasak/Akar Napas (Pneumatophores)


Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan
memanjang ke luar ke arah udara seperti pasak. Akar ini merupakan akar
udara yang berbentuk seperti pensil atau kerucut yang menonjol ke atas,
terbentuk dari perluasan akar yang tumbuh secara horisontal. Akar napas
ini terdapat pada Avicennia alba, Xylocarpus moluccensis dan Sonneratia
alba.

Sonneratia alba
2.  Akar Tunjang (Stilt -Roots)
Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari
batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini merupakan akar udara yang
tumbuh di atas permukaan tanah, mencuat dari batang pohon dan dahan
paling bawah serta memanjang ke luar dan menuju ke permukaan tanah.
3

Akar ini terdapat pada Rhizophora apiculata, Rhizophora


mucronata dan Rhizophora stylosa
6

.
Rhizophora mucronata.

3. Akar Lutut (Knee-Roots)


Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh
ke arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar
ini merupakan akar horisontal yang berbentuk seperti lutut, terlipat di atas
permukaan tanah, meliuk ke atas dan bawah dengan ujung yang membulat di atas
permukaan tanah. Akar lutut seperti ini terdapat pada Bruguiera
cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera parfivlora.

Bruguiera gymnorrhiza

4. Akar Papan (Plank-Roots)


Akar papan hampir sama dengan akar tunjang, tetapi akar ini melebar menjadi
bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini juga tumbuh secara horisontal,
berbentuk seperti pita di atas permukaan tanah, bergelombang dan berliku-liku ke
arah samping seperti ular. Akar ini terdapat pada Xylocarpus granatum.
7

Xylocarpus granatum

5. Akar Gantung (Aerial-Roots)


Akar gantung adalah akar napas yang tidak bercabang yang muncul dari
batang atau cabang bagian bawah, tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar
gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia dan Acanthus.

Avicennia

6. Akar Banir (Buttress)


Struktur akan seperti papan, memanjang secara radial dari pangkal batang.
Akar banir terdapat pada Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops
decandra dan Heritiera littoralis.
8

Heritiera littoralis 

7. Tanpa Akar Udara


Akar biasa, tidak berbentuk seperti akar udara, contohnya pada mangrove
jenis Aegiceras corniculatum, Lumnitzera racemosa dan Xylocarpus rumphii.

Lumnitzera racemosa.

2.5 Tujuan Konservasi Mangrove

Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka,karena luasnya hanya 2%


permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di
dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi,dan sosial-budaya
yang sangat penting; misalnya menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan,
udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu
9

bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas


budaya (Setyawan, 2006).

2.6 Organisme di Mangrove

Menurut Imran (2016), ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu


ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi dibandingkan ekosistem lain dengan
dekomposisi bahan organik yang tinggi, dan menjadikannya sebagai mata rantai
ekologis yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup yang berada di
perairan sekitarnya. Materi organik menjadikan hutan mangrove sebagai tempat
sumber makanan dan tempat asuhan berbagai biota seperti ikan, udang dan
kepiting. Produksi ikan dan udang di perairan laut sangat bergantung dengan
produksi serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove. Berbagai kelompok
moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan penyusun
hutan mangrove.

Fauna moluska yang hidup sebagai penghuni hutan mangrove di Indonesia


umumnya didominasi oleh Gastropoda, yaitu sekitar 61 jenis, sedangkan dari
kelas Bivalvia hanya sekitar 9 jenis saja. Dari fauna Gastropoda penghuni
mangrove yang memiliki penyebaran yang sangat luas adalah Littorina scabra,
Terebralia palustris, T. sulcata dan Cerithium patalum. Sedangkan jenis yang
memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang sangat ekstrim
adalah Littorina scabra, Crassostrea cacullata dan Enigmonia aenigmatica
(Budiman & Darnaedi, 1984). Selanjutnya disebutkan pula bahwa dari sebanyak
Gastropoda penghuni hutan mangrove tersebut beberapa diantaranya dapat
dimanfaatkan untuk dikonsumsi masyarakat sekitar mangrove, antara lain adalah
jenis Terebralia palustris dan Telescopium telescopium. Sedangkan kelas Bivalvia
yang dikonsumsi masyarakat adalah jenis Polymesoda coaxans, Anadara
antiquata dan Ostrea cucullata.

Kelas Crustacea yang ditemukan pada ekosistem hutan mangrove adalah


sebanyak 54 jenis, dan umumnya didominasi oleh jenis kepiting (Brachyura) yang
dapat dikategorikan sebagai golongan infauna, sedangkan beberapa jenis udang
10

(Macrura) yang ditemukan pada ekosistem mangrove sebagian besar hanya


sebagai penghuni sementara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai
tempat menunjukkan bahwa famili Grapsidae merupakan penyusun utama fauna
Crustacea hutan mangrove (Soemodihardjo 1977, Budiman dkk. 1977).

Jenis Thalassina anomala merupakan jenis udang lumpur sebagai penghuni


setia hutan mangrove, karena udang ini hidup dengan cara membuat lubang dan
mencari makan hanya disekitar sarang tersebut. Sedangkan pada hutan mangrove
bersubstrat lumpur agak pejal, umumnya didominasi Uca dusumeri. Jenis lain
yang muncul pada substrat tersebut adalah Uca lactea, U. vocans, U. signatus dan
U. conso- brinus. Diantara kepiting mangrove yang mempunyai nilai ekonomis
dan dikonsumsi masyarakat adalah Scylla serrata, S. olivacea, Portunus
pelagicus, Epixanthus dentatus dan Labnanium politum.

2.7 Undang-undang Mangrove

Indonesia dengan sumber daya alam yang kaya akan keanekaragaman


hayati dan non hayati nya menyimpan potensi yang sangat besar dan melimpah.
Salah satu bagian dari potensi tersebut adalah hutan. Salah satu bagian dari hutan
adalah keberadaan hutan mangrove. Walaupun sebaran hutan mangrove tidak lah
sebanyak vegetasi hutan lainnya, dimana sebarannya yang hanya beberapa persen
dari luas hutan secara keseluruhan. Akan tetapi fungsi dari hutan mangrove
sendiri yang begitu menjanjikan serta penting bagi keberlanjutan ekosistem di
dalamnya membuat hutan mangrove menjadi salah satu poin penting dalam
perlindungan hutan.

Hutan termasuk mangrove di dalamnya adalah bagian dari lingkungan


hidup, artinya pengelolaan hutan juga harus selaras dengan pengelolaan
lingkungan hidup. Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan perundang-undangan
yang digunakan sebagai landasan dalam membuat kebijakan bidang kehutanan,
terutama dalam memberikan perlindungan terhadap hutan, yang juga berarti
melestarikan kualitas lingkungan hidup.
11

Di antaranya yang mengatur mengenai hutan termasuk hutan mangrove


adalah Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang
Perlindungan Hutan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 32
tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Perusakan Hutan.

Saat ini pengelolaan hutan mangrove berada di bawah wewenang


Kementerian Kehutanan melalui kewenangan yang diberikan UU Nomor 5 Tahun
1990, UU Nomor 41 tahun 1999 yang telah di revisi lewat Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional


Pengelolaan Ekosistem Mangrove dimana didalam konsideran mengingat terdapat
14 Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ekosistem mangrove dan
tentunya mengaitkan berbagai sektor diantaranya sektor kehutanan, sektor
kelautan dan perikanan, sektor tata ruang dan sektor lingkungan hidup.

Ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis ekosistem hutan


berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Hal
tersebut tertuang dalam pasal 1 poin 2 yang berisi : “Hutan adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Selain itu di sampaikan pula
dalam pasal 41 ayat (1) yang menyatakan bahwa hutan bakau dan hutan rawa
dimana hutan bakau adalah hutan mangrove itu sendiri, dalam hal rehabilitasi
12

perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya. Hal
mengenai perlakuan rehabilitasi tentunya harus lah sama dengan perlakuan
lainnya terhadap hutan mangrove termasuk didalamnya mengenai perlindungan.

Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional


Pengelolaan Ekosistem mangrove dimana berdasarkan Pasal 1 angka 3
berbunyi :“Pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan adalah semua
upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari melalui proses
terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem
mangrove bagi kesejahteraan masyarakat”. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pengelolaan ekosistem mangrove mendapat porsi yang sama dengan ekosistem
hutan lainnya.

2.7 Teluk Benoa Bali

Teluk Benoa terletak di sisi tenggara pulau Bali. Teluk Benoa adalah
perairan lintas kabupaten dan kota yaitu antara Kota Denpasar dan Kabupaten
Badung, dan juga meliputi tiga kecamatan yaitu Denpasar Selatan, Kuta dan Kuta
Selatan. Perairan di Teluk ini dikelilingi oleh 12 desa/kelurahan, yaitu ada 6 desa
berada di Kota Denpasar, dan juga 6 desa lainnya berada di Kabupaten Badung.
Teluk Benoa juga memiliki peran sebagai Daerah Aliran Sungai atau DAS.
Perairan Teluk Benoa dapat diibaratkan sebagai tampungan aliran banjir daerah
sekitarnya. Berdasarkan Peta DAS Unda Anyar, Teluk Benoa merupakan daerah
tangkapan air dari 5 (lima) subDAS. Kawasan Teluk Benoa dan sekitarnya
merupakan pusat keanekaragaman hayati pada tingkatan ekosistem di wilayah
pesisir Bali Selatan. Di kawasan ini terdapat keanekaragaman ekosistem yang
tinggi dan lengkap yaitu; Ekosistem Mangrove, Terumbu Karang (coral reefs),
Padang Lamun (segarass beds), dan Dataran Pasang Surut (tidal flats)

Teluk Benoa merupakan kawasan penyebaran hutan mangrove terluas di


Bali. Hutan mangrove tumbuh melingkari sisi Teluk Benoa mulai dari Tukad
Loloan sampai Tanjung Benoa dan sebagian terdapat di Pulau Serangan. Luas
kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa 1.394,5 Ha atau 62,9 % dari 2.215,5 Ha
12

luas keseluruhan hutan mangrove di Bali. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi


Bali, jenis-jenis tanaman penyusun hutan mangrove Tahura Ngurah Rai terdiri
dari jenis-jenis mangrove mayor antara lain Rhizophora, Sonneratia, dan
Avicennia; jenis mangrove minor antara lain Xylocarpus dan Aegiceras.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Teluk Benoa Bali

1. Bandara

International

Ngurah Rai

2. Pelabuhan Laut

Benoa

3. Pulau Serangan

yang sudah

direklamasi

4. Rencana pulau

baru

5. Tanjung Benoa

Salah satu ekosistem mangrove yang ada di Indonesia yaitu terdapat di


wilayah perairan Teluk Benoa Bali. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
(Kepmenhut) Nomor 544/Kpts- II/1993, pada tanggal 25 September 1993
ekosistem mangrove Teluk Benoa Bali ditetapkan menjadi Taman Hutan Raya
(Tahura) Ngurah Rai dengan luas 1373.50 ha. Ekosistem mangrove tersebut
berada di kawasan strategis pariwisata Bali, mengakibatkan ekosistem mangrove
Teluk Benoa mengalami tekanan yang sangat besar. Tahura Ngurah Rai berada
di kawasan yang sangat strategis karena terletak diantara tiga pusat pariwisata di
Bali yaitu Nusa Dua, Kuta, dan Sanur. Selain itu ekosistem mangrove Teluk
Benoa Bali juga terletak di dua pintu masuk Pulau Bali, yaitu Bandara
Internasional Ngurah Rai dan Pelabuhan Laut Benoa.
Seiring dengan berkembangnya pariwisata di Bali, kebutuhan terhadap
infrastruktur pembangunan pariwisata juga semakin meningkat. Melihat letak
Tahura Ngurah Rai yang berada pada kawasan pariwisata yang strategis, maka
pembangunan di sekitarnya pun berkembang sangat pesat. Menurut Wiradharma
et al. (2010), telah terjadi pengalihan fungsi hutan mangrove seperti reklamasi

13
Pulau Serangan, pembangunan estuari dam di muara Sungai Badung,
pembangunan fasilitas air bersih, tempat pembuangan limbah, alih fungsi
menjadi pabrik, dan perbengkelan, pembuatan jalan tol, serta perluasan pacu
bandara dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Selain permasalahan di atas, pada
tahun 2012 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali melakukan
pembangunan Jalan Tol Bali Mandara. Jalan tol tersebut adalah jalan tol pertama
di Bali, dan merupakan jalan tol atas laut pertama di Indonesia. Pembangunan
jalan tol yang berada di wilayah perairan Teluk Benoa Bali tersebut
dikhawatirkan dapat merusak ekosistem mangrove yang berada di Tahura
Ngurah Rai, baik saat proses pembangunan maupun setelah Jalan Tol Bali
Mandara beroperasi.
1. Pembangunan Jalan Tol
Tidak terdapat perubahan pada parameter suhu setelah
pembangunan jalan tol (Andhika dkk 2018). Suhu berperan penting dalam
proses biologi vegetasi mangrove antara lain proses fotosintesis dan
respirasi. Menurut Alongi (2009), konduktansi stomata dan laju asimilasi
pada daun mangrove yang maksimal berkisar pada suhu 25 - 30 °C dan
akan mengalami penurunan yang cepat pada suhu di atas 35 °C. Suhu juga
dapat berpengaruh terhadap fauna akuatik. Suhu mempengaruhi kegiatan
fauna akuatik seperti migrasi, pemangsaan, kecepatan berenang,
perkembangan embrio, dan kecepatan proses metabolisme. Berdasarkan
keputusan Kepmen LH No.51 (2004) suhu optimum untuk biota di
estuaria berkisar antara 28 - 30 °C. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu
di wilayah Tahura Ngurah Rai termasuk dalam kategori normal bagi
pertumbuhan vegetasi mangrove dan biota air.
Hasil dari penelitian Ulfa et al. (2018), didapatkan bahwa
kekeruhan berkisar 10.4 - 31.5 NTU, dengan rata-rata 17.9 NTU. Nilai
rata-rata kekeruhan termasuk dalam kategori normal untuk petumbuhan
fauna akuatik. Menurut Setiawan (2013) ambang batas maksimum
kekeruhan optimal untuk kehidupan biota akuatik yaitu 30 NTU. Namun
terdapat satu stasiun yang memiliki kekeruhan di luar ambang batas.

13
Kekeruhan tersebut dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan
perkembangan fauna akuatik. Tingginya tingkat kekeruhan tersebut
diperkirakan karena lokasi berada di wilayah yang dekat pemukiman,
sehingga banyak limbah rumah tangga yang tersuspensi di perairan.
Nilai pH perairan di Tahura Ngurah Rai pada saat sebelum
pembangunan jalan tol yaitu 8.16 - 8.5, dengan nilai rata-rata 8.27.
Sedangkan nilai pH perairan setelah pembangunan jalan tol yaitu 7.6
sampai 7.8 dengan rata-rata 7.7. Terdapat penurunan pH setelah
pembangunan Jalan Tol Bali Mandara, namun tidak berpengaruh terhadap
keberlangsungan ekosistem mangrove, terutama pada pertumbuhan dan
perkembangan fauna akuatik. Hal ini dikarenakan nilai pH setelah
pembangunan jalan tol masih berada pada kategori normal. Menurut
Wantasen (2013), rentang toleransi pH untuk fauna akuatik sebesar 6 - 9,
dan pH optimal untuk tumbuh dan kembang fauna akuatik sekitar 7 - 8.5.
Salinitas di wilayah perairan Teluk Benoa sebelum adanya
pembangunan jalan tol berkisar antara 19.9 - 28.2 ‰, dengan rata-rata
24.5 ‰. Setelah pembangunan jalan tol berkisar 14.58 - 24.22 ‰, dengan
rata-rata 20.17 ‰. Penurunan salinitas di wilayah Tahura Ngurah Rai
dikarenakan jangkauan air laut berkurang dari wilayah perairan Teluk
Benoa. Menurut Wantasen (2013) vegetasi mangrove dapat tumbuh
dengan baik pada salinitas air payau antara 2 - 22‰ atau air asin dengan
salinitas mencapai 38‰. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah
estuaria dengan salinitas 10 sampai 30 ‰. Salinitas yang tinggi
mengakibatkan pohon mangrove menjadi kerdil dan berkurang komposisi
spesiesnya. Berdasarkan data tersebut wilayah Tahura Ngurah Rai
memiliki 2 tipe salinitas yaitu perairan payau dan asin dengan nilai
salinitas yang termasuk kategori ideal untuk pertumbuhan vegetasi
mangrove.
Kandungan DO sebelum pembangunan jalan tol berkisar antara
5.96 - 7.37 mg/L, dengan rata-rata 6.85 mg/L. Sedangkan kandungan DO
setelah pembangunan jalan tol berkisar 3.8 - 5.4 mg/L, dengan rata-rata

13
4.45 mg/L. Berdasarkan data tersebut telah terjadi penurunan kandungan
DO sebesar 2.4 mg/L di wilayah Tahura Ngurah Rai. Menurut Kepmen
LH No.51 tahun 2004 ambang batas baku mutu kualitas air laut untuk DO
> 5 mg/L. Kandungan DO yang berada di bawah ambang batas baku mutu
dapat mengakibatkan kematian fauna akuatik yang hidup di dalamnya.
Menurut Ulfa et al. (2018), kandungan DO rendah di wilayah ini
diakibatkan, karena wilayah perairan Teluk Benoa merupakan muara
beberapa sungai yaitu Tukad Badung dan Tukad Mati. Hal tersebut
mengakibatkan perairan di wilayah ini memiliki kandungan bahan organik
yang cukup tinggi. Selain itu rendahnya DO juga diakibatkan oleh
tercemarnya air yang berasal dari kedua sungai tersebut.
Perubahan kualitas air di Tahura Ngurah Rai berkaitan dengan
proses pembilasan. Pembilasan terjadi oleh aksi pasang surut air laut.
Proses pembilasan yang lambat menunjukkan pergantian air baru dan
pemindahan zat-zat pencemar yang lambat pula, sehingga mempengaruhi
keseimbangan ekologis dan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya eutrofikasi. Pembangunan jalan tol Bali Mandara yang
mengakibatkan air laut yang masuk menuju wilayah Tahura Ngurah Rai
terhambat, sehingga terganggunya proses pembilasan.
Hasil Penelitian dari Tanto et al. (2017) menyatakan bahwa
wilayah perairan Teluk Benoa mengalami peningkatan luas sedimentasi.
Penurunan kecepatan arus berdampak pada oragnisme yang ada di
ekosistem mangrove. Menurut Welch (1980), kecepatan arus berpengaruh
langsung terhadap organisme dan biota laut dan berpengaruh tidak
langsung pada susbtrat. Organisme yang hidup menetap pada substrat
sangat memerlukan kecepatan arus untuk membawa makanan, oksigen,
dan sebagainya, sehingga penurunan kecepatan arus ini dapat berdampak
pada terganggunya kehidupan biota akuatik yang berada di wilayah
perairan Teluk Benoa.
Pembangunan jalan tol Bali Mandara tidak mengakibatkan
perubahan terhadap jenis vegetasi mangrove yang ada di Tahura Ngurah

13
Rai. Menurut PT Jasamarga Bali Tol (2013), di kawasan Tahura Ngurah
Rai ditemukan memiliki kekayaan jenis (species richness) mangrove
sebanyak 12 jenis yang merupakan komponen utama (major mangrove)
dan juga cukup banyak jenis mangrove asosiasi lainnya. Jenis pohon
mangrove di Tahura Ngurah Rai didominasi oleh jenis prapat (S. alba) dan
merupakan ikon wilayah perairan teluk benoa, sehingga wilayah ini lebih
dikenal dengan nama Prapat Benoa. tidak terjadi perubahan signifikan
pada luas ekosistem mangrove setelah adanya pembangunan Jalan Tol Bali
Mandara. Hanya terdapat beberapa luasan mangrove yang hilang di
wilayah Nusa Dua dan Bandara Ngurah Rai, karena digunakan untuk alur
pembangunan jalan tol yang menghubungkan wilayah Nusa Dua - Bandara
Ngurah Rai - Sanur.
2. Reklamasi
Sesuai dengan pasal 55 ayat (5) perairan di kawasan Teluk Benoa
sebenarnya dijadikan kawasan yang terlarang untuk kegiatan-kegiatan
pembangunan yang merubah bentuk kawasan perairan. Reklamasi sendiri
memiliki dampak yang cukup besar bagi lingkungan yang hendak di
reklamasi maupun dampak yang dirasakan oleh penduduk sekitar kawasan
reklamasi.
a. Keuntungan
1.) Secara geografis, luas pulau Bali akan bertambah. Pulau baru yang
dibangun oleh investor di kawasan ini akan menjadi milik Bali, milik
masyarakat Bali. Begitu juga dengan luas hutan di pulau Bali, khususnya
hutan mangrove akan bertambah. Keberadaan hutan bakau yang sangat
luas di kawasan tersebut, akan sangat melindungi kawasan pesisir dari
ancaman abrasi akibat iklim global, termasuk melindungi Bali dari
bencana tsunami.
2.) Dalam bidang ekonomi, terutama dalam hal lapangan pekerjaan,
dengan dibangunnya akomodasi pariwisata dan fasilitas umum akan
memberikan peluang lapangan kerja bagi masyarakat Bali dalam beberapa
tahun yang akan datang.

13
3.) Dalam bidang pembangunan pariwisata, keberadaan pulau hasil
reklamasi akan menjadi destinasi wisata baru. Konsep pariwisata budaya
dapat diimplementasikan dengan tujuan untuk membangun dan
mengembangkan kawasan tersebut.
b. Kerugian
1.) Reklamasi akan merusak fungsi dan nilai konservasi kawasan serta
perairan Teluk Benoa, dan kerusakan fungsi dan nilai konservasi di Teluk
Benoa adalah ancaman kerusakan keanekaragaman hayati di Kawasan
pesisir lainnya.
2.) Reklamasi menyebabkan berkurangnya fungsi Teluk Benoa sebagai
tampungan banjir dari 5 subDAS (Daerah Aliran Sungai), yaitu; DAS
Badung, DAS Mati, DAS Tuban, DAS Bualu, DAS Sama, termasuk dari
sungai yang berasal dari alur rawa. Akibatnya air akan menggenangi dan
membanjiri daerah sekitarnya, seperti daerah Sanur Kauh, Suwung
Kangin, Pesanggaran, Pemogan, Simpang Dewa Ruci, Tanjung Benoa,
dan termasuk Bandara Udara I Gusti Ngurah Rai, serta wilayah dataran
rendah di sekitarnya.
3.) Reklamasi dengan membuat pulau baru akan menimbulkan kerentanan
terhadap bencana, baik tsunami maupun liquifkasi (hilangnya kekuatan
lapisan tanah akibat adanya faktor getaran, misalnya gempa bumi). Pulau
baru akan lebih labil dan memperpadat lokasi, yang justru bertentangan
dengan prinsip adaptasi terhadap bencana.
4.) Terjadinya peningkatan padatan tersuspensi serta sedimentasi di habitat
terumbu karang dapat mematikan polip karang dan merusak terumbu
karang di kawasan sekitarnya. Pada akhirnya, teluk kehilangan fungsinya
sebagai sistem penyangga, yang menjaga kesehatan ekosistem terumbu
karang di kawasan sekitarnya dari ancaman kerusakan oleh pengaruh
kegiatan manusia di perkotaan.
5.) Mengurangi daya lenting kawasan teluk sebagai jejaring
keanekaragaman hayati, khususnya koneksitas “kawasan segitiga emas”
yakni kawasan Candi Dasa dan Nusa Penida.

13
6.) Mengancam ekosistem mangrove dan prapat (sonneratia spp) yang
tumbuh di Teluk Benoa. Karena kondisi perairan akan berubah.
7.) Mengancam dan memperparah abrasi
8.) Bencana ekologis makin meluas. Tidak hanya di Teluk Benoa, tapi
juga tempat pengambilan material reklamasi di Sawangan (Nusa
DuaBadung), Candi Dasa (Karangasem), dan Sekotong (Lombok) juga
ikut terkena dampak, yakni penurunan keanekaragaman hayati, rusaknya
terumbu karang, dan abrasi, yang nantinya akan berdampak juga bagi
perekonomian dan dinamika sosial masyarakat wilayah tersebut.
9.) Ketimpangan Pembangunan antara Bali Selatan dengan wilayah Bali
lainnya. Selain itu, kepadatan di Bali Selatan akan meningkat dan
berpotensi menambah alih fungsi lahan pertanian akibat dari kebutuhan
hunian oleh serapan ratusan ribu tenaga kerja.
Dapat dilihat dari pengertian reklamasi, revitalisasi dan dampak
dari reklamasi serta melihat peraturan presiden republik indonesia No. 45
tahun 2015 maka kawasan Teluk Benoa jika di reklamasi akan berakibat
buruk bagi kehidupan masyarakat Bali. Karena terjadi ketidak seimbangan
pembangunan daerah Bali serta merusak nilai luhur dan kesetimpangan
adat masyarakat Bali.
3.2 Ekosistem Mangrove Teluk Benoa Bali
Kawasan Teluk Benoa merupakan habitat yang berlumpur dan terlindungi.
Keberadaan hutan mangrove di kawasan Teluk Benoa sangat penting karena jika
ditinjau dari aspek fisik, ekologi maupun ekonomi. Secara fisik, hutan mangrove
ini merupakan pelindung daratan dari erosi/abrasi pantai, sistem filter yang
melindungi terumbu karang dan padang lamun dari ancaman kerusakan oleh
sedimentasi, sampah dan air limbah yang berasal dari limpasan permukaan
(surface run off) di daerah perkotaan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Selain itu, hutan mangrove Teluk Benoa mempunyai peranan penting dalam
sistem tata lingkungan perkotaan sebagai paru-paru kota mengingat letaknya
yang strategis di daerah perkotaan.

13
Teluk Benoa merupakan kawasan penyebaran hutan mangrove terluas di
Bali. Hutan mangrove tumbuh melingkari sisi Teluk Benoa mulai dari Tukad
Loloan sampai Tanjung Benoa dan sebagian terdapat di Pulau Serangan. Luas
kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa 1.394,5 Ha atau 62,9 % dari 2.215,5
Ha luas keseluruhan hutan 19 mangrove di Bali. Sebarannya meliputi wilayah
Kota Denpasar seluas 641 Ha dan Kabupaten Badung 753,5 Ha. Seluas 1.373,5
ha berstatus sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) yang dinamai TAHURA
Ngurah Rai berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 544/Kpts-
II/93 tanggal 25 September 1993. Sebelumnya, berstatus sebagai Taman Wisata
Alam Prapat Benoa-Suwung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
RI Nomor: 885/Kpts-II/92 tanggal 8 September 1992. Sedangkan seluas 21 Ha
hutan mangrove yang berlokasi di sekitar Pelabuhan Benoa sebagai hasil
replanting merupakan hutan mangrove di luar kawasan hutan.
Kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa sebelum ditetapkan sebagai
Tahura khususnya di wilayah pesisir Kota Denpasar mengalami kerusakan
karena sebagian besar hutan ditebangi untuk kebutuhan kayu bakar. Kerusakan
terjadi semakin parah karena pemerintah pada tahun 1974 memberikan ijin
pinjam pakai untuk kegiatan reboisasi dengan sistem tumpang sari seluas 306 ha.
Dalam jangka 12 tahun luasan tanaman mangrove telah meningkat luasnya
sebesar 488.61 Ha atau dengan kecepatan pertumbuhannya mencapai 40.72 Ha
per-tahun. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Bali, jenis-jenis tanaman
penyusun hutan mangrove Tahura Ngurah Rai terdiri dari jenis-jenis mangrove
mayor antara lain Rhizophora, Sonneratia, dan Avicennia; jenis mangrove minor
antara lain Xylocarpus dan Aegiceras. Tanaman mangrove di Tahura Ngurah Rai
untuk tingkatan pohon, jumlah jenis yang ditemukan sejumlah 9 jenis. Jenis
yang paling dominan adalah Sonneratia alba (jenis prapat dalam Bahasa Bali, 20
sehingga kawasan hutan ini disebut hutan Prapat Benoa).
Jenis S. alba mendominasi di wilayah Tahura Ngurah Rai karena wilayah
ini memiliki substrat berpasir yang merupakan tempat tumbuh yang baik untuk
jenis tersebut. Noor et al. (2006) menyatakan bahwa di Indonesia, S. alba
tumbuh baik pada pantai yang berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu. Selain

13
faktor substrat, salinitas berpengaruh pada dominasi S. alba. Menurut Macnae
(1968), jenis Sonneratia sp. Umumnya hidup pada salinitas yang tinggi, Wilayah
Tahura Ngurah Rai memiliki salinitas yang tergolong ke dalam kategori asin,
sehingga menjadi tempat hidup yang baik untuk jenis S. alba.

3.3 Teluk Benoa Bali Sebagai Kawasan Korsevasi


Teluk Benoa Sebagai Kawasan Konservasi Berdasarkan undang-undang
tentang penataan ruang yang ada yaitu Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan
Tabanan (Sarbagita), perairan Teluk Benoa ditetapkan sebagai Kawasan
Konservasi Perairan (Pasal 55 ayat (5)), salah satu jenis Kawasan Konservasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sedangkan Perda No. 16
Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali tidak mengatur atau memberi arahan
mengenai peruntukan perairan Teluk Benoa.
Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang
memiliki ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Kawasan Konservasi
Perairan menurut PP No. 60 Tahun 2007 dan Permen KP No. 30 Tahun 2010
adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk
mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan.
Sistem zonasi Kawasan Konservasi Perairan dan peruntukannya menurut
PP No. 60 Tahun 2007 dan PermenKP No. 30 Tahun 2010 yaitu:
a. Zona Inti; Perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, Penelitian, dan
Pendidikan
b. Zona Perikanan Berkelanjutan; Perlindungan habitat dan populasi ikan,
Penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, Budidaya
ramah lingkungan, Pariwisata dan rekreasi, Penelitian dan pengembangan,
dan Pendidikan

13
c. Zona Pemanfaatan; Perlindungan dan pelestarian habitat dan populasi ikan,
Pariwisata dan rekreasi, Penelitian dan pengembangan, dan Pendidikan
d. Zona Lainnya; antara lain berupa zona perlindungan dan zona rehabilitasi.

Selain dikeluarkannya peraturan pemerin masyarakat turut serta dalam


pengawasan dilapang sebagai salah satu contoh adalah gerakan ForBALI yang
sangat menentang dan menolak adanya reklamasi di Bali, menganggap kegiatan
reklamasi tersebut akan mengganggu tingkat ekosistem yang ada, dan juga
mengganggu nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada lama di sekitar wilayah
Teluk Benoa tersebut bagi masyarakat tradisional Bali. Ada juga beberapa alasan
yang menjadi ide pokok dalam gerakan penolakan ini yaitu diantaranya, Teluk
Benoa akan mengalamai rentan bencana, terumbu karang yang berada disana akan
mengalami kerusakan, hilangnya fungsi ekosistem hutan mangrove, dan
mengakibatkan bencana ekologis yang meluas. Hal ini membuktikan tingkat
kesadar akan lingkungan masyarakat tinggi untuk mempertahankan daerah
konservasi mangrove.

13
4.1 Kesimpulan

1) Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara dalam kurun waktu 5 tahun


menyebabkan penurunan salinitas,penurunan pH, penurunan kandungan DO
namun masih dalam batas toleransi lingkungan. Kecepatan arus mengalami
penurunan, peningkatan luas sedimentasi, serta terjadi pendangkalan pada
wilayah perairan Teluk Benoa. Luasan ekosistem mangrove tidak mengalami
perubahan yang signifikan setelah pembangunan Jalan Tol Bali Mandara.
Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara tidak menyebabkan perubahan yang
signifikan terhadap flora dan fauna mangrove. Vegetasi mangrove di Tahura
Ngurah Rai tetap didominasi oleh jenis Sonneratia alba.
2) Pembangunan reklamasi di daerah konservasi memiliki dampak positif dan
negative bagi ekonomi, sosial, maupun ekosistem mangrove
3) Teluk Benoa merupakan kawasan penyebaran hutan mangrove terluas di
Bali.Ekosistem mangrove di Teluk Benoa di dominasi oleh Sonneratia alba
4) Konservasi mangrove di Teluk Benoa dilindungi secara hukum Negara dan
adat selain itu masyarakat turut serta dalam pengawasan peraturan

4.2 Saran

13
DAFTAR PUSTAKA

Arief, 2003.Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya.Yogyakarta. Knisius

Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat


Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 58 hal.

Kusmana, C., I.C. Wibowo, S.W. Budi, R., I.Z. Siregar, T. Tiryana, dan S.
Sukardjo. 2008. Manual of Mangrove Silviculture in Indonesia. Korea
International Cooperation Agency The Rehabilitation Mangrove Forest
and Coastal Area Damaged By Tsunami in Aceh Project.

Waryono, T. 2000. Reklamasi Pantai Ditinjau Dari Segi Ekologi Lansekap Dan
Restorasi.Diskusi Penataan Ruang Wilayah Pantai dan Laut Kabupaten
Cilacap. Jakarta: FMIPA UI

Anda mungkin juga menyukai