Anda di halaman 1dari 22

KARAKTERISTIK LAHAN RAWA PASANG SURUT

BERDASARKAN ASPEK HIDROLOGI DAN TANAH


(Studi Kasus : Kabupaten Merauke, Provinsi Papua)

Oleh:

FAJAR HAIRULLAH NIM D1091161046


WILLYANTO NIM D1091171001
NURUL AMIRAH KHAIRUNNISA NIM D1091171002

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah aspek hidrologi dan tanah pada lahan rawa pasang surut. Penulis juga
berterima kasih kepada Ibu Dr. Henny Herawati, ST, MT. selaku Dosen pengampu
mata kuliah Pengelolaan Kawasan Lahan Basah yang telah memberikan arahan
dalam proses pengerjaan tugas ini. Pada makalah ini penulis membahas tentang
karakteristik lahan rawa pasang surut berdasarkan aspek hidrologi dan tanah.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, penulis berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah penulis buat untuk masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan makalah ini.

Pontianak, 4 November 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
1.4 Sistematika Penulisan .............................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4
2.1 Definisi Rawa .......................................................................................... 4
2.2 Lahan Rawa Pasang Surut ....................................................................... 4
2.2 Aspek Hidrologi pada Lahan Rawa Pasang Surut ................................... 5
2.3 Aspek Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut ........................................ 6
2.3.1 Tanah Gambut ............................................................................. 6
2.3.3Tanah Aluvial/Sulfat Masam ....................................................... 7
2.4 Pengelolaan Hidrologi dan Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut ........ 9
2.4.1 Pengelolaan Hidrologi ................................................................. 9
2.4.2 Pengelolaan Tanah .................................................................... 12
2.5 Pengelolaan Hidrologi dan Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut di
Kabupaten Merauke ..................................................................................... 13

1.5.1 Pengelolaan Air di Kabupaten Merauke ................................... 14


1.5.2 Pengelolaan Tanah di Kabupaten Merauke ............................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 17
3.2 Saran ...................................................................................................... 18
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahan basah adalah wilayah daratan yang digenangi air atau memiliki
kandungan air yang tinggi, baik permanen maupun musiman. Dimana ekosistemnya
mencakup rawa, danau, sungai, hutan mangrove, hutan gambut, hutan banjir,
limpasan air, pesisir, sawah, hingga terumbu karang. Lahan ini bisa ada di perairan
tawar, payau maupun asin, proses pembentukkannya bisa alami maupun buatan.
Lahan basah merupakan komponen penting bagi beragam ekosistem
karena berfungsi menyimpan air, memperbaiki mutu air, menyediakan habitat bagi
flora dan fauna, mengendalikan banjir, pengendali iklim dan lain sebagainya.
Dalam kenyataan lahan basah dapat menyediakan sederaten barang dan jasa penting
bagi manusia dalam penggunaan langsung dan tidak langsung, kesejahteraan
margasatwa, dan pemeliharaan mutu lingkungan, juga menopang fungsi dan
struktur ekosistem.
Salah satu tipe dari lahan basah adalah rawa. Menurut Peraturan
Pemerintah PU Nomor 05/PRT/M/2010 tentang Pedoman dan Pemeliharaan
Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut, rawa adalah genangan air secara alamiah
yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat
serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis. Rawa tersebar
dari dataran rendah pasang surut sampai cekungan yang lebih tinggi, dengan jenis
endapan mineral dan/atau organik yang melingkupi dan sekaligus berperan dalam
keragaman karakter fisik/kimia sumber daya air dan sumber daya hayati, serta daya
dukungnya sebagai lahan. Ekosistem Rawa adalah salah satu ekosistem lahan basah
alami baik yang dipengaruhi air pasang surut maupun tidak dipengaruhi pasang
surut (lebak), sebagian kondisi airnya payau, asin, atau tawar dan memiliki vegetasi
unik yang sesuai dengan kondisi airnya.
Luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa
pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Lahan pasang surut
yang telah direklamasi 3,84 juta ha yang terdiri atas 0,94 juta ha oleh pemerintah
dan sisanya oleh swadaya masyarakat lokal. Lahan rawa di Indonesia sebagian

1
besar terletak di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Saat ini degradasi lahan
basah berlangsung sangat cepat, padahal peranannya dalam pemeliharaan
ekosistem sangat vital meskipun luasannya hanya sekitar 6% dari daratan bumi.
Lahan pasang surut berbeda dengan lahan irigasi atau lahan kering yang sudah
dikenal masyarakat. Perbedaannya menyangkut kesuburan tanah, sumber air
tersedia, dan teknik pengelolaannya. Lahan ini tersedia sangat luas dan dapat
dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Kurangnya kemampuan masyarakat dalam
mengelola lahan basah terutama lahan rawa pasang surut juga menjadi faktor
penentu keberhasilan pemanfataan lahan tersebut. Hasil yang diperoleh sangat
tergantung kepada cara pengelolaannya. Untuk itu, perlu memahami sifat dan
kondisi tanah dan air di lahan rawa pasang surut. Pada makalah ini penulis
memaparkan peran penting aspek hidrologi dan tanah, sifat dan kondisi serta cara
pengelolaannya di lahan rawa pasang surut.

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas


adalah:
1. Apa itu lahan rawa pasang surut?
2. Bagaimana sifat dan kondisi hidrologi dan tanah pada lahan rawa pasang
surut?
3. Bagaimana cara pengelolaan hidrologi dan tanah pada lahan rawa pasang
surut?
4. Bagaimana penerapan cara pengelolaan hidrologi dan tanah pada lahan rawa
pasang surut di Kabupaten Merauke, provinsi Papua?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan dari


penulian makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui definisi dari lahan rawa pasang surut .
2. Untuk mengetahui sifat dan kondisi hidrologi serta tanah pada lahan rawa
pasang surut.

2
3. Untuk mengetahui cara pengelolaan hidrologi dan tanah pada lahan rawa
pasang surut.
4. Untuk mengetahui cara pengelolaan hidrologi dan tanah pada lahan rawa
pasang surut di Kabupaten Merauke.
5. Memperdalam wawasan tentang sifat dan kondisi serta pengelolaan lahan
rawa pasang surut.

1.4 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyusun makalah dengan


sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULIAN. Bagian ini akan menguraikan masalah yang akan
di bahas yang meliputi : Latar Belakang, Perumusan Masalah dan Tujuan Penulisan
serta Sistematika Penulisan.
BAB II PEMBAHASAN. Bagian ini akan memuat uraian tentang hasil
kajian penulis dalam mengeksplorasi jawaban terhadap masalah yang di ajukan,
yang dilengkapi dengan data pendukung.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. Bagian ini merupakan kesimpulan
dari permasalahan yag diajukan dari pedahuluan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Rawa

Secara tata bahasa Indonesia, rawa didefinisikan adalah lahan genangan air
secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang
terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis.
Dari segi hidrologi, pedologi dan ekologi, rawa tercakup dalam pengertian lahan
basah. Menurut sifat airnya, rawa dapat dibagi menjadi rawa air tawar dan rawa air
payau. Menurut letaknya, rawa dapat dibagi menjadi rawa pedalaman dan rawa
pantai. Menurut gerakan airnya, rawa dibagi menjadi rawa lebak dan rawa pasang
surut.
2.2 Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa pasang surut adalah lahan rawa yang karena elevasinya sangat
rendah dan lokasinya berada dalam jangkauan pengaruh fluktuasi air laut. Lahan ini
tergenang pada waktu pasang dan genangan tidak dapat terbuang habis pada waktu
surut karena drainase yang kurang baik, sehingga sebagian air sisa genangan inilah
yang akan membentuk rawa–rawa.
Berdasarkan pola genangannya (jangkauan air pasangnya), lahan pasang
surut dibagi menjadi empat tipe berdasarkan gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1. Pola genangan lahan pasang surut


Sumber : Suhardjono, 2014

4
1. Tipe A, tergenang pada waktu pasang besar dan pasang kecil. Lahan terluapi
air pasang sekurang-kurangnya 4 atau 5 kali dalam 14 hari siklus pasang
perbani purnama, baik di musim hujan maupun di musim kemarau.
2. Tipe B, tergenang hanya pada pasang besar. Lahan terluapi air pasang
sekurang-kurangnya 4 atau 5 kali dalam 14 hari siklus pasang perbani purnama
tetapi hanya di musim hujan saja.
3. Tipe C, tidak tergenang tetapi kedalaman air tanah pada waktu pasang kurang
dari 50 cm. Lahan tidak bisa diluapi air pasang secara teratur meskipun pasang
tinggi, sedangkan muka air tanah masih bias dipengaruhi oleh fluktuasi pasang
surut.
4. Tipe D, tidak tergenang (lahan kering). Keseluruhan lahan berada di luar
pengaruh pasang surut.

2.2 Aspek Hidrologi pada Lahan Rawa Pasang Surut

Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar


(spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down
stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Secara sederhana penempatan
zona-zona rawa tersebut dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini.

Gambar 2. Pembagian Zona Lahan Rawa


Sumber : Hamdani Lesmono, 2015

5
Wilayah zona I adalah daratan yang bersambungan dengan laut, di muara
sungai besar, dan pulau-pulau delta dekat muara sungai besar. Di wilayah ini
pengaruh air pasang surut masih sangat kuat, karena itu sering disebut ”tidal
wetland“, yaitu lahan basah yang langsung dipengaruhi oleh pasang air laut/salin.
Pada lahan gambut didaerah zona I ini masalah utama adalah salinitas tanah yang
tinggi akibat masuknya air laut/asin ke daratan.
Wilayah zona II, adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu sungai,
tetapi masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih
kedalam ke arah daratan. Di wilayah ini gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu
dengan energi pasang surut, yang terjadi umumnya dua kali dalam sehari
(semidiurnal). Karena wilayah ini sudah berada di luar pengaruh air asin, maka
yang dominan adalah pengaruh air tawar (freshwater) dari sungai. Tetapi energi
pasang surut masih dominan ditandai dengan adanya gerakan air pasang dan air
surut di sungai. Pada musim hujan karena volume air sungai meningkat maka
gerakan pasang surut ini meningkat jangkauannya ke kiri dan kanan sungai. Air
pasang membawa fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai sehingga
mengendapkan bahan tersebut dalam jangka waktu yang lama dan periodik maka
terbentuklah tanggul sungai alam (natural levee).
Wilayah zona III, adalah wilayah yang sudah jauh masuk ke dalam dan
pengaruh pasang surut sudah tidak terlihat lagi. Pengaruh sungai besar yang
dominan adalah banjir besar musiman yang menggenangi dataran kiri kanan sungai.
Lamanya genangan tergantung posisi lahan di landcape, bisa satu bulan sampai
enam bulan.

2.3 Aspek Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa terdiri atas tanah aluvial dan tanah gambut. Tanah aluvial dapat
merupakan endapan laut (marine sediment), endapan sungai (fluviatil sediment)
atau campuran (fluvio marine sediment).

2.3.1 Tanah Gambut

Dinamika lahan gambut sangat terkait, selain dengan gerakan air juga
dengan sifat-sifat tanah gambut itu sendiri seperti sifat fisik, kimia, dan biologi.

6
Sifat fisik tanah gambut yang paling berperan adalah subsidence (penurunan
ketebalan gambut), sifat kering tak balik (irreversible drying), dan daya sangga
tanah yang rendah disebabkan bobot isi (BD) gambut yang rendah. Bila pengelolaan
lahan gambut tidak berdasarkan atas sifat dan kelakuan inheren gambut
menyebabkan terjadinya proses destabilisasi.
Proses ini menghasilkan bahan yang tidak tahan terhadap perubahan
bentuk atau perubahan sifat kimia tanah dan akibat dari proses destabilisasi ini
antara lain menyebabkan meningkatnya laju kehilangan C-organik dari tanah
gambut serta berkurang atau hilangnya fungsi gambut sebagai media tumbuh
tanaman, seperti melalui proses kering tak balik.
Sifat kimia yang penting terhadap dinamika lahan gambut adalah
ketersediaan unsur hara yang rendah/miskin hara, dan kandungan asam-asam
organik yang tinggi yang dapat meracuni tanaman. Selain masalah sifat fisik dan
kimia juga masalah biologi yaitu terjadinya kehilangan unsur C dan N akibat
mineralisasi C dan N-organik. Pada lingkungan gambut yang reduktif, laju
dekomposisi gambut sangat lambat dan banyak dihasilkan asam organik beracun,
CH4, dan CO2. Gas CH4 dan CO2 merupakan gas utama yang menetukan efek
rumah kaca atau pemanasan global, oleh sebab itu lahan gambut yang merupakan
tempat akumulasi karbon harus dikelola dengan baik supaya tidak menjadi
penyebab pemanasan global.
Stabilitas gambut sangat dipengaruhi oleh tiga proses yaitu :
1) reduksi dan oksidasi
2) pengeringan dan pembasahan
3) dekomposisi atau degradasi lignin.

2.3.3Tanah Aluvial/Sulfat Masam

Di bawah lapisan gambut sering pula diketemukan tanah aluvial yang


mengandung pirit. Tanah aluvial yang berasal dari endapan laut biasanya
mengandung mineral pirit. Pembentukan mineral sulfida ini terbentuk dari endapan
sungai di pantai yang berkembang menjadi hutan pasang surut.
Kandungan tanah pada lahan pasang surut berupa senyawa pirit. Zat yang
hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Pada saat kondisi lahan basah

7
atau tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara
(teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang
dapat meracuni tanaman. Pirit dapat terkena udara apabila tanah pirit diangkat ke
permukaan tanah (misalnya pada waktu mengolah tanah atau membuat saluran)
atau pada saat permukaan air tanah turun (misalnya pada musim kemarau).
Ciri tanah yang telah teracuni pirit antara lain :
a. Tampak gejala keracunan besi pada tanaman.
b. Ada lapisan seperti minyak di permukaan air.
c. Ada lapisan merah di pinggiran saluran.
d. Tanaman mudah terserang penyakit.
e. Hasil panen rendah.
f. Tanah berbau busuk (seperti telur yang busuk), maka zat asam belerangnya
banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan membuat saluran cacing
dan diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran.
g. Bongkah tanah berbecak kuning, jerami ditanggul saluran atau jalan,
menunjukkan adanya pirit yang berubah warna menjadi kuning setelah
terkena udara.
Pirit di dalam tanah dapat ditandai dengan :
a. Adanya rumput purun atau rumput bulu babi, menunjukkan ada pirit di
dalam tanah yang telah mengalami kekeringan dan menimbulkan zat besi
dan asam belerang.
b. Bongkah tanah berbecak kuning jerami ditanggul saluran atau jalan,
menunjukkan adanya pirit yang berubah warna menjadi kuning setelah
terkena udara.
c. Adanya sisa-sisa kulit atau ranting kayu yang hitam seperti arang dalam
tanah. Biasanya di sekitamya ada becak kuning jerami.
d. Tanah berbau busuk (seperti telur yang busuk), maka zat asam belerangnya
banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan membuat saluran cacing
dan diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran.

8
2.4 Pengelolaan Hidrologi dan Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut

2.4.1 Pengelolaan Hidrologi

Pengelolaan air pada lahan pasang surut diarahkan agar air pasang dapat
dimanfaatkan untuk pengairan, mencegah akumulasi garam yang dapat
mengganggu pertanaman, mencuci zat-zat beracun, megatur tinggi genangan untuk
persawahan, mempertahankan permukaan air tanah tetap di atas lapisan pirit,
menghindari kematian gambut serta dapat mencegah penurunan permukaan tanah
yang terlalu cepat di lahan gambut.
Dalam pengelolaan lahan perlu diketahui juga ketinggian muka air tanahnya. Cara
mengetahuinya dapat dilakukan sebagai berikut:
a) Ketinggian muka air tanah dapat dilihat di sumur terdekat.
b) Bila tidak ada sumur, maka digali lubang dalam tanah.
c) Kemudian tunggu antara 3-5 jam (kalau tanah gambut, tidak perlu
menunggu lama).
d) Kedalaman air dalam lubang kemudian diukur dari permukaan tanah.
Pengelolaan air dibedakan dalam :
a) Pengelolaan air makro, penguasaan air di tingkat kawasan reklamasi.
Pengelolaan air makro ini bertujuan untuk membuat lebih berfungsi :
 Jaringan drainase - irigasi: navigasi, primer, sekunder.
 Kawasan retarder, kawasan sempadan, dan saluran intersepsi.
 Kawasan tampung hujan.
b) Pengelolaan air mikro, pengaturan tata air di tingkat petani.
c) Pengelolaan air ditingkat tersier, dikaitkan dengan pengelolaan air makro
dan pengelolaan air mikro. Cara pengelolaannya sangat tergantung kepada
tipe luapan airnya:
 Sistem aliran satu arah untuk tipe luapan A.
 Sistem aliran satu arah plus tabat untuk tipe luapan B. Karena air
pasang pada musim kemarau sering tidak masuk kepetakan lahan.
 Sistem tabat untuk tipe luapan C.
 Sistem tabat plus irigasi tambahan dari kawasan tampung hujan yang
berada di ujung tersiernya untuk tipe luapan D.

9
Sistem irigasi dan drainase yang dapat digunakan dalam lahan pasang surut
diantaranya adalah :
1. Sistem Aliran Satu Arah
Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu
pintu air. Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan
(irigasi), maka saluran tersier disebelahnya dijadikan saluran pengeluaran
(drainase). Saluran pemasukan diberi pintu air yang membuka ke dalam, sehingga
pada waktu pasang air dapat masuk dan air tidak dapat ke luar jika air surut. Saluran
pengeluaran diberi pintu air yang membuka ke luar, sehingga pada waktu air surut
air dapat keluar dan air tidak dapat masuk jika air sedang pasang. Saluran kuarter
yang merupakan batas pemilikan perluditata mengikuti aliran satu arah. Pada lahan
yang bertipe luapan B, pintu flap gate dilengkapi stop log yang difungsikan pada
waktu air pasang kecil.

2. Sistem tabat

Lahan yang bertipe luapan C dan D yang tidak terluapi air pasang dan air
hujan juga tidak dapat menggenang. Untuk itu perlu diatur dengan sistern tabat
dengan cara sebagai berikut :
a) memasang tabat di muara saluran tersier atau di perbatasan sawah dan desa
untuk meningkatkan air tanah.
b) membuat pematang yang tangguh dan tidak bocor.
c) menutup pengeluaran ke saluran drainase pengumpul atau saluran kuarter.

Lahan bertipe luapan pasang C dan kegiatan penggantian air dilakukan dengan
urutan sebagai berikut:
a) Air di saluran tersier dibuang ketika air surut dan ditabat ketika air pasang
besar.
b) Air di saluran kuarter dibuang ke saluran tersier.
c) Pada waktu air pasang berikutnya air di saluran tersier dibuang dan ketika
air pasang berikutnya air ditahan di aluran tersier dengan memasang tabat.

10
d) Air di petakan sawah dibuang dan dialirkan ke saluran tersier untuk
mempertahankan air tanah tetap tinggi.
e) Air hujan akan memperbarui genangan air di petakan sawah.

3. Sistem irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system)

Sistem ini dilakukan dengan konstruksi bendung, canal dari soil (cement),
sistem irirgasi bawah ke atasa dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan
sawah, karena sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang
akhirnya menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986). Dari keadaan air sungai yang
permukaannya di bawah rata-rata permukaan tanah di tepi sungai maka untuk
mendapatkan air dari sungai tani diberika alternatif pompanisasi, sistem
pompanisasi ini membutuhkan pompa lebih dari satu untuk dipasang secara parallel.

4. Pengelolaan air di tingkat petani

Pengelolaan air mikro atau ditingkat petani meliputi:


a) Pengelolaan air di saluran kuarter
b) Pengelolaan air di petakan sawah petani

Sistem pengelolaan airnya dilakukan dengan sistem aliran satu arah. Salah
satu saluran tersier dijadikan aluran pemasukan irigasi dan saluran kuarter dijadikan
saluran pembuangan menuju saluran tersier drainase. Diperlukan juga saluran
dangkal disekeliling petakan sawah. Saluran ini berfungsi sebagai saluran penyalur
di dekat saluran kuarter irigasi dan sebagai saluran pengumpul yang didekat saluran
kuarter drainase. Di dalam petakan sawah dibuatkan pula saluran dangkal intensif
yang berfungsi untuk mencuci zat asam dan zat beracun dari lahan. Jarak antar-
saluran bervariasi tergantung kepada kendala lahan yang dapat diatur sebagai
berikut:
a) Lahan dengan kandungan pirit dalam dibuat saluran dengan jarak 9 meter
atau 12 meter.
b) Lahan dengan kandungan pirit dangkal dibuat saluran dengan jarak 6 meter
atau 9 meter
c) Pada lahan sulfat masam dibuat saluran dengan jarak 3 meter atau 6 meter

11
d) Pada lahan tidur dibuat saluran berjarak 3 meter.

2.4.2 Pengelolaan Tanah

Sifat gambut dapat diperbaiki dengan beberapa cara misalnya yaitu dengan
menambah abu (misalnya dari sekam, kayu gergaji atau gunung api) dengan takaran
3-5 ton per hektar dalam larikan, menambah tanah lempung dengan takaran 3-5 ton
per hektar atau dengan mencampur lapisan gambut dengan lapisan tanah mineral
yang ada di bawahnya, walaupun mengandung pirit. Hal ini dapat dilaksanakan jika
gambutnya cukup dangkal dengan memanfaatkan tanah mineral yang terangkat ke
permukaan tanah ketika membuat parit.
1) Pengelolaan Tanah, Cara pengolahan tanah dapat dilakukan dengan beberapa
tahap kegiatan, yaitu:
a. gulma di semprot dengan herbisida
b. membajak lahan dengan menggunakan bajak singkal
c. menggenangi lahan selama 1-2 minggu, kemudian airnya dibuang. Hal ini
dilakukansampai 2-3 kali.
d. melumpurkan tanah yang telah selesai dibajak dan diratakan, selanjutnya
siap untuk tanam.
2) Pemupukan
Pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat miskin
mineral dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang diperlukan adalah
pupuk lengkap terutama yang mengandung N, P, K, Ca, Mg dan unsur mikro Cu,
Zn dan B. Pemupukan harus dilakukan secara bertahap dan dengan takaran rendah
karena daya pegang (sorption power) hara tanah gambut rendah sehingga pupuk
mudah tercuci. Penggunaan pupuk lepas lambat (slow release) seperti fosfat alam
dan Pugam lebih baik dibandingkan dengan SP-36, karena akan lebih efisien,
harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah.
Pugam dengan kandungan hara utama P, juga tergolong pupuk lepas
lambat yang mampu meningkatkan serapan hara, mengurangi pencucian hara P, dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman sangat signifikan dibandingkan SP-36. Tanah
gambut juga diketahui kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan
organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro

12
seperti terusi, dan seng sulfat masing-masing 15 kgha-1tahun-1, mangan sulfat 7
kgha-1, sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kgha-1 tahun-1.
Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan bunga jantan steril sehingga
terjadi kehampaan pada tanaman padi,tongkol kosong pada jagung atau polong
hampa pada kacang tanah. Pugam sebagai amelioran dan pupuk, juga mengandung
unsur mikro yang diperlukan tanaman, sehingga pemupukan unsur mikro tambahan
tidak diperlukan lagi.

2.5 Pengelolaan Hidrologi dan Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut di
Kabupaten Merauke

Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang berusaha untuk dapat
memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri, baik untuk kebutuhan lokal maupun
kebutuhan daerah sekitarnya. Kabupaten Merauke yang berada di bagian selatan
Provinsi Papua adalah salah satu daerah lumbung pangan di Provinsi Papua, dimana
telah melakukan pengiriman produksi beras ke Kabupaten Mappi, Kabupaten
Asmat, dan Kabupaten Jayawijaya. Luas wilayah Kabupaten Merauke setelah
pemekaran wilayah saat ini 46.791,63 km2 yang secara administrasi memiliki 20
Distrik.
Kabupaten Merauke memiliki potensi lahan untuk pengembangan areal
pertanian lahan rawa. Pembangunan prasarana pengairan di Kabupaten Merauke
telah dilakukan pada lahan rawa untuk pertanian seluas 37.341 ha, dari lahan rawa
potensial yang dimiliki adalah sekitar 1,94 juta ha. Beberapa komoditas unggulan
yang dikembangkan pada lahan basah/rawa di Kabupaten Merauke antara lain padi,
jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kedelai dan sayur-sayuran.
Berdasarkan hal tersebut, Kabupaten Merauke menjadi salah satu sasaran
program ekstensifikasi lahan sawah. Kabupaten ini memiliki sekitar 1,9 ha lahan
basah dan 1,2 juta ha diantaranya sesuai untuk pengembangan tanaman padi.
Potensi pengembangan padi di kecamatan Merauke di dukung oleh sumber daya
alam yang sesuai, Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Merauke telah
menyusun Master Plan Pengembangan Rice Estate, Lahan basah yang potensial
untuk pengembangan sawah dibagi dalam 206 kluster yang disebut Kawasan Sentra
Produksi (KSP).

13
Kondisi iklim dan terbatasnya keterampilan petani dalam pengelolaan
tanah dan air menjadi faktor penyebab utama.

1.5.1 Pengelolaan Air di Kabupaten Merauke

Teknologi pengelolaan air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air


semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan tanaman, meningkatkan
ketersediaan hara, menekan pertumbuhan gulma dan sebagai media pencuci
kemasaman dan unsur beracun. Oleh karenanya saluran drainase yang
dikembangkan harus didisain agar dapat berfungsi sebagai :
a. membuang kelebihan air saat musim hujan,
b. mensuplai air di musim kemarau, dan
c. membuang unsur beracun.
Jaringan tata air dalam kawasan pengembangan terdiri atas tata air makro
dan tata air mikro. Tata air makro teridiri atas saluran primer dan saluran sekunder.
Sedangkan tata air mikro terdiri atas saluran tersier dan saluran kuarter. Pengelolaan
air di tingkat makro maupun mikro memerlukan pintu air yang kuat dan efektif dan
diatur oleh instansi yang berwenang. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik
kepentingan terhadap air antara petani sawah dengan pencari ikan. Sistem
pengelolaan air mikro dibedakan menurut tipologi lahan. Berdasarkan karakteristik
tanah dan tipe luapan air pasang, lahan basah di Merauke secara umum dapat
dibedakan menjadi lahan pasang surut tipe C dan D dan lahan lebak.
Oleh karenanya, lahan potensial tipe C dan D yang telah dibuka untuk
persawahan, umumnya berubah menjadi sawah tadah hujan. Mengelola air pada
tipologi lahan ini dalam kawasan yang luas di Merauke identik dengan mengelola
air hujan. Menurut Widjaja-Adhi et al. (1996) sistem pengelolaan air yang tepat
adalah sistem tabat. Modifikasi sistem tabat untuk kawasan yang luas adalah dengan
membuat embung berukuran besar (bendali atau long storage). Bendali dibangun
untuk cadangan air di musim kemarau dengan bantuan pompa air. Dengan sistem
ini indeks pertanaman (IP) padi dapat ditingkatkan menjadi 200%. Di beberapa
tempat dekat pantai dan aliran sungai, pengelolaan air juga berarti mencegah
masuknya air bersalinitas tinggi dengan membuat tanggul-tanggul pengaman.
Potensi ancaman intrusi air laut cukup besar kemungkinan terjadi di sepanjang

14
pantai selatan dan Kimaam. Ancaman intrusi air laut dari rembesan air tanah juga
terjadi pada lahan yang memiliki lapisan subsoil bertekstur kasar (berpasir).

1.5.2 Pengelolaan Tanah di Kabupaten Merauke

Pengolahan tanah diperlukan untuk memperoleh media tanam yang baik


bagi tanaman padi dan mengurangi pertumbuhan gulma. Sebagian besar areal lahan
basah di Merauke yang baru dibuka memiliki lapisan tanah yang kaya bahan
organik antara 10-30 cm. Untuk mempertahankan bahan organik ini perlu dilakukan
pengolahan tanah agar terjadi inkorporasi bahan organik dengan tanah mineral di
bawahnya. Pengolahan tanah juga bertujuan untuk leveling dan pelumpuran tanah
agar lebih sesuai untuk sistem perakaran padi.
Pengolahan tanah dalam sistem rice estate, tidak dapat dilakukan secara
manual karena SDM di Merauke sangat terbatas. Penggunaan alat mesin pengolah
tanah berkapasitas besar mutlak diperlukan agar cepat dan umur tanaman seragam.
Kondisi tanah yang padat memungkinkan daya dukung tanah untuk menyangga
alsintan pengolah tanah cukup besar. Lahan basah di sebagian besar wilayah
potensial cukup terkonsolidasi sehingga mampu menahan beban alsintan.
Kedalaman olah tanah disesuaikan dengan daya dukung lahan dan lapisan pirit.
Pada lahan yang mengandung lapisan pirit yang dangkal, sebaiknya dilakukan
pengolahan dangkal (10-15 cm) agar tidak membalik lapisan pirit.
1. Ameliorasi
Tanah yang berkembang dari bahan induk aluvial marin memiliki potensi
besar mengalami proses pemasaman karena oksidasi pirit. Oleh karenanya
ameliorasi menjadi paket teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan
produktivitasnya. Tanah di lapisan atas mengandung bahan organik yang tinggi
ditandai dengan warna tanah yang hitam dan tingkat kemasaman (pH) tanah sekitar
5-6. Dengan demikian ameliorasi untuk menanggulangi kemasaman tanah secara
umum tidak diperlukan. Namun demikian penggunaan kapur kalsit dalam dosis
yang rendah (0,5 t/ha) kadang-kadang diperlukan untuk memperbaiki
keseimbangan Ca/Mg. Mengembalikan sisa tanaman dan pupuk kendang sangat
disarankan untuk menjaga kandungan bahan organik tetap tinggi. Hasil pengamatan
pertumbuhan tanaman padi sangat berkorelasi dengan kadar bahan organik tanah.

15
Penerapan konsep SITT dalam pengembangan rice estate merupakan salah satu
teknik penyediaan amelioran yang murah secara kontinyu. Dengan demikian sistem
ini diharapkan menjadi model usaha tani terpadu berkelanjutan dengan input luar
rendah.
2. Pemupukan Berimbang
Pemupukan tanaman padi yang dilakukan petani di sentra produksi padi
Merauke saat ini hanya menggunakan sekitar 100-150 kg urea/ ha dan 50-100 kg
SP-36/ha. Di beberapa tempat, khususnya petani warga lokal, hanya mengunakan
urea atau bahkan tidak ada pemupukan sama sekali. Dengan demikian produktivitas
lahan belum dapat ditingkatkan dari 4,5 t/ha. Untuk mencapai produktivitas yang
lebih tinggi, pemupukan harus berimbang dan disesuaikan dengan keadaan status
hara tanah.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Untuk menjamin keseimbangan dan keberlanjutan manfaat lingkungan,


ekonomi, dan sosial budaya Rawa, pemerintah perlu mengatur penetapan Rawa,
baik Rawa pasang surut maupun Rawa lebak, pengelolaan Rawa, sistem informasi
Rawa, perizinan dan pengawasan, pemberdayaan masyarakat, serta sanksi
administratif.
Pengaturan Rawa dimulai dengan penetapan Rawa pasang surut dan Rawa
lebak, berdasarkan hasil inventarisasi melalui citra satelit dan/atau foto udara dan
apabila telah terdapat peta dasar dilakukan dengan pengukuran lapangan.
Pengaturan Rawa dilakukan terhadap Rawa baik yang masih alami maupun yang
telah dikembangkan, kemudian ditetapkan pula fungsinya, yaitu Rawa dengan
fungsi lindung dan Rawa dengan fungsi budi daya.
Pengaturan pengelolaan Rawa terdiri atas upaya Konservasi Rawa,
Pengembangan Rawa, dan Pengendalian Daya Rusak Air pada Rawa. Upaya
konservasi dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan ekologi, menjaga
keseimbangan hidrologi, melindungi keanekaragaman hayati, sebagai habitat flora
fauna, penyerap sekaligus gudang penyimpan gas rumah kaca karbondioksida
(CO2) yang berperan dalam pemanasan global dan dapat berkontribusi dalam
perbaikan lingkungan serta menjaga daya dukung kawasan yang berfungsi budi
daya di daerah sekitarnya.
Pengembangan Rawa untuk tujuan budi daya pertanian yang dahulu
disebut reklamasi Rawa, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air perlu diubah menjadi pengembangan Sistem Irigasi Rawa
dan pengelolaan Sistem Irigasi Rawa. Upaya Pengendalian Daya Rusak Air pada
Rawa ditujukan untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan baik
bagi Rawa itu sendiri maupun wilayah sekitarnya agar tidak menimbulkan kerugian
bagi kehidupan.
Pengelolaan Rawa dilaksanakan berdasarkan pola dan rencana
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan. Untuk Rawa
pasang surut, rencana pengelolaan Rawa pasang surut disusun berdasarkan satuan

17
hidrologi Rawa pasang surut, yang merupakan masukan bagi penyusunan pola dan
rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan serta
penyusunan dan/atau perubahan rencana tata ruang. Apabila pola dan rencana
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan telah
ditetapkan, rencana pengelolaan Rawa pasang surut harus terintegrasi dalam pola
dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai.
Untuk mendukung pengelolaan Rawa diselenggarakan sistem informasi
Rawa yang merupakan bagian dari sistem informasi sumber daya air berupa
jaringan informasi Rawa yang harus diperbaharui sesuai kebutuhan dan bersifat
terbuka, serta dapat diakses setiap orang.
Dengan adanya pengelolaan lahan dan air di daerah pasang surut ini
diharapkan pemanfaatan sumber daya lahan dapat dilakukan secara optimal dan
dapat mendapatkan hasil yang maksimal dengan mempertahankan kelestarian
sumber daya lahan.

3.2 Saran

Sumber daya lahan, termasuk lahan basah adalah sumber daya strategis
yang bersifat multi fungsi dan semua pihak membutuhkannya. Apresiasi terhadap
sumber daya ini harus didasarkan atas penilaian komprehensif. Karakteristik,
dinamika, faktor penyebab maupun akibat yang ditimbulkan pendayagunaan
sumber daya ini, perlu dipahami secara holistik. Kebijakan pengelolaan kawasan
lahan basah harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan keadilan sebagai
prioritas yang lebih tinggi. Relavansi dan urgensi untuk mengedepankan aspek
keberlanjutan.
Beberapa cara pengelolaan lahan dan air diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas lahan pasang surut. Hal lain yang tidak kalah pentingnya
adalah dukungan kelembagaan yang memadai, baik lembaga yang berasal dari
petani maupun pemerintah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ilhamzen. 2013. Tanah Gambut.


https://freelearningji.wordpress.com/2013/03/20/tanah-gambut/ diakses
tanggal 4 November 2018.
Jurnalbumi. 2017. Lahan Gambut.
https://jurnalbumi.com/knol/lahan-gambut/ diakses tanggal 4 November
2018.
Mipa. 2015. Lahan Basah.
https://pllbfmipaunlam.wordpress.com/2015/02/27/lahan-basah-wetland/
diakses tanggal 4 November 2018.

Akhmad,dkk. 2015. Lahan Gambut di Indonesia. http://www.cifor.org/ipn-


toolbox/tema-c/ diakses tanggal 4 November 2018

Pupiastuti. 2012. Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut. Makalah

Aryanti, 2015. Masalah di Lahan Pasang Surut.


https://www.academia.edu/18736446/MASALAH_DI_LAHAN_PASANG_SURU
T diakses tanggal 8 November 2018

Subiksa. 2008. Prospek Pengembangan Rice Estate di Kabupaten Merauke.


Jurnal Sumberdaya Lahan. 2 (2): 88-90.

19

Anda mungkin juga menyukai